Rekonsiliasi Nasional Pelanggaran HAM Ma

Rekonsiliasi Nasional Pelanggaran HAM Masa Lalu
(Upaya Merajut Tenun Kebangsaan Menuju Indonesia Berkeadilan dan
Berkeadaban Sebagai Refleksi 70 Tahun Indonesia Merdeka)1
Oleh :
Nanang Suryana, S.IP.2

Pendahuluan
Memperingati

kemerdekaan

Republik

Indonesia

yang

ke-70,

segudang


permasalahan masih menyandera realitas keseharian masyarakat Indonesia. Mulai dari
permasalah berdimensi politik, seperti realitas reformasi yang seakan jauh dari kehendak
awalnya yang asali, sampai pada berbagai permasalahan surplusnya hak politik warga
negara yang seakan tak memiliki rambu etika dan norma dalam berbagai ekspresinya.
Disisi lain, berbagai kesulitan ekonomi kian membebani kehidupan masyarakat. Harga
bahan-bahan pokok yang acap kali jauh dari prediksi normal logika publik, sampai pada
rendahnya nilai tukar rupiah yang berdampak pada ketidakstabilan makro ekonomi
Indonesia, menjadi konsumsi rutin ditengah survivalitas masyarakat Indonesia dewasa ini.
Belum lagi, deretan permasalah berdimensi ideologi, politik, sosial, budaya, dan
pertahanan-keamanan yang setiap hari membanjiri pemberitaan diberbagai media masa,
menambah peliknya masalah yang berjalin kelindan seakan tak berkesudahan.
Diantara daftar masalah yang seolah tak mengenal batas akhirnya tersebut, tak
berarti optimisme keberlangsungan perjalanan bangsa ini harus berakhir. Sejarah sudah
mengajarkan kita tentang bagaimana Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa, lahir,
tumbuh, dan berkembang mempertahankan eksistensinya ditengah gangguan dan hambatan
1

Tulisan ini ditujukan sebagai naskah dalam Lomba Menulis Esai & Puisi Kebangsaan DIP (Democracy,
Integrity, and Peace) Centre dalam rangka memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70.
2


Penulis adalah Alumni Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad dan juga merupakan Alumni Ekspedisi NKRI
Koridor Sulawesi Tahun 2013 yang digagas oleh Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) TNI AD.

1

yang tidak hanya datang dari internal, namun juga berbagai rongrongan tersebut berdimensi
eksternal. Dimulai dari hambatan yang hanya berskala domestik, sampai pada hambatan
dengan skala regional, bahkan global.
Salah satu masalah internal dengan dimensi eksternal yang masih menyandera
makna kemerdekaan Indonesia yang sejati, diantaranya soal penegakan hak asasi manusia
di Indonesia (HAM). Isu terkait HAM tidak mungkin dikesampingkan dalam perjalanan
Indonesia menuju konsolidasi demokrasinya. Karena HAM adalah prasyarat yang harus
dipenuhi sebagai manifestasi pengakuan negara terhadap martabat kemanusiaan rakyat
sebagai pemilik resmi kedaulatan. Oleh karena itu, pemaknaan kemerdekaan Indonesia
yang ke-70 tahun ini, harus juga menjadi momentum refleksi atas kondisi kemanusiaan
yang telah menjadi hutang negara dalam masa perjalanannya.
Sedikit diantara berbagai permasalahan hak asasi manusia tersebut, diantaranya
adalah 6 peristiwa pelanggaran HAM masa lalu yang statusnya sejauh ini telah mendapat
rekomendasi Komnas HAM kepada Kajaksaan Agung, untuk dapat dilakukan penyidikan.

Namun, sampai detik ini, upaya penyelesaian berbagai praktik kejahatan terhadap
kemanusiaan tersebut, belum memperlihatkan perkembangan yang berarti. Peristiwa
palanggaran HAM masa lalu tersebut yakni, Peristiwa Trisakti, Semanggi 1 (1998) dan
Semanggi II (1999), Peristiwa Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,
Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa 1965, dan Peristiwa Penembakan Misterius.
Sebagai contoh, dalam Pernyataan Komnas HAM Tentang Penyelidikan
Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966 tahun 2012, disebutkan didalamnya
telah terjadi pelanggaran HAM yang berat pada kurun waktu 1965-1966 kepada mereka
yang dicap sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan terhadap mereka yang
disinyalir memiliki kaitan dengan partai yang dicap terlarang pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto terdahulu itu. Dalam laporan tersebut. disebutkan kejahatan kemanusiaan
tersebut terjadi di wilayah Maumere yakni pembunuhan di Pantai Wairita dan pembunuhan
di Kampung Flores Timur. Di tempat lainnya, di Lembaga Pemasyarakatan Pekambingan
Denpasar, terjadi perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dengan cara

2

penyiksaan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam Peristiwa G 30 S. Kejadian
serupa juga terjadi di wilayah Sumatera Selatan melalui penghilangan secara paksa
terhadap mereka yang diduga PKI, yang kemudian di antaranya ada pula yang ditahan di

kamp penahanan Pulau Kemarau yang berada di tengah-tengah Sungai Musi. Bentukbentuk kekerasan lain juga terjadi di Kamp Monconghoe, Sulawesi Selatan dan di Pulau
Buru, Maluku, berupa perbudakan terhadap para tahanan disana. Selebihnya, berbagai
bentuk kekerasan dan kejahatan juga terjadi di banyak tempat lainnya di Indonesia.
Meskipun rekomendasi tersebut berasal dari Komnas HAM sebagai salah satu
lembaga negara yang bertugas mewujdukan kondisi yang kondusif bagi penegakan HAM di
Indonesia.3 Namun, rekomendasi hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut tidak mendapat
respon yang positif dari Kejaksaan Agung. Sampai menjelang usia peristiwa 1965 yang
setengah abad pada 2015 ini, upaya yudisial yang seharusnya bisa dilakukan masih
terganjal oleh perangkap impunitas yang mewarnai gejala penegakan HAM di Indonesia.
Oleh karena itu, upaya rekonsiliasi nasional seharusnya mampu menjadi jembatan untuk
berbagai pihak yang berkepentingan, demi kepentingan yang lebih luas dan strategis.
Yakni, terpeliharanya semangat persatuan dan kesatuan, dan terhindarnya republik ini dari
ancaman disintigerasi yang disebabkan beban sejarah yang tak pernah usai. Berikut penulis
tampilkan daftar kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sudah diselidiki Komnas HAM,
namun belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung melalui penyidikan lebih lanjut:

3

Lihat UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


3

Tabel 1 : Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu Yang Sudah Diselidiki Komnas HAM,
Namun Belum Ditindaklanjuti Oleh Kejaksaan Agung
No

Perkara

Rekomendasi Komnas

Status

HAM
1

Peristiwa Trisakti, 1) Ada dugaan

1) Komnas HAM menyerahkan

Semanggi 1


pelanggaran Ham yang

hasil penyelidikan pada april

(1998) dan

berat

2002;

Semanggi II
(1999)

2) Pembentukan

2) Pada tahun 2008, Jaksa

Pengadilan HAM adhoc


Agung menyatakan tidak
dapat melanjutkan penyidikan
karena sudah ada pengadilan
militer dengan adanya
putusan yang tetap;
3) Komnas HAM tetap
menyatakan perlu adanya
pengadilan HAM adhoc.

2

Peristiwa Mei
1998

1) Ada dugaan

1) Komnas HAM menyerahkan

pelanggaran HAM yang


hasil penyelidikan pada

berat

September 2003;

2) Pembentukan

2) Terjadi beberapa kali

Pengadilan Ham adhoc

pengembalian berkas ke
Komnas HAM;
3) Pada tahun 2008, Jaksa
Agung menyatakan
menunggu adanya pengadilan
HAM adhoc;

4


4) Komnas HAM tetap
menyerahkan hasil
penyelidikannya.
3

Penghilangan

1) Ada dugaan

1) Komnas HAM mneyerahkan

Orang Secara

pelanggaran HAM yang

hasil penyelidikan pada

Paksa 1997-1998


berat

November 2006;

2) Pembentukan

2) Pada tahun 2008, Jaksa

Pengadilan HAM adhoc

Agung mengembalikan
berkas dengan menyatakan
menunggu pembentukan
pengadilan HAM adhoc;
3) Komnas HAM tetap
menyerahkan hasil
penyelidikannya;
4) Pada September 2009, DPR
merekomendasikan 1)
pembentukan pengadilan

HAM adhoc, 2) pencarian
korban yang masih hilang, 3)
pemulihan kepada korban dan
keluarganya, dan 4) ratifikasi
konvensi internasional
perlindungan semua orang
dari penghilangan paksa;
5) Preseiden belum satupun
melaksanakan rekomendasi
DPR RI;
6) Jaksa Agung belum

5

menindaklanjuti hasil
penyelidikan Komnas HAM.
4

Peristiwa
Talangsari 1989

1) Ada dugaan

1) Komnas HAM menyerahkan

pelanggaran HAM yang

hasil

berat

penyelidikan pada Oktober

2) Pembentukan

2008;

Pengadilan HAM adhoc 2) Jaksa Agung menyatakan
masih
meneliti hasil penyelidikan
Komnas
HAM
5

Peristiwa 1965

1) Ada dugaan

1) Komnas HAM

pelanggaran HAM

menyelesaikan

yang berat

penyelidikan pada Juli 2012;

2) Pembentukan

2) Pada bulan Juli 2012,

Pengadilan HAM

Presiden pada memerintahkan

adhoc, atau

Jaksa Agung untuk

penyelesaian melalui

mempelajari hasil

KKR.

penyelidikan Komnas HAM,
dan akan melakukan
konsultasi dengan lembaga
negara
lain, seperti DPR, DPD,
MPR,
Mahkamah Agung, dan
semua pihak.
3) Pada Bulan Agustus 2012,
Kejaksaan Agung melakukan

6

gelar perkara hasil
penyelidikan Komnas HAM,
belum ada perkembangan
dari gelar perkara tersebut.
4) Komnas HAM
mengembalikan hasil
penyelidikan Komnas HAM,
untuk dilengkapi.
5) Komnas HAM menjawab
Permintaan Kejaksaan
Agung.
6) Belum ada perkembangan
selanjutnya.
6

Peristiwa

1) Ada dugaan

1) Komnas HAM

Penembakan

pelanggaran HAM yang

menyelesaikan penyeldikana

Misterius

berat

pada Juli 2012;

2) Pembentukan

2) Belum ada sikap dari Jaksa

Pengadilan HAM adhoc

Agung.

Sumber : Ringkasan Eksekutif Laporan Situasi Hak Asasi Manusia 2012
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)4

Berdasarkan pemaparan diatas, tulisan ini berusaha menjejaki upaya rekonsiliasi
nasional sebagai upaya politik negara, dalam menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM
masa lalu, dengan berpijak pada prinsip utama kemanusiaan, yakni terkait dengan
kewajiban manusia, untuk tetap memanusiakan manusia lainnya. Tulisan ini didasarkan
pada penelusuran studi pustaka yang penulis lakukan. Berbagai fakta dan data yang penulis
4

Dokumen dapat diunduh pada laman
http://www.elsam.or.id/downloads/1357733416_Ringkasan_Eksekutif_Laporan_HAM_ELSAM_2012.pdf.
Diakses 18 Mei 2015. Pukul 20.15 WIB.

7

dapat, pada tahapan selanjutnya direduksi dan disajikan secara deskripstif melalui narasi
dengan data kualitatif yang eksplanatoris. Sehingga, roh tulisan ini merupakan hibrida dari
abstraksi subjektifitas ketertarikan penulis pada isu yang diangkat, dan objektifitas
penggunaan kerangka ilmiah sebagai dasar. Tulisan ini hadir sebagai sebentuk kegelisan
seorang anak bangsa, sebagai wujud kecintannya pada negara dan bangsa yang harus tetap
bersatu mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban sebagai
tujuan Indonesia merdeka tepat 70 tahun yang lalu.

Urgensi Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
Limitasi sebuah peristiwa dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM masa lalu,
didasarkan pada dimensi waktu yang menjadi latar terjadinya peristiwa. Penulis beranjak
dari penggolongan peristiwa tersebut dengan menjadikan momentum reformasi tahun 1998
sebagai batasan.5 Oleh karena itu, berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi
sebelum tahun 1998, dikategorikan sebagai peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
Upaya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, menjadi penting
ditengah beban pemerintah menyelesaikan berbagai kasus hukum lainnya di negeri ini.
Pertama, hemat penulis, isu pelanggaran HAM masa lalu layaknya krikil yang tertinggal di
dalam sepatu, dimana negara menggunakannya. Bagaimanapun, negara akan tetap memiliki
beban untuk bisa berlari, bahkan sekedar berjalan disetiap langkah pemerintahannya. Walau
dirasa tidak seberapa besar, namun keberadaan kerikil ini tetap akan mengganggu mulusnya
jalannya pemerintahan. Sehingga, tak ada jalan lain selain membuang krikil itu, yang
berarti pula tak ada jalan lain selain membayar hutang negara atas berbagai pelanggaran
HAM masa lalu, dengan mengakui kesalahan, dan pada akhirnya bersama-sama menatap
masa depan yang jauh lebih baik kedepannya.

5

Pemilihan momentum reformasi pada tahun 1998 sebagai batasan kasus, dikarenkan pada saat itu terjadi
perubahan mendasar dalam berbagai sisi kehidupan bernegara. Termasuk perubahan dalam melihat hak asasi
manusia sebagai salah satu pilar negara demokratis. Alasan lainnya adalah, momentum reformasi 1998 adalah
tonggak dasar yang mengawali Indonesia memasuki tahapan transisi demokrasi. Sehingga, tinjauan terhap
refresifitas negara pada masa sebelumnya layak untuk kembali diketengahkan.

8

Kedua, ditengah sorotan dunia internasional yang begitu massif pada isu hak asasi
manusia. Indonesia harus bisa membuktikan sebagai negara yang konsisten dalam
menerapkan demokrasi. Diantara standar ganda yang diperlihatkan negara-negara besar
terkait isu HAM, Indonesia harus tampil menjadi teladan dengan memproduksi kebijakan
bernafaskan spirit kemanusiaan. Reproduksi kebijakan di level nasional maupun lokal,
harus tetap didorong sebagai manifestasi negara mewujudkan semangat kemerdekaan.
Indonesia harus muncul dengan citra memerdekakan manusia Indonesia sebagai refleksi
paling mendalam atas semangat memaknai kemerdekaan yang sesungguhnya.
Ketiga, kesegeraan untuk meyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu,
setidaknya hadir dalam rangka memenuhi hak keluarga korban atas kebenaran peristiwa
yang sesungguhnya terjadi. Hal ini menjadi penting sebagai sarana bagi keluarga untuk
mendapatkan kepastian atas nasib sanak-saudaranya. Tak ada yang lebih menyakitkan, dari
ketidakpastiaan yang selama ini diterima keluarga korban. Sebagai contoh, dengan
telanjang mata kita bisa melihat berbagai bentuk perjuangan keluarga korban dengan
digelarnya Aksi Kamisan oleh keluarga korban tepat dimuka istana, konsisten di setiap
pekannya. Pemerintah hari ini harus mampu membuktikan, jika kebenaran dan keadilan
bukan barang semu yang hanya dimiliki segelintir orang. Kebenaran dan keadilan adalah
bagian dari narasi kemanusiaan yang hidup dalam relung nyata kehidupan. Pemerintah Joko
Widodo harus tampil sebagai negara yang mewujudkan spirit kelahirannya untuk pertama
kali, yakni melindungi segenap tumpah darah republik. Tanpa terkecuali.
Di sisi political will negara, keharusan untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran
HAM masa lalu, sejatinya adalah perwujudan janji politik presiden Joko Widodo dalam
poin ke-4 konsep Nawacita-nya. Oleh karena itu, penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM
masa lalu, bukan hanya soal kontinuitas kebenaran sejarah yang berkelanjutan. Namun,
terkait juga dengan pertaruhan marwah pemerintahan Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla baik
di dalam dan luar negeri. Dan, momentum rekonsilasi nasional tidak sebatas hanya
pertemuan dua wajah kehidupan, antara yang baik dan yang jahat. Melebihi itu,
rekonsiliasi adalah momen sejarah yang akan menjadi warisan peradaban bangsa ini kepada

9

generasi penerus, tentang bagaimana seharusnya ikatan sebuah bangsa jauh lebih penting
dari egoisme individual dengan klaim kebenaran yang sifatnya parsial.

Rekonsiliasi Sebagai Jalan Keluar
Mengacu pada pilihan opsi kebijakan yang bisa diambil pemerintah dalam
menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, yakni (1) ”never to forget, never to
forgive” (tidak melupakan dan tidak memaafkan, yang berarti ”adili dan hukum”); dan (2)
”never to forget but to forgive” (tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang berarti
”adili dan kemudian ampuni”); sampai dengan (3) ”to forget but never to forgive”
(melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, yang artinya tidak ada pengadilan tetapi
akan dikutuk selamanya); dan (4) ”to forget and to forgive” (melupakan dan memaafkan,
yang

artinya

tidak

ada

pengadilan

dan dilupakan begitu saja), 6 pemerintah bisa

menurunkannnya kedalam berbagai bentuk kebijakan dalam upaya rekonsiliasi nasional.
Salah satunya yakni pemerintah dapat membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) sebagai tahapan awal rekonsiliasi nasional.
Upaya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR,) sebagai wujud
rekonsiliasi nasional, penah dilalui Indonesia pada tahun-tahun awal reformasi. Namun,
pada tahun 2004, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Nomor 27 tahun 2004
tentang KKR tersebut dengan alasan substansi yang terdapat didalamnya tidak
merepresentasikan kehendak publik dan kepentingan korban yang seutuhnya. Hal tersebut
dapat dimaklumi dengan asumsi kondisi pada saat itu, dimana suasana refomasi yang masih
kentara dan tak jarang menjadi kacamata dalam melihat segala sesuatu. Namun demikian,
keputusan MK tersebut tentu bukan hadir tanpa alasan. Dalam konteks penyelesaian
peristiwa pelanggaran HAM, tetap tidak mungkin menafikan irisan baik yang berdimensi
legal formal, maupun yang bernuansa sosiologis, kultural maupun juga politis. Oleh karena

6

Herry Sucipto dan Hajrianto Y. Tohari. Penanganan Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu.

Jakarta: Majalah Dignitas ELSAM, 2011, hal. 78.

10

itu, MK memberikan pilihan kepada pemerintah untuk dapat menyempurnakan UU KKR
sebagaimana yang tertuang dalam rekomendasinya.
Jika kita berkaca pada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disana
dijelaskan terkait kemungkinan upaya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa lalu
melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Terdapat dua pilihan kebijakan yang
bisa diambil negara. Pertama, menggunakan mekansime yudisial dengan menempuh jalan
hukum melalui pengadilan HAM adhoc. Dan yang kedua, sesuai Pasal 47 ayat (1) yang
menyebutkan: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya
Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Namun, yang tetap harus menjadi catatan adalah, upaya rekonsiliasi sebagaimana
yang pernah pula digagas rezim pemerintah Presiden Soesilo Bambang Yudhono
sebelulmnya, bukan menjadi sarana bagi Kejaksaan Agung untuk dapat cuci tangan dengan
berbagai tumpukan kasus pelanggaran HAM yang masih menunggu penanganannya. Dan
juga, upaya rekonsiliasi bukan sebagai sarana pukul rata pemerintah karena tidak mau
pusing dengan berbagai kerja-kerja yuridis maupun politis karena akan banyak
bersinggungan dengan berbagai pihak yang menjadi subjek dari pelanggaran HAM
tersebut.
Hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah menyusun draft UU KKR
dengan memperhatikan dan melibatkan dengan seksama, aspirasi dan kehendak korban
yang menjadi subjek utama atas berbagai kejahatan kemanusiaan yang menimpanya.
Selanjutnya, pemerintah harus pula mendorong penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu
menjadi agenda nasional. Sehingga, keterlibatan publik didalamnya merupakan sebuah
keharusan. Mulai dari tahapan formulasi, implementasi, sampai dengan evaluasi kebijakan
pemerintah harus melibatkan publik terkait kebijakan rekonsiliasi nasional tersebut.
Yang tidak kalah penting, sejalan dengan paradigma desentralisasi dalam
penyelenggaran pemerintahan dewasa ini. Pemerintah harus mendorong pemerintah daerah
untuk dapat mendukung rekonsiliasi nasional dengan mengeluarkan kebijakan afirmatif
seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Palu Sulwesi Tengah dengan menerbitkan
11

Peraturan Walikota Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang RANHAM

(Rencana Aksi

Nasional Hak Asasi Manusia) Daerah Kota Palu. Dalam Perwal Nomor 25 Tahun 2013
tentang RANHAM Daerah Kota Palu, spesifiknya pasal 11 dalam Perwal tersebut,
disebutkan Pemda dapat berkesajasama dengan lembaga-lembaga negara dan/atau lembaga
lainnya baik ditingkat pusat maupun daerah untuk mendukung penyelenggaraan RANHAM
daerah sesuai dengan perundang-undangan dibidang kerjasama daerah. Salah satu bentuk
kerjasama yang dibangun Pemkot Palu diantaranya kerjasama dengan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). LPSK sebagai lembaga negara yang memiliki
program layanan bagi korban HAM berat yaitu reparasi dalam bentuk bantuan medis dan
psikologis dan kompensasi korban di Indonesia.

Penutup
Upaya rekonsiliasi nasional dalam penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM masa
lalu, harus tetap berpijak pada mekanisme keadilan transisi yang menjadi setting dari proses
Indonesia dalam transisi demokrasinya. Keadilan Transisi lahir sebagai tanggapan atas
pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis dan meluas pada masa lalu.
Keadilan Transisi mengupayakan adanya pengakuan terhadap korban dan mendorong
terciptanya perdamaian, rekonsiliasi, dan demokrasi. Keadilan transisi bukanlah bentuk
khusus dari keadilan, tetapi merupakan proses keadilan yang ditujukan kepada
masyarakat yang sedang mentransformasikan dirinya setelah mengalami periode
pelanggaran HAM secara luas. Dalam beberapa kasus, transformasi ini bisa terjadi tibatiba; tapi pada kasus lain, proses ini mungkin berlangsung selama beberapa dekade.
Tujuan

jangka

panjang

pertanggungjawaban atas

dari

keadilan

kejahatan

serius

transisi
yang

adalah

dilakukan

untuk
oleh

memperkuat

negara. Adapun

mekanisme dasar dari keadilan transisi termasuk :
1. Pengungkapan Kebenaran. Ini dapat dilakukan baik secara resmi maupun
tidak, melalui komisi kebenaran, komisi penyelidikan, dokumentasi, dll. Tujuan
pengungkapan
kebenaran
adalah
untuk memperoleh kejelasan tentang
pelanggaran HAM masa lalu, menciptakan ruang bagi pengakuan masyarakat
tentang apa yang terjadi, mengapa itu terjadi, dan dampak yang diderita oleh

12

korban. Langkah-langkah ini seringkali merupakan langkah integral untuk
memastikan bahwa pelanggaran tersebut tidak akan terulang lagi.
2. Proses Peradilan. Pengadilan adalah penyelidikan yudisial terhadap mereka
yang bertanggungjawab atas pelanggaran HAM, dan berusaha mencegah
pelanggaran serupa di masa depan dengan mengakhiri impunitas atas
pelanggaran di masa lalu. Pertanggungjawaban dapat juga diupayakan melalui
proses peradilan non-kejahatan seperti gugatan perdata terhadap pelaku atau
terhadap kasus yang melibatkan negara di hadapan Mahkamah Pengadilan
Internasional, dsb.
3. Reparasi. Reparasi merupakan sebuah mekanisme yang disponsori dengan
maksud mengakui kehilangan dan penderitaan yang dialami oleh para korban, dan
untuk membantu memulihkan baik akibat maupun penyebab pelanggara masa
lalu. Program ini biasanya memberikan pelayanan baik material maupun simbolis
kepada korban, yang bisa saja menagkup kompensasi finansial dan permintaan maaf
secara resmi.
4. Reformasi Sektor Keamanan. RSK berupaya mengubah institusi militer, polisi,
dan institusi negara yang terkait, dari institusi yang digunakan sebagai alat
penindas dan korupsi menjadi alat peayanan publik dan memiliki integritas.
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas, pembentukan Komisi Kebenaran
Rekonsiliasi (KKR) sebagai wujud rekonsiliasi nasional, merupakan salah satu jalan keluar
dari mandegnya penyelesaian terhadap perstiwa pelanggaran HAM masa lalu guna tetap
menjaga tali persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa.
Ancaman disintegarasi merupakan bahaya laten yang bisa menjadi api dalam sekam,
jika ketidakpercayaan dan kecurigaan sesama anak bangsa tetap terpelihara. Pemerintah
sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat, harus segera menunaikan janji kemerdekaan
untuk membawa Indonesia memasuki gerbang kemerdekaannya yang sesungguhnya.
Dengan mandat politiknya secara langsung, presiden Joko Widodo harus segera
menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM masa agar tidak menjadi beban sejarah dan
beban bangsa yang terus terwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Para
pewaris estafet generasi belanjut harus bisa belajar dari generasi hari ini yang mampu
berbesar hati untuk meminta maaf dan saling memaafkan. Tentu, tak ada tafsir tunggal atas
berbagai peristiwa sejarah. Kemajemukan pandangan dan keinginan, harus disikapi sebagai
taman bunga kebangsaan yang hidup dari keberagaman warna yang mengayakan.

13

Dirgahayu Republik Indonesia. Darimu kami belajar, tentang perjuangan mempertahankan
kehormatan dan kemanusiaan. Merdeka!.[]

14

Bacaan Lebih Lanjut :

Buku :
Adam, Asvi Marwan. 2004. Pencarian Keadilan di Masa Transisi. Jakarta. ELSAM
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1994. Gerakan 30 September Pemberontakan
Partai Komunis Indonesia; Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya. Jakarta.
Artikel Ilmiah :
Sucipto, Herry dan Hajriyanto Y. Tohari, Penanganan Pelanggaran HAM Berat Masa
Lalu, Majalah Diginitas. 2012.
Website :
Profil Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indoneisa (Komnas HAM RI),
http://www.komnasham.go.id/
Profil Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), http://elsam.or.id/beranda/
Peraturan Perundang-Undangan :
• Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
• Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
• Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
• Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pengesahan International Covenant On
Civil and Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
• Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On
Economic, Social an Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya)
• Peraturan Walikota Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang RANHAM (Rencana Aksi
Nasional Hak Asasi Manusia) Daerah Kota Palu.

15

Sekilas Tentang Penulis
Nanang Suryana adalah seorang penstudi Ilmu Pemerintahan yang berhasil
menyelesaikan sekolah kesarjanaannya pada Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP
Unpad. Semasa kuliahnya, penulis aktif di beberapa organisasi baik di
internal maupun ekternal kampus. Selain memiliki ketertarikan pada kajian
tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Penulis juga memiliki ketertarikan pada isu
pertahanan dan keamanan sebagai satu bidang kajian di departemennya. Salah satu kegiatan
yang pernah dia ikuti, yakni sebuah perjalanan penelitian-petualangan selama 5 bulan,
dengan menelusuri beberapa sisi Pulau Sulawesi bersama mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi di Indonesia, Korps Brimob POLRI, PASKHAS TNI, Marinir TNI AL,
dan Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) TNI AD dalam Ekspedisi NKRI Koridor
Sulawesi tahun 2013. Lebih lanjut penulis bisa dihubungi pada laman emailnya di
nanangsuryana07@gmail.com atau di beranda blognya sampulkertas.wordpress.com.
Penulis juga dihubungi melalui 085340557467 / 085659296567.

16