Jurnal Perencanaan Pembangunan dalam Per
ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN PENDEKATAN
SISTEM LUNAK (SOFT SYSTEM)
(Studi Pada Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang)
Nana Abdul Aziz1, Bambang Supriyono2, MR. Khairul Muluk3
Abstrak
Penyusunan dokumen
Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD)
masih belum
berdasarkan kebutuhan masyarakat, belum mempunyai alur perencanaan yang jelas dan tepat
sebagaimana mengacu kepada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.50 Tahun 2008 dan belum ada
keterkaitan substansi antar dokumen perencanaan yang satu dengan dokumen perencanaan yang lain,
guna merespon paradigma dan pendekatan perencanaan pembangunan, misalnya dari top-down
planning ke bottom-up planning, dari budaya petunjuk ke budaya partisipasi. Padahal didalam proses
menyusun dokumen RKPD ada beberapa tahapan-tahapan atau sub sistem-sub sistem yang
merupakan bagian yang tersistem dalam menyusun RKPD. Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan penyusunan RKPD Pemerintah Kota Malang dengan menggunakan pendekatan soft
system methodology. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Dengan teknik pengumpulan data dari wawancara, observasi, dan studi dokumen serta
menggunakan analisa data kualitatif. Kesimpulan yang didapat bahwa proses penyusunan RKPD
menunjukan masih terdapat kompleksitas permasalahan. Kompleksitas yang dimaksudkan adalah
tahap penyusunan mulai dari musrenbang tingkat kelurahan, musrenbang tingkat kecamatan, forum
SKPD, sampai musrenbang tingkat kota. Pendekatan soft systems methodology mengelompokan
kompleksitas tersebut dalam tiga tahap. Strukturisasi permasalahan, mendefinisikan sistem
permasalahan dan mendefinisikan sistem permasalahan dan membangun model konseptual.
Kata Kunci : Perencanaan pembangunan daerah, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), soft
systems methodology
Abstract
Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) have not been able address the needs of the
community, lead apposite planning pattern as Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun
2008 and combined all substance of the document planning, to respond new paradigm and adapt
planning approach methodology, for instance, top-down planning to bottom-up planning and guided
participatory to active participatory. On the contrary, the process to arrange RKPD are follow stages
as sub-systems that enrol to be systematic blueprint. The objectives of research are considered: to
describe the arrangement process of RKPD viewed and analyzed by Soft Systems Methodology
approach. The method of the research is qualitative with descriptive approach. Data collection
technique is interviews, observations, and document study. Data analysis tool is interactive model
qualitative. The result of the research is indicate that the arrangement process of RKPD have
complexity problem. This was seen through from Musrenbang in Kelurahan, Musrenbang in
Kecamatan, SKPD arbitration, and Musrenbang in Kota. To understanding the complexity of the
problem and discover the solution, this research is conducted by soft systems methodology approach.
The phase of this methodology divides into three stages; structure the problem, defines the problem
and defines the problem and build a conceptual model.
Keywords: Local development planning, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Soft systems
methodology
Latar Belakang
Penyusunan dokumen
Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD)
masih belum
berdasarkan kebutuhan masyarakat, belum mempunyai alur perencanaan yang jelas dan tepat
sebagaimana mengacu kepada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.50 Tahun 2008 dan belum ada
keterkaitan substansi antar dokumen perencanaan yang satu dengan dokumen perencanaan yang lain,
guna merespon paradigma dan pendekatan perencanaan pembangunan, misalnya dari top-down
planning ke bottom-up planning, dari budaya petunjuk ke budaya partisipasi. Penyusunan masih
sebatas pada retoris dan menggunakan pola pikir serta cara pandang lama, misalnya cenderung liniear
dan belum mampu melihat masalah secara holistik. Mekanisme penyusunan masih didominasi usulan
kegiatan secara hirarki dari birokrasi yang berorientasi lebih kepada fisik dan belum secara
komprehensif mengangkat isu-isu strategis yang muncul di masyarakat, sehingga menyebabkan
perencanaan pembangunan cenderung inkrimental, padahal didalam proses menyusun dokumen
RKPD ada beberapa tahapan-tahapan atau sub sistem-sub sistem yang merupakan bagian yang
tersistem dalam menyusun RKPD.
Perencanaan Pembangunan
Perencanaan sebenarnya adalah suatu cara “rasional” untuk mempersiapkan masa depan
Becker (2000) dalam Rustiadi (2008 h.339). Sedangkan menurut Alder (1999) dalam Rustiadi (2008
h.339) menyatakan bahwa :
“Perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta
menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Sebagian kalangan berpendapat
bahwa perencanaan adalah suatu aktivitas yang dibatasi oleh lingkup waktu tertentu, sehingga
perencanaan, lebih jauh diartikan sebagai kegiatan terkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu
dalam waktu tertentu. Artinya perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di
masa yang akan dating serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya.
Dengan demikian, proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah pencapaian serta
mengkaji berbagai ketidakpastian yang ada, mengukur kemampuan (kapasitas) kita untuk
mencapainya kemudian memilih arah-arah terbaik serta memilih langkah-langkah untuk
mencapainya.”
Dari berbagai pendapat dan definisi perencanaan yang telah dikembangkan, Rustiadi (2008 h.340)
menyimpulkan secara umum hampir selalu terdapat dua unsur penting dalam perencanaan, yakni : (1)
unsur hal yang ingin dicapai dan (2) unsur cara untuk mencapainya.
“Dalam penjabarannya, di dalam proses perencanaan dikenal berbagai nomenklatur-nomenklatur
seperti visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, proyek, aktivitas, dan lain-lain. Di
dalam pemanfaatannya, istilah-istilah tersebut sering saling dipertukarkan secara tidak konsisten dan
bahkan cenderung membingungkan (ambiguous), sehingga dapat menggangu proses pembangunan.
Visi, tujuan dan sasaran adalah istilah-istilah yang menjelaskan mengenai unsur perencanaan (hal
yang ingin dicapai) sedangkan misi dan aktivitas adalah istilah-istilah mengenai unsur perencanaan
yang kedua (cara untuk mencapai). Kemudian strategi, program dan proyek merupakan suatu set
kumpulan komponen perencanaan hingga pelaksanaannya (mencakup dua unsur perencanaan) dalam
suatu struktur tertentu.”
Tabel 1.
Istilah-istilah didalam proses perencanaan berdasarkan unsur perencanaan yang dikandungnya
Istilah
(Nomenklatur)
Visi (vision)
Misi (Mission)
Tujuan (Goals)
Sasaran (Objective)
Strategi (Strategy)
Kebijakan (Policy)
Program (Program)
Proyek (Project)
Aktivitas (Action)
√
√
√
√
√
√
√
-
Unsur Perencanaan
Hal yang ingin dicapai
Cara/materi untuk mencapai
√
√
√
√
√
√
Keterangan
Normatif
Normatif
Terukur
Terukur
Normatif/Ter-ukur
Terukur
Terukur
Terukur
Terukur
Sumber : diadaptasi dari Rustiadi (2008 h.324)
Definisi setiap istilah yang tertera di tabel menurut Rustiadi (2008:324) :
1. Visi (vision) : suatu kondisi ideal (cita-cita) normatif yang ingin dicapai di masa datang
2. Misi (mission) : cara normative untuk mencapai visi
3. Tujuan-tujuan (goals) : hal-hal yang ingin dicapai secara umum. Setiap bentuk tujuan (goal)
bersifat dapat dimaksimumkan atau diminimumkan
4. Sasaran (objective) : bentuk operasional dari tujuan, biasanya lebih terukur, disertai target
pencapaiannya. Kondisi minimum yang harus dicapai dalam mencapai tujuan dalam waktu
tertentu
5. Strategi (strategy) : sekumpulan sasaran-sasaran dengan metode-metode untuk mencapainya
6. Kebijakan (policy) : sekumpulan aktivitas (actions), untuk pelaksanaan-pelaksanaan jangka
pencapaian jangka pendek
7. Aktivitas (actions) : kegiatan pelaksanaan, khususnya menyangkut fisik dan biaya
8. Program (program) : sekumpulan aktivitas (actions) untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang
dilakukan oleh suatu institusi tertentu
9. Proyek (project) : sekumpulan aktivitas (actions) untuk mencapai suatu tujuan/target/sasaran
tertentu yang dilakukan oleh suatu institusi tertentu dalam waktu tertentu dengan sumberdaya
(biaya) tertentu
Lebih lanjut, Conyers & Hill (1990, h.3-8), ada empat komponen utama perencanaan, yaitu :
1. To plan means to choose (merencanakan berarti memilih)
2. Planning as a means of allocating Resource (perencanaan berarti menyediakan sumberdaya)
3. Planning as a means of achieving goals (perencanaan berarti meraih tujuan)
4. Planning for the future (perencanaan berarti berorientasi pada masa mendatang)
Perencanaan Prosedural dan Substantif
Perencanaan dalam perspektif Faludi dibagi atas dua tipe yaitu prosedural dan subtantif,
Faludi, (1973 h.3) menyatakan :
“Two types of theory which currently come under planning theory : procedural and substantive. The
latter helps planners to understand whatever their area of concern my be. The former can be seen as
planners understanding themselves and the ways in which they operate which, at present, are less
clearly seen as problematic.”
Faludi mensimulasikan perencanaan prosedural dan perencanaan subtantif pada sebuah gambar (1973
h.7).
Gambar 1.
Teori prosedural dan subtantif
Substantive theory
Procedural theory
Procedural theory
Substantive
theory
Sumber : diadopsi dari Faludi (1973, h.7)
Pernyataan terkait tentang perencanaan yang disampaikan oleh Faludi (1973) dapat diartikan
secara sederhana bahwa, penyerapan substansi metode dari disiplin ilmu lain sering disebut sebagai
substantive theory atau dalam teori perencanaan dikenal dengan theory in planning. Sementara teori
perencanaan disebut sebagai teori prosedural atau theory of planning. Dalam praktek, seharusnya
tidak dipisahkan antara theory of planning dan theory in planning. Justru diharapkan keduanya akan
membentuk suatu kolaborasi yang oleh Faludi (1973) disebut sebagai perencanaan efektif. Posisi teori
perencanaan yang berada pada domain publik memaksa adanya kolaborasi tersebut. Walau
bagaimanapun seorang ahli perencana tidak mungkin menguasai berbagai disiplin ilmu secara detail,
ia harus didukung oleh ahli disiplin ilmu lain. Hubungan sebagaimana yang dikemukakan Faludi
sebenarnya akan mengaburkan posisi perencanaan sebagai suatu originalitas keilmuan. Peranan teori
perencanaan prosedural seharusnya memiliki porsi yang lebih besar dalam menjalankan fungsinya,
sementara keberadaan teori substantif diharapkan sebagai pendukung atau inferior dari keberadaan
teori perencanaan prosedural. Pada prakteknya justru teori substantif yang memiliki sumbangan lebih
besar melalui motoda-metoda analisis yang diserap oleh teori perencanaan prosedural.
Perencanaan Teknokratis dan Partisipatif
Terminologi
terkait
pendekatan
perencanaan
teknokratis
sebagaimana
menurut
PERMENDAGRI No.54 Tahun 2010 Pasal 6 yang menyatakan bahwa pendekatan perencanaan
teknokratis merupakan pendekatan yang menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah untuk
mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Metoda dan kerangka berpikir ilmiah yang
dimaksudkan adalah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis
terkait perencanaan pembangunan berdasarkan bukti fisis, data dan informasi yang akurat, serta dapat
dipertanggungjawabkan.
Menurut Sutoro Eko, pendekatan teknokratis dengan pendekatan partisipasi sejatinya tidak
saling bertentangan. Pendekatan teknokratis berupaya melakukan translasi atas pendekatan partisipasi.
Para pemimpin daerah atau politisi sering memberikan respons politik atas partisipasi secara cepat,
begitu dialog dengan masyarakat berlangsung. Sementara pendekatan teknokrasi membutuhkan
proses translasi melalui analisis yang lama, senada dengan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh
proses partisipatif. Tetapi ada sebuah prinsip dasar bahwa siapapun yang sabar mengikuti proses maka
akan membuatnya menjadi lebih bijak. Sehingga jika pendekatan teknokrasi dimasukkan dalam
proses partisipasi maka akan menghasilkan perencanaan yang lebih bermakna dan berkualitas. Hal ini
misalnya ditempuh dengan analisis masalah dan penentuan skala prioritas dalam musrenbang.
Sedangkan perencanaan partisipatif Abe (2005, hal.88) menyatakan bahwa perencanaan yang
dalam tujuannya melibatkan kepentingan rakyat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara
langsung maupun tidak lansung). Menggerakan perencanaan partisipatif membutuhkan pra kondisi
untuk maksud mentransformasikan kapasitas kesadaran dan keterampilan mas yarakat, sehingga bisa
keluar dari tradisi bisu dan menyembunyikan maksud di bawah permukaan. Selama hal ini tidak
berlangsung, maka partisipasi hanya akan terlihat sebagai formalitas partisipatif, sedangkan realitas
sesungguhnya adalah hegemoni dan manipulasi.
Dua bentuk perencanaan partisipatif. Pertama, perencanaan yang langsung disusun bersama
rakyat. Perencanaan ini bisa merupakan perencanaan yang menyangkut daerah dimana masyarakat
berada dan perencanaan wilayah yang disusun dengan melibatkan masyarakat secara perwakilan.
Kedua, perencanaan yang disusun melalui mekanisme perwakilan, sesuai dengan institusi yang sah
(legal-formal), seperti parlemen.
Perencanaan Pembangunan Daerah
Ruh yang dibangun pemerintahan daerah saat ini adalah semangat otonomi daerah dengan
asas desentralisasi, sehingga kebijakan penyelenggaraan pemerintahan menjadi tanggung jawab
daerah sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Pemberian kewenangan yang seluas-luasnya
kepada daerah (desentralisasi) dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan lebih
partisipatif sehingga pelayanan kepada masyarakat berjalan lebih baik dan potensi daerah dapat
dimanfaatkan secara optimal. Kondisi tersebut itulah yang memberikan suatu kesadaran baru bagi
kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa gelombang otonomi daerah tidak bisa dibiarkan
berjalan tanpa “makna” (tidak memiliki arah pembangunan), tapi harus ada upaya untuk mengarahkan
dan mengisinya dengan berbagai tindakan nyata yang lebih proaktif.
Melalui perencanaan pembangunan juga dirumuskan skala prioritas dan kebijaksanaan
pembangunan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan. Sebagaimana disebutkan di
dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat (1) menerangkan bahwa perencanaan adalah
suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Keberhasilan pencapaian tujuan perencanaan pembangunan daerah, menurut Riyadi dan
Bratakusuma (2004 h.15) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor perencanaan pembangunan
daerah merujuk pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembangunan. Beberapa faktor tersebut
meliputi :
1. Lingkungan, faktor lingkungan ini bisa berasal dari luar (eksternal) maupun dari dalam
(internal). Baik dari luar maupun dari dalam. Eksternal biasanya dating dari wilayah tetangga,
atau pengaruh global yang berkembang dalam lingkup nasional maupun internasional,
sedangkan internal merupakan pengaruh yang dating dari dalam wilayah perencanaan sendiri.
Unsur-unsur yang terkandung didalamnya adalah sosial, budaya, ekonomi dan politik
2. Sumber daya manusia perencana, faktor sumber daya manusia merupakan motor penggerak
perencanaan. Kualitas perencanaan yang baik akan lebih memungkinkan tercipta oleh sumber
daya manusia yang baik. Harus bersifat komprehensif atau menyeluruh, sehingga
membutuhkan pengetahuan intersektoral yang luas. Unsur-unsur yang terkandung didalamnya
adalah perencanaan sumber daya alam, perencanaan social ekonomi, dan perencanaan fisik
dan infrastruktur
3. Sistem yang digunakan, faktor sistem yang digunakan adalah aturan-aturan atau kebijakankebijakan yang digunakan oleh suatu daerah/wilayah tertentu sebagai dasar/landasan
pelaksanaan
perencanaan
pembangunannya. Unsur-unsur yang terkandung didalamnya
adalah prosedur, mekanisme pelaksanaan, pengambilan keputusan, pengesahan, dll.
4. Perkembangan ilmu dan teknologi, faktor ilmu pengetahuan dapat memberikan pengaruhnya
dimana tidak hanya dari segi peralatan namun dapat juga adanya berbagai teknik dan
pendekatan manajemen yang lebih maju. Peralatan hanya merupakan salah satu aspek yang
dapat digunakan dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efesiensi.
5. Pendanaan, faktor pendanaan pada dasarnya merupakan faktor yang sudah given. Artinya hal
itu memang harus ada untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas.
Pilihan jenis perencanaan yang tepat akan menciptakan akselerasi dalam pembangunan,
selanjutynya Kuncoro (2012, h.25) menjelaskan sub-sistem dari setiap jenis perencanaan sebagai
berikut :
a. Top-down adalah perencanaan pembangunan yang didominasi oleh pemerintah pusat
(sentralisitik), termasuk juga peran dalam menentukan alokasi anggaran untuk daerah tanpa
banyak memperhatikan prioritas lokal.
b. Bottom-up adalah seperti yang dianjurkan dalam kerangka prosedural, merupakan proses
konsultasi dimana setiap tingkat pemerintahan menyusun draf proposal pembangunan tahunan
berdasarkan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan yang dibawahnya.
c. Perencanaan makro adalah perencanaan pembangunan nasional dalam skala makro atau
menyeluruh. Perencanaan makro ini mengkaji berapa pesat pertumbuhan ekonomi dapat dan
akan direncanakan, berapa besar tabungan masyarakat dan pemerintah akan tumbuh,
bagaimana proyeksinya, dan hal-hal lainnya secara makro dan menyeluruh.
d. Perencanaan sektoral adalah perencanaan yang dilakukan dengan pendekatan berdasarkan
sektor. Yang dimaksud dengan sektor adalah kumpulan kegiatan-kegiatan atau program yang
mempunyai persamaan cirri-ciri dan tujuannya. Pembagian menurut klasifikasi fungsional
seperti sector adalah untuk mempermudah perhitungan-perhitungan dalam mencapai sasaran
makro.
e. Perencanaan regional adalah menitikberatkan pada aspek lokasi di mana kegiatan dilakukan.
Pemda mempunyai kepentingan yang berbeda dengan instansi-instansi di pusat dalam melihat
aspek ruang di suatu daerah.
f.
Perencanaan mikro adalah perencanaan skala terperinci dalam perencanaan tahunan yang
merupakan penjabaran rencana-rencana, baik makro, sektoral, maupun regional ke dalam
susunan proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan dengan berbagai dokumen perencanaan dan
penganggarannya.
g.
Perencanaan menurut jangkauan jangka waktu adalah dengan menggunakan periode waktu
25 tahunan (jangka panjang), 5 tahunan (jangka menengah) dan 1 tahunan (jangka pendek)
Gambar 2.
Perencanaan Regional
RPJP
VISI-MISI KEPALA DAERAH
RPJMD
RKPD
Prioritas
Pembangunan Daerah
Wilayah
Kab/Kota/Kec/Kawasa
n Mana yang Menjadi
Prioritas
LOKUS
Sektor Mana
yang Menjadi
Prioritas
FOKUS
Sumber :
INDIKATOR KINERJA:
Pertumbuhan Ekonomi
Penanggulangan Kemiskinan
Perluasan Kesempatan Kerja
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Sumber: Kuncoro (2012, h.43)
Dokumen perencanaan pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dari proses perencanaan pembangunan itu sendiri, dimana didalamnya ada tahapan penyusunan
rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksana rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu
siklus perencanaan yang utuh. Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan
rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari empat langkah, yaitu
penyiapan rancangan pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh dan terukur; masingmasing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan
rencana
pembangunan
yang
telah
disiapkan;
melibatkan
masyarakat
(stakeholders)
dan
menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintah melalui
musyawarah perencanaan pembanguna dan penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Gambar 3.
Alur Perencanaan
Pedoman
Renja KL
Renstra KL
Pedoman
RPJP Nasional
RPJM Nasional
Pedoman
Diacu
Diacu
RKP
Dijabarkan
Diperhatikan
RPJP Daerah
Pedoman
RPJM Daerah Dijabarkan
Pedoman
Renstra SKPD
RKP Daerah
Diacu
Pedoman
Renja SKPD
Sumber : diadaptasi dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
Frase perencanaan dan pembangunan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
ibarat satu tubuh yang diantara satu organ dengan organ lainnya memiliki keterhubungan yang
melekat, karena pembangunan membutuhkan perencanaan dan perencanaan harus mewujud dalam
pembangunan, mulai dari pemerintahan pusat sampai pada tingkat pemerintahan daerah. Dalam
struktur pemerintahan pusat dikenal dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) dan dalam struktur pemerintahan daerah pada umumnya disebut dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Serta diantara institusi tersebut memiliki
interkonektivitas, sebagaimana juga disebutkan di dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 bahwa :
“Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara Negara dan masyarakat di
tingkat pusat dan daerah”. (Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang No.25 Tahun 2004)”
Dalam rangka mewujudkan sistem perencanaan pembangunan yang ideal, maka dibutuhkan
apa yang disebut dengan tahapan-tahapan, sebagaimana juga sudah terdefinisikan di dalam UndangUndang No.25 Tahun 2004 bahwa tahapan tersebut adalah :
a. Penyusunan rencana
b. Penetapan rencana
c. Pengendalian pelaksana rencana, dan
d.
Evaluasi pelaksanaan rencana
Dalam penulisan ilmiah ini, penulis akan melakukan penelitian pada wilayah pemerintahan
daerah dan difokuskan pada perencanaan pembangunan daerah yang selanjutnya diejawantahkan oleh
institusi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA).
Pada umumnya perencanaan pembangunan daerah di Indonesia mengenal empat pendekatan,
sebagaimana juga disebutkan di dalam PERMENDAGRI No.54 Tahun 2010 Pasal 6, diantaranya
adalah teknokratis, partisipatif, politis dan top down-bottom up :
1. Teknokratis, yang merupakan pendekatan yang menggunakan metode dan kerangka berpikir
ilmiah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Metoda dan kerangka berpikir
ilmiah yang dimaksudkan adalah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan
secara sistematis terkait perencanaan pembangunan berdasarkan bukti fisis, data dan informasi
yang akurat, serta dapat dipertanggungjawabkan.
2. Partisipatif, yakni pendekatan yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku
kepentingan (stakeholders) dengan mempertimbangkan:
a. Relevansi pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, di
setiap tahapan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah;
b. Kesetaraan antara para pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan dan non
pemerintahan dalam pengambilan keputusan;
c. Adanya transparasi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan serta melibatkan media
massa;
d. Keterwakilan seluruh segmen masyarakat, termasuk kelompok masyarakat rentan
termarjinalkan dan pengarusutamaan gender;
e. Terciptanya rasa memiliki terhadap dokumen perencanaan pembangunan daerah; dan
f.
Terciptanya konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan
keputusan, seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi,
kebijakan dan prioritas program.
3. Politis, merupakan pendekatan yang disampaikan melalui program-program pembangunan yang
ditawarkan masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih pada saat
kampanye, disusun ke dalam rancangan RPJMD, melalui:
a. Penerjemahan yang tepat dan sistematis atas visi, misi, dan program kepala daerah dan
wakil kepala daerah ke dalam tujuan, strategi, kebijakan, dan program pembangunan daerah
selama masa jabatan;
b. Konsultasi pertimbangan dari landasan hukum, teknis penyusunan, sinkronisasi dan sinergi
pencapaian sasaran pembangunan nasional dan pembangunan daerah; dan
c. Pembahasan dengan DPRD dan konsultasi dengan pemerintah untuk penetapan produk
hukum yang mengikat semua pemangku kepentingan.
4. Top-down dan bottom-up. Pendekatan yang hasilnya diselaraskan melalui musyawarah yang
dilaksanakan mulai dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional, sehingga
tercipta sinkronisasi dan sinergi pencapaian sasaran rencana pembangunan nasional dan rencana
pembangunan daerah.
Soft System Methodology
Berpikir sistem memiliki dua pendekatan, diantaranya hard dan soft systems thinking. Kedua
pendekatan tersebut dibedakan atas jenis masalah yang dihadapi. Pendekatan Hard system
menghadapi persoalan yang terstruktur dengan jelas, sementara pendekatan soft system menghadapi
situasi masalah yang kurang terdefinisi dengan baik. Checkland dan Scholes (1990 h.22) menyatakan
bahwa perbedaan pendekatan tersebut tidak bersifat fundamental. Perbedaannya justru terletak pada
bagaimana kata sistem digunakan dan pada atribusi kesisteman. Perbedaan fundamentalnya adalah:
jika hard system mengasumsikan bahwa dunia yang dipersepsi berisi holon (system), sedangkan soft
system menganut pandangan bahwa metodologinyapun juga sudah mengandung sistem. Checkland
dan Scholes (1990 h.22) menyatakan bahwa dua pendekatan berpikir sistem di atas tidak hanya
sekedar berbeda dalam menghadapi persoalan tetapi juga saling melengkapi.
Tabel 2.
Perbedaan Antar Pendekatan dalam Berpikir Sistem
HARD APPROACH
SOFT APPROACH
Model Definition/Definisi A reprentation of the real world/ A way of generating debate and insight about the
Model
representasi dari real world
real world/sebuah konsep yang mendefinisikan
hal-hal yang diperdebatkan dan hal-hal yang
tidak dimengerti oleh banyak orang
Problem
Clear and single dimensional Ambiguous and multidimensional (multiple
Definition/Definisi
(single objective)/mudah dan objective)/Ambigu dan mencakup banyak cara
Masalah
menggunakan satu cara pandang
pandang
People and Organization/ Not taken info account/Tidak Are integral parts of the model/Merupakan
Pelaku dan Organisasinya
memiliki
keanggotaan
dan bagian kecil dari keseluruhan model
struktur organisasi yang jelas
Data
Quantitative/Kuantitatif
Qualitative/Kualitatif
Goal/Tujuan
Solution
and Insight and learning /Penguasaan wawasan dan
optimization/Menempatkan solusi proses pembelajaran
dan perbaikan
Outcome/Hasil
Product
and Progress through group learning/Kemajuan
recommendation/Rekomendasi
dalam kelompok pembelajaran
dan Hasil
Sumber : diadaptasi dari Kambiz E. Maani and Robert Y. Cavana (2000, h.21)
Berangkat dari pengembangan analisa system thinking, penulis lebih spesifik akan
menggunakan pendekatan soft system methodology. Soft systems methodology (SSM) merupakan
sebuah pendekatan untuk memecahkan situasi masalah kompleks yang tidak terstruktur berdasarkan
analisis holistik dan berpikir sistem. Soft system methodology juga merupakan sebuah metodologi
partisipatori yang dapat membantu para stakeholders yang berbeda untuk mengerti perspektif masingmasing stakeholders. Fokus soft system methodology adalah untuk menciptakan sistem aktivitas dan
hubungan manusia dalam sebuah organisasi atau grup dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Soft system methodology juga merupakan metodologi yang digunakan untuk mendukung
strukturisasi pemikiran dalam masalah organisasi dan komunitas yang kompleks. Terhadap masalah
ini, soft system methodology adalah proses untuk mengidentifikasi, merumuskan akar permasalahan
dan pemecahannya, menemukan dan mempertemukan pendapat para pihak yang terlibat seperti
pelaksana, pengambil keputusan, pengguna, dan dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan
pandangan umum masyarakat/politik/sosial budaya, dalam pengertian yang lebih sederhana dapat
diartikan bahwa soft systems methodology merupakan pendekatan yang terstruktur untuk
menyelesaikan masalah yang tidak terstruktur. Sebagaimana diungkapan oleh Checkland and Scholes
(1990, h.1) bahwa:
“Soft systems methodology (SSM) helps such managers, of all kinds and at all levels, to cope
with their task. It is organized way of tackling messy situations in the real world. It is based on
systems thinking, which enables it to be highly defined and described, but flexible in use and broad in
scope”.
Soft systems methodology didasarkan pada 7 tahapan proses yang dimulai dari
pengklarifikasian situasi masalah yang tidak terstruktur melalui perancangan sistem aktivitas manusia
yang diharapkan membantu memperbaiki situasi model konseptual ini kemudian dibandingkan
dengan situasi masalah dalam rangka mengidentifikasi perubahan yang layak. Tujuh tahapan soft
system methodlogy sebagaimana juga disampaikan oleh Checkland and Scholes (1990, h.27)
1. Enter situation considered problematical (Mengenali situasi permasalahan)
2. Express the problem situation ((Mengungkapkan situasi permasalahan)
3. Formulate root definitions of relevant systems of purposeful activity (pembuatan definisi
permasalahan)
adalah
mengidentifikasi
stakeholders
yang
terlibat,
transformasi,
Weltanschaungg (cara pandang), dan lingkungan untuk kemudian membangun definisi sistem
aktivitas manusia yang dibutuhkan untuk memperbaiki situasi masalah.
4. Build conceptual models of the systems named in the root definitions (membangun model
konseptual) Berdasarkan Root Fefinition untuk setiap elemen yang didefinisikan, maka
kemudian membangun model konseptual yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ideal.
5. Compare models with real worl action (perbandingan antara model konseptual dengan situasi
permasalahan/membandingkan model dengan realitas) adalah membandingkan model sistem
konseptual yang dibuat dengan apa yang terjadi di dunia nyata (real world).
6. Define possible changes which are both desirable and feasible (menetapkan perubahan yang
layak/perubahan model yang diinginkan) adalah membuat debat publik dalam rangka
mengidentifikasi perubahan yang layak tersebut.
7. Take action to improve the problem situation (melakukan tindakan perbaikan) Membangun
rencana aksi untuk memperbaiki situasi masalah.
Analisa Social Setting
Pembangunan Kota Malang yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan kemajuan
di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang pelayanan umum, ketertiban dan
keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan
budaya, pendidikan, serta perlindungan sosial. Walaupun banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi
masih banyak pula tantangan dan masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Pelayanan umum adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah
kepada masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat dalam arti luas. Fungsi
pelayanan umum pada hakekatnya untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan
merata. Peningkatan fungsi pelayanan umum perlu ditunjang dengan kemampuan profesionalisme
aparat, pemanfaatan teknologi infomasi serta pentingnya kesadaran semua pelaku pembangunan
(stakeholders). Kelengkapan pranata hukum (Peraturan Daerah-Peraturan Daerah) termasuk produkproduk perencanaan pembangunan (RPJPD, RPJMD, RKPD, dan lain-lain), yang secara substantif
mampu memberikan arah pembangunan secara komprehensif dan berkelanjutan, sangat diperlukan.
Metodologi
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang diarahkan untuk mendeskripsikan
dan menganalisis fenomena perencanaan pembangunan dalam dua dimensi permasalahan. Pertama,
proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) pada Pemerintah Daerah Kota
Malang. Kedua, peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan Rencana
Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Setelah hal tersebut dilakukan kemudian dianalisis proses
penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dengan pendekatan soft system
methodology.
Berangkat dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka fokus penelitian ini adalah:
1. Proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) pada Pemerintah Kota Malang
secara normatif adalah sebagai berikut :
a. Persiapan penyusunan RKPD
b. Penyusunan rancangan awal RKPD
c. Penyusunan rancangan RKPD
d. Pelaksanaan musrenbang RKPD
e. Perumusan rancangan akhir RKPD
f.
Penetapan RKPD
g. Dokumen RKPD
2. Peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang terkait dengan peran SKPD dalam musrenbang
kecamatan, musrenbang kota, serta peran SKPD yang paling menonjol adalah pada pembahasan
forum SKPD.
3. Analisis penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Pemerintah Kota Malang
dengan menggunakan pendekatan soft system methodology
a. Mengenali situasi permasalahan (the problem situation : unstructured)
b. Mengungkapkan situasi permasalahan (the problem situation : expressed)
c. Pembuatan definisi sistem permasalahan (root definitions of relevant)
d. Membangun model konseptual (conceptual models)
e. Perbandingan antara model konseptual dengan situasi permasalahan (comparison of 4 with 2)
f.
Perubahan model yang diinginkan (feasible, desirable, changes)
g. Tindakan perbaikan (action to improve the problem situation)
Tempat penelitian yang digunakan adalah Kota Malang. Sumber data yang digunakan dibagi
menjadi dua, yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber data primer dapatkan melalui wawancara
dengan eksekutif (BAPPEDA dan DPRD Kota Malang) dan pihak yang terlibat di musrenbang
kelurahan, musrenbang kecamatan, forum SKPD maupun musrenbang kota. Sedangkan data sekunder
dapat penulis dapatkan melalui dokumen-dokumen, laporan-laporan, dll yang berkaitan dengan fokus
penelitian. Dokumen dan laporan tersebut bisa berupa Undang-Undang atau Peraturan Menteri dan
jenis pertauran lainnya yang berkaitan dengan fokus penelitian. Instrumen penlitian ini adalah peneliti
itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai human instrument sekaligus pengumpul data, berfungsi
menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,
menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.
Analisis data yang digunakan berdasarkan 7 tahapan dari Soft system methodhology.
Gambar 4
Tujuh Tahapan Soft Systems Methodology
7. Action to improve the problem situation
1.The problem situation : unstructured
6. Feasible, desirable, changes
2. The problem situation : expressed
5. Comparison of 4 with 2
Real world
3. Root defnitions of relevant
Systems thinking
4. Conceptual models
4a. Formal system concept
4b. Other systems thinking
Sumber : diadaptasi dari Checkland (1999, h.163)
1. Mengenali Situasi Permasalahan
Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah mengumpulkan beragam informasi
berkaitan dengan permasalahan berdasarkan struktur dan proses yang terjadi dalam berbagai aktivitas
sesuai dengan fenomena yang diteliti. Kegiatan ini dilakukan melalui observasi, pengumpulan data
sekunder, dan yang tidak kalah penting adalah melakukan wawancara secara informal. Tujuannya
untuk mendapatkan isu-isu tertentu, konflik-konflik, keinginan yang diharapkan, atau masalah
lainnya.
2. Mengungkapkan Situasi Permasalahan
Tahap ini diperlukan untuk strukturisasi permasalahan dan proses yang terjadi sebagai pusat
perhatian penelitian (problem situation expressed), mengingat pada tahap pertama situasi
permasalahan yang dikenali masih belum terstruktur. Strukturisasi yang dimaksud menyangkut
struktur yang diproses. Struktur permasalahan meliputi rancangan bentuk, hirarki kekuasaan,
bekerjanya struktur, dan pola komunikasi baik formal maupun informal. Sedangkan proses
permasalahan menyangkut hubungan aktivitas dasar yang menentukan suatu pekerjaan itu sendiri,
monitoring terhadap pengaruh eksternal, dan tindakan korektif yang dilakukan secara sungguhsungguh.
Sehubungan dengan ini, Flod dan Jackson dalam Supriyono (2007 h.112) mengemukakan
perlunya dua analisis. Pertama, analisis terhadap system social menyangkut adanya peranan tertentu,
perundang-undangan, norma maupun nilai atau disebut dengan analisis culture metaphor. Kedua,
analisis sistem politik menyangkut penggunaan kekuasaan sebagai suatu proses pertukaran dalam
institusi atau disebut juga dengan analisis power tetaphor and narrowly defined power metaphor
3. Pembuatan Definisi Sistem Permasalahan
Tahapan ini adalah menyangkut pembuatan definisi mendasar tentang sistem permasalahan
(root definition) dengan cara menggali permasalahan secara mendalam dari stakeholder dan
pandangan idealnya tentang apa sebaiknya suatu sistem yang relevan untuk memecahkan masalah
yang dihadapi. Tujuannya mengambarkan keterkaitan antara situasi permasalahan dengan esensi
pemecahan masalah yang perlu dikerjakan. Dengan mendefinisikan sistem permasalahan akan
terungkap mengenai apa yang dikerjakan, mengapa dikerjakan, siapa yang mengerjakan, siapa yang
diuntungkan dengan pekerjaan tersebut, dan apakah lingkungan yang membatasi tindakan yang
dilakukan.
(Checkland, 1990 h.35-36) merumuskan keterkaitan tersebut dengan sebutan unsur CATWOE
(customers, actors, transformation process, world view, owners, environmental constraints). Berikut
dikemukakan pengertian masing-masing unsure.
1. Customers (pelanggan), adalah pihak-pihak yang diuntungkan atau dirugikan dari
kegiatan pemecahan masalah
2. Actors (actor-aktor), adalah pihak-pihak yang melaksanakan aktivitas pemecahan masalah
3. Transformation process (proses tranformasi), adalah aktivitas yang mengubah masukan
menjadi keluaran dalam institusi
4. World view (cara pandang terhadap realitas), yaitu pemahaman berbagai pihak tentang
makna yang mendalam dari situasi permasalahan
5. Owners (pemilik), adalah pihak yang dapat menghentikan aktivitas institusi
6. Environmental constraints (hambatan lingkungan), adalah hambatan dalam lingkungan
system yang tidak dapat dihindari
4. Membangun Model Konseptual
Tahap ke empat dalam menerapkan soft system methodology adalah membangun model
konseptual (building conceptual models) artinya menggambarkan situasi permasalahan yang terjadi
dalam realitas dan upaya pemecahannya dengan membuat tiruannya dalam model konseptual.
Conceptual models adalah prosses transformasi dari root definition. Model konseptual ini dibangun
menggunakan konsep sistem formal (formal system concept) tentang permasalahan yang dihadapi dan
upaya pemecahannya dengan menggunakan kerangka berpikir sistem (other system thinking)
Sistem formal harus memenuhi persyaratan adanya komponen, proses interaksi, dan batasan
lingkungan. Komponen, artinya bagian dari sistem sebagai suatu kesatuan, komponen-komponen
tersebut berinteraksi, menggambarkan adanya tingkatan yang saling berhubungan. Persyaratan proses,
artinya sistem memiliki misi atau tujuan dalam suatu proses, memiliki suatu pengukuran kinerja,
menyangkut sebuah proses pengambilan keputusan, melalui proses ini terdapat adanya pengaturan
tindakan tentang kinerja dan pencapaian tujuan. Sedangkan batasan lingkungan artinya diakui dalam
sistem yang lebih luas atau berinteraksi dengan lingkungan, memiliki batasan, terpisah dari
lingkungan yang lebih luas, memiliki sumberdaya manusia untuk mendukung proses pengambilan
keputusan, dan memiliki jaminan untuk kontiunitas dan stabilitas dalam jangka panjang. Supriyono,
(2007 h.114)
5. Perbandingan Antara Model Konseptual dengan Situasi Permasalahan
Membandingkan model konseptual dengan realitas yang dihadapi (comparing models and
reality) diperlukan untuk mendorong terjadinya debat tentang berbagai kemungkinan perubahan
dalam model konseptual yang telah dibangun. Perubahan model konseptual ini sangat dimungkinkan
dan diperlakukan mengingat soft systems methodology esensinya adalah membandingkan antara
kerangka berpikir sistem (system thinking) dengan dunia nyata (real world) untuk menganalisis dan
memecahkan masalah secara sistemik. Analisis pada tahap ini intinya membandingkan antara model
konseptual dengan analisis situasi permasalahan yang telah dikaji secara mendalam pada tahapan
pertama (problem situation unstructured) dan tahapan kedua (problem situation expressed)
6. Perubahan Model yang Diinginkan
Tahapan ini adalah menyangkut pendefinisian perubahan yang diinginkan dan yang akan
dilakukan (desirable and feasible changes) setelah melalui proses debat yang membandingkan antara
model konseptual dengan situasi permasalahan dalam dunia nyata. Termasuk dalam hal ini
mempertimbangkan kelayakan proses perubahan system dilihat dari berbagai perspektif yaitu :
budaya, politik, dan sosial, yang berpengaruh terhadap penetapan keputusan perubahan Flood and
Jackson dalam Supriyono (2007 h.115)
7. Tindakan Perbaikan
Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam soft systems methodology. Sebagaimana
dinyatakan oleh Supriyono (2007 h.116) bahwa, tahapan ini dapat diartikan sebagai tindakan yang
dilakukan dengan memecahkan permasalahan yang dihadapi melalui penerapan model konseptual
yang telah berubah dan disempurnakan melalui proses diskusi dengan komponen stakeholder. Tentu
dengan pertimbangan waktu.
Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengujian keabsahan data dengan teknik pemeriksaan
menurut Moleong (2007 h.327). Hal tersebut dapat dilihat dari tabel teknik pemeriksaan data:
Tabel 3. Teknik Pemeriksaan Data Kualitatif Moleong
Kriteria
Kredibilitas
(derajat kepercayaan)
Kepastian
Kebergantungan
Kepastian
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Tehnik Pemeriksaan
Perpanjangan keikutsertaan
Ketekunan pengamatan
Triangulasi
Pengecekan sejawat
Kecukupan referensial
Kajian kasus negatif
Pengecekan anggota
Uraian rinci
Audit kebergantungan
Audit kepastian
Sumber: Moleong (2007, h.327)
Hasil Penelitian
Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka
Abe, Alexander. 2005. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta : Pustaka Jogja Mandiri.
Balle, Michael. 1994. Managing With Systems Thinking. Berkshire : McGRAWW-HILL Book
Company Europe
Bratakusumah, Riyadi. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah : Strategi Menggali Potensi dalam
Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama.
Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama.
Cavana, Maani. 2000. Systems Thinking Modelling. Auckland : Pearson Education New Zealand
Limited.
Checkland, Peter. 1999. Systems Thinking, Systems Practice : Includes a 30-year retrospective.
Chichester : John Wiley & Sons.
Checkland, Scholes. 1990. Soft Systems Methodology in Action. Chicester : John Wiley & Sons.
Conyers, Hills. 1990. An Introduction To Development Planning In The Third World. Chicester : John
Wiley & Sons.
Faludi, Andreas. 1973. Planning Theory. Oxford : Pergamon Press.
Hardjanto, Imam. 2011. Teori Pembangunan. Malang : UB Press.
Kumar, Arvind. 2001. Encyclopedia Of Decentralised Planning and Local Self Governance. New
Delhi : J.L.Kumar For Anmol Publications Pvt.Ltd.
Kuncoro, Mudrajad. 2012. Perencanaan Daerah, Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan
Kawasan. Jakarta : Salemba Empat.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Muluk, Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian
dengan Pendekatan Berpikir Sistem). Malang : Bayumedia Publishing.
Rustiadi, Ernan. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor : IPB.
Soesesilo, Aminullah, Muhammadi. 2001. Analisis Sistem Dinamis (Lingkungan Hidup Sosial,
Ekonomi, Manajemen). Jakarta : UMJ Press.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Khairul, Muluk. 2006. Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerintahan Daerah Dengan Pendekatan
Berpikir Sistem. Depok : FISIP UI.
Supriyono, Bambang. 2007. Pembangunan Institusi Pemerintahan Daerah Dalam Penyediaan
Prasarana Perkotaan di Kota Malang. Depok : FISIP UI.
Syaifullah. 2007. Analisis Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah di Kota Magelang (Studi
Kasus Perencanaan Pembangunan Tahun 2007). Semarang : FISIP UNDIP.
Brenton RMN, Kevin, MSc. 2007. Using soft system methodology to examine communication
difficulties. Journal of Mentah Health Practice. Vol 10, No 5.
Dibia, Ifechukwude K, Hom Nath Dakai, Spencer Onuh. 2011. A ‘Lean’ Study using the Soft Systems
Methodolgy.
Durant Law, Graham. 2005. Soft system methodology and grounded theory combined – a knowledge
management research approach. actKM Online Journal of Knowledge Management. Volume 2,
Issue 1.
Gati, Patria Kurnia, Mahmud Imrona dan Saufiah. 2010. Analisis Soft System Methodology (SSM)
Untuk Excellent Service Management : Studi Kasus Spee- Dy PT.Telkom Divre III Jabar Dan
Banten.
Raguphati, Wullianallur, Amjad Umar. 2009. Integrated digital Health system Design : A ServiceOriented Soft System Methodology. International Journal of Information Technologies and
system approach. Volume 2, Issue 2.
Turner, Mike. 2008. Using Mode 2 soft system methodology in the teaching and assessment of the
“practical” content in undergraduate hospitality degrees. Journal of hospitality, Leisure, Sport
and Tourism education. Volume 7, No. 2.
Undang-Undang No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undan-Undang No.32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.54 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 050/200/Ii/Bangda/2008 Tentang Direktorat Jenderal
Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri 2008 Pedoman Penyusunan Rencana
Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Eko, Sutoro. 2010. Mengubah Perencanaan Birokratis Menjadi Teknokratis, Jumat, 13 Juli, | 14:17
WIB (www.ireyogya.org) [29/12/10].
SISTEM LUNAK (SOFT SYSTEM)
(Studi Pada Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang)
Nana Abdul Aziz1, Bambang Supriyono2, MR. Khairul Muluk3
Abstrak
Penyusunan dokumen
Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD)
masih belum
berdasarkan kebutuhan masyarakat, belum mempunyai alur perencanaan yang jelas dan tepat
sebagaimana mengacu kepada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.50 Tahun 2008 dan belum ada
keterkaitan substansi antar dokumen perencanaan yang satu dengan dokumen perencanaan yang lain,
guna merespon paradigma dan pendekatan perencanaan pembangunan, misalnya dari top-down
planning ke bottom-up planning, dari budaya petunjuk ke budaya partisipasi. Padahal didalam proses
menyusun dokumen RKPD ada beberapa tahapan-tahapan atau sub sistem-sub sistem yang
merupakan bagian yang tersistem dalam menyusun RKPD. Tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan penyusunan RKPD Pemerintah Kota Malang dengan menggunakan pendekatan soft
system methodology. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Dengan teknik pengumpulan data dari wawancara, observasi, dan studi dokumen serta
menggunakan analisa data kualitatif. Kesimpulan yang didapat bahwa proses penyusunan RKPD
menunjukan masih terdapat kompleksitas permasalahan. Kompleksitas yang dimaksudkan adalah
tahap penyusunan mulai dari musrenbang tingkat kelurahan, musrenbang tingkat kecamatan, forum
SKPD, sampai musrenbang tingkat kota. Pendekatan soft systems methodology mengelompokan
kompleksitas tersebut dalam tiga tahap. Strukturisasi permasalahan, mendefinisikan sistem
permasalahan dan mendefinisikan sistem permasalahan dan membangun model konseptual.
Kata Kunci : Perencanaan pembangunan daerah, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), soft
systems methodology
Abstract
Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) have not been able address the needs of the
community, lead apposite planning pattern as Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun
2008 and combined all substance of the document planning, to respond new paradigm and adapt
planning approach methodology, for instance, top-down planning to bottom-up planning and guided
participatory to active participatory. On the contrary, the process to arrange RKPD are follow stages
as sub-systems that enrol to be systematic blueprint. The objectives of research are considered: to
describe the arrangement process of RKPD viewed and analyzed by Soft Systems Methodology
approach. The method of the research is qualitative with descriptive approach. Data collection
technique is interviews, observations, and document study. Data analysis tool is interactive model
qualitative. The result of the research is indicate that the arrangement process of RKPD have
complexity problem. This was seen through from Musrenbang in Kelurahan, Musrenbang in
Kecamatan, SKPD arbitration, and Musrenbang in Kota. To understanding the complexity of the
problem and discover the solution, this research is conducted by soft systems methodology approach.
The phase of this methodology divides into three stages; structure the problem, defines the problem
and defines the problem and build a conceptual model.
Keywords: Local development planning, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Soft systems
methodology
Latar Belakang
Penyusunan dokumen
Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD)
masih belum
berdasarkan kebutuhan masyarakat, belum mempunyai alur perencanaan yang jelas dan tepat
sebagaimana mengacu kepada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.50 Tahun 2008 dan belum ada
keterkaitan substansi antar dokumen perencanaan yang satu dengan dokumen perencanaan yang lain,
guna merespon paradigma dan pendekatan perencanaan pembangunan, misalnya dari top-down
planning ke bottom-up planning, dari budaya petunjuk ke budaya partisipasi. Penyusunan masih
sebatas pada retoris dan menggunakan pola pikir serta cara pandang lama, misalnya cenderung liniear
dan belum mampu melihat masalah secara holistik. Mekanisme penyusunan masih didominasi usulan
kegiatan secara hirarki dari birokrasi yang berorientasi lebih kepada fisik dan belum secara
komprehensif mengangkat isu-isu strategis yang muncul di masyarakat, sehingga menyebabkan
perencanaan pembangunan cenderung inkrimental, padahal didalam proses menyusun dokumen
RKPD ada beberapa tahapan-tahapan atau sub sistem-sub sistem yang merupakan bagian yang
tersistem dalam menyusun RKPD.
Perencanaan Pembangunan
Perencanaan sebenarnya adalah suatu cara “rasional” untuk mempersiapkan masa depan
Becker (2000) dalam Rustiadi (2008 h.339). Sedangkan menurut Alder (1999) dalam Rustiadi (2008
h.339) menyatakan bahwa :
“Perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta
menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Sebagian kalangan berpendapat
bahwa perencanaan adalah suatu aktivitas yang dibatasi oleh lingkup waktu tertentu, sehingga
perencanaan, lebih jauh diartikan sebagai kegiatan terkoordinasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu
dalam waktu tertentu. Artinya perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di
masa yang akan dating serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya.
Dengan demikian, proses perencanaan dilakukan dengan menguji berbagai arah pencapaian serta
mengkaji berbagai ketidakpastian yang ada, mengukur kemampuan (kapasitas) kita untuk
mencapainya kemudian memilih arah-arah terbaik serta memilih langkah-langkah untuk
mencapainya.”
Dari berbagai pendapat dan definisi perencanaan yang telah dikembangkan, Rustiadi (2008 h.340)
menyimpulkan secara umum hampir selalu terdapat dua unsur penting dalam perencanaan, yakni : (1)
unsur hal yang ingin dicapai dan (2) unsur cara untuk mencapainya.
“Dalam penjabarannya, di dalam proses perencanaan dikenal berbagai nomenklatur-nomenklatur
seperti visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, proyek, aktivitas, dan lain-lain. Di
dalam pemanfaatannya, istilah-istilah tersebut sering saling dipertukarkan secara tidak konsisten dan
bahkan cenderung membingungkan (ambiguous), sehingga dapat menggangu proses pembangunan.
Visi, tujuan dan sasaran adalah istilah-istilah yang menjelaskan mengenai unsur perencanaan (hal
yang ingin dicapai) sedangkan misi dan aktivitas adalah istilah-istilah mengenai unsur perencanaan
yang kedua (cara untuk mencapai). Kemudian strategi, program dan proyek merupakan suatu set
kumpulan komponen perencanaan hingga pelaksanaannya (mencakup dua unsur perencanaan) dalam
suatu struktur tertentu.”
Tabel 1.
Istilah-istilah didalam proses perencanaan berdasarkan unsur perencanaan yang dikandungnya
Istilah
(Nomenklatur)
Visi (vision)
Misi (Mission)
Tujuan (Goals)
Sasaran (Objective)
Strategi (Strategy)
Kebijakan (Policy)
Program (Program)
Proyek (Project)
Aktivitas (Action)
√
√
√
√
√
√
√
-
Unsur Perencanaan
Hal yang ingin dicapai
Cara/materi untuk mencapai
√
√
√
√
√
√
Keterangan
Normatif
Normatif
Terukur
Terukur
Normatif/Ter-ukur
Terukur
Terukur
Terukur
Terukur
Sumber : diadaptasi dari Rustiadi (2008 h.324)
Definisi setiap istilah yang tertera di tabel menurut Rustiadi (2008:324) :
1. Visi (vision) : suatu kondisi ideal (cita-cita) normatif yang ingin dicapai di masa datang
2. Misi (mission) : cara normative untuk mencapai visi
3. Tujuan-tujuan (goals) : hal-hal yang ingin dicapai secara umum. Setiap bentuk tujuan (goal)
bersifat dapat dimaksimumkan atau diminimumkan
4. Sasaran (objective) : bentuk operasional dari tujuan, biasanya lebih terukur, disertai target
pencapaiannya. Kondisi minimum yang harus dicapai dalam mencapai tujuan dalam waktu
tertentu
5. Strategi (strategy) : sekumpulan sasaran-sasaran dengan metode-metode untuk mencapainya
6. Kebijakan (policy) : sekumpulan aktivitas (actions), untuk pelaksanaan-pelaksanaan jangka
pencapaian jangka pendek
7. Aktivitas (actions) : kegiatan pelaksanaan, khususnya menyangkut fisik dan biaya
8. Program (program) : sekumpulan aktivitas (actions) untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang
dilakukan oleh suatu institusi tertentu
9. Proyek (project) : sekumpulan aktivitas (actions) untuk mencapai suatu tujuan/target/sasaran
tertentu yang dilakukan oleh suatu institusi tertentu dalam waktu tertentu dengan sumberdaya
(biaya) tertentu
Lebih lanjut, Conyers & Hill (1990, h.3-8), ada empat komponen utama perencanaan, yaitu :
1. To plan means to choose (merencanakan berarti memilih)
2. Planning as a means of allocating Resource (perencanaan berarti menyediakan sumberdaya)
3. Planning as a means of achieving goals (perencanaan berarti meraih tujuan)
4. Planning for the future (perencanaan berarti berorientasi pada masa mendatang)
Perencanaan Prosedural dan Substantif
Perencanaan dalam perspektif Faludi dibagi atas dua tipe yaitu prosedural dan subtantif,
Faludi, (1973 h.3) menyatakan :
“Two types of theory which currently come under planning theory : procedural and substantive. The
latter helps planners to understand whatever their area of concern my be. The former can be seen as
planners understanding themselves and the ways in which they operate which, at present, are less
clearly seen as problematic.”
Faludi mensimulasikan perencanaan prosedural dan perencanaan subtantif pada sebuah gambar (1973
h.7).
Gambar 1.
Teori prosedural dan subtantif
Substantive theory
Procedural theory
Procedural theory
Substantive
theory
Sumber : diadopsi dari Faludi (1973, h.7)
Pernyataan terkait tentang perencanaan yang disampaikan oleh Faludi (1973) dapat diartikan
secara sederhana bahwa, penyerapan substansi metode dari disiplin ilmu lain sering disebut sebagai
substantive theory atau dalam teori perencanaan dikenal dengan theory in planning. Sementara teori
perencanaan disebut sebagai teori prosedural atau theory of planning. Dalam praktek, seharusnya
tidak dipisahkan antara theory of planning dan theory in planning. Justru diharapkan keduanya akan
membentuk suatu kolaborasi yang oleh Faludi (1973) disebut sebagai perencanaan efektif. Posisi teori
perencanaan yang berada pada domain publik memaksa adanya kolaborasi tersebut. Walau
bagaimanapun seorang ahli perencana tidak mungkin menguasai berbagai disiplin ilmu secara detail,
ia harus didukung oleh ahli disiplin ilmu lain. Hubungan sebagaimana yang dikemukakan Faludi
sebenarnya akan mengaburkan posisi perencanaan sebagai suatu originalitas keilmuan. Peranan teori
perencanaan prosedural seharusnya memiliki porsi yang lebih besar dalam menjalankan fungsinya,
sementara keberadaan teori substantif diharapkan sebagai pendukung atau inferior dari keberadaan
teori perencanaan prosedural. Pada prakteknya justru teori substantif yang memiliki sumbangan lebih
besar melalui motoda-metoda analisis yang diserap oleh teori perencanaan prosedural.
Perencanaan Teknokratis dan Partisipatif
Terminologi
terkait
pendekatan
perencanaan
teknokratis
sebagaimana
menurut
PERMENDAGRI No.54 Tahun 2010 Pasal 6 yang menyatakan bahwa pendekatan perencanaan
teknokratis merupakan pendekatan yang menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah untuk
mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Metoda dan kerangka berpikir ilmiah yang
dimaksudkan adalah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis
terkait perencanaan pembangunan berdasarkan bukti fisis, data dan informasi yang akurat, serta dapat
dipertanggungjawabkan.
Menurut Sutoro Eko, pendekatan teknokratis dengan pendekatan partisipasi sejatinya tidak
saling bertentangan. Pendekatan teknokratis berupaya melakukan translasi atas pendekatan partisipasi.
Para pemimpin daerah atau politisi sering memberikan respons politik atas partisipasi secara cepat,
begitu dialog dengan masyarakat berlangsung. Sementara pendekatan teknokrasi membutuhkan
proses translasi melalui analisis yang lama, senada dengan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh
proses partisipatif. Tetapi ada sebuah prinsip dasar bahwa siapapun yang sabar mengikuti proses maka
akan membuatnya menjadi lebih bijak. Sehingga jika pendekatan teknokrasi dimasukkan dalam
proses partisipasi maka akan menghasilkan perencanaan yang lebih bermakna dan berkualitas. Hal ini
misalnya ditempuh dengan analisis masalah dan penentuan skala prioritas dalam musrenbang.
Sedangkan perencanaan partisipatif Abe (2005, hal.88) menyatakan bahwa perencanaan yang
dalam tujuannya melibatkan kepentingan rakyat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara
langsung maupun tidak lansung). Menggerakan perencanaan partisipatif membutuhkan pra kondisi
untuk maksud mentransformasikan kapasitas kesadaran dan keterampilan mas yarakat, sehingga bisa
keluar dari tradisi bisu dan menyembunyikan maksud di bawah permukaan. Selama hal ini tidak
berlangsung, maka partisipasi hanya akan terlihat sebagai formalitas partisipatif, sedangkan realitas
sesungguhnya adalah hegemoni dan manipulasi.
Dua bentuk perencanaan partisipatif. Pertama, perencanaan yang langsung disusun bersama
rakyat. Perencanaan ini bisa merupakan perencanaan yang menyangkut daerah dimana masyarakat
berada dan perencanaan wilayah yang disusun dengan melibatkan masyarakat secara perwakilan.
Kedua, perencanaan yang disusun melalui mekanisme perwakilan, sesuai dengan institusi yang sah
(legal-formal), seperti parlemen.
Perencanaan Pembangunan Daerah
Ruh yang dibangun pemerintahan daerah saat ini adalah semangat otonomi daerah dengan
asas desentralisasi, sehingga kebijakan penyelenggaraan pemerintahan menjadi tanggung jawab
daerah sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Pemberian kewenangan yang seluas-luasnya
kepada daerah (desentralisasi) dimaksudkan agar penyelenggaraan pemerintahan berjalan lebih
partisipatif sehingga pelayanan kepada masyarakat berjalan lebih baik dan potensi daerah dapat
dimanfaatkan secara optimal. Kondisi tersebut itulah yang memberikan suatu kesadaran baru bagi
kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa gelombang otonomi daerah tidak bisa dibiarkan
berjalan tanpa “makna” (tidak memiliki arah pembangunan), tapi harus ada upaya untuk mengarahkan
dan mengisinya dengan berbagai tindakan nyata yang lebih proaktif.
Melalui perencanaan pembangunan juga dirumuskan skala prioritas dan kebijaksanaan
pembangunan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan. Sebagaimana disebutkan di
dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat (1) menerangkan bahwa perencanaan adalah
suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Keberhasilan pencapaian tujuan perencanaan pembangunan daerah, menurut Riyadi dan
Bratakusuma (2004 h.15) dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor perencanaan pembangunan
daerah merujuk pada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembangunan. Beberapa faktor tersebut
meliputi :
1. Lingkungan, faktor lingkungan ini bisa berasal dari luar (eksternal) maupun dari dalam
(internal). Baik dari luar maupun dari dalam. Eksternal biasanya dating dari wilayah tetangga,
atau pengaruh global yang berkembang dalam lingkup nasional maupun internasional,
sedangkan internal merupakan pengaruh yang dating dari dalam wilayah perencanaan sendiri.
Unsur-unsur yang terkandung didalamnya adalah sosial, budaya, ekonomi dan politik
2. Sumber daya manusia perencana, faktor sumber daya manusia merupakan motor penggerak
perencanaan. Kualitas perencanaan yang baik akan lebih memungkinkan tercipta oleh sumber
daya manusia yang baik. Harus bersifat komprehensif atau menyeluruh, sehingga
membutuhkan pengetahuan intersektoral yang luas. Unsur-unsur yang terkandung didalamnya
adalah perencanaan sumber daya alam, perencanaan social ekonomi, dan perencanaan fisik
dan infrastruktur
3. Sistem yang digunakan, faktor sistem yang digunakan adalah aturan-aturan atau kebijakankebijakan yang digunakan oleh suatu daerah/wilayah tertentu sebagai dasar/landasan
pelaksanaan
perencanaan
pembangunannya. Unsur-unsur yang terkandung didalamnya
adalah prosedur, mekanisme pelaksanaan, pengambilan keputusan, pengesahan, dll.
4. Perkembangan ilmu dan teknologi, faktor ilmu pengetahuan dapat memberikan pengaruhnya
dimana tidak hanya dari segi peralatan namun dapat juga adanya berbagai teknik dan
pendekatan manajemen yang lebih maju. Peralatan hanya merupakan salah satu aspek yang
dapat digunakan dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efesiensi.
5. Pendanaan, faktor pendanaan pada dasarnya merupakan faktor yang sudah given. Artinya hal
itu memang harus ada untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas.
Pilihan jenis perencanaan yang tepat akan menciptakan akselerasi dalam pembangunan,
selanjutynya Kuncoro (2012, h.25) menjelaskan sub-sistem dari setiap jenis perencanaan sebagai
berikut :
a. Top-down adalah perencanaan pembangunan yang didominasi oleh pemerintah pusat
(sentralisitik), termasuk juga peran dalam menentukan alokasi anggaran untuk daerah tanpa
banyak memperhatikan prioritas lokal.
b. Bottom-up adalah seperti yang dianjurkan dalam kerangka prosedural, merupakan proses
konsultasi dimana setiap tingkat pemerintahan menyusun draf proposal pembangunan tahunan
berdasarkan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan yang dibawahnya.
c. Perencanaan makro adalah perencanaan pembangunan nasional dalam skala makro atau
menyeluruh. Perencanaan makro ini mengkaji berapa pesat pertumbuhan ekonomi dapat dan
akan direncanakan, berapa besar tabungan masyarakat dan pemerintah akan tumbuh,
bagaimana proyeksinya, dan hal-hal lainnya secara makro dan menyeluruh.
d. Perencanaan sektoral adalah perencanaan yang dilakukan dengan pendekatan berdasarkan
sektor. Yang dimaksud dengan sektor adalah kumpulan kegiatan-kegiatan atau program yang
mempunyai persamaan cirri-ciri dan tujuannya. Pembagian menurut klasifikasi fungsional
seperti sector adalah untuk mempermudah perhitungan-perhitungan dalam mencapai sasaran
makro.
e. Perencanaan regional adalah menitikberatkan pada aspek lokasi di mana kegiatan dilakukan.
Pemda mempunyai kepentingan yang berbeda dengan instansi-instansi di pusat dalam melihat
aspek ruang di suatu daerah.
f.
Perencanaan mikro adalah perencanaan skala terperinci dalam perencanaan tahunan yang
merupakan penjabaran rencana-rencana, baik makro, sektoral, maupun regional ke dalam
susunan proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan dengan berbagai dokumen perencanaan dan
penganggarannya.
g.
Perencanaan menurut jangkauan jangka waktu adalah dengan menggunakan periode waktu
25 tahunan (jangka panjang), 5 tahunan (jangka menengah) dan 1 tahunan (jangka pendek)
Gambar 2.
Perencanaan Regional
RPJP
VISI-MISI KEPALA DAERAH
RPJMD
RKPD
Prioritas
Pembangunan Daerah
Wilayah
Kab/Kota/Kec/Kawasa
n Mana yang Menjadi
Prioritas
LOKUS
Sektor Mana
yang Menjadi
Prioritas
FOKUS
Sumber :
INDIKATOR KINERJA:
Pertumbuhan Ekonomi
Penanggulangan Kemiskinan
Perluasan Kesempatan Kerja
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Sumber: Kuncoro (2012, h.43)
Dokumen perencanaan pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dari proses perencanaan pembangunan itu sendiri, dimana didalamnya ada tahapan penyusunan
rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksana rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu
siklus perencanaan yang utuh. Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan
rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari empat langkah, yaitu
penyiapan rancangan pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh dan terukur; masingmasing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan
rencana
pembangunan
yang
telah
disiapkan;
melibatkan
masyarakat
(stakeholders)
dan
menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintah melalui
musyawarah perencanaan pembanguna dan penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.
Gambar 3.
Alur Perencanaan
Pedoman
Renja KL
Renstra KL
Pedoman
RPJP Nasional
RPJM Nasional
Pedoman
Diacu
Diacu
RKP
Dijabarkan
Diperhatikan
RPJP Daerah
Pedoman
RPJM Daerah Dijabarkan
Pedoman
Renstra SKPD
RKP Daerah
Diacu
Pedoman
Renja SKPD
Sumber : diadaptasi dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
Frase perencanaan dan pembangunan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
ibarat satu tubuh yang diantara satu organ dengan organ lainnya memiliki keterhubungan yang
melekat, karena pembangunan membutuhkan perencanaan dan perencanaan harus mewujud dalam
pembangunan, mulai dari pemerintahan pusat sampai pada tingkat pemerintahan daerah. Dalam
struktur pemerintahan pusat dikenal dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) dan dalam struktur pemerintahan daerah pada umumnya disebut dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Serta diantara institusi tersebut memiliki
interkonektivitas, sebagaimana juga disebutkan di dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2004 bahwa :
“Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan
pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka
menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara Negara dan masyarakat di
tingkat pusat dan daerah”. (Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang No.25 Tahun 2004)”
Dalam rangka mewujudkan sistem perencanaan pembangunan yang ideal, maka dibutuhkan
apa yang disebut dengan tahapan-tahapan, sebagaimana juga sudah terdefinisikan di dalam UndangUndang No.25 Tahun 2004 bahwa tahapan tersebut adalah :
a. Penyusunan rencana
b. Penetapan rencana
c. Pengendalian pelaksana rencana, dan
d.
Evaluasi pelaksanaan rencana
Dalam penulisan ilmiah ini, penulis akan melakukan penelitian pada wilayah pemerintahan
daerah dan difokuskan pada perencanaan pembangunan daerah yang selanjutnya diejawantahkan oleh
institusi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA).
Pada umumnya perencanaan pembangunan daerah di Indonesia mengenal empat pendekatan,
sebagaimana juga disebutkan di dalam PERMENDAGRI No.54 Tahun 2010 Pasal 6, diantaranya
adalah teknokratis, partisipatif, politis dan top down-bottom up :
1. Teknokratis, yang merupakan pendekatan yang menggunakan metode dan kerangka berpikir
ilmiah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Metoda dan kerangka berpikir
ilmiah yang dimaksudkan adalah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan
secara sistematis terkait perencanaan pembangunan berdasarkan bukti fisis, data dan informasi
yang akurat, serta dapat dipertanggungjawabkan.
2. Partisipatif, yakni pendekatan yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku
kepentingan (stakeholders) dengan mempertimbangkan:
a. Relevansi pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, di
setiap tahapan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah;
b. Kesetaraan antara para pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan dan non
pemerintahan dalam pengambilan keputusan;
c. Adanya transparasi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan serta melibatkan media
massa;
d. Keterwakilan seluruh segmen masyarakat, termasuk kelompok masyarakat rentan
termarjinalkan dan pengarusutamaan gender;
e. Terciptanya rasa memiliki terhadap dokumen perencanaan pembangunan daerah; dan
f.
Terciptanya konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan
keputusan, seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi,
kebijakan dan prioritas program.
3. Politis, merupakan pendekatan yang disampaikan melalui program-program pembangunan yang
ditawarkan masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih pada saat
kampanye, disusun ke dalam rancangan RPJMD, melalui:
a. Penerjemahan yang tepat dan sistematis atas visi, misi, dan program kepala daerah dan
wakil kepala daerah ke dalam tujuan, strategi, kebijakan, dan program pembangunan daerah
selama masa jabatan;
b. Konsultasi pertimbangan dari landasan hukum, teknis penyusunan, sinkronisasi dan sinergi
pencapaian sasaran pembangunan nasional dan pembangunan daerah; dan
c. Pembahasan dengan DPRD dan konsultasi dengan pemerintah untuk penetapan produk
hukum yang mengikat semua pemangku kepentingan.
4. Top-down dan bottom-up. Pendekatan yang hasilnya diselaraskan melalui musyawarah yang
dilaksanakan mulai dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional, sehingga
tercipta sinkronisasi dan sinergi pencapaian sasaran rencana pembangunan nasional dan rencana
pembangunan daerah.
Soft System Methodology
Berpikir sistem memiliki dua pendekatan, diantaranya hard dan soft systems thinking. Kedua
pendekatan tersebut dibedakan atas jenis masalah yang dihadapi. Pendekatan Hard system
menghadapi persoalan yang terstruktur dengan jelas, sementara pendekatan soft system menghadapi
situasi masalah yang kurang terdefinisi dengan baik. Checkland dan Scholes (1990 h.22) menyatakan
bahwa perbedaan pendekatan tersebut tidak bersifat fundamental. Perbedaannya justru terletak pada
bagaimana kata sistem digunakan dan pada atribusi kesisteman. Perbedaan fundamentalnya adalah:
jika hard system mengasumsikan bahwa dunia yang dipersepsi berisi holon (system), sedangkan soft
system menganut pandangan bahwa metodologinyapun juga sudah mengandung sistem. Checkland
dan Scholes (1990 h.22) menyatakan bahwa dua pendekatan berpikir sistem di atas tidak hanya
sekedar berbeda dalam menghadapi persoalan tetapi juga saling melengkapi.
Tabel 2.
Perbedaan Antar Pendekatan dalam Berpikir Sistem
HARD APPROACH
SOFT APPROACH
Model Definition/Definisi A reprentation of the real world/ A way of generating debate and insight about the
Model
representasi dari real world
real world/sebuah konsep yang mendefinisikan
hal-hal yang diperdebatkan dan hal-hal yang
tidak dimengerti oleh banyak orang
Problem
Clear and single dimensional Ambiguous and multidimensional (multiple
Definition/Definisi
(single objective)/mudah dan objective)/Ambigu dan mencakup banyak cara
Masalah
menggunakan satu cara pandang
pandang
People and Organization/ Not taken info account/Tidak Are integral parts of the model/Merupakan
Pelaku dan Organisasinya
memiliki
keanggotaan
dan bagian kecil dari keseluruhan model
struktur organisasi yang jelas
Data
Quantitative/Kuantitatif
Qualitative/Kualitatif
Goal/Tujuan
Solution
and Insight and learning /Penguasaan wawasan dan
optimization/Menempatkan solusi proses pembelajaran
dan perbaikan
Outcome/Hasil
Product
and Progress through group learning/Kemajuan
recommendation/Rekomendasi
dalam kelompok pembelajaran
dan Hasil
Sumber : diadaptasi dari Kambiz E. Maani and Robert Y. Cavana (2000, h.21)
Berangkat dari pengembangan analisa system thinking, penulis lebih spesifik akan
menggunakan pendekatan soft system methodology. Soft systems methodology (SSM) merupakan
sebuah pendekatan untuk memecahkan situasi masalah kompleks yang tidak terstruktur berdasarkan
analisis holistik dan berpikir sistem. Soft system methodology juga merupakan sebuah metodologi
partisipatori yang dapat membantu para stakeholders yang berbeda untuk mengerti perspektif masingmasing stakeholders. Fokus soft system methodology adalah untuk menciptakan sistem aktivitas dan
hubungan manusia dalam sebuah organisasi atau grup dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Soft system methodology juga merupakan metodologi yang digunakan untuk mendukung
strukturisasi pemikiran dalam masalah organisasi dan komunitas yang kompleks. Terhadap masalah
ini, soft system methodology adalah proses untuk mengidentifikasi, merumuskan akar permasalahan
dan pemecahannya, menemukan dan mempertemukan pendapat para pihak yang terlibat seperti
pelaksana, pengambil keputusan, pengguna, dan dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan
pandangan umum masyarakat/politik/sosial budaya, dalam pengertian yang lebih sederhana dapat
diartikan bahwa soft systems methodology merupakan pendekatan yang terstruktur untuk
menyelesaikan masalah yang tidak terstruktur. Sebagaimana diungkapan oleh Checkland and Scholes
(1990, h.1) bahwa:
“Soft systems methodology (SSM) helps such managers, of all kinds and at all levels, to cope
with their task. It is organized way of tackling messy situations in the real world. It is based on
systems thinking, which enables it to be highly defined and described, but flexible in use and broad in
scope”.
Soft systems methodology didasarkan pada 7 tahapan proses yang dimulai dari
pengklarifikasian situasi masalah yang tidak terstruktur melalui perancangan sistem aktivitas manusia
yang diharapkan membantu memperbaiki situasi model konseptual ini kemudian dibandingkan
dengan situasi masalah dalam rangka mengidentifikasi perubahan yang layak. Tujuh tahapan soft
system methodlogy sebagaimana juga disampaikan oleh Checkland and Scholes (1990, h.27)
1. Enter situation considered problematical (Mengenali situasi permasalahan)
2. Express the problem situation ((Mengungkapkan situasi permasalahan)
3. Formulate root definitions of relevant systems of purposeful activity (pembuatan definisi
permasalahan)
adalah
mengidentifikasi
stakeholders
yang
terlibat,
transformasi,
Weltanschaungg (cara pandang), dan lingkungan untuk kemudian membangun definisi sistem
aktivitas manusia yang dibutuhkan untuk memperbaiki situasi masalah.
4. Build conceptual models of the systems named in the root definitions (membangun model
konseptual) Berdasarkan Root Fefinition untuk setiap elemen yang didefinisikan, maka
kemudian membangun model konseptual yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ideal.
5. Compare models with real worl action (perbandingan antara model konseptual dengan situasi
permasalahan/membandingkan model dengan realitas) adalah membandingkan model sistem
konseptual yang dibuat dengan apa yang terjadi di dunia nyata (real world).
6. Define possible changes which are both desirable and feasible (menetapkan perubahan yang
layak/perubahan model yang diinginkan) adalah membuat debat publik dalam rangka
mengidentifikasi perubahan yang layak tersebut.
7. Take action to improve the problem situation (melakukan tindakan perbaikan) Membangun
rencana aksi untuk memperbaiki situasi masalah.
Analisa Social Setting
Pembangunan Kota Malang yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan kemajuan
di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang pelayanan umum, ketertiban dan
keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan
budaya, pendidikan, serta perlindungan sosial. Walaupun banyak kemajuan yang telah dicapai, tetapi
masih banyak pula tantangan dan masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Pelayanan umum adalah pelayanan yang diberikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah
kepada masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat dalam arti luas. Fungsi
pelayanan umum pada hakekatnya untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan
merata. Peningkatan fungsi pelayanan umum perlu ditunjang dengan kemampuan profesionalisme
aparat, pemanfaatan teknologi infomasi serta pentingnya kesadaran semua pelaku pembangunan
(stakeholders). Kelengkapan pranata hukum (Peraturan Daerah-Peraturan Daerah) termasuk produkproduk perencanaan pembangunan (RPJPD, RPJMD, RKPD, dan lain-lain), yang secara substantif
mampu memberikan arah pembangunan secara komprehensif dan berkelanjutan, sangat diperlukan.
Metodologi
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang diarahkan untuk mendeskripsikan
dan menganalisis fenomena perencanaan pembangunan dalam dua dimensi permasalahan. Pertama,
proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) pada Pemerintah Daerah Kota
Malang. Kedua, peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan Rencana
Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Setelah hal tersebut dilakukan kemudian dianalisis proses
penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) dengan pendekatan soft system
methodology.
Berangkat dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka fokus penelitian ini adalah:
1. Proses penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) pada Pemerintah Kota Malang
secara normatif adalah sebagai berikut :
a. Persiapan penyusunan RKPD
b. Penyusunan rancangan awal RKPD
c. Penyusunan rancangan RKPD
d. Pelaksanaan musrenbang RKPD
e. Perumusan rancangan akhir RKPD
f.
Penetapan RKPD
g. Dokumen RKPD
2. Peran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam proses penyusunan Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Malang terkait dengan peran SKPD dalam musrenbang
kecamatan, musrenbang kota, serta peran SKPD yang paling menonjol adalah pada pembahasan
forum SKPD.
3. Analisis penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Pemerintah Kota Malang
dengan menggunakan pendekatan soft system methodology
a. Mengenali situasi permasalahan (the problem situation : unstructured)
b. Mengungkapkan situasi permasalahan (the problem situation : expressed)
c. Pembuatan definisi sistem permasalahan (root definitions of relevant)
d. Membangun model konseptual (conceptual models)
e. Perbandingan antara model konseptual dengan situasi permasalahan (comparison of 4 with 2)
f.
Perubahan model yang diinginkan (feasible, desirable, changes)
g. Tindakan perbaikan (action to improve the problem situation)
Tempat penelitian yang digunakan adalah Kota Malang. Sumber data yang digunakan dibagi
menjadi dua, yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber data primer dapatkan melalui wawancara
dengan eksekutif (BAPPEDA dan DPRD Kota Malang) dan pihak yang terlibat di musrenbang
kelurahan, musrenbang kecamatan, forum SKPD maupun musrenbang kota. Sedangkan data sekunder
dapat penulis dapatkan melalui dokumen-dokumen, laporan-laporan, dll yang berkaitan dengan fokus
penelitian. Dokumen dan laporan tersebut bisa berupa Undang-Undang atau Peraturan Menteri dan
jenis pertauran lainnya yang berkaitan dengan fokus penelitian. Instrumen penlitian ini adalah peneliti
itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai human instrument sekaligus pengumpul data, berfungsi
menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,
menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya.
Analisis data yang digunakan berdasarkan 7 tahapan dari Soft system methodhology.
Gambar 4
Tujuh Tahapan Soft Systems Methodology
7. Action to improve the problem situation
1.The problem situation : unstructured
6. Feasible, desirable, changes
2. The problem situation : expressed
5. Comparison of 4 with 2
Real world
3. Root defnitions of relevant
Systems thinking
4. Conceptual models
4a. Formal system concept
4b. Other systems thinking
Sumber : diadaptasi dari Checkland (1999, h.163)
1. Mengenali Situasi Permasalahan
Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah mengumpulkan beragam informasi
berkaitan dengan permasalahan berdasarkan struktur dan proses yang terjadi dalam berbagai aktivitas
sesuai dengan fenomena yang diteliti. Kegiatan ini dilakukan melalui observasi, pengumpulan data
sekunder, dan yang tidak kalah penting adalah melakukan wawancara secara informal. Tujuannya
untuk mendapatkan isu-isu tertentu, konflik-konflik, keinginan yang diharapkan, atau masalah
lainnya.
2. Mengungkapkan Situasi Permasalahan
Tahap ini diperlukan untuk strukturisasi permasalahan dan proses yang terjadi sebagai pusat
perhatian penelitian (problem situation expressed), mengingat pada tahap pertama situasi
permasalahan yang dikenali masih belum terstruktur. Strukturisasi yang dimaksud menyangkut
struktur yang diproses. Struktur permasalahan meliputi rancangan bentuk, hirarki kekuasaan,
bekerjanya struktur, dan pola komunikasi baik formal maupun informal. Sedangkan proses
permasalahan menyangkut hubungan aktivitas dasar yang menentukan suatu pekerjaan itu sendiri,
monitoring terhadap pengaruh eksternal, dan tindakan korektif yang dilakukan secara sungguhsungguh.
Sehubungan dengan ini, Flod dan Jackson dalam Supriyono (2007 h.112) mengemukakan
perlunya dua analisis. Pertama, analisis terhadap system social menyangkut adanya peranan tertentu,
perundang-undangan, norma maupun nilai atau disebut dengan analisis culture metaphor. Kedua,
analisis sistem politik menyangkut penggunaan kekuasaan sebagai suatu proses pertukaran dalam
institusi atau disebut juga dengan analisis power tetaphor and narrowly defined power metaphor
3. Pembuatan Definisi Sistem Permasalahan
Tahapan ini adalah menyangkut pembuatan definisi mendasar tentang sistem permasalahan
(root definition) dengan cara menggali permasalahan secara mendalam dari stakeholder dan
pandangan idealnya tentang apa sebaiknya suatu sistem yang relevan untuk memecahkan masalah
yang dihadapi. Tujuannya mengambarkan keterkaitan antara situasi permasalahan dengan esensi
pemecahan masalah yang perlu dikerjakan. Dengan mendefinisikan sistem permasalahan akan
terungkap mengenai apa yang dikerjakan, mengapa dikerjakan, siapa yang mengerjakan, siapa yang
diuntungkan dengan pekerjaan tersebut, dan apakah lingkungan yang membatasi tindakan yang
dilakukan.
(Checkland, 1990 h.35-36) merumuskan keterkaitan tersebut dengan sebutan unsur CATWOE
(customers, actors, transformation process, world view, owners, environmental constraints). Berikut
dikemukakan pengertian masing-masing unsure.
1. Customers (pelanggan), adalah pihak-pihak yang diuntungkan atau dirugikan dari
kegiatan pemecahan masalah
2. Actors (actor-aktor), adalah pihak-pihak yang melaksanakan aktivitas pemecahan masalah
3. Transformation process (proses tranformasi), adalah aktivitas yang mengubah masukan
menjadi keluaran dalam institusi
4. World view (cara pandang terhadap realitas), yaitu pemahaman berbagai pihak tentang
makna yang mendalam dari situasi permasalahan
5. Owners (pemilik), adalah pihak yang dapat menghentikan aktivitas institusi
6. Environmental constraints (hambatan lingkungan), adalah hambatan dalam lingkungan
system yang tidak dapat dihindari
4. Membangun Model Konseptual
Tahap ke empat dalam menerapkan soft system methodology adalah membangun model
konseptual (building conceptual models) artinya menggambarkan situasi permasalahan yang terjadi
dalam realitas dan upaya pemecahannya dengan membuat tiruannya dalam model konseptual.
Conceptual models adalah prosses transformasi dari root definition. Model konseptual ini dibangun
menggunakan konsep sistem formal (formal system concept) tentang permasalahan yang dihadapi dan
upaya pemecahannya dengan menggunakan kerangka berpikir sistem (other system thinking)
Sistem formal harus memenuhi persyaratan adanya komponen, proses interaksi, dan batasan
lingkungan. Komponen, artinya bagian dari sistem sebagai suatu kesatuan, komponen-komponen
tersebut berinteraksi, menggambarkan adanya tingkatan yang saling berhubungan. Persyaratan proses,
artinya sistem memiliki misi atau tujuan dalam suatu proses, memiliki suatu pengukuran kinerja,
menyangkut sebuah proses pengambilan keputusan, melalui proses ini terdapat adanya pengaturan
tindakan tentang kinerja dan pencapaian tujuan. Sedangkan batasan lingkungan artinya diakui dalam
sistem yang lebih luas atau berinteraksi dengan lingkungan, memiliki batasan, terpisah dari
lingkungan yang lebih luas, memiliki sumberdaya manusia untuk mendukung proses pengambilan
keputusan, dan memiliki jaminan untuk kontiunitas dan stabilitas dalam jangka panjang. Supriyono,
(2007 h.114)
5. Perbandingan Antara Model Konseptual dengan Situasi Permasalahan
Membandingkan model konseptual dengan realitas yang dihadapi (comparing models and
reality) diperlukan untuk mendorong terjadinya debat tentang berbagai kemungkinan perubahan
dalam model konseptual yang telah dibangun. Perubahan model konseptual ini sangat dimungkinkan
dan diperlakukan mengingat soft systems methodology esensinya adalah membandingkan antara
kerangka berpikir sistem (system thinking) dengan dunia nyata (real world) untuk menganalisis dan
memecahkan masalah secara sistemik. Analisis pada tahap ini intinya membandingkan antara model
konseptual dengan analisis situasi permasalahan yang telah dikaji secara mendalam pada tahapan
pertama (problem situation unstructured) dan tahapan kedua (problem situation expressed)
6. Perubahan Model yang Diinginkan
Tahapan ini adalah menyangkut pendefinisian perubahan yang diinginkan dan yang akan
dilakukan (desirable and feasible changes) setelah melalui proses debat yang membandingkan antara
model konseptual dengan situasi permasalahan dalam dunia nyata. Termasuk dalam hal ini
mempertimbangkan kelayakan proses perubahan system dilihat dari berbagai perspektif yaitu :
budaya, politik, dan sosial, yang berpengaruh terhadap penetapan keputusan perubahan Flood and
Jackson dalam Supriyono (2007 h.115)
7. Tindakan Perbaikan
Tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam soft systems methodology. Sebagaimana
dinyatakan oleh Supriyono (2007 h.116) bahwa, tahapan ini dapat diartikan sebagai tindakan yang
dilakukan dengan memecahkan permasalahan yang dihadapi melalui penerapan model konseptual
yang telah berubah dan disempurnakan melalui proses diskusi dengan komponen stakeholder. Tentu
dengan pertimbangan waktu.
Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengujian keabsahan data dengan teknik pemeriksaan
menurut Moleong (2007 h.327). Hal tersebut dapat dilihat dari tabel teknik pemeriksaan data:
Tabel 3. Teknik Pemeriksaan Data Kualitatif Moleong
Kriteria
Kredibilitas
(derajat kepercayaan)
Kepastian
Kebergantungan
Kepastian
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Tehnik Pemeriksaan
Perpanjangan keikutsertaan
Ketekunan pengamatan
Triangulasi
Pengecekan sejawat
Kecukupan referensial
Kajian kasus negatif
Pengecekan anggota
Uraian rinci
Audit kebergantungan
Audit kepastian
Sumber: Moleong (2007, h.327)
Hasil Penelitian
Pembahasan
Simpulan
Daftar Pustaka
Abe, Alexander. 2005. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta : Pustaka Jogja Mandiri.
Balle, Michael. 1994. Managing With Systems Thinking. Berkshire : McGRAWW-HILL Book
Company Europe
Bratakusumah, Riyadi. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah : Strategi Menggali Potensi dalam
Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama.
Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama.
Cavana, Maani. 2000. Systems Thinking Modelling. Auckland : Pearson Education New Zealand
Limited.
Checkland, Peter. 1999. Systems Thinking, Systems Practice : Includes a 30-year retrospective.
Chichester : John Wiley & Sons.
Checkland, Scholes. 1990. Soft Systems Methodology in Action. Chicester : John Wiley & Sons.
Conyers, Hills. 1990. An Introduction To Development Planning In The Third World. Chicester : John
Wiley & Sons.
Faludi, Andreas. 1973. Planning Theory. Oxford : Pergamon Press.
Hardjanto, Imam. 2011. Teori Pembangunan. Malang : UB Press.
Kumar, Arvind. 2001. Encyclopedia Of Decentralised Planning and Local Self Governance. New
Delhi : J.L.Kumar For Anmol Publications Pvt.Ltd.
Kuncoro, Mudrajad. 2012. Perencanaan Daerah, Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan
Kawasan. Jakarta : Salemba Empat.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosda Karya.
Muluk, Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah (Sebuah Kajian
dengan Pendekatan Berpikir Sistem). Malang : Bayumedia Publishing.
Rustiadi, Ernan. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor : IPB.
Soesesilo, Aminullah, Muhammadi. 2001. Analisis Sistem Dinamis (Lingkungan Hidup Sosial,
Ekonomi, Manajemen). Jakarta : UMJ Press.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Khairul, Muluk. 2006. Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerintahan Daerah Dengan Pendekatan
Berpikir Sistem. Depok : FISIP UI.
Supriyono, Bambang. 2007. Pembangunan Institusi Pemerintahan Daerah Dalam Penyediaan
Prasarana Perkotaan di Kota Malang. Depok : FISIP UI.
Syaifullah. 2007. Analisis Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah di Kota Magelang (Studi
Kasus Perencanaan Pembangunan Tahun 2007). Semarang : FISIP UNDIP.
Brenton RMN, Kevin, MSc. 2007. Using soft system methodology to examine communication
difficulties. Journal of Mentah Health Practice. Vol 10, No 5.
Dibia, Ifechukwude K, Hom Nath Dakai, Spencer Onuh. 2011. A ‘Lean’ Study using the Soft Systems
Methodolgy.
Durant Law, Graham. 2005. Soft system methodology and grounded theory combined – a knowledge
management research approach. actKM Online Journal of Knowledge Management. Volume 2,
Issue 1.
Gati, Patria Kurnia, Mahmud Imrona dan Saufiah. 2010. Analisis Soft System Methodology (SSM)
Untuk Excellent Service Management : Studi Kasus Spee- Dy PT.Telkom Divre III Jabar Dan
Banten.
Raguphati, Wullianallur, Amjad Umar. 2009. Integrated digital Health system Design : A ServiceOriented Soft System Methodology. International Journal of Information Technologies and
system approach. Volume 2, Issue 2.
Turner, Mike. 2008. Using Mode 2 soft system methodology in the teaching and assessment of the
“practical” content in undergraduate hospitality degrees. Journal of hospitality, Leisure, Sport
and Tourism education. Volume 7, No. 2.
Undang-Undang No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah
Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undan-Undang No.32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.54 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 050/200/Ii/Bangda/2008 Tentang Direktorat Jenderal
Bina Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri 2008 Pedoman Penyusunan Rencana
Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Eko, Sutoro. 2010. Mengubah Perencanaan Birokratis Menjadi Teknokratis, Jumat, 13 Juli, | 14:17
WIB (www.ireyogya.org) [29/12/10].