Belajar bahasa asing di era web 2.0 Apa

Belajar bahasa asing di era Web 2.0: Apa dan bagaimana?
Karin Sari Saputra
Universitas Indonesia
(karinsarisaputra@yahoo.co.id)
Abstrak
Menghubungkan tema global pada kurikulum pengajaran bahasa merupakan efek
kejut yang sangat ditunggu-tunggu di era web 2.0 seperti sekarang ini. Makalah ini
menguraikan lima dimensi dasar perspektif global yang secara mengejutkan datang
dari tokoh bernama Robert Hanvey pada tahun 1976. Esai penting yang ditulis oleh
Hanvey berjudul, “Sebuah Pencapaian Perspektif Global” berhasil membuat ia
yang pertama menyakinkan para pendidik bahwa kita hidup dalam sebuah
komunitas global yang saling bergantung. Lima dimensi dari Hanvey menyediakan
kerangka kerja yang bermanfaat bagi guru yang mengeksplorasi atau
mengembangkan belajar global. Daftar dari lima dimensi tersebut: (1) Kesadaran
Perspektif; (2) Pengetahuan tentang Kondisi Dunia; (3) Kesadaran Lintas-Budaya;
(4) Pengetahuan tentang Dinamika Global, dan; (5) Pengetahuan tentang Alternatif.
Belajar bahasa yang seakan terus menjadi momok baik bagi pendidik dan pemelajar
patut memperhatikan bahwa esensi dari upaya menyukseskan dan/atau menguasai
suatu bahasa adalah dengan adanya kekuatan mentoring dan kolaboratif.
Menariknya, revolusi web 2.0 dan teori pengajaran bahasa asing menyuguhkan
suatu fenomena yang tidak seharusnya diabaikan oleh para pengajar bahasa.

Kata kunci: belajar bahasa asing, web 2.0
______________________________________________________________________
A.

Pendahuluan
Apakah hal yang membedakan antara generasi siswa yang lahir sebelum dan/atau

sesudah abad ke-21? Jawabannya ada pada dua istilah berikut. Imigran digital (digital
immigrant) dan masyarakat asli digital (digital natives). Imigran digital adalah sebuah
istilah untuk mereka yang tidak dibesarkan dengan teknologi digital dan kurang mampu
menggunakannya (Peters, 2009: 119). Sebaliknya, masyarakat asli digital merupakan
istilah yang diciptakan oleh Marc Prensky dan mengacu pada kemudahan yang
dilakukan generasi muda terhadap teknologi digital berkembang, dapat menggunakan
dan mengintegrasikan teknologi (ibid.). Dalam penegasan lain, mengutip Solomon &
Schrum (2010: 1) “Generasi siswa di kelas kami saat ini adalah yang pertama tumbuh
dengan perangkat digital di ujung jari mereka. Mereka selalu “on” yaitu dengan
mengirimkan pesan singkat melalui telepon seluler kepada teman, pertemuan di jaringan
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 1

sosial, dan berinteraksi dengan dunia secara nonlinier.” Jika kita amati dunia pendidikan

saat ini maka menunjukkan perkembangan yang semakin dinamis, artinya terdapat suatu
paradigma baru terkait hadirnya teknologi ditinjau dari perspektif budaya yang diikuti
pula oleh kehadiran nilai-nilai mondial. Konkretnya, menurut Norton & Wiburg (2003:
2) menunjukkan bahwa pada mulanya manusia hanya memiliki budaya berbicara (oral
culture) saja. Seiring dengan bergulirnya waktu seraya diikuti oleh pelbagai kemajuan
yang dilakukan oleh manusia---seperti ditemukannya kertas berikut pena---maka dari
yang semula hanya memiliki budaya berbicara, kemudian beralih pada budaya yang
berkenaan dengan tulis-menulis (scribal culture). Perkembangan pun tidak dapat
terbendung pasca penemuan kertas dan alat tulisnya tersebut. Pasalnya, lambat laun
ketika alat cetak berhasil dibuat terjadi transformasi dari scribal culture ke arah print
culture. Hingga sampailah kini peradaban manusia di abad ke-21 yang kembali terjadi
alih perubahan budaya yang disebabkan oleh kemajuan teknologi pasca ditemukannya
Internet.
Akibat penemuan Internet maka sejalan pula dengan banyaknya penemuan alatalat berteknologi mutakhir sebagai upaya untuk memfasilitasi kemudahan akses
Internet. Selaras dengan hal ini, alat teknologi berbasis internet dipelopori kali pertama
oleh penggunaan komputer (PC atau personal computer). Semenjak saat itu, tumbuh
tidak terbilang pelbagai macam perangkat praktis (gadget) seperti misalnya era PC
tergantikan oleh laptop/notebook atau tablet hingga phablet (phone tablet) yang
semakin berkembang pesat dengan ragam fitur-fitur canggih. Pendek kata, siswa--sebagai satu generasi baru---menggunakan alat-alat yang dianggap menarik oleh mereka
dapat membuat perbedaan dalam proses belajar saat ini, dan membantu mereka

mempersiapkan diri untuk masa depan (Solomon & Schrum, 2010: 1). Didukung oleh
Yamamoto et al., (2010: 109) menyatakan bahwa mengajar dari perspektif pengajaran
berbasis alat web, menunjukkan perlunya memeriksa cara bagaimana guru mengajar,
cara siswa belajar, dan dasar-dasar budaya. Tradisional berfokus pada peningkatan
pengetahuan melalui menghafal fakta dan retensi pengetahuan baru; sementara itu,
beberapa berpendapat bahwa akan ada kesenjangan antara cara siswa hidup dan cara
mereka belajar. Secara khusus, pendidik ditantang dengan siswa generasi baru yang
mengharapkan lingkungan belajar dengan mengakomodasi gaya hidup digital mereka
yang global, multidisiplin, dan reflektif. Era Web 2.0 adalah istilah yang pantas disemat
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 2

untuk merepresentasikan bahwa siswa tidak lagi tergantung pada buku teks tunggal, teks
klasik, atau esai. Web 2.0 mampu menciptakan komunitas daring (online) yang
menawarkan implikasi yang menarik untuk proses pemelajaran (Peters, 2009: 10).
Berikut gambar 1.1 adalah gambaran ringkasan dari Web 2.0 yang memungkinkan
pengembangan siswa dibandingkan dengan metode yang didominasi teks (ibid.: 11).
Web 2.0
Didominasi Teks
Orientasi guru/siswa multipel
Orientasi satu guru

Siswa yang berbeda dengan topik yang berbeda
Satu untuk semua
Bermacam-macam produk
Satu jenis produk
Audiens multipel
Satu audiens (guru)
Media multipel
Berdasarkan teks saja
Kolaboratif
Kompetitif
Sinkron dan asinkron
Sinkron
Jadwal fleksibel
Jadwal tidak fleksibel
Gambar 1.1 Kesempatan perkembangan siswa: Web 2.0 vs. Didominasi teks
Evolusi Web 2.0 memiliki implikasi penting bagi para pendidik global, khususnya
guru bahasa asing jika dikaitkan di dalam konteks pengajaran bahasa. Crystal (2001)
menunjukkan bahwa teknologi menawarkan kepada semua siswa, yaitu mereka
memiliki kesempatan untuk belajar dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin. Hasil
dari penggunaan teknologi berpotensi positif, artinya mengintegrasikan teknologi ke

dalam pendidikan telah meyakinkan sejumlah negara (termasuk Indonesia) untuk
memulai penggunaan Internet dan teknologi informasi dalam sistem pendidikan mereka
untuk menghasilkan tenaga kerja yang terdidik, terampil dalam teknologi baru dan
mampu menghadapi tantangan global (Miner, 2004; Almekhlafi, 2006; Lavin &
Wadmany, 2006) (ibid.). Munculnya teknologi ruang informal yang menuntut pemelajar
dan guru untuk memiliki kemampuan untuk memanfaatkan potensi TIK dan untuk
menggabungkan sumber daya yang tersedia bagi mereka untuk membentuk sendiri
lingkungan belajar pribadi mereka. Perubahan dalam lingkungan operasional yang
dijelaskan di atas menimbulkan tekanan yang berkembang untuk berpikir ulang dan
mendesain kembali lingkungan pengajaran bahasa. Hal ini merupakan sebuah
tantangan, khususnya bagi guru bahasa. Apalagi ruang lingkup belajar bahasa asing
yang menuntut pemelajar agar dapat terpajan dalam lingkungan bahasa target terbantu
dengan masuknya era perkembangan teknologi ini.
Dalam penegasan lain, menurut Albert (2013: 4) salah satu keuntungan terbesar
dari adanya terobosan teknologi baru (Web 2.0) akan sangat bermakna untuk
menghubungkan pemelajar bahasa asing (Inggris) dengan penutur jati bahasa target.
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 3

Alhasil, teknologi memainkan peran sangat penting dalam menciptakan kesempatan
belajar yang lebih banyak bagi pemelajar bahasa asing agar dapat berkomunikasi

dengan penutur jati baik berkomunikasi secara sinkron atau asinkron (ibid.). Di bidang
Computer Assisted Language Learning (CALL) seorang peneliti memeriksa dampak
integrasi teknologi pada pengajaran dan pemelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa
kedua (ESL) dan/atau bahasa Inggris sebagai bahasa asing (EFL) (Frigaard, 2002; AlMekhlafi, 2006; Timucin, 2006). Timucin (2006) melihat dengan teliti proses
pelaksanaan suatu inovasi EFL dalam bentuk CALL dalam program persiapan di
Universitas Turki. Studi Timucin menyelidiki efektivitas penggunaan multimedia
(digunakan dengan buku teks) untuk mengajar siswa EFL, dan dampaknya pada praktik
pengajaran guru. Titik fokus dari proyek ini adalah untuk mempromosikan kompetensi
komunikatif dan otonomi pemelajar melalui penerapan alat teknologi. Peneliti
menggunakan dua instrumen untuk mengumpulkan data, yaitu kuesioner dan
wawancara semi-terstruktur. Salah satu temuan adalah bahwa guru menjadi lebih
terlibat dalam mempersiapkan bahan tambahan dengan memanfaatkan fasilitas
teknologi baru, yakni membuat proyek baru yang tersedia untuk mereka gunakan.
Temuan lain menunjukkan bahwa guru menjadi lebih tertarik dan terlibat dalam
pertemuan dan diskusi dengan kolega dan administrator. Pertemuan-pertemuan dan sesi
diskusi membawa guru dan administrator secara bersama-sama untuk berbagi ide dan
merefleksikan praktik mengajar mereka sendiri. Apalagi, diskusi daring (online)
menggunakan komunikasi sinkron dan asinkron memungkinkan pemelajar bahasa asing
bereksperimen dengan bahasa mereka untuk negosiasi makna (negotiate meaning),
sehingga menaikkan keluaran yang dapat dipahami (comprehensible output) (Swain,

1995).
Belajar bahasa asing dengan kondisi alih budaya yang begitu berbeda secara
signifikan dibanding dekade sebelumnya terlebih di era serba digital seperti sekarang ini
memberikan impresi agar tercipta tujuan kurikulum dengan memasukkan perspektif
global. Sebagaimana kerap dirasakan oleh para guru di kelas bahasa bahwa konten
global telah tertanam dalam sebagian besar standar nasional. Menilik pada beberapa
fakta yang ada dapat dibuktikan ketika guru meminta siswa mereka untuk melaporkan
tugas via surel atau surat elektonik (email), berkolaborasi dalam sebuah esai yang akan
digunakan dalam presentasi multimedia, membandingkan budaya negara-negara asing
bahasa target dengan melakukan pencarian pada Internet, atau mengambil sampel
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 4

materi pemelajaran pada salah satu situs; bukanlah pelencengan dari kurikulum. Peters
(2009: 14) menyebutnya bahwa kegiatan ini dapat berfungsi sebagai cara untuk
menghasilkan tingkat motivasi yang lebih tinggi, serta minat di lapangan melalui
rangsangan dan keterlibatan. Memang tampaknya, perspektif global itu menurut
definisi, membangkitkan topik luas dan tak terkendali yang harus dipertimbangkan. Jadi
pertanyaannya adalah: Harus mulai dari mana?
B.


Web 2.0 dan Diversitas Sosiokultural
Sependapat dengan yang diungkapkan oleh Solomon & Schrum (2010: 1) bahwa

pencarian via Google “definisi Web 2.0” memunculkan hasil ratusan ribu tautan.
Kendati demikian, Webopedia (www.webopedia.com/TERM/W/Web_2_ point_0.html)
mendefinisikanya sebagai berikut:
Web 2.0 merupakan istilah yang diberikan untuk menggambarkan generasi
kedua dari World Wide Web yang difokuskan pada kemampuan orang
untuk berkolaborasi dan berbagi informasi secara daring (online). Web 2.0
pada dasarnya mengacu pada transisi dari halaman web HTML statis ke
web yang lebih dinamis, lebih terorganisir, dan didasarkan pada melayani
aplikasi web untuk pengguna. Fungsi lain yang disempurnakan dari Web
2.0 termasuk komunikasi terbuka dengan penekanan pada komunitas
berbasis pengguna web, lebih terbuka dan bersifat berbagi informasi.
Seiring waktu, Web 2.0 telah digunakan lebih sebagai istilah pemasaran
daripada istilah komputer yang berbasis sains. Blog, wiki, dan layanan
web semua dilihat sebagai komponen dari Web 2.0.
(ibid.)
Hasil elaborasi terkait Web 2.0, sebagai ilustrasi---masih mengutip Solomon &
Schrum (2010: 142)---awal mula Web, sekarang dikenal sebagai Web 1.0, hanya

mengubah informasi teks dan kapasitas komunikasi di Internet menjadi pengalaman
visual dari situs web dan kumpulan besar data. Konten pada halaman web pada
khususnya, merupakan teks tetapi dibuat dengan format yang secara visual
menyenangkan dan diilustrasikan dengan foto-foto, grafis, dan data lainnya. Web 2.0
sekarang menambahkan unsur interaktivitas pengguna dan berubahnya kemampuan
pengguna; dari hanya untuk membaca halaman web menjadi mampu membaca dan
menulis. Pengguna tidak hanya mengambil informasi, tetapi mereka juga mampu
menciptakan dan berbagi konten mereka sendiri dengan mudah, dan memberikan
umpan balik tentang apa yang di-post orang lain; serta menambah review produk dan
menemukan orang-orang dengan pandangan serupa (ibid.). Teknologi tidak hanya
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 5

memberikan kesempatan pemelajar untuk mengontrol proses belajar mereka sendiri,
tetapi juga memberikan mereka akses yang siap untuk sejumlah besar informasi di mana
guru tidak memiliki kekuasaan atau kontrol (Lam & Lawrence, 2002).
Para guru bahasa seyogianya telah cukup familiar dengan teknologi Web 2.0
seperti: Podcast, Wiki, Blog, situs dengan fasilitas media seperti Flickr dan YouTube,
konferensi video, Google dokumen, VoiceThread, Vlogs dan masih banyak nama-nama
yang lain. Melalui sejumlah teknologi Web 2.0 tersebut para siswa menciptakan
kesempatan yang nyata dalam memeroleh bahasa asing mereka. Albert (2013: 5)

menunjukkan dengan dilambari atau didasari dari segi teori pemerolehan bahasa kedua
(second language acquisition/SLA), masukan yang dapat dipahami (comprehensible
input) dan bukti negatif (negative evidence) sangat penting untuk pemerolehan bahasa
dan pemelajaran bahasa. Akan tetapi, kemaknawian masukan yang dapat dipahami
(comprehensible input) dan bukti negatif (negative evidence) hanya akan tersedia jika:
(a) pemelajar terlibat dalam komunikasi otentik dengan penutur jati dan/atau penutur
jati terdekat---kendati demikian, pada konteks bahasa Inggris sebagai bahasa global
konsep “penutur” jati dan non-jati menjadi kian kurang relevan, kemungkinan akan
lebih tepat untuk berpikir mengenai tingkat kecakapan pengguna sebuah bahasa
(Brown, 2007: 225)---dan (b) kecukupan waktu yang tersedia untuk berinteraksi.
Lingkungan daring baik sinkron maupun asinkron memberikan kelebihan untuk
menciptakan kesempatan belajar bahasa asing yang memenuhi kemaknawian
comprehesinble input dan negative evidence dengan lebih menekankan interaksi
kecakapan pengguna bahasa target. Peters (2009: 14) mengatakan meskipun ide-ide ini
terdengar bagus, sebagian guru akan mengatakan, “Anda tidak benar-benar memahami
kelas saya, mata pelajaran saya, dan cara saya harus memenuhi kurikulum tertentu.
Orang akan mulai mengeluh jika tidak mendapatkan nilai yang lebih baik.” Hal yang
selanjutnya dapat digarisbawahi ialah pernyataan (spring, 2000) dikutip oleh Santrock
(2004: 496) bahwa teknologi membawa beberapa isu sosial. Misalnya, akankah
penggunaan teknologi di sekolah, terutama komputer, akan memperlebar jurang

perbedaan antara murid kaya dan miskin, atau antara pria dan wanita? Pasalnya,
komputer sering dipakai untuk aktivitas yang berbeda di kelompok sosiokultural yang
berbeda. Gipson (1997); Sheffield (1997) memberikan beberapa rekomendasi untuk
mencegah dan mengurangi kesenjangan dalam akses penggunaan komputer yang
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 6

terangkum dalam poin-poin penting berikut, yakni: (1) saring teknologi untuk
menghilangkan bias gender, kultural, dan etnis; dan (2) gunakan teknologi sebagai alat
untuk menyediakan kesempatan pembelajaran yang aktif dan konstruktif untuk semua
siswa dari semua latar belakang gender, etnis, dan kultural (ibid.). Web 2.0---sekali lagi
ditegaskan---tak pelak memunculkan banyak keraguan dari guru-guru pengajaran
bahasa kepada siswa mereka melihat kondisi di kelas. Penyebabnya sungguh menarik,
guru di mana-mana telah dibebani dengan segala macam tuntutan dan enggan
mengambil tanggung jawab baru; terutama jika manfaatnya mungkin tidak langsung
pada peningkatan nilai (Peters, 2009: 14).
Contoh kasus, Marsha Goren, seorang guru pelajaran bahasa Inggris dan
pemenang banyak penghargaan internasional, menemukan dirinya bingung dan
khawatir ketika komputer pertama mulai tiba di sekolahnya. Ia mulai berpikir:
Bagaimana saya akan menghadapi kotak kecil dengan layar itu? Goren menyadari
bahwa ia sekarang dalam perjalanan baru: Saya harus berusaha memajukan siswa-siswa
saya dan saya sendiri ke dunia masa depan, tidak meneruskan pendidikan mengenai
dunia di masa lalu yang tidak akan mereka temui lagi. Perjalanan baru dimulai ketika ia
bergabung dengan sebuah program daring, Friends and Flags, dan ia mulai melihat
bagaimana program tersebut dapat membantu siswa dalam belajar bahasa Inggris
dengan mudah dan menyenangkan, dengan berpasangan bersama siswa dari negaranegara lain dalam pelbagai proyek kreatif (ibid.: 21-2). Menurut Richards (2000) pada
Young & Bush (2004: 10), seorang veteran guru bahasa Inggris SMA, dua jawaban
setuju pada pertanyaan berikut mengindikasikan bahwa seorang guru seharusnya
melakukan perubahan untuk mengimplementasikan teknologi:


Akankah penggunaan teknologi meningkatkan percakapan di kelas?



Akankah hal itu memenuhi kesahihan proses belajar-mengajar di kelas?



Akankah tidak bermasalah bagi individual?



Apakah itu sesuatu hal yang pantas dari segi waktu dan usaha? (hlm. 38)

Hakikatnya, mengimplementasikan teknologi pada situasi kelas bahasa asing adalah
penting untuk mempertimbangkan sasaran akhir keseluruhan pengajaran dan
pemelajaran. Teori berkaitan akan hal tersebut dapat mengarah pada Taxonomy of
Educational Objectives (1956) yang diterbitkan oleh Bloom dan mengutip Mager
(1962) pada Norton & Wiburg (2003: 22) ketika ia menulis: "Sebelum Anda
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 7

mempersiapkan instruksi, sebelum Anda memilih bahan, ancangan atau metode penting
untuk dapat menyatakan secara jelas apa tujuan Anda" (hal. viii).
C.

Pertalian Teori Pengajaran Bahasa Asing di dalam Praksis dan Multidisiplin
Dalam konteks praktik mengajar di kelas, secara pribadi jika dilihat dalam faktor

motivasi, penulis lebih memilih untuk mempersepsikan kesesuaian alasan dan/atau latar
belakang

yang

berkenaan

dengan

peningkatan

pemelajaran

B2.

Artinya,

mengakomodasi keseluruhan hal-hal yang melatarbelakangi motivasinya untuk belajar
B2. Pemahamaan akan hal ini akan dibawa pada kegiatan instruksi di kelas dan
pemilihan bahan ajar yang sebisa mungkin memelihara motivasi tersebut ataupun
dengan harapan dapat lebih meningkat kadar motivasinya. Motivasi akan melihat sikap
belajar terhadap B2 secara positif atau sebaliknya. Penciptaan atmosfer yang
menumbuhkan motivasi yang tinggi, yakni dengan menghadirkan sisi dari misal budaya
negara bahasa target yang menarik dengan keanekaragaman konteks peristiwa dalam
kehidupan nyata. Pandangan Cook (2008) yang mengkategorikan tiga faktor utama
individu dalam proses belajar bahasa asing, di antaranya: motivasi, sikap, dan bakat
sehingga dalam ungkapan lain bahwa salah satu alasan mengapa pemelajar B2 belajar
lebih baik daripada yang lain tidak diragukan lagi karena mereka termotivasi (hlm. 136).
Kita harus memahami bahwa tujuan pengajaran bahasa termasuk mengubah sikap
masyarakat terhadap budaya lain dan menggunakan bahasa kedua secara efektif.
Bermula dari penjelasan yang dilontarkan oleh Eliis (1985) pada tiga pokok dari
faktor personal---yakni, (1) group dynamics, (2) attitudes to the teacher and course
materials, dan (3) individual learning techniques---dan yang pertama adalah perihal
dinamika kelompok (group dynamics), menyebutkan dinamika kelompok sebagai
atmosfer kompetitif antar pemelajar di dalam kelas. Faktor ini mengapa termasuk ke
dalam personal, karena pemelajar akan sangat menentukan posisi dirinya di dalam
kelas. Pemelajar memiliki keputusan akan pilihan untuk memberikan sisi positif dirinya
untuk berpartisipasi di dalam kelas. Sebaliknya, jika pemelajar cenderung memiliki
kekhawatiran, maka akan menyulitkan kesuksesan dalam belajar B2. Kedua adalah
sikap pada guru dan materi ajar. Umum diketahui bahwa terdapat banyak pandangan
mengenai guru yang paling baik dalam menghasilkan kesuksesan belajar B2. Persepsi
terhadap guru dapat dikatakan relatif. Masing-masing indvidu memilki karakter
tersendiri guru terbaik bagi mereka. Yang dimaksud dengan guru terbaik akan sangat
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 8

terkait dengan gaya mengajar guru di kelas. Banyak istilah dari scholar yang dikutip
oleh Eliis (1985: 103). Di antaranya, Stevick’s (1980) yang menyatakan bahwa bisa saja
pemelajar merasa nyaman jika ada ‘jarak’ antara guru dan siswa. Akan tetapi, lain
halnya dengan Bailey (1980), misalnya berpendapat tentang demokrasi di kelas.
Artinya, terjalin interaksi yang seimbang antar siswa maupun gurunya sendiri. Dan yang
ketiga dari faktor personal, yakni teknik belajar individu. Jelas dikatakan bahwa setiap
pemelajar itu unik. Mereka mempunyai ciri khasnya sendiri untuk menentukan gaya
belajar yang sesuai bagi mereka. Namun, Ellis berpendapat teknik belajar yang
cenderung sama pada setiap pemelajar, yaitu berkenaan dengan grammar (tata bahasa)
dan pronunciation (pengucapan atau pelafalan). Para pemelajar sedapat mungkin akan
menciptakan kondisi untuk mereka dapat berinteraksi dengan penutur jati. Alhasil,
esensi kesuksesan belajar bahasa asing pada teori-teori pengajaran bahasa tidak
sepenuhnya bergeser hanya saja faktor-faktor seperti motivasi, penghargaan pada siswa,
dan kemaknawian dan/atau relevansi materi pembelajaran ke dalam dunia nyata
mengunggulkan penggunaan teknologi di kelas bahasa. Web 2.0 sangat cocok dengan
perkembangan terbaru dalam teori pemelajaran: Kita belajar lebih efektif dalam
interaksi kelompok, dibandingkan melalui pemelajaran dalam kelas tradisional
(Downes, n.d.)
Siswa juga memerlukan pemahaman bahwa multidisiplin ilmu pada bidang
pemelajaran bahasa asing yang sedang mereka lakukan akan lebih menonjolkan
keefektifan belajar bahasa asing. Dalam penegasan lain, jika berbicara dengan
mengaitkan konteks budaya dan integrasi teknologi pada pemelajaran bahasa asing,
maka hal itu sudah dapat dikatakan multidisiplin. Sehubungan akan hal tersebut, istilah
“Keterampilan Abad ke-21” segera menyebar di antara pengambil keputusan
pendidikan, penjabat pemerintah dan pemimpin industri (Peters, 2009: 33).
“Keterampilan ini mencakup belajar tentang budaya lain sebagai bagian
integral dari studi sastra, sejarah, ilmu sosial, ilmu alam, seni, dan program
lainnya di seluruh kurikulum. Hanya dengan belajar tentang agama,
budaya dan cara hidup lain, maka siswa dapat meningkatkan pemahaman
mereka tentang beragam perspektif yang mencerminkan dunia secara
keseluruhan dan orang-orang yang menghuninya”. (Council of Chief State
School Officers, 2006) (ibid.).
Realisasinya hanya sesederhana ketika membahas materi belajar praktik berbicara
dengan mendiskusikan, misalnya tentang pemilu (pemilihan umum) pertama mereka.
Siswa pun akan lebih memaknai belajar bahasa asing secara mendalam karena alih-alih
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 9

membahas topik “Bagaimanakah cuaca hari ini? Apakah terasa panas atau sejuk
(dingin)?” bandingkan jika dengan lebih mengelaborasi materi cuaca seperti ini:
“Apakah semalam di rumahmu hujan deras? Saya penasaran bagaiman hujan bisa
sederas itu, bagaimanakah proses terjadinya hujan?”. Selain tentu mereka (para siswa)
belajar kemahiran berbicara seperti mempresentasikannya di depan kelas atau
menuliskannya (kemahiran menulis), proses belajar mereka lebih bermakna karena bagi
mereka topik tersebut benar-benar menarik---mereka alami dan temui dalam keseharian
mereka. Tanpa mereka sadari, mereka pun belajar tentang geografi. Kecanggihan
teknologi semakin memudahkan pengumpulan materi proses belajar mereka atau
menampilkan secara nyata dalam layar virtual hasil kerja mereka tentang pendapatnya
dalam diskusi kelompok. Akan tetapi, patut diperhatikan menurut Cofino (2008) diambil
dari Peters (2009: 67) seringkali, guru mendirikan sebuah ruang daring (online) untuk
siswa dan kemudian hanya membiarkan “mereka lakukan apa saja”---pada dasarnya
membiarkan siswa berada di lingkungan yang baru (kadang-kadang karena guru tidak
yakin di mana harus memulai). Hal ini tidak hanya menyediakan lahan subur untuk
kelakuan buruk, namun jelas bukan sesuatu yang guru lakukan di dunia nyata, jadi tidak
ada alasan untuk “membiarkan mereka lakukan apa saja” dalam lingkungan virtual.
Guru harus menjadi model untuk perilaku daring yang sesuai, karena mereka berada di
kelas nyata.
D.

Menghubungkan Tema Global pada Kurikulum Pengajaran Bahasa Asing
Satu pertanyaan yang akan coba dijawab: Bagaimana para guru bahasa asing

dapat mengintegrasikan perspektif global dalam era Web 2.0 ke dalam kurikulum
berbasis standar TK sampai SMA? Tulisan dasar dari Robert Hanvey akan menjadi
rantai pendulum esensi belajar bahasa asing di era Web 2.0. “Sebuah Pencapaian
Perspektif Global” merupakan judul dari esai penting yang dibuat oleh Hanvey pada
tahun 1976. Di tahun yang bahkan istilah Internet belum secara resmi populer untuk
digunakan. Tulisan Hanvey secara luas dianggap sebagai dasar di bidang pendidikan
global, karena ia adalah yang pertama menyakinkan para pendidik bahwa karena kita
sekarang hidup dalam sebuah komunitas global yang saling bergantung, kita tidak
cukup hanya menyadari perbedaan dangkal di antara masyarakat. Dengan memberikan
para siswa pelbagai lensa untuk melihat dunia, kita berada pada saat yang sama
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 10

memberikan mereka dengan alat dan pilihan untuk pemecahan masalah secara kreatif,
yang diperlukan dalam sebuah kebudayaan dunia yang beragam dengan tantangan dan
peluang. Hanvey menjelaskan lima dimensi dasar perspektif global yang menyediakan
kerangka kerja bermanfaat bagi guru yang mengeksplorasi atau mengembangkan belajar
global.
Dimensi Pertama: Kesadaran Perspektif
Tujuan dari dimensi pertama adalah untuk membantu supaya siswa sadar bahwa tidak
semua orang berbagi pandangan yang sama dengan mereka. Ini adalah langkah pertama
dan dasar tentang jalan menuju kesadaran diri, tahap perkembangan yang setiap orang
harus alami.
Mengintegrasikan Teknologi dalam Pengajaran Bahasa Asing dengan Dimensi
Pertama


Mendiskusikan isu nasional penting dari sudut pandang negara lain---bagaimana
pelbagai negara meliput peristiwa di Timur Tengah? Tsunami di Aceh? Pemilu di
Indonesia? Gunakan surat kabar dan sumber-sumber media dalam bahasa target
diambil dari pencairan di Google News (http://news.google.com) dengan fokus
pada isu-isu dalam berita yang akrab bagi siswa dan minta siswa memerankan
dirinya sebagai orang dari negara lain (dapat berperan sebagai public speaker atau
newscaster).



Bergabung dengan serangkaian diskusi konferensi video, di mana sekolah-sekolah
di negara yang berbeda saling berhubungan, seperti yang diselenggarakan oleh
Global Nomads, pada satu topik masalah. Mintalah siswa mencatat pendekatan
yang berbeda dan asumsi peserta yang berbeda (siswa belajar kemahiran menyimak
dari situasi tersebut).

Dimensi Kedua: Pengetahuan tentang Kondisi Dunia
Dimensi kedua mendorong kesadaran siswa untuk menyadari, bahwa kondisi sekitar
mereka kemungkinan tidak berlaku universal---bahwa kebanyakan orang di dunia di
mana mereka lahir, menjalani hidup yang sama seperti orangtua mereka dan kakeknenek, dan mobilitas banyak orang di masyarakat Barat yang telah maju, adalah sebuah
fenomena baru.
Mengintegrasikan Teknologi dalam Pengajaran Bahasa Asing dengan Dimensi
Kedua
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 11



Gunakan layanan seperti ePals untuk mewawancarai siswa tentang lingkungan fisik
dan ekonomi. Mintalah siswa membuat presentasi seperti blog, wiki, atau podcast
yang menggambarkan masalah yang dihadapi oleh orang-orang yang mereka
pelajari. (Sebelum pelaksanaan tugas tersebut siswa diharuskan membaca pelbagai
literatur dengan varian jenis teks (genre).



Fokus pada satu masalah lokal dengan dampak global, seperti penggunaan lampu
rendah energi atau tentang hari Bumi.

Dimensi Ketiga: Kesadaran Lintas-Budaya
Cara yang baik untuk menjelaskan dimensi ketiga kepada siswa adalah memberikan
perbandingan stereotip dari kebijakan terhadap kemerdekaan dan kebebasan negaranya,
dengan banyak budaya di seluruh dunia yang mengedepankan nilai-nilai harmoni
berkelompok, hubungan timbal balik dan sistem keluarga besar.
Mengintegrasikan Teknologi dalam Pengajaran Bahasa dengan Dimensi Ketiga


Terhubung dengan ruang kelas di negara-negara di mana keluarga besar adalah
bagian dari norma yang lebih dihormati, seperti Indonesia, Meksiko dan Filipina;
dan meminta siswa melakukan survei satu sama lain seperti sikap terhadap isu-isu
adat, festival dan lain-lain.



Gunakan hubungan kelas sebelumnya untuk membandingkan cerita pendek klasik
atau cerita rakyat, dan meneliti bagaimana mereka mencerminkan kualitas yang
terkait dengan nilai ditempatkan pada keluarga besar dibandingkan dengan upaya
individu dan prestasi. (Siswa dapat memperkaya kosakata tentang hubungan
keluarga dan memahami teks-teks naratif berupa cerita rakyat)

Dimensi Keempat: Pengetahuan tentang Dinamika Global
Tujuan dari dimensi keempat adalah untuk membuat siswa sadar akan relevansi budaya
dari sudut pandang konsekuensi yang tidak diinginkan dari pertukaran budaya dan
pengaruhnya. Sebagai contoh, sebuah tren yang muncul dalam satu kebudayaan bisa
mengganggu bagi kebudayaan yang lain.
Mengintegrasikan Teknologi dalam Pengajaran Bahasa dengan Dimensi Keempat


Mintalah siswa dari setiap kelas di negara lain untuk mengembangkan daftar ikon
budaya. Bandingkan daftar untuk menemukan yang saling tumpang tindih dan
perbedaannya. Diskusikan bagaimana masing-masing ikon untuk mewakili nilainilai budaya masing-masing.
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 12



Bandingkan situs khusus perusahaan multinasional yang ada di negara-negara yang
berbeda, cari tahu perbedaannya dan mengapa hal tersebut bisa terjadi. (Dalam
kasus tersebut siswa dapat memelajari tentang Business Culture).

Dimensi Kelima: Pengetahuan tentang Alternatif
Dengan perhatian baru-baru ini diberikan kepada pemanasan global, siswa kita mungkin
memahami lebih baik mengenai dimensi kelima, dunia sebagai sebuah sistem
komponen yang saling bergantung, dibandingkan yang dipahami para siswa ketika
Hanvey menulis artikel ini pada tahun 1976. Indonesia baru-baru ini memperkenalkan
sebuah mobil LCGC (Low Cost Green Car), memungkinkan jutaan orang Indonesia
mengemudikan mobil untuk pertama kalinya, yang menyebabkan pencemaran tambahan
tak terhitung---walaupun mengklaim sebagai green car dan selain itu menggunakan
BBM bersubsidi---dan pemanasan global cenderung meningkat. Tapi bagaimana kita
memberitahu keluarga Indonesia bahwa mereka tidak boleh memiliki mobil terjangkau?
Mengintegrasikan Teknologi dalam Pengajaran Bahasa dengan Dimensi Kelima
Mengembangkan PBB tiruan atau perjanjian global, seperti Kyoto, dengan kelas
kolaborasi (alternatif selain melakukan debat dalam bahasa target). Tempatkan dalam
diskusi suatu topik pada suatu masalah global, seperti HIV/AIDS, pemanasan global,
atau terorisme.


Mintalah siswa mengambil peran sebagai delegasi negara mereka yang harus
bernegosiasi atau berkompromi (siswa dalam hal ini akan belajar tentang pelbagai
ekspresi ujaran dalam bahasa target), mengenai isu-isu tertentu dalam rangka untuk
mencapai suatu kesepakatan.



Pasangkan siswa dari kelas kolaborasi dan minta mereka memainkan peran
konsultan internasional yang perlu mengembangkan kampanye multimedia di
negara masing-masing untuk membangun dukungan publik, berkompromi
mengenai isu utama dengan dampak global.

E.

Simpulan: Kekuatan Mentoring dan Kolaboratif
Kerja kolaboratif dengan guru bahasa mitra global menggunakan teknologi Web

2.0 membutuhkan beberapa upaya awal untuk dipersiapkan. Untuk kolaborasi pertama,
Peters (2009: 77) akan merekomendasikan persiapan hingga enam minggu. Penugasan
harus selaras sehingga sesuai dengan tujuan dalam kurikulum setiap guru, dan rubrik
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 13

penilaian yang mencerminkan standar yang terkait dan tujuan dari mitra kolaboratif.
Kesemua hal tersebut dibicarakan dan didiskusikan disertai pula perbandingan akan
iklim kelas bahasa pada setiap sekolah yang berbeda serta strategi pengajaran untuk
diterapkan. Semua guru berbeda dalam memilih format pelajaran, tetapi jika guru
bahasa bersama siswa mereka dapat mendedikasikan sebuah alat Web 2.0 untuk rencana
pelajaran dan sumber daya yang relevan, maka guru selayaknya seorang mentor dapat
menunjukkan kepada siswa arti kolaborasi dan juga dapat membiarkan siswa tahu setiap
hari bahkan setiap jam, bagaimana hasil kerja mereka dan peningkatan mereka akan
kesuksesan pemerolehan bahasa target. Mereka (para siswa) seolah tidak menyadari
proses pemerolehan bahasa target yang sedang mereka lakukan. Siswa juga dapat
bekerja sendiri melalui materi yang ada tanpa intervensi aktif guru, dan mereka juga
tahu bahwa semua yang mereka lakukan dengan alat Web 2.0 didokumentasikan.
Terakhir, kita harus berpartisipasi dalam kolaborasi global. Siswa perlu berkomunikasi
langsung dengan orang lain di planet ini karena bagaimana pun juga esensi dari belajar
bahasa asing adalah dengan mempraktikkannya, daripada mengonsumsi informasi
tentang pelbagai negara dan budaya secara tidak langsung melalui buku teks, guru, atau
video. Pengalaman langsung adalah sumber dari banyak pelajaran penting---hal-hal
yang lebih tertanam ke dalam diri mereka.
Daftar Acuan
Alberth (2013). Technology-enhanced teaching: A revolutionary approach to teaching
Englsih as a foreign language. TEFLIN Journal, 24(1), 1-13.
Brown, H. D. (2007). Principles of language learning and teaching, Fifth Edition. NY:
Pearson Education, Inc.
Cook, V. (2008). Second language learning and language teaching. London: Arnold.
Downes, S. (n.d.). E-learning 2.0 diambil pada tanggal 8 Juli 2009 dari National
Research Council of Canada, http://eleranmag.org/subpage.cfm?section=
articles&article=29-1
Ellis, R. (1985). Understanding second language acquisition. Oxford: OUP.Crystal, D.
(2001). Language and the internet. Cambridge: Cambridge University Press.
Lam, Y., & Lawrence, G. (2002). Teacher-student role redefinition during a computerbased second language project: Are computers catalysts for empowering change?
Computer Assisted Language Learning, 15(3), 295-315.
Norton, P. & Wiburg, K. (2003). Teaching with technology: Designing opportunities to
learn, second edition. Canada: Thomson Wadsworth.
Peters, L. (2009). Global education: Using technology to bring the world to your
students. Washington, DC: International Society for Technology in Education
(ISTE).
Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 14

Santrock, John W. (2004). Educational psychology, 2nd edition. New York: Mc-GrawHill.
Solomon, G. & Schrum, L. (2010). Web 2.0: How-to for educators. Washington, DC:
International Society for Technology in Education (ISTE).
Swain, M. (1995). Three functions of output in second language learning. In G. Cook &
G. Seidhofer (Eds.), Principles and practices in applied linguistics: Studies in
honor of H.G. Widdowson (pp. 125-144). Oxford: Oxford University Press.
Timucin, M. (2006). Implementing CALL in the EFL context. ELT Journal, 60(3), 262271.
Yamamoto, et al. (2010). Technology Implementation and Teacher Education:
Reflective Model. USA: IGI Global.
Young, C. A., & Bush, J. (2004). Teaching the English language arts with tchnology: A
critical approach and pedagogical framework. Contemporary Issues in
Technology and Teacher Education, 4(1), 1-22.

Universitas Indonesia | Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 15