OPINI AUDIT BPK ATAS LKPD MUNGKINKAH LEB

1

OPINI AUDIT BPK ATAS LKPD;
MUNGKINKAH LEBIH BAIK DAN BERGUNA?
Oleh : Andi Chairil Furqan

(Dimuat pada Harian Radar Sulteng: Selasa, 29 Desember 2009 Hal. 13)

Agar lebih bermakna, momentum pergantian tahun ini harus dimaknai sebagai jendela ke
arah perbaikan di segala bidang. Berkaitan dengan cita-cita luhur untuk mewujudkan
akuntabilitas publik dalam pengelolaan keuangan daerah, mungkinkah pada tahun 2010,
opini audit BPK atas LKPD TA. 2009 khususnya di Sulawesi Tengah akan lebih baik dan
berguna?

Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk
memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala
aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah
(principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban
tersebut. Dalam konteks organisasi pemerintah, akuntabilitas publik merupakan pemberian
informasi dan pengungkapan (disclosure) yang memadai atas aktivitas dan kinerja
keuangan pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan, terutama masyarakat

sebagai pemberi amanah dan sekaligus pemilik dana (pembayar pajak dan retribusi).
Akuntabilitas Publik diwujudkan dengan penyajian laporan keuangan yang
memenuhi karakteristik kualitatif, yaitu: relevan, andal, dapat dibandingkan dan dapat
dipahami. Dengan karakteristik tersebut maka laporan keuangan dapat berperan evaluatif,
prediktif dan prospektif bagi para pengguna laporan keuangan (Pemerintah sendiri, DPRD,
kreditur, investor, dan masyarakat umum).
Berkaitan dengan pemerintahan daerah, sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003
tentang keuangan negara maka sebagai perwujudan akuntabilitas publik, Kepala Daerah
diwajibkan untuk menyampaikan Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD berupa
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah Tahun Anggaran (TA) berakhir
kepada DPRD. LKPD yang dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD,
Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang penyajiannya didasarkan
pada PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), dan dilampiri
dengan laporan keuangan perusahaan daerah.
BPK sebagai pemegang mandat satu-satunya sebagai pemeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara di negeri ini, berwenang melakukan 3 (tiga) jenis
pemeriksaan, yaitu Pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu (PDTT), contohnya pemeriksaan investigatif (seperti yang dilakukan
terhadap Bank Century). Berbeda dengan pemeriksaan lainnya yang hanya sekedar

menghasilkan temuan, simpulan dan rekomendasi, pemeriksaan keuangan (LKPD) akan
menghasilkan suatu opini yang disertai dengan laporan hasil pemeriksaan sistem
pengendalian intern dan laporan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dalam
kerangka pemeriksaan keuangan.
Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi
keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada 4 (empat) kriteria,
https://andichairilfurqan.wordpress.com/2010/12/25/13/

2

yaitu kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan (PP No. 24 Tahun 2005),
kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan
efektivitas sistem pengendalian intern (SPIP). Khususnya yang berkaitan dengan
pemeriksaan atas LKPD, di dalam penetapan opini, selain kriteria diatas, pemeriksa BPK
akan mempertimbangkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), pembatasan
lingkup pemeriksaan oleh pemerintah daerah atau kondisi, ketidaksesuaian dan
ketidakcukupan dikaitkan dengan tingkat materialitas yang telah ditetapkan, dan tanggapan
pemerintah daerah atas hasil pemeriksaan.
Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa BPK, yakni
opini wajar tanpa pengecualian (Unqualified), opini wajar dengan pengecualian (Qualified),

opini tidak wajar (Adversed) dan pernyataan menolak memberikan opini (Disclaimer ).
Walaupun sampai saat ini opini audit BPK belum memberikan konsekuensi yang signifikan
terhadap entitasnya, namun tingkatan opini ini tentunya dapat dijadikan dasar penilaian
profesionalitas dan kredibilitas pengelola keuangan daerah. Yang mana semakin baik opini
yang didapatkan, berarti dapat dikatakan pula bahwa pengelola keuangan telah profesional
dan kredibel dalam mengelola keuangan daerah, begitupula sebaliknya.
Secara umum, jika menelusuri opini hasil pemeriksaan terhadap LKPD seIndonesia dalam kurun waktu 2 tahun anggaran terakhir (TA. 2006-2007), terlihat bahwa
opini dislaimer dan adversed mengalami peningkatan. Untuk TA. 2006, dari 463 LKPD
yang diperiksa, terdapat 106 disclaimer dan 28 adversed. Sementara itu, untuk TA. 2007,
dari 466 LKPD yang diperiksa, terdapat 120 disclaimer dan 59 adversed. Tentunya hal ini
sangat memprihatinkan. Terlebih lagi jika melihat opini hasil pemeriksaan terhadap 11
(sebelas) LKPD se-Sulawesi Tengah dalam 3 tahun anggaran terakhir (TA. 2006-2008).
Untuk TA. 2006, terdapat 7 qualified dan 4 disclaimer , untuk TA. 2007, terdapat 6
qualified dan 5 disclaimer , dan untuk TA. 2008, terdapat 5 qualified dan 6 disclaimer . Hal
ini menunjukkan suatu peningkatan yang tidak menggembirakan, karena selain dapat
berakibat semakin meningkatnya potensi kerugian daerah juga akan berakibat buruk
terhadap kredibilitas pemerintah daerah.
Khususnya di Sulawesi Tengah, sangat banyak faktor yang menyebabkan hal ini
dapat terjadi, namun jika dikelompokkan ke dalam golongan besar, dapat dikelompokkan
ke dalam 3 (tiga) faktor utama, yaitu Regulasi, Sumber Daya Manusia dan Kepemimpinan.

Faktor pertama adalah regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah sampai
saat ini masih belum memadai, hal ini ditandai dengan hampir di semua daerah di Sulawesi
Tengah belum memiliki regulasi (PERDA/PERBUP) yang lengkap dalam menjabarkan
peraturan dan ketentuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat mulai dari perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan APBD, penatausahaan, pertanggunggjawaban, pelaporan
sampai pada pengawasan. Faktor kedua adalah ketersediaan Sumber Daya Manusia
khususnya yang memiliki kompetensi, integritas dan nilai etika masih sangat minim, hal ini
ditandai dengan ketidakmampuan seluruh daerah menyusun laporan keuangan untuk
masing-masing SKPD dan adanya temuan-temuan yang mengindikasikan kelalaian aparat
(Bendahara, PPTK, PPK-SKPD, Pengguna Anggaran, Kuasa BUD, PPKD) dalam
melakukan tugas dan tanggungjawabnya. Faktor ketiga dan yang paling utama adalah
kepemimpinan, Kepala Daerah selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan
Daerah beserta jajarannya belum sepenuhnya menunjukkan komitmen yang konsisten
dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, hal ini
selain ditandai dengan 2 faktor diatas, juga ditandai dengan pendelegasian wewenang dan
https://andichairilfurqan.wordpress.com/2010/12/25/13/

3

tanggung jawab yang tidak dilakukan secara tepat, belum terciptanya hubungan

(koordinasi) yang baik antara instansi terkait dan peran aparat pengawasan intern
pemerintah (inspektorat daerah) yang belum efektif dalam menciptakan early warning
system.
Berkaitan dengan masalah ini, masih ada saja beberapa pihak yang memandang
bahwa wajar saja jika masih banyak LKPD yang mendapatkan opini buruk, dikarenakan
opini atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) saja masih buruk (disclaimer ),
namun jika menelusuri lebih jauh maka pandangan tersebut boleh dikatakan keliru dan
sangat tidak berdasar. Karena selain merupakan entitas yang berbeda, LKPD merupakan
wujud atas tanggungjawab pengelolaan keuangan yang telah diserahkan oleh Pemerintah
Pusat kepada Pemerintah daerah, sehingga menjadi kesatuan yang terpisah dan tidak ada
keterkaitannya dengan LKPP.
Dengan momentum pergantian tahun ini, maka sudah saatnya seluruh aparat
pengelola keuangan daerah untuk memperbaiki segala kelemahan dan kekurangan yang ada
dan memfokuskan diri dalam melakukan penyusunan LKPD TA. 2009, karena walaupun
usaha pembenahan dan perbaikan tersebut akan berkonsekuensi terhadap besarnya biaya
dan sumber daya yang harus dikeluarkan PEMDA, namun jika LKPD telah dapat
digunakan masyarakat sebagai dasar pengambilan keputusan, maka biaya tersebut akan
tertutupi oleh manfaat yang jauh lebih besar akan dirasakan oleh masyarakat.
Tidak terlepas dari permasalahan tersebut, perlu diketahui juga bahwa opini audit
merupakan opini pemeriksa yang menyangkut ”kewajaran” dan bukan ”kebenaran” atas

informasi yang ada pada LKPD, karena berkaitan dengan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan dan keputusan pemeriksa yang berorientasi pada hal yang signifikan (material)
saja, sehingga sangat terpengaruh oleh pertimbangan profesional personal pemeriksa (siapa
yang memeriksa). Untuk itu, masalah dapat tidaknya LKPD dimanfaatkan oleh masyatakat,
bukan hanya sekedar tanggung jawab entitas (PEMDA), pemeriksa juga akan sangat
berperan dan memberikan andil yang besar agar informasi dalam LKPD tidak menyesatkan,
khususnya berkaitan dengan ketepatan penilaiannya terhadap LKPD.
Akhirnya, agar hasil pemeriksaan (opini audit) atas LKPD dapat lebih baik dan
berguna di tahun 2010, maka seluruh pihak harus berbenah. Dari sisi pengelola keuangan
daerah (PEMDA), harus dapat mewujudkan penyajian LKPD yang relevan, andal, dapat
dibandingkan dan dapat dipahami. Dari sisi pemeriksa (BPK), harus dapat melakukan
pemeriksaan secara independen, objektif dan profesional serta senantiasa berpegang teguh
pada standar pemeriksaan dan kode etik. Sedangkan dari sisi masyarakat, harus dapat
meningkatkan pemahaman yang memadai atas LKPD dan lebih proaktif untuk selalu
memantau perkembangan informasi hasil pemeriksaan LKPD. Hal ini sangat mungkin
untuk dilakukan dan kuncinya adalah komitmen.
(Penulis adalah Dosen Universitas Tadulako).

https://andichairilfurqan.wordpress.com/2010/12/25/13/