Perubahan Fungsi Sosioekologis Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi

Kajian Linguistik, Februari 2015, 35-53 Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

Tahun ke-12, No 1

PERUBAHAN FUNGSI SOSIOEKOLOGIS LEKSIKON FLORA BAHASA PAKPAK DAIRI

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak dairisaptajuntak@yahoo.com Dwi Widayati, Nurlela
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstract

The purposes of this research are to describe the flora lexicon in Pakpak Dairi Language at Desa Urug Gedang, to know the understanding of people about the flora lexicon and semantic relation that is formed from the flora lexicon in Pakpak Dairi language. The collecting data is done through written document, observation,and interview. The approaches and the methods of this research are qualitative and quantitative. The numbers of data are 200 flora lexicon. The result is that flora lexicon is reduce in every group of age. Especially in teenagers group. The understanding of responden about kayus at ≥ 60 years old is 82,4 %, 25-59 years old is 64,4 %, and 12-24 years old is 12%. The understanding of responden about rambah at ≥ 60 years old is 94,5 %, 25-59 years old is 66,4 %, and 12-24 years old is 15,2%. The understanding of responden about suan-suanen at ≥ 60 years old is 100 %, 25-59 years old is 97,5 %, and 12-24 years old is 69%. The understanding of responden about buah at ≥ 60 years old is 99,8 %, 25-59 years old is 96,1 %, and 12-24 years old is 82,6%. The understanding of responden about rorohen at ≥ 60 years old is 100 %, 25-59 years old is 79,6 %, and 12-24 years old is 44,2%. The lowest understanding is wood and rambah lexicon. It is caused by the changing of flora function around the people, parents did not introduce to the children, the using of culture language is low, and social function of Desa Urug Gedang is multiethnics that is influence the understanding is low, semantic relation is formed by lexicon data in Pakpak Dairi Lamguage, they are antonymy, homonymy, homography, hyponymy, and meronymy.

Key Words: ecolinguistic, socioecology, flora lexicon

PENAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan yang pesat yang terjadi dewasa ini, baik perkembangan waktu dan dinamika spasial sosioekologis yang menjadi ruang hidup bahasa itu membawa perubahan kehidupan sosial dalam tata hidup masyarakat pemakai bahasa (masyarakat tutur), dan faktor ini menjadi penentu pula terhadap perubahan, pergeseran, dan “peminggiran” bahasa Pakpak Dairi (selanjutnya disingkat BPD). Istilah dalam BPD yang mulai mengalami pergeseran itu berhubungan dengan sosioekologisnya. Hal itu terjadi karena munculnya istilah-istilah dari luar BPD yang dalam hal ini adalah bahasa Indonesia (BI) dan Bahasa Batak Toba (BBT). Jika lingkungan hidup berubah, bahasa
35

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak

yang hidup dalam masyarakat penutur pun berubah seiring dengan perjalanan waktu (Lindo dan Bundsgaard 2000: 10-11).
Fenomena yang dapat diamati menjadi sebab tergerusnya istilah-istilah/leksikon tentang lingkungan adalah perkembangan teknologi yang pesat, tercemarnya lingkungan (pencemaran tanah akibat penggunaan pestisida), pembakaran dan penebangan hutan, dan alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman warga secara besar-besaran, membawa dampak buruk terhadap kebertahanan flora. Jika hal ini terus dibiarkan akan berdampak pada perubahan bahasa, baik pergeseran maupun penyusutan, dan pada akhirnya akan mengakibatkan hilangnya leksikon dari pemahaman komunitas penuturnya.
Hal ini didapat dari penelitian awal yang dilakukan.Salah satu masalah tersebut misalnya semakin langkanya konteks penggunaan bahasa-bahasa etnik dalam ranah kehidupan tradisional karena digusur oleh penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing dalam kegiatan sosial, budaya, dan teknologi tentu akan menyebabkan rendahnya frekuensi penggunaan, pudarnya konteks, dan merosotnya mutu penggunaan serta hilangnya penggunaan bahasa etnik sebagai bahasa ibu. Semakin banyaknya leksikon pasif (leksikon-leksikon tidak digunakan lagi dalam konteks kalimat dan wacana) berarti juga tidak dipakai dalam konteks sosial dalam wujud wacana.
Sebagai bahasa daerah, kedudukan BPD dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu sebagai bahasa komunikasi bagi para penutur dari kelompok etnik yang sama, bahasa daerah berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat daerah, sebagai sarana pendukung kebudayaan daerah, dan sebagai pendukung bahasa dan sastra daerah. Kedudukan bahasa daerah dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional, sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah, sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa nasional, dan sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelengaraan pemerintah daerah (lihat Alwi, 2001).
Sebagai etnis awal yang mendiami wilayah Kabupaten Dairi, etnis Pakpak Dairi menghadapi kenyataan hadirnya etnis pendatang yang membawa pengaruh sosial dan budaya. Kebudayaan lain ini tentu memiliki bahasa sendiri pula. Konsekuensi yang dihadapi masyarakat Pakpak Dairi (MPD) adalah munculnya fenomena multikultural dan multibahasa. Dalam lingkungan masyarakat multikultural dan multibahasawan seperti di Dairi, MPD diduga mengalami benturan-benturan sosio-budaya yang berimbas pada aspek pemakaian bahasa. Warisan budaya yang tidak dijaga mengalami kepunahan dan mengakibatkan hilangnya berbagai ikon leksikal (lihat Adisaputra, 2011).
Dalam kegiatan komunikasi antaretnis, masyarakatnya menggunakan BI dan BBT, sedangkan untuk berkomunikasi interetnis mereka menggunakan BPD. Karena komposisi penduduknya yang heterogen, fungsi dan kedudukan BPD menunjukkan gejala yang menurun (lihat Tumanggor, 2011).
Sukses tidaknya penggunaan bahasa bergantung pada sikap pemakai bahasa terhadap perkembangan segala aspek kehidupan dan juga sikap terhadap kehadiran sebuah kebudayaan lain. Sikap MPD yang kurang menghargai bahasanya menjadi masalah utama. Masyarakat Pakpak kurang bangga dan merasa rendah diri menggunakan bahasa daerahnya, sehingga dalam pergaulannya, mereka lebih banyak menggunakan BI atau BBT (lihat Tumanggor, 2011: 4).
Tataran kebahasaan yang paling cepat mengalami perubahan adalah tataran leksikon. Ada tiga dimensi yang memengaruhi perubahan ini, yaitu dimensi ideologis, kemasyarakatan atau sosiologis, dan biologis (lihat Widayati, 2012: 1). Fenomena perubahan bahasa ini terjadi pada semua bahasa. Salah satu bahasa yang mengalami perubahan akibat perkembangan masyarakat tuturnya adalah BPD.
36

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Bahasa sebagai fungsi sosial akan mudah mangalami perubahan akibat perkembangan teknologi, masuknya unsur asing, bergantinya bahasa yang digunakan masyarakat penuturnya. Bahasa sebagai fungsi sosial dapat diamati pada lingkungan sebagai tempat hidupnya bahasa itu. Salah satu lingkungan yang diamati misalnya lingkungan flora. Pada MPD lingkungan flora mulai menampakkan fungsinya dalam masyarakat penuturnya. Perubahan-perubahan ini dapat diamati dari, pertama; kondisi sosioekologis MPD yang berubah berupa perubahan budaya tradisional ke budaya modern atau perubahan ekosistem, kedua; adanya kesenjangan dan ketimpangan pengetahuan, pemahaman, dan penggunaan bahasa etnik antara orang tua kepada anak atau kepada generasi muda. Hal tersebut berkaitan seperti yang diungkapkan Mbete (2013: 2) bahwa semakin langkanya register dan konteks penggunaan bahasa Pakpak Dairi dalam ranah kehidupan tradisional karena digusur oleh kegiatan budaya dan teknologi modern yang lebih kerap berbahasa Indonesia dan bahasa asing, menyebabkan rendahnya frekuensi penggunaan, pudarnya konteks, dan merosotnya mutu penggunaan serta hilangnya register bahasa etnik sebagai bahasa ibu.
Penelitian awal yang diakukan untuk memperoleh data sebagai bukti terjadinya perubahan, pergeseran, penyusutan BPD, beberapa kata yang dulu sudah umum dipakai tetapi sekarang sudah jarang digunakan. Misalnya, endet (pohon yang daunnya dimanfaatkan sebagai obat gula), panggaben (sejenis pohon yang buahnya untuk bumbu masakan; biasa juga digunakan anak-anak sebagai peluru meriam-meriam kecil), sangkal sempilit (tumbuhan yang biasa ditanam di kuburan), cipurpuren leto (rumput berdaun halus dan biasa dibuat jadi sapu), sapilpil (paku), gomet (sejenis pohon yang daun sebelah bawahnya putih) dan banyak lagi leksikon lain yang sudah sangat jarang digunakan dalam kehidupan penutur masyarakat BPD. Kondisi ini tentu akan mengancam keberadaan leksikon tersebut di tengah-tangah kehidupan MPD. Dengan demikian, eksistensi leksikon-leksikon tersebut akan semakin tergerus oleh kurangnya penggunaan leksikon-leksikon flora dalam komunikasi sehari-hari yang bisa berakibat lebih fatal yaitu menuju ke arah kepunahan karena leksikon tersebut tidak berhubungan lagi dengan aktivitas masyarakat tuturnya. Tidak dikenalnya referen dari suatu leksikon akan berdampak pada hilangnya konsep leksikal tumbuhan itu dari pemahaman penuturnya.
Pergeseran dan penyusutan sejumlah kosakata BPD terbukti dari tidak dikenal dan tidak digunakannya lagi sejumlah leksikon/kosakata oleh sejumlah penutur. Kondisi ini dapat diamati pada komunitas MPD dengan berbagai latar belakang kelompok usia, yaitu kelompok usia remaja, kelompok usia produktif, dan kelompok usia tua. Inilah yang menjadi alasan utama pemilihan topik ini, bagaimana tingkat pemahaman leksikon flora pada komunitas MPD dari berbagai kelompok usia tersebut. Dapat diasumsikan bahwa perubahan lingkungan sosioekologis akan akan berdampak pada perubahan pemahaman mereka tentang leksikon flora. Hal itu terjadi karena hilangnya referen yang mengacu pada pemahaman leksikon tersebut. Masalah ini akan berdampak pada hilangnya sejumlah kosa kata dari bahasa mereka.
Alasan kedua adalah wilayah desa Uruk Gedang (selanjutnya disingkat DUG) yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang suku yang berbeda (multikultural) sehingga dapat diasumsikan bahwa keberagaman suku tersebut akan memengaruhi penggunaan bahasa, yaitu BI dan BBT. Sebagai contoh, leksikon flora „pinus‟ tidak ada dalam BPD, namun ada dalam BI. Contoh lain leksikon flora „andaliman‟ juga tidak ada dalam BPD. Leksikon tersebut hanya ada dalam BBT. Leksikon „pinus‟ dan „andaliman‟ yang digunakan oleh sebagian penutur merupakan akibat dari situasi lingkungan yang dihuni oleh masyarakat dari budaya dan bahasa yang berbeda. Dampaknya, leksikon tersebut lebih dikenal oleh guyub tutur BPD.
37

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak
BPD sebagai salah satu bahasa daerah yang menjadi aset budaya masyarakat penuturnya layak dikaji untuk merekam seberapa besar perubahan dan pergeseran BPD akibat perubahan ruang hidup bahasa tersebut. Fokus lingkungan sekitar lereng hutan menjadi pengamatan karena masyarakat penutur BPD di DUG Kabupaten Dairi berada di daerah pegunungan dan perbukitan.
2. Tujuan Penelitian 1) Mendeskripsikan jenis leksikon flora BPD di DUG. 2) Mendeskripsikan relasi semantis yang terbentuk pada LFBPD di DUG 3) Mendeskripsikan tingkat pemahaman masyarakat DUG terhadap LFBPD


TINJAUAN PUSTAKA

1. Ekolinguistik

Ekolinguistik mengkaji interaksi bahasa dengan ekologi pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem. Ekologi bahasa dan ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem bahasa. Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik berawal dari pemikiran Haugen bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa (Fill, 2001: 44).

Ekolinguistik menjelaskan fenomena bahasa dengan parameter ekologi. Einer Haugen seorang tokoh paradigma linguistik pertama pada 30 tahun yang telah mengkombinasikan bahasa dengan ekologi. Dijelaskan bahwa ekologi bahasa adalah ilmu yang mempelajari interrelasi antara bahasa yang ada dalam kognitif manusia dan dalam komunitas yang multilingual. Semenjak itu, ekolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik yang mengembangkan hubungan antara bahasa dan ekologi yang telah didirikan dengan cara yang berbeda dan dengan menggunakan pendekatan, dan metode yang berbeda pula.

Haugen (1970) dalam Mbete (2009: 11-12), menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu:

(1) linguistik historis komparatif, (2) linguistik demografi, (3) sosiolinguistik, (4) dialinguistik, (5) dialektologi, (6) filologi, (7) linguistik preskriptif, (8) glotopolitik, (9) etnolinguistik, linguistik antropologi, ataupun
linguistics), dan (10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan.

linguistik

kultural

(cultural


Jauh sebelum kemunculan Haugen, ekologi sebenarnya telah diperkenalkan pada tahun (1834-1914) oleh Ernest Haeckel. Secara etimologis, kata ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti house, man‟s immediate suroundings. Ricklefs (1976: 1) mendefinisikan ekologi adalah ilmu yang mempelajari tumbuhan dan hewan, sebagai individu dan bersama-sama dalam populasi dan komunitas biologis, dalam kaitannya dengan lingkungan-fisik, kimia, dan biologi karakteristik lingkungan mereka.

Menurut Haugen (1972: 325) dalam Lindo dan Bundsgaard (eds) (2000: 9)
Language ecology may be defined as the study of interactions between any given language and its environment. „Bahasa ekologi dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antara bahasa tertentu dan lingkungannya‟.

38

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
Ekolinguistik merupakan sebuah ilmu pengetahuan antardisiplin ilmu yang merupakan payung untuk semua penelitian bahasa yang dikaitkan antara manusia sebagai pemakai bahasa dan alam sekitarnya (lingkungan). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Fill (1993: 126, dalam Lindo & Bundsgaard, eds, 2000: 40) yang mendefinisikan ekolinguistik sebagai: Ecolinguistics is an umbrella term for „[…] all approaches in which the study of language (and languages) is in any way combined with ecology‟. „Ekolinguistik merupakan istilah payung untuk „[…] semua pendekatan studi bahasa (dan bahasa-bahasa) yang dikombinasikan dengan ekologi‟.
Hubungan-hubungan timbal balik yang bersifat fungsional merupakan pokok pembicaraan utama dalam studi ekologi. Setidaknya ada dua parameter yang dihubungkan, yaitu bahasa dan ekologi (lingkungan). Kombinasi dari kedua parameter tersebut menghasilkan studi yang disebut ekolinguistik. Fill dan Mühlhäusler (2001: 2) dalam salah satu tulisannya yang berjudul Ecolinguistics in the University menyebutkan:
“Ecology is the study of functional interrelationships. The two parameters we wish to interrelate are language and the environment/ecology. Depending on whose perspective one takes one will get either ecology of language, or language of ecology. Combined they constitute the field of ecolinguistics. Ecology of language studies the support systems languages require for their continued wellbeing as well as the factors that have affected the habitat of many languages in recent times” (p.2).
Pembicaraan di antara para pakar bahasa tentang definisi ekologi bahasa, ekolinguistik atau linguistik hijau di dalam konteks khusus ini berhubungan dengan pembatasan terhadap objek kajian ekolinguistik. Pakar-pakar di atas menekankan tujuan mereka kepada kesadaran meningkatkan kepedulian atas masalah-masalah yang direfleksikan secara ekologis yang ada hubungannya dengan gejala-gejala bahasa-bahasa dan ekologi dari perspektif yang lebih luas.
Sudut pandang mereka adalah bahwa teori ekologi dan bahasa saling berhubungan. Pandangan terhadap lingkungan yang dibentuk (dan membentuk) semua hubungan antar pesona bahasa yang sangat penting merupakan bagian dari masalah ekologi. Konsepsi/pandangan bahasa dan ilmu bahasa juga menunjukkan bahwa bahasa (baik yang tertulis maupun lisan) dan lingkungan dianggap sebagai tujuan-tujuan kajian yang potensial.
Secara tradisional ekolinguistik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu ecocritical discourse analysis dan linguistic ecology (Fill dalam Lindo dan Bundsgaard, 2000: 9). Yang pertama disebut analisis wacana eko-kritis, sedang yang kedua, linguistik ekologi, yang dalam bahasan ini dipakai istilah ekolinguistik. Analisis wacana eko-kritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula penganalisisan pelbagai wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem. Fokus kajian pada penelusuran gambaran ideologi yang dapat mendukung kelangsungan ekologis.
Dalam perspektif ekolinguistik, perubahan bahasa mencerminkan atau menggambarkan perubahan lingkungan, baik lingkungan budaya maupun lingkungan alam, demikian pula sebaliknya. Berkurang atau menghilangnya biota, fauna atau flora di lingkungan alam dan budaya tertentu mengubah pula pemahaman dan interelasi manusia dengan alam di lingkungan itu.
Kondisi ini pada akhirnya memengaruhi pemakaian bahasa, misalnya penggunaan leksikon flora masyarakat Pakpak Dairi. Masyarakat Pakpak Dairi sebagai penutur asli memahami makna leksikon yang digunakan pada kegiatan berkomunikasi antar penutur
39

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak
dengan menggunakan leksikon yang berasal tumbuhan hutan, gunung, alam, nama-nama binatang karena memang tanaman, benda alam dan binatang tersebut masih ada di lingkungan. Hal ini seiring pula dengan perubahan waktu, dengan menghilangnya tanaman, penghuni hutan, gunung, alam, nama-nama binatang dan leksikon yang berkaitan dengan kehidupan di lingkungan. Dengan demikian, telah terjadi pula penyusutan pemahaman makna leksikal dan fungsinya yang leksikon tersebut disebutkan tapi wujud benda yang bertautan dengan nama tumbuhan nyaris tidak dikenali lagi oleh genarasi muda.

Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (eds) (2001: 14) menyebutkan tiga bentuk lingkungan:
1) Lingkungan fisik yang mencakupi karakter geografis seperti topografi sebuah negara (baik pantai, lembah dataran tinggi, maupun pegunungan, keadaan cuaca dan jumlah curah hujan).
2) Lingkungan ekonomis „kebutuhan dasar manusia‟ yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut.
3) Lingkungan sosial yang melingkupi pelbagai kekuatan yang dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran masyarakat satu sama lain. Namun yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik dan seni.
Lebih lanjut Sapir menjelaskan bahwa secara lahiriah bahasa itu dipengaruhi lingkungan yang melatari pengguna atau pemakai suatu bahasa. Lingkungan fisik ragawi tersebut tergambar dalam bahasa-bahasa yang telah dipengaruhi faktor-faktor sosial. Namun, perubahan lingkungan fisik akan lebih terlihat jelas dari kosa kata bahasa tersebut.
Pembahasan utama dalam studi ekolinguistik adalah hubungan antara lingkungan dan bahasa pada ranah leksikon bukan pada ranah bunyi bahasa (fonologi) dan ranah bentuk kata (morfologi). Hubungannya ini dijelaskan lebih rinci oleh Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (2001: 2), yaitu “This interrelation exists merely of the level of the vocabulary and not, for example, on that of phonology or morphology”. Keterkaitan ini ada hanya pada tingkat kosa kata dan bukan, pada fonologi atau morfologi. Lebih lanjut Sapir dalam Fill dan Mühlhäusler (2001: 14) menjelaskan hubungannya, yaitu lingkungan fisik dan sosial masyarakat penutur sebuah bahasa akan tercermin dari penggunaan kosa kata bahasa mereka. Kosa kata lengkap sebuah bahasa dipandang sebagai inventaris kompleks dari semua ide, minat yang menyita perhatian masyarakat, misalnya kamus lengkap sebuah suku menyimpulkan karakteristik budaya masyarakatnya yang memanfaatkan itu sehingga tidaklah sulit menemukan contoh-contoh kosakata sebuah bahasa yang digunakan oleh sekelompok penutur tempat mereka berada.
Perubahan bahasa pada tataran leksikon dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindo dan Bundsgaard, 2000: 11) yaitu “ideo-logical dimension, socio-logical dimension, and biological dimension”. Pertama, dimensi ideologis berkaitan dengan adanya ideologi masyarakat. Misalnya ideologi kapitalisame dan ideologi pasar sehingga perlu dilakukan aktivitas terhadap sumber daya lingkungan untuk tetap mempertahankan, mengambangkan, dan membudidayakan flora yang bernilai ekonomi tinggi untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi; kedua, dimensi sosiologis yaitu berkaitan dengan adanya aktivitas wacana, dialog, dan diskursus sosial untuk mewujudkan ideologi tersebut. Dalam dimensi sosiologis ini, bahasa merupakan wujud praktis sosial yang bermakna; ketiga, dimensi biologis berkaitan dengan adanya keanekaragaman biota secara berimbang dalam ekosistem. Dimensi biologis secara verbal terekam secara leksikon dalam perbendaharaan kata setiap bahasa.
40

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
2. Semantik Struktural
Banyak teori tentang makna telah dikemukakan para ahli. Ferdinan de Suassure untuk pertama kali memberikan pandangan ini dengan teori tanda linguistiknya. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa rentetan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep (yang dimiliki oleh signifian) (Ferdinan de Saussure dalam Chaer, 2007: 286). Lebih lanjut, Richard dan Ogdent (1923) dalam Chaer (2007: 286) menjelaskan hubungan antara lambang, konsep, dan acuan yang disebut dengan segitiga makna. Dalam bagan tersebut, hubungan antara lambang dan konsep bersifat langsung karena lambang dan konsep adalah masalah di dalam bahasa, sedangkan hubungan antara lambang dan referen bersifat tidak langsung karena lambang adalah masalah dalam bahasa sementara referen merupakan masalah di luar bahasa yang hubungannya bersifat arbitrer. Karena bersifat arbitrer, maka kita tidak dapat menjelaskan hubungan kata-kata itu dengan makna yang dimilikinya.
Dalam kajian linguistik, persoalan yang menjadikan makna sebagai bidang kajiannya adalah Semantik. Semantik menelaah hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut (Edward dalam Tarigan, 1985: 3). Semantik struktural merupakan pendekatan strukturalis yang dibawa pada ranah semantik leksikal Geeraerts (2010: 48). Secara teori dan deskripsi semantik struktural muncul dengan rangkaian hubungan konsep makna strukturalis. Dalam semantik struktural, ada tiga pendekatan yang digunakan, yaitu ranah leksikal, analisis komponen, dan relasi semantis. Dalam hal ini, relasi semantis akan digunakan sebagai kajian teoretis. Relasi semantis mengembangkan ide dari gambaran relasi struktural dalam kata-kata yang berhubungan (Geeraerts, 2010: 52)
Makna kata dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam konteks kalimat. Menurut semantik leksikal, makna suatu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Pateda, 2001: 74). Sebagai contoh kata daun referennya „bagian tanaman yang tumbuh berhelai-helai pada ranting‟, dalam bahasa Pakpak Dairi komil referennya „jenis tumbuhan semak dengan kontur daun yang lembut biasa untuk makanan kerbau‟.
Pendekatan semantik leksikal yang digunakan pada kajian ini adalah pada ranah relasi semantis. Teori yang digunakan untuk menjelaskan relasi semantis leksikon flora bahasa Pakpak Dairi adalah teori Saeed (2000: 63). Teori relasi semantis menurut Saeed adalah:
a. Homonim
Homonimi adalah bentuk kata secara fonologi sama tetapi maknanya tidak berhubungan (lihat Saeed, 2000: 63). Selain homonim, ada juga istilah homograf dan homofon. Homograf merupakan kata yang tulisannya sama tetapi maknanya berbeda. Homofon adalah istilah untuk kata yang pengucapannya sama tetapi maknanya berbeda. Namun, Saeed juga menyebut kedua istilah itu homonim karena perbedaan kedua istilah tersebut bergantung pada perilaku sintaksis dan pengucapannya. Namun beberapa penulis membedakan homograf dengan homofon, misalnya:
a. kata yang tulisan dan pelafalannya sama tetapi maknanya berbeda (homonim), misalnya genting I „gawat‟ dan genting II „atap‟.
b. kata yang tulisannya sama tetapi pelafalan dan maknanya berbeda (homograf), misalnya apel I„buah‟ apel II „upacara‟.
41


Dairi Sapta Rindu Simanjuntak
c. kata yang cara pelafalannya sama, tetapi penulisan dan maknanya berbeda (homofon), misalnya [bank] I „lembaga penyimpan uang‟ dan [bang] II „kakak].
b. Polisemi
Secara leksikologi, homonim dan polisemi memiliki perbedaan (lihat Saeed 2000: 64. Meskipun keduanya memiliki pengertian yang sama, dalam polisemi ada relasi makna yang erat antara kata yang bentuknya dan ucapannya sama. Polisemi diartikan sebagai suatu kata yang memiliki banyak makna. Misalnya kata kepala. Kata kepala dapat bermakna bagian benda sebelah atas, dapat bermakna pimpinan atau ketua, dapat juga bermakna sebagai kiasan atau ungkapan.
c. Sinonim
Menurut Saeed (2000: 65) sinonim adalah kata yang berbeda secara fonologi, tetapi memiliki makna yang sama atau hampir sama. Contohnya adalah kata buruk dan jelek merupakan kata yang bersinonim. Hubungan makna antara dua kata bersifat dua arah. Jadi dari contoh dan definisi di atas dapat dikatakan bahwa maknanya kurang lebih sama. Kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih atau tidak bersifat mutlak.
d. Antonim
Antonim merupakan relasi leksikal yang menggambarkan makna yang bertentangan. Maksudnya adalah suatu ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya, kata besar dan kecil. Sama halnya dengan sinonim, hubungan makna antara dua buah kata bersifat dua arah dan maknanya tidak bersifat mutlak.
e. Hiponim
Saeed (2000: 68-69) mengatakan bahwa hiponimi adalah hubungan inklusi. Hiponimi mengacu pada hubungan vertikal dari taksonomi. Hiponim kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih khusus atau disebut kata khusus. Untuk kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih luas disebut hipernim atau kata umum. Namun Saeed menyamakan kedua istilah ini. Contohnya anggrek, melati, anyelir, dan mawar merupakan hiponim dari hipernim kata bunga.
f. Meronim
Meronim adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau keseluruhan hubungan leksikal (lihat Saeed, 2000: 70). Misalnya cover dan page adalah meronim dari book. Contoh lain adalah batang, daun, cabang, ranting, dan akar merupakan meronim dari pohon.
pohon

batang

daun

cabang ranting


Gambar 2.1 Meronim ‘pohon’

akar

42

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
3. Sosioekologis
Sosioekologis memadukan dua sudut pandang yang berbeda namun saling berhubungan. Kedua sudut pandang tersebut adalah „sosio atau sosial‟ dan „ekologi‟. Sosial merupakan segala perilaku manusia yang menggambarkan hubungan nonindividualis. Pengertian sosial ini merujuk pada hubungan manusia dalam kemasyarakatan, hubungan antarmanusia, hubungan manusia dengan kelompok, serta hubungan antara manusia dengan organisasi.
Pengertian sosial tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, karena memang diarahkan pada seluk beluk kehidupan manusia bersama kelompok di sekitarnya. Pengertian ini juga dapat diabstraksikan ke dalam perkembangan-perkembangan kehidupan manusia, lengkap dengan dinamika serta masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitarnya.
Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dengan dan lingkungannya. Dalam ekologi, kita mempelajari makhluk hidup sebagai satu kesatuan atau sistem dengan lingkungannya (Ernest Heackel, 1834-1914).
Ekologi merupakan studi yang menyelidiki interaksi organisme dengan lingkungannya. Hal ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hubungan timbal balik tersebut. Dalam studi ekologi digunakan metode pendekatan secara menyeluruh pada komponen-komponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Ruang lingkup ekologi berkisar pada tingkat populasi, komunitas, dan ekosistem. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sosioekologis merupakan suatu kajian yang membahas hubungan antara lingkungan dengan masyarakat, mempelajari makhluk hidup sebagai satu kesatuan atau sistem dengan lingkungannya dan masyarakat serta masalah-masalah sosial yang ada di dalamnya.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah perpaduan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kaulitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007: 6). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang temuannya tidak diperoleh melali prosedur statistik atau bentuk hitungan.
Metode deskriptif kualitatif sangat tepat digunakan dalam kajian ini karena metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak; selanjutnya metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden; dan lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama pola-pola nilai yang dihadapi (lihat Moleong, 2007: 9). Dengan demikian, metode kualitatif sangat tepat digunakan untuk menemukan data, menganalisis, serta melihat fenomena yang terjadi di lingkungan DUG. Sementara itu, pendekatan kuantitatif digunakan untuk menguji pemahaman leksikon flora MPD yang dibagi dalam tiga kelompok usia dengan tujuan untuk memperoleh persentasi penyusutan atau pergeseran leksikon flora BPD.
43

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi Desa Uruk Gedang
Pada penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah leksikon flora. Untuk memeroleh daftar leksikon tersebut dilakukan wawancara kepada beberapa orang informan, dan membaca sumber tertulis. Setelah hal itu dilakukan, didapat leksikon flora BPD berjumlah 200 leksikon.
Untuk mempermudah penyajian dan pengujian data leksikon tersebut, maka seluruh leksikon dikelompokkan berdasarkan kategorinya. Setelah dibagi, leksikon flora tersebut terbagi atas lima kelompok leksikon, yaitu (1) leksikon kayu „kayu‟, (2) leksikon rambah „semak‟, (3) leksikon suan-suanen „tanaman‟, (4) leksikon buah „buah‟, dan (5) leksikon rorohen „sayuran.

a. Leksikon Kayu

Leksikon flora kelompok kayu BPD di DUG terdiri atas 63 leksikon. Berikut ini

dilampirkan beberapa data leksikon kayu BPD.

abang-abang

sejenis pohon berdaun kecil dan

bulat, baik untuk kayu bakar

apiapi

sejenis pohon yang kayunya


merah dan dapat dipakai untuk

membuat papan

aru sejenis pohon yang sangat

rindang, dan keras, biasa

dimanfaatkan menjadi bahan

bangunan

baronggang

pohon berongga

bintatar

sejenis pohon yang kayunya


dapat digunakan sebagai alat

bangunan

celmeng

sejenis pohon besar yang keras

dan berkualitas baik untuk

bahan bangunan

cik-cik

sejenis pohon getah gatal di

kepala

cingkem


kayu air

dalung-dalung

pohon yang kayunya berwarna

kuning dan baik untuk dijadikan

bahan bangunan

doko-doko

sejenis pohon serupa nangka,

biasa digunakan sebagai kayu

bakar

Endet


pohon yang daunnya

dimanfaatkan sebagai obat gula

b. Leksikon Rambah

Leksikon flora kelompok rambah BPD di DUG terdiri atas 53 leksikon. Berikut ini

dilampirkan beberapa data leksikon rambah BPD

alah-alah

sejenis rumput yang berdaun

lebar, yang dipakai sebagai

makanan ternak dan dapat

menimbulkan rasa gatal dan

raum pada kulit manusia

44

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

alum-alum
arsam bangkuang berhu biski buluh-buluh cikerput cilekket cingkerru

sejenis rumput untuk makanan ternak, juga dipakai melawan
gatal-gatal pada kulit pakis berukuran kecil sejenis kiki yang tumbuhnya di
darat sejenis rumput pimping yang batangnya berongga pendek semak yang berukuran panjang dan batangnya beruas-ruas sejenis rumput yang batang dan daunnya menyerupai bambu
putri malu sejenis rumput yang bijinya
melekat pada kain sejenis semak tinggi yang buahnya berbiji-biji dan dapat
dimakan

c. Leksikon Suan-suanen

Leksikon flora kelompok suan-suanen BPD di DUG terdiri atas 36 leksikon.

Berikut ini dilampirkan beberapa data leksikon suan-suanen BPD.

acem

asam

bahing

jahe

cikala

kincau

cina cabe

gadong

singkong

gambir

gambir

gatap

sirih

genderra

bawang rambu

isap tembakau

jagong

jagung

jerango

jerangau

kacang

Kacang

keceur

kencur

Keras

kemiri

koning

kunyit

d. Leksikon Buah

Leksikon flora kelompok buah BPD di DUG terdiri atas 23 leksikon. Berikut ini

dilampirkan beberapa data leksikon suan-suanen BPD.

bettik

semangka

cibukbuken

sejenis rambutan liar yang

ukurannya lebih kecil dari

rambutan dan memiliki daging

buah yang agak kering

galuh

pisang

gerrat

sejenis pohon berbuah mirip

mangga namun berwarna kuning

pucat dan rasa yang asam

45

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak
jerring kennas langsat mangga manggis mbertik nangka

sekalipun sudah cukup matang jengkol nenas duku mangga manggis pepaya nangka

e. Leksikon Rorohen

Leksikon flora kelompok suan-suanen BPD di DUG terdiri atas 25 leksikon.

Berikut ini dilampirkan beberapa data leksikon suan-suanen BPD.

arum

bayam

bulung gadong kayu

daun singkong

Buncis

buncis

bungke

sayuran yang mirip seperti

kemangi, namun buahnya yang

digunakan untuk membekukan

susu

Cemun

mentimun

cemun

jipang

genjer

genjer

kalondang

gambas berukuran lebih besar

dan lebih pahit

kentang

kentang

Kol kubis

Rincian jumlah leksikon berdasarkan kelompoknya adalah leksikon kayu berjumlah

63 leksikon atau 31,5 % dari seluruh data. Leksikon rambah berjumlah 53 leksikon atau

25,5 % dari jumlah data. Leksikon suansuanen berjumlah 36 leksikon atau 18 % dari 200

leksikon. Leksikon buah berjumlah 23 leksikon atau 11,5 % dari 200 leksikon. Leksikon

rorohen berjumlah 25 leksikon atau 12,5 % dari 200 leksikon.

2. Relasi Semantis Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi
Leksikon adalah komponen yang mengandung segala informasi tentang kata dalam suatu bahasa seperti perilaku semantik, sintaksis, morfologis, dan fonologisnya. Pengertian tersebut berkaitan dengan masalah penelitian yang ketiga. Setelah seluruh data leksikon yang berjumlah 200 leksikon flora, dianalisis (lihat BAB V), beberapa leksikon memiliki hubungan secara semantis (sinonim, antonim, homonim, homofon, homograf, hiponim, dan meronim).
Ada 10 relasi semantis yang terbentuk dari data leksikon flora BPD, antara lain:
1) antonim (tabunggala X mbecih) Kedua leksikon tersebut memiliki pertentangan makna. Leksikon tabunggala dan mbecih mengacu pada satu benda yang sama yaitu „labu‟. Pertentangan makna dari kedua leksikon tersebut adalah pada ukuran. Leksikon tabunggala digunakan untuk menamai „labu‟ yang memiliki ukuran besar, sedangkan mbecih digunakan untuk menamai „labu‟ yang memiliki ukuran kecil.
2) homonim merupakan sebutan untuk benda yang memilikibentuk dan pelafalannya sama dengan ungkapan lain, tetapi memiliki makna yang berbeda. Dari data LFBPD ditemukan beberapa leksikon yang memiliki kesamaan bentuk dan pelafalan, yaitu:

46

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

a) tuyung I dan tuyung II. Leksikon tuyung I digunakan untuk menyebut nama buah „terong belanda‟ atau „tiung‟, sedangkan tuyung II digunakan untuk menyebut sayur „terong‟
b) rias I dan rias II. Leksikon rias I merupakan nama sayuran yaitu „kacang panjang‟, sedangkan leksikon rias II merupakan sebutan untuk tumbuhan yang batangnya
digunakan sebagai penambah rasa asam pada masakan c) cemun I dan cemun II. Leksikon cemun I merupakan sebutan untuk „mentimun‟,
sedangkan leksikon cemun II merupakan nama jenis sayur merambat atau sering disebut „labu siam‟ 3) homograf memiliki persamaan dari segi tulisan, namun memiliki makna dan cara
pengucapan yang berbeda.
Dari data ditemukan dua leksikon yang menjadi contoh homograf, yaitu tuba I dan tuba II. Leksikon tuba I yang digunakan untuk menyebut jenis „pohon‟ diucapkan [tuba], sedangkan leksikon tuba II yang bermakna „andaliman‟ diucapkan [tu;ba]. 4) hiponim kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih khusus atau disebut kata
khusus. Untuk kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih luas disebut hipernim
atau kata umum. Dari data LFBPD, ditemukan sepuluh kelompok hiponim, yaitu mpiangi „meranti‟, kayu bangunen „kayu bangunen‟, paku „paku‟, tambar „obat‟, anyamen „anyaman‟, nakan pinakan „pakan ternak‟, pola„nira‟, gelaga „gelagah‟, parasit „parasit‟, dan gambas „gambas‟. 5) Meronim merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebagian
atau keseluruhan hubungan leksikal. Ditemukan tiga contoh meronim berdasarkan data LFBPD, yaitu (pola „nira‟, pote „petai‟, dan galuh „pisang‟.
Sementara itu, dari seluruh data LFBPD tidak ditemukan relasi semantis
antarleksikon untuk ranah sinonim, homofon dan polisemi.

3. Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap LFBPD
Temuan yang diperoleh mengenai gambaran pemahaman leksikon flora BPD di DUG menunjukkan adanya perubahan pemahaman baik pergeseran atau penyusutan. Penyusutan pemahaman ketiga kelompok usia terhadap 200 leksikon yang diperoleh akan terlihat jelas pada tabel.
Tabel 4.1 Pemahaman Masyarakat DUG terhadap LFBPD Berdasarkan Kategori

KATEGORI
KATEGORI 1 KATEGORI 2 KATEGORI 3

KELOMPOK USIA

≥ 60 Tahun

25-59 Tahun

JP % JP %

3719

93 3046 76,2

206 5,1 333 8,3

75 1,9 621 15,5

12-24 Tahun JP % 1396 34,9 740 18,5 1864 46,6

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, terlihat bagaimana persentase pemahaman MDUG terhadap 200 LF yang diujikan untuk tiga kategori pilihan jawaban yang ditawarkan. Pada Kategori 1 (mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah digunakan), jumlah pemahaman tiga kelompok usia mengalami penurunan atau penyusutan. Pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun terhadap 200 LF yang terdiri dari 5 kelompok leksikon cukup signifikan dengan rata-rata 93 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun
47

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak
mengalami penyusutan mencapai 16,8 %. Pada kelompok usia yang lebih muda yaitu 1224 tahun, persentase penyusutannya mencapai 58,1 % dari persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 41,3 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun.
Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan), pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun terhadap semua leksikon ini hanya 5,1 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman responden yang ada pada kategori ini menjadi 8,3 % (persentase penyusutannya bertambah 3,2 %) dari kelompok usia ≥ 60 tahun. Pada kelompok usia 12-24 tahun, pemahaman responden mencapai 18,5 % (penyusutan mencapai 13,4 %%) dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 10,2 % dari kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan), pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun sangat rendah, yaitu 1,9 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun, angka persentase pemahaman responden menjadi 15,5 % (menyusut 13,6 %) dari persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun. Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahaman responden mencapai 46,6 % (angka penyusutan mencapai 44,7 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 31,1 % dari kelompok usai 25-59 tahun).
Persentase pemahaman tiga kelompok usia terhadap seluruh leksikon flora yang diujikan akan diuraikan berdasarkan kelompok leksikon. 200 jumlah leksikon yang diujikan terbagi dalam 5 kelompok leksikon (kelompok leksikon kayu, leksikon rambah, leksikon suansuanen, leksikon buah, dan leksikon rorohen. Berikut diuraikan bagaimana persentase pemahaman tiga kelompok usia yang dimaksud berdasarkan kelompok leksikonnya.
Tabel 4.2 Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap Leksikon Kayu BPD Berdasarkan Kategori

KATEGORI
KATEGORI 1 KATEGORI 2 KATEGORI 3

KELOMPOK USIA

≥ 60 Tahun

25-59 Tahun

JP % JP %

1038 82,4 811 64,4

170 13,5 146 11,8

52 4,1 303 23,8

12-24 Tahun JP % 150 12 214 17 896 71

Berdasarkan tabel 4.2 di atas, dapat dijelaskan bahwa pemahaman seluruh responden terhadap leksikon kayu pada pada Kategori 1 (mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60 mencapai 82,4 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentasenya mencapai 64,4 % (mengalami penyusutan pemahaman 18 % dari persentase pemahaman usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahamannya adalah 12 % (penyusutan mencapai 70,4 % dari kelompok usia ≥ 60, dan 52,4 % dari kelompok usai 25-59 tahun).
Pada Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan), persentase pemahaman terhadap kelompok leksikon ini adalah 13,5 % pada usia ≥ 60 tahun. Pada kelompok usia 25-59 tahun menjadi 11,8 % (peningkatan mencapai 1,7 %). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahaman mencapai 17 % (menyusut 3,5 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 5,2 % dari kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun mencapai 4,1 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman adalah 23,8 % (menyusut
48

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015
19,7 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun). Selanjutnya, persentase pemahaman kelompok usia 12-24 tahun adalah 71 % (mengalami penyusutan 66,9 % dari pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 42,7 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun).

Tabel 4.3 Pemahaman Masyarakat DUG terhadap Leksikon Rambah BPD Berdasarkan Kategori

KATEGORI
KATEGORI 1 KATEGORI 2 KATEGORI 3

KELOMPOK USIA

≥ 60 Tahun

25-59 Tahun

JP % JP %

1002 94,5 704 66,4

35 33 110 10,6

23 2,2 245 23

12-24 Tahun JP % 159 15,2 266 24,9 635 59,9

Berdasarkan tabel 4.3 di atas, dapat dijelaskan bahwa pemahaman seluruh responden terhadap leksikon rambah pada pada Kategori 1 (mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60 mencapai 94,5 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentasenya mencapai 64,4 % (mengalami penyusutan pemahaman 30,1 % dari persentase pemahaman usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahamannya adalah 15,2 % (penyusutan mencapai 79,3 % dari kelompok usia ≥ 60, dan 51,2% dari kelompok usai 25-59 tahun).
Pada Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan), persentase pemahaman terhadap kelompok leksikon ini adalah 33 % pada usia ≥ 60 tahun. Pada kelompok usia 25-59 tahun menjadi 10,6% (pengingkatan mencapai 22,4 %). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahaman mencapai 24,9 % (meningkat 8,1 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan menyusut14,3 % dari kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun mencapai 2,2 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman adalah 23 % (menyusut 20,8 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun). Selanjutnya, persentase pemahaman kelompok usia 12-24 tahun adalah 59,9 % (mengalami penyusutan 57,7 % dari pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 36,9 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun).

Tabel 4.4 Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap Leksikon Suan-suanen BPD Berdasarkan
Kategori

KATEGORI
KATEGORI 1 KATEGORI 2 KATEGORI 3

KELOMPOK USIA

≥ 60 Tahun

25-59 Tahun

JP % JP %

720 100 689 95,7

0 0 6 0,8

0 0 26 3,5

12-24 Tahun JP % 486 69 93 13,8 141 17,2

Berdasarkan tabel 4.4 di atas, dapat dijelaskan bahwa pemahaman seluruh responden terhadap leksikon suansuanen pada pada Kategori 1 (mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok
49

Dairi Sapta Rindu Simanjuntak
usia ≥ 60 tahun mencapai 100 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentasenya mencapai 95,7 % (mengalami penyusutan pemahaman 4,3 % dari persentase pemahaman usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahamannya adalah 69 % (penyusutan mencapai 31 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 26,7 % dari kelompok usai 25-59 tahun).
Pada Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan), tidak ada satu pun responden kelompok usia ini masuk dalam kategori jawaban ini. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentase pemahaman responden 0,8 % (penyusutan pemahaman0,8 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahaman mencapai 13,8 % (penyusutan pemahaman13,8 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan menyusut 13 % dari kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan), tidak ada kelompok usia ≥ 60 tahun pada kategori ini. Pada kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman adalah 3,5 % (menyusut 3,5 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun). Selanjutnya, persentase pemahaman kelompok usia 12-24 tahun adalah 17,2 % (mengalami penyusutan 17,2 % dari pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 13,7 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun).

Tabel 4.5 Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap Leksikon Buah BPD Berdasarkan Kategori

KATEGORI
KATEGORI 1 KATEGORI 2 KATEGORI 3

KELOMPOK USIA

≥ 60 Tahun

25-59 Tahun

JP % JP %

459 99,8 442 96,1

1 0,2 0 0

0 0 18 3,9

12-24 Tahun JP % 380 82,6 48 10,4 32 7

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, dapat dijelaskan bahwa pemahaman seluruh responden terhadap leksikon buah pada pada Kategori 1 (mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah digunakan), persentase pemahaman kelompok usia ≥ 60 mencapai 99,8 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentasenya mencapai 96,1 % (mengalami penyusutan pemahaman 3,7 % dari persentase pemahaman usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahamannya adalah 82,6 % (penyusutan mencapai 17,2 % dari kelompok usia ≥ 60, dan 13,5 % dari kelompok usai 25-59 tahun).
Pada Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan), persentase pemahaman terhadap kelompok leksikon ini adalah 0,2 % pada usia ≥ 60 tahun. Pada kelompok usia 25-59 tahun tidak ada responden yang masuk dalam kategori ini. Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahaman mencapai 10,4 % (menyusut 10,2 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 10,4 % dari kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan), tidak ada kelompok usia ≥ 60 tahun pada kategori ini. Pada kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman adalah 3,9 % (menyusut 3,9 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun). Selanjutnya, persentase pemahaman kelompok usia 12-24 tahun adalah 7 % (mengalami penyusutan 7 % dari pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 3,1 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun).

50

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015

Tabel 4.6 Pemahaman Masyarakat DUG terhadap Leksikon Rorohen BPD Berdasarkan Kategori

KATEGORI
KATEGORI 1 KATEGORI 2 KATEGORI 3

KELOMPOK USIA

≥ 60 Tahun

25-59 Tahun

JP % JP %

500 100 400 79,6

0 0 71 14,6

0 0 29 5,8

12-24 Tahun JP % 221 44,2 119 23,8 160 32

Berdasarkan tabel 4.6tersebut, dapat dijelaskan bahwa pemahaman seluruh responden terhadap leksikon rorohenpada pada Kategori 1 (mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah digunakan), semua responden kelompok persentase usia ≥ 60 ada pada kategori ini, yaitu 100 %. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentasenya mencapai 79,6 % (mengalami penyusutan pemahaman 20,4 % dari persentase pemahaman usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahamannya adalah 44,2 % (penyusutan mencapai 55,8 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun , dan 35,4 % dari kelompok usai 25-59 tahun).
Pada Kategori 2 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan) hanya ada dua kelompok usia yang berada pada kategori ini, karena kelompok usia ≥ 60 tahun seluruhnya ada pada Kategori 1. Pada kelompok usia 25-59 tahun persentase pemahamannya adalah 14,6 % (penyusutan 14,6 % dari pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun). Pada kelompok usia 12-24 tahun, persentase pemahaman mencapai 23,8% (peyusutan 23,8 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun, dan menyusut 9,2 % dari kelompok usia 25-59 tahun).
Kategori 3 (tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tidak pernah digunakan) juga hanya dua kelompok usia yang berada pada kategori ini, karena kelompok usia ≥ 60 tahun seluruhnya ada pada Kategori 1. Pada kelompok usia 25-59 tahun, persentase pemahaman adalah 5,8 % (menyusut 5,8 % dari kelompok usia ≥ 60 tahun). Selanjutnya, persentase pemahaman kelompok usia 12-24 tahun adalah 32 % (mengalami penyusutan 32 % dari pemahaman kelompok usia ≥ 60 tahun, dan 26,2 % dari persentase pemahaman kelompok usia 25-59 tahun).
Dari angka-angka persentase pemahaman oleh tiga kelompok usia pada yang telah diuraikan di atas menunjukkan penurunan pemahaman antargenerasi. Kondisi ini cukup memperihatinkan karena akan berdampak pada punahnya leksikon itu pada masa-massa yang akan datang dan mungkin