BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori-Teori yang Relevan 2.1.1 Ekolinguistik - Perubahan Fungsi Sosioekologis Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori-Teori yang Relevan

2.1.1 Ekolinguistik

  Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa. Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik berawal dari pemikiran Haugen bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa (Fill, 2001:44).

  Ekolinguistik menjelaskan fenomena bahasa dengan parameter ekologi. Einer Haugen seorang tokoh paradigma linguistik pertama pada 30 tahun yang telah mengkombinasikan bahasa dengan ekologi. Dijelaskan bahwa ekologi bahasa adalah ilmu yang mempelajari interrelasi antara bahasa yang ada dalam kognitif manusia dan dalam komunitas yang multilingual. Semenjak itu, ekolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik yang mengembangkan hubungan antara bahasa dan ekologi yang telah didirikan dengan cara yang berbeda dan dengan menggunakan pendekatan, dan metode yang berbeda pula.

  Haugen (1970) dalam Mbete (2009:11-12), menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu: (1) linguistik historis komparatif, (2) linguistik demografi,

  (3) sosiolinguistik, (4) dialinguistik, (5) dialektologi, (6) filologi, (7) linguistik preskriptif, (8) glotopolitik, (9) etnolinguistik, linguistik antropologi, ataupun linguistik kultural (cultural

  linguistics ), dan (10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan.

  Jauh sebelum kemunculan Haugen, ekologi sebenarnya telah diperkenalkan pada tahun (1834- 1914)oleh Ernest Haeckel. Secara etimologis, kata ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti house, man’s

  

immediate suroundings . Ricklefs (1976:1) mendefinisikan ekologi adalah ilmu

  yang mempelajari tumbuhan dan hewan, sebagai individu dan bersama-sama dalam populasi dan komunitas biologis, dalam kaitannya dengan lingkungan-fisik, kimia, dan biologi karakteristik lingkungan mereka.

  Menurut Haugen (1972:325) dalam Lindo dan Bundsgaard (eds) (2000:9)Language ecology may be defined as the study of interactions between

  

any given language and its environment. ‘Bahasa ekologi dapat didefinisikan

  sebagai studi tentang interaksi antara bahasa tertentu dan lingkungannya.’ Ekolinguistik merupakan sebuah ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu yang merupakan payung untuk semua penelitian bahasa yang dikaitkan antara manusia sebagai pemakai bahasa dan alam sekitarnya (lingkungan). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Fill (1993:126, dalam Lindo & Bundsgaard, eds, 2000:40) yang mendefinisikan ekolinguistik sebagai: Ecolinguistics is an

  

umbrella term for ‘[…] all approaches in which the study of language (and

languages) is in any way combined with ecology’. ‘Ekolinguistik

  merupakanistilah payung untuk ‘[…] semua pendekatan studi bahasa (dan bahasa- bahasa) yang dikombinasikan dengan ekologi.’ Hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat fungsional merupakan pokok pembicaraan utama dalam studi ekologi. Setidaknya ada dua parameter yang dihubungkan, yaitu bahasa dan ekologi (lingkungan). Kombinasi dari kedua parameter tersebut menghasilkan studi yang disebut ekolinguistik. Fill dan Mühlhäusler (2001:2) dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in

  the University menyebutkan: “Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters

we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on

whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language

of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of

language studies the support systems languages require for their continued

wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages

in recent times” (p.2) .

  Pembicaraan di antara para pakar bahasa tentang definisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau di dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap objek kajian ekolinguistik. Pakar-pakar di atas menekankan tujuan mereka kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa-bahasa dan ekologi dari perspektif yang lebih luas.

  Sudut pandang mereka adalah bahwa teori ekologi dan bahasa saling berhubungan. Pandangan terhadap lingkungan yang dibentuk (dan membentuk) semua hubungan antar pesona bahasa yang sangat penting merupakan bagian dari masalah ekologi. Konsepsi/ pandangan bahasa dan ilmu bahasa juga menunjukkan bahwa bahasa (baik yang tertulis maupun lisan) dan lingkungan dianggap sebagai tujuan-tujuan kajian yang potensial.

  Secara tradisional ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu eco-critical discourse analysis dan linguistic ecology (Fill dalam Lindo dan Bundsgaard, 2000:9). Yang pertama disebut analisis wacana eko-kritis, sedang yang kedua, linguistik ekologi, yang dalam bahasan ini dipakai istilah ekolinguistik. Analisis wacana eko-kritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak- pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula penganalisisan pelbagai wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem. Fokus kajian pada penelusuran gambaran ideologi yang dapat mendukung kelangsungan ekologis.

  Dalam perspektif ekolinguistik, perubahan bahasa mencerminkan atau menggambarkan perubahan lingkungan, baik lingkungan budaya maupun lingkungan alam, demikian pula sebaliknya. Berkurang atau menghilangnya biota, fauna atau flora di lingkungan alam dan budaya tertentu mengubah pula pemahaman dan interelasi manusia dengan alam di lingkungan itu.

  Kondisi ini pada akhirnya memengaruhi pemakaian bahasa, misalnya penggunaan leksikon flora masyarakat Pakpak Dairi. Masyarakat Pakpak Dairi sebagai penutur asli memahami makna leksikon yang digunakan pada kegiatan berkomunikasi antarpenutur dengan menggunakan leksikon yang berasal tumbuhan hutan, gunung, alam, nama-nama binatang karena memang tanaman, benda alam dan binatang tersebut masih ada di lingkungan. Hal ini seiring pula dengan perubahan waktu, dengan menghilangnya tanaman, penghuni hutan, gunung, alam, nama-nama binatang dan leksikon yang berkaitan dengan kehidupan di lingkungan. Dengan demikian, telah terjadi pula penyusutan pemahaman makna leksikal dan fungsinya yang leksikon tersebut disebutkan tapi wujud benda yang bertautan dengan nama tumbuhan nyaris tidak dikenali lagi oleh genarasi muda.

  Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (eds) (2001:14) menyebutkan tiga bentuk lingkungan: 1) Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan). 2) Lingkungan ekonomis ‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.

  3) Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni.

  Lebih lanjut Sapir menjelaskan bahwa secara lahiriah bahasa itu dipengaruhi lingkungan yang melatari pengguna atau pemakai suatu bahasa. Lingkungan fisik ragawi tersebut tergambar dalam bahasa-bahasa yang telah dipengaruhi faktor-faktor sosial. Namun, perubahan lingkungan fisik akan lebih terlihat jelas dari kosa kata bahasa tersebut.

  Pembahasan utama dalam studi ekolinguistik adalah hubungan antara lingkungan dan bahasa pada ranah leksikon bukan pada ranah bunyi bahasa (fonologi) dan ranah bentuk kata (morfologi). Hubungannya ini dijelaskan lebih rinci oleh Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (2001: 2), yaitu “This interrelation

  

exists merely of the level of the vocabulary and not, for example, on that of

phonology or morphology. ” Keterkaitan ini ada hanya pada tingkat kosa kata dan

  bukan, pada fonologi atau morfologi. Lebih lanjut Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (2001: 14) menjelaskan hubungannya, yaitu lingkungan fisik dan sosial masyarakat penutur sebuah bahasa akan tercermin dari penggunaan kosa kata bahasa mereka. Kosa kata lengkap sebuah bahasa dipandang sebagai inventaris kompleks dari semua ide, minat yang menyita perhatian masyarakat, misalnya kamus lengkap sebuah suku menyimpulkan karakteristik budaya masyarakatnya yang memanfaatkan itu sehingga tidaklah sulit menemukan contoh-contoh kosakata sebuah bahasa yang digunakan oleh sekelompok penutur tempat mereka berada.

  Perubahan bahasa pada tataran leksikon dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan Bundsgaard, 2000:11) yaitu “ideo-logical dimension, socio-logical

  

dimension, and bio-logical dimension.” Pertama, dimensi ideologis berkaitan

  dengan adanya ideologi masyarakat. Misalnya ideologi kapitalisame dan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan untuk tetap mempertahankan, mengambangkan, dan membudidayakan flora yang bernilai ekonomi tinggi untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi; kedua, dimensi sosiologis yaitu berkaitan dengan adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi sosiologis ini, bahasa merupakan wujud praktis sosial yang bermakna; ketiga, dimensi biologis berkaitan dengan adanya keanekaragaman biota secara berimbang dalam ekosistem. Dimensi biologis secara verbal terekam secara leksikon dalam perbendaharaan kata setiap bahasa.

2.1.2Semantik Struktural

  Banyak teori tentang makna telah dikemukakan para ahli. Ferdinan de Suassure untuk pertama kali memberikan pandangan ini dengan teori tanda linguistiknya. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa rentetan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian) (Ferdinan de Saussure dalam Chaer, 2007:286). Lebih lanjut, Richard dan Ogdent (1923) dalam Chaer (2007:286) menjelaskan hubungan antara lambang, konsep, dan acuan yang disebut dengan segitiga makna. Dalam bagan tersebut, hubungan antara lambang dan konsep bersifat langsung karena lambang dan konsep adalah masalah di dalam bahasa, sedangkan hubungan antara lambang dan referen bersifat tidak langsung karena lambang adalah masalah dalam bahasa sementara referen merupakan masalah di luar bahasa yang hubungannya bersifat arbitrer. Karena bersifat arbitrer, maka kita tidak dapat menjelaskan hubungan kata-kata itu dengan makna yang dimilikinya.

  Dalam kajian linguistik, persoalan yang menjadikan makna sebagai bidang kajiannya adalah Semantik. Semantik menelaah hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut (Edward dalam Tarigan, 1985:3). Semantik struktural merupakan pendekatan strukturalis yang dibawa pada ranah semantik leksikalGeeraerts (2010:48). Secara teori dan deskripsi semantik struktural muncul dengan rangkaian hubungan konsep makna strukturalis. Dalam semantik struktural, ada tiga pendekatan yang digunakan, yaitu ranah leksikal, analisis komponen, dan relasi semantis. Dalam hal ini, relasi semantis akan digunakan sebagai kajian teoretis. Relasi semantis mengembangkan ide dari gambaran relasi struktural dalam kata-kata yang berhubungan (Geeraerts, 2010:52)

  Makna kata dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam konteks kalimat. Menurut semantik leksikal, makna suatu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh- sungguh nyata dalam kehidupan kita (Pateda, 2001:74). Sebagai contoh kata daun referennya ‘bagian tanaman yang tumbuh berhelai-helai pada ranting’, dalam bahasa Pakpak Dairi komil referennya ‘jenis tumbuhan semak dengan kontur daun yang lembut biasa untuk makanan kerbau’.

  Pendekatan semantik leksikal yang digunakan pada kajian ini adalah pada ranah relasi semantis. Teori yang digunakan untuk menjelaskan relasi semantis leksikon flora bahasa Pakpak Dairi adalah teori Saeed (2000:63). Teori relasi semantis menurut Saeed adalah:

  1. Homonim

  Homonimi adalah bentuk kata secara fonologi sama tetapi maknanya tidak berhubungan (lihat Saeed, 2000:63). Selain homonim, ada juga istilah homograf dan homofon. Homograf merupakan kata yang tulisannya sama tetapi maknanya berbeda. Homofon adalah istilah untuk kata yang pengucapannya sama tetapi maknanya berbeda. Namun, Saeed juga menyebut kedua istilah itu homonim karena perbedaan kedua istilah tersebut bergantung pada perilaku sintaksis dan pengucapannya. Namun beberapa penulis membedakan homograf dengan homofon, misalnya: a. kata yang tulisan dan pelafalannya sama tetapi maknanya berbeda (homonim), misalnya genting I‘gawat’ dan genting II‘atap’.

  b. kata yang tulisannya sama tetapi pelafalan dan maknanya berbeda (homograf), misalnya apel I‘buah’ apel II ‘upacara’.

  c. kata yang cara pelafalannya sama, tetapi penulisan dan maknanya berbeda

  (homofon), misalnya [bank] I ‘lembaga penyimpan uang’ dan [bang] II ‘kakak].

  2. Polisemi

  Secara leksikologi, homonim dan polisemi memiliki perbedaan(lihat Saeed2000:64. Meskipun keduanya memiliki pengertian yang sama,dalam polisemi ada relasi makna yang erat antara kata yang bentuknya dan ucapannya sama. Polisemi diartikan sebagai suatu kata yang memiliki banyak makna.

  Misalnya kata kepala. Kata kepala dapat bermakna bagian benda sebelah atas, dapat bermakna pimpinan atau ketua, dapat juga bermakna sebagai kiasan atau ungkapan.

  3. Sinonim

  Menurut Saeed (2000:65) sinonim adalah kata yang berbeda secara fonologi, tetapi memiliki makna yang sama atau hampir sama. Contohnya adalah kata buruk dan jelek merupakan kata yang bersinonim. Hubungan makna antara dua kata bersifat dua arah. Jadi dari contoh dan definisi di atas dapat dikatakan bahwa maknanya kurang lebih sama. Kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih atau tidak bersifat mutlak.

  4. Antonim

  Antonim merupakan relasi leksikal yang menggambarkan makna yang bertentangan. Maksudnya adalah suatu ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya, kata besar dan kecil. Sama halnya dengan sinonim, hubungan makna antara dua buah kata bersifat dua arah dan maknanya tidak bersifat mutlak.

  5. Hiponim Saeed (2000:68-69) mengatakan bahwa hiponimi adalah hubungan inklusi.

  Hiponimi mengacu pada hubungan vertikal dari taksonomi. Hiponim kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih khusus atau disebut kata khusus. Untuk kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih luas disebut hipernim atau kata umum. Namun Saeed menyamakan kedua istilah ini. Contohnya anggrek, melati, anyelir, dan mawar merupakan hiponim dari hipernim kata bunga.

  6. Meronim

  Meronim adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau keseluruhan hubungan leksikal (lihat Saeed, 2000:70). Misalnya

  

cover dan page adalah meronim dari book. Contoh lain adalah batang, daun,

cabang, ranting, dan akar merupakan meronim dari pohon.

  pohon batang daun cabang ranting akar

Gambar 2.1 Meronim ‘pohon’

2.1.3 Sosioekologis

  Sosioekologis memadukan dua sudut pandang yang berbeda namun saling berhubungan. Kedua sudut pandang tersebut adalah ‘sosio atau sosial’ dan ‘ekologi’. Sosial merupakan segala perilaku manusia yang menggambarkan hubungan nonindividualis. Pengertian sosial ini merujuk pada hubungan manusia dalam kemasyarakatan, hubungan antarmanusia, hubungan manusia dengan kelompok, serta hubungan antara manusia dengan organisasi.

  Pengertian sosial tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, karena memang diarahkan pada seluk beluk kehidupan manusia bersama kelompok di sekitarnya. Pengertian ini juga dapat diabstraksikan ke dalam perkembangan- perkembangan kehidupan manusia, lengkap dengan dinamika serta masalah- masalah sosial yang terjadi di sekitarnya.

  Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dengan dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai satu kesatuan atau sistem dengan lingkungannya (Ernest Heackel, 1834-1914).

  Ekologi merupakan studi yang menyelidiki interaksi organisme dengan lingkungannya. Hal ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hubungan timbal balik tersebut. Dalam studi ekologi digunakan metode pendekatan secara menyeluruh pada komponen-komponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Ruang lingkup ekologi berkisar pada tingkat populasi, komunitas, dan ekosistem

  Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sosioekologis merupakan suatu kajian yang membahas hubungan antara lingkungan dengan masyarakat, mempelajari makhluk hidup sebagai satu kesatuan atau sistem dengan lingkungannya dan masyarakat serta masalah-masalah sosial yang ada di dalamnya.

2.2 Penelitian yang Relevan

  Kajian mengenai ekolinguistik sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti khususnya ranah leksikon. Beberapa penelitian tersebut menjadi sumber acuan dalam penelitian ini. Pertama, Mbete dan Adisaputra (2009) dalam penelitiannya “Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja Stabat, Langkat” menggunakan pendekatan ekolinguistik dan semantik leksikal. Metode yang dignakan yaitu metode kualitatif deskriptif. Dari hasil penelitian mereka didapatkan bahwa penguasaan leksikon bahasa Melayu Langkat yang diujikan kepada responden remaja sangat rendah. Hal itu disebabkan karena kurangnya interaksi kelompok remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu; langka dan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam pikiran penutur; dan pemahaman (pengertian) leksikal oleh para penutur tentang entitas itu bukan dalam bahasa Melayu Langkat, tetapi dalam bahasa lain. Dalam penelitian mereka, terdapat 150 leksikon yang diujikan kepada responden. Adapun tujuannya adalah untuk mendeskripsikan pemahaman responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan mereka dalam bahasa mereka.

  Kontribusi yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah teori dan metode. Teori- teori dan metode yang digunakan dalam penelitian tersebut dapat digunakan peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian ini.

  Usman (2010) dalam tesisnya “Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik”, menggunakan metode penelitian kualitatif. Temuan dari penelitian tersebut adalah masyarakat Gayo memiliki bentuk dan makna serta muatan tutur tersendiri yang dalam perkembangannya tutur tersebut jarang digunakan, dan sudah mulai ditinggalkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Secara internal adalah faktor yang bersumber dari masyarakat Gayo sendiri selaku masyarakat pengguna tutur, dan faktor eksternal adalah pengaruh yang berasal dari luar masyarakat Gayo yang membawa pengaruh penyusutan tutur tersebut. Penelitian Yusradi Usman tesebut memberikan kontribusi dalam hal kajian ekolinguistik. Penelitian yang dilakukan oleh Yusradi Usman tersebut memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Perbedaannya adalah penelitian Yusradi Usman mengenai tutur masyarakat Gayo sedangkan penelitian ini mengenai leksikon flora bahasa Pakpak Dairi.

  Sukhrani (2010) dalam tesisnya “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedananuan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik” dengan metode penelitian yang digunakan oleh Sukhrani adalah metode penelitian kualitatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada 72 orang responden yang berusia 15-46 tahun, terungkap gambaran barupa terjadi perbedaan pemahaman nomina kedanauan di setiap kecamatan untuk semua kelompok usia. Perbedaan pemahaman nomina kedanauan tersebut berkiatan dengan perbedaan kontur alam danau, perluasan kata, pola hidup praktis dan instan yang disebabkan oleh kemunculan peralatan modern, introdusi biota dari luar. Dalam penelitian ini diperoleh hasil 80,6 % penutur masih mengenal dan menggunakan leksikon nomina dalam lingkungan Lut Tawar dalam berkomunikasi sehari-hari.

  Kontribusi yang diperoleh dari penelitian Sukhrani adalah dalam hal pengertian ekolinguistik, leksikon, dan semantik leksikal. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah penelitian tersebut membahas mengenai leksikon nomina dengan objek kajian bahasa Gayo sedangkan dalam kajian membahas mengenai leksikon flora pada bahasa Pakpak Dairi.

  Amri (2011) dalam penelitiannya “Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidempuan” menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Salah satu tujuan dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui pemahaman leksikon tradisi lisan komunitas remaja di Padangsidempuan. Dalam upacara adat di Padangsidempuan, setelah dianalisis leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 264 kata yang terdiri dari 15 kelompok leksikon, yaitu 1) leksikon tumbuhan; 2) leksikon alam; 3) leksikon pronnomina; 4) leksikon pronomina kekerabatan; 5) leksikon pronomina raja/adat; 6) leksikon bahasa adat; 7) leksikon ukuran waktu; 8) leksikon ukuran waktu dan arah; 9) leksikon perhitungan/angka; 10) leksikon ukuran sifat; 11) leksikon ukuran bentuk; 12) leksikon hewan; 13) leksikon warna; 14) leksikon ukuran tokoh/status kekeluargaan; dan 15) leksikon tumbuhan pada frasa dan klausa. Kemudian, seluruh leksikon tersebut diujikan kepada 240 orang remaja. Hasil yang didapatkan adalah, remaja Padangsidempuan mengalami pentyusutan pemahaman pada semua kelompok leksikon. Penyebabnya adalah, remaja tidak memahami upacara perkawinan ada Tapanuli Selatan, baik itu dari segi jenis maupun urutan/kronologis. Lembaga adat kurang membarikan sosialisasi adat kepada kelompok remaja dan jarangnya pertunjukan /pagelaran budaya adat Padangsidempuan. Kontribusi penelitian Amri terhadap penelitian ini adalah teori-teori ekolinguistik, semantik leksikal dan teknik pengolahan data kualitatif. Penelitian tersebut membahas masalah pemahaman leksikon remaja sedangkan penelitian ini membahas perubahan fungsi sosioekologis leksikon flora.

  Widayati, dkk (2012) dalam penelitian mereka “Perubahan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Asahan” menggunakan metode kualitatif.

  Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan khazanah lingual tataran leksikal yang mempresentasikan kekayaan lingkungan sosioekologis komunitas Melayu Asahan dan mendeskripsikan faktor yang melatari pergeseran dan penyusutan fungsi sosioekologis bahasa Melayu Asahan. Hasil analisis adalah banyak leksikal biota sungai yang sudah tidak dapat ditemukan entitasnya. Nama tumbuhan ada yang masih dikenal dan ada juga sudah tidak dikenal. Kemudian juga leksikal peralatan tradisional, peralatan rumah, dan bagian rumah sudah banyak yang tidak dikenal lagi oleh kelompok penutur muda akibat kemunculuan peralatan yang lebih modern. Kelangkaan leksikon tumbuhan di daerah ini juga dilatari oleh meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang membari dampak terhadap kebertahanan tumbuhan sekitar karena situasi itu tentu mengakibatkan munculnya bangunan-bangunan baru. Jadi, dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa bergeser dan menyusutnya fungsi sosioekologis bahasa Melayu Asahan disebabkan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi penyusutan konsep, dan faktor eksternal meliputi alam; pemukiman; alat-alat modern; dan pencemaran lingkungan. Kontribusinya terhadap penelitian ini adalah dalam hal teori dan teknik analisis. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian tersebut membahas perubahan fungsi sosioekologis bahasa Melayu Asahan sedangkan penelitian ini membahas perubahan fungsi sosioekologis leksikon flora bahasa Pakpak Dairi.

  Surbakti (2013) dalam tesisnya “Leksikon Ekologi Kesungaian Lau

  Bingei : Kajian Ekolinguistik” yang mengkaji masalah leksikon kesungaian Lau

Bingei , pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi

  kesungaian Lau Bingei, serta nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei. Teori yang digunakan adalahteori ekolinguistik dan antropolinguistik dan menggunakan metode analisis deskriptip kualitatif. Hasil penelitian diperoleh sebanyak 520 leksikon yang terbagi atas 14 kelompok leksikon yang terdiri dari 409 leksikon nomina dan 111 leksikon verba. Kemudian seluruh leksikon yang dikumpulkan tersebut diujikan dengan menyodorkan 4 kategori pilihan, 1) pernah dilihat, didengar, digunakan; 2) pernah mendengar dan melihat; 3) pernah mendengar saja; 4) tidak dengar dan tidak pernah menggunakan. Keempat kategori pilihan ini diujikan kepada dua kelompok usia, yaitu kelompok usia 15-20 tahun dan kelompok usia 21-45 tahun di 16 kelurahan. Hasil yang diperoleh adalah, pemahaman guyub tutur leksikon nomina kategori A (30,79 %), B (37,94 %), C (13,39 %), D (17,87 %). Sementara, pemahaman guyub tutur terhadap leksikon verba kategori A (51,28 %), B (27,59 %), C ( 13,65 %), dan D (7,46 %). Nilai budaya kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei mengandung nilai sejarah, religius dan keharmonisan, sosial budaya, keseahteraan, dan nilai ciri khas. Sedangkan nilai kearifan lingkungan yang dapat digali adalah nilai kedamaian, dan nilai kesejahteraan dan gotong royong. Kontribusi penelitian tersebut terhadap penelitian ini adalah berkaitan dengan teori-teori ekolinguistik, pengolahan data, pembagian kelompok usia responden. Perbedaannya adalah penelitian tersebut membahas leksikon ekologi kesungaian sedangkan penelitian ini membahas tentang fungsi sosioekologis leksikon flora.

2.3 Kerangka Kerja

  LEKSIKON LEKSIKON FLORA SEMANTIK EKOLINGUISTIK STRUKTURAL TINGKAT RELASI PEMAHAMAN SEMANTIS ANALISIS DATA TEMUAN