Gender dapat diartikan sebagai perbedaan

Gender dapat diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai,
pekerjaan (role) dan perilaku. Secara umum, gender digunakan sebagai indentifikasi perbedaan antara laki-laki
dan perempuan dari segi sosial budaya. Hal ini berbeda dengan sex yang secara umum digunakan untuk
mengidentifikasi dari segi anatomi biologis jenis kelamin semata.
Berdasarkan uraian di atas maka konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Ciri dari sifat itu sendiri dapat dipertukarkan.
Misalkan, sifat kelemah-lembutan yang dimiliki oleh perempuan ternyata juga sering didapati ada pada lakilaki, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian maka relasi gender sebagai akibat dari keberadaan gender
tidak sama di setiap tempat, daerah, karena erat kaitannya dengan berbagai faktor, seperti faktor ekologi, budaya
dan termasuk juga agama.
Seringkali terjadi ketimpangan dan ketidakadilan gender yang sangat merugikan, khususnya dialami
oleh perempuan. Ketidakadilan ini mengakibatkan retaknya keharmonisan hubungan antara laki-laki dengan
perempuan. Oleh kerena itu muncullah suatu reaksi yang diikuti tindakan struktural untuk menyusun kembali
pola hubungan laki-laki dan perempuan agar mencapai keseimbangan, kesamaan status dan peran sosial guna
menghilangkan ketimpangan gender di dalam masyarakat. Reaksi inilah yang sering dikenal dengan sebutan
feminisme. Pandangan feminisme terhadap perbedaan peran laki-laki dan perempuan secara umum dapat
dikategorikan menjadi tiga kelompok, sebagai berikut:
1. Feminisme Liberal
Dasar filosifis kelompok ini adalah liberalisme, yaitu bahwa semua manusia diciptakan sama, serasi dan
seimbang. Baik laki-laki atau perempuan memiliki hak-hak yang sama, maka sudah seharus tidak ada
penindasan antara satu sama lain.
Perempuan sudah semestinya mendapatkan peran diwilayah publik, baik sektor ekonomi, politik dan

termasuk sektor militer. Maka tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih mendominiasi, karena
organ reproduksi yang dimiliki perempuan bukan merupakan penghalang terhadap pembatasan peran
perempuan.
2. Feminisme Marxis-Sosialis
Aliran ini berupaya menghapus struktur kelas dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Mereka
berpendapat bahwa posisi inferior perempuan berkaitan erat dengan struktur kelas dan keluarga dalam
masyarakat kapitalis. Hal tersebut mengakibatkan hubungan antar suami dan istri seperti hubungan antara
borjuis dan proletar. Sebagai solusi untuk mengangkat harkat martabat perempuan supaya seimbang dengan
laki-laki, maka perlu menghapus dikotomi pekerjaan sektor domestik dan sektor publik. Hingga pada akhirnya
terbentuknya suasana kolektif antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan publik dan domestik.
3. Feminisme Radikal
Aliran ini berpendapat bahwa terjadinya perbedaan gender yang merugikan perempuan bukan
dikarenakan struktur social dan budaya, malainkan karena unsur biologisnya. Mereka lebih mengarahkan
gerakannya dalam realitas seksual, bukan hanya berusaha menghapus hak-hak laki-laki, namun juga menghapus
perbedaan seksual. Kelompok ini lebih radikal dari pada yang lain karena menuntuk persamaan dengan laki-laki
dalam segala hal.
a. Relasi Gender Suami Istri dalam Keluarga
Keluarga terdiri dari dua kata, yaitu kula yang artinya abdi, hamba yang mengabdi untuk kepentingan
bersama; dan warga yang artinya anggota, yang berhak ikut berbicara dan bertindak. Maka ‘keluarga’
mempunyai artian mengabdi, bertindak dan bertanggung jawab kepada kepentingan umum. Dari definisi itu

bisa disimpulkan bahwa keluarga adalah sebuah institusi terkecil dalam masyarakat yang berfungi untuk
menciptakan rasa tentram, aman, damai dan sejahtera dalam kasih sayang antara satu sama yang lainnya.
Sebagai unit pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat, keluar yang terdiri dari suami dan istri, atau
dengan adanya anak, memiliki peranan penting sebagai berikut:

1. Memberi perlindungan bagi anggotanya, baik ketentraman maupun ketertiban dalam wadah keluarga
tersebut.
2. Memberi kebutuhan social-ekonomi secara materiil.
3. Menumbuhkan dasar-dasar kaidah-kaidah pergaulan hidup.
4. Sebagai wadah sosialisasi awal untuk memahami nilai yang berlaku dimasyarakat.
Menambahkan dari yang di atas, keluarga sebagai sebuah institusi minimal harus memiliki enam fungsi,
yaitu fungsi religius, fungsi afektif, fungsi sosial, fungsi edukatif, fungsi protektif, fungsi rekreatif.
Adapun yang dimaksud dengan relasi mempunyai arti hubungan, pertalian dengan orang lain. Maka
relasi gender bisa diartikan hubungan kemanusiaan (sosial) yang didasarkan pada pertimbangan aspek
kesadaran gender. Menurut Nasaruddin Umar, relasi gender merupakan konsep dan realitas pembagiaan kerja
social antara laki-laki dan perempuan yang tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat normative serta
terkategori biologis, melainkan kwalitas, skill, dan peran berdasarkan konvensi-konvensi social. Relasi gender
dalam kajian ini dibatasi hanya pada relasi gender antara suami dan istri dalam rumah tanggal.
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa merealisasikan relasi yang baik antara suami
istri dalam sebuah rumah tangga memerlukan prinsip utama yaitu al-mu’asyarah bil ma’ruf, yang berdiri diatas

landasan sikap saling memahami, saling mengenal, saling tanggung jawab dan bekerja sama, serta kesetiaan dan
keluhuran cinta. Ada pula yang menambahkan harus ada penanaman nilai ketauhidan, saling menasehati,
memperbanyak doa dan mengharap keberkahan dalam keluarga.
Konsep al-mu’asyarah bil ma’ruf tidak mudah untuk direalisasikan, terkait akan banyak faktor. Setiap
manusia yang memilik keterbatasan satu sama lain, tingkatan yang berbeda-beda, maka wajar dalam hal-hal
tertentu sering kali laki-laki diunggulkan dalam hubungan keluarga, sedangkan perempuan dalam kondisi
sebaliknya. Menyikapi hal ini, ada beberapa teori berkaitan pembagian peran antara suami dan istri:
1. Fungsionalisme, perlu adanya pembagian peran fungsi antara laki-laki dan perempuan. Suami sebagai provider,
perannya dilakukan diwilayah publik. Sedangkan peran istri adalah housekeeper, berada dalam wilayah
domestik. Dipelopori oleh tokoh Talcott Parsons.
2. Feminisme, menuntut kesamaan hak secara total. Tidak perlu ada pembagian tugas dalam membangun rumah
tangga. Dengan demikian tidak ada lagi peran yang lebih dominan dalam rumah tangga.
3. Teori crossed over yang diprakarsai oleh Janet Zollonger Giele. Menyepakati adanya pembagian tugas pokok,
namun boleh bagi perempuan melakukan pekerjaan sebagaimana suami, dengan mengindahkan beberapa aspek,
(1) atas izin suami, (2) menyesuaikan dengan kodrat yang dimiliki oleh perempuan dan (3) tanpa meninggalkan
tanggung jawabnya dalam sekup rumah tanggal dan pengasuhan anak.
Di dalam al-Quran ada beberapa ayat yang menunjukkan peran yang sama perempuan dengan laki-laki
sektor publik, sebagaimana perempuan juga berperan dalam sektor domestik. Kisah dua putri Nabi Syu’aib dan
Musa AS (Q.S. Al-Qashash: 23), perempuan juga memainkan perannya dalam mewujudkan al amru bil ma’ruf
wan nahyu ‘anil munkar yang tidak hanya sebatas pada keluarga namun juga bermasyarakat (Q.S. An-Nahl:

97).
b. Konsep Keluarga Sakinah dalam Islam
Kata sakinah berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna ketenangan dan ketentraman. Di dalam alQuran kata sakinah disebutkan sebanyak enam kali, yaitu Surat Al-Baqarah: 248, Surat At-Taubah: 26 dan 40,
Surat Al-Fath: 4, 18 dan 26. Dalam ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa sakinah itu pemberian Allah SWT. ke
dalam hati para Nabi dan orang-orang yang beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi ujian hidup. Maka
bisa diartikan bahwa sakinah adalah suatu ketenangan dan kepuasan hati.
Berdasarkan uraian di atas maka yang keluarga sakinah diperuntukkan bagi keluarga yang tenang,
tentram, bahagia dan sejahtera lahir dan batin. Suatu keluarga yang dibina atas dasar perkawinan yang sah,

mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang diliputi suasana kasih sayang
antar anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi serta mampu mengamalkan, menghayat, dan
memperdalam nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.
Islam mengajurkan pemeluknya untuk membentuk sorga dunianya berupa keluarga sakinah
sebagaimana tercantum dalam Q.S. Ar-Rum: 21. Hal ini dikarenakan beberapa alasan diantaranya:
1. Adanya kewajiban menjaga diri dan keluarga dari neraka (Q.S. At-Tahrim: 6).
2. Tempat mendapatkan perlindungan, pendidikan dan pengakuan sosial.
3. Mayoritas manusia mengabiskan waktunya dalam keluarga.
4. Pondasi awal dalam membangun masyarakat Islami.
Maka tidak heran kalau agama Islam memberikan perhatian besar terhadap keluarga, sebagaimana sabda
Rasulullah mengungkapkan “Bayti Jannati”.

Menurut Khoiruddin Bashori menambahkan, ada beberapa ciri yang menjadikan keluarga sehat, harus
memiliki beberapa hal diantaranya adalah:
1. Kekuasaan dan hubungan intim yang seimbang (power and intimacy).
2. Kejujuran dan kebebasan berpendapat (honesty and freedom of expression).
3. Kegembiraan dan humor hadir dalam keluarga (warmth, joy and humor).
4. Keterampilan organisasi dan negosiasi (organization and negotiating skill).
Al-Qur’an empat belas abad yang lalu telah memberi rumusan prinsip-prinsip dasar dalam keluarga,
terletak pada Surat An-Nisa’: 19, yaitu mu’asyarah bil al-ma’ruf atau berinteraksi dengan baik. Realisasinya
adalah dengan menciptakan hubungan resiprokal atau timbal balik antara suami istri. Keduanya harus saling
mendukung, saling memahami, dan saling melengkapi. Disamping itu juga harus memaksimalkan peran dan
fungsi masing-masing dalam berkeluarga. Tidak luput pula bahwa pelaksanaan hak dan kewajiban harus
berdasarkan pada prinsip kesamaan, keseimbangan dan keadilan, dengan demikian habungan suami istri
diletakkan atas dasar kesejajaran dan kebersamaan tanpa harus ada pemaksaan atau tindakan kekerasan dalam
keluarga.
Dengan demikian, konsep hubungan suami istri dalam keluarga Islami bertumpu pada kemitrasejajaran
atau hubungan yang setara dalam memainkan peran masing-masing, sebagaimana hal ini ditekankan dalam Qs.
Al Baqarah: 187 dijelaskan bahwa istri adalah pakaian bagi suaminya, dan suami adalah pakaian bagi istrinya.

Nasaruddin Umar, Argumentasi Kesetaraan Gender Perspektif Quran, Jakarta: Paramadina, 2001, hlm. 17
Ibid., hlm. 65

Aisyah Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama dalam Rumah Tangga, Jakarta: Jamunu,
1969, hlm. 32.
Sri Mulyani, Relasi Suami Istri dalam Islam, Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2004, hlm. 39.

Soeerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004, hlm. 22
Nur Chozin Ar Rusyidhi, Rahasia Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Sabda Media, 2008, 2008, hlm. 16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hlm. 943.
Nasaruddin Umar, Argumentasi… hlm. xx
Fathi Muhammad Ath Thahir, Beginilah Seharusnya Suami Istri Saling Mencintai, Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 2006, hlm. 227.
Mulya, Dimensi Sosial Islam, Ponorogo: Perpustakaan ISID, 2006, hlm. 29.
Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2004, hlm. 3
Dedi Junaedi, Keluarga Sakinah Pembinaan dan Pelestariannya, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007, hlm. 14.
Khoiruddin Bashori, Psikologi Keluarga Saskinah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2006, hlm. 93.
Marhumah, Membina Kelurga Mawaddah wa Rahmah dalam Bingkai Sunnah Nabi, Yogyakarta: PSW IAIN
Suka, 2003, hlm. 312.
Ratna Bataran Munti, Perempuan sebagai Kepala Rumah Tangga, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender,
1999, hlm. 56.

ABSTAK

Kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dalamrumah tangga adalah isu sensitif yang mengundang banyak
kontroversi di tengah tengah masyarakat modern. Kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki dalam rumah
tangga yang berbanding lurus dengan peran dan kedudukan suami dan istri dalamkeluarga (kepemimpinan
dalamkeluarga) menjadi permasalahan yang selalu menjadi polemik dalam masyarakat modern. Perbedaan
peran dan kedudukan suami istri yang sejatinya merupakan akibat dari perkembangan lingkungan karena setiap
masa menghasilkan peran dan kedudukan sendiri-sendiri, yang kemudian menjadi alat legitimasi kekuasaan
berdasarkan perbedaanjenis kelamin dalammasyarakat yang diskriminatif. Soekarno adalah aktor pergerakan
politik bangsa ini (founding fathers), yang memberikan kontribusi positif dalampeningkatan peran dan
kedudukan perempuan di Indonesia. Melalui bukunya yang berjudul Sarinah,Soekarnomencoba mengangkat
peran dan posisi perempuan. Buku ini merupakan hasil kursus perempuan yang ia lakukan selamadi Yogyakarta
tiap dua minggu sekali. Karena menurut Soekarno, persoalan perempuan adalah persoalan kemasyarakatan, dan
masyarakat belumpernah secara sadar mengangkat perandan posisi perempuan. Menurut Soekarno tujuan
kemanusiaan tidak menghendaki siapa menjadi superior dan siapa yang inferior melainkan keadilan antara
keduanya. Sehingga tercipta kondisi dinamis dimana perempuan (istri) dan laki-laki (suami) memiliki kesamaan
hak, kewajiban,kedudukan, peranan dan kesempatan yangdilandasi sikap dan perilaku saling menghormati,
saling menghargai, saling membantu dan saling mengisi dalamberbagai bidang dalam rumah tangga. Penelitian
ini merupakan library researchyang menggunakan metode historis faktual yang kemudian dianalisa secara
kualitatif dengan menggunakan instrumen induktif dan interpretatif. Untuk menganalisis permasalahan tersebut,
penyusun menggunakan pendekatan normatif dengan mengambil penafsiran pemikir Islamkontemporer yang
terdapatdalamal-Qur’an dan Hadits. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, Yaitu menggambarkan

pemikiran Soekarno tentang perempuan, kemudian dianalisis sampai meraih kesimpulan sebagai jawaban dari
pokok masalah berdasarkan data yang telah terkumpul; Sedangkan berdasarkan alasannya penelitian ini
merupakan penelitian yang mengandung alasan intelektual (intelectual research),yakni lazimdisebut juga
dengan penelitian dasar (basic research) atau penelitian murni (pure research). Setelahmeneliti dan menganalisa
pemikiran Soekarno tentang perempuan khususnya kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dalamkeluarga,
maka penyusun menarik kesimpulan bahwa pemikiran tentang perempuan khsususnya mengenai
kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki terlalu terjebak pada asumsi teologis dan budaya patriarkhi yang
tidaksehat dalammayarakat, yang menurut penyusun, konsep kemitrasejajaran bukanlah
membalik posisi struktur superior-inferior melainkan menghilangkannya. Sesuai dengan pemikiran Soekarno
bahwa keadilanlah yang menjadi tujuan akhir dari kemitrasejajaran ini. Butuh sebuahpemahaman yang samadan
kesadaran bersama akan pentingnya hal tersebut

Pengertian Jender
Jender adalah perbedaan-perbedaan sifat wanita dan pria yang tidak hanya mengacu pada perbedaan
biologis, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial dan budaya. Nilai-nilai tersebut menentukan peranan wanita
dan pria dalam setiap bidang masyarakat. Dari definisi di atas, jender jelas berbeda dengan jenis kelamin.
(Jender=Gender, jenis kelamin=sex). Jender adalah pengertian yang mengacu pada pengertian yang terbentuk
secara sosial bukan yang sejak lahir. Karena itu, pengertiannya dapat berubah.
Beberapa pengertian yang sudah menunjukan perubahan itu di antaranya:
a. Wanita dapat melakukan pekerjaan yang secara tradisional dilakukan oleh pria

b. Pria dapat mengasuh anak sama baiknya seperti wanita.
3.2. Jender Dibedakan Dari Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah dasar biologis yang membedakan perempuan dan laki-laki. Contoh: setiap orang
dilahirkan sebagai bayi perempuan atau laki-laki yang ditentukan berdasarkan ciri fisik – biologisnya.
Perbedaan biologis ini seringkali dianggap sebagai: telah menjadi bawaan, telah ditentukan dan tidak dapat
diubah. Karakteristik khas perempuan dan laki-laki yang ditentukan oleh kondisi biologisnya adalah antara lain:
laki-laki mempunyai sperma, perempuan dapat mengandung dan melahirkan bayi.
3.3. Jender Sebagai Konstruksi Sosial
Perkembangan jender merupakan interaksi kompleks antara faktor bawaan dan faktor sosial. Identitas Jender
seseorang mulai berkembang pada usia yang relatif muda (sekitar usia 3 tahun). Identitas jender semakin
dimantapkan melalui berbagai cara, antara lain dengan adanya pembagian peran pria-wanita. Dalam keluarga
misalnya tertanam peran Bapak adalah kepala keluarga, ibu adalah pengurus rumah tangga dan pengasuh
anak. Dengan berbagai cara, dan dalam lingkungan ( baik di keluarga, sekolah, dan masyarakat pada umumnya)
pembagian peran pria dan wanita yang berlaku dalam suatu lingkungan budaya diperkenalkan pada setiap
orang sejak usia dini dan sesuai dengan tahapan usianya. Sehingga secara bertahap setiap anak akan
memahami apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan, dipikirkan, karena ia perempuan atau laki-laki.
Maka terbentuklah kemudian sejumlah sifat-sifat psikologis yang khas jender (“gender specipic traits). Ialah
sifat, sikap dan perilaku yang dianggap pantas bagi seorang karena ia perempuan atau laki-laki (sesuai jender).
Sifat dan sikap jender ini (seperti: perempuan = pasif, emosional; laki-laki: rasional, mandiri) berkembang
sebagai hasil proses sosialnya dan yang kemudian secara langsung mempengaruhi relasi antar jender. Cara

perempuan dan laki-laki berhubungan dan saling memandang pun merupakan hasil proses sosial, khususnya
cara masing-masing mengisi peran sosialnya

Sikap dalam Mewujudkan Kemitrasejajaran Laki-Laki dan Perempuan dalam Keluarga


Pdt. Bambang Subagyo, S.Th.
Pendahuluan
Sebagai orang beriman agama apapun yang kita yakini mestinya menyadari dan
meyakini bahwa Allah menghendaki agar umatnya bejuang menegakkan keadilan dan kebenaran
demi kemuliaan Allah dan kesejahteraan dan keutuhan seluruh ciptaan. Upaya menegakkan
keadilan dan kebenaran hendaknya dimulai dari keluarga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat, dengan dilandasi sikap menghormati dan menghargai seluruh anggota keluarga baik
suami maupun isteri, orangtua maupun anak, laki-laki maupun perempuan, hendaknya kita
secara kritis berani melakukan reinterprestasi teks yang tidak relevan secara bertanggungjawab.
Landasan untuk Bersikap Adil
Landasan yang menjadi pedoman bagi kita untuk membangun sikap adil bedasarkan
kesaksian Alkitab antara lain:
1. Tuhan menghendaki agar Abraham memerintahkan kepada keturunannya untuk hidup
menurut jalan yang ditunjukkan Tuhan dengan melakukan kebenaran dan keadilan. (Kejadian

18:19; Yesaya 1:16-17; 56:1; Amos 5:15).
2. Tuhan mengingatkan agar tidak memutarbalikkan keadilan dan tidak memandang bulu serta
menerima suap (Ulangan 16:19).
3. Memberikan keadilan kepada orang yang lemah dan anak yatim, dan membela yang
sengsara dan kekurangan (Mazmur 82:3-5).
4. Mewujudkan terpadunya kasih dan kesetiaan, keadilan, dan damai sejahtera. (Mazmur 85:914).
Keberadaan Laki-Laki dan Perempuan
Keberadaan manusia baik laki-laki maupun perempuan menurut kesaksian Alkitab adalah
ciptaan yang memiliki keterpautan yang erat de
ngan Allah Sang Khalik
yang dilukiskan dengan
berbagai gambaran antara lain:
1. Laki-laki dijadikan menurut gambar/citra Allah yang dimahkotai dengan kemuliaan dan
hormat (Kejadian 1:27; Mazmur 8:5-9).
2. Manusia hidup oleh hembusan nafas Allah, hal ini menggambarkan bahwa hidup manusia itu
benar-benar bergantung pada relasinya dengan Allah (Kejadian 1:28).
3. Laki-laki dan perempuan terpanggil untuk beranakcucu memenuhi bumi ini serta dilibatkan
sebagai kawan-sekerja Allah dalam mengusahakan dan memelihara alam semesta demi
keutuhan dan kesejahteraan seluruh ciptaan (Kejadian 1:29).
4. Agar manusia tidak seorang diri, maka Allah memberikan penolong yang sepadan dengan
dia (Kejadiaan 2: ayat 18).
Panggilan Hidup Berkeluarga
Dalam melaksanakan tugas untuk beranak-cucu memenuhi bumi, maka laki-laki dan
perempuan menyatukan diri untuk membangun keluarga dalam ikatan perkawinan. Pengajaran
Yesus Kristus tentang perkawinan yang termuat dalam Matius 19:3-6 dapat dirangkupkan
menjadi empat prinsip dasar yang harus dilaksanakan, yaitu:
1. Perkawinan dilandasi oleh kesadaran sebagai ciptaan Allah yang memiliki kekudusan dan
kehormatan, sehingga dalam membangun kemitraan yang adil dalam keluarga, laki-laki dan
perempuan harus saling mengkuduskan dan memuliakan (band 1 Tes 4:3-6).
2. Perkawinan dihayati dengan semangat mandiri baik material maupun mental.
3. Perkawinan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam ikatan lahir-batin antara seseorang
yang bahagia dan kekal. (band I Korintus 7:3-4 dan UU No. 1/19974 pasal 1)
4. Perkawinan diyakini sebagai karya Tuhan yang harus dihayati secara bertanggungjawab dan
dijaga kelangsungannya. (band Iberani 13:4-6)


Makalah untuk Diskusi “Penguatan Pemahaman Dan Sikap Keagamaan Yang Adil Gender Dalam
Keluarga” diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia, 5 September 2006.
2
Tanggungjawab untuk Mewujudkan Keluarga Bahagia dan Kekal
Setiap anggota keluarga hendaknya senansiasa tetap menyadari akan hakekat dan
tujuan hidup berkeluarga yaitu
“Mewujudkan keluarga yang Bahagia dan Kekal”
. Dan terciptanya
tujuan tersebut, menjadi tanggung jawab bersama baik suami dan isteri maupun anak-anak. Oleh
karena itu perlu bagi setiap keluarga untuk meluangkan waktu bersama untuk menyegarkan dan
menata kembali semangat kemitrasejajaran dalam keluarga untuk mencapai kebahagiaan
sebagaimana dijanjikan oleh Tuhan dan dicita-citakan oleh setiap keluarga.
Ada tiga tonggak penyangga kebahagiaan keluarga sebagaimana yang tersurat dalam
Mazmur 128:1-3 yaitu:
Tonggak Pertama
penunjang kebahagiaan keluarga adalah sikap takut akan Tuhan dan hidup
menurut jalan yang ditunjukkan-Nya. Untuk mewujudkan hal tersebut ada beberapa hal yang
dapat dilakukan antara lain:
1. Orang tua hendaknya mendidik anak-anaknya mengasihi Tuhan secara total (Ulangan 6:59).
2. Tidak lupa memperkatakan dan merenungkan Kitab Suci siang dan malam (Yosua 1:7-9; I
Timotius 3:15-17).
3. Menegakkan prinsip ketaatan kepada Tuhan dalam setiap keputusan etis keluarga (Kisah
Para Rasul 5:29; Kolose 3:17; Petrus 3:17).
4. Bertekun dalam doa dan berjaga-jaga. (Kolose 4:2).
Tonggak kedua
penunjang kebahagiaan keluarga adalah memelihara prinsip/tekad yang teguh
yaitu memakan dari hasil jerih payah tanganny
a. Artinya senantiasa berusaha agar dalam
kehidupan keluarga mempunyai:
1. Jiwa makarya adalah sikap hidup makarya (Filipi 1:22; II Tes 3:10) yang mempunyai ciri,
yaitu:
1) Cinta kerja.
2) Tidak membedakan jenis kerja.
3) Menggunakan kesempatan kerja.
4) Bertanggungjawab dalam kerja.
5) Selalu berusaha meningkatkan kualitas kerja.
2. Etos kerja artinya melakukan pekerjaan dilandasi oleh moralitas yang benar, jujur, dan tulus
tanpa melakukan rekayasa untuk memeras jerih payah orang lain demi keuntungan pribadi
(Amsal 16:8).
Tonggak Ketiga
penunjang kebahagiaan keluarga ialah bila seluruh anggota keluarga merasa
kerasan dan berperan serta di rumahnya. Dan untuk itu suami-isteri dan anak-anak hendaknya
senantiasa setia melaksanakan perannya seperti pohon anggur yang subur dan anak-anak
seperti tunas zaitun, yakni melaksanakan perannya dalam rumah yaitu:
1. Menciptakan kehangatan relasi dalam keluarga.
2. Membangkitkan kegairahan hidup dalam keluarga.
3. Mewujudkan keluarga yang saling mengobati.
Fenomena yang Harus Disikapi Secara Kritis
Dalam upaya mewujudkan kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dalam keluarga perlu
sikap kritis dalam menghadapi fenomena-fenomena baik yang ditinggalkan oleh para pendahulu
kita maupun yang yang mungkin terjadi, antara lain:

1. Dalam tradisi para pendahulu yang berada dalam sistem
social patriakhat
, menempatkan
perempuan lebih rendah dari laki-laki baik dalam keberadaan, maupun haknya dalam
keluarga dan masyarakat. Beberapa contoh antara lain:
1) Dalam tradisi Yahudi perempuan tidak boleh menjadi saksi dalam pengadilan
agama.
2) Seorang yang melahirkan anak perempuan masa najisnya lebih lama dari pada
melahirkan anak laki-laki (Imamat 12: 1 – 5).
3) Bagi mzab Hilel, seseorang laki-laki berhak menceraikan isterinya dengan alasan
apa saja.
3
4) Perempuan tidak diijinkan mengajar dan memerintah laki-laki (I Timotius 2:8-15).
2. Dalam pembagian kerja perempuan mendapat beban lebih berat dari pada laki-laki (Amsal
31:10-31).
3. Situasi dewasa ini baik laki-laki maupun perempuan bila sedang dalam posisi kuat juga
cenderung dapat merusak kemitrasejajaran yang harus dilakukan secara adil

Gender Document Transcript


BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gender merupakan salah satu issue paling menarik untuk
di bahas dewasa ini. Bagi masyarakat umum gender sungguh mudah diucapkan akan tetapi sangat sulit
untuk di pahami. Tentu saja tidak semua tentang gender sulit dipahami. Seperti kata Gayle Rubin (1975)
yang tercatat pertama kali mempopulerkan konsep kesetaraan gender, yang mendefinisikan gender
sebagai social construction and codification of differences between the sexes refers to social
relantionship between women and men. Mudahnya gender adalah pembedaan peran perempuan dan
laki-laki dimana yang membentuk adalah konstruksi social dan kebudayaan, jadi bukan karena
konstruksi yang dibawa sejak lahir. Wacana gender mengemuka pada 1977 ketika sekelompok feminis di
London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist. Mereka mamilih jargo baru
gender discourse. Ini adalah perkembanngan yang cerdas, karena sebenarnya masalah ketidaksetaraan
hubungan perempuan dan laki-laki sebagian besar dibentuk oleh pembedaan konstruksi “perempuan”
dan “laki-laki” secara social budaya, dan bukan secara biologis (seks,kelamin). Karena itu memindahkan
wacana ketidaksetaraan tersebut dari panggung biologis ke panggung social-budaya secara teoritis lebih
efektif. 1.2 Rumusan Masalah Untuk lebih mudah memahami makalah ini maka dirumuskan masalah
sebagai berikut : 1. Bagaimana munculnya istilah gender ? 2. Bagaimana ketidakadilan gender bisa
terjadi ? 3. Bagaimana peran serta fungsi Masyarakat untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam
hal gender ?



BAB II PEMBAHASAN GENDER 1. DEFINISI GENDER Istilah gender pertama kali diperkenalkan
oleh Robert stoller (1968) untuk memisahkan pencirian manusia yang didasarkan pada definisi yang
bersifat social budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Sementara itu,
kantor menteri Negara pemberdayaan perempuan republic Indonesia, mengartikan gender adalah peraan
peran social yang dikonstruksikan oleh masyarakat serta tanggung jawab dan kesempatan laki-laki dan
perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran peran social tersebut dapat dilakukan oleh keduanya.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan oleh karean itu, gender berkaitan denngan proses
keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata
nilai yang terstruktur, ketentuan social dan budaya di tempat mereka berada. Dengan kata lain, gender
adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi, hak, perilaku, yang dibentuk oleh
ketentuan social dan budaya setempat. Di dalam women’s studies encyclopedia di jelaskan bahwa
gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik, emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat. Sedangkan Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender: an
introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terahadap laki-laki dan perempuan.
Pendapar ini sejalan dengan pendapat umumnya kaum feminis seperti Linda L. Lindsey, yang
menganggap semua keteapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan
adalah termasuk bidang kajian gender. H.T. Wilson dalam Sex And Gender mengartikan gender sebagai
suatu dasar untk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan
kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Gender tidak
bersifat universal namun bervariasi dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke
waktu. Sekalipun demikian ada 2 elemen gender yang bersifat universal yaitu :



1. Gender tidak identic dengan jenis kelamin 2. Gender merupakan dasar dari pembagian kerja di semua
masyarakat(Gllari,1987) Sedangkan keonsep gender lainnya sebagaimna yang di ungkapkan oleh
Mansour fakih dalam bukunya analisis gender dan tranformasi social adalah suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksiakan secara social maupun kultural. Misalnya
bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan sedangkan laki-laki
dianggapa kuat, rasional, jantan dan perkasa. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan gender
adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat di
bentuk atau di ubah tergantung dari tempat , waktu, suku atau ras budaya, status social, pemahaman

agama, Negara idiologi, politik, hukum, ekonomi. Oleh karenanya gender bukanlah kodrat Tuhan
melainkan buatan manusia yang dapat di pertukarkan dan memiliki sifat relative. 2. KETIMPANGAN
GENDER Perbedaan atau ketimpangan gender sebenarnya bukan suatu masalah sepanjang tidak
menimbulkan gender inequalities ( ketidakadilan gender ). Namun yang menjadi masalah ketika
perbedaan gender ini menimbulkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan utamanya
terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan system dan strktur dimana kaum laki-laki
dan perempuan menjadi korban dari system tesebut. Dengan demikian agar dapat memahami perbedaan
gender yang menyebabkan ketidakadilan, maka dapat dilihat dari berbagai manifestasi yaitu sebagai
berikut: 1. Marginalisasi 2. Subordinasi 3. Streotipe 4. Violence 5. Beban kerja


3. PERSPEKTIF GENDER Anggapan mengenai perbedaan antara jenis kelamin adalah ‘alamiah’, atau
merupakan fakta biologis telah terjadi sejak berabad-abad lamanya. Alamiah disisni tidak selalu
diartikan sebagai fakta biologis, tetapi sering kali diartikan sebagai ketentuan Tuhan. Sehingga adanya
streotik perempuan sebagai makhluk emosional dan laki-laki sebagai pemikir dan rasional tidak perlu
dipertanyakan lagi mengingat hal tersebut lebih banyak ditentukan secara kultural, begitu pula perilaku
yang pantas bagi perempuan maupun laki-laki baik anak-anak maupun dewasa . Donelson G. dalam
bukunya ‘ Women a psychological perspective memberikan suatu hipotesis dalam distribusi bimodal dan
karakteristik gender yang meng- gambarkan bahwa derajat feminitas dan maskulinitas merupakan
kombinasi dari karakteristik biologis dimana perilaku dan sikap yang dapat digambarkan me-rentang
pada suatu skala gender. Identitas gender merupakan definisi diri tentang seseorang, khususnya sebagai
perempuan atau laki-laki, yang berinteraksi secara kompleks antara kondisi biologisnya sebagai
perempuan maupun laki-laki dengan berbagai karakteristik perilakunya yang dikembangkan sebagai
hasil proses sosialisasinya. Identitas gender ini mulai berkembang pada saat seorang bayyi berinteraksi
dengan orang- orang tertentu yang berada di sekitarnya, baika ayah, ibu, maupun pengasuh. Perilaku
orang dewasa dalam berinteraksi dengan seorang bayi secara tidak di sadari sepenuhnya akan
dipengaruhi oleh stereotip yang berlaku. Dalam kehidupan sehari-hari, stereotip dan preferensi orang tua
akan banyak menentukan caranya berkomunikasi terhadap anaknya. Ditinjau dari tahap perkembangan
seorang, dinyatakan bahwa, pada sekitar usia 2 tahun seorang anak mulai menyadari tentang identitas
dirinya. Pada anak usia 3 hingga 6 tahun, perkembangan kepribadian anak laki-laki maupun perempuan
mulai berbeda. Perbedaan ini melhirkan pembedaan formasi social yang berdasarkan identitas gender
yakni bersifat laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan identitas gendernya masih akan diperkuat lagi
oleh lingkungan yang menyadarkannya dalam berbagai kesempatan bahwa ia anak perempuan atau lakilaki. Pada umumnya seorang anak perempuan bermain pasar-pasaran dan anak laki-laki bemain perangperangan, bahkan orang tua maupun orang yang berada di sekitarnya kerap kali mengingatkan bahwa ia
anak perempuan atau laki-laki sehingga apa yang pantas dilakukan oleh anak perempuan atau laki-laki
sudah diarahkan. Pada saat seorang anak berusia remaja, idntitas gender muncul paling kuat .
Kecendrungan untuk memilih peran gender yang sesuai dengan jenis kelamin dimulai sejak anak-anak
meskipun ada kalanya orang tua modern yang tidak menghendaki peran gender yang dipilih oleh si anak
karena mereka ingin agar anaknya tidak terkungkung oleh stereotip



gender. Namun, kecenderungan ini terjadi pada usia anak-anak karena memilih peran gender yang sesuai
dengan jenis kelaminnya membantu seorang anak untuk dapat memberi struktur pada realitas yang
dihadapinya. 4. KESETARAAN GENDER Istilah kesetaraan gender dalam tataran praksis, hamper
selalu diartikan sebagai kondisi ‘ketidaksetaraan’ yang dialami oleh para wanita. Maka istilah kesetaraan
gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan seperti subordinasi,
penindasan, kekerasan, dan semacamnya. Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan suatu
konsep yang sangat rumit dan mengundang kontorversial. Hingga saat ini belum ada konsensus
mengenai pengertian dari kesetaraan laki-laki dan perempuan. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan
yang dimaksud adalah kesamaan hak dan kewajiban, yang tentunya masih belum jelas. Kemudian ada
pula yang mengartikannya dengan konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempuan yang juga
belum jelas artinya. Sering juga diartikan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hak yang

sama dalam melakukan aktualisasi diri namun harus sesuai dengan kodratnya masing- masing. Persoalan
kesetaraan gender yang paling mendasar adalah bahwa belum semua perempuan memiliki atribut –
atribut social yang mendukung pemberdayaannya dalam meraih kesetaraan berperan. Denga demikian,
tanpa upaya melihat kesetaraan gender dari sudut pandang perempuan, tampaknya subordinasi
tersembunyi bagi perempuan akan tetap berlangsung. Meskipun banyak pihak yang tidak sepaham akan
tetap menyanggah dengan keras. Akan tetapi apabila ada persoalan seperti ini dibiarkan terus maka
stereotip pencitraan peran yang membedakan kemampuan seseorang dalam dalam berperan berdasarkan
perbedaan biologis akan terus membelenggu. Upaya-upaya yang paling tepat dilakukan untuk
mensosialisasikan kesetaraan gender ini yaitu dengnan cara: 1. Pembakuan istilah gender dengan acuan
pada keberadaan segala sesuatu yang ada di masyarakat secara ttradisi, dengan mempertimbangkan
berbagai muatan social budaya, ekonomi dan poltik dalam konteks akses terhadap berbagai muatan
pembangunan 2. Pendekatan analisis gender tidak lagi sekedar merujuk pada pembedaan biologis atau
seks (laki-laki atau perempuan) atau sifat perseorangan (maskulin-feminin) akan tetapi mengacu pada
perspektif gender menurut dimensi social budaya. 3. Perencanaan pembangunan perlu dilakukan dengan
memepertimbangkan perbedaan peran gender dan ketergantungan antara laki-laki dan perempuan
sebagai sesuatu hal yang dapat diubah dan akan mengalami perubahan sesuai dengna kondisi socialbudaya


masyrakat yang bersangkutan. Jika cara ini dilakukan maka dapat diharapkan proses pemudaran
stereotip pembagian peran seks (biologis) yang bersifat rigid dapat berlangsung. Dengan demikian
sosialisasi kesetaraan gender tidak lepas dengan sendirinya dari kepedulian kaum perempuan maupun
laki-laki. Nmaun, hal ini bukan berarti dalam konteks ketergantungan atau pendominasian.Pemahaman
mengenai kesetaraan gender ini akan membawa hikamah besar pada kaum perempuan dalam
menyinergikan persoaan dengan lebih sistematis. Sedangkan bagi kaum laki-laki akan membantu dalam
memahami dan mengantisipasi kemungkinan pergeseran peran perempuan di masa mendatang, dalam
konteks yang lebih adil berdasarkan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi. Harapan akan
kesetaraan gender ini menuntut keberanian para perempuan dan kerelaan kaum laki-laki dalam
melaksanakan justifikasi terhadap mitos-mitos yang merugikan refleksi optimal dari aplikasi pean
menurut gender.



BAB III PENUTUP Kesimpulan Dalam Gender adalah suatu konstruksi atau bentuk sosial yang
sebenarnya bukan bawaan lahir sehingga dapat di bentuk atau di ubah tergantung dari tempat , waktu,
suku atau ras budaya, status social, pemahaman agama, Negara idiologi, politik, hukum, ekonomi. Oleh
karenanya gender bukanlah kodrat Tuhan melainkan buatan manusia yang dapat di pertukarkan dan
memiliki sifat relative. Jika dilihat dari dari berbagai manifestasinya perbedaan gender yang menjadi
peneyebab ketidakadilan dalam hal gender adalah sebagai berikut 1. Marginalisasi 2. Subordinasi 3.
Stereotype (pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin tertentu) 4.
Violence (kekerasan) 5. Beban kerja Sosialisasi kesetaraan gender tidak lepas dengan sendirinya tanpa
kepedulian kaum perempuan maupun laki-laki. Pemahaman menegnai kesetaraan gender ini akan
membawa hikmah besar pada kaum perempuan maupaun laki-laki dalam menyinergikan persoalan
dengan lebih sistematis.



DAFTAR PUSTAKA Nugroho, Riant. 2008.Gender dan Strategi Pengarus-Utamaanya di
Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Haq, Hamka, 2009. ISLAM Rahmah untuk Bangsa.Jakarta:
RMBOOKS

menurut William Pollacek, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih ekspresif dibandingkan bayi
perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. Laki-laki pada usia
lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.
Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis,
tidak lemah, dan tidak takut.
Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap masyarakat
sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu,
namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai ”anak mami”.
Isu kesetaraan gender memang telah didengung-dengungkan oleh berbagai pihak, bahkan kebanyakan
mahasiswa sangat getol untuk menyuarakan isu tersebut. Tetapi jika isu tersebut hanya digembar-gemborkan ke
sana-ke mari tanpa adanya keseriusan dari pihak terkait, hal ini hanya akan menjadi percuma dan sia-sia belaka.
Untuk meminimalisasi atau bahkan menghilangkan bias gender agar tecapai kesetaraan dan keadilan gender
perlu sebuah upaya serius dari berbagai pihak. Mulai dari lingkungan keluarga, ayah dan ibu mulai
menanamkan kesetaraan dan keadilan gender dengan cara mereka saling menghormati dan melayani, tidak lagi
didasarkan atas ”apa kata ayah”. Jadi orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan
mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.
Pola penerapan kesetaraan dan keadilan gender yang kedua adalah dari pihak sekolah. Kesetaraan gender dalam
proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan,
sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah
satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat
menentukan bagi terciptanya kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan melalui proses pembelajaran
yang peka gender.
Perlu strategi lagi, selain dari dua upaya di atas, yaitu yang dikenal sebagai istilah pengarusutamaan gender
(gender mainstreaming). Pengarusutamaan gender berarti kita selalu memasukkan atau memikirkan isu gender
sebagai salah satu inti kegiatan utama dan bukan menomorduakan, dilakukan sambil lalu, dipinggirkan,
dianaktirikan atau diabaikan.
Pada hakikatnya pengarusutamaan gender adalah suatu strategi yang dilakukan untuk menciptakan kondisi
kesetaraan dan keadilan gender, yaitu upaya untuk menegakkan hak-hak perempuan dan laki-laki atas
kesepakatan yang sama, pengakuan yang sama, dan penghargaan yang sama oleh masyarakat.
Bukan Kodrat Perempuan Mengacu pada Mansour Fakih, gender merupakan konstruksi sosial yang
membedakan peran dan kedudukan wanita dan pria dalam suatu masyarakat yang dilatarbelakangi kondisi
sosial budaya. Gender juga memiliki pengertian sebagai konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan
peran antara lelaki dan perempuan. Gender merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia yang biasanya
menghambat kemajuan perempuan.
Maka untuk mewujudkan keadilan gender di lingkungan mana pun secara riil, diperlukan kesadaran, kepekaan,
dan keadilan masyarakat terhadap gender. Selama ini masih ditemui perlakuan pembedaan peran dan aktivitas

di lingkungan mana pun. Dengan terwujudnya kesadaran, kepekaan, dan keadilan gender di masyarakat, baik
laki-laki maupun perempuan dapat mengembangkan potensi dan kemampuannya serta memperoleh peluang
yang sama. Salah satu jenis kelamin tertentu juga tak dirugikan. Laki-laki dan perempuan harus dilihat sebagai
sumber daya yang berguna bagi pembangunan bangsa.
Karena itu pendidikan berpersfektif gender perlu ditumbuhkan di masyarakat, khususnya pendidik, orang tua,
pembuat kebijakan. Pendidikan yang berperspektif gender merupakan pendidikan yang menggunakan konsep
keadilan gender, kemitrasejajaran yang harmonis antara perempuan dan laki-laki, memperhatikan kebutuhan
serta kepentingan gender praktis/ strategis perempuan dan laki-laki. Pandangan masyarakat terhadap anak lakilaki dan perempuan yang masih konvensional perlu diberi wawasan yang lebih luas. (35)
–– Sri Multi Fatmawati SSos, aktivis perempuan dan pegawai negeri sipil di Pemkot Semarang
Pendidikan adalah produk atau konstruksi sosial. Celakanya, ada jenis kelamin dalam masyarakat yakni lakilaki dan perempuan yang salah satunya tidak selalu diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut.
Sumber : suara merdeka 2 mei 2009