Kebijakan Pemerintah Dalam Masalah Anak (1)
Kebijakan Pemerintah Dalam Masalah Anak-Anak Di
Indonesia
Indonesia merupakan penandatanganan Konvensi Hak Anak (KHA) dan World Summit
for Children (WSC). Ratifikasi mencakup komitmen negara peserta dalam mewujudkan
hak semua anak untuk dilindungi dari eksploitasi dan perlakuan salah serta menangani
akar masalah yang mengarah pada situasi tersebut.
Diilhami oleh Tahun Internasional Anak 1979, maka pemerintah menetapkan UU No. 4
tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang mengatur permasalahan tentang anak di
Indonesia. Akan tetapi, sampai saat ini UU ini belum mempunyai PP (Peraturan
Pemerintah) sehingga belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Disamping usia
anak yang dimaksud di dalam UU adalah 21 tahun, ini juga berbeda dengan apa yang
tercantum dalam KHA. Definisi anak sendiri memang masih menimbulkan banyak
masalah di Indonesia. UU perkawinan No. 1 tahun 1974 menentukan usia kawin untuk
perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, UU tenaga kerja menentukan 14 tahun.
UU tentang Kesejahteraan Anak sudah lama berlaku tetapi dinamika permasalahan
sebetulnya menuntut berbagai garapan serius. Pada masa lalu kesejahteraan anak
hanyalah kegiatan represif seperti anak cacat, yatim piatu, dan sebagainya. Namun
sebenarnya populasi seluruh anak menuntut perhatian juga agar anak Indonesia
menjadi manusia yang mandiri, agar tidak cacat dalam bentuk lain. Sehingga kebijakan
pemerintah dengan Keppres No. 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional yang
ditetapkan tiap tanggal 23 Juli, sebetulnya merupakan suatu momentum. Akan tetapi
pada akhirnya, kegiatan ini hanya menjelma menjadi sebuah seremonial belaka, karena
ketidaksiapan pemerintah dan aparatnya dalam menyikapi masalah anak di Indonesia
Adanya Pokja Pembinaan Anak yang diprakarsai oleh Kantor Menko Kesra sejak tahun
1986 sebenarnya cukup membuat lega, karena hampir semua departemen terkait, LSM
terlibat di dalamnya. Akan tetapi harapan tinggal harapan. Adanya Inpres No. 3 tahun
1997 tentang Pengembangan Kualitas Anak juga merupakan upaya yang bagus,
walaupun kurang berjalan semestinya.
Upaya yang dikembangkan oleh FK-PPAI (Forum Komunikasi Pembinaan dan
Pengembangan Anak Indonesia) dalam memprakarsai Dasa Warsa Anak Indonesia
terbentuknya Pola Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia untuk 25 tahun,
panduan Idola Citra Anak Indonesia yang salah satunya berisi Asta Citra Anak
Indonesia yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah dalam GBHN 1993. Sehingga
sebetulnya secara serius pemerintah baru tahun 1993 dalam menangani masalah anak.
Tindak lanjut kebijakan tersebut, maka pemerintah membuat Program Pembinaan Anak
dan Remaja di pedesaan dengan dana sebesar Rp. 500.000 yang diolah bersama
antara Bappenas.
FK-PPAI dan Kantor Menko Kesra, diharapkan dapat mendorong terwujudnya gerakan
terpadu tentang pembinaan anak sampai ke desa-desa. Namun karena ketidakpastian
aparat pemerintah di desa-desa dalam membuat programnya, sehingga kurang dapat
mengena pada sasarannya. Upaya UNICEF lewat program KHPPIA (Kelangsungan
Hidup Pembinaan dan Pengembangan Ibu dan Anak) bekerjasama dengan Ditjen
Bangda Depdagri di beberapa propinsi cukup memberi nuansa, walaupun pada
akhirnya aparat pemerintah lagi-lagi hanya menganggapnya sebagai suatu proyek
belaka.
Di bidang hukum, persetujuan terhadap UU Pengadilan Anak No. 3 tahun 1996 adalah
suatu upaya lain dalam menyikapi masalah anak dalam konflik dengan hukum.
Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak yang disponsori oleh Depsos dan UNICEF
merupakan nuansa baru dalam pelaksanaannya. Namun leading sektor pemerintah
yang kurang tepat, sehingga dalam pelaksanaannya di daerah kurang mendapat
dukungan yang semestinya. Akan tetapi adanya lembaga ini tetap bisa dianggap
sebagai nilai tambah karena ada wadah yang mengurusi masalah anak dalam kondisi
sulit termasuk anak jalanan, pekerja anak, dsb.
Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 pada bulan Desember 1997 adalah suatu langkah maju
bagi keseriusan pemerintah akan tetapi menjadi masalah di lain pihak, karena akan
meningkatkan jumlah pekerja anak di Indonesia. Usia maksimum anak bekerja yang
menurut konvensi tersebut adalah 15 tahun sedangkan pemerintah menetapkan 14
tahun sesuai dengan Permenaker No. 1 tahun 1987 maupun UU Tenaga Kerja No.
25/1997. Ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah pekerja anak terlihat
dari jumlah pengawas tenaga kerja yang berjumlah 1.128 pengawas dan 760 pengawas
lapangan yang harus memantau 162.000 perusahaan. Bahkan tidak dapat dipungkiri
bahwa kadang terjadi kerjasama diantara mereka dalam mempekerjakan pekerja anak.
Sehingga sanksi hukum dan denda Rp. 100 juta kadang dianggap angin lalu oleh
pengusaha.
Di bidang pendidikan adanya UU Pendidikan No. 2 tahun 1989 yang diilhami Konsep
Education for All yang dicetuskan oleh UNESCO yang kemudian ditindaklanjuti dengan
program WAJAR 9 tahun (Wajib Belajar 9 tahun) guna mengurangi angka buta huruf,
aksara dan angka. Akan tetapi UU ini belum mengatur masalah anak yang berada
dalam kondisi sulit, hal ini hanya diatur dalam PP No. 2 tahun 1998 tentang UKA
(Usaha Kesejahteraan Anak) bagi anak yang mempunyai masalah. Namun hal ini tidak
mencakup anak jalanan, pekerja anak dsb.
Penanganan masalah anak jalanan secara serius baru dimulai pemerintah sejak tahun
1996 dengan adanya program UNDP - Depsos dan ADB. Depsos dengan membuat
pilot proyek Rumah Singgah di 12 propinsi. Permasalahan tetap timbul karena ternyata
aparat Depsos di daerah masih kurang memahami program ini, disamping tidak dapat
dipungkiri ada beberapa lembaga yang memang kurang mampu menangani masalah
tersebut. Pada akhirnya program inipun terasa hanya sebagai suatu proyek belaka.
Pada akhirnya semua itu memang kembali pada kita (baik pemerintah, masyarakat,
LSM, orangtua, anak, swasta, media massa) untuk membina SDM sejak usia dini agar
terjadi suatu lost generation. Kalaulah di negara tetangga kita Malaysia ada Majelis
Kebijakan Kanak-Kanak yang mengurusi masalah anak, mengapa Indonesia tidak
membuat Badan Khusus tentang anak ini sehingga kebijaksanaan penanganan dan
koordinasi diantara pemerintah sendiri dapat berjalan baik, disamping tentunya
pelibatan LSM dalam penanganan masalah anak juga lebih serius, tidak hanya sekedar
melegitimasi suatu proyek pemerintah saja.
Perjalanan Panjang Konvensi Hak Anak Di Indonesia
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan bagian integral dari instrumen international
tentang hak asasi manusia. Perumusan naskah KHA dimulai sejak tahun 1979 dan
dalam waktu 10 tahun kemudian tepatnya, pada tanggal 20 November 1989, naskah
akhir konvensi dapat diterima dan disetujui dengan suara bulat oleh Majelis Umum
PBB.
Sesuai ketentuan pasal 49 ayat 1 KHA diberlakukan sebagai hukum HAM internasional
pada 2 September 1990. Indonesia meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden No.
36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 sehingga tahun ini kita sudah lebih dari 10 tahun
meratifikasi KHA. Sampai sejauhmana implementasinya ? Berikut adalah tulisan
Bambang Budi Setiawan - Humas Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang
telah menemui beberapa nara sumber.
Implikasi dari sebuah ratifikasi adalah kewajiban untuk melaksanakan seluruh
kesepakatan yang tercantum didalamnya. Dengan meratifikasi KHA Indonesia secara
teknis telah dengan sukarela mengikatkan diri pada ketentuan yang terkandung dalam
KHA. Hampir semua negara di dunia telah meratifikasi KHA, sampai tahun 1999 tinggal
dua negara di dunia yaitu Somalia dan Amerika Serikat.
Sesuai dengan pasal 49 ayat 2 KHA dinyatakan berlaku di Indonesia sejak tanggal 5
Oktober 1990. Sesuai dengan ketentuan di dalam konvensi negara peserta wajib
mengimplementasikan berbagai ketentuan yang terkandung di dalam konvensi.
Akan tetapi meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA, fakta menunjukkan
bahwa pelanggaran demi pelanggaran terhadap anak di Indonesia terus terjadi, bahkan
telah mencapai pada bentuk-bentuk pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi oleh akal
sehat manusia (the most intolerable forms). Lebih-lebih pada masa sulit sekarang ini,
dimana bangsa Indonesia sedang dilanda krisis dalam berbagai bidang permasalahan
anak kian meningkat. Selain itu, perkembangan masyarakat yang makin kompleks telah
memberikan pengaruh buruk terhadap pengasuhan dan perawatan anak dalam
perwujudan hak anak, eksploitasi anak secara ekonomi dan seksual komersial,
kekerasan dan penyalahgunaan seksual, penelataran dan bentuk pelanggaran hak
anak lainnya baik kuantitas maupun kualitasnya semakin meningkat. Walaupun
berbagai upaya telah dilakukan akan tetapi pemenuhan terhadap hak anak-anak di
Indonesia masih belum terpenuhi secara optimal.
Apa Yang Telah Dicapai ?
"Pada era reformasi sekarang ini tentunya kita tidak bisa melapor yang baik-baik saja
kepada PBB, kita harus berangkat dari realitas. Saat ini ada 7 juta usia pendidikan
dasar yang terancam putus sekolah. Ada sekian juta yang mengalami gizi buruk.
Kenyataan ini ditambah dengan kerusuhan yang berakibat paling buruk bukan pada
laki-laki justru pada anak-anak dan perempuan. Kita juga telah mencoba menerapkan
KHA akan tetapi tidak semuanya berhasil. Itu adalah kenyataan yang dapat kita
laporkan kepada masyarakat", ujar Prof.Dr.Yaumil Agoes Achir salah satu pemerhati
anak.
Diakui oleh Yaumil,"Karena kondisi ekonomi dan sosial yang memburuk dan kemudian
banyak anak-anak yang secara ekonomi terlibat di luar rumah entah sebagai pelacur
anak, pekerja anak, ataupun anak jalanan, itu bukanlah salah mereka. Itu salah kita
kenapa pemerintah tidak dapat memberikan kesejahteraan untuk mereka".
Menanggapi hal tersebut di atas Prof.Dr.Lily I Rilantono mantan anggota Komisi Hak
Anak PBB yang juga Ketua Umum YKAI Pusat mengatakan, "Dalam memberikan JPS
dan program lain, kita harus menyadari masalah yang sangat mendasar yaitu
berubahnya nilai-nilai. Hal ini kalau tidak ditangani secara simultan akan lebih terpuruk.
Disamping itu penanganan seharusnya juga lebih mendasar dan bersifat holistik. Ambil
misalnya anak jermal, di Medan yang kalau diteliti mereka katanya sudah diintervensi
program di darat oleh pemerintah daerah dan LSM. Akan tetapi mereka ternyata
kembali ke jermal. Dan itu memang memerlukan pengembangan holistik dimana dia
berasal. Mereka bukan berasal dari pantai akan tetapi dari daerah yang tidak ada
pembangunan sosial.
Jadi pendekatan kita memang perlu secara cepat akan tetapi jangan lupa dengan
holistik approach. Jadi kalau masyarakat desa itu tidak dibangun lebih dulu, begitu pula
dengan nilai-nilainya, apakah nilai yang sudah merosot ataukah nilai yang harus
dibangun sehingga ini merupakan solusi yang holistik untuk masa depan. Dan itu harus
bareng-bareng, karena itu masyarakat harus berjuang asal dapat dukungan dari
pemerintah.
Isu Anak Tak Menarik
Disamping implementasi yang masih amat kurang, ternyata kecenderungan yang
tampak, masalah anak saat ini masih dilihat bukan karena masalah yang krusial
signifikan, melainkan hanya karena "sedang musim dibicarakan". Hal ini dibenarkan
Prof.Dr.Emil Salim, "Anak kadang memang tak masuk agenda politik dan partai politik
serta tak pernah dibicarakan di DPR, karena tak bisa dijadikan tenaga pendukung
politik.
Isu anak dinilai tak menarik (non-marketable) dan sering tidak diacuhkan karena
dianggap "biayanya melebihi manfaat kegunaannya".
Adanya Komisi Nasional Perlindungan Anak sebetulnya diharapkan banyak pihak untuk
membantu menjembatani loby kepada pihak lain akan pentingnya masalah anak. Akan
tetapi menurut Maria Hartiningsih jurnalis harian Kompas yang sudah lebih dari 10
tahun malang melintang mengungkap masalah anak di Indonesia, "Sekarang kita sudah
punya Komisi Nasional Perlindungan Anak, tapi efektifitas dan kerjanya saya ragukan.
Apa yang sudah dilakukan mereka nggak jelas ? Saya masih melihat komisi ini masih
mencari bentuk dan belum tahu apa yang seharusnya dikerjakan".
Pengakuan serupa dilontarkan oleh DR.Irwanto, mantan Ketua I Komisi Nasional
Perlindungan. "Pada era reformasi sekarang ini tentunya kita tidak bisa melapor yang
baik-baik saja kepada PBB, kita harus berangkat dari realitas. Saat ini ada 7 juta usia
pendidikan dasar yang terancam putus sekolah. Ada sekian juta yang mengalami gizi
buruk. Kenyataan ini ditambah dengan kerusuhan yang berakibat paling buruk bukan
pada laki-laki justru pada anak-anak dan perempuan. Kita juga telah mencoba
menerapkan KHA akan tetapi tidak semuanya berhasil. Itu adalah kenyataan yang
dapat kita laporkan kepada masyarakat", ujar Prof.Dr.Yaumil Agoes Achir, salah satu
pemerhati anak.
Ditambahkannya guna mendapatkan hak dalam mengenyam pendidikan maka
pemerintah mencoba menyalurkannya dengan Jaring Pengaman Sosial yang pada
waktu krisis ekonomi dan sosial itu menurun angka partisipasi kasarnya dimana
sebelum krisis.
Bagaimana KHA di Indonesia ?
Secara hukum dan perundangan, sebetulnya telah banyak yang dilakukan oleh negara
pihak (state party) yaitu pemerintah Republik Indonesia seperti telah diundangkannya
UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang memuat berbagai ketentuan
tentang masalah anak di Indonesia. Selanjutnya juga telah ditetapkan Keputusan
Presiden No. 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional yang semenjak tahun tersebut
telah diperingati. Kemudian berdasarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1989 telah
ditetapkan tentang Pembinaan Kesejahteraan Anak sebagai landasan hukum
terciptanya Dasawarsa Anak Indonesia 1 tahun 1986 - 1996 dan Dasawarsa Anak II
tahun 1996 - 2006.
Untuk melaksanakan koordinasi peningkatan kualitas anak telah ditetapkan Instruksi
Presiden No. 3 tahun 1997. Disamping itu juga telah diundangkan Undang-Undang No.
3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang No. 20 tahun 1999 tentang
Pengesahan Konvensi ILO 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja
(15 tahun) dan Undang-Undang No.1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO
182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak.
Yang cukup mendasar mungkin adalah Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998
tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (RAN-HAM) telah
menempatkan masalah anak dalam program aksi pemajuan dan peningkatan hak anak.
Kemudian UU No. 33 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah
menempatkan hak anak sebagai bagian integral Hak Asasi Manusia. Hal ini dapat
terlihat dari 106 pasal yang mengatur Hak Asasi Manusia terdapat 15 pasal yang
mengatur tentang hak anak yakni pasal 52 sampai dengan pasal 66.
Namun sayangnya, langkah-langkah tersebut belum diikuti oleh kesadaran aparatur
negara maupun masyarakat, bahwa anak secara hukum mempunyai hak fundamental
untuk mendapatkan perlindungan yang memadai. Ada kesan bahwa langkah secara
hukum masih sebatas slogan politik dan lips service. Kesan ini terlihat bahwa kebijakan
politik pembangunan Indonesia belum sensitif pada hak anak sehingga pelanggaran
demi pelanggaran terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Selain itu komitmen
Indonesia dalam mengambil langkah hukum juga belum diikuti harmonisasi dengan
peraturan yang lainnya. Sehingga sering tumpang tindih dan bahkan bertolak belakang.
Ini dibenarkan oleh DR.Irwanto yang juga Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan
YKAI. "Kultur birokrasi yang amat kental masih terlihat pada kebijakan pemerintah yang
tidak pro-anak. Oleh para birokrat persoalan anak dianggap "ringan" dan "a-politis". Ini
tampak dari pembahasan untuk pembuatan kebijakan atau peraturan yang waktunya
hanya dalam bilangan minggu. Bandingkan dengan pembahasan masalah lain, apalagi
yang berkaitan dengan masalah yang dianggap paling penting, yakni ekonomi dan
politik.
Pemantauan Pelaksanaan KHA Di Indonesia
Salah satu kewajiban negara yang sudah meratifikasi KHA adalah membuat laporan
kepada PBB. Untuk Indonesia laporan implementasi Konvensi Hak Anak kepada
Komite Hak Anak PBB baru dilakukan pertama pada tahun 1992. "Seharusnya laporan
pemerintah Indonesia yang kedua harus sudah masuk tahun 1997", ujar Mohammad
Farid, koordinator pembuatan laporan yang juga anggota NGO Group for the
Yogyakarta. Konon laporan kita dikembalikan tahun 1997 karena tidak mencantumkan
kasus Santa Cruz, Dili tahun 1991, sehingga dikembalikan oleh PBB.
Perlunya Komisi Nasional Hak Anak
Belajar dari pengalaman Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, maka pemerintah sudah
selayaknya membuat Komisi Nasional Hak Anak sebagai salah satu wujud dari
implementasi KHA. Komisi ini dipilih dan ditetapkan oleh DPR dan mewakili berbagai
kelompok masyarakat dan disahkan dengan Undang-Undang. Dengan adanya komisi
ini maka pelaporan KHA baik secara periodik maupun alternative report akan menjadi
sesuatu hal yang melekat dalam mekanisme tugas komisi, disamping tentunya ada
fungsi-fungsi advokasi yang mencakup semua hak dasar dalam KHA yaitu Hak untuk
kelangsungan hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk memperoleh perlindungan
dan hak untuk berpartisipasi.
Disisi lain, guna mengkoordinasikan kegiatan penanganan masalah anak-anak di
Indonesia secara mandiri baik oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat maka
sudah selayaknya juga dibentuk Badan Khusus yang menangani kebijaksanaan
nasional masalah anak yang terdiri dari lintas sektoral dan beranggotakan LSM, media,
masyarakat. Badan ini diharapkan dapat langsung bertanggung jawab kepada
Presiden. Di negara tetangga kita Malaysia, badan sejenis dinamakan Majelis
Kebijakan Kanak-Kanak yang langsung bertanggung jawab kepada Perdana Menteri
dan mengkoordinasikan penanganan masalah anak.
------Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)
Indonesia
Indonesia merupakan penandatanganan Konvensi Hak Anak (KHA) dan World Summit
for Children (WSC). Ratifikasi mencakup komitmen negara peserta dalam mewujudkan
hak semua anak untuk dilindungi dari eksploitasi dan perlakuan salah serta menangani
akar masalah yang mengarah pada situasi tersebut.
Diilhami oleh Tahun Internasional Anak 1979, maka pemerintah menetapkan UU No. 4
tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang mengatur permasalahan tentang anak di
Indonesia. Akan tetapi, sampai saat ini UU ini belum mempunyai PP (Peraturan
Pemerintah) sehingga belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Disamping usia
anak yang dimaksud di dalam UU adalah 21 tahun, ini juga berbeda dengan apa yang
tercantum dalam KHA. Definisi anak sendiri memang masih menimbulkan banyak
masalah di Indonesia. UU perkawinan No. 1 tahun 1974 menentukan usia kawin untuk
perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, UU tenaga kerja menentukan 14 tahun.
UU tentang Kesejahteraan Anak sudah lama berlaku tetapi dinamika permasalahan
sebetulnya menuntut berbagai garapan serius. Pada masa lalu kesejahteraan anak
hanyalah kegiatan represif seperti anak cacat, yatim piatu, dan sebagainya. Namun
sebenarnya populasi seluruh anak menuntut perhatian juga agar anak Indonesia
menjadi manusia yang mandiri, agar tidak cacat dalam bentuk lain. Sehingga kebijakan
pemerintah dengan Keppres No. 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional yang
ditetapkan tiap tanggal 23 Juli, sebetulnya merupakan suatu momentum. Akan tetapi
pada akhirnya, kegiatan ini hanya menjelma menjadi sebuah seremonial belaka, karena
ketidaksiapan pemerintah dan aparatnya dalam menyikapi masalah anak di Indonesia
Adanya Pokja Pembinaan Anak yang diprakarsai oleh Kantor Menko Kesra sejak tahun
1986 sebenarnya cukup membuat lega, karena hampir semua departemen terkait, LSM
terlibat di dalamnya. Akan tetapi harapan tinggal harapan. Adanya Inpres No. 3 tahun
1997 tentang Pengembangan Kualitas Anak juga merupakan upaya yang bagus,
walaupun kurang berjalan semestinya.
Upaya yang dikembangkan oleh FK-PPAI (Forum Komunikasi Pembinaan dan
Pengembangan Anak Indonesia) dalam memprakarsai Dasa Warsa Anak Indonesia
terbentuknya Pola Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia untuk 25 tahun,
panduan Idola Citra Anak Indonesia yang salah satunya berisi Asta Citra Anak
Indonesia yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah dalam GBHN 1993. Sehingga
sebetulnya secara serius pemerintah baru tahun 1993 dalam menangani masalah anak.
Tindak lanjut kebijakan tersebut, maka pemerintah membuat Program Pembinaan Anak
dan Remaja di pedesaan dengan dana sebesar Rp. 500.000 yang diolah bersama
antara Bappenas.
FK-PPAI dan Kantor Menko Kesra, diharapkan dapat mendorong terwujudnya gerakan
terpadu tentang pembinaan anak sampai ke desa-desa. Namun karena ketidakpastian
aparat pemerintah di desa-desa dalam membuat programnya, sehingga kurang dapat
mengena pada sasarannya. Upaya UNICEF lewat program KHPPIA (Kelangsungan
Hidup Pembinaan dan Pengembangan Ibu dan Anak) bekerjasama dengan Ditjen
Bangda Depdagri di beberapa propinsi cukup memberi nuansa, walaupun pada
akhirnya aparat pemerintah lagi-lagi hanya menganggapnya sebagai suatu proyek
belaka.
Di bidang hukum, persetujuan terhadap UU Pengadilan Anak No. 3 tahun 1996 adalah
suatu upaya lain dalam menyikapi masalah anak dalam konflik dengan hukum.
Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak yang disponsori oleh Depsos dan UNICEF
merupakan nuansa baru dalam pelaksanaannya. Namun leading sektor pemerintah
yang kurang tepat, sehingga dalam pelaksanaannya di daerah kurang mendapat
dukungan yang semestinya. Akan tetapi adanya lembaga ini tetap bisa dianggap
sebagai nilai tambah karena ada wadah yang mengurusi masalah anak dalam kondisi
sulit termasuk anak jalanan, pekerja anak, dsb.
Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 pada bulan Desember 1997 adalah suatu langkah maju
bagi keseriusan pemerintah akan tetapi menjadi masalah di lain pihak, karena akan
meningkatkan jumlah pekerja anak di Indonesia. Usia maksimum anak bekerja yang
menurut konvensi tersebut adalah 15 tahun sedangkan pemerintah menetapkan 14
tahun sesuai dengan Permenaker No. 1 tahun 1987 maupun UU Tenaga Kerja No.
25/1997. Ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah pekerja anak terlihat
dari jumlah pengawas tenaga kerja yang berjumlah 1.128 pengawas dan 760 pengawas
lapangan yang harus memantau 162.000 perusahaan. Bahkan tidak dapat dipungkiri
bahwa kadang terjadi kerjasama diantara mereka dalam mempekerjakan pekerja anak.
Sehingga sanksi hukum dan denda Rp. 100 juta kadang dianggap angin lalu oleh
pengusaha.
Di bidang pendidikan adanya UU Pendidikan No. 2 tahun 1989 yang diilhami Konsep
Education for All yang dicetuskan oleh UNESCO yang kemudian ditindaklanjuti dengan
program WAJAR 9 tahun (Wajib Belajar 9 tahun) guna mengurangi angka buta huruf,
aksara dan angka. Akan tetapi UU ini belum mengatur masalah anak yang berada
dalam kondisi sulit, hal ini hanya diatur dalam PP No. 2 tahun 1998 tentang UKA
(Usaha Kesejahteraan Anak) bagi anak yang mempunyai masalah. Namun hal ini tidak
mencakup anak jalanan, pekerja anak dsb.
Penanganan masalah anak jalanan secara serius baru dimulai pemerintah sejak tahun
1996 dengan adanya program UNDP - Depsos dan ADB. Depsos dengan membuat
pilot proyek Rumah Singgah di 12 propinsi. Permasalahan tetap timbul karena ternyata
aparat Depsos di daerah masih kurang memahami program ini, disamping tidak dapat
dipungkiri ada beberapa lembaga yang memang kurang mampu menangani masalah
tersebut. Pada akhirnya program inipun terasa hanya sebagai suatu proyek belaka.
Pada akhirnya semua itu memang kembali pada kita (baik pemerintah, masyarakat,
LSM, orangtua, anak, swasta, media massa) untuk membina SDM sejak usia dini agar
terjadi suatu lost generation. Kalaulah di negara tetangga kita Malaysia ada Majelis
Kebijakan Kanak-Kanak yang mengurusi masalah anak, mengapa Indonesia tidak
membuat Badan Khusus tentang anak ini sehingga kebijaksanaan penanganan dan
koordinasi diantara pemerintah sendiri dapat berjalan baik, disamping tentunya
pelibatan LSM dalam penanganan masalah anak juga lebih serius, tidak hanya sekedar
melegitimasi suatu proyek pemerintah saja.
Perjalanan Panjang Konvensi Hak Anak Di Indonesia
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan bagian integral dari instrumen international
tentang hak asasi manusia. Perumusan naskah KHA dimulai sejak tahun 1979 dan
dalam waktu 10 tahun kemudian tepatnya, pada tanggal 20 November 1989, naskah
akhir konvensi dapat diterima dan disetujui dengan suara bulat oleh Majelis Umum
PBB.
Sesuai ketentuan pasal 49 ayat 1 KHA diberlakukan sebagai hukum HAM internasional
pada 2 September 1990. Indonesia meratifikasi KHA melalui Keputusan Presiden No.
36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990 sehingga tahun ini kita sudah lebih dari 10 tahun
meratifikasi KHA. Sampai sejauhmana implementasinya ? Berikut adalah tulisan
Bambang Budi Setiawan - Humas Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang
telah menemui beberapa nara sumber.
Implikasi dari sebuah ratifikasi adalah kewajiban untuk melaksanakan seluruh
kesepakatan yang tercantum didalamnya. Dengan meratifikasi KHA Indonesia secara
teknis telah dengan sukarela mengikatkan diri pada ketentuan yang terkandung dalam
KHA. Hampir semua negara di dunia telah meratifikasi KHA, sampai tahun 1999 tinggal
dua negara di dunia yaitu Somalia dan Amerika Serikat.
Sesuai dengan pasal 49 ayat 2 KHA dinyatakan berlaku di Indonesia sejak tanggal 5
Oktober 1990. Sesuai dengan ketentuan di dalam konvensi negara peserta wajib
mengimplementasikan berbagai ketentuan yang terkandung di dalam konvensi.
Akan tetapi meskipun pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA, fakta menunjukkan
bahwa pelanggaran demi pelanggaran terhadap anak di Indonesia terus terjadi, bahkan
telah mencapai pada bentuk-bentuk pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi oleh akal
sehat manusia (the most intolerable forms). Lebih-lebih pada masa sulit sekarang ini,
dimana bangsa Indonesia sedang dilanda krisis dalam berbagai bidang permasalahan
anak kian meningkat. Selain itu, perkembangan masyarakat yang makin kompleks telah
memberikan pengaruh buruk terhadap pengasuhan dan perawatan anak dalam
perwujudan hak anak, eksploitasi anak secara ekonomi dan seksual komersial,
kekerasan dan penyalahgunaan seksual, penelataran dan bentuk pelanggaran hak
anak lainnya baik kuantitas maupun kualitasnya semakin meningkat. Walaupun
berbagai upaya telah dilakukan akan tetapi pemenuhan terhadap hak anak-anak di
Indonesia masih belum terpenuhi secara optimal.
Apa Yang Telah Dicapai ?
"Pada era reformasi sekarang ini tentunya kita tidak bisa melapor yang baik-baik saja
kepada PBB, kita harus berangkat dari realitas. Saat ini ada 7 juta usia pendidikan
dasar yang terancam putus sekolah. Ada sekian juta yang mengalami gizi buruk.
Kenyataan ini ditambah dengan kerusuhan yang berakibat paling buruk bukan pada
laki-laki justru pada anak-anak dan perempuan. Kita juga telah mencoba menerapkan
KHA akan tetapi tidak semuanya berhasil. Itu adalah kenyataan yang dapat kita
laporkan kepada masyarakat", ujar Prof.Dr.Yaumil Agoes Achir salah satu pemerhati
anak.
Diakui oleh Yaumil,"Karena kondisi ekonomi dan sosial yang memburuk dan kemudian
banyak anak-anak yang secara ekonomi terlibat di luar rumah entah sebagai pelacur
anak, pekerja anak, ataupun anak jalanan, itu bukanlah salah mereka. Itu salah kita
kenapa pemerintah tidak dapat memberikan kesejahteraan untuk mereka".
Menanggapi hal tersebut di atas Prof.Dr.Lily I Rilantono mantan anggota Komisi Hak
Anak PBB yang juga Ketua Umum YKAI Pusat mengatakan, "Dalam memberikan JPS
dan program lain, kita harus menyadari masalah yang sangat mendasar yaitu
berubahnya nilai-nilai. Hal ini kalau tidak ditangani secara simultan akan lebih terpuruk.
Disamping itu penanganan seharusnya juga lebih mendasar dan bersifat holistik. Ambil
misalnya anak jermal, di Medan yang kalau diteliti mereka katanya sudah diintervensi
program di darat oleh pemerintah daerah dan LSM. Akan tetapi mereka ternyata
kembali ke jermal. Dan itu memang memerlukan pengembangan holistik dimana dia
berasal. Mereka bukan berasal dari pantai akan tetapi dari daerah yang tidak ada
pembangunan sosial.
Jadi pendekatan kita memang perlu secara cepat akan tetapi jangan lupa dengan
holistik approach. Jadi kalau masyarakat desa itu tidak dibangun lebih dulu, begitu pula
dengan nilai-nilainya, apakah nilai yang sudah merosot ataukah nilai yang harus
dibangun sehingga ini merupakan solusi yang holistik untuk masa depan. Dan itu harus
bareng-bareng, karena itu masyarakat harus berjuang asal dapat dukungan dari
pemerintah.
Isu Anak Tak Menarik
Disamping implementasi yang masih amat kurang, ternyata kecenderungan yang
tampak, masalah anak saat ini masih dilihat bukan karena masalah yang krusial
signifikan, melainkan hanya karena "sedang musim dibicarakan". Hal ini dibenarkan
Prof.Dr.Emil Salim, "Anak kadang memang tak masuk agenda politik dan partai politik
serta tak pernah dibicarakan di DPR, karena tak bisa dijadikan tenaga pendukung
politik.
Isu anak dinilai tak menarik (non-marketable) dan sering tidak diacuhkan karena
dianggap "biayanya melebihi manfaat kegunaannya".
Adanya Komisi Nasional Perlindungan Anak sebetulnya diharapkan banyak pihak untuk
membantu menjembatani loby kepada pihak lain akan pentingnya masalah anak. Akan
tetapi menurut Maria Hartiningsih jurnalis harian Kompas yang sudah lebih dari 10
tahun malang melintang mengungkap masalah anak di Indonesia, "Sekarang kita sudah
punya Komisi Nasional Perlindungan Anak, tapi efektifitas dan kerjanya saya ragukan.
Apa yang sudah dilakukan mereka nggak jelas ? Saya masih melihat komisi ini masih
mencari bentuk dan belum tahu apa yang seharusnya dikerjakan".
Pengakuan serupa dilontarkan oleh DR.Irwanto, mantan Ketua I Komisi Nasional
Perlindungan. "Pada era reformasi sekarang ini tentunya kita tidak bisa melapor yang
baik-baik saja kepada PBB, kita harus berangkat dari realitas. Saat ini ada 7 juta usia
pendidikan dasar yang terancam putus sekolah. Ada sekian juta yang mengalami gizi
buruk. Kenyataan ini ditambah dengan kerusuhan yang berakibat paling buruk bukan
pada laki-laki justru pada anak-anak dan perempuan. Kita juga telah mencoba
menerapkan KHA akan tetapi tidak semuanya berhasil. Itu adalah kenyataan yang
dapat kita laporkan kepada masyarakat", ujar Prof.Dr.Yaumil Agoes Achir, salah satu
pemerhati anak.
Ditambahkannya guna mendapatkan hak dalam mengenyam pendidikan maka
pemerintah mencoba menyalurkannya dengan Jaring Pengaman Sosial yang pada
waktu krisis ekonomi dan sosial itu menurun angka partisipasi kasarnya dimana
sebelum krisis.
Bagaimana KHA di Indonesia ?
Secara hukum dan perundangan, sebetulnya telah banyak yang dilakukan oleh negara
pihak (state party) yaitu pemerintah Republik Indonesia seperti telah diundangkannya
UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang memuat berbagai ketentuan
tentang masalah anak di Indonesia. Selanjutnya juga telah ditetapkan Keputusan
Presiden No. 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional yang semenjak tahun tersebut
telah diperingati. Kemudian berdasarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1989 telah
ditetapkan tentang Pembinaan Kesejahteraan Anak sebagai landasan hukum
terciptanya Dasawarsa Anak Indonesia 1 tahun 1986 - 1996 dan Dasawarsa Anak II
tahun 1996 - 2006.
Untuk melaksanakan koordinasi peningkatan kualitas anak telah ditetapkan Instruksi
Presiden No. 3 tahun 1997. Disamping itu juga telah diundangkan Undang-Undang No.
3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang No. 20 tahun 1999 tentang
Pengesahan Konvensi ILO 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja
(15 tahun) dan Undang-Undang No.1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO
182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak.
Yang cukup mendasar mungkin adalah Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998
tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (RAN-HAM) telah
menempatkan masalah anak dalam program aksi pemajuan dan peningkatan hak anak.
Kemudian UU No. 33 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga telah
menempatkan hak anak sebagai bagian integral Hak Asasi Manusia. Hal ini dapat
terlihat dari 106 pasal yang mengatur Hak Asasi Manusia terdapat 15 pasal yang
mengatur tentang hak anak yakni pasal 52 sampai dengan pasal 66.
Namun sayangnya, langkah-langkah tersebut belum diikuti oleh kesadaran aparatur
negara maupun masyarakat, bahwa anak secara hukum mempunyai hak fundamental
untuk mendapatkan perlindungan yang memadai. Ada kesan bahwa langkah secara
hukum masih sebatas slogan politik dan lips service. Kesan ini terlihat bahwa kebijakan
politik pembangunan Indonesia belum sensitif pada hak anak sehingga pelanggaran
demi pelanggaran terhadap anak di Indonesia terus meningkat. Selain itu komitmen
Indonesia dalam mengambil langkah hukum juga belum diikuti harmonisasi dengan
peraturan yang lainnya. Sehingga sering tumpang tindih dan bahkan bertolak belakang.
Ini dibenarkan oleh DR.Irwanto yang juga Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan
YKAI. "Kultur birokrasi yang amat kental masih terlihat pada kebijakan pemerintah yang
tidak pro-anak. Oleh para birokrat persoalan anak dianggap "ringan" dan "a-politis". Ini
tampak dari pembahasan untuk pembuatan kebijakan atau peraturan yang waktunya
hanya dalam bilangan minggu. Bandingkan dengan pembahasan masalah lain, apalagi
yang berkaitan dengan masalah yang dianggap paling penting, yakni ekonomi dan
politik.
Pemantauan Pelaksanaan KHA Di Indonesia
Salah satu kewajiban negara yang sudah meratifikasi KHA adalah membuat laporan
kepada PBB. Untuk Indonesia laporan implementasi Konvensi Hak Anak kepada
Komite Hak Anak PBB baru dilakukan pertama pada tahun 1992. "Seharusnya laporan
pemerintah Indonesia yang kedua harus sudah masuk tahun 1997", ujar Mohammad
Farid, koordinator pembuatan laporan yang juga anggota NGO Group for the
Yogyakarta. Konon laporan kita dikembalikan tahun 1997 karena tidak mencantumkan
kasus Santa Cruz, Dili tahun 1991, sehingga dikembalikan oleh PBB.
Perlunya Komisi Nasional Hak Anak
Belajar dari pengalaman Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, maka pemerintah sudah
selayaknya membuat Komisi Nasional Hak Anak sebagai salah satu wujud dari
implementasi KHA. Komisi ini dipilih dan ditetapkan oleh DPR dan mewakili berbagai
kelompok masyarakat dan disahkan dengan Undang-Undang. Dengan adanya komisi
ini maka pelaporan KHA baik secara periodik maupun alternative report akan menjadi
sesuatu hal yang melekat dalam mekanisme tugas komisi, disamping tentunya ada
fungsi-fungsi advokasi yang mencakup semua hak dasar dalam KHA yaitu Hak untuk
kelangsungan hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk memperoleh perlindungan
dan hak untuk berpartisipasi.
Disisi lain, guna mengkoordinasikan kegiatan penanganan masalah anak-anak di
Indonesia secara mandiri baik oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat maka
sudah selayaknya juga dibentuk Badan Khusus yang menangani kebijaksanaan
nasional masalah anak yang terdiri dari lintas sektoral dan beranggotakan LSM, media,
masyarakat. Badan ini diharapkan dapat langsung bertanggung jawab kepada
Presiden. Di negara tetangga kita Malaysia, badan sejenis dinamakan Majelis
Kebijakan Kanak-Kanak yang langsung bertanggung jawab kepada Perdana Menteri
dan mengkoordinasikan penanganan masalah anak.
------Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)