BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian terhadap penerapan prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase International Center for The Settlement of Investment Dispute (ICSID) di Indonesia

  dan perbandingannya dengan beberapa negara dirasakan penting, paling tidak didasarkan pada enam alasan, yaitu pertama, kerahasiaan (confidentiality) sebagai salah satu keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak lagi dianggap penting dan saat ini sudah mulai diterobos dengan adanya penggunaan prinsip keterbukaan (transparency) berdasarkan peluang yang diberikan Pasal 48 ayat (5)

9 Konvensi ICSID 1965 yaitu berupa peluang bagi Lembaga ICSID untuk

  10

  mempublikasikan putusan atas kesepakatan para pihak. Kedua, beberapa negara seperti Indonesia dan Malaysia mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan secara umum dalam aturan arbitrase berkaitan dengan putusan arbitrase, namun tetap mempublikasikan beberapa putusan arbitrase lembaga ICSID yang melibatkan negaranya. Ketiga, terdapat beberapa negara yang tidak mengatur mengenai kerahasiaan putusan arbitrase. Keempat, terdapat ketidaksinkronan antara prinsip kerahasiaan arbitrase yang dianut dengan realitas di lapangan, misalnya Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan pada Pasal 27 Undang-Undang 9 Pasal 48 ayat (5) Konvensi ICSID 1965 menyatakan bahwa “The Centre shall not publish the

  award without the consent of the parties.” 10 , diakses tanggal 2 Maret 2013.

  1

  11 Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa

  dan Pasal 14 ayat (5) Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia

  12

  (BANI) akan tetapi terdapat putusan arbitrase investasi yang melibatkan Indonesia atau badan pemerintah Indonesia yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase ICSID yang dipublikasikan putusannya sedangkan peraturan tersebut adalah peraturan umum arbitrase. Kelima, terjadi pergeseran prinsip ketika non-litigasi berubah menjadi litigasi menyangkut permintaan pelaksanaan putusan dan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase yang dengan adanya kedua hal tersebut mengakibatkan hilangnya sifat rahasia putusan arbitrase tersebut. Keenam, dengan keterbukaan (transparency) dalam arti publikasi putusan arbitrase ICSID, diharapkan putusan yang dihasilkan dapat mencerminkan nilai kewajaran, keadilan, dan bermanfaat serta menciptakan kepastian hukum (legal certainty, rechtszekerheid) bagi banyak pihak sehingga dapat memberikan perlindungan hukum bagi investor dan host state. Oleh karenanya prinsip keterbukaan putusan arbitrase memiliki peluang untuk diatur secara alternatif dalam amandemen undang-undang arbitrase mendatang.

  Dalam hukum internasional publik, arbitrase sebagai suatu cara penyelesaian sengketa antara negara dengan investor secara damai sudah dikenal sejak zaman Yunani dan pada abad pertengahan berbagai unit politik telah di bentuk pada masa Kekaisaran Romawi, pada abad ke-12 dan ke-13 sering juga digunakan untuk 11 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbirase dan Alternatif

  Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. 12 Pasal 14 ayat (5) Peraturan Prosedur BANI menyatakan bahwa semua pemeriksaan dilakukan secara tertutup. menyelesaikan sengketa antara Kerajaan Italia dan sengketa antara kanton-kanton di

  13 Swiss yang berkembang hingga saat ini. Peran arbitrase sebagai lembaga

  penyelesaian sengketa dagang yang berskala internasional secara modern dikenal pada penghujung abad ke-18 yang ditandai dengan lahirnya Jay Treaty pada tanggal

  19 November 1794 di mana perjanjian ini terjadi antara Amerika Serikat dan Inggris, melalui perjanjian ini terjadi perubahan mendasar tata cara penyelesaian sengketa dagang internasional yang sebelumnya diselesaikan melalui saluran diplomatik, kemudian berubah karakternya menjadi arbitrase internasional yang didasarkan pada tata cara yang sesuai dengan prinsip hukum (recht beginsel, legal principle) yang

  14

  lama kelamaan berkembang dan diikuti oleh negara lain. Penyelesaian melalui saluran diplomatik sering mengecewakan karena penyelesaian cenderung dipengaruhi kepentingan politik sehingga dengan adanya Jay Treaty tersebut membentuk suatu institusi yang berbentuk campuran (mixed commissions) yang pada akhirnya menjadi

  15 cikal bakal arbitrase internasional dan nasional.

  Arbitrase di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase) yang merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum 13 L. Oppenheim, edited by Lauterpacht, International Law Disputes, War and Neutrality, vol.

  2, Seventh Edition, (London : Longmans, 1952), hlm. 33, yang dikutip dalam Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta : UI-Press, 2006), hlm. 39. 14 Nurnaningsih Amriani, Mediasi - Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, cet ke-2 (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 21. Lihat penjelasan sengketanya dalam Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, cet ke-2 (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 435-443. 15 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 226.

  berdasarkan pada perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Arbitrase

  16

  sebagaimana diungkapkan oleh Nolan-Haley bahwa :

  Arbitration is the most formalized alternative to the court adjudication of dispute. In this process, disputing parties present their case to a neutral third party who is empowered to render a decision. Pragmatic and policy condiserations have led courts and legislatures to endorse arbitration as the preferred process in resolving a wide range of disputes.

  (Terjemahan : Arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang paling formal untuk mengadili sengketa. Dalam proses ini, para pihak yang bersengketa menyerahkan sengketa kepada pihak ketiga yang netral yang berwenang memberikan suatu keputusan. Berkat dukungan pembuat undang-undang dan pertimbangan pragmatis maka arbitrase menjadi pilihan dalam proses penyelesaian sengketa secara luas).

  Arbitrase memiliki beberapa keunggulan sehingga menjadi pilihan utama dalam perjanjian perdagangan. Arbitrase merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa, karena keuntungan- keuntungan yang dimilikinya, yaitu bersifat rahasia, efektif serta merupakan metode

  17

  penyelesaian sengketa bisnis internasional yang diterima secara umum. Gary

  18 Goodpaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim menyebutkan ada beberapa alasan

  memilih arbitrase yaitu : 16 Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In a Nutshell, (St. Paul, Minnesota: West Publishing Company, 1992), hlm. 119. 17 Alan Redfern dan Martin Hunter mengatakan, “international commercial arbitration is a way

  of resolving disputes which the parties choose for themselves. It is private, it is effective and in most parts of the world, it is now the generally accepted method of resolving international business disputes,” sebagaimana tertulis dalam Alan Redfern and Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration , Third Edition, (London : Sweet & Maxwell, 1999), hlm. 1. 18 Gary Goodpaster, Felix O Soebagjo, Fatmah Jatim, “Tinjauan Terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang Di Indonesia” dalam Felix O. Soebagjo & Erman Rajagukguk

  (eds), Arbitrase di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995), hlm. 19-22. Pendapat lain dari Ridwan Khairandy mengatakan bahwa keuntungan yang dapat diambil oleh para pihak pengusaha dalam memilih arbitrase sebagai penyelesaian sengketanya adalah karena; pertama, netralitas dari dewan arbitrase yang dipilih, artinya tidak memiliki karakter nasional; kedua, pelaksanaan putusan a.

  Kebebasan , kepercayaan dan keamanan.

  b.

  Keahlian (expertise).

  c.

  Cepat dan hemat biaya d. Bersifat rahasia e. Bersifat non-preseden f. Kepekaan Arbiter g.

  Pelaksanaan keputusan h. Kecenderungan yang modern.

19 Robert L. Bonn memberikan paparan tentang keuntungan menggunakan

  arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa investasi, bisnis, dan dagang internasional dengan mengatakan bahwa :

  The increasingly widespread use of arbitration to handle contract related disputes could be explained by the advantages the system enjoys in comparison to court litigation, inter alia : (Semakin luasnya penggunaan arbitrase untuk

  menangani perselisihan kontrak dapat dijelaskan oleh keuntungan sistemnya dibandingkan dengan litigasi pengadilan, antara lain) :

1. The use of decision makers of arbitration disputes are experts in the subject

  . (Menggunakan pengambil keputusan sengketa arbitrase

  matter in dispute yang ahli sesuai dengan materi sengketa).

  2. An arbitration hearing is more flexible than a court of law where expert testimony can only be introduced through the somewhat cumbersome system of expert witnesses. When this expertise is combined with the relative absence of restraints on the arbiter-especially in the area of evidence admitted to the forum, the manner in which he conducts the hearings. (Sidang arbitrase lebih

  fleksibel daripada pengadilan di mana pernyataan ahli hanya dapat diketahui

  arbitrase mungkin lebih bernilai dari pihak yang dimenangkan daripada putusan pengadilan karena cenderung siap untuk dilaksanakan berdasarkan Konvensi New York 1958; ketiga, penyelesaian sengketa melalui arbitrase sifatnya rahasia dan tidak terbuka untuk umum, seperti litigasi dalam pengadilan; keempat, para pihak dalam penyelesaian melalui arbitrase bebas untuk memilih prosedur penyelesaian sengketa tersebut; kelima, para pihak bebas untuk memilih anggota arbiter; keenam, keluwesan dalam prosedur arbitrase, artinya akan menghemat biaya; ketujuh, putusan arbitrase dapat disepakati sebagai putusan akhir dan mengikat yang artinya tidak dapat ditinjau lagi, dan kedelapan, para pihak memiliki keleluasaan untuk sepakat mengenai tempat di mana proses arbitrase tersebut akan dilakukan. Lihat dalam Ridwan Khairandy, Modul Hukum Investasi (Yogyakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2006), hlm. 193. 19 Robert L. Bonn, “Arbitration : An Alternative System for Handling Contract Related Disputes ,” diambil dari Disertasinya yang berjudul, Commercial Arbitration: A Study in the Regulation of Interorganizational Conflict , Administrative Science Quarterly, Vol. 17, No. 2 (Jun., 1972), (New York : New York University, 1971), hlm. 257. melalui sistem kesaksian yang cukup rumit. Ketika keahlian ini dikombinasikan dengan tidak adanya pembatasan tertentu pada arbiter terutama pada bukti yang diakui forum, sesuai etika pemeriksaan).

  3. The lack of binding precedents of the system of arbitration shows flexibility in

which, the public legal system does not enjoy. The principles guiding the

dispute resolution process can thus rest on custom rather than on law,

whether it be trade custom, as in commercial arbitration, or custom of the

shop, as in labor arbitration. (Kurangnya preseden yang mengikat sistem

arbitrase menunjukkan fleksibilitas, di mana tidak ada sistem hukum umum.

  Prinsip-prinsip proses penyelesaian sengketa dapat ditiadakan untuk hal tertentu, apakah itu kebiasaan perdagangan, seperti dalam arbitrase komersial, atau kebiasaan perusahaan seperti dalam arbitrase tenaga kerja).

  4. Arbitration is economical because it can dispense with lawyers and expert

witness fees (Arbitrase adalah ekonomis karena dapat mengesampingkan

  pengacara dan biaya saksi ahli).

  5. Arbitration process is speedy and faster than national court, in which, its

speed means that less time need be spent on particular cases and faster

because crowded court dockets often result in delay (Proses arbitrase cepat

  dan lebih cepat daripada pengadilan nasional, di mana, cepat berarti lebih sedikit waktu yang perlu dihabiskan untuk sengketa-sengketa tertentu dan lebih cepat karena proses pengadilan sering mengakibatkan keterlambatan).

  6. Arbitration provides secrecy since it is not a public forum and, unless

specifically requested by the parties themselves, neither records nor

transcripts of hearings are maintained (Arbitrase menyediakan kerahasiaan

  karena bukan forum publik dan, kecuali secara khusus diminta oleh para pihak sendiri, baik catatan atau transkrip sidang dijaga).

7. Arbitration affords more certainty because of the absence of the possibility of

  (Arbitrase memberi kepastian lebih karena adanya

  legal appeal; and

  kemungkinan banding secara hukum; dan) 8. Arbitration is the maintenance of business relationships. Finally, many argue

  

that due to its speed, economy, and flexibility, parties are able to maintain a

business relationship, while they settle a dispute that has arisen between them

  (Arbitrase adalah pemeliharaan hubungan bisnis. Akhirnya, banyak yang berpendapat bahwa kecepatan, ekonomi, dan fleksibilitas, para pihak mampu mempertahankan hubungan bisnis, sementara sengketa yang timbul diselesaikan di antara para pihak).

20 Carolyn Hotchkiss mengatakan bahwa arbitrase sebagai suatu forum yang

  lebih popular daripada forum litigasi, dengan keuntungan sebagai berikut :

  The arbiters may or may not be lawyers: for example, a contruction contract dispute may have engineers arbiters. The arbitration process is likely to be faster than some litigation, especially in the United Stated. It may have a more streamlined process of getting to a hearing, especially when compared to the expensive and cumbersome discovery process in the United States. A major factor in favor of arbitration is its lack of publicity. Unlike court proceedings, which are open to the public and often result in published decisions, arbitration is a private process. The ultimate decision goes only to the involved parties. A business concerned about the public disclosure of confidential information will tend to try to resolve disputes through arbitration.

  (Terjemahan : Para arbiter dapat berasal dari bidang hukum atau bukan : misalnya, perselisihan kontrak konstruksi mungkin memilih arbiter dibidang tehnik. Proses arbitrase mungkin akan lebih cepat daripada litigasi, terutama di Amerika Serikat. Arbitrase memiliki proses yang lebih efisien dalam hal dengar pendapat, terutama jika dibandingkan dengan proses mahal dan rumit di Amerika Serikat. Faktor utama dalam mendukung arbitrase adalah kurangnya publikasi. Tidak seperti proses pengadilan, yang terbuka untuk umum dan seringkali menghasilkan keputusan yang dipublikasi, arbitrase merupakan proses rahasia. Keputusan akhir hanya untuk pihak-pihak yang terlibat. Suatu usaha akan cenderung memilih arbitrase dalam penyelesaian sengketanya untuk menjaga informasi yang rahasia).

21 Streng dan Salacuse mengatakan arbitrase itu adalah suatu cara yang sudah

  tua usianya untuk menyelesaikan sengketa, cara mana telah dikenal oleh sebagian

  22

  besar masyarakat dunia. Michael B. Metzger mengemukakan bahwa “As compared

  with the court system, the main advantages claimed for arbitration are : Quicker 20 Carolyn Hotchkiss, International Law For Business, (Singapore : McGraw-HILL International Editions, 1994), hlm. 155-156. 21 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, (Jakarta : Komponen Hukum Ekonomi Elips Project, 1995), hlm. 1, dikutip dalam Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.110. 22 Michael B. Metzger, et.al., Business Law and Regulatory Environment : Concept and Cases, (Boston : Irwin, 1989), hlm. 23, dikutip dalam Rachmadi Usman, ibid., hlm. 111.

  resolution of dispute, Lower cost in time and money to the parties, and The

availability of professional who are often expert in the subject matter of dispute. ”

  Beberapa keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan sistem pengadilan yaitu penyelesaian sengketa lebih cepat, biaya rendah dalam hal waktu dan uang, dan ketersediaan ahli yang profesional dalam sengketa. Selain itu, melalui arbitrase para pihak juga memiliki otonomi yang luas yaitu bebas menentukan isi perjanjian prosedur arbitrase dan pilihan forum sebagai implementasi asas kebebasan berkontrak (pacta sunt servanda).

  Dari uraian tersebut, secara umum telah disepakati bahwa kerahasiaan (confidentiality) proses dan putusan arbitrase merupakan salah satu keuntungan utama dan alasan mengapa para pihak telah memilih arbitrase sebagai sarana untuk

  23

  menyelesaikan sengketa, sebagaimana diungkapkan oleh F. De Ly bahwa

  ”there is a common agreement that arbitration is private and confidential and it is also widely assumed that confidentiality is one of the main advantages and reasons why the parties have chosen arbitration as the means of resolving disputes ” (terdapat

  kesepakatan secara umum bahwa arbitrase bersifat pribadi dan rahasia serta diasumsikan secara luas bahwa kerahasiaan merupakan salah satu keuntungan utama dan alasan mengapa para pihak telah memilih arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa). Akan tetapi kewajiban kerahasiaan secara internasional yang telah melekat pada arbitrase, saat ini sudah mulai diterobos dan mulai ditinggalkan dengan 23 F. De Ly, and others, eds., “Confidentiality in International Commercial Arbitration, diakses tanggal 27 Februari 2013.

  dianutnya prinsip keterbukaan (transparency) dalam bentuk publikasi putusan. Penerobosan prinsip tersebut terlihat salah satunya dalam Pasal 48 ayat (5) Konvensi

  ICSID dan Aturan 48 ayat (4) ICSID Arbitration Rules yang telah memberi peluang terutama kepada putusan arbitrase yang dapat dipublikasikan jika disepakati oleh para pihak.

  Prinsip kerahasiaan (confidentiality) saat ini tidak lagi dipandang sebagai hal penting, pernyataan mana didasarkan oleh hasil penelitian yang dilakukan Richard

24 Naimark dan Stephanie Keer yang mengambil populasi sampel terdiri dari

  pengacara dan para pihak yang menyelesaikan sengketa melalui American Arbitration

  Association (AAA), dengan kesimpulan bahwa kenyataannya, privasi atau

  kerahasiaan bukan salah satu dari aspek penting dalam arbitrase internasional komersial. Berdasarkan penelitian tersebut, sebagian besar peserta survei menulis bahwa kerahasiaan tidak lagi sebagai atribut penting dalam arbitrase. Atribut lain yang lebih penting adalah ditekankan pada kewajaran dan hasil yang adil, putusan mengenai biaya, finalitas putusan dan keahlian arbiter serta hal lain yang lebih

  25 penting dari kerahasiaan adalah hubungan yang berkelanjutan dengan pihak lawan.

24 Cindy G. Buys, “The Tensions Between Confidentiality and Transparency in International

  Arbitration, Social Science Research Network International Journal, ssrn.com., hlm. 2., diakses tanggal 1 Januari 2013. Mengatakan bahwa “… in fact, privacy or confidentiality is not one of the most valued aspect of inte 25 rnational commercial arbitration.”

  Ibid. Lihat juga Stephen B. Golberg, Frank E.A. Sander, Nancy H. Rogers, Alternative Dispute : Negotiation, Mediatison and Other Process, Edisi kedua, (Boston Toronto London : Little Brown and Company, 1992), hlm. 119-221.

  26

  27 Survei lain yang dilakukan oleh Hong-Lin Yu bahwa hanya 32 negara dari

  28

  93 negara yang mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan dalam peraturan arbitrase, mediasi atau konsiliasi dinegaranya termasuk Indonesia, 5 negara lainnya yaitu Austria, Ekuador, Inggris, Singapura, dan Venezuela hanya mengatur secara

  29

  tidak langsung (indirect, implied) mengenai kewajiban kerahasian, dan 56 negara tidak mengatur mengenai kerahasiaan dalam penyelesaian sengketa arbitrase.

  Selanjutnya berdasarkan data publikasi lembaga ICSID, sejak tahun 1972 sampai

  30

  dengan tanggal 31 Desember 2013 sebagian besar putusan telah dipublikasi, baik melalui website resmi lembaga ICSID, jurnal internasional maupun website resmi

  31 atau media pemberitaan negara masing-masing. 26 Hong- Lin Yu, “Duty of Confidentiality : Myth and Reality, Westlaw International Journal, C.J.1.2012, 31 (1), 68-88, , hlm. 3, diakses tanggal 2 Januari 2013. 27 Negara Aljazair, Australia, Belarus, Bermuda, Kosta Rika, Kroasia, Republik Ceko, Mesir, El Salvador, Perancis, Hongkong, India, Indonesia, Lativia, Lithuania, Maroko, Selandia Baru,

  Nikaragua, Nigeria, Panama, Peru, Rumania, Skotlandia, Slovenia, Spanyol, Taiwan, Uganda, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Venezuela, Zambia, dan Belanda. 28 Negara Aljazair, Australia, Belarus, Bermuda, Costa Rica, Croatia, Republik Ceko, Mesir, El Salvador, Perancis, Hong Kong, India, Indonesia, Lativia, Lithuania, Maroko, Selandia Baru, Nikaragua, Nigeria, Panama, Peru, Rumania, Skotlandia, Slovenia, Spanyol, Taiwan, Uganda, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Venezuela, Zambia, Belanda, Argentina, Antigua dan Barbuda, Bahrain, Bangladesh, Belgia, Brazil, Bulgaria, Kamboja, Kanada, Chili, Cina, Colombia, Cyprus, Denmark, Finlandia , Jerman, Yunani, Guatemala, Hungaria, Iran, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Yordania, Kenya, Kuwait, Lebanon, Luxemburg, Madagaskar, Mauritania, Mauritius, Meksiko, Norwegia, Oman, Pakistan, Paraguay, Polandia, Portugal, Qatar, Rusia, Arab Saudi, Serbia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Sri Lanka, Swedia, Swiss, Suriah, Thailand, Tunisia, Turki, Ukraina, Yaman, Yugoslavia, Zimbabwe, Austria, Ekuador, Inggris, Singapura, Venezuela. 29 Negara Argentina, Antigua dan Barbuda, Bahrain, Bangladesh, Belgia, Brazil, Bulgaria, Kamboja, Kanada, Chile, Cina, Colombia, Cyprus, Denmark, Finlandia , Jerman, Yunani, Guatemala,

  Hungaria, Iran, Irlandia, Israel, Italia, Jepang, Yordania, Kenya, Kuwait, Lebanon, Luxemburg, Madagaskar, Mauritania, Mauritius, Meksiko, Norwegia, Oman, Pakistan, Paraguay, Polandia, Portugal, Qatar, Rusia, Arab Saudi, Serbia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Sri Lanka, Swedia, Swiss, Suriah, Thailand, Tunisia, Turki, Ukraina, Yaman, Yugoslavia, dan Zimbabwe.

  

   diakses pada tanggal 31 Mei 2014.

  Di Indonesia, tidak ada pengecualian secara tegas dalam undang-undang

  32

  untuk mengenyampingkan ketentuan prinsip kerahasiaan sebagaimana di Malaysia, dalam arti jika para pihak menghendaki putusan dipublikasikan maka para pihak sendirilah yang berhak mempublikasikan dan berada di luar kewenangan arbiter dan majelis arbitrase. Apabila arbiter atau majelis arbitrase melanggar ketentuan tersebut maka akan dianggap sebagai perbuatan yang melampaui kewenangan (manifestly

  exceede its power) dan dapat dikategorikan sebagai tindakan perbuatan melawan

  hukum (unlawfull conduct, onrechtmatige daad) atas alasan telah mencemarkan nama baik para pihak serta para pihak atau salah satu pihak dapat menuntut ganti rugi kepada para anggota arbiter melalui gugat perdata biasa berdasarkan gugatan

  33 perbuatan melawan hukum.

  Prinsip dalam hukum acara perdata umumnya menganut prinsip terbuka untuk umum, kecuali untuk perkara tertentu yang diatur oleh undang-undang sebagaimana dalam Pasal 29 RO (Reglement op de Rechterlijke Rechtsvordering) dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah oleh Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

  34

  (selanjutnya UU Kekuasaan Kehakiman). Prinsip terbuka untuk umum merupakan salah satu prinsip hukum acara perdata yang artinya bahwa setiap orang 32 KLRCA (Kuala Lumpur Regional Center for Arbitration) i-Arbitration Rules 2012, Rule 13

  menyatakan bahwa : “Confidentiality : The arbitral tribunal, the parties and the KLRCA shall keep confidential all matters relating the arbitral proceedings. Confidentiality extends also to any award, except where its disclosure is necessary for purposes of implementation and enforcement 33

  .” 34 M. Yahya Harahap, Arbitrase.,Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2001), hlm. 253.

Pasal 13 ayat (1) UU Kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

  diperbolehkan hadir dan mendengar pemeriksaan di persidangan serta dapat mengetahui isi putusan berikut pertimbangan hakim kecuali perkara tertentu yang ditentukan oleh undang-undang. Meski demikian, pada tahap pembacaan putusan seluruhnya harus tetap terbuka untuk umum, padahal dalam putusan juga terangkum uraian proses pemeriksaan seperti keterangan saksi, fakta-fakta hukum dan pertimbangan hukum hakim.

  35 Tujuan prinsip terbuka untuk umum menurut Sudikno adalah : a.

  Memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam peradilan.

  b.

  Menjamin obyektifitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaannya ”fair”, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat.

  c.

  Secara formil membuka kesempatan untuk ”social control”. Selain tujuan di atas, sifat terbukanya persidangan berperan dalam pembentukan hukum melalui yurisprudensi. Putusan hakim terutama pertimbangan hakim yang terbuka dapat dijadikan pedoman oleh hakim-hakim lain dalam menjatuhkan putusan.

  Berbeda dengan pemeriksaan arbitrase secara internasional yaitu tentang sengketa penanaman modal antara investor asing dengan negara penerima modal

  (host state ) yang diselesaikan melalui lembaga arbitrase ICSID. Melalui lembaga

  ICSID, putusan dapat bersifat terbuka untuk umum dalam arti putusan dapat dipublikasi oleh lembaga arbitrase dengan syarat bahwa terdapat persetujuan dari kedua belah pihak untuk itu. Jadi, kerahasiaan dan keterbukaan bersifat alternatif,

35 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi keenam (Yogyakarta : penerbit Liberty, 2002), hlm. 14.

  dapat terbuka dan dapat bersifat tertutup atau rahasia sesuai dengan kesepakatan para pihak.

  Sejalan dengan hal tersebut, terdapat kebijakan akses informasi Bank Dunia yang baru diberlakukan, yang memberikan akses terhadap semakin banyaknya informasi dibandingkan masa-masa sebelumnya, terutama mengenai kegiatan Dewan serta proyek-proyek yang sedang berjalan. Kebijakan yang disetujui oleh Dewan Direktur Eksekutif pada bulan November 2009, merupakan perubahan besar bagi Bank Dunia dan kebijakan ini sudah diakui oleh komunitas pembangunan sebagai pergeseran mendasar dalam pendekatan, yang menjadi standar bagi organisasi- organisasi internasional. Kebijakan ini didasarkan pada undang-undang informasi yang diadopsi oleh India dan Amerika Serikat sebagaimana diucapkan oleh Robert B.

36 Zoellick, Presiden Bank Dunia bahwa

  ”kebijakan yang baru ini merupakan suatu perubahan besar bagi Bank Dunia terhadap pendekatan dalam keterbukaan informasi, transparansi, saling bagi pengetahuan dan akuntabilitas, publik sekarang mempunyai akses terhadap berbagai macam informasi yang jauh lebih luas daripada sebelumnya.

  ” Adanya peluang penerapan prinsip keterbukaan secara alternatif bersama dengan prinsip kerahasiaan dalam lembaga arbitrase ICSID telah memberikan kekhususan dalam putusan arbitrase investor asing melawan pemerintah suatu negara karena dengan adanya peluang konsumsi publik atas putusan maka pemerintah 36

  “Bank Dunia Memperluas Akses Informasi untuk Publik,” tanggal 1 Juli 2010, diakses dari tanggal 10 Desember 2012. maupun badan hukum swasta yang terlibat akan menanggung akibat berupa turunnya popularitas masing-masing jika terdapat kesalahan penerapan hukum yang berkaitan dengan tidak profesionalnya para pihak. Dengan keterbukaan, investor dan host state dapat memperhatikan putusan terdahulu untuk mempertimbangkan hal-hal yang serupa di kemudian hari sehingga mengurangi jumlah sengketa yang timbul akibat investasi. Untuk itu suatu negara harus membuat kebijakan politik yang

  37

  menguntungkan negaranya sebagaimana pendapat Sudarto bahwa proses politik mempengaruhi lahirnya suatu produk hukum.

  Keterbukaan merupakan kunci lahirnya pertanggungjawaban (accountability). Melalui keterbukaan maka pembuat keputusan dalam hal ini arbiter dan lembaga arbitrase akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.

  Secara konvensional, wujud keterbukaan adalah proses persidangan terbuka untuk umum dan pembacaan putusan yang terbuka untuk umum serta dapat di akses publik.

  Keterbukaan juga merupakan salah satu pilar utama dalam konsep tata pemerintahan yang baik (good governance). Ada 3 (tiga) hak publik yang relevan berkaitan dengan

  38

  prinsip keterbukaan yaitu : 37 Menurut Sudarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang

  berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang dikandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita- citakan. Lihat Soedarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum, dalam Hukum dan Keadilan,

5 Januari - Februari 1979, hlm. 13-15. Sedangkan menurut Solly Lubis, politik hukum (legal

  policy/rechts politick ) adalah kebijakan (policy) yang menetapkan sistem dan perangkat hukum yang akan berlaku dalam negara, dalam SollyLubis, Serba-Serbi Politik & Hukum (Jakarta : PT. Sofmedia, 2011), hlm. 52 dan kuliah Politik Hukum tanggal 3 November 2011. 38 Mahkamah Agung Republik Indonesia, SK KMA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi Di Pengadilan, (Jakarta : Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2008), hlm.

  9-10. a.

  Hak publik untuk memantau dan mengamati perilaku pejabat publik.

  b.

  Hak publik atas informasi.

  c.

  Hak untuk mengajukan keberatan.

  Di Indonesia, arbitrase pertama kali dikenal ketika Pemerintah Belanda menjajah Indonesia yang saat itu meratifikasi Konvensi Jenewa 1927 tentang

  39 Pengakuan Arbitrase Asing. Selanjutnya dalam HIR (Het Herziene Indonesisch

  40 Reglement) tidak mengatur mengenai arbitrase, karena HIR khusus untuk golongan

  Bumiputera dan Timur Asing termasuk Tionghoa. Tetapi HIR mengizinkan masyarakat Bumiputera dan Timur Asing untuk menyelesaikan sengketa melalui proses arbitrase, dengan catatan bahwa para pihak wajib mematuhi aturan-aturan yang digunakan oleh orang-orang Eropa, hal ini diatur dalam Pasal 377 HIR dan

  41 Pasal 705 RBg.

  Peraturan arbitrase yang demikian telah banyak merugikan penduduk pribumi Indonesia karena telah menimbulkan diskriminasi dan keadaan yang tidak adil.

  Kebijakan hukum yang membagi dua sistem hukum acara arbitrase menyebabkan lambatnya proses pendirian lembaga arbitrase di Indonesia, terbukti lembaga arbitrase nasional yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) baru didirikan pada tahun 1977 dan peraturan arbitrase nasional yang baru terbentuk tahun 1999 melalui UU 39 Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 314. 40 41 Staatsblad 1941 : 44

  Pasal 377 HIR / Pasal 705 RBg menyatakan bahwa jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan para pihak diputuskan oleh juru pisah maka para pihak wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi Bangsa Eropa. Arbitrase karena kebutuhan mengenai arbitrase semakin diperlukan oleh para pelaku bisnis yang kemudian direspon oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang.

  Secara internasional, salah satu lembaga arbitrase adalah International Center

  for The Settlement of Investment Dispute (ICSID) yang berfungsi menyelesaikan sengketa penanaman modal asing yang bernaung dan diprakarsai oleh Bank Dunia.

  Lembaga ini terbentuk berdasarkan Konvensi Washington atau World Bank

  Convention yang ditandatangani di Washington D.C. pada tanggal 18 Maret 1965 dan

  mulai berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966 (disingkat Konvensi ICSID). Konvensi

  ICSID terbentuk sebagai akibat dari situasi perekonomian dunia pada era tahun 1950- 1960 dan beberapa negara berkembang menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di dalam wilayahnya. Tindakan ini mengakibatkan konflik-konflik ekonomi yang dapat berubah menjadi sengketa politik atau bahkan sengketa

  42 terbuka.

  Konvensi ICSID ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 16 Februari 1968 dan diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 tanggal 29 Juni 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warganegara Asing Mengenai Penanaman Modal yang mana ratifikasi ini merupakan

  43

  cikal bakal peraturan tentang penanaman modal, dengan peraturan-peraturan 42 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 315. 43 Selanjutnya lahir Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan

  dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Terakhir kemudian lahir Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang mana dalam Pasal 38 mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Undang-Undang Nomor 11 Tahun tersebut pula maka terdapat jaminan perlakuan yang adil bagi investor yaitu adanya jaminan bagi para investor berupa tidak akan diperlakukan sewenang-wenang, serta bertujuan untuk meyakinkan para investor asing bahwa pemerintah Indonesia selalu mengikuti aturan-aturan internasional dan setuju untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.

  Tujuan dari ratifikasi Konvensi ICSID sebagaimana dikatakan oleh Yahya Harahap

  44

  adalah : Untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau

  joint venture di Indonesia. Sebab dengan diakui konvensi tersebut oleh

  Pemerintah Indonesia, sedikit banyak akan memberi keyakinan kepada pihak pemodal asing bahwa sengketa yang timbul kelak dapat di bawa ke forum arbitrase atas kesepakatan para pihak. Penyelesaian sengketa yang timbul, tidak didasarkan pada ketentuan tata hukum Indonesia yang pada umumnya kurang dipahami, serta barangkali dianggap jauh tertinggal dan kurang sempurna menyelesaikan masalah-masalah yang berskala hubungan internasional.

  Kemudian Ningrum Natasya Sirait

  45

  mengatakan bahwa : Pada saat ini tidak ada satupun negara yang terbebas dari permasalahan yang menyangkut politik, ekonomi, dan upaya demokratisasi, walaupun tingkat problematikanya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dari berbagai sistem ekonomi yang ada, maka setiap negara akan menerapkan sistem yang dianggap tepat dan sesuai dengan kepentingan nasional negara tersebut.

  Sejalan dengan hal tersebut Pemerintah Indonesia menetapkan sistem hukumnya dengan memberi peluang untuk mengajukan sengketa kepada lembaga

  1970 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan juga mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. 44 M. Yahya Harahap, Arbitrase, Op.Cit., hlm. 5-6 45 Ningrum Natasya Sirait, “Indonesia dalam Menghadapi Persaingan Internasional, Pidato

  Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional , (Medan : USU, 2 September 2006), hlm. 1-2. arbitrase internasional yaitu melalui Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya UU PMA) yang menyatakan bahwa

  dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah

  dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak,

   dengan kata lain

  bahwa sengketa investasi diselesaikan melalui arbitrase ICSID jika disepakati. Aturan ini mendukung timbulnya beberapa sengketa arbitrase berkaitan dengan investor

  46

  asing melawan Pemerintah Republik Indonesia antara lain : 1.

  PT. Amco Asia Corporation, Pan American Developtment Limited dan PT. Amco Indonesia v. Republik Indonesia (ICSID Case No. ARB/81/1).

  2. Cemex Asia Holding Ltd. v. Republik Indonesia (ICSID Case No. ARB/04/3).

  3. Churchill Mining and Planet Mining Pty Ltd, formerly v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/12/14 dan 12/40).

  4. Government of the Province of East Kalimantan v. PT Kaltim Prima Coal and others (ICSID Case No. ARB/07/3).

  5. Churchill Mining and Planet Mining Pty Ltd, formerly v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/12/40 dan 12/14).

  6. Rafat Ali Rizvi v. Republik Indonesia (ICSID Case No. ARB/11/13). yang merupakan sengketa-sengketa yang disepakati oleh para pihak untuk dimintakan penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase ICSID. 46 Lihat juga diakses tanggal 1 Desember 2012.

  Penanaman modal asing tidak dapat di lihat lepas daripada peranannya di dalam pembangunan ekonomi dan rencana pembangunan (economic planning), karena penanaman modal asing hanya merupakan salah satu faktor dalam usaha

  47

  pembangunan ekonomi. Berkaitan dengan hal ini Sunarjati Hartono menyitir pendapat Stanley D. Metzger bahwa “involves nothing less than the transformation of

  a society and its economy,” sebagaimana dikemukakan juga oleh Richard N. Gardner

  bahwa “I don‟t see how we can solve any one of these problems unless we solve the

  other two,

  … in recent years we have sometimes failed, because we fragmented them

  artificially

  ”. Kedua pendapat tersebut menjelaskan bahwa perubahan masyarakat dan ekonomi banyak melibatkan penanaman modal sehingga masalah yang timbul dalam penanaman modal tidak dapat dipisahkan penyelesaiannya dengan masalah pembangunan ekonomi, jika diselesaikan secara terpisah maka akan menimbulkan kegagalan seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir.

  Salah satu faktor yang berkaitan dengan penanaman modal asing adalah mengenai kepastian hukum dan mekanisme penyelesaian sengketa di Negara Indonesia yang mana dinilai kurang menguntungkan investor. Keluhan utama

  48

  investor asing menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah masalah kepastian hukum di mana undang-undang tidak jelas dan saling bertentangan. Senada dengan hal 47 C.F.G. Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Bandung : Bina Tjipta, 1972), hlm. 1 sebagaimana dikutip dari Stanley D.

  Metzger & John Carey (ed.), Law and nd Policy Making For Trade Among “Have” and “Have-not” Nations, 48 2 .ed (New York : Oceana Publications, Inc., 1968), hlm. 5.

  Mochtar Kusumaatmadja, Investasi di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Pelaksanaan Perjanjian Hasil Putaran Uruguay, Jurnal Hukum No. 5, Vol.3, 1996, hlm. 6.

  49

  tersebut, Erman Rajagukguk menyatakan bahwa ketidakpastian hukum akan berpengaruh pada perekonomian, di mana tidak adanya kepastian hukum akan mengakibatkan terpuruknya kegiatan investasi khususnya investasi asing yang tentu saja akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi bangsa dan Negara Indonesia. Oleh karenanya demi menciptakan iklim investasi yang “favourable” maka salah satu hal yang perlu diperbaiki adalah mekanisme penegakan hukum dan penyelesaian sengketa khususnya di bidang perdagangan dan penanaman modal melalui arbitrase yaitu tentunya melalui hukum positif yang ada. Untuk mencapai hal tersebut, salah satunya dengan penyelesaian sengketa arbitrase investasi yang terbuka yang diharapkan akan memberikan perlindungan hukum bagi investor dan negara tempat melakukan investasi (selanjutnya disebut host state).

  UU PMA memang telah mengatur mengenai prinsip keterbukaan, namun tidak serta merta jelas mengelaborasikan dengan ketentuan arbitrase pada umumnya terutama dengan lembaga arbitrase ICSID yang khusus menyelesaikan sengketa mengenai penanaman modal asing. Padahal, prinsip keterbukaan atas putusan sengketa arbitrase yang diharapkan dapat mencerminkan setidak-tidaknya kepastian hukum adalah hal yang baru sehingga menarik untuk diteliti dan dianalisis yang selanjutnya disusun dal am bentuk disertasi dengan judul ”Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara. 49 ” Kompas, tanggal 7 Februari 1998.

B. Permasalahan

  50 Permasalahan yang akan di identifikasi lebih lanjut dalam penelitian ini

  sesuai latar belakang masalah bertujuan untuk menemukan suatu pemecahan terhadap beberapa masalah yang telah diidentifikasi tersebut. Melakukan identifikasi masalah

  51

  yang dikemukakan itu harus diselaraskan dengan karakter atau model penelitian,

  52

  atau dengan hakikat dari persoalan yang dikaji. Pokok permasalahan yang akan diteliti terkait adalah sebagai berikut :

  1. Mengapa prinsip keterbukaan atas putusan arbitrase diperlukan dalam penyelesaian sengketa penanaman modal asing melalui ICSID antara investor dan