Perubahan Fungsi Sosioekologis Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi

(1)

PERUBAHAN FUNGSI SOSIOEKOLOGIS LEKSIKON

FLORA BAHASA PAKPAK DAIRI

TESIS

Oleh:

DAIRI SAPTA RINDU SIMANJUNTAK

127009007/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

PERUBAHAN FUNGSI SOSIOEKOLOGIS LEKSIKON

FLORA BAHASA PAKPAK DAIRI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh:

DAIRI SAPTA RINDU SIMANJUNTAK

127009007/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

Judul Tesis : PERUBAHAN FUNGSI SOSIOEKOLOGIS LEKSIKON FLORA BAHASA PAKPAK DAIRI

Nama Mahasiswa : Dairi Sapta Rindu Simanjuntak Nomor Pokok : 127009007

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Dwi Widayati, M.Hum.)

Ketua Anggota

(Dr. Nurlela, M.Hum.)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Dr. Syahron Lubis, M.A.)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 29 Oktober 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Dwi Widayati, M.Hum. Anggota : 1. Dr. Nurlela, M.Hum.

2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. 3. Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP 4. Dr. Mulyadi, M.Hum.


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

PERUBAHAN FUNGSI SOSIOEKOLOGIS LEKSIKON

FLORA BAHASA PAKPAK DAIRI

Dengan ini Penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian teertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, November 2014 Penulis,


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas perubahan fungsi sosioekologis leksikon flora bahasa Pakpak Dairi di Desa Uruk Gedang Kabupaten Dairi melalui perspektif ekolinguistik. Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan leksikon flora bahasa Pakpak Dairi yang ada di Desa Urug Gedang, gambaran pemahaman masyarakat terhadap leksikon flora, dan relasi semantis yang terbentuk dari leksikon flora Bahasa Pakpak Dairi. Pengumpulan data leksikon flora dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi, dan wawancara terhadap beberapa orang informan yang lahir dan tinggal di Desa Urug Gedang serta berprofesi sebagai petani minimal 20 tahun.

Untuk mengetahui gambaran pemahaman masyarakat Urug Gedang terhadap leksikon flora tersebut, maka data leksikon yang telah terkumpul diujikan kepada 60 orang responden yang terbagi atas tiga kelompok usia yaitu 20 orang kelompok usia tua, 20 orang kelompok usia dewasa, dan 20 orang kelompok usia remaja. Pendekatan dan metode penelitian yang digunakan adalah perpaduan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Jumlah data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebanyak 200 leksikon flora yang terbagi atas lima kelompok yaitu: 1) 63 leksikon kayu; 2) 53 leksikon rambah; 3) 36 leksikon suan-suanen; 4) 23 leksikon buah; dan 5) 25 leksikon rorohen. Seluruh data leksikon diujikan kepada 60 orang responden untuk mengetahui bagaimana gambaran pemahaman mereka terhadap leksikon flora Bahasa Pakpak Dairi.

Dari hasil pengujian diperoleh hasil bahwa telah terjadi penyusutan pemahaman pada setiap kelompok usia responden terutama kelompok usia remaja. Pemahaman responden terhadap leskikon kayu pada usia ≥ 60 tahun adalah 82,4 %, usia 25-59 tahun 64,4 %, dan usia 12-24 tahun 12 %. Pemahaman responden terhadap leksikon rambah pada usia≥ 60 tahun 94,5 %, usia 25-59 tahun 66,4 %, dan usia 12-24 tahun 15,2 %. Pemahaman responden terhadap leksikon suan-suanen paa usia ≥ 60 tahun 100 %, usia 25-59 tahun 97,5 %, dan usia 12-24 tahun 69 %. Pemahaman responden terhadap leksikon buah pada usia

≥ 60 tahun 99,8 %, usia 25-59 tahun 96,1 %, dan usia 12-24 tahun 82,6 %. Pemahaman responden terhadap leksikon rorohen pada usia ≥ 60 tahun 100 %, usia 25-59 tahun 79,6 %, dan usia 12-24 tahun 44,2 %.

Penyusutan ini terjadi pada semua kelompok leksikon. Kelompok leksikon paling rendah dalam pemahaman remaja adalah kelompok leksikon kayu dan rambah. Hal ini disebabkan oleh berubahnya fungsi flora tersebut dalam kehidupan masyarakat, kurangnya pengenalan dari orang tua, rendahnya penggunaan bahasa etnis, dan kondisi sosial Desa Urug Gedang yang multietnis juga memengaruhi rendahnya pemahaman mereka terhadap leksikon-leksikon tersebut. Relasi semantis yang terbentuk dari data leksikon Bahasa Pakpak Dairi adalah antonim, homonim, homograf, hiponim, dan meronim.


(7)

ABSTRACT

This research deals with the changing of socioecology function of flora lexicon in Pakpak Dairi language at Desa Urug Gedang Kabupaten Dairi through ecolinguistic perspective. The purposes of this research are to describe the flora lexicon in Pakpak Dairi Language at Desa Urug Gedang, to know the understanding of people about the flora lexicon and semantic relation that is formed from the flora lexicon in Pakpak Dairi language. The collecting data is done through written document, observation,and interview to some informants who is born and live in Desa Urug Gedang, and the profession is as a farmer more than 20 years.

To know the understanding of people Urug Gedang about flora lexicon, the data which hare been collected are tested to 60 respondents. They are divided into three groups, they are 20 people are old, 20 people are adults, 20 people are teenagers. The approaches and the methods of this research are qualitative and quantitative. The numbers of data are 200 flora lexicon which is devided into five groups, they are: 1) 63 lexicon are woods, 2) 53lexicon are rambah, 3) 36 lexicon are suan-suanen, 4) 23 lexicon are fruits, 5) 25 lexicon are rorohen. All of datas are tested by 60 respondent to know the understanding of people about flora lexicon in Pakpak Dairi language.

The result is that flora lexicon is reduce in every group of age. Especially in teenagers group. The understanding of responden about kayus at ≥ 60 years old is 82,4 %, 25-59 years old is 64,4 %, and 12-24 years old is 12%. The understanding of responden about rambah at ≥ 60 years old is 94,5 %, 25 -59 years old is 66,4 %, and 12-24 years old is 15,2%. The understanding of responden about suan-suanen at ≥ 60 years old is 100 %, 25-59 years old is 97,5 %, and 12-24 years old is 69%. The understanding of responden about buah at ≥ 60 years old is 99,8 %, 25-59 years old is 96,1 %, and 12-24 years old is 82,6%. The understanding of responden about rorohen at ≥ 60 years old is 100 %, 25-59 years old is 79,6 %, and 12-24 years old is 44,2%.

The lowest understanding is wood and rambah lexicon. It is caused by the changing of flora function around the people, parents did not introduce to the children, the using of culture language is low, and social function of Desa Urug Gedang is multiethnics that is influence the understanding is low, semantic relation is formed by lexicon data in Pakpak Dairi Lamguage, they are antonymy, homonymy, homography, hyponymy, and meronymy.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan atas berkat dan kasih karunia-Nya, tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar magister linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan karena dukungan dan bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan perhargaan yang tulus kepada pihak-pihak terkait.

Pertama-tama, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Dwi Widayati, M.Hum selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran, waktu dengan penuh kesabaran kepada penulis. Ucapan yang serupa juga ditujukan kepada Dr. Nurlela, M.Hum sebagai dosen pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis hingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp. A(K) atas berbagai kemudahan dalam melengkapi fasilitas akademik; kepada Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis menjadi mahasiswa Program Magister Linguistik; kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara , Dr. Syahron Lubis, M.A atas pelayanan kebutuhan akademik yang diperoleh penulis; kepada Ketua Program Magister


(9)

Linguistik Universitas Sumatera Utara, Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D, serta Sekretaris Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara, Dr. Nurlela, M.Hum, yang selalu memberikan nasihat kepada penulis dalam melengkapi kebutuhan akademik.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen penguji tesis, Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D, Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP., dan Dr. Mulyadi, M.Hum, atas berbagai saran dan kritik sehingga tesis ini memiliki kualitas yang dapat digunakan sebagai rujukan bagi peneliti selanjutnya.

Pada kesempatan ini, juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar pada Program Studi Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S, Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Prof. Aron Meko Mbete, Dr. Ridwan Hanafiah, M.Hum, Dr. Abdulrahman Adisaputra, M.Hum, Dr. M Takari, M.Hum, Dr. Gustianingsih, M.Hum, Dr. Masdiana, M.Hum, Dr. Roswita, M.Hum, Dr. Mahriyuni, M.Hum, dan Dr. Irawati Kahar, M.Pd yang telah memberikan kuliah untuk memperluas wawasan penulis tentang kajian linguistik pada setiap mata kuliah.

Pada kesempatan yang sama, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada staf administrasi Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara, Nila, Yuni dan seluruh staf administrasi yang ada di lingkungan Program Studi Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara atas keramahan dan kesantunan kepada penulis dalam melengkapi kebutuhan akademik selama memperoleh pendidikan.


(10)

Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. Harlim Lumbantobing, M.Pd, dan Dr. Tagor Pangaribuan, M.Pd selaku pimpinan penulis di lingkungan FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar yang juga telah bersedia memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Daiman Solin, Bapak Une Kabeken, dan Ibu Murni Boangmanalu yang telah bersedia menjadi informan dalam upaya pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kepala desa dan seluruh responden dan seluruh masyarakat Desa Uruk Gedang yang telah membantu penulis menyelesaikan tesis ini.

Di atas semua ungkapan itu, rasa terima kasih dan penghormatan yang tinggi disampaikan kepada orang tua penulis, Ayahanda C. Simanjuntak, dan Ibunda M. Siregar yang selama ini telah membimbing, memberikan motivasi, memberikan bantuan materil, doa, dan kasih sayang kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kakak dan Lae. Risma Simanjuntak dan Lae Edy Suhardi, Robita Simanjuntak dan Lae H. Angkat, Roba J Simanjuntak dan Lae S. Turnip, Roida S D Simanjuntak dan Lae L. Manullang, Limaya Simanjuntak, Rahayu Simanjuntak dan Lae R. Purba, dan adik Madona Simanjuntak yang telah memberikan saran, bantuan moril dan materil kepada penulis.

Ucapan terima kasih yang hangat disampaikan kepada teman-teman seperjuangan kuliah angakatan 2012 konsentrasi linguistik kelas paralel dan kelas


(11)

reguler, Immanuel Tarigan, Beslina Siagian, Nur Hayati Sitorus, Rida Gultom, Erna Pakpahan, Dina Tarigan, Gunawan Purba, Demak Silaban, Khatib Lubis, Ilham Lubis, Rendra Siregar, Rahmawati Pasaribu, Novita Sari, Deli Kesuma, Nanda Dwi Astri, Nur Ainun Hasibuan, Bangun Tarigan, Nasir Bintang, Marina Sihombing, Idawati, dan seluruh teman-teman atas kerja sama dan persahabatan yang baik selama ini. Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pihak yang yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis selama menyelesaikan studi. Semoga Tuhan selalu menyertai setiap langkah dan memberikan kesehatan dan rezeki yang lancar bagi kita semua.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran diperlukan untuk memperbaiki kesalahan dalam tesis ini. Penulis mengharapkan tesis ini dapat memberikan kontribusi bagi peneliti lain khusunya bidang ekolingusitik.

Medan, Oktober 2014 Penulis


(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. DATA PRIBADI

Nama : Dairi Sapta Rindu Simanjuntak Tempat/Tgl lahir : Sidikalang, 18 Maret 1988 Pekerjaan : Dosen

Alamat : Jl. Jati No. 206 Perumnas Bagelen, Tebing Tinggi

Alamat email

Telepon Rumah/Hp : 085360343534 Status : Belum Menikah

2. RIWAYAT PENDIDIKAN

SD : SD Negeri 034778 Karing

SMP : SMP Negeri 3 Sidikalang SMA : SMA Negeri 2 Sidikalang

Sarjana : FKIP Universitas HKBP Nommensen


(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan ... 7

1.3.1 Tujuan Umum ... 7

1.3.2 Tujuan Khusus ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ...7

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.4.2 Manfaat Praktis ... 8

1.5 Definisi Istilah ... 8

BAB II: KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1 Teori yang Relevan ... 11

2.1.1 Ekolinguistik ...11

2.1.2 Semantik Struktural ...17

2.1.3 Sosioekologis ...21

2.2Penelitian yang Relevan ... 23

2.3 Kerangka Kerja ...28

BAB III: METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Lokasi Penelitian... 29

3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian ...33

3.3 Data dan Sumber Data ...34

3.4 Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data ...35

3.5 Metode Analisis Data ...37

3.6 Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data ... 39

BAB IV: HASIL PENELITIAN ...42

4.1 Pengantar ...42

4.2 Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi Desa Uruk Gedang ... 42

4.2.1 Leksikon Kayu ...43

4.2.2 Leksikon Rambah ...43

4.2.3 Leksikon Suan-suanen ...44


(14)

4.2.5 Leksikon Rorohen ...45

4.3 RelasiSemantis LFBPD...46

4.4 Pemahaman Masyarakat DUG terhadapLFBPD Dairi ... 48

BAB V: PEMBAHASAN ... 57

5.1 Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi Desa Uruk Gedang ... 57

5.1.1 Leksikon Kayu ... 57

5.1.2 Leksikon Dukut/Rambah... 64

5.1.3 Leksikon Suan-suanen...72

5.1.4 Leksikon Buah... 78

5.1.5 Leksikon Rorohen...84

5.2 Relasi Semantis Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi ...88

5.2.1 Antonim ...88

5.2.2 Homonim dan Homograf ...89

5.2.3 Hiponim ...91

5.2.4 Meronim ... 93

5.3Pemahaman Masyarakat DUG terhadap LFBPD ... 94

5.3.1 Pemahaman Masyarakat DUG Oleh Tiga Kelompok Usia terhadap LFBPD ... 95

5.3.1.1 Pemahaman Masyarakat DUG terhadap Kelompok Leksikon Kayu... 97

5.3.1.2 Pemahaman Masyarakat DUGterhadap Kelompok Leksikon Dukut/Rambah ... 98

5.3.1.3 Pemahaman Masyarakat DUGterhadap Kelompok Leksikon Suansuanen...100

5.3.1.4 Pemahaman Masyarakat DUGterhadap Kelompok Leksikon Buah ... 101

5.3.1.5 Pemahaman Masyarakat DUG terhadap Kelompok Leksikon Rorohen ... 103

5.3.2 Perbandingan Pemahaman Masyarakat DUG Berdasarkan Kelompok Usia terhadap LFBPD ...104

5.3.2.1 Pemahaman Kelompok Usia ≥ 60 Tahun DUGterhadap LFBPD ...104

5.3.2.2 Pemahaman Kelompok 25-59 Tahun DUGterhadap LFBPD ... 110

5.3.2.3 Pemahaman Kelompok 12-24 Tahun DUGterhadap LFBPD ... 118

BAB VI: KESIMPULAN DAN SARAN ...126

6.1 Kesimpulan ...126

6.2 Saran ...126

DAFTAR PUSTAKA ... 128


(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Berampu ...30

3.2 Da ta Penduduk DUG Berdasarkan Etnis ... 31

3.3 Pengujian Pemahaman Masyarakat DUG terhadap LFBP...39

4.1 Pemahaman Masyarakat DUG terhadap LFBPDBerdasarkan Kategori ... 48

4.2 Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap Leksikon Kayu BPD Berdasarkan Kategori ... 50

4.3 Pemahaman Masyarakat DUG terhadap Leksikon RambahBPD Berdasarkan Kategori ... 51

4.4 Pemahaman Massyarakat DUG Terhadap Leksikon Suan-suanen BPDBerdasarkan Kategori ... 52

4.5 Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap Leksikon BuahBPD Berdasarkan Kategori...53

4.6 Pemahaman Masyarakat DUG terhadap Leksikon Rorohen BPDBerdasarkan Kategori ... 55

5.1 Homonim ‘Tuyung’... 89

5.2 Homonim ‘Rias’... 89

5.3 Homonim ‘Cemun’ ... 90

5.4 Homonim ‘Tuba’...90

5.5 Persentase Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap LFBPD ... 95

5.6 Pemahaman Masyarakat DUGKelompok Usia ≥ 60 Tahun Terhadap LFBPD ... 105

5.7 Pemahaman Masyarakat DUGKelompok Usia 25-59 Tahun Terhadap LFBPD ... 111

5.8 Pemahaman Masyarakat DUGKelompok Usia 12-24 Tahun Terhadap LFBPD ... 118


(16)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 M

eronim ‘Pohon’ ... 21

2.2 Kerangka Kerja Teoritis ... 28

3.1 Peta Kecamatan Berampu ... 30

5.1 Hiponim Mpiangi... 91

5.2 Hiponim Kayu Bangunen... 92

5.3 Hiponim Paku... 92

5.4 Hiponim Tambar...... 92

5.5 Hiponim Anyamen... 93

5.6 Hiponim Nakan Pinaken... 93

5.7 Hiponim Pola ... 93

5.8 Hiponim Gelaga ... 93

5.9 HiponimParasit ... 93

5.10 Hiponim Gambas ... 93

5.11 Meronim Galuh ... 94

5.12 Meronim Pote ... 94

5.13 Meronim Pola ... 94

5.14 Persentase Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap LFBPD ... 97

5.15 PemahamanMasyarakat DUG Kelompok Usia ≥ 60 Tahun Terhadap LFBPD ...106

5.16 PemahamanMasyarakat DUG Kelompok Usia 25-59 Tahun Terhadap LFBPD ... 112 5.17 PemahamanMasyarakat DUG Kelompok Usia 12-24 Tahun


(17)

Terhadap LFBPD... .... 119

9.1 Sanggar ………. 175

9.2 Sindruma……….……….. 175

9.3 Sibaguri……… 176


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Daftar Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi... 131

2. Deskripsi Persentase Pemahaman Masyarakat DUGterhadap LFBPD Gabungan Tiga Generasi Usia ≥ 60 Tahun, Usia 25-59 Tahun, Usia 12-24 Tahun...139

3. Deskripsi Persentase Deskripsi Persentase pemahaman Masyarakat DUG Kelompok Usia 60 Tahun terhadap LFBPD...144

4. Deskripsi Persentase Pemahaman Masyarakat DUG Kelompok Usia 25-60 Tahunterhadap LFBPD... 149

5. Deskripsi Persentase Deskripsi Persentase pemahaman Masyarakat DUG Kelompok Usia 12-24 Tahun terhadap LFBPD ...154

6. Rangkuman Persentase Pemahaman Masyarakat DUG OlehTiga Generasi(Usia ≥ 60 Tahun, Usia25-60 Tahun, Usia 12-24 Tahun)terhadap LFBPD...159

7. Daftar Pertanyaan LFBPD DUG... 167

8. Biodata Informan ... 172

9. Biodata Responden ... 173


(19)

DAFTAR SINGKATAN

BPD : Bahasa Pakpak Dairi BI : Bahasa Indonesia BBT : Bahasa Batak Toba MPD : Masyarakat Pakpak Dairi DUG : Desa Uruk Gedang

LFBPD : Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi JP : Jumlah Pemahaman

LF : Leksikon Flora


(20)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas perubahan fungsi sosioekologis leksikon flora bahasa Pakpak Dairi di Desa Uruk Gedang Kabupaten Dairi melalui perspektif ekolinguistik. Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan leksikon flora bahasa Pakpak Dairi yang ada di Desa Urug Gedang, gambaran pemahaman masyarakat terhadap leksikon flora, dan relasi semantis yang terbentuk dari leksikon flora Bahasa Pakpak Dairi. Pengumpulan data leksikon flora dilakukan melalui dokumen tertulis, observasi, dan wawancara terhadap beberapa orang informan yang lahir dan tinggal di Desa Urug Gedang serta berprofesi sebagai petani minimal 20 tahun.

Untuk mengetahui gambaran pemahaman masyarakat Urug Gedang terhadap leksikon flora tersebut, maka data leksikon yang telah terkumpul diujikan kepada 60 orang responden yang terbagi atas tiga kelompok usia yaitu 20 orang kelompok usia tua, 20 orang kelompok usia dewasa, dan 20 orang kelompok usia remaja. Pendekatan dan metode penelitian yang digunakan adalah perpaduan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Jumlah data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sebanyak 200 leksikon flora yang terbagi atas lima kelompok yaitu: 1) 63 leksikon kayu; 2) 53 leksikon rambah; 3) 36 leksikon suan-suanen; 4) 23 leksikon buah; dan 5) 25 leksikon rorohen. Seluruh data leksikon diujikan kepada 60 orang responden untuk mengetahui bagaimana gambaran pemahaman mereka terhadap leksikon flora Bahasa Pakpak Dairi.

Dari hasil pengujian diperoleh hasil bahwa telah terjadi penyusutan pemahaman pada setiap kelompok usia responden terutama kelompok usia remaja. Pemahaman responden terhadap leskikon kayu pada usia ≥ 60 tahun adalah 82,4 %, usia 25-59 tahun 64,4 %, dan usia 12-24 tahun 12 %. Pemahaman responden terhadap leksikon rambah pada usia≥ 60 tahun 94,5 %, usia 25-59 tahun 66,4 %, dan usia 12-24 tahun 15,2 %. Pemahaman responden terhadap leksikon suan-suanen paa usia ≥ 60 tahun 100 %, usia 25-59 tahun 97,5 %, dan usia 12-24 tahun 69 %. Pemahaman responden terhadap leksikon buah pada usia

≥ 60 tahun 99,8 %, usia 25-59 tahun 96,1 %, dan usia 12-24 tahun 82,6 %. Pemahaman responden terhadap leksikon rorohen pada usia ≥ 60 tahun 100 %, usia 25-59 tahun 79,6 %, dan usia 12-24 tahun 44,2 %.

Penyusutan ini terjadi pada semua kelompok leksikon. Kelompok leksikon paling rendah dalam pemahaman remaja adalah kelompok leksikon kayu dan rambah. Hal ini disebabkan oleh berubahnya fungsi flora tersebut dalam kehidupan masyarakat, kurangnya pengenalan dari orang tua, rendahnya penggunaan bahasa etnis, dan kondisi sosial Desa Urug Gedang yang multietnis juga memengaruhi rendahnya pemahaman mereka terhadap leksikon-leksikon tersebut. Relasi semantis yang terbentuk dari data leksikon Bahasa Pakpak Dairi adalah antonim, homonim, homograf, hiponim, dan meronim.


(21)

ABSTRACT

This research deals with the changing of socioecology function of flora lexicon in Pakpak Dairi language at Desa Urug Gedang Kabupaten Dairi through ecolinguistic perspective. The purposes of this research are to describe the flora lexicon in Pakpak Dairi Language at Desa Urug Gedang, to know the understanding of people about the flora lexicon and semantic relation that is formed from the flora lexicon in Pakpak Dairi language. The collecting data is done through written document, observation,and interview to some informants who is born and live in Desa Urug Gedang, and the profession is as a farmer more than 20 years.

To know the understanding of people Urug Gedang about flora lexicon, the data which hare been collected are tested to 60 respondents. They are divided into three groups, they are 20 people are old, 20 people are adults, 20 people are teenagers. The approaches and the methods of this research are qualitative and quantitative. The numbers of data are 200 flora lexicon which is devided into five groups, they are: 1) 63 lexicon are woods, 2) 53lexicon are rambah, 3) 36 lexicon are suan-suanen, 4) 23 lexicon are fruits, 5) 25 lexicon are rorohen. All of datas are tested by 60 respondent to know the understanding of people about flora lexicon in Pakpak Dairi language.

The result is that flora lexicon is reduce in every group of age. Especially in teenagers group. The understanding of responden about kayus at ≥ 60 years old is 82,4 %, 25-59 years old is 64,4 %, and 12-24 years old is 12%. The understanding of responden about rambah at ≥ 60 years old is 94,5 %, 25 -59 years old is 66,4 %, and 12-24 years old is 15,2%. The understanding of responden about suan-suanen at ≥ 60 years old is 100 %, 25-59 years old is 97,5 %, and 12-24 years old is 69%. The understanding of responden about buah at ≥ 60 years old is 99,8 %, 25-59 years old is 96,1 %, and 12-24 years old is 82,6%. The understanding of responden about rorohen at ≥ 60 years old is 100 %, 25-59 years old is 79,6 %, and 12-24 years old is 44,2%.

The lowest understanding is wood and rambah lexicon. It is caused by the changing of flora function around the people, parents did not introduce to the children, the using of culture language is low, and social function of Desa Urug Gedang is multiethnics that is influence the understanding is low, semantic relation is formed by lexicon data in Pakpak Dairi Lamguage, they are antonymy, homonymy, homography, hyponymy, and meronymy.


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan yang pesat yang terjadi dewasa ini, baik perkembangan waktu dan dinamika spasial sosioekologis yang menjadi ruang hidup bahasa itu membawa perubahan kehidupan sosial dalam tata hidup masyarakat pemakai bahasa (masyarakat tutur), dan faktor ini menjadi penentu pula terhadap perubahan, pergeseran, dan “peminggiran” bahasa Pakpak Dairi (selanjutnya disingkat BPD). Istilah dalam BPD yang mulai mengalami pergeseran itu berhubungan dengan sosioekologisnya. Hal itu terjadi karena munculnya istilah-istilah dari luar BPD yang dalam hal ini adalah bahasa Indonesia (BI) dan Bahasa Batak Toba (BBT). Jika lingkungan hidup berubah, bahasa yang hidup dalam masyarakat penutur pun berubah seiring dengan perjalanan waktu (Lindo dan Bundsgaard 2000:10-11).

Fenomena yang dapat diamati menjadi sebab tergerusnya istilah-istilah/leksikon tentang lingkungan adalah perkembangan teknologi yang pesat, tercemarnya lingkungan (pencemaran tanah akibat penggunaan pestisida), pembakaran dan penebangan hutan, dan alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman warga secara besar-besaran, membawa dampak buruk terhadap kebertahanan flora. Jika hal ini terus dibiarkan akan berdampak pada perubahan bahasa, baik pergeseran maupun penyusutan, dan pada akhirnya akan mengakibatkan hilangnya leksikon dari pemahaman komunitas penuturnya.


(23)

Hal ini didapat dari penelitian awal yang dilakukan.Salah satu masalah tersebut misalnya semakin langkanya konteks penggunaan bahasa-bahasa etnik dalam ranah kehidupan tradisional karena digusur oleh penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam kegiatan sosial, budaya, dan teknologi tentu akan menyebabkan rendahnya frekuensi penggunaan, pudarnya konteks, dan merosotnya mutu penggunaan serta hilangnya penggunaan bahasa etnik sebagai bahasa ibu. Semakin banyaknya leksikon pasif (leksikon-leksikon tidak digunakan lagi dalam konteks kalimat dan wacana) berarti juga tidak dipakai dalam konteks sosial dalam wujud wacana

Sebagai bahasa daerah, kedudukan BPD dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai bahasa komunikasi bagi para penutur dari kelompok etnik yang sama, bahasa daerah berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat daerah, sebagai sarana pendukung kebudayaan daerah, dan sebagai pendukung bahasa dan sastra daerah. Kedudukan bahasa daerah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional, sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah, sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa nasional, dan sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelengaraan pemerintah daerah (lihat Alwi, 2001).

Sebagai etnis awal yang mendiami wilayah Kabupaten Dairi, etnis Pakpak Dairi menghadapi kenyataan hadirnya etnis pendatang yang membawa pengaruh sosial dan budaya. Kebudayaan lain ini tentu memiliki bahasa sendiri pula. Konsekuensi yang dihadapi masyarakat Pakpak Dairi (MPD) adalah munculnya


(24)

fenomena multikultural dan multibahasa. Dalam lingkungan masyarakat multikultural dan multibahasawan seperti di Dairi, MPD diduga mengalami benturan-benturan sosio-budaya yang berimbas pada aspek pemakaian bahasa. Warisan budaya yang tidak dijaga mengalami kepunahan dan mengakibatkan hilangnya berbagai ikon leksikal (lihat Adisaputra, 2011).

Dalam kegiatan komunikasi antaretnis, masyarakatnya menggunakan BI dan BBT, sedangkan untuk berkomunikasi interetnis mereka menggunakan BPD. Karena komposisi penduduknya yang heterogen, fungsi dan kedudukan BPD menunjukkan gejala yang menurun (lihat Tumanggor, 2011).

Sukses tidaknya penggunaan bahasa bergantung pada sikap pemakai bahasa terhadap perkembangan segala aspek kehidupan dan juga sikap terhadap kehadiran sebuah kebudayaan lain. Sikap MPD yang kurang menghargai bahasanya menjadi masalah utama. Masyarakat Pakpak kurang bangga dan merasa rendah diri menggunakan bahasa daerahnya, sehingga dalam pergaulannya, mereka lebih banyak menggunakan BI atau BBT (lihat Tumanggor, 2011:4).

Tataran kebahasaan yang paling cepat mengalami perubahan adalah tataran leksikon. Ada tiga dimensi yang memengaruhi perubahan ini, yaitu dimensi ideologis, kemasyarakatan atau sosiologis, dan biologis (lihat Widayati, 2012:1). Fenomena perubahan bahasa ini terjadi pada semua bahasa. Salah satu bahasa yang mengalami perubahan akibat perkembangan masyarakat tuturnya adalah BPD.


(25)

Bahasa sebagai fungsi sosial akan mudah mangalami perubahan akibat perkembangan teknologi, masuknya unsur asing, bergantinya bahasa yang digunakan masyarakat penuturnya. Bahasa sebagai fungsi sosial dapat diamati pada lingkungan sebagai tempat hidupnya bahasa itu. Salah satu lingkungan yang diamati misalnya lingkungan flora. Pada MPD lingkungan flora mulai menampakkan fungsinya dalam masyarakat penuturnya. Perubahan-perubahan ini dapat diamati dari, pertama; kondisi sosioekologis MPD yang berubah berupa perubahan budaya tradisional ke budaya modern atau perubahan ekosistem, kedua; adanya kesenjangan dan ketimpangan pengetahuan, pemahaman, dan penggunaan bahasa etnik antara orang tua kepada anak atau kepada generasi muda. Hal tersebut berkaitan seperti yang diungkapkan Mbete (2013:2) bahwa semakin langkanya register dan konteks penggunaan bahasa Pakpak Dairi dalam ranah kehidupan tradisional (karena digusur oleh kegiatan budaya dan teknologi modern yang lebih kerap berbahasa Indonesia dan bahasa asing, menyebabkan rendahnya frekuensi penggunaan, pudarnya konteks, dan merosotnya mutu penggunaan serta hilangnya register bahasa etnik sebagai bahasa ibu.

Penelitian awal yang diakukan untuk memperoleh data sebagai bukti terjadinya perubahan, pergeseran, penyusutan BPD, beberapa kata yang dulu sudah umum dipakai tetapi sekarang sudah jarang digunakan. Misalnya, endet (pohon yang daunnya dimanfaatkan sebagai obat gula), panggaben (sejenis pohon yang buahnya untuk bumbu masakan; biasa juga digunakan anak-anak sebagai peluru meriam-meriam kecil), sangkal sempilit (tumbuhan yang biasa ditanam di kuburan), cipurpuren leto(rumput berdaun halus dan biasa dibuat jadi sapu),


(26)

sapilpil(paku), gomet (sejenis pohon yang daun sebelah bawahnya putih)

Pergeseran dan penyusutan sejumlah kosakata BPD terbukti dari tidak dikenal dan tidak digunakannya lagi sejumlah leksikon/kosakata oleh sejumlah penutur. Kondisi ini dapat diamati pada komunitas MPD dengan berbagai latar belakang kelompok usia, yaitu kelompok usia remaja, kelompok usia produktif, dan kelompok usia tua. Inilah yang menjadi alasan utama pemilihan topik ini, bagaimana tingkat pemahaman leksikon flora pada komunitas MPD dari berbagai kelompok usia tersebut. Dapat diasumsikan bahwa perubahan lingkungan sosioekologis akan akan berdampak pada perubahan pemahaman mereka tentang leksikon flora. Hal itu terjadi karena hilangnya referen yang mengacu pada pemahaman leksikon tersebut. Masalah ini akan berdampak pada hilangnya sejumlah kosa kata dari bahasa mereka.

dan banyak lagi leksikon lain yang sudah sangat jarang digunakan dalam kehidupan penutur masyarakat BPD. Kondisi ini tentu akan mengancam keberadaan leksikon tersebut di tengah-tangah kehidupan MPD. Dengan demikian, eksistensi leksikon tersebut akan semakin tergerus oleh kurangnya penggunaan leksikon-leksikon flora dalam komunikasi sehari-hari yang bisa berakibat lebih fatal yaitu menuju ke arah kepunahan karena leksikon tersebut tidak berhubungan lagi dengan aktivitas masyarakat tuturnya. Tidak dikenalnya referen dari suatu leksikon akan berdampak pada hilangnya konsep leksikal tumbuhan itu dari pemahaman penuturnya.

Alasan kedua adalah wilayah desa Uruk Gedang (selanjutnya disingkat DUG) yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang suku yang berbeda


(27)

(multikultural) sehingga dapat diasumsikan bahwa keberagaman suku tersebut akan memengaruhi penggunaan bahasa, yaitu BI dan BBT. Sebagai contoh, leksikon flora ‘pinus’ tidak ada dalam BPD, namun ada dalam BI. Contoh lain leksikon flora ‘andaliman’juga tidak ada dalam BPD. Leksikon tersebut hanya ada dalam BBT. Leksikon ‘pinus’ dan ‘andaliman’ yang digunakan oleh sebagian penutur merupakan akibat dari situasi lingkungan yang dihuni oleh masyarakat dari budaya dan bahasa yang berbeda. Dampaknya, leksikon tersebut lebih dikenal oleh guyub tutur BPD.

BPD sebagai salah satu bahasa daerah yang menjadi aset budaya masyarakat penuturnya layak dikaji untuk merekam seberapa besar perubahan dan pergeseran BPD akibat perubahan ruang hidup bahasa tersebut. Fokus lingkungan sekitar lereng hutan menjadi pengamatan karena masyarakat penutur BPD di DUG Kabupaten Dairi berada di daerah pegunungan dan perbukitan.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Jenis leksikon flora BPD apa saja yang terdapat di DUG?

2) Bagaimana relasi semantis yang terbentuk pada LFBPD di DUG?

3) Bagaimanakah tingkat pemahaman masyarakat DUG terhadap leksikon flora bahasa Pakpak Dairi (LFBPD)?


(28)

1.3 Tujuan

Penelitian memegang peranan penting dalam memperoleh pengetahuan baru dalam memecahkan masalah. Penelitian baru akan menambah ragam penelitian yang sudah ada sebagai usaha untuk memecahkan berbagai masalah.

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menenemukan fakta tentang hubungan sosio-ekologis dengan pergeseran dan penyusutan BPD dari fungsi sosioekologisnya dalam tiap generasi khususnya di DUG Kabupaten Dairi.

1.3.2 Tujuan Khusus

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah:

1) Mendeskripsikan jenis leksikon flora BPD di DUG.

2) Mendeskripsikan relasi semantis yang terbentuk pada LFBPD di DUG 3) Mendeskripsikan tingkat pemahaman masyarakat DUG terhadap LFBPD

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber masukan kepada peneliti-peneliti lain yang akan membahas masalah perubahan fungsi


(29)

sosioekologis leksikon khususnya LFBPD.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dokumentasi tentang leksikon flora pada MPD.

3) Memberikan sumbangan bagi khazanah ilmu bahasa, linguistik, khususnya kajian ekolinguistik.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara teoritis manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1) Penelitian ini dapat memperkenalkan BPD kepada masyarakat khususnya LFBPD.

2) Sebagai informasi tentang penelitian baru tentang perubahan fungsi sosioekologisLFBPD

3) Penelitian ini dijadikan sebagai sumber dalam upaya pembinaan dan pemertahanan leksikon BPD.

1.5 Definisi Istilah

Istilah-istilah dalam tulisan ini memiliki makna yang berbeda dengan ilmu di luar linguistik. Oleh karena itu penggunaan istilah dalam tulisan ini ditinjau berdasarkan konsep ekolinguistik, istilah tersebut adalah:

1) Ekologi adalah ilmu yang mempelajari tumbuhan dan hewan, sebagai individu dan bersama-sama dalam populasi dan komunitas biologis, dalam


(30)

kaitannya dengan lingkungan fisik, kimia, dan biologi karakteristik lingkungan mereka (Ricklefs, 1976:1, bdk. Fill dan Muhlhausler, 2001:5). 2) Ekolinguistik adalah sebuah ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu yang

merupakan payung untuk penelitian bahasa yang dikaitkan antara manusia sebagai pemakai bahasa dan lingkungan (Haugen 1972:325 dalam Lindo dan Bundsgaard (eds) 2000:9). bdk. Fill 2001:126 dalam Lindo dan Bundsgaard (eds) 2000:40)

3) Leksikon adalah komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya, sedangkan perbendaharaan kata lebih ditekankan pada kekayaan kata yang dimiliki seseorang atau suatu bahasa (Sibarani, 1997:4 bdk. Booij 2007:16).

4) Flora adalah keseluruhan kehidupan jenis tumbuh-tumbuhan suatu habitat, daerah, atau strata geologi tertentu (Wikipedia).

5) Semantik Leksikal menelaah makna suatu kata atau kajian yang membahas hubungan antara lambang bahasa dengan objek yang merupakan wadah penerapan lambang tersebut (referen) (Pateda, 2001:74).

6) Relasi Semantis adalah hubungan kemaknaan antara sebuah kata atau satuan bahasa dengan kata atau hubungan struktural diantara kata-kata (Geeraerts, 2010: 52). Relasi semantis ini dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, dan ketercakupan makna. Dalam hal ini relasi


(31)

semantis dapat dilihat dari bentuk relasi leksikal, seperti homonim, polisemi, sinonim, antonim, hiponim, dan meronim.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori-Teori yang Relevan 2.1.1 Ekolinguistik

Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa. Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik berawal dari pemikiran Haugen bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa (Fill, 2001:44).

Ekolinguistik menjelaskan fenomena bahasa dengan parameter ekologi. Einer Haugen seorang tokoh paradigma linguistik pertama pada 30 tahun yang telah mengkombinasikan bahasa dengan ekologi. Dijelaskan bahwa ekologi bahasa adalah ilmu yang mempelajari interrelasi antara bahasa yang ada dalam kognitif manusia dan dalam komunitas yang multilingual. Semenjak itu, ekolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik yang mengembangkan hubungan antara bahasa dan ekologi yang telah didirikan dengan cara yang berbeda dan dengan menggunakan pendekatan, dan metode yang berbeda pula.

Haugen (1970) dalam Mbete (2009:11-12), menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu:

(1) linguistik historis komparatif, (2) linguistik demografi,


(33)

(3) sosiolinguistik, (4) dialinguistik, (5) dialektologi, (6) filologi,

(7) linguistik preskriptif, (8) glotopolitik,

(9) etnolinguistik, linguistik antropologi, ataupun linguistik kultural (cultural linguistics), dan

(10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan.

Jauh sebelum kemunculan Haugen, ekologi sebenarnya telah diperkenalkan pada tahun (1834- 1914)oleh Ernest Haeckel. Secara etimologis, kata ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti house, man’s immediate suroundings. Ricklefs (1976:1) mendefinisikan ekologi adalah ilmu yang mempelajari tumbuhan dan hewan, sebagai individu dan bersama-sama dalam populasi dan komunitas biologis, dalam kaitannya dengan lingkungan-fisik, kimia, dan biologi karakteristik lingkungan mereka.

Menurut Haugen (1972:325) dalam Lindo dan Bundsgaard (eds) (2000:9)Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment. ‘Bahasa ekologi dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antara bahasa tertentu dan lingkungannya.’

Ekolinguistik merupakan sebuah ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu yang merupakan payung untuk semua penelitian bahasa yang dikaitkan antara manusia sebagai pemakai bahasa dan alam sekitarnya (lingkungan). Hal ini senada dengan


(34)

apa yang dikatakan oleh Fill (1993:126, dalam Lindo & Bundsgaard, eds, 2000:40) yang mendefinisikan ekolinguistik sebagai: Ecolinguistics is an umbrella term for ‘[…] all approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology’. ‘Ekolinguistik merupakanistilah payung untuk

Hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat fungsional merupakan pokok pembicaraan utama dalam studi ekologi. Setidaknya ada dua parameter yang dihubungkan, yaitu bahasa dan ekologi (lingkungan). Kombinasi dari kedua parameter tersebut menghasilkan studi yang disebut ekolinguistik. Fill dan Mühlhäusler (2001:2) dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University menyebutkan:

‘[…] semua pendekatan studi bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikombinasikan dengan ekologi.’

“Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times” (p.2).

Pembicaraan di antara para pakar bahasa tentang definisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau di dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap objek kajian ekolinguistik. Pakar-pakar di atas menekankan tujuan mereka kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa-bahasa dan ekologi dari perspektif yang lebih luas.


(35)

Sudut pandang mereka adalah bahwa teori ekologi dan bahasa saling berhubungan. Pandangan terhadap lingkungan yang dibentuk (dan membentuk) semua hubungan antar pesona bahasa yang sangat penting merupakan bagian dari masalah ekologi. Konsepsi/ pandangan bahasa dan ilmu bahasa juga menunjukkan bahwa bahasa (baik yang tertulis maupun lisan) dan lingkungan dianggap sebagai tujuan-tujuan kajian yang potensial.

Secara tradisional ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu eco-critical discourse analysis dan linguistic ecology (Fill dalam Lindo dan Bundsgaard, 2000:9). Yang pertama disebut analisis wacana eko-kritis, sedang yang kedua, linguistik ekologi, yang dalam bahasan ini dipakai istilah ekolinguistik. Analisis wacana eko-kritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula penganalisisan pelbagai wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem. Fokus kajian pada penelusuran gambaran ideologi yang dapat mendukung kelangsungan ekologis.

Dalam perspektif ekolinguistik, perubahan bahasa mencerminkan atau menggambarkan perubahan lingkungan, baik lingkungan budaya maupun lingkungan alam, demikian pula sebaliknya. Berkurang atau menghilangnya biota, fauna atau flora di lingkungan alam dan budaya tertentu mengubah pula pemahaman dan interelasi manusia dengan alam di lingkungan itu.

Kondisi ini pada akhirnya memengaruhi pemakaian bahasa, misalnya penggunaan leksikon flora masyarakat Pakpak Dairi. Masyarakat Pakpak Dairi


(36)

sebagai penutur asli memahami makna leksikon yang digunakan pada kegiatan berkomunikasi antarpenutur dengan menggunakan leksikon yang berasal tumbuhan hutan, gunung, alam, nama-nama binatang karena memang tanaman, benda alam dan binatang tersebut masih ada di lingkungan. Hal ini seiring pula dengan perubahan waktu, dengan menghilangnya tanaman, penghuni hutan, gunung, alam, nama-nama binatang dan leksikon yang berkaitan dengan kehidupan di lingkungan. Dengan demikian, telah terjadi pula penyusutan pemahaman makna leksikal dan fungsinya yang leksikon tersebut disebutkan tapi wujud benda yang bertautan dengan nama tumbuhan nyaris tidak dikenali lagi oleh genarasi muda.

Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (eds) (2001:14) menyebutkan tiga bentuk lingkungan:

1) Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan).

2) Lingkungan ekonomis ‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.

3) Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni.

Lebih lanjut Sapir menjelaskan bahwa secara lahiriah bahasa itu dipengaruhi lingkungan yang melatari pengguna atau pemakai suatu bahasa.


(37)

Lingkungan fisik ragawi tersebut tergambar dalam bahasa-bahasa yang telah dipengaruhi faktor-faktor sosial. Namun, perubahan lingkungan fisik akan lebih terlihat jelas dari kosa kata bahasa tersebut.

Pembahasan utama dalam studi ekolinguistik adalah hubungan antara lingkungan dan bahasa pada ranah leksikon bukan pada ranah bunyi bahasa (fonologi) dan ranah bentuk kata (morfologi). Hubungannya ini dijelaskan lebih rinci oleh Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (2001: 2), yaitu “This interrelation exists merely of the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or morphology.” Keterkaitan ini ada hanya pada tingkat kosa kata dan bukan, pada fonologi atau morfologi. Lebih lanjut Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (2001: 14) menjelaskan hubungannya, yaitu lingkungan fisik dan sosial masyarakat penutur sebuah bahasa akan tercermin dari penggunaan kosa kata bahasa mereka. Kosa kata lengkap sebuah bahasa dipandang sebagai inventaris kompleks dari semua ide, minat yang menyita perhatian masyarakat, misalnya kamus lengkap sebuah suku menyimpulkan karakteristik budaya masyarakatnya yang memanfaatkan itu sehingga tidaklah sulit menemukan contoh-contoh kosakata sebuah bahasa yang digunakan oleh sekelompok penutur tempat mereka berada.

Perubahan bahasa pada tataran leksikon dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan Bundsgaard, 2000:11) yaitu “ideo-logical dimension, socio-logical dimension, and bio-logical dimension.” Pertama, dimensi ideologis berkaitan dengan adanya ideologi masyarakat. Misalnya ideologi kapitalisame dan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan untuk


(38)

tetap mempertahankan, mengambangkan, dan membudidayakan flora yang bernilai ekonomi tinggi untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi; kedua, dimensi sosiologis yaitu berkaitan dengan adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi sosiologis ini, bahasa merupakan wujud praktis sosial yang bermakna; ketiga, dimensi biologis berkaitan dengan adanya keanekaragaman biota secara berimbang dalam ekosistem. Dimensi biologis secara verbal terekam secara leksikon dalam perbendaharaan kata setiap bahasa.

2.1.2Semantik Struktural

Banyak teori tentang makna telah dikemukakan para ahli. Ferdinan de Suassure untuk pertama kali memberikan pandangan ini dengan teori tanda linguistiknya. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa rentetan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian) (Ferdinan de Saussure dalam Chaer, 2007:286). Lebih lanjut, Richard dan Ogdent (1923) dalam Chaer (2007:286) menjelaskan hubungan antara lambang, konsep, dan acuan yang disebut dengan segitiga makna. Dalam bagan tersebut, hubungan antara lambang dan konsep bersifat langsung karena lambang dan konsep adalah masalah di dalam bahasa, sedangkan hubungan antara lambang dan referen bersifat tidak langsung karena lambang adalah masalah dalam bahasa sementara referen merupakan masalah di luar bahasa yang hubungannya bersifat


(39)

arbitrer. Karena bersifat arbitrer, maka kita tidak dapat menjelaskan hubungan kata-kata itu dengan makna yang dimilikinya.

Dalam kajian linguistik, persoalan yang menjadikan makna sebagai bidang kajiannya adalah Semantik. Semantik menelaah hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut (Edward dalam Tarigan, 1985:3). Semantik struktural merupakan pendekatan strukturalis yang dibawa pada ranah semantik leksikalGeeraerts (2010:48). Secara teori dan deskripsi semantik struktural muncul dengan rangkaian hubungan konsep makna strukturalis. Dalam semantik struktural, ada tiga pendekatan yang digunakan, yaitu ranah leksikal, analisis komponen, dan relasi semantis. Dalam hal ini, relasi semantis akan digunakan sebagai kajian teoretis. Relasi semantis mengembangkan ide dari gambaran relasi struktural dalam kata-kata yang berhubungan (Geeraerts, 2010:52)

Makna kata dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam konteks kalimat. Menurut semantik leksikal, makna suatu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Pateda, 2001:74). Sebagai contoh kata daun referennya ‘bagian tanaman yang tumbuh berhelai-helai pada ranting’, dalam bahasa Pakpak Dairi komil referennya ‘jenis tumbuhan semak dengan kontur daun yang lembut biasa untuk makanan kerbau’.

Pendekatan semantik leksikal yang digunakan pada kajian ini adalah pada ranah relasi semantis. Teori yang digunakan untuk menjelaskan relasi semantis


(40)

leksikon flora bahasa Pakpak Dairi adalah teori Saeed (2000:63). Teori relasi semantis menurut Saeed adalah:

1. Homonim

Homonimi adalah bentuk kata secara fonologi sama tetapi maknanya tidak berhubungan (lihat Saeed, 2000:63). Selain homonim, ada juga istilah homograf dan homofon. Homograf merupakan kata yang tulisannya sama tetapi maknanya berbeda. Homofon adalah istilah untuk kata yang pengucapannya sama tetapi maknanya berbeda. Namun, Saeed juga menyebut kedua istilah itu homonim karena perbedaan kedua istilah tersebut bergantung pada perilaku sintaksis dan pengucapannya. Namun beberapa penulis membedakan homograf dengan homofon, misalnya:

a. kata yang tulisan dan pelafalannya sama tetapi maknanya berbeda (homonim), misalnya genting I‘gawat’ dan genting II‘atap’.

b. kata yang tulisannya sama tetapi pelafalan dan maknanya berbeda (homograf), misalnya apel I‘buah’ apel II ‘upacara’.

c. kata yang cara pelafalannya sama, tetapi penulisan dan maknanya berbeda (homofon), misalnya [bank] I ‘lembaga penyimpan uang’ dan [bang] II ‘kakak].

2. Polisemi

Secara leksikologi, homonim dan polisemi memiliki perbedaan(lihat Saeed2000:64. Meskipun keduanya memiliki pengertian yang sama,dalam


(41)

polisemi ada relasi makna yang erat antara kata yang bentuknya dan ucapannya sama. Polisemi diartikan sebagai suatu kata yang memiliki banyak makna. Misalnya kata kepala. Kata kepala dapat bermakna bagian benda sebelah atas, dapat bermakna pimpinan atau ketua, dapat juga bermakna sebagai kiasan atau ungkapan.

3. Sinonim

Menurut Saeed (2000:65) sinonim adalah kata yang berbeda secara fonologi, tetapi memiliki makna yang sama atau hampir sama. Contohnya adalah kata buruk dan jelek merupakan kata yang bersinonim. Hubungan makna antara dua kata bersifat dua arah. Jadi dari contoh dan definisi di atas dapat dikatakan bahwa maknanya kurang lebih sama. Kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih atau tidak bersifat mutlak.

4. Antonim

Antonim merupakan relasi leksikal yang menggambarkan makna yang bertentangan. Maksudnya adalah suatu ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya, kata besar dan kecil. Sama halnya dengan sinonim, hubungan makna antara dua buah kata bersifat dua arah dan maknanya tidak bersifat mutlak.


(42)

5. Hiponim

Saeed (2000:68-69) mengatakan bahwa hiponimi adalah hubungan inklusi. Hiponimi mengacu pada hubungan vertikal dari taksonomi. Hiponim kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih khusus atau disebut kata khusus. Untuk kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih luas disebut hipernim atau kata umum. Namun Saeed menyamakan kedua istilah ini. Contohnya anggrek, melati, anyelir, dan mawar merupakan hiponim dari hipernim kata bunga.

6. Meronim

Meronim adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau keseluruhan hubungan leksikal (lihat Saeed, 2000:70). Misalnya cover dan page adalah meronim dari book. Contoh lain adalah batang, daun, cabang, ranting, dan akar merupakan meronim dari pohon.

pohon

batang daun cabang ranting akar

Gambar 2.1 Meronim ‘pohon’

2.1.3 Sosioekologis

Sosioekologis memadukan dua sudut pandang yang berbeda namun saling berhubungan. Kedua sudut pandang tersebut adalah ‘sosio atau sosial’ dan ‘ekologi’. Sosial merupakan segala perilaku manusia yang menggambarkan hubungan nonindividualis. Pengertian sosial ini merujuk pada hubungan manusia


(43)

dalam kemasyarakatan, hubungan antarmanusia, hubungan manusia dengan kelompok, serta hubungan antara manusia dengan organisasi.

Pengertian sosial tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, karena memang diarahkan pada seluk beluk kehidupan manusia bersama kelompok di sekitarnya. Pengertian ini juga dapat diabstraksikan ke dalam perkembangan-perkembangan kehidupan manusia, lengkap dengan dinamika serta masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitarnya.

Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dengan dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai satu kesatuan atau sistem dengan lingkungannya (Ernest Heackel, 1834-1914).

Ekologi merupakan studi yang menyelidiki interaksi organisme dengan lingkungannya. Hal ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hubungan timbal balik tersebut. Dalam studi ekologi digunakan metode pendekatan secara menyeluruh pada komponen-komponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Ruang lingkup ekologi berkisar pada tingkat populasi, komunitas, dan ekosistem

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sosioekologis merupakan suatu kajian yang membahas hubungan antara lingkungan dengan masyarakat, mempelajari makhluk hidup sebagai satu kesatuan atau sistem dengan lingkungannya dan masyarakat serta masalah-masalah sosial yang ada di dalamnya.


(44)

2.2 Penelitian yang Relevan

Kajian mengenai ekolinguistik sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti khususnya ranah leksikon. Beberapa penelitian tersebut menjadi sumber acuan dalam penelitian ini. Pertama, Mbete dan Adisaputra (2009) dalam penelitiannya “Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja Stabat, Langkat” menggunakan pendekatan ekolinguistik dan semantik leksikal. Metode yang dignakan yaitu metode kualitatif deskriptif. Dari hasil penelitian mereka didapatkan bahwa penguasaan leksikon bahasa Melayu Langkat yang diujikan kepada responden remaja sangat rendah. Hal itu disebabkan karena kurangnya interaksi kelompok remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu; langka dan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam pikiran penutur; dan pemahaman (pengertian) leksikal oleh para penutur tentang entitas itu bukan dalam bahasa Melayu Langkat, tetapi dalam bahasa lain. Dalam penelitian mereka, terdapat 150 leksikon yang diujikan kepada responden. Adapun tujuannya adalah untuk mendeskripsikan pemahaman responden terhadap leksikon yang berhubungan dengan lingkungan mereka dalam bahasa mereka. Kontribusi yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah teori dan metode. Teori-teori dan metode yang digunakan dalam penelitian tersebut dapat digunakan peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian ini.

Usman (2010) dalam tesisnya “Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik”, menggunakan metode penelitian kualitatif. Temuan dari penelitian tersebut adalah masyarakat Gayo memiliki bentuk dan makna serta muatan tutur tersendiri yang dalam perkembangannya tutur tersebut jarang


(45)

digunakan, dan sudah mulai ditinggalkan. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Secara internal adalah faktor yang bersumber dari masyarakat Gayo sendiri selaku masyarakat pengguna tutur, dan faktor eksternal adalah pengaruh yang berasal dari luar masyarakat Gayo yang membawa pengaruh penyusutan tutur tersebut. Penelitian Yusradi Usman tesebut memberikan kontribusi dalam hal kajian ekolinguistik. Penelitian yang dilakukan oleh Yusradi Usman tersebut memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Perbedaannya adalah penelitian Yusradi Usman mengenai tutur masyarakat Gayo sedangkan penelitian ini mengenai leksikon flora bahasa Pakpak Dairi.

Sukhrani (2010) dalam tesisnya “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedananuan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik” dengan metode penelitian yang digunakan oleh Sukhrani adalah metode penelitian kualitatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada 72 orang responden yang berusia 15-46 tahun, terungkap gambaran barupa terjadi perbedaan pemahaman nomina kedanauan di setiap kecamatan untuk semua kelompok usia. Perbedaan pemahaman nomina kedanauan tersebut berkiatan dengan perbedaan kontur alam danau, perluasan kata, pola hidup praktis dan instan yang disebabkan oleh kemunculan peralatan modern, introdusi biota dari luar. Dalam penelitian ini diperoleh hasil 80,6 % penutur masih mengenal dan menggunakan leksikon nomina dalam lingkungan Lut Tawar dalam berkomunikasi sehari-hari.

Kontribusi yang diperoleh dari penelitian Sukhrani adalah dalam hal pengertian ekolinguistik, leksikon, dan semantik leksikal. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah penelitian tersebut membahas mengenai


(46)

leksikon nomina dengan objek kajian bahasa Gayo sedangkan dalam kajian membahas mengenai leksikon flora pada bahasa Pakpak Dairi.

Amri (2011) dalam penelitiannya “Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan: Pemahaman Leksikon Remaja di Padangsidempuan” menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Salah satu tujuan dalam penelitian tersebut adalah untuk mengetahui pemahaman leksikon tradisi lisan komunitas remaja di Padangsidempuan. Dalam upacara adat di Padangsidempuan, setelah dianalisis leksikon yang berasal dari lingkungan sebanyak 264 kata yang terdiri dari 15 kelompok leksikon, yaitu 1) leksikon tumbuhan; 2) leksikon alam; 3) leksikon pronnomina; 4) leksikon pronomina kekerabatan; 5) leksikon pronomina raja/adat; 6) leksikon bahasa adat; 7) leksikon ukuran waktu; 8) leksikon ukuran waktu dan arah; 9) leksikon perhitungan/angka; 10) leksikon ukuran sifat; 11) leksikon ukuran bentuk; 12) leksikon hewan; 13) leksikon warna; 14) leksikon ukuran tokoh/status kekeluargaan; dan 15) leksikon tumbuhan pada frasa dan klausa. Kemudian, seluruh leksikon tersebut diujikan kepada 240 orang remaja. Hasil yang didapatkan adalah, remaja Padangsidempuan mengalami pentyusutan pemahaman pada semua kelompok leksikon. Penyebabnya adalah, remaja tidak memahami upacara perkawinan ada Tapanuli Selatan, baik itu dari segi jenis maupun urutan/kronologis. Lembaga adat kurang membarikan sosialisasi adat kepada kelompok remaja dan jarangnya pertunjukan /pagelaran budaya adat Padangsidempuan. Kontribusi penelitian Amri terhadap penelitian ini adalah teori-teori ekolinguistik, semantik leksikal dan teknik pengolahan data kualitatif. Penelitian tersebut membahas masalah


(47)

pemahaman leksikon remaja sedangkan penelitian ini membahas perubahan fungsi sosioekologis leksikon flora.

Widayati, dkk (2012) dalam penelitian mereka “Perubahan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Asahan” menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan khazanah lingual tataran leksikal yang mempresentasikan kekayaan lingkungan sosioekologis komunitas Melayu Asahan dan mendeskripsikan faktor yang melatari pergeseran dan penyusutan fungsi sosioekologis bahasa Melayu Asahan. Hasil analisis adalah banyak leksikal biota sungai yang sudah tidak dapat ditemukan entitasnya. Nama tumbuhan ada yang masih dikenal dan ada juga sudah tidak dikenal. Kemudian juga leksikal peralatan tradisional, peralatan rumah, dan bagian rumah sudah banyak yang tidak dikenal lagi oleh kelompok penutur muda akibat kemunculuan peralatan yang lebih modern. Kelangkaan leksikon tumbuhan di daerah ini juga dilatari oleh meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang membari dampak terhadap kebertahanan tumbuhan sekitar karena situasi itu tentu mengakibatkan munculnya bangunan-bangunan baru. Jadi, dari penelitian ini diambil kesimpulan bahwa bergeser dan menyusutnya fungsi sosioekologis bahasa Melayu Asahan disebabkan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi penyusutan konsep, dan faktor eksternal meliputi alam; pemukiman; alat-alat modern; dan pencemaran lingkungan. Kontribusinya terhadap penelitian ini adalah dalam hal teori dan teknik analisis. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian tersebut membahas perubahan fungsi


(48)

sosioekologis bahasa Melayu Asahan sedangkan penelitian ini membahas perubahan fungsi sosioekologis leksikon flora bahasa Pakpak Dairi.

Surbakti (2013) dalam tesisnya “Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei: Kajian Ekolinguistik” yang mengkaji masalah leksikon kesungaian Lau Bingei, pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, serta nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei. Teori yang digunakan adalahteori ekolinguistik dan antropolinguistik dan menggunakan metode analisis deskriptip kualitatif. Hasil penelitian diperoleh sebanyak 520 leksikon yang terbagi atas 14 kelompok leksikon yang terdiri dari 409 leksikon nomina dan 111 leksikon verba. Kemudian seluruh leksikon yang dikumpulkan tersebut diujikan dengan menyodorkan 4 kategori pilihan, 1) pernah dilihat, didengar, digunakan; 2) pernah mendengar dan melihat; 3) pernah mendengar saja; 4) tidak dengar dan tidak pernah menggunakan. Keempat kategori pilihan ini diujikan kepada dua kelompok usia, yaitu kelompok usia 15-20 tahun dan kelompok usia 21-45 tahun di 16 kelurahan. Hasil yang diperoleh adalah, pemahaman guyub tutur leksikon nomina kategori A (30,79 %), B (37,94 %), C (13,39 %), D (17,87 %). Sementara, pemahaman guyub tutur terhadap leksikon verba kategori A (51,28 %), B (27,59 %), C ( 13,65 %), dan D (7,46 %). Nilai budaya kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei mengandung nilai sejarah, religius dan keharmonisan, sosial budaya, keseahteraan, dan nilai ciri khas. Sedangkan nilai kearifan lingkungan yang dapat digali adalah nilai kedamaian, dan nilai kesejahteraan dan


(49)

gotong royong. Kontribusi penelitian tersebut terhadap penelitian ini adalah berkaitan dengan teori-teori ekolinguistik, pengolahan data, pembagian kelompok usia responden. Perbedaannya adalah penelitian tersebut membahas leksikon ekologi kesungaian sedangkan penelitian ini membahas tentang fungsi sosioekologis leksikon flora.

2.3 Kerangka Kerja

Gambar 2.2 Kerangka Kerja Teoritis

LEKSIKON

TINGKAT PEMAHAMAN

RELASI SEMANTIS LEKSIKON

FLORA

EKOLINGUISTIK SEMANTIK

STRUKTURAL

TEMUAN ANALISIS DATA


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di pulau Sumatera dan tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di Sumatera Utara dan Aceh, yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Aceh Singkil serta Kota Subulsalam (Provinsi Aceh).

Kabupaten Dairi yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 tahun 1964 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara adalah salah satu dari 33 Kabupaten/Kota yang ada di wilayah Sumatera Utara dengan luas 191.625 hektar atau sekitar 2,69% dari luas Provinsi Sumatera Utara yang berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir (sebelah timur), Kabupaten Aceh Selatan (sebelah barat), Kabupaten Karo dan Kabupaten Aceh Tenggara (sebelah utara), serta Kabupaten Pakpak Bharat (sebelah selatan).

Keadaan topografinya yang terdiri dari pegunungan dan perbukitan serta udara yang sangat sejuk menjadi salah satu faktor penentu mayoritas pekerjaan masyarakat Dairi pada umumnya yang kini adalah petani. Beberapa komoditas pertanian unggulan dari Kabupaten Dairi antara lain yaitu Nilam, Kemenyan, Jagung, Kopi, Umbi-Umbian, Sayur-mayur, Pisang, Nangka, dan Kentang.


(51)

Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah penelitian tersebut akan dilakukan. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis mengambil lokasi di Kecamatan Berampu.

Gambar 3.1 Peta Kecamatan Berampu

Kecamatan Berampu terdiri atas lima kelurahan/desa, yaitu (1) Kelurahan/Desa Banjar Toba, (2) Kelurahan/Desa Berampu, (3) Kelurahan/Desa Karing, (4) Kelurahan/Desa Pasi, (5) Kelurahan/Desa Sambaliang, namun kajian ini memilih lokasi di Kelurahan Karing DUG. Data jumlah penduduk Kelurahan Karing DUG akan terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 3.1

Jumlah Penduduk Kecamatan Berampu 2013 Sumber: Kantor Kecamatan Berampu

No Desa Luas

(KM2 Jumlah KK ) (Jiwa) Jumlah Penduduk LK (Jiwa) PR (Jiwa) Jumlah (Jiwa)

1 Karing 14,65 720 1752 1786 3538

2 Sambaliang 7,80 244 542 551 1093

3 Pasi 12,50 339 799 863 1662

4 Berampu 2,40 405 915 975 1891

5 Banjar Toba 3,50 114 288 295 583

KARING PASI BERAMPU SAMBALIANG BANJAR TOBA


(52)

Alasan penulis memilih lokasi ini karena kondisi geografisnya yang berada di daerah pegunungan yang kaya akan flora. Kemudian, masyarakat DUG adalah masyarakat yang heterogen, sehingga memengaruhi penggunaan leksikon flora dalam kegiatan komunikasi sehari-hari yang dulunya menggunakan bahasa Dairi, sekarang sudah dipengaruhi bahasa yang lain (Batak Toba dan bahasa Indonesia). Data penduduk DUG berdasarkan etnis akan terlihat pada tabel berikut:

Tabel 3.2

Data Penduduk DUG Berdasarkan Etnis 2013 Sumber: Kantor Kecamatan Berampu

No Etnis Jumlah Penduduk

LK (Jiwa)

PR (Jiwa)

Jumlah (Jiwa)

1 Pakpak 580 593 1173

2 Toba 1159 1185 2344

3 Nias 4 2 6

4 Melayu 5 - 5

5 Sunda 0 1 1

6 Jawa 3 4 7

7 Bugis 1 1 2

Jumlah 1752 1786 3538

Komunitas terkecil pada suku Pakpak di DUG disebut “Lebuh” dan “Kuta”. Lebuh, merupakan bagian dari “Kuta” yang dihuni oleh klan kecil, dan Kuta adalah gabungan dari “Lebuh-Lebuh” yang dihuni oleh suatu klan besar (marga) tertentu, yang dianggap sebagai penduduk asli, sementara marga tertentu dikategorikan sebagai pendatang. Orang Pakpak menganut prinsip Patrilineal dalam memperhitungkan garis keturunan dan pembentukan klan (kelompok kekerabatan)nya yang disebut marga. Dengan demikian berimplikasi terhadap sistem pewarisan dominan diperuntukkan untuk anak laki-laki saja. Bentuk


(53)

perkawinannya adalah eksogami marga, artinya seseorang harus kawin diluar marganya dan kalau kawin dengan orang semarga dianggap melanggar adat karena dikategorikan sebagai sumbang (incest). Suku Pakpak sering dikelompokkan menjadi sub etnis Batak.

Ada lima SuakSuku Pakpak (terbagi lima wilayah), yaitu: Suak Simsim, Suak Keppas, Suak Pegagan, Suak Kelasen, dan Suak Boang. Adapun marga-marga pakpak yang menetap dan berdomisili di setiap Suak tersebut antara lain: 1) Marga Pakpak Simsim: Berutu, Padang, Bancin, Sinamo, Manik, Sitakar,

Kebeaken, Lembeng, Cibro, Banurea, , Boangmanalu.

2) Marga Pakpak Keppas: Ujung, Capah, Kudadiri, Maha , Ujung, Angkat, Bako, Bintang, Kudadiri, Maha, Capah, Sinamo dan Gajah Manik.

3) Marga Pakpak Kelasen: Tumangger, Tinambunen, Kesogihen, Meka, Maharaja, Ceun, Mungkur, Siketang, Anakampun, Kasogihen.

4) Marga Pakpak Pegagan: Matanari, Maibang, Manik, Lingga 5) Marga Pakpak Boang: Saraan, Sambo, Bancin.

Suak Pakpak yang paling banyak menghuni di DUG ini adalah Suak Keppas. Suak Keppas ini meliputi Kecamatan Sidikalang, Kecamatan Berampu, Kecamatan Siempat Nempu, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kecamatan Sitinjo, Kecamatan Parbuluan, dan Kecamatan Lae Parira. Masyarakat SuakKeppas ini, pada dasarnya hidup pada bidang pertanian. Seperti kebanyakan masyarakat yang hidup di daerah dataran tinggi, rata-rata masyarakatnya memiliki kegiatan sehari-hari sebagai petani. Beberapa memilih bercocok-tanam sayur-sayuran. Selain itu, beberapa pada tanaman keras seperti kopi arabica.


(54)

3.2 Pendekatan dan Metode Penelitian

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah perpaduan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kaulitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang temuannya tidak diperoleh melali prosedur statistik atau bentuk hitungan.

Metode deskriptif kualitatif sangat tepat digunakan dalam kajian ini karena metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak; selanjutnya metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden; dan lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama pola-pola nilai yang dihadapi (lihat Moleong, 2007:9). Dengan demikian, metode kualitatif sangat tepat digunakan untuk menemukan data, menganalisis, serta melihat fenomena yang terjadi di lingkungan DUG. Sementara itu, pendekatan kuantitatif digunakan untuk menguji pemahaman leksikon flora MPD yang dibagi dalam tiga kelompok usia dengan tujuan untuk memperoleh persentasi penyusutan atau pergeseran leksikon flora BPD.


(55)

3.3 Data dan Sumber Data

Data merupakan catatan atas kumpulan fakta. Pernyataan ini adalah hasil pengukuran atau pengamatan suatu variabel yang bentuknya dapat berupa angka, kata-kata, atau citra.Data dalam penelitian ini adalah leksikon/kata-kata flora.

Untuk mendapatkan data dalam penelitian kualitatif, ada tiga sumber data yang dapat dimanfaatkan (lihat Mallison dan Blake (1981: 12-18), pertama:data primer (data utama); kedua:data sekunder (data kedua); dan ketiga: data intuisi penulis. Data primer adalah data lisan: hasil wawancara dan percakapan dari beberapa orang informan kunci guyub tutur BPD di DUG, Kecamatan Berampu, Kabupaten Dairi. Informan yang dimaksud dalam penelitian ini harus memenuhi beberapa kriteria. Hal ini dimaksudkan agar memperoleh informasi yang lebih akurat/sahih mengenai leksikon/kata-kata flora pada MPD. Kriteria yang dimaksud adalah:

Lofland dan Lofland dalam Moleong (2007:157) mengatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.”

a) berjenis kelamin pria atau wanita b) usia di atas 65 tahun dan

c) lahir dan dibesarkan di desa itu

d) berprofesi sebagai petani minimal 20 tahun e) menguasai bahasa Pakpak Dairi


(56)

Data sekunder adalah buku-buku BPD seperti mitos cerita rakyat BPD, buku cerita BPD, Buku Ende BPD, Bibel BPD dan buku-buku BPD yang berhubungan dengan lingkungan Kabupaten Dairi. Dalam penelitian ini tidak menggunakan data intuisi karena penulis bukan penutur asli BPD.

3.4 Prosedur Pengumpulan dan Perekaman Data

Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap (Mahsun, 2006:74). Metode simak digunakan untuk memperoleh data tulis. Selanjutnya, kegiatan yang dilakukan adalah menyimak penggunaan leksikon pada MPD dari informan. Teknik dasar metode simak adalah teknik sadap. Dalam upaya memperoleh data dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa oleh informan, baik wawancara maupun penggunaan bahasa sehari-hari. Bentuk data yang disadap adalah daftar leksikon flora pada MPD.

Dalam praktiknya, metode ini memiliki teknik lanjutan, teknik yang dimaksud adalah:pertama: teknik simak libat cakap, maksudnya adalah terlibat langsung dalam percakapan dengan informan; kedua: teknik simak bebas libat cakap, dalam teknik ini tidak terlibat langsung dalam percakapan; dan ketiga: teknik rekam adalah merekam pembicaraan informan. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kemudahan dalam melakukan pengecekan kembali kebenaran data yang telah dicatat sebelumnya.

Metode kedua adalah metode cakap. Penggunaan metode ini bertujuan untuk mendapatkan data lisan. Metode ini memiliki dua teknik, yaitu teknik dasar


(57)

dan teknik lanjutan. Teknik dasar metode ini adalah teknik pancing. Pelaksanaan teknik ini adalah dengan melakukan percakapan kepada informan dengan sumber pancingan yang sudah disiapkan atau atau secara spontanitas, maksudnya pancingan dilakukan ditengah-tengah percakapan. Hal ini dilakukan untuk memunculkan data leksikon flora yang diharapkan. Teknik lanjutan dalam metode cakap terbagi atas empat bagian teknik, yaitu: pertama, teknik cakap semuka, dengan terlibat langsung dalam percakapan dengan informan; kedua, teknik cakap taksemuka yaitu melalui kuesioner; ketiga: teknik rekam yang digunakan untuk merekam data leksikon flora; dan keempat: teknik catat yang digunakan dalam mencatat semua data yang diperoleh dari informan.

Selain informan, data dalam kajian ini juga diperoleh dari responden dengan menyebarkan daftar tanyaan. Daftar tanyaan disusun dari daftar leksikon flora yang diperoleh dari informan. Responden dibagi dalam tiga kelompok usia, kelompok pertama adalah kelompok remaja (12 – 24 tahun); kelompok dewasa (25 – 59 tahun); dan kelompok tua (≥ 60 tahun). Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini sebanyak 60 orang. Rincian jumlah responden berdasarkan kelompok usia yaitu kelompok usia remaja (12-24 tahun) sebanyak 20 orang, kelompok usia dewasa (25-59 tahun) sebanyak 20 orang, dan kelompok usia tua(≥ 60 tahun) sebanyak 20 orang. Tujuan pembagian informan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pemahaman leksikon flora ketiga kelompok usia tersebut.


(58)

3.5 Metode Analisis Data

Analisis data dapat dilakukan dengan mengorganisasikan data, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari serta membuat kesimpulan yang akan diceritakan kepada orang lain. Pada penelitian ini, data dianalisis menggunakan metode padan, yaitu metode analisis bahasa yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13).

Metode padan yang digunakan pada tahapan pengkajian data seperti yang telah disebutkan di atas memiliki beberapa teknik. Teknik yang digunakan dalam metode padan dalam penelitian ini adalah teknik dasar. Teknik dasar merupakan teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP. Alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto, 1993:21). Metode ini digunakan untuk menjawab permasalahan pertama yaitu mendeskripsikan sejumlah leksikon flora yang terdapat dalam BPD.

Untuk menjawab permasalahan kedua yaitu relasi semantis yang terbentuk dari LFBPD digunakan metode padan referensial dengan teknik hubung banding. Analisis makna dibatasi pada relasi semantis yaitu sinonim, antonim, homonim, hipernim, dan meronim. Tujuan menerapkan teori semantik leksikal, hasil analisis dari permasalahan pertama dan kedua digunakan sebagai data untuk permasalahan ketiga ini. Pergeseran dan penyusutan pemahaman BPD diuraikan dalam bentuk hubungan leksikal.

Untuk menjawab permasalahan ketiga menggunakan metode kuantitatif. Variabel kelompok usia digunakan untuk melihat pemahaman leksikon flora pada


(59)

kelompok usia yang berbeda. Rumus yang digunakan untuk mendapat persentase pemahaman ketiga kelompok responden itu adalah:

P x 100 %

Ket: P : angka persentase f : jumlah temuan

n : total informan (Sudjana, 2004:129)

Sebelum dihitung dengan rumus tersebut, terlebih dahulu data diuji dengan menggunakan teknik berikut:

Tabel 3.3

Pengujian Pemahaman Masyarakat DUG terhadap LFBPD

No Leksikon Tua Dewasa Remaja 1 2 3 1 2 3 1 2 3

1 2 3 dst

Ket: 1: mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah menggunakan

2: tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak pernah menggunakan

3: tidak mengenal, tidak pernah lihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah menggunakan

Dengan cara ini, penggunaan leksikon flora pada masyarakat PD akan terjawab. Teknik inilah yang digunakan dalam menganalisis bagaimana pemahaman masyarakat DUG terhadap leksikon flora bahasa Pakpak Dairi.


(60)

3.6Pemeriksaan dan Pengecekan Keabsahan Data

Dalam penelitian ini, data akan diuji dengan menggunakan teknik triangulasi. Pengunaan teknik ini bertujuan untuk memeriksa keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data. Oleh karena itu, triangulasi ini dilakukan untuk menguji pemahaman peneliti dan informan mengenai hal-hal yang diinformasikan oleh informan kepada peneliti (Bungi, 2003:264).

Triangulasi digunakan sebagai gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Denzin (2009) triangulasi meliputi empat hal, yaitu: (1) triangulasi metode; (2) triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok); (3) triangulasi sumber data; dan (4) triangulasi teori.

Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data dengan cara yang berbeda. Dalam penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara, obervasi, dan survei. Untuk memperoleh kebenaran informasi yang handal dan gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu, menggunakan metode wawancara bebas dan wawancara terstruktur. Atau, peneliti menggunakan wawancara dan obervasi atau pengamatan untuk mengecek kebenarannya. Selain itu, juga menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Melalui berbagai perspektif atau pandangan diharapkan diperoleh hasil yang mendekati kebenaran. Karena itu, triangulasi tahap ini dilakukan jika data atau informasi yang diperoleh dari subjek atau informan penelitian diragukan kebenarannya. Dengan demikian, jika data itu sudah jelas,


(61)

misalnya berupa teks atau naskah/transkrip film, novel dan sejenisnya, triangulasi tidak perlu dilakukan. Namun demikian, triangulasi aspek lainnya tetap dilakukan. Triangulasi antar-peneliti dilakukan dengan cara menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan dan analisis data. Teknik ini diakui memperkaya khazanah pengetahuan mengenai informasi yang digali dari subjek penelitian.

Tetapi perlu diperhatikan bahwa orang yang diajak menggali data itu harus yang telah memiliki pengalaman penelitian dan bebas dari konflik kepentingan agar tidak justru merugikan peneliti dan melahirkan bias baru dari triangulasi.

Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi terlibat (participant obervation), dokumen tertulis, arsip, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto. Tentu masing-masing cara itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan (insights) yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran handal.

Terakhir adalah triangulasi teori. Hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement. Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang televan untuk menghindari bias individual atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi


(62)

teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman untuk menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh.


(63)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Pengantar

Bab ini merupakan bab yang membahas mengenai paparan data dan temuan penelitian. Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian yang telah diperoleh. Bab ini akan memuat hal yang berkaitan dengan masalah-masalah penelitian yang telah dituliskan pada bab I. Masalah penelitian yang dimaksud adalah leksikon flora BPD apa saja yang terdapat di DUG, bagaimana gambaran pemahaman leksikon flora BPD pada MPD di DUG, dan bagaimana relasi semantis yang terbentuk pada leksikon flora BPDdi DUG?

4.2 Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi Desa Uruk Gedang

Pada penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah leksikon flora. Untuk memeroleh daftar leksikon tersebut dilakukan wawancara kepada beberapa orang informan, dan membaca sumber tertulis. Setelah hal itu dilakukan, didapat leksikon flora BPD berjumlah 200 leksikon.

Untuk mempermudah penyajian dan pengujian data leksikon tersebut, maka seluruh leksikon dikelompokkan berdasarkan kategorinya. Setelah dibagi, leksikon flora tersebut terbagi atas lima kelompok leksikon, yaitu (1) leksikon kayu ‘kayu’, (2) leksikon rambah ‘semak’, (3) leksikon suan-suanen ‘tanaman’, (4) leksikon buah ‘buah’, dan (5) leksikon rorohen ‘sayuran


(64)

4.2.1 Leksikon Kayu

Leksikon flora kelompok kayuBPD di DUG terdiri atas 63 leksikon. Berikut ini dilampirkan beberapa data leksikon kayu BPD. Data selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran 1.

abang-abang sejenis pohon berdaun kecil dan bulat, baik untuk kayu bakar

apiapi sejenis pohon yang kayunya merah dan dapat dipakai untuk

membuat papan

aru sejenis pohon yang sangat

rindang, dan keras, biasa dimanfaatkan menjadi bahan

bangunan

baronggang pohon berongga

bintatar sejenis pohon yang kayunya dapat digunakan sebagai alat

bangunan

celmeng sejenis pohon besar yang keras dan berkualitas baik untuk

bahan bangunan

cik-cik sejenis pohon getah gatal di kepala

cingkem kayu air

dalung-dalung pohon yang kayunya berwarna kuning dan baik untuk dijadikan

bahan bangunan

doko-doko sejenis pohon serupa nangka, biasa digunakan sebagai kayu

bakar

endet pohon yang daunnya

dimanfaatkan sebagai obat gula

4.2.2 Leksikon Rambah

Leksikon flora kelompok rambahBPD di DUG terdiri atas 53 leksikon. Berikut ini dilampirkan beberapa data leksikon rambah BPD. Data selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran 1.

alah-alah sejenis rumput yang berdaun lebar, yang dipakai sebagai


(1)

BIODATA INFORMAN

1. Nama : DS

Tempat, Tanggal Lahir : Uruk Gedang, 15 Juli 1924 Alamat : Dusun III Desa Uruk Gedang Pekerjaan : Petani

2. Nama : UK

Tempat, Tanggal Lahir : Uruk Gedang, 21 Maret 1940 Alamat : Dusun III Desa Uruk Gedang Pekerjaan : Petani

3. Nama : MB

Tempat, Tanggal Lahir : Uruk Gedang, 19 September 1946 Alamat : Dusun III Desa Uruk Gedang Pekerjaan : Petani


(2)

Lampiran 9

BIODATA RESPONDEN

Data Responden Kelompok Usia ≥ 60 Tahun

No Nama Pekerjaan

1 RP Petani

2 NP Petani

3 MK Petani

4 RA Petani

5 LA Petani

6 BA Petani

7 BB Petani

8 JS Petani

9 RA Petani

10 HS Petani

11 DP Petani

12 AK Petani

13 SAt Petani

14 FAt Petani

15 KP Petani

16 LL Petani

17 TB Petani

18 IP Peteni

19 RS Petani

20 KB Petani

Responden Kelompok Usia 25-59 Tahun

No Nama Pekerjaan

1 RP Petani

2 RK Petani

3 MA Petani

4 HS Petani

5 HA Petani

6 PA Petani

7 NA Petani

8 MB Petani

9 RA Petani

10 SA Petani


(3)

15 GT Petani

16 TP Petani

17 RA Petani

18 DS Petani

19 AB Petani

20 SA Petani

Responden Kelompok Usia 25-59 Tahun

No Nama Pekerjaan

1 NP Petani

2 RP Petani

3 EA Pelajar

4 MA Pelajar

5 MA Pelajar

6 WK Pelajar

7 MA Pelajar

8 GP Pengangguran

9 JA Pelajar

10 LA Pelajar

11 ST Pelajar

12 RP Pengangguran

13 RK Pengangguran

14 TGK Pengangguran

15 BK Pelajar

16 KK Pelajar

17 DS Pelajar

18 RLA Pelajar

19 IK Pelajar


(4)

Lampiran 10

Gambar 9.1 Sanggar Sumber: Dokumentasi Penulis


(5)

Gambar 9.3 Sibaguri Sumber: Dokumentasi Penulis

Gambar 9.4 Cilekket Sumber: Dokumentasi Penulis


(6)