Dimanakah Letak Pancasila Sebagai Paradi
Dimanakah Letak Pancasila Sebagai
Paradigma Pembangunan Bangsa Dalam
Bidang Pendidikan?
OPINI | 13 March 2013 | 20:06
Dibaca: 1100
Komentar: 0
0
Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik serta negara yang
mendasarkan segala sesuatunya atas dasar hukum atau dengan kata lain Indonesia merupakan
negara hukum. Sebagai bangsa yang besar, tentunya harus memiliki idiologi yang kuat untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan bangsa, misalnya pembangunan bidang pendidikan,
politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, agama dan sebagainya. Pancasila merupakan idiologi
bangsa Indonesia yang dijadikan sumber rujukan pembangunan bangsa dalam berbagai aspek
bidang pembangunan yang telah disebutan diatas.
Pancasila tidak lahir secara instan tanpa adanya pemikiran yang pelik, akan tetapi merupakan
hasil pemikiran secara kefilsafatan yaitu suatu pemikiran yang mendalam dari para pendiri
bangsa Indonesia. Oleh sebab itu Pancasila merupakan suatu pemikiran yang memuat pandangan
dasar dan cita-cita mengenai sejarah manusia, masyarakat dan negara Indonesia yang bersumber
dari kebudayaan Indonesia.
Pancasila merupakan falsafah negara yang memuat nilai-nila non-operasinal, sehingga tanggung
jawab setiap generasi untuk merealisasikan nilai-nilai dasar ini dalam berbagai bidang
kehidupan. Lalu, dimanakah letak Pancasila sebagai paradigma pembangunan bangsa dalam
bidang pendidikan? Menurut Notonagoro dalam buku Pendidikan Pancasila (Rukiyati, dkk)
menyebutkan bahwasannya pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamis, di dalam dan di
luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Melihat definisi tersebut tentunya pendidikan
memegang peranan sentral dalam rangka pembangunan manusia yang utuh dalam arti manusia
yang bermartabat. Oleh sebab itu pendidikan nasional harus dipersatukan atas dasar pancasila.
Sehingga semestinya masalah-masalah dalam pendidikan nasional harus diselesaikan
berdasarkan ajaran Pancasila yang menjadi dasar tunggal bagi penyelesaian masalah pendidikan
nasional. Untuk itu Pancasila harus dijadikan paradigma atau acuan untuk pengembangan
pendidikan, dimana untuk kedepannya pendidikan nasional dikembangkan dengan mengacu pada
nilai-nilai luhur pancasila. Hal ini tidak menutup kemungkinan kita mengambil sistem
pendidikan dari luar, namun tetap harus disesuaikan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam Pancasila.
Nilai - Nilai Pancasila Sebagai Ideologi Negara dan Dasar Negara
1. Nilai-nilai Pancasila sebagai Ideologi
Nilai-nilai Pancasila yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan keadilan. Ini merupakan nilai dasar bagi
kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Nilai-nilai Pancasila
tergolong nilai kerokhanian yang di dalamnya terkandung nilai-nilai lainnya secara
lengkap dan harmonis, baik nilai material, vital, kebenaran (kenyataan), estetis,
estis maupun religius.
Nilai-nilai Pancasila bersifat objektif dan subjektif, artinya hakikat nilai-nilai
Pancasila bersifat universal (berlaku di manapun), sehingga dapat diterapkan di
negara lain.
Nilai-nilai Pancasila bersifat objektif, maksudnya:
1) Rumusan dari Pancasila itu sendiri memiliki makna yang terdalam, menunjukan
adanya sifat umum Universal dan abstrak.
2) Inti dari nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa
Indonesia
3) Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia.
Sedangkan nilai-nilai Pancasila bersifat subjektif, bahwa keberadaan nilai-nilai
Pancasila itu terlekat pada bangsa Indonesia sendiri, karena:
1) Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia
2) Niali-nilai Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia
3) Nilai-nilai Pancasila terkandung nilai kerokhanian yang sesuai dengan hati nurani
bangsa Indonesia
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai bagi bangsa Indonesia dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, maksudnya sumber acuan
dalam bertingkah laku dan bertindak dalam menentukan dan menyusun tata aturan
hidup berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai yang digali, tumbuh dan berkembang dari
budaya bangsa Indonesia, sehingga menjadi ideologi yang tidak diciptakan oleh
bangsa lain.
Menjadikan Pancasila sebagai ideology juga merupakan sumber nilai, sehingga
Pancasila merupakan asas kerokhanian bagi tertib hokum Indonesia, dan meliputi
suasana kebatinan (Geistlichenhintergrund) dari UUD 1945 serta mewujudkan citacita hokum bagi hokum dasar negara.
Pancasila mengharuskan UUD mengandung isi yanag mewajibkan pemerintah untuk
memelihara serta menjaga budi pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat
yang luhur.
2. Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara menjadikan setiap tingkah laku para
penyelenggara negara dan pelaksana pemerintahan harus selalu berpedoman pada
Pancasila. Pancasila sebagai sumber nilai menunjukkan identitas bangsa Indonesia
yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, hal ini menandakan bahwa
dengan Pancasilamenolak segala penindasan dan penjajahan.
Pancasila juga sebagai paradigm bangunan, artinya sebagai kerangka pikir, sumber
nilai, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan
perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu.
Pancasila mengarahkan pembangunan agar selalu dilaksanakan demi kesejahteraan
umat manusia dengan rasa nasionalisme, kebesaran bangsa dan keluhuran bangsa.
Pembangunan di segala bidang selalu mendasar pada nilai-nilai Pancasila.
Di bidang politik misalnya, Pancasila menjadi landasan bagi pembangunan politik,
dan dalam prakteknya menghindarkan sikap tak bermoral dan tak bermartabat.
Di bidang Hukum demikian halnya. Pancasila sebagai paradigm pembangunan
hukum ditunjukkan dalam setiap perumusan peraturan perundang-undangan
nasional yang harus selalu memperhatikan dan menampung aspirasi rakyat. Nilainilai Pancasila menjadi landasan dalam pembentukan hukum yang aspiratif. Dalam
pembaharuan hukum, Pancasila sebagai cita-cita hukum yang berkedudukan
sebagai peraturan yang paling mendasar (staatsfundamentalnorm) di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai acuan dalam etika penegakan
hukum yang berkeadilan yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa
tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan
dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada
keadilan.
Di bidang Sosial Budaya, Pancasila merupakan sumber normative dalam
pengembangan aspek sosial budaya yang mendasarkan pada nilai-nilai
kemanusiaan, ketuhanan, dan keberadaban.
Pancasila sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa: Analisis
tentang Peran Pancasila sebagai Modal Sosial Berbangsa dan
Bernegara
Oleh: SUSANTO
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIP Universitas Diponegoro - Semarang
Peran Pancasila sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa
Pancasila merupakan dasar pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Pancasila pun harus diwariskan kepada generasi muda bangsa Indonesia
berikutnya melalui pendidikan. Setiap bangsa memiliki kepedulian kepada
pewarisan budaya luhur bangsanya. Oleh karena itu, perlu ada upaya pewarisan
budaya penting tersebut melalui pendidikan Pancasila yang dilaksanakan dalam
pendidikan formal (sekolah). Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan
mengikat secara yuridis. Seluruh tatanan hidup bernegara yang bertentangan
dengan Pancasila sebagai kaidah yuridis-konstitusional pada dasarnya tidak berlaku
dan harus dicabut. Dengan demikian penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah
negara berarti bahwa moral bangsa telah menjadi moral negara (Dipoyudo: 1984).
Hal ini berarti bahwa moral Pancasila telah menjadi sumber tertib negara dan
sumber tertib hukumnya, serta jiwa seluruh kegiatan negara dalam segala bidang
kehidupan (A. T. Soegito, dkk, 2009: 6).
Pelaksanaan Pancasila pada masa reformasi cenderung meredup dan tidak adanya
istilah penggunaan Pancasila sebagai propoganda praktik penyelenggaraan
pemerintahan. Hal ini terjadi lebih dikarenakan oleh adanya globalisasi yang
melanda Indonesia dewasa ini. Masyarakat terbius akan kenikmatan hedonisme
yang dibawa oleh paham baru yang masuk sehingga lupa dari mana, di mana, dan
untuk siapa sebenarnya mereka hidup. Seakan-akan mereka melupakan bangsanya
sendiri yang dibangun dengan semangat juang yang gigih dan tanpa memandang
perbedaan. Dalam perkembangan masyarakat yang secara kultur, masyarakat lebih
cenderung menggunakan Pancasila sebagai dasar pembentukan dan penggunakan
setiap kegiatan yang mereka lakukan. Peran Pancasila dalam hal ini sebenarnya
adalah untuk menciptakan masyarakat “kerakyatan”, artinya masyarakat Indonesia
sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang
sama.
Dalam
menggunakan
hak-haknya
selalu
memperhatikan
dan
mempertimbangkan kepentingan negara dan masyarakat. Karena mempunyai
kedudukan, hak serta kewajiban harus seimbang dan tidak memihak ataupun
memaksakan kehendak kepada orang lain. Dalam pokok-pokok kerakyatan,
masyarakat dituntut untuk saling menghargai dan hidup bersama dalam lingkungan
yang saling membaur dan bisa membentuk sebuah kepercayaan (trust) sebagai
modal untuk membangun bangsa yang berjiwa besar dan bermoral sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila.
Pancasila disebut sebagai identitas bangsa dimana Pancasila mampu memberikan
satu pertanda atau ciri khas yang melekat dalam tubuh masyarakat. Hal ini yang
mendorong bagaimana statement masyarakat mengenai nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila tersebut. Sebagai contoh nilai keadilan yang bermakna sangat luas
dan tidak memihak terhadap satu golongan ataupun individu tertentu. Unsur
pembentukan Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Sejarah Indonesia
membuktikan bahwa nilai luhur bangsa yang tercipta merupakan sebuah kekayaan
yang dimiliki dan tidak bisa tertandingi. Di Indonesia tidak pernah putus-putusnya
orang percaya kepada Tuhan, hal tersebut terbukti dengan adanya tempat
peribadatan yang dianggap suci, kitap suci dari berbagai ajaran agamanya, upacara
keagamaan, pendidikan keagamaan, dan lain-lain merupakan salah satu wujud nilai
luhur dari Pancasila khususnya sila ke-1.
Bangsa Indonesia yang dikenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut terhadap
sesama mampu memberikan sumbangan terhadap pelaksanaan Pancasila, hal ini
terbukti dengan adanya pondok-pondok atau padepokan yang dibangun
mencerminkan kebersamaan dan sifat manusia yang beradab. Pandangan hidup
masyarakat yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah
suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup
berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi
maupun dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Dalam praktik kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara
mendasar (grounded, dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi
lainnya, karena di dalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value
system). Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy)
dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-
rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang
diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang
bersangkutan (Solly Lubis: 2003). Masyarakat Indonesia sekarang ini tidak hanya
mendambakan adanya penegakan peraturan hukum, akan tetapi masalah yang
muncuk ke permukaan adalah apakah masih ada keadilan dalam penegakan hukum
tersebut. Hukum berdiri diatas ideologi Pancasila yang berperan sebagai pengatur
dan pondasi norma masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada masa Orde Baru menginginkan pemerintahan yang ditandai dengan keinginan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penanaman
nilai-nilai Pancasila pada masa Orde Baru dilakukan secara indoktrinatif dan
birokratis. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan
masyakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap
ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan
keteladanan serta tindakan yang nyata sehingga Pancasila yang berisi nilai-nilai
luhur bangsa dan merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur, bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai
makna apapun. Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD 45 yang dilakukan
melalui metode indoktrinasi dan unilateral, yang tidak memungkinkan terjadinya
perbedaan pendapat, semakin mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap
nilai-nilai Pancasila. Cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi
generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah
dikemas dalam pendidikan yang disebut penataran P4 atau PMP ( Pendidikan Moral
Pancasila), atau nama sejenisnya, ternyata justru mematikan hati nurani generasi
muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama
disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan
keteladanan yang benar. Mereka yang setiap hari berpidato dengan selalu
mengucapkan kata-kata keramat: Pancasila dan UUD 45, tetapi dalam
kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka
katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para
pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena
masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi
bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Selain itu Pancasila digunakan
sebagai asas tunggal bago organisasi masyarakat maupun organisasi politik
(Djohermansyah Djohan: 2007).
Karena Orde Baru tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah
pemerintahan sebelumnya, akhirnya kekuasaan otoritarian Orde Baru pada akhir
1998-an runtuh oleh kekuatan masyarakat. Hal itu memberikan peluang bagi
bangsa Indonesia untuk membenahi dirinya, terutama bagaimana belajar lagi dari
sejarah agar Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara benar-benar diwujudkan
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari (Djohermansyah Djohan: 2007).
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru menandai adanya Pemerintahan Reformasi yang
diharapkan mampu memberikan koreksi dan perubahan terhadap penyimpangan
dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan
bernegara yang dilakukan pada masa Orde Baru. Namun dalam praktik pada masa
reformasi yang terjadi adalah tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan
fundamentalism. Hal inilah yang menandai bahwa pada masa itulah masyarakat
Indonesia sedang mengalami krisis identitas bangsa.
Pancasila sebagai Wujud Modal Sosial Bangsa
Modal sosial (social capital) bisa dikatakan sebagai kelompok individu atau grup
yang digunakan untuk merealisasi kepentingan manusia. Kalau mau didefinisikan
sebagai satu kata maka trust (kepercayaan) adalah kata yang bisa
mempresentasikan kondisi tersebut (Konioko dan Woller, 1999). Sedangkan James
Coleman sebagaimana yang dikutip oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Trust:
The Social and Creation of Prosperity (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai
kemampuan masyarakat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama di dalam
berbagai kelompok organisasi.
Trust (kepercayaan) sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini
dikarenakan kepercayaan bersifat fundamental. Bahkan dapat dikatakan kualitas
relasi sosial terletak pada sejauh mana nilai fundamental itu mendapat perhatian.
Ketika sebuah nilai kepercayaan itu hilang maka yang timbul adalah perpecahan
yang sifatnya mendarah daging. Sangat jelas bahwa kepercayaan menyentuh sendi
kehidupan yang paling mendasar dari sisi kemanusiaan baik sebagai makhluk
individu maupun sebagai makhluk sosial.
Sebagai bahan analisis yang menjadikan kepercayaan itu merupakan sebuah faktor
utama dari pelaksanaan Pancasila, sebut saja 4 (empat) pilar kehidupan berbangsa.
Antara lain Pancasila, UUD NRI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dan Bhineka Tunggal Ika. Empat pilar tersebut ibaratkan sebuah kepercayaan untuk
mewujudkan kehidupan berbangsa yang rukun dan tanpa adanya sebuah
keganjalan seperti konflik dan sebagainya. Namun sebuah fenomena dan
kelangsungan dari perjalanan reformasi memberikan ruang bagi para masyarakat
yang tidak mengerti akan hal tersebut, sehingga disini rawan terjadinya konflik di
dalam masyarakat itu sendiri.
Konflik yang sering terjadi di Indonesia merupakan konflik yang sebagian besar
disebabkan karena krisis moral dan tidak bisa mengamalkan nilai-nilai yang
terkandung dalam ideologi Pancasila. Sebagai konflik yang terjadi di Cengkareng,
Bekasi, Jawa Barat yaitu bentrokan antara Front Pembela Islam (FPI) dengan Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP). Pihak HKBP yang terdapat dalam kasus penyegelan
rumah milik jemaat HKBP yang disalahgunakan menjadi gereja. HKBP merasa tidak
terima atas keputusan pemerintah yang kurang demokratis yang akhirnya terjadi
bentrokan antara jemaat HKBP dengan warga Muslim Bekasi. Sekilas kasus ini
merupakan bentuk ketidakharmonisan antar umat beragama, hal tersebut
merupakan cermin lunturnya nilai-nilai dalam Pancasila. Sebagai dasar negara
Pancasila mempunyai keunggulan dalam mengatur kehidupan masyarakat
Indonesia, yang mengandung makna saling menghormati, menghargai, menjunjung
tinggi kebersamaan, dan sebagainya justru kenyataannya adalah sebaliknya. Paham
fundamentalisme yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia
yang menyebabkan semua itu. Kerusuhan tersebut menyebabkan berbagai fasilitas
umum menjadi rusak dan identitas bangsa sebagai negara yang menjunjung
persatuan dan kesatuan sedikit demi sedikit sudah mulai luntur.
Pada 12 Februari 2010 lalu, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) mengeluarkan
data, yang menurut mereka dalam tahun 2007 ada 100 buah gereja yang diganggu
atau dipaksa untuk ditutup. Tahun 2008, ada 40 buah gereja yang mendapat
gangguan. Tahun 2009 sampai Januari 2010, ada 19 buah gereja yang diganggu
atau dibakar di Bekasi, Depok, Parung, Purwakarta, Cianjur, Tangerang, Jakarta,
Temanggung dan Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas (Sumatera Utara).
Menurut data FKKJ tersebut, selama masa pemerintahan Presiden Soekarno (1945 1966) hanya ada 2 buah gereja yang dibakar. Pada era pemerintahan Presiden
Soeharto (1966-1998) ada 456 gereja yang dirusak atau dibakar. Pada periode
1965-1974, ada 46 buah gereja yang dirusak atau dibakar. Sedangkan dari tahun
1975 atau masa setelah diberlakukannya SKB 2 Menteri tahun 1969 hingga saat
lengsernya Soeharto tahun 1998, angka gereja yang dirusak atau dibakar sebanyak
410 buah. Sebenarnya kasus yang terdapat di Bekasi tersebut bukan merupakan
kasus kebebasan beribadat dan beragama ataupun yang berbau SARA, namun
merupakan kasus tempat beribadat dan persoalan perijinan mendirikan bangunan.
Hilangnya kepercayaan (trust) sebagai wujud modal sosial dalam kehidupan
masyarakat merupakan awal munculnya beberapa akibat adanya paham
fundamentalis dan kapitalis di Indonesia. Adanya kebutuhan yang mendesak dan
ketidakterbatasan masyarakat juga ikut serta dalam mewujudkan sebuah konflik
tersebut terjadi.
Krisis Identitas dalam Kehidupan Berbangsa
Era globalisasi yang sedang melanda masyarakat dunia, cenderung melebur semua
identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru. Masyarakat Indonesia ditantang
untuk makin memperkokoh jatidirinya. Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada
problem krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. Hal ini
didukung dengan fakta sering dijumpai masyarakat Indonesia yang dari segi
perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas mereka sebagai masyarakat
Indonesia. Padahal bangsa ini mempunyai identitas yang jelas, yang berbeda
dengan kapitalis dan fundamentalis, yaitu Pancasila. Krisis identitas yang mulai
tergerus itulah yang menyebabkan banyaknya perbedaan diantara golongan dan
berdampak timbulnya konflik ataupun permusuhan.
“Bangsa Indonesia krisis identitas. Pluralisme yang menjadi alasan berdirinya NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia), terancam,” ucap Gus Dur, selanjutnya beliau
menjelaskan sejarah Indonesia sejak abad ke-18 telah menunjukkan kultur bangsa
dan semangat yang berkobar, antara lain adanya konflik yang berbau SARA dan lain
sebagainya. Meskipun demikian bangsa Indonesia pada tataran selanjutnya masih
banyak terjadi konflik yang berbau SARA, seperti konflik yang terjadi antara Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dengan Ahmadiyah.
Konflik tersebut menjadi konflik yang struktural, artinya konflik tersebut berlanjut
dan dengan adanya tindakan nyata dari kedua belah pihak untuk saling
memenangkan argumen mereka. Menurut MUI, pemerintah kurang tegas dalam
menangani masalah tersebut sehingga menimbulkan masalah baru yang bersifat
struktural dan berkelanjutan.
Faktor yang mendorong krisis identitas dalam mewujudkan kehidupan berbangsa
dan bernegara terdiri dari dua faktor yang mendasar, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang terjadi karena adanya
kegiatan-kegiatan didalam sub sistem tersebut, yaitu ketika masa Orde Baru
Pancasila dijadikan sebagai supported regime dan pada masa sekarang menjadi
favourable dalam kekuasaan. Selain itu lengsernya kekuasaan Soeharto yang
menandakan jatuhnya Orde Baru sebagai bentuk kekuasaan yang otoritarian.
Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor pendorong krisis identitas dari luar
substansi, salah satunya yaitu setelah kehancuran Perang Dingin (1947-1991)
antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat sehingga memperkuat pertahanan
keamanan di Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat disebut sebagai polisi
dunia. Namun pengakuat sebagai polisi dunia pada negara Amerika Serikat tidak
bisa dilakukan, hal tersebut dikarenakan jika Amerika Serikat menjadi polisi dunia
maka Amerika Serikat berhak dan berkewajiban untuk melindungi semua negara di
dunia ini. Adanya faktor-faktor tersebut Indonesia tidak lepas dari dampaknya yaitu
adanya krisis identitas bangsa, dimana paham-paham yang muncul ditengahtengah kehidupan masyarakat Indonesia. Ketika itu, banyak paham yang masuk
seperti globalisasi dan fundamentalis.
Korupsi sebagai Wujud Krisis Identitas Bangsa
Adanya krisis identitas bangsa yang terjadi selama beberapa dekade menyebabkan
mentalitas bangsa menjadi tergerus dan menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Ketika krisis kepercayaan itu
terjadi, pada masa kini masyarakat hanya menjadikan Pancasila sebagai “buah
bibir” saja tanpa bisa menghayati dan mengamalkannya secara utuh. Munculnya
paham fundamentalis dan kapitalis sebagai kenyataan akan hal tersebut. Sebagai
contoh adalah kasus korupsi ditengah-tengah masyarakat. Kecenderungan tindak
korupsi tersebut hanya memihak dan menguntungkan satu pihak saja, sedangkan
masyarakat sebagai korban dari korupsi tersebut.
Adanya tindak pidana korupsi disebabkan karena lemahnya moral individu, di
samping itu, lemahnya penegakan hukum dalam menindaklanjuti tindak pidana
korupsi yang semakin merajalela. Perspektif ke depan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan UUD 1945 yang memiliki dasar
negara Pancasila, sehingga diperlukan kajian tentang konsepsi sistem hukum di
Indonesia. Hal ini dengan tegas dinyatakan pada Pembukaan UUD 1945 alenia IV
dan pada Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa Pancasila sebagai
sumber segala sumber hukum, kedudukan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi
yang dalam tata hukum global disebut ground norm atau staat fundamental norm
mengingat sesuai kenyataan sejarah (legal history) selama 60 tahun tidak goyah
sebagai ideologi dan dasar negara hukum di Indonesia.
Berdasarkan tesis Hans Kelsen, kedudukan Pancasila dalam UUD 1945 berada pada
tingkat tertinggi (Ilham Bisri: 2005). Hal ini berarti bahwa Pancasila harus diletakkan
sebagai kaidah dasar yang mempunyai arti sebagai sumber dari segala sumber
hukum serta menjadi dasar bagi berlakunya UUD 1945. Penyimpangan dan
implementasi dari sistem hukum yang berlapis seperti dijelaskan pada gambar di
atas adalah ketidakkonsistenan dalam interaksi dan penerapan dari pasal tersebut
yang dapat menjadi akar masalah korupsi di Indonesia.
Perbuatan korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan internasional karena telah
ditetapkan melalui Konvensi Internasional (Atmasasmita, 2004: 40). Praktik
penegakan hukum dan peradilan yang timpang dengan rasa keadilan masyarakat
sebagai wujud terkikisnya nilai Pancasila yang berperan sebagai modal sosial
bangsa, contoh vonis bebas korupsi atau SP3 (Surat Perintah Pemberhentian
Penyidikan) lebih banyak di tingkat penyidikan dibandingkan kasus-kasus pencurian
ayam bahkan sering kali korban penganiayaan yang dihakimi oleh masa. Kondisi
seperti ini sangat bertentangan sengan rasa keadilan sebagai salah satu nilai
ideologi yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan
peran Pancasila sebagai modal sosial.
Dalam kurun waktu 5 tahun (2004-2008) Dirtipikor dan WCC, Bareskrim Polri
mampu menangani kasus tindak pidana korupsi sebanyak 1.824 kasus, dan mampu
diselesaikan sekitar 39,6% dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp
9.986.129.025.963,66. Penyebab tindak korupsi tersebut jika di lihat dari aspek
sosial politik sangat berkaitan dengan masalah kekuasaan yang diperoleh dengan
aktivitas kegiatan dalam kepentingan politik. Ini menunjukkan adanya nilai ideologi
Pancasila sudah tidak dihiraukan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sebagai modal sosial, tentunya Pancasila memberikan nilai tersendiri, artinya
Pancasila mempunyai nilai dan peran implementasinya dalam penyelenggaraan
negara. Ketika kepercayaan (trust) masyarakat mulai meredam terhadap nilai dan
makna Pancasila, maka disitulah titik awal dari munculnya krisis identitas yang
menyebabkan seseorang melakukan segala cara untuk mendapatkan dan
mempertahanlan kekuasaan dengan tidak menghiraukan lagi nilai-nilai ideologi
yang terkandung dalam Pancasila itu. Selain krisis identitas yang bersifat moralitas
dan kekuasaan, muncul kasus fundamentalis agama dalam hal tindak pidana
korupsi. Faktor pendidikan dikalangan keagamaan menjadi sangat penting dan
strategis dalam membangun moral, mental, dan karakter bangsa yang peka dan
anti korupsi.
Fundamentalisme Agama sebagai akibat Lemahnya Pengamalan Nilai
Ideologi Pancasila
Agama merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya agama manusia
tidak bisa berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan
mana yang salah. Indonesia merupakan negara yang meyakini keberadaan agama
sebagai hal tersebut, ada 6 keyakinan yang terdapat di Indonesia dan masingmasing keyakinan mempunyai dasar ataupun pedoman sesuai dengan
keyakinannya. Pancasila khususnya Sila ke-1 menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, sudah jelas dan tidak diragukan lagi, setiap manusia pasti mempunyai Tuhan
dan percaya bahwa Tuhan itu ada. Keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat
yang berbeda kepercayaan merupakan wujud nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dalam bentuk keharmonisan, kebersamaan, ketentraman, dan
sebagainya. Perbedaan keyakinan yang terdapat di dalam masyarakat itu
merupakan multikulturalisme bangsa Indonesia. Namun, tidak jarang hal tersebut
justru mendorong berbagai keributan/kerusuhan. Substansi kerusuhan tersebut
sangat sempit dan kecil, tapi bisa juga menjadi kerusuhan berskala besar dan sulit
untuk menemukan jalan tengahnya, dan bahkan bisa membawa nama masingmasing kelompok tersebut dalam ranah konflik yang bersifat SARA (Suku, Agama,
Ras, dan Antar Golongan).
Krisis agama yang bersifat kerusuhan tersebut tidak hanya terdapat pada
masyarakat yang berbeda keyakinan, bahkan tak jarang dari mereka yang
mempunyaikeyakinan dan tujuan yang sama justru malah mengalami konflik
internal. Hal tersebut dikarenakan rendahnya jiwa nasionalisme bangsa, yaitu jiwa
yang mengikat kita pada satu rasa dan satu tujuan. Modal sosial terbentuk karena
trust (kepercayaan) masyarakat terhadap apa yang mereka dengar dan lihat.
Pancasila berperan penting dalam segala hal, begitu pula dalam keagamaan.
Fundamentalisme seperti yang telah dikemukakan oleh Karen Armstrong,
merupakan salah satu fenomena yang sangat mengejutkan pada abad ke-20.
Begitu mengerikan ekspresi dari fundamentalisme ini, peristiwa paling
menghebohkan dunia yang terjadi pada Semtember 2001 silam yaitu penghancuran
gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, kejadian tersebut
dihubungkan dengan fundamentalisme. Sementara di Indonesia terjadi peristiwa
bom bunuh diri di berbagai tempat seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kedutaan
Besar Australia di Jakarta, dan lain sebagainya. Motif dari peristiwa itu tidak jauh
dari fundamentalisme agama yaitu menghalalkan segala cara demi mencapai
tujuan dengan dilandasi fanatisme agama yang berlebihan.
Fenomena yang disebut sebagai fundamentalisme agama tersebut memang tidak
dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kita.
Kegagalan pemerintah mengatasi kemiskinan dan masalah-masalah ekonomi selalu
membuat masyarakat tergoda untuk melakukan kekerasan dalam menyalurkan
aspirasinya. Di samping itu, ketidaktegasan aparat juga turut memberi andil bagi
kelangsungan hidup organisasi yang identik dengan kekerasan dalam
mengemukakan pendapatnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa selama tidak ada
perubahan dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat dan selama aparat
tidak tegas dalam menindak kejadian-kejadian seperti itu, hal-hal itu tetap akan
terus berlangsung.
Perang Salib (1069-1291) merupakan perang antar umat Kristen Eropa dengan
umat Islam yang memperebutkan Yerussalem/Palestina. Perang Salib berlangsung
hinggga tujuh kali (Perang Salib VII tahun 1270-1291) status Yerusalem/Palestina
tidak berubah, yaitu tetap dikuasai umat Islam. Bahkan kedudukan Barat/Kristen di
Syira dan Palestina hilang. Keuntungan dari peperangan itu, Barat menjadi
mengenal dan memanfaatkan kebudayaan umat Islam yang sudah lebih tinggi
daripada yang mereka miliki saati itu. Selain itu, hubungan dagang Asia-Eropa
menjadi lebuh hidup dan berkembang.
Sumber:
1. Atmasasmitha. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek
Internasional. Bandung: Maju Mundur.
2. Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia.
3. Bisri, Ilham. 2008. Sistem Hukum Prudensia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
4. Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
5. Dhont, Frank, dkk. 2010. Pancasila's Contemporary Appeal: Re-legitimizing
Indonesia's Founding Ethos. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
6. Douglas, Stephen. 1974. Student Activism in Indonesia. Boston: The Litle,
Brown and Company.
7. Fukuyama, Francis. 1995. Trust, The Social Virtues and The Creation of
Prosperity. New York: Free Press.
8. Ir. Soekarno. 2006. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno (Penyunting:
Floriberta Aning). Yogyakarta: Media Pressindo.
9. Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
10.Nurdjana, Igm. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi:
"Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum". Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
11.Putnam, Robert. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradisions in Modern
Italy. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.
12.Rahma, Srijanti A dan Purwanto S. K. 2008. Etika Berwarga Negara:
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Salemba Empat.
13.S, Ubed Abdilah. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang: Indonesiatera.
14.Soegito, A. T, dkk. 2009. Pendidikan
Pengembangan MKU-MKDK Unnes.
Pancasila.
Semarang:
Pusat
15.Suwarno, P. J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
1. Sejarah Lahirnya Pancasila
Pancasila telah lahir bersamaan dengan adanya atau lahirnya Bangsa
Indonesia. Sejak
dulu bangsa kita telah mencerminkan penjiwaan atas sila-sila
Pancasila, sebelum tumbuhnya kerajaan besar di bumi Nusantara, seperti kerajaan
Sriwijaya di Sumatra pada abad VII-XII dan kerajaan Majapahit di Jawa Timur dalam
abad XII-XVI, seperti adanya kepercayaan manusia terhadap kekuatan gaib, baik
berupa pemujaan terhadap roh-roh halus yang bercirikan animisme dan dinamisme,
maupun kehidupan manusia Indonesia yang penuh toleransi dan suasana damai,
tolong-menolong/gotong
royong,
bermusyawarah
bagi
kehidupan yang aman, tenteram sejahtera, dan sebagainya.
terwujudnya
kondisi
Istilah Pancasila telah dikenal sejak dulu, yaitu digunakan sebagai acuan
moral/etika dalam kehidupan banga Indonesia sehari-hari. Misal, dari karya-karya
pujuangga besar Indonesia semasa berdirinya kerajaan MAjapahiy yang dilukiskan
dalam tulisan Empu Prapanca tentang Negara Kertagama, dan Empu Tantular dalam
bukunya Sutasoma. Dalam buku Sutasoma terdapat istilah Pancasila Krama
mempunyai arti.
Lima Dasar TIngkah Laku atau Perintah Kesusilaan yang lima, yang meliputi :
1. Tidak boleh melakukan kekerasan (ahimsa)
2. Tidak boleh mencuri (asteya)
3. Tidak boleh berjiwa dengki (indriya nigraha)
4. Tidak boleh berbohong (amrsawada)
5. Tidak boleh mabuk minum-minuman keras (dama)
Selain itu dalam Kitab Sutasoma terdapat semboyan BhinnekaTunggal Ika
Tan
Hana
Dharma
Mangrua
yang
mengandung
arti
meskipun
agama
itu
kelihatannya berbeda bentuk atau sifatnya namun pada hakikatnya satu juga, yang
kemudian menjadi motto lambing Negara kita, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Hal
tersebut mencerminkan keluhuran budaya bangsa Indonesia pada saat itu, yang
dipersepsikan dari adanya toleransi kehidupan umat beragama antara pemeluk
agama Budha dan agama Hindu.
Secara harfiah Pancasila terdiri dari dua kata, yaitu Pnca yang berarti Lima,
dan Sila
berarti Dasar. Jadi Pancasila mempunyai makna Lima Dasar. Istilah “sila”
diartikan juga sebagai aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau
bangsa; kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun);akhlak dan
moral.
Setelah tenggelam dalam proses penjajahan yang berkepanjangan, istilah
Pancasila
diangkat lagi oleh Bung Karno dalam uraian pidatonya tanggal 1 Juni
1945 di muka siding Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Zyumbi Tyoosakai sebagai bahan dalam
merumuskan Dasar Negara Indonesia Merdeka, sehingga sering timbul anggapan
bahwa tanggal 1 Juni dipandang sebagai lahirnya Pancasila.
2. Pengertian Bangsa
Menurut Ernest Renan, seorang guru besar dan pujangga yang termasyur
dari
Perancis, dalam pidatonya yang diucapkan di Universitas Sorbonne (Paris)
tanggal 11 Maret 1882 berjudul “Qu’est ce qu’une nation” (apakah bangsa itu),
menurutnya bangsa itu adalah soal perasaan, soal kehendak (tekad) semata-mata
untuk tetap hidup bersama (le desir de vivre ensemble) yang timbul antara
segolongan besar manusia yang nasibnya sama dalam masa yang lampau,
terutama dalam penderitaan- penderitaan bersama. Jadi bangsa ialah segerombolan
manusia yang mau bersatu, dan merasa dirinya bersatu. Sedangkan Otto Bauer
mengartikanbangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan
nasib.
Menurut Bung Karno, bangsa adalah manusia yang menyatu dengan tanah airnya.
Menurut Mohammad Hatta, bangsa ditentukan oleh keinsyafan sebagai suatu
persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsafan yang terbit karena percaya
atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsafan ini bertambah besar oleh karena sama
seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena
jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada
riwayat bersama yang tertanam didalam hati dan otak.
3. Pengertian Pandangan Hidup
Pandangan hidup berkenaan dengan sikap manusia didalam memandang diri
dan
lingkungannya. Sikap manusia ini dibentuk oleh adanya kekuatan yang
bersemayam pada diri manusia, yakni iman, cipta, rasa dan karsa, yang
membentuk pandnagan hidup perorangan yang kemudian beradaptasi dengan
pandangan
hidup
perorangan
lainnya
menjadi
pandngan
hidup
kelompok.
Hubungan antara kehidupan kelompok yang satu dengan kelompok lainnya
melahirkan suatu pandangan hidup bangsa.
Menurut Subandi Al Marsudi penulis buku Pancasila dan UUD’45 dalam
Paradigma
Reformasi, Pandangan Hidup dapat didefinisikan sebagai segenap
prinsip dasar yang dipegang teguh oelh suatu bangsa guna memecahkan berbagai
persoalan kehidupan yang dihadapinya.
• Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Pancasila disebut sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, karena nilai-nilai
yang
terkandung dala sila-silanya tersebut dari waktu ke waktu dan secara tetap
telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Bangsa Indonesia.
• Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, digunakan sebagai petunjuk hidup
sehari- hari, dan digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan didalam segala
bidang. Tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kehidupan, baik norma
agama, norma kesusilaan, norma sopan santun maupun norma hukum yang
berlaku.
• Pandangan hidup bangsa dapat digunakan untuk mencapai hidup yang kokoh,
guna mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapai, karena
tanpa memiliki pandangan hidup, suatu bangsa akan terus berombang-ambing
dalam menghadapi persoalan-persoalan di dalam masyarakatnya sendiri maupun
persoalan- persoalan besar umat manusia dlam pergaulan masyrakat bangsabangsa di dunia. Dengan pandangan hidup yang jelas sesuatu bangsa akan
memiliki pegangan dan pedoman dalam memecahkan masalah-masalah politik,
ekonomi, social dan budaya yang timbul dalam gerak kehidupan masyarakat yang
makin maju, serta didalam membangun dirinya.
• Definisi atau batasan tentang pandangan hidup suatu bangsa ini pernah kita
dapati
dalam buku pengantar pemahaman atas latar belakang Ketetapan No. II/MPR/1978
tentang Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila atauEkaprasetia
Pancakarsa.
• Berdasarkan hasil Sidang Istimewa MPR-RI bulan November 1998 Ketetapan No.
II/MPR/1978 tersebut di atas telah dinyatakan dicabut dengan Ketetapan MPR-RI No.
XVIII/MPR/1998.
• Dari segi kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi, yakni
sebagai cita-cita dan Pandangan Hidup Bangsa dan Negara RI, sedangkan dilihat
dari segi fungsinya Pancasila mempunyai fungsi utama sebagai Dasar Negara RI.
• Istilah-istilah lain sebagai sinonim dari pengertian pandangan hidup dikenal
dengan
sebutan: way of life, Weltanschauung, wereldbeschouwing, wereld en levens
beschouwing, pandangan dunia, pegangan hidup, pedoman hidup dan petunjuk
hidup.
B. Pancasila Sebagai Dasar Negara RI
Pancasila dalam pengertian ini sering disebut sebagai dasar Falsafah Negara,
Philosofische Gronddslag dari Negara, Ideologi Negara, Staatsidee.
Pancasila sebagai Dasar Negara RI berarti Pancasila dijadikan dasar dalam
mengatur penyelenggaraan pemerintahan Negara. Rumusan Pancasila sebagai
dasar Negara RI tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 aline
keempat.
Pancasila sebagai tempat menuangkan aturan-aturan dasar/pokok yang
tertulis yang kemudian dijabarkan lagi kedalam berbagai Ketetapan MPR, dan
aturan
yang
tidak
tertulis
terpelihara
dalam
konvensi
atau
kebiasaan
ketatanegaraan. Pancasila punyai sifat kengikat, keharusan, imperative artinya
norma-norma
hukum
yang
tidak
boleh
dikesampingkan
namun
dilanggar,
sedangkan pelanggaran atasnya dapat berakibat hukum dikenakannya suatu sanksi
Meskipun sekarang dalam suasana reformasi dan demokrasi dimana ornag
bebas mengeluarkan pendapatnya dan menyampaikan pikiran dan pandanganpandanganya, namun tidak boleh memberikan penafsiran terhadap Pancasila
menurut anggapannya sendiri-sendiri.
Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa
Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda satu sama lain. Melalui kepribadian
inilah setiap pribadi seseorang memiliki ciri khas masing-masing. Begitu pula
dengan sebuah negara. Setiap negara juga memiliki kepribadian masing-masing.
Melalui kepribadian tersebut sebuah negara dikenal luas. Kepribadian tersebut tidak
akan lepas dari sejarah negara tersebut.
Indonesia sendiri memiliki sebuah kepribadian yang menjadi ciri khas dari Indonesia
itu sendiri yaitu Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila justru telah dibicarakan
bahkan sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya melalui pembacaan
proklamasi oleh Ir. Soekarno dan Hatta. Membutuhkan proses pembahasan yang
panjang sebelum akhirnya memperoleh keputusan final seperti teks Pancasila yang
kita kenal saat ini.
Bangsa Indonesia dan juga dasar negara yaitu Pancasila, terbentuk berdasarkan
perbedaan. Pancasila sendiri hadir sebagai penengah adanya perbedaan yang ada.
Dan sebagai bentuk kepribadian bangsa Pancasila membuat Indonesia hadir dengan
ciri khas yang membedakannya dengan negara lain.
Ciri khas tersebut dapat dicermati dari setiap sila dari Pancasila itu sendiri, yaitu :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, sejak zaman dahulu bangsa Indonesia bisa
dikatakan sebagai bangsa yang sudah mengenal konsep ‘Tuhan’ yang
dilakukan dengan berbagai cara oleh setiap lapisan masyarakat. Misalnya
dengan menyembah batu besar, pohon besar, meletakkan sesajian pada
sungai dan lainnya. Hingga akhirnya masuklah agama Hindu, Budha, Kristen,
Katholik, Islam, Konghucu dan berbagai kepercayaan lainnya. Adanya
kepercayaan tersebut membuat masing-masing individu memperoleh
ketenangan dan berusaha melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi
larangan Tuhan sesuai petunjuk agama maupun kepercayaan masing-masing.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila kedua ini bisa dilihat dari
masyarakat Indonesia yang terkenal dengan keramahannya. Bahkan sifat
ramah ini dikenal dan diakui oleh bangsa lain. Sifat ramah merupakan bagian
dari sikap kemanusiaan dimana masyarakat Indonesia ingin hidup
berdampingan dengan siapapun secara damai. Maka tidak heran jika di
Indonesia bisa melihat gereja dan masjid berdampingan begitu pula dengan
pura maupun tempat ibadah lainnya. Di berbagai kampung meskipun
memiliki agama atau kepercayaan berbeda namun ketika tetangga sakit
tetap menjenguk begitu pula saat ada keluarga tetangga meninggal juga ikut
berbelasungkawa.
3. Persatuan Indonesia, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya
bahwasanya Indonesia lahir dari perbedaan. Perbedaan pendapat, suku,
agama, bahasa, budaya dan lainnya. Tradisi persatuan telah mengakar di
Indonesia bakan sejak zaman kerajaan. Adanya jiwa persatuan mendorong
adanya kekuatan untuk melawan penjajah. Dan tentu tidak akan lupa dengan
peristiwa ‘Sumpah Pemuda’ pada 28 Oktober 1928. Dimana saat itu pemuda
pemudi dari berbagai suku, pulau berkumpul dan mengikrarkan sumpah yang
antara lain mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu
tanah air Indonesia serta menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Selain itu yang juga perlu diingat bahwasanya Indonesia juga memiliki
semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu
jua.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, jika dipahami maka sila keempat ini
sebenarnya mencerminkan pengertian demokrasi namun demokrasi yang
ada di Indonesia tidak menganut sistem demokrasi negara barat. Sistem
demokrasi yang dianut Indonesia adalah sistem demokrasi Pancasila yang
mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang ada. Dasar sistem ini bisa dilihat di kampung-kampung
atau dusun yang selalu memusyawarahkan berbagai persoalan yang ada di
kampung misalnya penentuan jadwal ronda, kerja bakti, ajakan menjenguk
tetangga sakit, membantu pembangunan rumah tetangga, pemilihan ketua
RT, kepala dusun, kepala kampung, menyelesaikan konflik antar tetangga
dan lainnya.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sila terakhir ini jika
diresapi merupakan perwujudan apabila dari sila-sila sebelumnya yaitu sila
pertama, kedua, ketiga dan keempat benar-benar dipahami dan diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Dimana akhirnya benar-benar terwujud rasa
adil lahir maupun batin.
Sederhananya adalah apabila setiap individu menerapkan kelima sila tersebut yaitu
sila pertama dengan benar-benar menerapkan anjuran Tuhan dan menjauhi
larangan Tuhan maka tidak akan ada korupsi, pembunuhan dan kejahatan lainnya.
Begitu pula dengan sila kedua maka tidak akan ada perpecahan maupun
perselisihan antar sesamanya dan lebih mengedepankan toleransi dan saling
membantu. Dan hal ini diperkuat dengan adanya jiwa yang ada di sila ketiga.
Sementara perwujudan sila keempat apabila dilaksanakan para pemimpin maupun
pemerintahan maka akan benar-benar melahirkan sebuah kebijakan yang tidak
mewakili golongan apapun namun akhirnya benar-benar bisa memujudkan sila
kelima, keadilan sosial lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila bisa dikatakan sebagai identitas bangsa Indonesia dan apabila setiap
generasi memahami tidak hanya sekedar mengetahui kelima sila tersebut maka
berbagai dampak yang kurang baik yang muncul dari budaya luar sebagai efek
globalisasi bisa dibentengi. Budaya barat tidak selalu memiliki efek buruk. Karena
pada dasarnya budaya tidak akan berhenti namun akan terus berkembang maka
mencegah budaya luar ke Indonesia tentu tidak bisa dilakukan.
Namun bisa tetap diterima dengan tetap tidak meninggalkan identitas bangsa.
Mungkin bisa dipahami sebagai bagian dari proses akulturasi. Misalnya dalam musik
dangdut merupakan seni budaya asli Indonesia sedangkan musik jazz merupakan
seni budaya dari luar dan ketika digabungkan bisa menjadi seni budaya baru yang
mengagumkan dan bisa diterima.
Kemudian budaya teknologi seperti telepon seluler, PC, dan lainnya. Seperti yang
kita ketahui budaya teknologi merupakan budaya yang cepat dalam
perkembangannya. Telepon seluler yang mempercepat proses komunikasi dulunya
hanya bisa digunakan untuk telepon kemudian dalam perkembangannya bisa
digunakan untuk saling mengirim pesan, bisa digunakan untuk mendengakan
musik, mengambil foto, bahkan terkoneksi dengan internet. Begitu pula dengan PC
yang selalu berkembang dari monitor tabung hingga LCD. Dan tentu saja teknologi
internet yang juga terus berkembang. Tentu adanya budaya tersebut tidak bisa
dicegah namun bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal yang bermanfaat.
Misalnya dengan PC tersebut membuat tulisan mengenai budaya bangsa,
menyampaikan pemikiran kita tentang berbagai hal yang bermanfaat bagi orang
lain. Kemudian melalui internet tulisan tersebut bisa dipublikasikan sehingga lebih
banyak orang yang bisa membacanya. Apabila jiwa atau kepribadian bangsa yaitu
Pancasila benar-benar dihayati dan dipahami maka hal-hal yang ditulis atau
dipublikasikan misalnya video juga bukan hal-hal yang negatif seperti pornografi,
ajakan menggunakan narkoba, dan lainnya.
Begitu pula perkembangan internet dengan hadirnya jejaring sosial seperti twitter,
facebook kemudian blog maupun berbagai situs informasi. Kita tidak mencegah
hadirnya teknologi tersebut. Namun setidak tetap menggunakan teknologi tersebut
dengan bijak tanpa meninggalkan identitas bangsa. Misalnya menyampaikan hal
baik, share gambar yang baik dan lainnya.
Bahkan gaya hidup seperti makan di restoran mewah atau cepat saji bisa juga ditiru
bagaimana restoran cepat saji tersebut dalam melayani. Akhirnya bukan tidak
mungkin akan hadir angkringan, warung makan Padang, warteg tetapi dengan
pelayanan ramah, pelayan yang mampu berbahasa Inggris, dan lainnya. Akhirnya
tetap mempertahan budaya yaitu masakan khas Indonesia seperti nasi Padang, nasi
kucing, wedang jahe, dan lainnya dengan ciri khas Indonesia yaitu keramahan
didukung budaya luar yaitu penguasaan bahasa asing misalnya bahasa Inggris.
Indonesia lahir dari banyaknya perbedaan. Setiap perbedaan tidak harus selalu
disamakan. Namun bisa dicari solusi meskipun berbeda bisa berjalan berdampingan
menuju tujuan yang sama yaitu kedamaian yang melingkupi berbagai aspek. Begitu
pula berbagai budaya yang lahir dari komunitas global yang melibatkan berbagi
negara juga tidak bisa dicegah. Seperti yang disampaikan Umar Khayam bahwa
kebudayaan tidak bisa dilihat sebagai produk yang selesai (Umar Khayam dalam
Slamet, 1983 : 4). Artinya akan terus adanya perkembangan kebudayaan yang tidak
hanya terdiri dari seni namun juga teknologi, bahasa, fashion maupun hasil
pemikiran lainnya.
Akhirnya Pancasila tidak hanya sekedar diketahui isinya namun juga dipahami apa
maksudnya. Bahkan hal ini perlu diberikan sejak dini. Tidak hanya sekedar
pembacaan teks Pancasila setiap upacara bendera hari Senin. Namun dalam
pelaksanaan kehidupan sehari-hari perlu benar-benar diberikan agar benar-benar
bisa dipahami dan akhirnya benar-benar diterapkan. Karena inilah Pancasila yang
benar-benar membedakan Indonesia dengan negara lain.
Pancasila adalah dasar negara. Semua tentu pernah mendengar bahwa Pancasila
adalah landasan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kita semua sudah tahu, semua sudah paham, tapi sudahkah kita semua
”mematenkan” Pancasila? ”Mematenkan” bukan untuk sekadar diketahui dan
didengarkan, melainkan untuk terutama sungguh-sungguh dijadikan sebagai roh,
sebagai nyawa bangsa dan negara dalam melaksanakan berbagai kegiatan
berkehidupan.
Pada 68 tahun lalu, tepatnya pada 1 Juni 1945, bapak proklamator kita dengan
lantang bersuara, ”Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan lima bilangannya. Namanya bukan
Pancadarma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli
bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan di atas kelima
dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”
Kekal dan abadi. Betapa Soekarno dan para pendiri bangsa menginginkan Indonesia
beserta Pancasila menjadi dua hal relevan yang takkan lekang dimakan zaman.
Pancasila dalam cita-cita mereka adalah butiranbutiran asas yang akan membawa
Indonesia menjadi negara besar dan berbudi luhur. Seharusnya ini tak berhenti
hanya sampai sebuah cita-cita. Cita-cita p
Paradigma Pembangunan Bangsa Dalam
Bidang Pendidikan?
OPINI | 13 March 2013 | 20:06
Dibaca: 1100
Komentar: 0
0
Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik serta negara yang
mendasarkan segala sesuatunya atas dasar hukum atau dengan kata lain Indonesia merupakan
negara hukum. Sebagai bangsa yang besar, tentunya harus memiliki idiologi yang kuat untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan bangsa, misalnya pembangunan bidang pendidikan,
politik, ekonomi, sosial-budaya, hukum, agama dan sebagainya. Pancasila merupakan idiologi
bangsa Indonesia yang dijadikan sumber rujukan pembangunan bangsa dalam berbagai aspek
bidang pembangunan yang telah disebutan diatas.
Pancasila tidak lahir secara instan tanpa adanya pemikiran yang pelik, akan tetapi merupakan
hasil pemikiran secara kefilsafatan yaitu suatu pemikiran yang mendalam dari para pendiri
bangsa Indonesia. Oleh sebab itu Pancasila merupakan suatu pemikiran yang memuat pandangan
dasar dan cita-cita mengenai sejarah manusia, masyarakat dan negara Indonesia yang bersumber
dari kebudayaan Indonesia.
Pancasila merupakan falsafah negara yang memuat nilai-nila non-operasinal, sehingga tanggung
jawab setiap generasi untuk merealisasikan nilai-nilai dasar ini dalam berbagai bidang
kehidupan. Lalu, dimanakah letak Pancasila sebagai paradigma pembangunan bangsa dalam
bidang pendidikan? Menurut Notonagoro dalam buku Pendidikan Pancasila (Rukiyati, dkk)
menyebutkan bahwasannya pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamis, di dalam dan di
luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Melihat definisi tersebut tentunya pendidikan
memegang peranan sentral dalam rangka pembangunan manusia yang utuh dalam arti manusia
yang bermartabat. Oleh sebab itu pendidikan nasional harus dipersatukan atas dasar pancasila.
Sehingga semestinya masalah-masalah dalam pendidikan nasional harus diselesaikan
berdasarkan ajaran Pancasila yang menjadi dasar tunggal bagi penyelesaian masalah pendidikan
nasional. Untuk itu Pancasila harus dijadikan paradigma atau acuan untuk pengembangan
pendidikan, dimana untuk kedepannya pendidikan nasional dikembangkan dengan mengacu pada
nilai-nilai luhur pancasila. Hal ini tidak menutup kemungkinan kita mengambil sistem
pendidikan dari luar, namun tetap harus disesuaikan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung
dalam Pancasila.
Nilai - Nilai Pancasila Sebagai Ideologi Negara dan Dasar Negara
1. Nilai-nilai Pancasila sebagai Ideologi
Nilai-nilai Pancasila yang terkandung di dalamnya merupakan nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan keadilan. Ini merupakan nilai dasar bagi
kehidupan kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Nilai-nilai Pancasila
tergolong nilai kerokhanian yang di dalamnya terkandung nilai-nilai lainnya secara
lengkap dan harmonis, baik nilai material, vital, kebenaran (kenyataan), estetis,
estis maupun religius.
Nilai-nilai Pancasila bersifat objektif dan subjektif, artinya hakikat nilai-nilai
Pancasila bersifat universal (berlaku di manapun), sehingga dapat diterapkan di
negara lain.
Nilai-nilai Pancasila bersifat objektif, maksudnya:
1) Rumusan dari Pancasila itu sendiri memiliki makna yang terdalam, menunjukan
adanya sifat umum Universal dan abstrak.
2) Inti dari nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa
Indonesia
3) Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia.
Sedangkan nilai-nilai Pancasila bersifat subjektif, bahwa keberadaan nilai-nilai
Pancasila itu terlekat pada bangsa Indonesia sendiri, karena:
1) Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia
2) Niali-nilai Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia
3) Nilai-nilai Pancasila terkandung nilai kerokhanian yang sesuai dengan hati nurani
bangsa Indonesia
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai bagi bangsa Indonesia dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, maksudnya sumber acuan
dalam bertingkah laku dan bertindak dalam menentukan dan menyusun tata aturan
hidup berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai yang digali, tumbuh dan berkembang dari
budaya bangsa Indonesia, sehingga menjadi ideologi yang tidak diciptakan oleh
bangsa lain.
Menjadikan Pancasila sebagai ideology juga merupakan sumber nilai, sehingga
Pancasila merupakan asas kerokhanian bagi tertib hokum Indonesia, dan meliputi
suasana kebatinan (Geistlichenhintergrund) dari UUD 1945 serta mewujudkan citacita hokum bagi hokum dasar negara.
Pancasila mengharuskan UUD mengandung isi yanag mewajibkan pemerintah untuk
memelihara serta menjaga budi pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat
yang luhur.
2. Nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara
Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara menjadikan setiap tingkah laku para
penyelenggara negara dan pelaksana pemerintahan harus selalu berpedoman pada
Pancasila. Pancasila sebagai sumber nilai menunjukkan identitas bangsa Indonesia
yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, hal ini menandakan bahwa
dengan Pancasilamenolak segala penindasan dan penjajahan.
Pancasila juga sebagai paradigm bangunan, artinya sebagai kerangka pikir, sumber
nilai, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan
perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu.
Pancasila mengarahkan pembangunan agar selalu dilaksanakan demi kesejahteraan
umat manusia dengan rasa nasionalisme, kebesaran bangsa dan keluhuran bangsa.
Pembangunan di segala bidang selalu mendasar pada nilai-nilai Pancasila.
Di bidang politik misalnya, Pancasila menjadi landasan bagi pembangunan politik,
dan dalam prakteknya menghindarkan sikap tak bermoral dan tak bermartabat.
Di bidang Hukum demikian halnya. Pancasila sebagai paradigm pembangunan
hukum ditunjukkan dalam setiap perumusan peraturan perundang-undangan
nasional yang harus selalu memperhatikan dan menampung aspirasi rakyat. Nilainilai Pancasila menjadi landasan dalam pembentukan hukum yang aspiratif. Dalam
pembaharuan hukum, Pancasila sebagai cita-cita hukum yang berkedudukan
sebagai peraturan yang paling mendasar (staatsfundamentalnorm) di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila sebagai acuan dalam etika penegakan
hukum yang berkeadilan yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa
tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan
dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak kepada
keadilan.
Di bidang Sosial Budaya, Pancasila merupakan sumber normative dalam
pengembangan aspek sosial budaya yang mendasarkan pada nilai-nilai
kemanusiaan, ketuhanan, dan keberadaban.
Pancasila sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa: Analisis
tentang Peran Pancasila sebagai Modal Sosial Berbangsa dan
Bernegara
Oleh: SUSANTO
Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan
FISIP Universitas Diponegoro - Semarang
Peran Pancasila sebagai Identitas dan Nilai Luhur Bangsa
Pancasila merupakan dasar pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Pancasila pun harus diwariskan kepada generasi muda bangsa Indonesia
berikutnya melalui pendidikan. Setiap bangsa memiliki kepedulian kepada
pewarisan budaya luhur bangsanya. Oleh karena itu, perlu ada upaya pewarisan
budaya penting tersebut melalui pendidikan Pancasila yang dilaksanakan dalam
pendidikan formal (sekolah). Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan
mengikat secara yuridis. Seluruh tatanan hidup bernegara yang bertentangan
dengan Pancasila sebagai kaidah yuridis-konstitusional pada dasarnya tidak berlaku
dan harus dicabut. Dengan demikian penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah
negara berarti bahwa moral bangsa telah menjadi moral negara (Dipoyudo: 1984).
Hal ini berarti bahwa moral Pancasila telah menjadi sumber tertib negara dan
sumber tertib hukumnya, serta jiwa seluruh kegiatan negara dalam segala bidang
kehidupan (A. T. Soegito, dkk, 2009: 6).
Pelaksanaan Pancasila pada masa reformasi cenderung meredup dan tidak adanya
istilah penggunaan Pancasila sebagai propoganda praktik penyelenggaraan
pemerintahan. Hal ini terjadi lebih dikarenakan oleh adanya globalisasi yang
melanda Indonesia dewasa ini. Masyarakat terbius akan kenikmatan hedonisme
yang dibawa oleh paham baru yang masuk sehingga lupa dari mana, di mana, dan
untuk siapa sebenarnya mereka hidup. Seakan-akan mereka melupakan bangsanya
sendiri yang dibangun dengan semangat juang yang gigih dan tanpa memandang
perbedaan. Dalam perkembangan masyarakat yang secara kultur, masyarakat lebih
cenderung menggunakan Pancasila sebagai dasar pembentukan dan penggunakan
setiap kegiatan yang mereka lakukan. Peran Pancasila dalam hal ini sebenarnya
adalah untuk menciptakan masyarakat “kerakyatan”, artinya masyarakat Indonesia
sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang
sama.
Dalam
menggunakan
hak-haknya
selalu
memperhatikan
dan
mempertimbangkan kepentingan negara dan masyarakat. Karena mempunyai
kedudukan, hak serta kewajiban harus seimbang dan tidak memihak ataupun
memaksakan kehendak kepada orang lain. Dalam pokok-pokok kerakyatan,
masyarakat dituntut untuk saling menghargai dan hidup bersama dalam lingkungan
yang saling membaur dan bisa membentuk sebuah kepercayaan (trust) sebagai
modal untuk membangun bangsa yang berjiwa besar dan bermoral sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila.
Pancasila disebut sebagai identitas bangsa dimana Pancasila mampu memberikan
satu pertanda atau ciri khas yang melekat dalam tubuh masyarakat. Hal ini yang
mendorong bagaimana statement masyarakat mengenai nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila tersebut. Sebagai contoh nilai keadilan yang bermakna sangat luas
dan tidak memihak terhadap satu golongan ataupun individu tertentu. Unsur
pembentukan Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Sejarah Indonesia
membuktikan bahwa nilai luhur bangsa yang tercipta merupakan sebuah kekayaan
yang dimiliki dan tidak bisa tertandingi. Di Indonesia tidak pernah putus-putusnya
orang percaya kepada Tuhan, hal tersebut terbukti dengan adanya tempat
peribadatan yang dianggap suci, kitap suci dari berbagai ajaran agamanya, upacara
keagamaan, pendidikan keagamaan, dan lain-lain merupakan salah satu wujud nilai
luhur dari Pancasila khususnya sila ke-1.
Bangsa Indonesia yang dikenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut terhadap
sesama mampu memberikan sumbangan terhadap pelaksanaan Pancasila, hal ini
terbukti dengan adanya pondok-pondok atau padepokan yang dibangun
mencerminkan kebersamaan dan sifat manusia yang beradab. Pandangan hidup
masyarakat yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah
suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup
berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi
maupun dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya.
Dalam praktik kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara
mendasar (grounded, dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi
lainnya, karena di dalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value
system). Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy)
dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-
rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang
diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang
bersangkutan (Solly Lubis: 2003). Masyarakat Indonesia sekarang ini tidak hanya
mendambakan adanya penegakan peraturan hukum, akan tetapi masalah yang
muncuk ke permukaan adalah apakah masih ada keadilan dalam penegakan hukum
tersebut. Hukum berdiri diatas ideologi Pancasila yang berperan sebagai pengatur
dan pondasi norma masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada masa Orde Baru menginginkan pemerintahan yang ditandai dengan keinginan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penanaman
nilai-nilai Pancasila pada masa Orde Baru dilakukan secara indoktrinatif dan
birokratis. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan
masyakat, tetapi kemunafikan yang tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap
ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan
keteladanan serta tindakan yang nyata sehingga Pancasila yang berisi nilai-nilai
luhur bangsa dan merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur, bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai
makna apapun. Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD 45 yang dilakukan
melalui metode indoktrinasi dan unilateral, yang tidak memungkinkan terjadinya
perbedaan pendapat, semakin mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap
nilai-nilai Pancasila. Cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi
generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah
dikemas dalam pendidikan yang disebut penataran P4 atau PMP ( Pendidikan Moral
Pancasila), atau nama sejenisnya, ternyata justru mematikan hati nurani generasi
muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama
disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan
keteladanan yang benar. Mereka yang setiap hari berpidato dengan selalu
mengucapkan kata-kata keramat: Pancasila dan UUD 45, tetapi dalam
kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka
katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para
pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena
masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi
bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Selain itu Pancasila digunakan
sebagai asas tunggal bago organisasi masyarakat maupun organisasi politik
(Djohermansyah Djohan: 2007).
Karena Orde Baru tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah
pemerintahan sebelumnya, akhirnya kekuasaan otoritarian Orde Baru pada akhir
1998-an runtuh oleh kekuatan masyarakat. Hal itu memberikan peluang bagi
bangsa Indonesia untuk membenahi dirinya, terutama bagaimana belajar lagi dari
sejarah agar Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara benar-benar diwujudkan
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari (Djohermansyah Djohan: 2007).
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru menandai adanya Pemerintahan Reformasi yang
diharapkan mampu memberikan koreksi dan perubahan terhadap penyimpangan
dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan
bernegara yang dilakukan pada masa Orde Baru. Namun dalam praktik pada masa
reformasi yang terjadi adalah tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan
fundamentalism. Hal inilah yang menandai bahwa pada masa itulah masyarakat
Indonesia sedang mengalami krisis identitas bangsa.
Pancasila sebagai Wujud Modal Sosial Bangsa
Modal sosial (social capital) bisa dikatakan sebagai kelompok individu atau grup
yang digunakan untuk merealisasi kepentingan manusia. Kalau mau didefinisikan
sebagai satu kata maka trust (kepercayaan) adalah kata yang bisa
mempresentasikan kondisi tersebut (Konioko dan Woller, 1999). Sedangkan James
Coleman sebagaimana yang dikutip oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Trust:
The Social and Creation of Prosperity (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai
kemampuan masyarakat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama di dalam
berbagai kelompok organisasi.
Trust (kepercayaan) sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini
dikarenakan kepercayaan bersifat fundamental. Bahkan dapat dikatakan kualitas
relasi sosial terletak pada sejauh mana nilai fundamental itu mendapat perhatian.
Ketika sebuah nilai kepercayaan itu hilang maka yang timbul adalah perpecahan
yang sifatnya mendarah daging. Sangat jelas bahwa kepercayaan menyentuh sendi
kehidupan yang paling mendasar dari sisi kemanusiaan baik sebagai makhluk
individu maupun sebagai makhluk sosial.
Sebagai bahan analisis yang menjadikan kepercayaan itu merupakan sebuah faktor
utama dari pelaksanaan Pancasila, sebut saja 4 (empat) pilar kehidupan berbangsa.
Antara lain Pancasila, UUD NRI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dan Bhineka Tunggal Ika. Empat pilar tersebut ibaratkan sebuah kepercayaan untuk
mewujudkan kehidupan berbangsa yang rukun dan tanpa adanya sebuah
keganjalan seperti konflik dan sebagainya. Namun sebuah fenomena dan
kelangsungan dari perjalanan reformasi memberikan ruang bagi para masyarakat
yang tidak mengerti akan hal tersebut, sehingga disini rawan terjadinya konflik di
dalam masyarakat itu sendiri.
Konflik yang sering terjadi di Indonesia merupakan konflik yang sebagian besar
disebabkan karena krisis moral dan tidak bisa mengamalkan nilai-nilai yang
terkandung dalam ideologi Pancasila. Sebagai konflik yang terjadi di Cengkareng,
Bekasi, Jawa Barat yaitu bentrokan antara Front Pembela Islam (FPI) dengan Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP). Pihak HKBP yang terdapat dalam kasus penyegelan
rumah milik jemaat HKBP yang disalahgunakan menjadi gereja. HKBP merasa tidak
terima atas keputusan pemerintah yang kurang demokratis yang akhirnya terjadi
bentrokan antara jemaat HKBP dengan warga Muslim Bekasi. Sekilas kasus ini
merupakan bentuk ketidakharmonisan antar umat beragama, hal tersebut
merupakan cermin lunturnya nilai-nilai dalam Pancasila. Sebagai dasar negara
Pancasila mempunyai keunggulan dalam mengatur kehidupan masyarakat
Indonesia, yang mengandung makna saling menghormati, menghargai, menjunjung
tinggi kebersamaan, dan sebagainya justru kenyataannya adalah sebaliknya. Paham
fundamentalisme yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia
yang menyebabkan semua itu. Kerusuhan tersebut menyebabkan berbagai fasilitas
umum menjadi rusak dan identitas bangsa sebagai negara yang menjunjung
persatuan dan kesatuan sedikit demi sedikit sudah mulai luntur.
Pada 12 Februari 2010 lalu, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) mengeluarkan
data, yang menurut mereka dalam tahun 2007 ada 100 buah gereja yang diganggu
atau dipaksa untuk ditutup. Tahun 2008, ada 40 buah gereja yang mendapat
gangguan. Tahun 2009 sampai Januari 2010, ada 19 buah gereja yang diganggu
atau dibakar di Bekasi, Depok, Parung, Purwakarta, Cianjur, Tangerang, Jakarta,
Temanggung dan Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas (Sumatera Utara).
Menurut data FKKJ tersebut, selama masa pemerintahan Presiden Soekarno (1945 1966) hanya ada 2 buah gereja yang dibakar. Pada era pemerintahan Presiden
Soeharto (1966-1998) ada 456 gereja yang dirusak atau dibakar. Pada periode
1965-1974, ada 46 buah gereja yang dirusak atau dibakar. Sedangkan dari tahun
1975 atau masa setelah diberlakukannya SKB 2 Menteri tahun 1969 hingga saat
lengsernya Soeharto tahun 1998, angka gereja yang dirusak atau dibakar sebanyak
410 buah. Sebenarnya kasus yang terdapat di Bekasi tersebut bukan merupakan
kasus kebebasan beribadat dan beragama ataupun yang berbau SARA, namun
merupakan kasus tempat beribadat dan persoalan perijinan mendirikan bangunan.
Hilangnya kepercayaan (trust) sebagai wujud modal sosial dalam kehidupan
masyarakat merupakan awal munculnya beberapa akibat adanya paham
fundamentalis dan kapitalis di Indonesia. Adanya kebutuhan yang mendesak dan
ketidakterbatasan masyarakat juga ikut serta dalam mewujudkan sebuah konflik
tersebut terjadi.
Krisis Identitas dalam Kehidupan Berbangsa
Era globalisasi yang sedang melanda masyarakat dunia, cenderung melebur semua
identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru. Masyarakat Indonesia ditantang
untuk makin memperkokoh jatidirinya. Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada
problem krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. Hal ini
didukung dengan fakta sering dijumpai masyarakat Indonesia yang dari segi
perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas mereka sebagai masyarakat
Indonesia. Padahal bangsa ini mempunyai identitas yang jelas, yang berbeda
dengan kapitalis dan fundamentalis, yaitu Pancasila. Krisis identitas yang mulai
tergerus itulah yang menyebabkan banyaknya perbedaan diantara golongan dan
berdampak timbulnya konflik ataupun permusuhan.
“Bangsa Indonesia krisis identitas. Pluralisme yang menjadi alasan berdirinya NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia), terancam,” ucap Gus Dur, selanjutnya beliau
menjelaskan sejarah Indonesia sejak abad ke-18 telah menunjukkan kultur bangsa
dan semangat yang berkobar, antara lain adanya konflik yang berbau SARA dan lain
sebagainya. Meskipun demikian bangsa Indonesia pada tataran selanjutnya masih
banyak terjadi konflik yang berbau SARA, seperti konflik yang terjadi antara Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dengan Ahmadiyah.
Konflik tersebut menjadi konflik yang struktural, artinya konflik tersebut berlanjut
dan dengan adanya tindakan nyata dari kedua belah pihak untuk saling
memenangkan argumen mereka. Menurut MUI, pemerintah kurang tegas dalam
menangani masalah tersebut sehingga menimbulkan masalah baru yang bersifat
struktural dan berkelanjutan.
Faktor yang mendorong krisis identitas dalam mewujudkan kehidupan berbangsa
dan bernegara terdiri dari dua faktor yang mendasar, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang terjadi karena adanya
kegiatan-kegiatan didalam sub sistem tersebut, yaitu ketika masa Orde Baru
Pancasila dijadikan sebagai supported regime dan pada masa sekarang menjadi
favourable dalam kekuasaan. Selain itu lengsernya kekuasaan Soeharto yang
menandakan jatuhnya Orde Baru sebagai bentuk kekuasaan yang otoritarian.
Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor pendorong krisis identitas dari luar
substansi, salah satunya yaitu setelah kehancuran Perang Dingin (1947-1991)
antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat sehingga memperkuat pertahanan
keamanan di Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat disebut sebagai polisi
dunia. Namun pengakuat sebagai polisi dunia pada negara Amerika Serikat tidak
bisa dilakukan, hal tersebut dikarenakan jika Amerika Serikat menjadi polisi dunia
maka Amerika Serikat berhak dan berkewajiban untuk melindungi semua negara di
dunia ini. Adanya faktor-faktor tersebut Indonesia tidak lepas dari dampaknya yaitu
adanya krisis identitas bangsa, dimana paham-paham yang muncul ditengahtengah kehidupan masyarakat Indonesia. Ketika itu, banyak paham yang masuk
seperti globalisasi dan fundamentalis.
Korupsi sebagai Wujud Krisis Identitas Bangsa
Adanya krisis identitas bangsa yang terjadi selama beberapa dekade menyebabkan
mentalitas bangsa menjadi tergerus dan menurunnya kepercayaan masyarakat
terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Ketika krisis kepercayaan itu
terjadi, pada masa kini masyarakat hanya menjadikan Pancasila sebagai “buah
bibir” saja tanpa bisa menghayati dan mengamalkannya secara utuh. Munculnya
paham fundamentalis dan kapitalis sebagai kenyataan akan hal tersebut. Sebagai
contoh adalah kasus korupsi ditengah-tengah masyarakat. Kecenderungan tindak
korupsi tersebut hanya memihak dan menguntungkan satu pihak saja, sedangkan
masyarakat sebagai korban dari korupsi tersebut.
Adanya tindak pidana korupsi disebabkan karena lemahnya moral individu, di
samping itu, lemahnya penegakan hukum dalam menindaklanjuti tindak pidana
korupsi yang semakin merajalela. Perspektif ke depan Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan UUD 1945 yang memiliki dasar
negara Pancasila, sehingga diperlukan kajian tentang konsepsi sistem hukum di
Indonesia. Hal ini dengan tegas dinyatakan pada Pembukaan UUD 1945 alenia IV
dan pada Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa Pancasila sebagai
sumber segala sumber hukum, kedudukan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi
yang dalam tata hukum global disebut ground norm atau staat fundamental norm
mengingat sesuai kenyataan sejarah (legal history) selama 60 tahun tidak goyah
sebagai ideologi dan dasar negara hukum di Indonesia.
Berdasarkan tesis Hans Kelsen, kedudukan Pancasila dalam UUD 1945 berada pada
tingkat tertinggi (Ilham Bisri: 2005). Hal ini berarti bahwa Pancasila harus diletakkan
sebagai kaidah dasar yang mempunyai arti sebagai sumber dari segala sumber
hukum serta menjadi dasar bagi berlakunya UUD 1945. Penyimpangan dan
implementasi dari sistem hukum yang berlapis seperti dijelaskan pada gambar di
atas adalah ketidakkonsistenan dalam interaksi dan penerapan dari pasal tersebut
yang dapat menjadi akar masalah korupsi di Indonesia.
Perbuatan korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan internasional karena telah
ditetapkan melalui Konvensi Internasional (Atmasasmita, 2004: 40). Praktik
penegakan hukum dan peradilan yang timpang dengan rasa keadilan masyarakat
sebagai wujud terkikisnya nilai Pancasila yang berperan sebagai modal sosial
bangsa, contoh vonis bebas korupsi atau SP3 (Surat Perintah Pemberhentian
Penyidikan) lebih banyak di tingkat penyidikan dibandingkan kasus-kasus pencurian
ayam bahkan sering kali korban penganiayaan yang dihakimi oleh masa. Kondisi
seperti ini sangat bertentangan sengan rasa keadilan sebagai salah satu nilai
ideologi yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan
peran Pancasila sebagai modal sosial.
Dalam kurun waktu 5 tahun (2004-2008) Dirtipikor dan WCC, Bareskrim Polri
mampu menangani kasus tindak pidana korupsi sebanyak 1.824 kasus, dan mampu
diselesaikan sekitar 39,6% dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp
9.986.129.025.963,66. Penyebab tindak korupsi tersebut jika di lihat dari aspek
sosial politik sangat berkaitan dengan masalah kekuasaan yang diperoleh dengan
aktivitas kegiatan dalam kepentingan politik. Ini menunjukkan adanya nilai ideologi
Pancasila sudah tidak dihiraukan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sebagai modal sosial, tentunya Pancasila memberikan nilai tersendiri, artinya
Pancasila mempunyai nilai dan peran implementasinya dalam penyelenggaraan
negara. Ketika kepercayaan (trust) masyarakat mulai meredam terhadap nilai dan
makna Pancasila, maka disitulah titik awal dari munculnya krisis identitas yang
menyebabkan seseorang melakukan segala cara untuk mendapatkan dan
mempertahanlan kekuasaan dengan tidak menghiraukan lagi nilai-nilai ideologi
yang terkandung dalam Pancasila itu. Selain krisis identitas yang bersifat moralitas
dan kekuasaan, muncul kasus fundamentalis agama dalam hal tindak pidana
korupsi. Faktor pendidikan dikalangan keagamaan menjadi sangat penting dan
strategis dalam membangun moral, mental, dan karakter bangsa yang peka dan
anti korupsi.
Fundamentalisme Agama sebagai akibat Lemahnya Pengamalan Nilai
Ideologi Pancasila
Agama merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya agama manusia
tidak bisa berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan
mana yang salah. Indonesia merupakan negara yang meyakini keberadaan agama
sebagai hal tersebut, ada 6 keyakinan yang terdapat di Indonesia dan masingmasing keyakinan mempunyai dasar ataupun pedoman sesuai dengan
keyakinannya. Pancasila khususnya Sila ke-1 menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, sudah jelas dan tidak diragukan lagi, setiap manusia pasti mempunyai Tuhan
dan percaya bahwa Tuhan itu ada. Keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat
yang berbeda kepercayaan merupakan wujud nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila dalam bentuk keharmonisan, kebersamaan, ketentraman, dan
sebagainya. Perbedaan keyakinan yang terdapat di dalam masyarakat itu
merupakan multikulturalisme bangsa Indonesia. Namun, tidak jarang hal tersebut
justru mendorong berbagai keributan/kerusuhan. Substansi kerusuhan tersebut
sangat sempit dan kecil, tapi bisa juga menjadi kerusuhan berskala besar dan sulit
untuk menemukan jalan tengahnya, dan bahkan bisa membawa nama masingmasing kelompok tersebut dalam ranah konflik yang bersifat SARA (Suku, Agama,
Ras, dan Antar Golongan).
Krisis agama yang bersifat kerusuhan tersebut tidak hanya terdapat pada
masyarakat yang berbeda keyakinan, bahkan tak jarang dari mereka yang
mempunyaikeyakinan dan tujuan yang sama justru malah mengalami konflik
internal. Hal tersebut dikarenakan rendahnya jiwa nasionalisme bangsa, yaitu jiwa
yang mengikat kita pada satu rasa dan satu tujuan. Modal sosial terbentuk karena
trust (kepercayaan) masyarakat terhadap apa yang mereka dengar dan lihat.
Pancasila berperan penting dalam segala hal, begitu pula dalam keagamaan.
Fundamentalisme seperti yang telah dikemukakan oleh Karen Armstrong,
merupakan salah satu fenomena yang sangat mengejutkan pada abad ke-20.
Begitu mengerikan ekspresi dari fundamentalisme ini, peristiwa paling
menghebohkan dunia yang terjadi pada Semtember 2001 silam yaitu penghancuran
gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, kejadian tersebut
dihubungkan dengan fundamentalisme. Sementara di Indonesia terjadi peristiwa
bom bunuh diri di berbagai tempat seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kedutaan
Besar Australia di Jakarta, dan lain sebagainya. Motif dari peristiwa itu tidak jauh
dari fundamentalisme agama yaitu menghalalkan segala cara demi mencapai
tujuan dengan dilandasi fanatisme agama yang berlebihan.
Fenomena yang disebut sebagai fundamentalisme agama tersebut memang tidak
dapat dilepaskan dari situasi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat kita.
Kegagalan pemerintah mengatasi kemiskinan dan masalah-masalah ekonomi selalu
membuat masyarakat tergoda untuk melakukan kekerasan dalam menyalurkan
aspirasinya. Di samping itu, ketidaktegasan aparat juga turut memberi andil bagi
kelangsungan hidup organisasi yang identik dengan kekerasan dalam
mengemukakan pendapatnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa selama tidak ada
perubahan dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat dan selama aparat
tidak tegas dalam menindak kejadian-kejadian seperti itu, hal-hal itu tetap akan
terus berlangsung.
Perang Salib (1069-1291) merupakan perang antar umat Kristen Eropa dengan
umat Islam yang memperebutkan Yerussalem/Palestina. Perang Salib berlangsung
hinggga tujuh kali (Perang Salib VII tahun 1270-1291) status Yerusalem/Palestina
tidak berubah, yaitu tetap dikuasai umat Islam. Bahkan kedudukan Barat/Kristen di
Syira dan Palestina hilang. Keuntungan dari peperangan itu, Barat menjadi
mengenal dan memanfaatkan kebudayaan umat Islam yang sudah lebih tinggi
daripada yang mereka miliki saati itu. Selain itu, hubungan dagang Asia-Eropa
menjadi lebuh hidup dan berkembang.
Sumber:
1. Atmasasmitha. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek
Internasional. Bandung: Maju Mundur.
2. Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia.
3. Bisri, Ilham. 2008. Sistem Hukum Prudensia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
4. Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
5. Dhont, Frank, dkk. 2010. Pancasila's Contemporary Appeal: Re-legitimizing
Indonesia's Founding Ethos. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
6. Douglas, Stephen. 1974. Student Activism in Indonesia. Boston: The Litle,
Brown and Company.
7. Fukuyama, Francis. 1995. Trust, The Social Virtues and The Creation of
Prosperity. New York: Free Press.
8. Ir. Soekarno. 2006. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno (Penyunting:
Floriberta Aning). Yogyakarta: Media Pressindo.
9. Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma.
10.Nurdjana, Igm. 2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi:
"Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum". Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
11.Putnam, Robert. 1993. Making Democracy Work: Civic Tradisions in Modern
Italy. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.
12.Rahma, Srijanti A dan Purwanto S. K. 2008. Etika Berwarga Negara:
Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Salemba Empat.
13.S, Ubed Abdilah. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang: Indonesiatera.
14.Soegito, A. T, dkk. 2009. Pendidikan
Pengembangan MKU-MKDK Unnes.
Pancasila.
Semarang:
Pusat
15.Suwarno, P. J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUP
1. Sejarah Lahirnya Pancasila
Pancasila telah lahir bersamaan dengan adanya atau lahirnya Bangsa
Indonesia. Sejak
dulu bangsa kita telah mencerminkan penjiwaan atas sila-sila
Pancasila, sebelum tumbuhnya kerajaan besar di bumi Nusantara, seperti kerajaan
Sriwijaya di Sumatra pada abad VII-XII dan kerajaan Majapahit di Jawa Timur dalam
abad XII-XVI, seperti adanya kepercayaan manusia terhadap kekuatan gaib, baik
berupa pemujaan terhadap roh-roh halus yang bercirikan animisme dan dinamisme,
maupun kehidupan manusia Indonesia yang penuh toleransi dan suasana damai,
tolong-menolong/gotong
royong,
bermusyawarah
bagi
kehidupan yang aman, tenteram sejahtera, dan sebagainya.
terwujudnya
kondisi
Istilah Pancasila telah dikenal sejak dulu, yaitu digunakan sebagai acuan
moral/etika dalam kehidupan banga Indonesia sehari-hari. Misal, dari karya-karya
pujuangga besar Indonesia semasa berdirinya kerajaan MAjapahiy yang dilukiskan
dalam tulisan Empu Prapanca tentang Negara Kertagama, dan Empu Tantular dalam
bukunya Sutasoma. Dalam buku Sutasoma terdapat istilah Pancasila Krama
mempunyai arti.
Lima Dasar TIngkah Laku atau Perintah Kesusilaan yang lima, yang meliputi :
1. Tidak boleh melakukan kekerasan (ahimsa)
2. Tidak boleh mencuri (asteya)
3. Tidak boleh berjiwa dengki (indriya nigraha)
4. Tidak boleh berbohong (amrsawada)
5. Tidak boleh mabuk minum-minuman keras (dama)
Selain itu dalam Kitab Sutasoma terdapat semboyan BhinnekaTunggal Ika
Tan
Hana
Dharma
Mangrua
yang
mengandung
arti
meskipun
agama
itu
kelihatannya berbeda bentuk atau sifatnya namun pada hakikatnya satu juga, yang
kemudian menjadi motto lambing Negara kita, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Hal
tersebut mencerminkan keluhuran budaya bangsa Indonesia pada saat itu, yang
dipersepsikan dari adanya toleransi kehidupan umat beragama antara pemeluk
agama Budha dan agama Hindu.
Secara harfiah Pancasila terdiri dari dua kata, yaitu Pnca yang berarti Lima,
dan Sila
berarti Dasar. Jadi Pancasila mempunyai makna Lima Dasar. Istilah “sila”
diartikan juga sebagai aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau
bangsa; kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun);akhlak dan
moral.
Setelah tenggelam dalam proses penjajahan yang berkepanjangan, istilah
Pancasila
diangkat lagi oleh Bung Karno dalam uraian pidatonya tanggal 1 Juni
1945 di muka siding Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Zyumbi Tyoosakai sebagai bahan dalam
merumuskan Dasar Negara Indonesia Merdeka, sehingga sering timbul anggapan
bahwa tanggal 1 Juni dipandang sebagai lahirnya Pancasila.
2. Pengertian Bangsa
Menurut Ernest Renan, seorang guru besar dan pujangga yang termasyur
dari
Perancis, dalam pidatonya yang diucapkan di Universitas Sorbonne (Paris)
tanggal 11 Maret 1882 berjudul “Qu’est ce qu’une nation” (apakah bangsa itu),
menurutnya bangsa itu adalah soal perasaan, soal kehendak (tekad) semata-mata
untuk tetap hidup bersama (le desir de vivre ensemble) yang timbul antara
segolongan besar manusia yang nasibnya sama dalam masa yang lampau,
terutama dalam penderitaan- penderitaan bersama. Jadi bangsa ialah segerombolan
manusia yang mau bersatu, dan merasa dirinya bersatu. Sedangkan Otto Bauer
mengartikanbangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan
nasib.
Menurut Bung Karno, bangsa adalah manusia yang menyatu dengan tanah airnya.
Menurut Mohammad Hatta, bangsa ditentukan oleh keinsyafan sebagai suatu
persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsafan yang terbit karena percaya
atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsafan ini bertambah besar oleh karena sama
seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena
jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada
riwayat bersama yang tertanam didalam hati dan otak.
3. Pengertian Pandangan Hidup
Pandangan hidup berkenaan dengan sikap manusia didalam memandang diri
dan
lingkungannya. Sikap manusia ini dibentuk oleh adanya kekuatan yang
bersemayam pada diri manusia, yakni iman, cipta, rasa dan karsa, yang
membentuk pandnagan hidup perorangan yang kemudian beradaptasi dengan
pandangan
hidup
perorangan
lainnya
menjadi
pandngan
hidup
kelompok.
Hubungan antara kehidupan kelompok yang satu dengan kelompok lainnya
melahirkan suatu pandangan hidup bangsa.
Menurut Subandi Al Marsudi penulis buku Pancasila dan UUD’45 dalam
Paradigma
Reformasi, Pandangan Hidup dapat didefinisikan sebagai segenap
prinsip dasar yang dipegang teguh oelh suatu bangsa guna memecahkan berbagai
persoalan kehidupan yang dihadapinya.
• Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Pancasila disebut sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, karena nilai-nilai
yang
terkandung dala sila-silanya tersebut dari waktu ke waktu dan secara tetap
telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan Bangsa Indonesia.
• Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, digunakan sebagai petunjuk hidup
sehari- hari, dan digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan didalam segala
bidang. Tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kehidupan, baik norma
agama, norma kesusilaan, norma sopan santun maupun norma hukum yang
berlaku.
• Pandangan hidup bangsa dapat digunakan untuk mencapai hidup yang kokoh,
guna mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapai, karena
tanpa memiliki pandangan hidup, suatu bangsa akan terus berombang-ambing
dalam menghadapi persoalan-persoalan di dalam masyarakatnya sendiri maupun
persoalan- persoalan besar umat manusia dlam pergaulan masyrakat bangsabangsa di dunia. Dengan pandangan hidup yang jelas sesuatu bangsa akan
memiliki pegangan dan pedoman dalam memecahkan masalah-masalah politik,
ekonomi, social dan budaya yang timbul dalam gerak kehidupan masyarakat yang
makin maju, serta didalam membangun dirinya.
• Definisi atau batasan tentang pandangan hidup suatu bangsa ini pernah kita
dapati
dalam buku pengantar pemahaman atas latar belakang Ketetapan No. II/MPR/1978
tentang Pedoman Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila atauEkaprasetia
Pancakarsa.
• Berdasarkan hasil Sidang Istimewa MPR-RI bulan November 1998 Ketetapan No.
II/MPR/1978 tersebut di atas telah dinyatakan dicabut dengan Ketetapan MPR-RI No.
XVIII/MPR/1998.
• Dari segi kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi, yakni
sebagai cita-cita dan Pandangan Hidup Bangsa dan Negara RI, sedangkan dilihat
dari segi fungsinya Pancasila mempunyai fungsi utama sebagai Dasar Negara RI.
• Istilah-istilah lain sebagai sinonim dari pengertian pandangan hidup dikenal
dengan
sebutan: way of life, Weltanschauung, wereldbeschouwing, wereld en levens
beschouwing, pandangan dunia, pegangan hidup, pedoman hidup dan petunjuk
hidup.
B. Pancasila Sebagai Dasar Negara RI
Pancasila dalam pengertian ini sering disebut sebagai dasar Falsafah Negara,
Philosofische Gronddslag dari Negara, Ideologi Negara, Staatsidee.
Pancasila sebagai Dasar Negara RI berarti Pancasila dijadikan dasar dalam
mengatur penyelenggaraan pemerintahan Negara. Rumusan Pancasila sebagai
dasar Negara RI tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 aline
keempat.
Pancasila sebagai tempat menuangkan aturan-aturan dasar/pokok yang
tertulis yang kemudian dijabarkan lagi kedalam berbagai Ketetapan MPR, dan
aturan
yang
tidak
tertulis
terpelihara
dalam
konvensi
atau
kebiasaan
ketatanegaraan. Pancasila punyai sifat kengikat, keharusan, imperative artinya
norma-norma
hukum
yang
tidak
boleh
dikesampingkan
namun
dilanggar,
sedangkan pelanggaran atasnya dapat berakibat hukum dikenakannya suatu sanksi
Meskipun sekarang dalam suasana reformasi dan demokrasi dimana ornag
bebas mengeluarkan pendapatnya dan menyampaikan pikiran dan pandanganpandanganya, namun tidak boleh memberikan penafsiran terhadap Pancasila
menurut anggapannya sendiri-sendiri.
Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa
Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda satu sama lain. Melalui kepribadian
inilah setiap pribadi seseorang memiliki ciri khas masing-masing. Begitu pula
dengan sebuah negara. Setiap negara juga memiliki kepribadian masing-masing.
Melalui kepribadian tersebut sebuah negara dikenal luas. Kepribadian tersebut tidak
akan lepas dari sejarah negara tersebut.
Indonesia sendiri memiliki sebuah kepribadian yang menjadi ciri khas dari Indonesia
itu sendiri yaitu Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila justru telah dibicarakan
bahkan sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaannya melalui pembacaan
proklamasi oleh Ir. Soekarno dan Hatta. Membutuhkan proses pembahasan yang
panjang sebelum akhirnya memperoleh keputusan final seperti teks Pancasila yang
kita kenal saat ini.
Bangsa Indonesia dan juga dasar negara yaitu Pancasila, terbentuk berdasarkan
perbedaan. Pancasila sendiri hadir sebagai penengah adanya perbedaan yang ada.
Dan sebagai bentuk kepribadian bangsa Pancasila membuat Indonesia hadir dengan
ciri khas yang membedakannya dengan negara lain.
Ciri khas tersebut dapat dicermati dari setiap sila dari Pancasila itu sendiri, yaitu :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, sejak zaman dahulu bangsa Indonesia bisa
dikatakan sebagai bangsa yang sudah mengenal konsep ‘Tuhan’ yang
dilakukan dengan berbagai cara oleh setiap lapisan masyarakat. Misalnya
dengan menyembah batu besar, pohon besar, meletakkan sesajian pada
sungai dan lainnya. Hingga akhirnya masuklah agama Hindu, Budha, Kristen,
Katholik, Islam, Konghucu dan berbagai kepercayaan lainnya. Adanya
kepercayaan tersebut membuat masing-masing individu memperoleh
ketenangan dan berusaha melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi
larangan Tuhan sesuai petunjuk agama maupun kepercayaan masing-masing.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila kedua ini bisa dilihat dari
masyarakat Indonesia yang terkenal dengan keramahannya. Bahkan sifat
ramah ini dikenal dan diakui oleh bangsa lain. Sifat ramah merupakan bagian
dari sikap kemanusiaan dimana masyarakat Indonesia ingin hidup
berdampingan dengan siapapun secara damai. Maka tidak heran jika di
Indonesia bisa melihat gereja dan masjid berdampingan begitu pula dengan
pura maupun tempat ibadah lainnya. Di berbagai kampung meskipun
memiliki agama atau kepercayaan berbeda namun ketika tetangga sakit
tetap menjenguk begitu pula saat ada keluarga tetangga meninggal juga ikut
berbelasungkawa.
3. Persatuan Indonesia, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya
bahwasanya Indonesia lahir dari perbedaan. Perbedaan pendapat, suku,
agama, bahasa, budaya dan lainnya. Tradisi persatuan telah mengakar di
Indonesia bakan sejak zaman kerajaan. Adanya jiwa persatuan mendorong
adanya kekuatan untuk melawan penjajah. Dan tentu tidak akan lupa dengan
peristiwa ‘Sumpah Pemuda’ pada 28 Oktober 1928. Dimana saat itu pemuda
pemudi dari berbagai suku, pulau berkumpul dan mengikrarkan sumpah yang
antara lain mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu
tanah air Indonesia serta menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Selain itu yang juga perlu diingat bahwasanya Indonesia juga memiliki
semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu
jua.
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, jika dipahami maka sila keempat ini
sebenarnya mencerminkan pengertian demokrasi namun demokrasi yang
ada di Indonesia tidak menganut sistem demokrasi negara barat. Sistem
demokrasi yang dianut Indonesia adalah sistem demokrasi Pancasila yang
mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang ada. Dasar sistem ini bisa dilihat di kampung-kampung
atau dusun yang selalu memusyawarahkan berbagai persoalan yang ada di
kampung misalnya penentuan jadwal ronda, kerja bakti, ajakan menjenguk
tetangga sakit, membantu pembangunan rumah tetangga, pemilihan ketua
RT, kepala dusun, kepala kampung, menyelesaikan konflik antar tetangga
dan lainnya.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sila terakhir ini jika
diresapi merupakan perwujudan apabila dari sila-sila sebelumnya yaitu sila
pertama, kedua, ketiga dan keempat benar-benar dipahami dan diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Dimana akhirnya benar-benar terwujud rasa
adil lahir maupun batin.
Sederhananya adalah apabila setiap individu menerapkan kelima sila tersebut yaitu
sila pertama dengan benar-benar menerapkan anjuran Tuhan dan menjauhi
larangan Tuhan maka tidak akan ada korupsi, pembunuhan dan kejahatan lainnya.
Begitu pula dengan sila kedua maka tidak akan ada perpecahan maupun
perselisihan antar sesamanya dan lebih mengedepankan toleransi dan saling
membantu. Dan hal ini diperkuat dengan adanya jiwa yang ada di sila ketiga.
Sementara perwujudan sila keempat apabila dilaksanakan para pemimpin maupun
pemerintahan maka akan benar-benar melahirkan sebuah kebijakan yang tidak
mewakili golongan apapun namun akhirnya benar-benar bisa memujudkan sila
kelima, keadilan sosial lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila bisa dikatakan sebagai identitas bangsa Indonesia dan apabila setiap
generasi memahami tidak hanya sekedar mengetahui kelima sila tersebut maka
berbagai dampak yang kurang baik yang muncul dari budaya luar sebagai efek
globalisasi bisa dibentengi. Budaya barat tidak selalu memiliki efek buruk. Karena
pada dasarnya budaya tidak akan berhenti namun akan terus berkembang maka
mencegah budaya luar ke Indonesia tentu tidak bisa dilakukan.
Namun bisa tetap diterima dengan tetap tidak meninggalkan identitas bangsa.
Mungkin bisa dipahami sebagai bagian dari proses akulturasi. Misalnya dalam musik
dangdut merupakan seni budaya asli Indonesia sedangkan musik jazz merupakan
seni budaya dari luar dan ketika digabungkan bisa menjadi seni budaya baru yang
mengagumkan dan bisa diterima.
Kemudian budaya teknologi seperti telepon seluler, PC, dan lainnya. Seperti yang
kita ketahui budaya teknologi merupakan budaya yang cepat dalam
perkembangannya. Telepon seluler yang mempercepat proses komunikasi dulunya
hanya bisa digunakan untuk telepon kemudian dalam perkembangannya bisa
digunakan untuk saling mengirim pesan, bisa digunakan untuk mendengakan
musik, mengambil foto, bahkan terkoneksi dengan internet. Begitu pula dengan PC
yang selalu berkembang dari monitor tabung hingga LCD. Dan tentu saja teknologi
internet yang juga terus berkembang. Tentu adanya budaya tersebut tidak bisa
dicegah namun bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal yang bermanfaat.
Misalnya dengan PC tersebut membuat tulisan mengenai budaya bangsa,
menyampaikan pemikiran kita tentang berbagai hal yang bermanfaat bagi orang
lain. Kemudian melalui internet tulisan tersebut bisa dipublikasikan sehingga lebih
banyak orang yang bisa membacanya. Apabila jiwa atau kepribadian bangsa yaitu
Pancasila benar-benar dihayati dan dipahami maka hal-hal yang ditulis atau
dipublikasikan misalnya video juga bukan hal-hal yang negatif seperti pornografi,
ajakan menggunakan narkoba, dan lainnya.
Begitu pula perkembangan internet dengan hadirnya jejaring sosial seperti twitter,
facebook kemudian blog maupun berbagai situs informasi. Kita tidak mencegah
hadirnya teknologi tersebut. Namun setidak tetap menggunakan teknologi tersebut
dengan bijak tanpa meninggalkan identitas bangsa. Misalnya menyampaikan hal
baik, share gambar yang baik dan lainnya.
Bahkan gaya hidup seperti makan di restoran mewah atau cepat saji bisa juga ditiru
bagaimana restoran cepat saji tersebut dalam melayani. Akhirnya bukan tidak
mungkin akan hadir angkringan, warung makan Padang, warteg tetapi dengan
pelayanan ramah, pelayan yang mampu berbahasa Inggris, dan lainnya. Akhirnya
tetap mempertahan budaya yaitu masakan khas Indonesia seperti nasi Padang, nasi
kucing, wedang jahe, dan lainnya dengan ciri khas Indonesia yaitu keramahan
didukung budaya luar yaitu penguasaan bahasa asing misalnya bahasa Inggris.
Indonesia lahir dari banyaknya perbedaan. Setiap perbedaan tidak harus selalu
disamakan. Namun bisa dicari solusi meskipun berbeda bisa berjalan berdampingan
menuju tujuan yang sama yaitu kedamaian yang melingkupi berbagai aspek. Begitu
pula berbagai budaya yang lahir dari komunitas global yang melibatkan berbagi
negara juga tidak bisa dicegah. Seperti yang disampaikan Umar Khayam bahwa
kebudayaan tidak bisa dilihat sebagai produk yang selesai (Umar Khayam dalam
Slamet, 1983 : 4). Artinya akan terus adanya perkembangan kebudayaan yang tidak
hanya terdiri dari seni namun juga teknologi, bahasa, fashion maupun hasil
pemikiran lainnya.
Akhirnya Pancasila tidak hanya sekedar diketahui isinya namun juga dipahami apa
maksudnya. Bahkan hal ini perlu diberikan sejak dini. Tidak hanya sekedar
pembacaan teks Pancasila setiap upacara bendera hari Senin. Namun dalam
pelaksanaan kehidupan sehari-hari perlu benar-benar diberikan agar benar-benar
bisa dipahami dan akhirnya benar-benar diterapkan. Karena inilah Pancasila yang
benar-benar membedakan Indonesia dengan negara lain.
Pancasila adalah dasar negara. Semua tentu pernah mendengar bahwa Pancasila
adalah landasan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kita semua sudah tahu, semua sudah paham, tapi sudahkah kita semua
”mematenkan” Pancasila? ”Mematenkan” bukan untuk sekadar diketahui dan
didengarkan, melainkan untuk terutama sungguh-sungguh dijadikan sebagai roh,
sebagai nyawa bangsa dan negara dalam melaksanakan berbagai kegiatan
berkehidupan.
Pada 68 tahun lalu, tepatnya pada 1 Juni 1945, bapak proklamator kita dengan
lantang bersuara, ”Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme,
mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan lima bilangannya. Namanya bukan
Pancadarma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli
bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar dan di atas kelima
dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”
Kekal dan abadi. Betapa Soekarno dan para pendiri bangsa menginginkan Indonesia
beserta Pancasila menjadi dua hal relevan yang takkan lekang dimakan zaman.
Pancasila dalam cita-cita mereka adalah butiranbutiran asas yang akan membawa
Indonesia menjadi negara besar dan berbudi luhur. Seharusnya ini tak berhenti
hanya sampai sebuah cita-cita. Cita-cita p