HUKUM PIDANA KHUSUS Analisa Kasus Koru

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi Indonesia, korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat, menyelusup
di segala segi kehidupan dan tampak sebagai pencitraan budaya buruk bangsa
Indonesia. Secara sinis orang bisa menyebut jati diri Indonesia adalah perilaku
korupsi.1 Korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam
(widespread

and

deep-rooted)

akhirnya

akan

menggerogoti

habis


dan

menghancurkan masyarakatnya sendiri (self destruction). Korupsi sebagai parasit
yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan di saat pohon itu
mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa di
hisap.2
Tindak pidana korupsi di Indonesia telah berkembang sedemikian hebatnya
seiring dengan berkembangnya negara ini sendiri. Tak dapat dibantah bahwa
korupsi masih menempati urutan teratas perhatian publik dalam penegakan
hukum. Dalam tempo kurang setahun, sejumlah Pengadilan Tipikor di daerah
telah membebaskan puluhan terdakwa korupsi. Pemberantasan tindak pidana
korupsi di negara ini masih sangat minim dan mengkhawatirkan. Sangat penting
bagi masyarakat dewasa ini untuk memahami tindak pidana korupsi untuk
membantu

mengenyahkan

dan

membasmi


serta

mencegahnya

menjadi

kebudayaan yang mengakar dalam masyarakat Indonesia.
Salah satu kasus tersebut terjadi di Banjarmasin dan akan diuraikan dalam bab
pembahasan berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran kasus (Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan Putusan
Hakim) korupsi yang dilakukan oleh Rida Nurbayah di Banjarmasin tersebut?
2. Bagaimana analisis dari kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Rida Nurbayah?
3. Bagaimana posisi tindak pidana korupsi tersebut dilihat dari kacamata teori?

1 Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 124.
2 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 136.


C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui gambaran kasus (Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan
Putusan Hakim) korupsi yang dilakukan oleh Rida Nurbayah di Banjarmasin.
2. Untuk mengetahui analisis kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Rida Nurbayah.
3. Untuk mengetahui posisi tindak pidana korupsi jika dilihat dari kacamata
teori.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Kasus (Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Dan Putusan Hakim)
Korupsi Yang Dilakukan Oleh Rida Nurbayah Di Banjarmasin.
PUTUSA N
Nomor 07 /Pid.Sus/TIPIKOR/2012/PN.Bjm.
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Banjarmasin yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkaraperkara tindak pidana korupsi pada tingkat pertama dengan acara
pemeriksaan biasa akan menjatuhkan putusan yang selengkapnya
adalah sebagai berikut dalam perkara Terdakwa :
Nama Lengkap


:

RIDA

NURBAYAH,

SPd.I

Binti

H.

BAHANSYAH
Tempat lahir

:

Durian


Punggal,

Kec.

Labuan

Amas

Selatan, Kab Hulu Sungai Tengah
Umur / Tanggal lahir

:

39 tahun / 27 Desember 1972

Jenis kelamin

:

Perempuan


Kebangsaan

:

Indonesia

Tempat tinggal

:

Desa Bangkal Rt. 008 Rw. 003
Kec. Labuan Amas Selatan. Kab.
Hulu sungai Tengah

Agama

:

Islam


Pekerjaan

:

PNS (Kepala Sekolah
M E N U N T U T

Supaya

Majelis Hakim Pengadilan

Tindak Pidana

Korupsi

pada

Pengadilan Negeri Banjarmasin yang memeriksa dan mengadili perkara
untuk memutuskan :

1.

Menyatakan

terdakwa

RIDA

NURBAYAH,S.Pd.I

Binti

BAHANSYAH, terbukti secara sah dan meyakinkan menurut
hukum bersalah melakukan Tindak Pidana “Korupsi” melanggar
pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana dalam dakwaan primair Penuntut Umum.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa RIDA NURBAYAH,S.Pd.I
Binti BAHANSYAH dengan pidana penjara selama 4 (empat)

tahun penjara dikurangi selama terdakwa menjalani masa
penahanan kota dengan perintah agar terdakwa ditahan dirutan
Barabai.
3. Menyatakan

terdakwa

membayar

denda

sebesar

Rp.

200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) subsidiair 4 (empat) bulan
kurungan.
4. Menyatakan agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar
Rp. 203.588.800,- (dua ratus tiga juta lima ratus delapan
puluh delapan ribu delapan ratus rupiah) dengan ketentuan

jika terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut selama 1
(satu) bulan sesudah putusan Pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap, harta bendanya dapat disita oleh Jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dan jika
terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti tersebut, maka dipidana penjara
selama 1 (satu) tahun.
5. Menyatakan barang bukti yang terlampir dalam berkas acara.

6. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
5.000,- (lima ribu rupiah).
PRIMAIR :
--------Bahwa terdakwa RIDA NURBAYAH,S.Pd.I Binti BAHANSYAH
dalam

kedudukannya

sebagai

Kepala


Sekolah

Madrasah

Ibtidaiyah Negeri (MIN) Desa Wawai Gardu Kecamatan Batang
Alai Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
(Kalsel) Nomor : Kw.17.1/2/Kp.07.6/38/2007 tanggal 30 Januari
2007 dan sebagai Ketua Komite Pembangunan Mts-SA Madrasah
Ibtidaiyah Negeri Wawai Gardu Kabupaten Hulu Sungai Tengah
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten

Hulu

Sungai

Tengah

Nomor

:

Kd.7.17/4.KP.00/135/2009 tanggal 9 Pebruari 2009, pada hari dan
tanggal yang tidak dapat ditentukan dengan pasti akan tetapi
setidak-tidaknya antara bulan Juni 2009 sampai dengan bulan
Desember 2009, bertempat di Sekolah Madrasah Ibtidaiyah
Negeri (MIN) Desa Wawai Gardu Kecamatan Batang Alai Selatan
Kabupaten Hulu Sungai Tengah atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat yang masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan
Negeri Barabai, secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara,
SUBSIDIAIR :
--------Bahwa terdakwa RIDA NURBAYAH,S.Pd.I Binti BAHANSYAH
dalam

kedudukannya

sebagai

Kepala

Sekolah

Madrasah

Ibtidaiyah Negeri (MIN) Desa Wawai Gardu Kecamatan Batang
Alai Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama
(Kalsel) Nomor : Kw.17.1/2/Kp.07.6/38/2007 tanggal 30 Januari
2007 dan sebagai Ketua Komite Pembangunan Mts-SA Madrasah

Ibtidaiyah Negeri Wawai Gardu Kabupaten Hulu Sungai Tengah
berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten

Hulu

Sungai

Tengah

Nomor

:

Kd.7.17/4.KP.00/135/2009 tanggal 9 Pebruari 2009, pada waktu
dan tempat sebagaimana disebutkan dalam Dakwaan Primair,
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau

suatu

korporasi,

menyalahgunakan

kewenangan,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
M E N G A D I L I
1. Menyatakan
BAHANSYAH

terdakwa
tidak

RIDA

terbukti

NURBAYAH,S.Pd.I

secara

sah

dan

Binti

meyakinkan

melakukan tindak pidana dalam Dakwaan Primer ;
2. Membebaskan terdakwa dari Dakwaan Primer tersebut;
3. Menyatakan

terdakwa

RIDA

NURBAYAH,S.Pd.I

Binti

BAHANSYAH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah “
melakukan tindak pidana

KORUPSI“ ;

4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa tersebut di atas dengan
pidana penjara selama 1

(satu)

tahun 6 (enam) bulan dan

pidana denda sebesar Rp. 100.000.000,- ( seratus juta) rupiah
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh
Terdakwa, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3
(tiga) bulan;
5. Menetapkan masa penahanan yang dijalankan oleh terdakwa
dikurangkan sepenuhnya terhadap putusan ini ;
6. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan kota ;
7. Menetapkan barang bukti sebagaimana terlampir dalam berita
acara.

8. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.

5.000,- ( lima ribu rupiah ) ;

Demikianlah diputuskan berdasarkan rapat musyawarah Majelis Hakim
pada hari

Selasa, tanggal 11 September 2012 oleh kami T O N G A

N I, SH. Sebagai Hakim Ketua Majelis, BAGUS HANDOKO, SH.,(Ad
Hoc) dan SAMHADI, SH.MH., (Ad Hoc)

sebagai Hakim-Hakim Anggota,

putusan mana diucapkan pada hari SELASA, tanggal 18 September
2012 dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum oleh kami

T

O N G A N I, SH. Sebagai Hakim Ketua Majelis, BAGUS HANDOKO,
SH., dan SAMHADI SH.MH., sebagai Hakim-Hakim Anggota, dengan
dibantu

SUSANTRI, SH., Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri

Banjarmasin, dihadiri AGUS SALIM, SH.,. Jaksa Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Barabai, Penasihat Hukum Terdakwa serta Terdakwa
sendiri.

B. Analisis Kasus Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Rida
Nurbayah.
Secara singkat kasus yang terjadi di Banjarmasin ini adalah kasus tentang Rida
Nurbayah, mantan Kepala Sekolah Madrasah Tsanawiyah Satu Atap (MIN-SA)
Wawai Gardu Kecamatan Batang Alai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Kalsel
menjadi tersangka korupsi dana pembangunan madrasah atau pesantren yang tidak
memiliki gedung sekolah. Dana ini berasal dari Australia Indonesia Partnership
for Basic Education Program (IA-BEP) atau dana hibah bantuan Negara Australia
kepada Pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama RI.
Surat dakwaan yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut
terdakwa adalah Surat dakwaan Subsidair (berlapis). Dengan menggunakan surat
dakwaan ini maka terdakwa dituntut lebih dari satu delik pidana. Penyusunan
urutan dakwaannya adalah mulai dari yang terberat dan seterusnya sampai pada
dakwaan

yang

paling

ringan

(Primer-subsidair-lebih

subsidair).

Karena

menggunakan dakwaan subsidair maka hakim akan memeriksa dakwaan primer

terlebih dahulu dan jika tidak terbukti maka akan dilanjutkan pada dakwaan
subsidair berikutnya.
Menurut surat dakwaan yang terlampir diatas maka tuntutan jaksa penuntut
umum adalah:
1. Dakwaan Primair: Terdakwa telah secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Dakwaan Subsidair: Terdakwa dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Dengan menggunakan undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, maka dakwaan primair diatas menggunakan pasal 2 yang
berbunyi:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
dan dakwaan subsidair menggunakan pasal 3 yang berbunyi:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Terdakwa dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan pidana penjara 4 tahun
dikurangi masa tahanan dan membayar denda 200.000.000 rupiah dan membayar
membayar uang pengganti sesuai pasal 18 sebesar Rp. 203.588.800,- (dua ratus
tiga juta lima ratus delapan puluh delapan ribu delapan ratus rupiah)
Namun pada akhir sidang hakim memutuskan bahwa dakwaan primer yang
diajukan oleh jaksa penuntut umum tidak terbukti dan terdakwa dilepaskan dari
dakwaan tersebut. terdakwa hanya dipidana dengan dakwaan subsidair. Berikut
adalah rincian pembuktian dakwaan primair dan subsidair.
A. Dakwaan Primair.
Terdakwa diancam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo.
Undang-Undang No. 20 tahun 2001, yang mengandung unsur-unsur sebagai
berikut :
1.

Setiap orang ;
Dalam putusan tersebut hakim mempertimbangkan bahwa yang dimaksud
dengan unsur “setiap orang” menurut Undang-Undang ini adalah: orang pribadi
dan korporasi. Kata setiap orang ini memiliki arti yang sama dengan ‘barang
siapa’ dalam KUHP yang menunjukkan kepada orang yang harus bertanggung
jawab atas perbuatan/kejadian yang didakwakan sehingga dapat dimintakan
pertanggungjawaban dalam segala tindakannya.
Kemudian berdasarkan keterangan saksi-saksi, terdakwa sendiri, serta suratsurat yang terkait di dalam berkas perkara membenarkan bahwa terdakwa adalah
RIDA NURBAYAH, SPd.I Binti BAHANSYAH. Sehingga unsur “barang siapa”
atau “setiap orang” telah terpenuhi secara sah.

2.

Secara melawan hukum ;
Berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 jo Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang PTPK , menerangkan :
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum “ dalam pasal ini mencakup
perbuatan melawan hukum formiil maupun materiil, yaitu meskipun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,
namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana….” ;

Dalam literatur hukum pidana, “melawan hukum“ diartikan beda-beda. Dalam
berkas perkara diatas salah satunya yaitu pengertian berikut:
-

Sifat melawan hukum formal artinya semua bagian yang tertulis dari
susunan delik telah terpenuhi, maka perbuatan itu dianggap telah melawan

-

hukum.
Sifat melawan hukum materil artinya melanggar atau membahayakan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undangundang dalam rumusan delik tersebut.
Namun setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 24 Juli 2006

No.003/PUU-IV/2006 maka pengertian ‘melawan hukum’ yang ada di Undangundang PTKP ini bukan lagi mencakup pengertian melawan hukum formil dan
materil melainkan hanya menjadi pengertian melawan hukum formil saja.
Sifat melawan hukum formil ini juga dapat diartikan sebuah pelanggaran terhadap
asas legalitas yang berasal dari istilah latin (Lex) yang artinya undang-undang.
Kemudian terkait dengan perbuatan yang dianggap melawan hukum dalam
kasus ini berdasarkan berkas perkara adalah bahwa terdakwa telah terbukti
melakukan tindakan yang melanggar:
-

Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman
Pelaksanaan APBN
Dalam pasal 12 ayat (2) secara singkatnya menyatakan bahwa
pelaksanaan anggaran negara harus berasas hemat dan efektif.
Sedangkan pasal 12 ayat (3) yang menyatakan bahwa belanja atas
beban anggaran belanja negara dilakukan berdasarkan atas hak dan
bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran.
Namun dalam prakteknya terdakwa tidak membelanjakan
anggaran dana sesuai dengan bukti-bukti yang ada atau dengan kata
lain terdakwa memalsukan nota-nota pembayaran dengan cara
membuat nota pembayaran tanpa adanya pembayaran secara riil.

-

Buku Pedoman teknis Pembangunan Madrasah
Terdakwa melanggar pedoman teknis yang menyatakan bahwa
selama pelaksanaan pembangunan harus ada rapat selama seminggu
sekali yang ternyata hanya terjadi sekali diawal pelaksanaan pekerjaan.
Terdakwa juga menggunakan transaksi tunai untuk pembayaran jumlah

besar padahal dalam pedoman tersebut harus menggunakan check atau
transfer bank.
Dalam menentukan kasus ini hakim menggunakan perimeter bahwa “melawan
hukum” artinya “melanggar undang-undang”. Yang dimaksud dengan “ undangundang “ menurut pasal 1 angka 3 UU No.12 tahun 2011 adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden.
Dengan menggunakan perimeter ini dan pengertian sifat melawan hukum
formil yang menyatakan bahwa tindakan tersebut harus melanggar asas legalitas
untuk dapat dikatakan sebagai tindak pidana, maka terdakwa dianggap tidak
melakukan unsur melawan hukum. Terdakwa hanya melakukan pelanggaran
terhadap Keputusan Presiden dan Buku pedoman tertentu bukan pelanggaran
terhadap suatu undang-undang sehingga tidak dapat dikatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum.
Dari uraian dan alasan-alasan tersebut diatas, maka menurut Majelis Hakim
unsur-unsur “melawan hukum“ dalam dakwaan primer tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan.
3.

Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

4.

korporasi ;
Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara ;
Dengan tidak terbuktinya salah satu unsur dalam dakwaan Primair, maka
unsur-unsur lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi. Dengan demikian terdakwa
harus dibebaskan dari dakwan Primair tersebut.
B. Dakwaan Subsidair.
Dakwaan subsidair yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa
yaitu pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31 tahun 1999 jo U U No. 20 tahun 2001, yang
unsur-unsurnya adalah :

1.

Setiap orang;
Kata “penyalahgunaan kewenangan“ yang diatur dalam Pasal 3 tersebut erat
kaitannya dengan jabatan atau kedudukkan yang dimiliki oleh seseorang sehingga
tidak setiap subjek hukum orang pribadi

bisa dikatakan melakukan

penyalahgunaan wewenang. Meskipun subjek deliknya adalah “ setiap orang “
namun sesungguhnya menurut Pasal 3 UU PTPK subjeknya adalah Pegawai

Negeri atau Penyelenggara Negara atau mereka yang mempunyai kedudukan dan
jabatan dalam pemerintahan.
Dari fakta-fakta di persidangan, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum,
Keterangan saksi-saksi dan terdakwa sendiri, RIDA NURBAYAH, SPd.I Binti
BAHANSYAH benar-benar merupakan terdakwa yang juga adalah Kepala
Sekolah Madrasah Ibtidaiyah negeri di desa Wawai Gardu dan sekaligus sebagai
Ketua Komite Pembangunan Madrasah Tsanawiyyah Satu Atap berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Sehingga dengan semua kewenangan yang ada pada diri si terdakwa unsur “setiap
orang” ini telah terbukti secara sah.
2.

Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
koorporasi;
Berdasarkan bukti-bukti yang telah dikemukakan pada jalannya sidang,
terdakwa terbukti membuat laporan yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya baik dalam pembelian kayu pada toko UD Berkat Berkawan maupun
pada pembelian meubelair pada toko Usaha Maju.
Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan terdakwa mengandung maksud atau
tujuan selain untuk menguntungkan diri terdakwa sendiri, juga menguntungkan
orang lain. Sehingga unsur “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri,
orang lain, atau suatu korporasi” telah terpenuhi secara sah menurut hukum.

3.

Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan
Yang dimaksud dengan “Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan“ tersebut adalah menggunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan
yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain
dari maksud diberikannya kewenagan, kesempatan atau sarana tersebut.
Dalam Pasal 3 telah ditentukan cara yang harus ditempuh oleh pelaku tindak
pidana korupsi dalam mencapai tujuan menguntungkan diri sediri atau orang lain
atau suatu korporasi yaitu dengan (cara) menyalahgunakan kewenangan yang ada
pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. Yang dimaksud

dengan “kewenangan” dalam pasal ini adalah hak dan kekuasaan yang dimiliki
untuk melakukan sesuatu.
Terdakwa terbukti telah melakukan penyalahgunaan kewenangan yang ada
padanya terhadap pengelolaan dana pembangunan madrasah tsanawiyah satu atap
yaitu dengan cara tidak melakukan tugasnya sesuai dengan Buku Pedoman
Teknis. Sehingga dikatakan unsur ini telah tepenuhi secara sah menurut hukum.
4.

Merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
Kerugian Negara/daerah menurut Pasal 1 angka 22 UU no.1 tahun 2004
tentang Perbendaharan Negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan
barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai.
Berdasarkan pemeriksaan dalam sidang, terbukti telah terjadi penyimpangan
yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar Rp203.588.800 (Dua
ratus tiga juta lima ratus delapan puluh delapan ribu delapan ratus rupiah), dengan
perincian sebagai berikut :
1. Pembelian meubelair

Rp 47.455.000,-

2. Pembelian kayu untuk bangunan

Rp156.133.800,-

Jumlah

Rp203.588.800,-

Hasil ini telah melalui pemeriksaan dan perhitungan tentang kerugian
keuangan Negara oleh tim investigasi dari Badan Pemeriksa Keuangan atau
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwakilan Propinsi
Kalimantan Selatan dan dengan ini maka Majelis Hakim memutuskan bahwa
unsur “merugikan keuangan Negara“ telah terbukti dan terpenuhi secara sah
menurut hukum.
Dengan terbuktinya semua unsur dalam dakwaan Primair, maka dengan
demikian terdakwa akan mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan
dakwaan subsidair ini.
Jika ditelaah lebih lanjut, pada tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum
ada satu poin yang menuntut agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar
Rp. 203.588.800,- (dua ratus tiga juta lima ratus delapan puluh delapan ribu
delapan ratus rupiah). Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan ini berdasarkan
pasal 18 Undang-undang PTPK. Pasal ini merupakan bentuk pidana tambahan

yang dapat dikenakan kepada terdakwa apabila terdakwa terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi.
Pasal 18 poin b:
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
denganharta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
Namun tuntutan ini tidak dikabulkan oleh hakim karena uang pengganti
tersebut jumlahnya hampir sama besar dengan pidana denda yang juga dituntut
oleh Jaksa Penuntut Umum. Hakim berpendapat bahwa denda tersebut telah
mencakup kerugian negara sebagai denda dan uang pengganti. Selain itu karena
jumlah uang yang dinikmati oleh terdakwa tidak terungkap atau tidak dibuktikan
dalam persidangan maka hakim berpendapat bahwa ketentuan pasal 18 UndangUndang PTKP tidak perlu dtetapkan terhadap terdakwa.
C. Posisi Tindak Pidana Korupsi Jika Dilihat Dari Kacamata Teori.
Dalam ensiklopedia Indonesai disebut “Korupsi” (dari bahasa latin: Corruptio
= penyuapan; corruptore=merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan
negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan
serta ketidakberesan lainnya.adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa :
Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogokan,dan sebagainya. (W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, Penerbit: Balai Pustaka, 1976)
Secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah
korupsi memiliki arti yang sangat luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau
perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
2. Korupsi; busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang
dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi)3
Tindak pidana korupsi ini termasuk tindak pidana yang digolongkan dalam
kelompok kejahatan kerah putih. I Nyoman Nurjaya dalam modul pembelajaran
kriminologi

“The

White-Collar

Crime

dalam

Perspektif

Kriminologi”

menyimpulkan bahwa secara sederhananya Kejahatan kerah putih dapat diartikan
sebagai suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang dihormati dan
3 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hlm.8-9.

disegani di masyarakat, mempunyai status tinggi, dan mempunyai jabatan atau
pekerjaan yang baik, mampu secara ekonomi tetapi melakukan kejahatan dengan
menyalahgunakan atau terkait jabatan atau pekerjaannya.
Sehingga jelas disini bahwa kejahatan kerah putih adalah kejahatan yang
dilakukan oleh mereka yang berada pada kelompok masyarakat yang
mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak dan tidak memiliki kelainan
seperti penyakit kejiwaan. Bagi kelompok kejahatan kerah putih ini hampir tidak
ada alasan untuk melakukan kejahatan berbeda dengan kelompok kejahatan kerah
biru yang kejahatannya terutama terkait dengan faktor ekonomi seperti
kemiskinan dan lingkungan masyarakat yang keras.

Berbeda pula dengan

kejahatan yang terkait dengan mental yang terganggu.
Karakteristik ini sesuai dengan karakteristik dari tindak pidana korupsi. Dalam
delik korupsi, pelaku adalah seseorang yang memiliki jabatan dan wewenang.
Tindakan yang dilakukan dan dilanggarpun selalu berkaitan dengan pekerjaan dan
kekuasaaannya tersebut. Sehingga tepat dikatakan bahwa delik ini termasuk dalam
kejahatan kerah putih ini.
Jika dikaitkan dengan kasus yang dibahas diatas maka dapat diketahui bahwa
terdakwa saat melakukan tindak pidana menduduki jabatan sebagai Kepala
Sekolah Madrasah Ibtidaiyah negeri di desa Wawai Gardu dan sekaligus sebagai
Ketua Komite Pembangunan Madrasah Tsanawiyyah Satu Atap berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Demikian pula telah terbukti bahwa terdakwa menyalahgunakan jabatan dan
wewenangnya tersebut untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Delik korupsi secara normatif juga dikenal sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime). Menurut pandangan Romli Atmasasmita menekankan
bahwa:
“dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi
kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam,
tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan
kejahatan biasa (ordinary crime) melainkan sudah merupakan kejahatan yang
sangat luarbiasa (extraordinary crime). Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau
dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa indonesia sejak

pemerintahan orde baru sampai saat ini jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan
perampasan hak ekonomi dan sosial rakyat indonesia.”4
Karena korupsi telah dinyatakan sebagai tindak pidana dan kejahatan luar
biasa maka penanggulangan dan perangkat hukum yang digunakan juga harus luar
biasa. Salah satunya yaitu dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik atau
pembalikan beban pembuktian.
Dikaji dari perspektif kebijakan formulatif, beban “pembuktian terbalik” ini
dilakukan karena tindak pidana korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “perimum
remidium” dan sekaligus mengandung prevensi khusus. Oleh karena itu dengan
ditetapkannya “pembuktian terbalik” ini, bergeserlah beban pembuktian dari Jaksa
Penuntut Umum kepada Terdakawa.5
Pendapat ini membenarkan bahwa dalam pembuktian tindak pidana korupsi,
terdakwa sendirilah yang akan membuktikan bahwa segala harta benda termasuk
uang tersebut adalah milik terdakwa dan bukan dari hasil korupsi. Dalam kasus
diatas tidak disebutkan tentang pembuktian terbalik ini. Hal ini karena selama
persidangan ada bukti-bukti yang jelas dan sah bahwa telah terjadi penyelewengan
terhadap dana bantuan oleh terdakwa. Pembuktian terbalik ini akan lebih
berfungsi efektif jika diterapkan pada pasal 12 UU PTPK tentang gratifikasi.
Karena dalam kasus ini terdakwa bekerja sendiri tanpa melibatkan anggota komite
atau pihak lain, maka pembuktian terbalik ini tidak digunakan oleh hakim.

4 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002, hlm.25.
5 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hlm.256.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berkaitan dengan kasus yang dianalisis diatas maka disimpulkan bahwa
terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijerat dengan
dakwaan subsidair yaitu pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini didukung dengan pernyataan
saksi, terdakwa serta alat bukti lainnya yang membuktikan bahwa unsur-unsur
dalam delik telah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut adalah: Setiap orang; Dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi;
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan; dan merugikan keuangan Negara atau perekonomian
Negara.
Tindak pidana korupsi termasuk dalam golongan kejahataan kerah putih dan
terutama adalah kejahatan luar biasa. Karena kekhususannya inilah maka tindak
pidana korupsi ini harus ditangani dengan cara dan instrumen yang luar biasa
pula, salah satunya adalah dengan pembuktian terbalik. Namun dalam kasus yang
disertakan dalam makalah ini pembuktian terbalik ini tidak tampak digunakan.
B. Saran
Tindak Pidana korupsi merupakan suatu tindak pidana yang baru pada akhirakhir ini mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakatnya. Undang-undang
yang digunakanpun masih baru dan masih belum sempurna. Masih banyak hal
yang harus dibenahi oleh pemerintah bersama dengan masyarakat dalam
memberantas tindak pidana ini. Mulai dari pemberian payung hukum yang
relevan dan mengandung unsur keadilan dan kepastian hingga pemberantasan
budaya korupsi yang merajalela di masyarakat. Terkait dengan perundangundangannya saja banyak hal yang masih harus diperbarui dan diberikan
perhatian, salah satunya seperti sifat melawan hukum dan pembuktian terbalik
yang menjadi kekhususan dari tindak pidana ini.
Demikian pula dengan

pemberantasannya diharapkan agar dapat lebih

dioptimalkan terutama dengan menelaah lebih jauh kasus-kasus yang ada dan

menggunakan perundang-undangan lain yang dapat berakibat lebih efektif seperti
pasal gratifikasi dan undang-undang anti pencucian uang.

DAFTAR PUSTAKA




Pujiyono. 2007. Kumpulan Tulisan Hukum Pidana. Mandar Maju: Bandung.
Satjipto Rahardjo. 2006. Membedah Hukum Progresif. Kompas: Jakarta.
Romli Atmasasmita. 2002. Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti
Korupsi di Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen




Kehakiman dan HAM RI: Jakarta.
Lilik Mulyadi. 2007. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Alumni: Bandung.
Adami Chazawi. 2011. Putusan Mahkamah Konstitusi Tidak Dihiraukan
dalam Praktek?. Diakses dari :
http://hukum.kompasiana.com/2011/03/20/putusan-mahkamah-konstitusi/



pada Sabtu 6 Januari 2013 pukul 13.00
Editor. 2012. Mantan Kepsek Tersangka Korupsi. Diakses dari
http://www.radarbanjarmasin.co.id/index.php/berita/detail/50/27461 Diakses



pada Minggu 31 Desember 2013 pukul 08.39
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak




Pidana Korupsi
Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 24 Juli 2006 No.003/PUU-IV/2006
Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin
Nomor 07/Pid.Sus/TIPIKOR/2012/PN.Bjm.

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN DENGAN KORBAN ANAK (Putusan Nomor 24/Pid.Sus/A/2012/PN.Pso)

7 78 16

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN OLEH OKNUM POLISI DALAM PUTUSAN NOMOR 136/PID.B/2012/PN.MR (PUTUSAN NOMOR 136/PID.B/2012/PN.MR)

3 64 17

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215