BAB II IMPLIKASI PENGATURAN PERBANKAN SYARIAH BAGI ARBITRASE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH A. Dinamika Pengaturan Perbankan Syariah Dalam Memperkuat Eksistensi Perbankan Syariah Pada Sistem Hukum Perbankan Nasiona - Prinsip Arbitrase Berb

  negara. Berbagai kegiatan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sektor perbankan. Dari berbagai jenis lembaga keuangan, perbankan merupakan sektor yang

   paling besar pengaruhnya dalam aktivitas perekonomian masyarakat modern.

  Perbankan menjadi urat nadi ekonomi yang sangat berpengaruh dalam lalu lintas

  

  harta dan pengembangan ekonomi. Pelaku dan dunia usaha dalam melakukan kegiatan ekonomi syariah, senantiasa berhubungan dengan perbankan. Tidak ragu lagi, perbankan yang berfungsi sebagai perantara keuangan (financial intermediary),

  

  memiliki peran penting dalam kehidupan perekonomian masyarakat. Industri perbankan berfungsi sebagai penunjang perekonomian suatu negara yang berbentuk penghimpunan dan penyaluran dana serta dapat berbentuk memperlancar pembayaran

  

  transaksi perdagangan domestik maupun internasional. Fungsi tersebut dapat

  185 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk Dan Implementasi Operasional Bank Syariah , (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 20. 186 187 Musthafa Dib Al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah, (Jakarta: Hikmah, 2010), hlm. 71.

  Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 67. 188 Zulkarnain Sitompul, Op. Cit., hlm. 23. Fungsi bank dikatakan sebagai perantara (financial

intermediary ) karena merupakan lembaga yang menghimpun dana dari investor, mengumpul dan dikatakan sebagai ‘aliran darah’ bagi perkembangan perekonomian dan peningkatan

   standar taraf hidup.

  Perbankan bagi perekonomian modern telah memudahkan pertukaran dan membantu pembentukan modal dan produksi yang berskala massal yang tidak ada

  

  taranya dalam sejarah umat manusia. Perbankan telah menunjukkan peranan penting dalam pengembangan dan pertumbuhan masyarakat industri modern.

  Produksi berskala besar dan besarnya modal yang dilibatkan dalam pengembangan dan pertumbuhan itu tidak mungkin dicapai tanpa bantuan bank. Tidak ada masyarakat modern yang dapat mencapai kemajuan pesat atau bahkan dapat

   mempertahankan angka pertumbuhan tanpa bank.

  Dalam konteks pemahaman ajaran Islam, aktivitas perekonomian (economic

  

activities ) merupakan bagian dari kegiatan muamalah yang memberi perhatian

  terhadap berbagai kepraktisan kehidupan duniawi dalam berbagai bentuk hubungan antarmanusia. Dari dalam aktivitas ekonomi inilah terdapat aktivitas keuangan dan

  

  perbankan (banking and financial activities). Merealisasikan nilai-nilai ekonomi Islam dalam aktivitas nyata masyarakat, dilakukan dengan mendirikan lembaga- lembaga keuangan yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah, diantaranya

  

  mendirikan lembaga keuangan bank dalam bentuk bank syariah. Perbankan syariah 189 190 Ibid., hlm. 1. 191 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Bank Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), hlm. 58.

  Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 4, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996), hlm. 337-338.. 192 Abdul Halim Ismail, “Bank Islam Malaysia Berhad”, dalam Pengembangan Perbankan, Nomor 28, Jan-Peb. 1991, hlm. 54. 193 Sistem keuangan di Indonesia dijalankan oleh lembaga keuangan bank dan lembaga sebagai bagian dari struktur keuangan Islam turut berperan dalam aktivitas pembangunan perekonomian. Struktur keuangan Islam bersumber dari Alquran dan Sunnah dan penafsiran fuqaha terhadap sumber otoritas tadi. Struktur keuangan Islam dalam beberapa dekade terakhir tampil sebagai salah satu implementasi modern dari

   sistem hukum Islam yang paling penting dan berhasil.

  Eksistensi keuangan Islam bersumber dari perintah Alquran dan Sunnah yang memberi makna, struktur keuangan dalam Islam merupakan bawaan yang menjadi bagian dari agama Islam, dan bukan berasal dari temuan gerakan politik Islam

  

  modern. Karena Alquran dan Sunnah menjadi sumber dan rujukan utama pemikiran ekonomi Islam, aktivitas perekonomian Islam juga telah muncul sejak Islam diturunkan dan berlangsung di masa kehidupan Nabi Muhammad, pada akhir abad 6 M hingga awal abad 7 M. Setelah masa itu, banyak pemikiran ekonomi Islam yang mengisi khasanah pemikiran ekonomi dunia, pada saat Barat masih dalam

  

  kegelapan (dark age). Berdasarkan fakta normatif ini, kurang tepat untuk menempatkan perbankan Islam yang menjadi bagian dari struktur keuangan Islam sebagai alternatif dalam menangani berbagai krisis keuangan yang terjadi. Justeru perbankan Islam yang pengoperasiannya didasarkan pada prinsip syariah merupakan solusi. Pola pengoperasionalan perbankan syariah dilakukan dengan rambu

  keuangan non-bank diantaranya pasar modal syariah, pasar uang syariah, asuransi syariah, pegadaian

syariah, pembiayaan syariah, dan sebagainya. Perhatikan Andri Soemita, Bank Dan Lembaga

Keuangan Syariah , (Jakarta: Kencana, 2009). 194

  Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Hukum Keuangan Islam: Konsep, Teori dan Praktik , (Bandung: Nusamedia, 2007), hlm. 14. 195 Ibid., hlm. 16. menjauhkan aktivitas dari berbagai unsur riba, dengan mengedepankan prinsip

   kemitraan usaha dan bagi hasil (profit and loss sharing).

  Praktek keuangan Islam yang telah berusia beberapa abad, sebagian besar mengalami kemunduran selama kurun waktu ketika hampir seluruh dunia Islam berada di bawah kekuasaan kolonial Barat. Dunia Islam di bawah pengaruh kolonial diperkenalkan untuk mengadopsi sistem keuangan dan perbankan berdasarkan pemikiran Barat serta meninggalkan praktik perdagangan Islam. Seiring perjalanan sejarah, priode modern keuangan Islam dimulai ketika negara-negara Islam

  

  memperoleh kemerdekaan setelah Perang Dunia Kedua. Kesalehan relijius telah mendorong kehidupan umat di dunia modern, untuk menyesuaikan berbagai aktivitas kehidupan, termasuk dalam kehidupan perdagangan yang memanfaatkan perbankan Islam dengan ajaran agama. Selain itu, ada kekurangpuasan terhadap perbankan konvensional di kebanyakan negara Muslim, baik di kalangan ulama dan intelektual muslim maupun masyarakat awam yang sadar akan pandangan Alquran tentang

  

  riba. Pelarangan riba (bunga) dalam Alquran berimplikasi pada kesangsian terhadap bentuk perbankan komersial konvensional seperti yang berkembang di

  

  Eropah. Dalam syariah, riba mengacu pada premi yang harus dibayar peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan pinjaman pokok sebagai syarat untuk 197

  M. Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 1. 198 Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, Op. Cit., hlm. 17. Lebih lanjut dikatakan,

berakhirnya kolonialisme dan munculnya trend keberagamaan, yang diilhami oleh kesalehan relijius, telah merangsang kebangkitan kembali keuangan Islam, di samping kekayaan besar yang dihasilkan melalui lonjakan minyak yang mempercepat proses pertumbuhannya. 199 John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern 1, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan. Dalam konteks ini, riba mempunyai pengertian yang sama sebagai bunga, sesuai dengan kesepakatan para

  

  ahli hukum Islam (fuqaha). Hikmah pelarangan riba (haram) adalah mewujudkan persamaan yang adil di antara pemilik modal dengan usaha, serta memikul risiko dan

  

  akibatnya dengan penuh rasa tanggung jawab. Ajaran Islam senantiasa mementingkan penegakan nilai keadilan dan mencela eksploitasi dalam transaksi bisnis, melalui larangan umat Islam memakan harta secara batil atau dengan cara

  

  yang tidak dibenarkan. Riba dalam sistem nilai Islam merupakan sumber

  

  penghasilan yang tidak dapat dibenarkan. Pemahaman ini kembali mengakses umat Islam untuk kembali membangun lembaga keuangan dan perbankan bebas bunga

   (riba) di zaman modern ini.

  Perbankan modern di dunia Islam berlangsung pada pertengahan abad kesembilan belas. Sejak pertengahan 1970-an, perbankan Islam berkembang pesat, dan terdapat sejumlah institusi keuangan Islam di sekitar 70 negara, yang tidak saja 201

  M. Umer Chapra, Al-Quran Menuju Sistem Moneter Yang Adil, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 27. 202 203 Yusuf Al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, (Jakarta: Akbar, 2003), hlm. 52. M. Umer Chapra, Al-Quran .... Op. Cit., hlm. 25. Alquran secara tegas melarang umat Islam untuk memakan harta secara batil. “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan

berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 188). “Hai orang-orang yang

beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu .......” (Q.S. An-Nisa [4]: 29). 204 205 Ibid., hlm. 26.

  Secara harfiah riba berarti peningkatan, penambahan atau pertumbuhan dan secara populer

diterjemahkan sebagai bunga, yang berhubungan dengan imbalan dari pinjaman atau bunga atas pinjaman (riba al-qarud atau riba al-nasiah). Tarek El-Diwany, The Problem With Interest (Sistem Bunga Dan Permasalahannya) , (Jakarta: Akbar, 2003), hlm. 171. Mayoritas kitab fiqih menyebut dua macam riba, yaitu riba nasiah dan riba fadhl. Secara umum dikatakan, riba nasiah adalah penundaan pembayaran salah satu harta yang diperjualbelikan atau ditukarkan hingga jatuh tempo. Sedang riba fadhl adalah penambahan atau kelebihan pada salah satu harta yang sejenis yang diperjualbelikan atau berada di negara dunia Islam, tetapi juga di negara non Muslim, seperti Amerika,

  

  Inggris, Rusia, Kanada, dan Irlandia. Sebelumnya, beberapa rintisan awal pendirian bank Islam yang juga disinonimkan dengan bank bebas atau tanpa bunga sebagai bandingan dari bank konvensional yang berbasis bunga, telah dilakukan secara sporadis di beberapa negara. Di India, usaha simpan pinjam bersama (loan

  

cooperative ) yang dipengaruhi oleh ideologi agama dan etika dimulai sejak 1940. Di

  Pakistan, pada akhir 1950 oleh para tuan tanah pedesaan diciptakan jaringan kredit bebas bunga, dan di Malaysia berdiri Korporasi Tabungan Haji Muslim (Muslim

  

Pilgrims Savings Corporation ) pada 1963, dengan tujuan membantu masyarakat

  menabung untuk menunaikan ibadah haji. Pada 1969, korporasi ini berkembang menjadi Pilgrims Management and Fund Board, yang sekarang dikenal dengan Tabung Haji, dan institusi ini sebenarnya merupakan lembaga keuangan non-bank. Keberhasilan Tabung haji mendorong pendirian Bank Islam Malaysia Berhard, bank

   komersial Islam yang beroperasi secara syariah penuh di Malaysia, pada 1983.

  Eksprimen besar di dunia Arab, ketika pada 1963 di Mesir didirikan lembaga keuangan Mit Ghamr yang memadukan sistem pinjam meminjam yang saling menguntungkan (mutual loan) dari Jerman dengan prinsip perbankan koperasi pedesaan menurut kerangka permodalan Islam, untuk melayani masyarakat yang 206

  Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik, dan Prospek , (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 17. Beberapa bank Eropah menawarkan produk keuangan Islam, termasuk Bank Kleinworth Benson dari London dan Perusahaan Perbankan Swiss. Instrumen keuangan Islam kian di terima di dunia internasional, bahkan di negara-negara non- Islam dan prinsip-prinsip dasarnya umumnya dipahami. John L. Esposito, Op. Cit., hlm. 262. 207 Ibrahim Warde, Islamic Finance, Keuangan Islam dalam Perekonomian Global, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 156. enggan menggunakan jasa bank konvensional karena alasan agama. Meskipun tidak tegas menyebut sebagai bank yang bergerak secara syariah, namun operasionalnya tidak mengaplikasikan bunga. Keuntungan didapatkan dari industri dan perdagangan yang dilakukan secara langsung dengan pembiayaan bisnis yang berbasis profit

  

sharing . Mit Ghamr kemudian digabung menjadi sebuah lembaga keuangan baru

  yang dikendalikan pemerintah, dengan pendirian Nasser Social Bank pada 1971, yang juga bertugas mengumpulkan zakat, yang diikuti dengan pendirian Dubai Islamic

  Bank (1975), Faisal Islamic Bank Mesir (1977), Faisal Islamic Bank Sudan (1977), Kuwait Finance House (1977), Jordan Islamic Bank for Finance and Investment

  (1978), Bahrain Islamic Bank (1979), dan International Islamic Bank for Investment

  

and Development di Mesir (1980). Pendorong lahirnya bank-bank Islam sebagian

  adalah ledakan pendapatan minyak di Teluk Persia dan pertumbuhan ekonomi negara-negara Muslim yang lebih konservatif dengan mengorbankan gerakan

  

  nasionalis Arab yang lebih sekular. Di kebanyakan negara Muslim, bank Islam yang bebas riba hidup berdampingan dan harus bersaing dengan bank konvensional yang berbasis bunga.

  Perkembangan signifikan terjadi setelah Bank Pembangunan Islam – BPI (Islamic Development Bank - IDB) berdiri pada 1975 di bawah dukungan Organisasi Konferensi Islam – OKI (Organization of the Islamic Conference - OIC). Berdirinya 209 Ibrahim Warde, Op. Cit., hlm. 157. Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Op. Cit., hlm.

  15. 210 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 16. Ibrahim Warde, Op. Cit., hlm. 160. 211 John L. Esposito, Op. Cit., hlm. 261. Selanjutnya Esposito menambahkan, bagaimanapun, muncul kekecewaan yang makin besar kepada sosialisme Arab, khususnya di kalangan generasi muda,

  IDB sekaligus menjadi landasan dari sistem perbankan Islam yang bertujuan membantu pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial negara anggota dan masyarakat Muslim, baik individu maupun bersama-sama dengan cara yang sesuai

  

  syariah Islam. Selain membantu pendanaan, institusi ini juga menyediakan pelayanan keuangan berbasis uang jasa (fee-based financial service), dan bantuan keuangan berbasis pembagian keuntungan bagi negara-negara anggota serta juga mempromosikan pelatihan dan pembinaan, pendirian institusi-institusi Islam melalui

   partisipasi langsung.

  Dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi dan kebijakan menjadi salah satu indikator untuk melihat perkembangan perbankan syariah. Tanpa dukungan dimaksud, perkembangan bank syariah akan berjalan lamban, karena itu perkembangan perbankan syariah tidak terlepas dari dukungan regulasi dan kebijakan

  

  pemerintah. Pengaturan dan regulasi memegang peranan penting bagi pengakuan dan perkembangan perbankan syariah, tidak saja dalam rangka menjamin perlindungan nasabah penyimpan dan peminjam, melainkan juga melindungi

  

  perekonomian dan menjaga tidak terjadinya pemusatan kekuasaan. Lash seperti diungkapkan Hikmahanto Juwana mengemukakan lima tujuan pengaturan industri 212

  Karnaen A. Perwataatmadja dan Hendri Tanjung, Bank Syariah: Teori, Praktik, dan Peranannya , (Jakarta: Celestial Publishing, 2011), hlm., 250. 213 214 Ibrahim Warde, Op. Cit., hlm. 159. Selain dukungan regulasi perbankan, yang diberikan parlemen dan pemerintah serta

pemikiran ahli syariah (the banking regulators, parliament, government, and Sharia scholars),

perkembangan keuangan Islam di Indonesia juga di dukung oleh jumlah penduduk muslim yang besar (the big population of Moslem), penampilan atau kinerja yang sehat dan kuat (the robust performance of Islamic banks ), dan kinerja ekonomi Indonesia yang mendukung operasi bisnis bank Islam (the performance of the Indonesian economy backs up business operations of Islamic banks ). Rifki Ismal, perbankan, yaitu menjaga keamanan bank, memungkinkan terciptanya iklim kompetisi, pemberian kredit untuk tujuan-tujuan khusus, perlindungan terhadap

   nasabah, dan mencaiptakan suasana kondusif bagi pengambilan kebijakan moneter.

  Kebijakan yang diberikan pemerintah turut memengaruhi perkembangan perbankan syariah. Ada beberapa pola kebijakan yang dipakai masing-masing pemerintah dalam mengapresiasi perbankan Islam. Pertama, mengubah seluruh sistem keuangan internal mereka ke dalam bentuk yang islami, seperti dilakukan Iran, Pakistan, dan Sudan. Kedua, menggunakan perbankan Islam sebagai kebijakan nasional, kendati juga mendukung jalur perbankan ganda, seperti terjadi di Bahrain, Brunei, Kuwait, Malaysia, Turki, dan Uni Emirat Arab. Ketiga, tidak mendukung ataupun menentang perbankan Islam dalam yurisdiksinya, seperti Mesir, Yaman, dan Singapura). Keempat, secara aktif mempersempit kehadiran perbankan Islam yang

  

  berdiri sendiri, seperti Saudi Arabia dan Oman). Dari klasifikasi yang dikemukakan Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes, III, dikatakan Indonesia mungkin berada dalam klasifikasi ketiga. Melihat keberadaan perbankan syariah yang ada saat ini, klasifikasi itu harus diklarifikasi dengan menempatkan pada klasifikasi kedua yang mengakui perbankan syariah di samping perbankan konvensional.

  Regulasi menjadi penting dalam memberi kedudukan yang kuat bagi perbankan syariah. Regulasi selain memberi kepastian hukum terhadap kelembagaan perbankan syariah, sekaligus untuk keamanan dan perlindungan masyarakat, terutama bagi nasabah deposan, dalam kegiatan perbankan syariah. Masyarakat tidak khawatir 216

  Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi Dan Ekonomi Internasional, (Jakarta: akan kehilangan dananya di perbankan, karena ada jaminan regulasi. Kepercayaan masyarakat pemilik modal terhadap dana yang diberi dan disalurkan perbankan syariah ke dalam berbagai bentuk pembiayaan dan investasi harus diikuti pertanggungjawaban kepada pemilik modal. Bentuk pertanggungjawaban berkaitan dengan pengembalian dana bila diinginkan deposan setiap saat serta return sesuai dengan karakter pembiayaan yang diperjanjikan. Bank wajib menempuh cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Untuk memenuhi kewajiban itu, undang-undang perbankan memberi

   pedoman yang harus dipatuhi bank dalam rangka penyaluran pembiayaan.

  Kebutuhan akan pengaturan (regulation) perbankan syariah menjadi keniscayaan, dan menurut Umer Chapra dan Tariqullah Khan, ukuran yang terdapat dalam Basel Committee yang menjadi acuan supervisi perbankan konvensional di seluruh dunia, juga penting diperhatikan bagi lembaga keuangan syariah. Beberapa hal berpengaruh yang senantiasa diperhatikan dalam regulasi perbankan syariah, yaitu: Pertama, pertimbangan sistem. Kegagalan sebuah bank bisa berdampak pada terganggunya kesehatan dan stabilitas keseluruhan sistem pembayaran dan ekonomi. Bila kepercayaan deposan pada sistem telah menurun, mereka akan menarik dananya yang dapat mengakibatkan tidak saja akan mengguncang sistem keuangan, tetapi juga dapat menurunkan kemampuan bank dalam menyalurkan pembiayaan. Kedua, terdapat kepentingan deposan giro dan juga deposan investasi yang perlu dilindungi. 218

  Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan

Indonesia , Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1999, hlm. 175. Sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUP

1992 sebagaimana telah diubah dengan UUP 1998, perbankan syariah wajib memiliki keyakinan Perlindungan diberikan karena besarnya tingkat leverage dalam bisnis perbankan, dan sebagian besar leverage tersebut berasal dari rekening giro. Semakin besar proporsi rekening giro, semakin besar pula tingkat leverage bank. Ketiga, bank syariah perlu memastikan operasionalnya telah sesuai dengan pronsip syariah. Keempat, bank syariah harus berupaya agar dapat diterima di pasar antarbank dalam sistem keuangan

   internasional.

  Di Indonesia, komitmen pemerintah terhadap pengembangan bank syariah berawal sejak 1992, sedang sebelumnya relatif pemerintah belum memberikan komitmen, dan belum ada regulasi yang memberi dasar pendirian bank syariah. Dukungan berikut ada pada tahun 1998, sehingga tahun ini dapat dipakai sebagai

  

  pembatas dua priode kebijakan pemerintah terhadap bank syariah. Praktik perbankan syariah di Indonesia di mulai ketika Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai BUS pertama mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Persiapan pendirian BMI dirintis oleh kegiatan lokakarya Bank Tanpa Bunga di Cisarua Bogor, 18-20 Agustus 1990. Hasil lokakarya ditindaklanjuti melalui pembahasan mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, 22-25 Agustus 1990 yang merekomendasikan pembentukan bank bebas bunga. Rekomendasi didahului dengan pembentukan kelompok kerja untuk mempersiapkan penyiapan

  

  buku panduan untuk persiapan pendirian bank bebas bunga. Widjanarto menulis, 219

  M. Umer Chapra dan Tariqullah Khan, Regulasi& Pengawasan Bank Syariah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 28-29. 220 Veithzal Rivai, Andria PermataVeithzal dan Ferry N. Idroes, Bank and Financial Institution Management , (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 740. 221

  Matrik kegiatan untuk pendirian BMI di gambarkan oleh Zainulbahar Noor, ”Persiapan Dan ide pertama pendirian BMI berasal dari MUI yang didukung dan diprakarsai oleh beberapa pejabat penting pemerintah, pengusaha yang berpengalaman di bidang perbankan, bahkan Presiden Suharto, dan Wakil Presiden Sudharmono, bersedia

  

  menjadi pendukung utama BMI. Gagasan pendirian Bank berbasis syariah bermunculan, diikuti dengan keluarnya Fatwa MUI pada akhir 2003 yang mengharamkan beragam jenis transaksi berbasis bunga, termasuk di lingkungan perbankan. Dalam Fatwa dinyatakan bahwa bunga termasuk kriteria riba, dan riba

   hukumnya haram.

  Perbankan syariah memiliki peran strategis yang mampu memiliki keunggulan komparatif. Menghadapi gejolak moneter beberapa waktu lalu, perbankan syariah terbebas dari negative spread karena kinerja perbankan syariah

  

  yang tidak berbasis pada bunga uang, berada dan terkait pada sektor riil. BMI sebagai bank umum yang menerapkan prinsip syariah dalam pola operasionalnya merupakan satu-satunya bank yang tidak mengalami negative spread sebagaimana

  

  terjadi pada bank-bank konvensional. Perbankan syariah selama krisis ekonomi tidak membebani keuangan negara sebagaimana terjadi pada perbankan konvensional 222

  Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 48. 223

K.H. Ma’ruf Amin (et.al), Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, (Jakarta: Sekretariat MUI,

2011), hlm. 808. 224 H.M. Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), hlm. 18. Selanjutnya dikatakan, terbebasnya perbankan syariah dari negative spread , karena kinerja perbankan syariah ditentukan oleh kinerja sektor riil, bukan sebaliknya. Konsep

Islam menjaga keseimbangan antara sektor riil dengan sektor moneter, sehingga pertumbuhan

pembiayaannya tidak akan terlepas dari pertumbuhan riil yang dibiayainya. Saat perekonomian

mengalami kelesuan, maka yield yang diterima perbankan syariah menurun yang pada gilirannya

return yang dibagihasilkan kepada nasabah penabung juga turun. Sebaliknya, pada saat perekonomian menaik (booming), maka return yang akan dibagihasilkan juga akan meningkat. Lihat juga Veithzal Rivai, Andria PermataVeithzal dan Ferry N. Idroes, Op. Cit., hlm. 739.

  

  yang memerlukan suntikan dana dari pemerintah. Perbankan syariah mampu bertahan dari spekulasi keuangan. Perbankan syariah yang kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah memiliki akses penting dalam berbagai kegiatan perekonomian syariah. Prinsip syariah sebagai landasan aturan main menjadi kunci

  

  ketahanan (resilince) institusi keuangan Islam dalam menghadapi krisis. Dengan keunggulan yang dimiliki, perekonomian dan keuangan termasuk perbankan Islam dewasa ini telah menjadi realitas hidup terhadap pertumbuhan perekonomian Perbankan Islam bukan hanya sekedar sebagai alternatif dari bank konvensional, melainkan solusi, baik dalam menghadapi berbagai persoalan perbankan dan

  

  perekonomian. Tujuan pembentukan bank syariah adalah untuk memenuhi harapan membangun perekonomian umat dengan menghindari praktik riba, dan untuk mengamalkan prinsip-prinsip syariah dalam perbankan untuk mewujudkan

  

  kemaslahatan. Perbankan syariah juga bertujuan profit yang tentu saja

  226 Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 19 227 M. Luthfi Hamidi, Thr Crisis: Krisis Mana Lagi Yang Engkau Dustakan?, (Jakarta:

  Republika, 2012), Hlm.316. Zeti Akhtar Aziz seperti dinukilkan Luthfi Hamidi mengemukakan dua

landasan pokok yang menjadi dasar ketahanan institusi keuangan Islam. Pertama, setiap transaksi

keuangan diikuti dengan aktivitas ekonomi produktif yang kemudian menghasilkan pendapatan. Berarti, setiap transaksi yang terjadi, baik berupa pembiayaan maupun penyertaan modal senantiasa menyentuh kegiatan ekonomi di sektor riil. Kedua, karena berbasis profit-sharing, risiko yang terjadi ditanggung secara bersama (mutual risk sharing). 228 Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep, dan Aplikasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010). Pada cover buku ini dituliskan, sistem bank Islam bukan hanya solusi

mengahadapi krisis, namun solusi dalam menghadapi berbagai persoalan perbankan dan ekonomi

global.” Sebuah komparasi keunggulan ekonomi Islam dibandingkan ekonomi konvensional dapat dilihat dari tiga isu utama. Pertama, praktik transaksi keuangan dan posisi sistem bunga. Kedua, pemikiran mengenai keadilan distributif dan implikasi kebijakannya. Ketiga, pemikiran mengenai

landasan moral dalam setiap kegiatan dan keputusan ekonomi. Veithzal Rivai dan Antoni Nizar

Usman, Islamic Economics And Finance: Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi , (Jakarta: Gramedia, 2012), hlm. 257. perolehannya diselaraskan dengan moralitas keislaman yang melandasi

   operasionalnya.

  Perkembangan kemajuan perekonomian syariah, telah semakin memperkuat keberadaan dan peran perbankan syariah dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Kehadiran perbankan syariah dirasakan semakin penting di tengah kehidupan perekonomian syariah. Berbagai aktivitas dan transaksi bisnis yang terdapat di kalangan pebisnis, banyak memanfaatkan perbankan syariah sebagai sarana, baik sebagai tempat penyimpanan dana dan pembiayaan usaha, maupun untuk melancarkan mekanisme sistem pembayaran dalam semua sektor perekonomian yang dilakukan. Dapat dikatakan, bahwa lembaga perbankan, termasuk perbankan syariah menjadi jantung dari sistem kegiatan perekonomian di tengah kehidupan masyarakat.

  Sebelum 1992, yang di pandang sebagai pengenalan bank berdasarkan prinsip bagi hasil sebagai tonggak eksistensi bank Islam di Indonesia, yakni diterbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UUP 1992), telah ada kebijaksanaan deregulasi di bidang perbankan. Pada 1983 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan 1 Juni 1983 yang bertujuan meningkatkan mobilitas dana dari masyarakat dengan memberi kebabasan pada bank dalam menentukan suku bunga,

   baik dari jalur pemupukan maupun penyaluran dana dari dan untuk masyarakat.

  Deregulasi ini memberi kesempatan bagi bank untuk menerapkan bunga nol persen, artinya membuka kemungkinan bagi penerapan bank bebas bunga. Hanya saja, deregulasi belum berdampak langsung atas pelaksanaan sistem perbankan bebas bunga (interest-free bank system). Deregulasi di maksud tidak di dukung oleh peraturan perbankan yang ada, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan (UUP 1967) yang tidak mengenal eksistensi bank Islam di dalam aturannya. Kondisi politis termasuk hambatan, karena keinginan pendirian perbankan Islam di bawa menjadi konotasi ideologis, yang berkaitan dengan konsep

   negara Islam, sehingga tidak dikehendaki pemerintah.

  Selanjutnya pemerintah mengeluarkan paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 yang terkenal dengan sebutan Pakto 1988 yang berisi deregulasi industri perbankan di Indonesia. Melalui Pakto 1988, diberi kemudahan pembukaan kantor cabang melalui pemberitahuan kepada BI dan pendirian bank termasuk Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Pakto 1988 memberi sejumlah kemudahan dan keterbukaan luar

  

  biasa, bahkan memiliki peluang ke arah perdagangan bebas. Berdirilah setelah memperoleh izin usaha BPRS Berkah Amal Sejahtera dan BPRS Dana Mardhatillah, pada 19 Agustus 1991, BPRS Amanah Rabaniah, pada 24 Oktober 1991, yang ketiganya beroperasi di Bandung. Kemudian berdiri BPRS Hareukat di Aceh, pada 10

   Nopember 1991.

  Puncak regulasi industri perbankan terjadi saat diberlakukan UUP 1992 yang menggantikan UUP 1967. Setelah berusia 25 tahun UUP 1967 di pandang sudah tidak dapat mengikuti perkembangan perekonomian nasional maupun internasional. 232

  Wirdyaningsih, et.al., Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005),

hlm. 49. Di luar konotasi ideologis yang dikaitkan dengan pendirian negara Islam, sesungguhnya

masyarakat Indonesia telah mengenal sistem bagi hasil, khususnya untuk transaksi yang berkaitan dengan tanah. B. Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Tatanan Hukum Adat, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hlm. 94. Prinsip bagi hasil ini tidak terimplikasi pada operasional bank, karena yang di kenal sampai saat ini adalah sistem perbankan warisan penjajahan yang mempergunakan sistem bunga. Perkembangan perekonomian senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan yang semakin luas, harus diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional dalam

  

  menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya kepada masyarakat. Eksistensi perbankan syariah mendapat tempat dalam UUP 1992 dengan mengintrodusir sebutan bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

  UUP 1992 secara formal memberi legitimasi yuridis atas eksistensi perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional. Undang-undang ini menjadi landasan

  

  sebagai titik tolak perkembangan bank Islam di Indonesia. Secara teknis, istilah bank syariah atau bank Islam tidak terlihat secara jelas dalam UUP 1992, melainkan undang-undang ini memakai istilah ”prinsip bagi hasil” untuk menunjukkan kegiatan

  

  bank syariah. UUP 1992 belum mengakomodasi semua kegiatan atau produk bank syariah, kecuali hanya produk berdasarkan prinsip bagi hasil, yang sesungguhnya baru merupakan salah satu pola produk bank syariah. Selain bagi hasil, bank syariah 235 236

Konsideran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, bagian ‘Menimbang’, huruf c dan d.

  Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking…. Op. Cit., hlm. 105. Sebagaimana

diketahui, undang-undang perbankan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun1967, belum memberi tempat bagi operasional perbankan syariah di Indonesia. Dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992, maka ketentuan perbankan yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1967 dan beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perbankan lainnya

dinyatakan tidak berlaku lagi. Lihat Pasal 60 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (LNRI Tahun 1992 Nomor 31 dan TLNRI Nomor 3472). 237 Menurut Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, baik Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat diberi kemungkinan untuk melakukan kegiatan

usaha berupa penyediaan pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil dengan nasabahnya. Untuk

memenuhi ketentuan Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) tersebut, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah ini, bersama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank

Umum sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73

Tahun 1998, serta Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat menjadi peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, dikatakan bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Pada penjelasan pasal ini disebutkan, bahwa yang dimaksudkan dengan juga menggunakan pola lain dalam produknya, yakni pola titipan, pinjaman, jual beli, sewa, dan pola lain yang dibenarkan secara syariah. Akibat pengaturan bank syariah disatukan bersama bank konvensional, kondisi ini membawa bank syariah harus tunduk pada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Akibatnya, manajemen bank syariah cenderung mengadopsi produk perbankan konvensional

  

  yang ’disyariahkan’ dengan variasi produk yang terbatas. Masyarakat yang bermotivasi keuntungan dari bank syariah, mereka menggunakan parameter

   konvensional, dan masih memandang bank syariah sebagai lembaga charity.

  Perkembangan berikut, UUP 1992 diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UUP 1998). Berbeda dengan UUP 1992 yang memakai istilah “prinsip bagi hasil” untuk pengakuan atas perbankan syariah, UUP 1998 tentang Perubahan atas UUP 1992 telah mengubah term bagi hasil menjadi ”berdasarkan prinsip

  

  syariah.” Dengan perubahan paradigma di muka, UUP 1998 telah mengintrodusir semua produk bank berdasarkan prinsip syariah, yaitu pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau

  238 Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan, dan Prospek, (Jakarta: Alvabet, 1999), hlm. 212. 239 240 Ibid., hlm. 210.

  Dengan perubahan ini, bunyi Pasal 6 huruf (m) dan Pasal 13 huruf (c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang semula memakai istilah ”prinsip bagi hasil” diubah menjadi “berdasarkan

prinsip syariah”. Peraturan pelaksana dari bank berdasarkan prinsip syariah, yang sebelumnya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 ditetapkan oleh Bank Indonesia, dan untuk itu telah dikeluarkan Surat Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang di sewa dari pihak

   bank oleh pihak lain (ijarah wal iqtina).

  Perubahan yang dibawa UUP 1998, telah memperkokoh dan mengakui secara lebih tegas keberadaan bank syariah yang melakukan kegiatan penyediaan

  

  pembiayaan dan usaha lain berdasarkan prinsip syariah. UUP 1998 tidak mengadakan perubahan total terhadap UUP 1992, melainkan hanya terhadap beberapa pasal penting yang menyangkut dua aspek. Pertama, menyangkut penguatan kewenangan Bank Indonesia (BI) untuk memberi izin usaha, persyaratan dan tata cara pendirian bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Selama ini kewenangan itu berada di tangan Menteri Keuangan. Kedua, semakin di akomodasi sistem perbankan syariah dalam sistem perbankan nasional, dengan mengubah istilah ”prinsip bagi hasil” menjadi ”berdasarkan prinsip syariah” yang lebih berkonotasi

   sesuai dengan hukum Islam.

  UUP 1998, telah membawa perubahan dari ketentuan sebelumnya, yakni membenarkan Bank Umum Konvensional membuka double window, yaitu

  

conventional window dan Islamic window, namun tidak boleh mencampurkan kedua

241

  Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Undang-undang perbankan ini dilengkapi dengan ketentuan pelaksanaan berupa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu Nomor 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, Nomor 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Nomor 32/35/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan Nomor 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasrkan Prinsip Syariah. 242

  Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah memberi rumus atas makna prinsip syariah, sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai

dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan

berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh

keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa

pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari

  

window itu dalam satu kantor cabang bank konvensional bersangkutan. Sejak itu,

  Indonesia menganut dual banking system mengikuti langkah Malaysia yang telah lebih dulu menganut dual banking system melalui Islamic Banking Act yang mulai

  

  berlaku 1 April 1973. Sementara bagi Bank Perkreditan Rakyat hanya boleh

  

  mempunyai single window saja. Sebelumnya, berlaku prinsip ekslusivitas, yaitu bagi bank yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah semata-mata hanya

  

  untuk melakukan kegiatan berdasarkan syariah. Tujuan yang hendak dicapai dari

  

dual banking system dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) adalah

  agar sistem perbankan syariah dan konvensional secara sinergis dapat mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas guna meningkatkan kemampuan

   perbankan memberikan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.

  244 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam....Op. Cit., hlm. 126. Ketentuan yang memperkenankan membuka sistem double window hanya berlaku untuk Bank Umum Konvensional.

  Sebaliknya, Bank Umum yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah tidak

dibenarkan sama sekali untuk membuka double window, sekalipun dilakukan oleh Kantor Cabang

khusus sebagaimana yang diperkenankan bagi Bank Umum Konvensional. Dengan demikian, terdapat perlakuan yang tidak sama antara Bank Umum Konvensional dengan Bank Umum Syariah terhadap penerapan double window tersebut. 245 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-Produk Dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta: Jayakarta Agung Offset, 2010), hlm. 87. 246 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern (Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998), Buku Kesatu ¸PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.126. Dengan cara bagaimana pun bagi Bank

Perkreditan Rakyat sama sekali tidak terbuka peluang untuk melakukan secara bersamaan kegiatan

usaha perbankan konvensional dan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Artinya,

bagi Bank Perkreditan Rakyat tidak dimungkinkan untuk melakukan kedua jenis kegiatan usaha

perbankan itu secara bersama-sama, sekalipun dilakukan oleh Cabang secara khusus. 247 Ibid., hlm. 172. Menurut Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil,

tidak dibenarkan melakukan kegiatan rangkap sekaligus dengan kegiatan usaha konvensional yang

tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula sebaliknya, Bank Umum dan Bank Perkreditan

Rakyat Konvensional dilarang sekaligus melakukan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil. Dengan ketentuan ini, berlaku prinsip ekslusivitas, yaitu bagi bank yang melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip syariah, semata-mata hanya untuk melakukan kegiatan berdasarkan syariah saja.

  Menyikapi perkembangan masyarakat yang menyambut keberadaan perbankan syariah dan untuk lebih menumbuhkembangkan serta meningkatkan peranannya pada perekonomian nasional, UUP 1998 mengadakan perubahan atas UUP 1992 dengan memberi kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

  Termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum Konvensional untuk memberi pelayanan syariah dengan pembukaan Islamic windows melalui pendirian UUS pada kantor cabang yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Sejak itu, dianut dual banking system yang menyandingkan sistem perbankan konvensional

   dan sistem perbankan syariah.

  Pelayanan syariah oleh Bank Umum Konvensional semakin dipermudah berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/3/PBI/2006 yang mengintrodusir konsep office channeling. Konsep office channeling merupakan aplikasi layanan syariah dengan memperkenankan bank konvensional yang telah memiliki UUS untuk membuka gerai atau counter syariah di kantor cabang atau di bawah kantor cabang bank konvensional, untuk dan atas nama kantor cabang syariah pada bank yang sama

  249 Perubahan Pasal 6 huruf m oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi pintu masuk bagi Bank Umum

  Konvensional untuk memiliki Islamic windows melalui pembentukan Unit Usaha Syariah. Ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai perkenan Bank Umum Konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah terdapat dalam PBI No. 4/1/PBI/2002 yang kemudian diubah oleh PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank

Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Dan Pembukaan Kantor

Bank Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum

Konvensional. Ketentuan PBI ini kemudian diubah lagi melalui PBI No. 9/7/PBI/2007 dan selanjutnya dinyatakan tidak berlaku lagi dengan keluarnya PBI No. 11/15/PBI/2009 tentang Perubahan Kegiatan

  

  dalam kegiatan penghimpunan dana. Kebijakan ini tentu akan memberi penghematan keuangan bank, sebab bank tidak lagi memerlukan infrastruktur baru,

   seperti gedung, alat kantor, karyawan, dan teknologi informasi.

  Regulasi yang memperkuat eksistensi perbankan syariah terus bergulir. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI 1999), seperti diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (UUBI 2004) yang memberi kewenangan bagi BI untuk melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah yang pelaksanaannya ditetapkan dengan PBI. Bank Indonesia telah diamanahkan oleh UUBI 1999 dengan perubahannya, untuk mempersiapkan peraturan guna mendukung operasional bank syariah. Untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek BI dalam fungsinya sebagai the lender of the last resort dapat memberikan bantuan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah kepada bank syariah untuk jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari. Atas bantuan pembiayaan dari BI, bank syariah wajib memberi jaminan sebagai agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah pembiayaan yang diterima.

  Berdasarkan ketentuan tersebut, BI bertindak selaku pengatur, pembina dan

   pengawas, tidak saja buat bank konvensional malainkan juga bagi bank syariah.

  Penting disampaikan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UUOJK), fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan 250

  Isriani Hardini dan Muh. H. Giharto, Kamus Perbankan Syariah, (Bandung: Marja, 2007), hlm. 93 251 Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis Konsep dan UU No. 21 Tahun 2008) , (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hlm. 6. 252

  Pasal 8, 10, dan 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, kemudian di ubah UndangiUndang Nomor 3 Tahun 2004 yang kemudian untuk kedua kali di ubah pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, baik konvensional dan

  

  syariah, sejak tanggal 31 Desember 2013 beralih dari BI ke OJK. Pada dasarnya UUOJK memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari institusi yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.

  Adapun ketentuan terhadap jenis produk, cakupan dan batas kegiatan serta ketentuan menyangkut transaksi jasa keuangan, diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu undang-undang perbankan, pasar modal, usaha perasuransian, dana pensiun, dan