BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perubahan Fungsi Sosioekologis Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Perkembangan yang pesat yang terjadi dewasa ini, baik perkembangan waktu dan dinamika spasial sosioekologis yang menjadi ruang hidup bahasa itu membawa perubahan kehidupan sosial dalam tata hidup masyarakat pemakai bahasa (masyarakat tutur), dan faktor ini menjadi penentu pula terhadap perubahan, pergeseran, dan “peminggiran” bahasa Pakpak Dairi (selanjutnya disingkat BPD). Istilah dalam BPD yang mulai mengalami pergeseran itu berhubungan dengan sosioekologisnya. Hal itu terjadi karena munculnya istilah- istilah dari luar BPD yang dalam hal ini adalah bahasa Indonesia (BI) dan Bahasa Batak Toba (BBT). Jika lingkungan hidup berubah, bahasa yang hidup dalam masyarakat penutur pun berubah seiring dengan perjalanan waktu (Lindo dan Bundsgaard 2000:10-11).

  Fenomena yang dapat diamati menjadi sebab tergerusnya istilah- istilah/leksikon tentang lingkungan adalah perkembangan teknologi yang pesat, tercemarnya lingkungan (pencemaran tanah akibat penggunaan pestisida), pembakaran dan penebangan hutan, dan alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman warga secara besar-besaran, membawa dampak buruk terhadap kebertahanan flora. Jika hal ini terus dibiarkan akan berdampak pada perubahan bahasa, baik pergeseran maupun penyusutan, dan pada akhirnya akan mengakibatkan hilangnya leksikon dari pemahaman komunitas penuturnya.

  Hal ini didapat dari penelitian awal yang dilakukan.Salah satu masalah tersebut misalnya semakin langkanya konteks penggunaan bahasa-bahasa etnik dalam ranah kehidupan tradisional karena digusur oleh penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam kegiatan sosial, budaya, dan teknologi tentu akan menyebabkan rendahnya frekuensi penggunaan, pudarnya konteks, dan merosotnya mutu penggunaan serta hilangnya penggunaan bahasa etnik sebagai bahasa ibu. Semakin banyaknya leksikon pasif (leksikon-leksikon tidak digunakan lagi dalam konteks kalimat dan wacana) berarti juga tidak dipakai dalam konteks sosial dalam wujud wacana

  Sebagai bahasa daerah, kedudukan BPD dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai bahasa komunikasi bagi para penutur dari kelompok etnik yang sama, bahasa daerah berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat daerah, sebagai sarana pendukung kebudayaan daerah, dan sebagai pendukung bahasa dan sastra daerah. Kedudukan bahasa daerah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional, sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah, sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa nasional, dan sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam

  Sebagai etnis awal yang mendiami wilayah Kabupaten Dairi, etnis Pakpak Dairi menghadapi kenyataan hadirnya etnis pendatang yang membawa pengaruh sosial dan budaya. Kebudayaan lain ini tentu memiliki bahasa sendiri pula.

  Konsekuensi yang dihadapi masyarakat Pakpak Dairi (MPD) adalah munculnya fenomena multikultural dan multibahasa. Dalam lingkungan masyarakat multikultural dan multibahasawan seperti di Dairi, MPD diduga mengalami benturan-benturan sosio-budaya yang berimbas pada aspek pemakaian bahasa. Warisan budaya yang tidak dijaga mengalami kepunahan dan mengakibatkan hilangnya berbagai ikon leksikal (lihat Adisaputra, 2011).

  Dalam kegiatan komunikasi antaretnis, masyarakatnya menggunakan BI dan BBT, sedangkan untuk berkomunikasi interetnis mereka menggunakan BPD.

  Karena komposisi penduduknya yang heterogen, fungsi dan kedudukan BPD menunjukkan gejala yang menurun (lihat Tumanggor, 2011).

  Sukses tidaknya penggunaan bahasa bergantung pada sikap pemakai bahasa terhadap perkembangan segala aspek kehidupan dan juga sikap terhadap kehadiran sebuah kebudayaan lain. Sikap MPD yang kurang menghargai bahasanya menjadi masalah utama. Masyarakat Pakpak kurang bangga dan merasa rendah diri menggunakan bahasa daerahnya, sehingga dalam pergaulannya, mereka lebih banyak menggunakan BI atau BBT (lihat Tumanggor, 2011:4).

  Tataran kebahasaan yang paling cepat mengalami perubahan adalah tataran leksikon. Ada tiga dimensi yang memengaruhi perubahan ini, yaitu 2012:1). Fenomena perubahan bahasa ini terjadi pada semua bahasa. Salah satu bahasa yang mengalami perubahan akibat perkembangan masyarakat tuturnya adalah BPD.

  Bahasa sebagai fungsi sosial akan mudah mangalami perubahan akibat perkembangan teknologi, masuknya unsur asing, bergantinya bahasa yang digunakan masyarakat penuturnya. Bahasa sebagai fungsi sosial dapat diamati pada lingkungan sebagai tempat hidupnya bahasa itu. Salah satu lingkungan yang diamati misalnya lingkungan flora. Pada MPD lingkungan flora mulai menampakkan fungsinya dalam masyarakat penuturnya. Perubahan-perubahan ini dapat diamati dari, pertama; kondisi sosioekologis MPD yang berubah berupa perubahan budaya tradisional ke budaya modern atau perubahan ekosistem,

  

kedua; adanya kesenjangan dan ketimpangan pengetahuan, pemahaman, dan

  penggunaan bahasa etnik antara orang tua kepada anak atau kepada generasi muda. Hal tersebut berkaitan seperti yang diungkapkan Mbete (2013:2) bahwa semakin langkanya register dan konteks penggunaan bahasa Pakpak Dairi dalam ranah kehidupan tradisional (karena digusur oleh kegiatan budaya dan teknologi modern yang lebih kerap berbahasa Indonesia dan bahasa asing, menyebabkan rendahnya frekuensi penggunaan, pudarnya konteks, dan merosotnya mutu penggunaan serta hilangnya register bahasa etnik sebagai bahasa ibu.

  Penelitian awal yang diakukan untuk memperoleh data sebagai bukti terjadinya perubahan, pergeseran, penyusutan BPD, beberapa kata yang dulu (pohon yang daunnya dimanfaatkan sebagai obat gula), panggaben (sejenis pohon yang buahnya untuk bumbu masakan; biasa juga digunakan anak-anak sebagai peluru meriam-meriam kecil), sangkal sempilit (tumbuhan yang biasa ditanam di kuburan), cipurpuren leto(rumput berdaun halus dan biasa dibuat jadi sapu),

  sapilpil (paku), gomet (sejenis pohon yang daun sebelah bawahnya putih) dan

  banyak lagi leksikon lain yang sudah sangat jarang digunakan dalam kehidupan penutur masyarakat BPD. Kondisi ini tentu akan mengancam keberadaan leksikon tersebut di tengah-tangah kehidupan MPD. Dengan demikian, eksistensi leksikon- leksikon tersebut akan semakin tergerus oleh kurangnya penggunaan leksikon- leksikon flora dalam komunikasi sehari-hari yang bisa berakibat lebih fatal yaitu menuju ke arah kepunahan karena leksikon tersebut tidak berhubungan lagi dengan aktivitas masyarakat tuturnya. Tidak dikenalnya referen dari suatu leksikon akan berdampak pada hilangnya konsep leksikal tumbuhan itu dari pemahaman penuturnya.

  Pergeseran dan penyusutan sejumlah kosakata BPD terbukti dari tidak dikenal dan tidak digunakannya lagi sejumlah leksikon/kosakata oleh sejumlah penutur. Kondisi ini dapat diamati pada komunitas MPD dengan berbagai latar belakang kelompok usia, yaitu kelompok usia remaja, kelompok usia produktif, dan kelompok usia tua. Inilah yang menjadi alasan utama pemilihan topik ini, bagaimana tingkat pemahaman leksikon flora pada komunitas MPD dari berbagai kelompok usia tersebut. Dapat diasumsikan bahwa perubahan lingkungan sosioekologis akan akan berdampak pada perubahan pemahaman mereka tentang pemahaman leksikon tersebut. Masalah ini akan berdampak pada hilangnya sejumlah kosa kata dari bahasa mereka.

  U

  Alasan kedua adalah wilayah desa ruk Gedang (selanjutnya disingkat DUG) yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang suku yang berbeda

  (multikultural) sehingga dapat diasumsikan bahwa keberagaman suku tersebut akan memengaruhi penggunaan bahasa, yaitu BI dan BBT. Sebagai contoh, leksikon flora ‘pinus’ tidak ada dalam BPD, namun ada dalam BI. Contoh lain leksikon flora ‘andaliman’juga tidak ada dalam BPD. Leksikon tersebut hanya ada dalam BBT. Leksikon ‘pinus’ dan ‘andaliman’ yang digunakan oleh sebagian penutur merupakan akibat dari situasi lingkungan yang dihuni oleh masyarakat dari budaya dan bahasa yang berbeda. Dampaknya, leksikon tersebut lebih dikenal oleh guyub tutur BPD.

  BPD sebagai salah satu bahasa daerah yang menjadi aset budaya masyarakat penuturnya layak dikaji untuk merekam seberapa besar perubahan dan pergeseran BPD akibat perubahan ruang hidup bahasa tersebut. Fokus lingkungan sekitar lereng hutan menjadi pengamatan karena masyarakat penutur BPD di DUG Kabupaten Dairi berada di daerah pegunungan dan perbukitan.

1.2 Rumusan Masalah

  Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

  1) Jenis leksikon flora BPD apa saja yang terdapat di DUG? Bagaimana relasi semantis yang terbentuk pada LFBPD di DUG?

  3) Bagaimanakah tingkat pemahaman masyarakat DUG terhadap leksikon flora bahasa Pakpak Dairi (LFBPD)?

1.3 Tujuan

  Penelitian memegang peranan penting dalam memperoleh pengetahuan baru dalam memecahkan masalah. Penelitian baru akan menambah ragam penelitian yang sudah ada sebagai usaha untuk memecahkan berbagai masalah.

  1.3.1 Tujuan Umum

  Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menenemukan fakta tentang hubungan sosio-ekologis dengan pergeseran dan penyusutan BPD dari fungsi sosioekologisnya dalam tiap generasi khususnya di DUG Kabupaten Dairi.

  1.3.2 Tujuan Khusus

  Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan jenis leksikon flora BPD di DUG. 2) Mendeskripsikan relasi semantis yang terbentuk pada LFBPD di DUG 3) Mendeskripsikan tingkat pemahaman masyarakat DUG terhadap LFBPD

1.4 Manfaat Penelitian

  Secara teoritis manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1)

  Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber masukan kepada peneliti-peneliti lain yang akan membahas masalah perubahan fungsi sosioekologis leksikon khususnya LFBPD. 2)

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dokumentasi tentang leksikon flora pada MPD.

  3) Memberikan sumbangan bagi khazanah ilmu bahasa, linguistik, khususnya kajian ekolinguistik.

1.4.2 Manfaat Praktis

  Secara teoritis manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1)

  Penelitian ini dapat memperkenalkan BPD kepada masyarakat khususnya LFBPD.

  2) Sebagai informasi tentang penelitian baru tentang perubahan fungsi sosioekologisLFBPD

  3) Penelitian ini dijadikan sebagai sumber dalam upaya pembinaan dan pemertahanan leksikon BPD.

1.5 Definisi Istilah

  Istilah-istilah dalam tulisan ini memiliki makna yang berbeda dengan ilmu berdasarkan konsep ekolinguistik, istilah tersebut adalah: 1)

  Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tumbuhan dan hewan, sebagai individu dan bersama-sama dalam populasi dan komunitas biologis, dalam kaitannya dengan lingkungan fisik, kimia, dan biologi karakteristik lingkungan mereka (Ricklefs, 1976:1, bdk. Fill dan Muhlhausler, 2001:5).

  2) Ekolinguistik adalah sebuah ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu yang merupakan payung untuk penelitian bahasa yang dikaitkan antara manusia sebagai pemakai bahasa dan lingkungan (Haugen 1972:325 dalam Lindo dan Bundsgaard (eds) 2000:9). bdk. Fill 2001:126 dalam Lindo dan Bundsgaard (eds) 2000:40)

  3) Leksikon adalah komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa (Sibarani, 1997:4 bdk. Booij 2007:16).

  4) Flora adalah keseluruhan kehidupan jenis tumbuh-tumbuhan suatu habitat, daerah, atau strata geologi tertentu (Wikipedia).

  5) Semantik Leksikal menelaah makna suatu kata atau kajian yang membahas hubungan antara lambang bahasa dengan objek yang merupakan wadah penerapan lambang tersebut (referen) (Pateda, 2001:74).

  Relasi Semantis adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan bahasa dengan kata atau hubungan struktural diantara kata-kata (Geeraerts, 2010: 52). Relasi semantis ini dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, dan ketercakupan makna. Dalam hal ini relasi semantis dapat dilihat dari bentuk relasi leksikal, seperti homonim, polisemi, sinonim, antonim, hiponim, dan meronim.