BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dan Korban Tin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara yang maju dan berkembang tentu memiliki sumber daya yang

  dapat diandalkan pula. Termasuk dalam hal sumber daya manusia. Tidak hanya manusia dewasa, tetapi juga anak-anak. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sumber daya manusia itu sendiri. Akan lebih baik dan lebih efektif apabila pengelolaan sumber daya manusia itu dimulai dari anak-anak, karena anak masih akan terus berkembang, baik dari segi fisik, psikis, maupun kemampuan berpikirnya. Negara yang maju juga pasti peduli terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai generasi bangsa, penerus cita-cita bangsa. Sehingga muncul upaya untuk memberikan perlindungan dan bimbingan terhadap anak tersebut agar dapat menjadi pribadi yang dicita-citakan, yang dapat memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negaranya.

  Namun pada kenyataannya, anak selalu dianggap sepele oleh orang dewasa. Kewajiban mereka selalu dituntut, tanpa memperhatikan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, sehingga hak-hak mereka seringkali terabaikan. Padahal pembinaan dan perlindungan yang baik terhadap anak akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, mental, dan sosialnya kelak. Ketiga elemen tersebut seharusnya diperoleh anak secara seimbang, sehingga masa depannya tidak berantakan, bahkan berpotensi untuk mewujudnyatakan cita-cita perjuangan bangsa yang mungkin belum tercapai hingga sekarang.

  Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai calon generasi

   penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan mental .

  Tindakan sepele terhadap anak tak khayal juga membuat mereka kerap melakukan tindakan melanggar hukum. Untuk itulah diperlukan kekuatan hukum di dalam tiap kehidupan manusia. Hukum ada bukan hanya bagi mereka yang sudah dianggap dewasa, tapi berlaku bagi seluruh kalangan manusia, tak terkecuali anak-anak. Namun diperlukan proses hukum secara khusus bagi mereka anak- anak yang nyatanya berkonflik dengan hukum, agar mereka tidak mendapat perlakuan sama seperti halnya orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Terutama harus dikhususkan dari segi ketidakmampuan mereka bertanggungjawab. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum seyogyanya masih buta akan proses hukum yang harus mereka lalui. Hal ini mengakibatkan hak-hak mereka sering direnggut oleh para pihak maupun instansi terkait yang tidak bertanggungjawab.

  Orangtua merupakan komponen pertama yang bertanggungjawab penuh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesejahteraan kehidupan anak. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai macam tindakan kejahatan yang menimbulkan kerugian fisik, mental, sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu anak harus dibantu oleh orang lain, 1 khususnya dalam memperoleh bantuan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya, namun tetap harus diikuti untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

  Apabila kita melihat kerangka bernegara Indonesia, mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pembinaan terhadap anak merupakan bagian yang integral dalam upaya tersebut. Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan mengenai anak-anak “nakal” yang kemudian bermasalah secara hukum, maka harus diselesaikan secara komprehensif dalam rangka melindungi hak anak agar mampu juga menjadi sumber daya manusia

   Indonesia yang berkualitas sebagaimana telah disebutkan .

  Adanya hukum yang terkait, yang diimplementasikan dengan berbagai peraturan tentang anak, telah banyak diciptakan. Namun menelaah dari kehidupan sekarang, peraturan tersebut yang diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak, nyatanya belum mampu direalisasikan dengan baik. Nasib anak yang berkonflik dengan hukum masih menyedihkan, tidak seindah jika kita berbicara dengan memposisikan mereka sebagai generasi penerus bangsa. Tidak hanya anak yang melakukan tindak pidana, bahkan anak yang menjadi korban tindak pidana pun hak-haknya kerap terabaikan atau tidak ada yang melindungi mereka dalam proses beracara di pengadilan, sehingga banyak di antara mereka merasa takut, depresi, tertekan untuk berbicara kebenaran. Kondisi fisik dan mental yang demikian tentunya berdampak juga dalam proses beracara demi mencapai kebenaran dan keadilan.

  Namun berbicara mengenai pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sebenarnya hal ini merupakan alternatif terakhir menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang terdahulu yang mengatur tentang anak, yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, lebih mengedepankan model retributive justice. Berbeda halnya dengan Undang-Undang SPPA yang lebih mengedepankan konsep restorative justice, yaitu pemulihan ke kondisi semula, di mana proses ini merupakan penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku bersama-sama duduk dalam satu pertemuan

  

  untuk bersama-sama berbicara Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas- jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Dalam konsep ini diusahakan jalan perdamaian antara masing-masing pihak, sehingga pemidanaan merupakan jalan terakhir dengan mendahulukan cara lain di luar pengadilan.

  

yakni pengalihan penyelesaian perkara

  anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum diusahakan agar tidak sampai pada proses pengadilan.

  Oleh karena itu diversi merupakan jalan yang tepat. Untuk itu, diversi haruslah diwajibkan dalam setiap penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. 3 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan

  Apabila memang melalui diversi sama sekali tidak ditemukan jalan keluar, maka barulah anak tersebut melalui proses di pengadilan.

  Apabila memang harus menempuh proses beracara di pengadilan, maka anak-anak yang berkonflik dengan hukum harus mendapatkan perlindungan yang nyata. Sistem pemidanaan mereka harus dibedakan dengan sistem pemidanaan orang dewasa. Sehingga diperlukan suatu peradilan khusus untuk menangani mereka. Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan : “Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang”. Dan Peradilan Pidana Anak ini adalah salah satu realisasinya. Jadi setiap anak yang bermasalah dengan hukum mengikuti proses beracara berdasarkan ketentuan Peradilan Anak.

  Setiap anak itu juga berhak mendapatkan bantuan hukum sebagaimana mestinya, tanpa adanya diskriminasi terhadap anak tersebut. Pemberian bantuan hukum terhadap anak adalah hal penting yang harus dibahas, karena anak yang terjerat dengan kasus hukum, sebenarnya belum memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab. Pengetahuan mereka akan proses beracara di pengadilan pun masih sempit. Hal inilah yang harus ditinjau, bagaimana agar para pemberi bantuan hukum dapat memberikan bantuan hukum berdasarkan asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak itu sendiri.

  Peraturan menyangkut tentang anak sebenarnya telah banyak diterbitkan, antara lain : Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang digantikan dengan Undang-Undang SPPA (yang selanjutnya disebut Undang-Undang SPPA).

  Hal ini merupakan bukti bahwa perhatian terhadap anak sebenarnya sudah ada sejak dulu. Substansi yang diatur pun masih seputar anak. Namun penerapannya dianggap masih kurang releven dengan kehidupan sekarang, sehingga undang- undang tersebut lambat laun ditinggalkan dan digantikan dengan Undang-Undang baru, contohnya Undang-Undang Pengadilan Anak yang dianggap sudah tidak dapat digunakan lagi dan digantikan dengan Undang-Undang SPPA ini.

  Anak sebagai pelaku tindak pidana akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Identik disini berarti “hampir sama”. Yang membedakannya hanyalah lama serta cara penanganannya. Hal inilah yang menjadi kekhususan tersendiri. Dalam menangani kasus anak dalam peradilan pidana anak, maka terlebih dahulu yang harus diperhatikan adalah kedudukan anak tersebut sebagai seorang anak dengan semua sifat dan ciri- cirinya yang khusus. Sehingga harus diutamakan perlindungan terhadap anak tersebut dalam proses penanganannya, demi kesejahteraan dan kepentingan anak tersebut.

  Pemerintah melihat bahwa sistem peradilan anak yang selama ini diterapkan dianggap belum mampu menjunjung tinggi hak-hak anak dalam beracara di pengadilan dan kerap kali disalahgunakan oleh instansi terkait. Oleh terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Hal inilah yang menjadi dasar dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini.

  Dari sekian banyak problematika tentang anak yang terjadi di kehidupan sekarang, ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan penulis.

  Bagaimana sebenarnya pengaturan advokasi bantuan hukum dan peradilan anak sebelum dan setelah lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak? Lalu bagaimana anak yang berkonflik dengan hukum itu dapat diberikan bantuan hukum menurut Undang-Undang Bantuan Hukum terbaru? Apakah ada sinergi antara Undang-Undang SPPA ini dengan Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut?

  Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat judul “ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011

  

TENTANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11

TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM

PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI

PELAKU TINDAK PIDANA” yang diharapkan dapat menambah pengetahuan

  serta memecahkan problematika yang terjadi di kehidupan sekarang ini menyangkut tentang anak. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut pada bab-bab berikutnya dalam skripsi ini.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini antara lain :

  1. Bagaimanakah ketentuan pengaturan bantuan hukum dan peradilan anak sebelum dan setelah lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia? 2. Bagaimana analisis yuridis Undang-Undang Bantuan Hukum dan

  Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam pemberian bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku dan korban tindak pidana?

  C. Tujuan Penulisan

  Berdasarkan perumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Untuk mengetahui kedudukan anak di dalam sistem hukum di

  Indonesia, baik anak itu sebagai pelaku maupun sebagai korban dari tindak pidana.

  2. Untuk mengetahui analisis yuridis dari dua buah undang-undang terkait, yaitu Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang SPPA, dalam memberikan bantuan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, terlebih khusus anak sebagai pelaku tindak pidana.

D. Manfaat Penulisan

  Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini di antaranya:

  1. Manfaat Teoritis Memberikan informasi-informasi pengetahuan tentang hukum pada umumnya, bagaimana hukum itu bekerja dalam kehidupan masyarakat, serta memberikan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pidana khususnya. Terlebih khusus lagi untuk menambah pengetahuan hukum dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Skripsi ini juga diharapkan mampu membuka jendela wawasan bagi setiap orang yang mungkin ingin atau sedang mendalami pengetahuan mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yang terbaru sejak digantikannya Undang-Undang Pengadilan Anak terdahulu, yang pengundangannya baru sekitar 2 tahun yang lalu.

  2. Manfaat Praktis Penulisan skripsi ini dalam prakteknya diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran serta masukan-masukan yang membangun bagi para aparat penegak hukum, khususnya yang berada dalam ruang lingkup peradilan, yaitu hakim, jaksa, polisi, advokat maupun institusi-institusi lain lain yang terkait, tak terkecuali bagi masyarakat umum dalam memberikan bantuan atau perlindungan bagi anak-anak yang terjerat kasus hukum tersebut.Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat membuka nilai-nilai keadilan yang selama ini mungkin tidak diterima oleh anak-anak yang berkonflik dengan hukum pada umumnya, termasuk membuka pemikiran para aparat penegak hukum agar melakukan tugas dan tanggungjawabnya secara adil menurut hukum yang berlaku di negara kita tanpa ada diskriminasi terhadap anak.

E. Keaslian Penulisan

  Judul skripsi “Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peardilan Pidana Anak dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku dan Korban Tindak Pidana” yang penulis angkat adalah merupakan hasil dari pemikiran penulis sendiri. Berdasarkan jurnal Mahupiki Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang penulis akses, hanya terdapat beberapa kemiripan judul, di antaranya :

  1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang ditulis oleh Erikson P. Sibarani / 090200165

  2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Perkosaan Dalam Pemberitaan Media Massa, yang ditulis oleh Prinst Rayenda Giovani

  3. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dari Perspektif Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang ditulis oleh Maya Novira / 090200022.

  Berdasarkan data tersebut kemudian dijadikan dasar oleh Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam menerima judul yang diajukan penulis, karena substansi yang terdapat di dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-judul di atas. Kemudian pengajuan judul skripsi yang penulis angkat ini juga telah melalui proses uji bersih berdasarkan surat tertanggal 16 Desember 2014 dan ditandatangani oleh petugas perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Penulis juga menelusuri berbagai macam karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang itu tidak pernah penulis temukan kemiripan yang sangat mendasar dengan penulis lain. Sekalipun ada, hal itu berada di luar sepengetahuan penulis dan substansinya jelas berbeda dengan substansi dari skripsi ini.

  Pengangkatan permasalahan dalam skripsi ini juga murni merupakan hasil pemikiran penulis berdasarkan problematika yang sering terjadi di kehidupan sekarang, maupun dari media-media yang pernah penulis baca. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan dasar bahwa skripsi ini merupakan hasil plagiat dari karya ilmiah lain, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Pustaka

  Tinjauan kepustakaan dari skripsi ini berkisar tentang analisis dari dua undang-undang yang disebutkan di atas, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tinjauan kepustakaan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Anak a. Definisi Anak

  Secara umum dapat kita katakan bahwa anak merupakan seseorang yang lahir dari hasil perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, terlepas dari identitas anak itu dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan juga bahwa yang disebut sebagai anak adalah keturunan kedua.

  Sementara definisi anak masih memiliki beberapa pengertian di dalam berbagai peraturan hukum di Indonesia. Definisi anak diklasifikasikan menurut usia mereka. Bila usia mereka belum memenuhi standar usia anak sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang terkait, maka mereka tidak dapat dikatakan sebagai “anak”. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, contohnya dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Atau dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Lain halnya dalam Undang-Undang yang secara khusus akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu Undang-Undang SPPA, dalam pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Jadi definisi anak menurut Undang- Undang ini sudah secara spesifik menyatakan bahwa pengertian anak itu adalah anak yang berkonflik dengan hukum. Tentu saja karena substansi yang dibahas di dalamnya adalah seputar anak yang berhadapan dengan hukum.

  Harus dibedakan pengertian anak dari segi kehidupan sehari-hari dengan segi kedudukan hukumnya. Di mana kedudukan hukum seorang anak mencakup pengertian anak yang ditinjau dari sistem hukumnya. Sama halnya seperti orang dewasa, bahwa anak juga merupakan subyek hukum. Namun pengertian sebagai subyek hukum ini harus mendapatkan kekhususan, bahwa seorang anak itu harus dipandang sebagai subyek hukum yang belum dewasa atau belum mampu. Perkembangan mental atau kejiwaan mereka dianggap masih labil, terkhusus bagi anak yang melakukan tindak pidana. Namun lambat laun kondisi fisik, mental ataupun kejiwaan seorang anak itu dapat berkembang melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Mereka akan dihadapkan dengan berbagai peristiwa hukum, baik itu dalam hukum pidana maupun dalam hubungan kontrak, yang akhirnya melekatkan status subyek hukum itu pada diri mereka.

  Perlu juga diingat bahwa tingkat kematangan jiwa seseorang itu tidak kematangan berpikir. Mengapa dikatakan demikian? Karena pada masa sekarang dengan mudah kita temukan orang yang umurnya sudah masuk kategori dewasa, namun masih memiliki sifat seperti anak-anak. Begitu juga sebaliknya. Sehingga uji kejiwaan itu memang sangat diperlukan.

  Pada hakikatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum

  

  pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian berikut ini : 1.

  Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana 2. Pengembalian hak-hak anak yang timbul dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara dengan maksud untuk mensejahterakan anak 3. Rehabilitasi, yaitu anak yang berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri

  4. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan 5. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.

b. Batas Usia Anak

  Mengenai batas usia anak sebenarnya secara umum telah dijelaskan dalam uraian di atas. Penggolongan definisi “anak” pada umumnya selalu dikaitkan dengan batas usia dari seorang anak, meskipun pembatasan anak dari segi umurnya tidaklah selamanya tepat, karena kondisi umur seseorang 5 Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia dihubungkan dengan kedewasaan merupakan sesuatu yang bersifat semu dan

  

  relatif . Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dapat dijumpai anak yang dari segi kemampuannya masih terbatas, namun dari segi usia sebenarnya anak tersebut telah dewasa. Sehingga para ahli psikologi beranggapan lain untuk menentukan batas penggolongan “anak”. Hal ini masih menjadi pertentangan antara ahli pidana dengan ahli psikologi dalam penetapan batas usia pertanggungjawaban pidana.

  Para ahli hukum, khususnya hukum pidana, lebih melihat seorang anak itu berdasarkan usianya. Batas usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga dalam dirinya ada peralihan status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dinilai sudah dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan atau tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak tersebut.

  Pembatasan usia anak menunjukkan suatu sinergi dalam pemberian definisi tentang anak. Definisi anak sebagaimana dijelaskan di atas merupakan pemahaman secara komprehensif. Namun, untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-

  

  undang, misalnya : 1.

  UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia 6 perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

  2. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.

  3. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

  4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.

  5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, membolehkan usia bekerja 15 tahun.

  Dari beragam pengertian di atas, pada akhirnya timbul disharmonisasi dari definisi anak dalam penetapan batas usia anak menurut peraturan perundang- undangan yang satu dengan perundang-undangan yang lain. Sehingga, pada praktiknya di lapangan, akan banyak kendala yang terjadi akibat perbedaan

  

  8 Pasal 330 KUH Perdata: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dulu telah kawin.

  

Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka

mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.

Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah

kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur di

dalam bagian ketiga, keempat, kelima, dan keenam bab ini.”

Penentuan arti istilah “belum dewasa” yang dipakai dalam beberapa peraturan perundang-

undangan terhadap bangsa Indonesia. Berdasarkan ordonatie 31 Januari 1931, L.N. 1931-1954,

untuk menghilangkan segala keragu-raguan yang timbul karena ordonatie 21 September 1917,

L.N. 1917-1938, dengan mencabut ordonatie ini ditentukan sebagai berikut :

  

1. Apabila peraturan perundang-undangan memakai istilah “belum dewasa” maka, sekadar

mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan : segala orang yang

  Bila menilik dari hukum nasional kita, bahwa penetapan batas usia anak dalam definisi anak, dapat ditinjau dari beberapa dimensi hukum nasional kita, di antaranya:

  1. Menurut ketentuan Hukum Pidana Beberapa spesifikasi pembatasan usia anak menurut ketentuan hukum pidana antara lain: a. Dalam ketentuan KUHP, batas usia anak yang disebutkan dalam pasal

  45, 46, dan 47 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Secara implisit batas usia anak dalam pengertian pidana telah dirumuskan secara jelas dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang SPPA yang menyatakan : Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

  b. Ketentuan lain misalnya dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, usia anak diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

  

2. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai dua puluh satu tahun, maak tidaklah

mereka kembali lagi dalam istilah “belum dewasa”. Dalam paham perkawinan tidaklah

  2. Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

  3. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

  2. Menurut ketentuan Hukum Perdata Beberapa contoh dapat diambil, misalnya :

  a. Dalam pasal 330 KUH Perdata digunakan istilah anak dengan belum dewasa, yaitu mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

  b. Sementara dalam pasal 7 ayat 1, pasal 47 ayat 1, pasal 50 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa batas usia dikategorikan seorang anak yaitu perkawinan yang hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Artinya bahwa anak-anak yang masih di bawah batas usia seperti ditentukan di atas masih dikategorikan sebagai anak, sehingga belum dapat melakukan perkawinan. Dikatakan lagi bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, dan dalam pasal berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan tersebut, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

  3. Menurut ketentuan Hukum Adat Batas usia anak menurut ketentuan hukum adat dapat didefinisikan secara umum. R. Soepomo menyatakan bahwa ciri-ciri ukuran kedewasaan adalah sebagai berikut : a.

  Dapat bekerja sendiri b. Cakap dan bertanggungjawab dalam masyarakat c. Mengurus harta kekayaan sendiri d. Telah menikah e. Berusia 21 tahun

  Pengelompokan batas usia maksimum anak bergantung dari kepentingan hukum anak yang bersangkutan. Yang terpenting untuk digolongkan bahwa usia seorang anak, yaitu 0 (nol) tahun batas penuntutan 8 (delapan) tahun sampai dengan batas atas 18 tahun dan belum pernah kawin.

c. Hak dan Kewajiban Anak 1) Hak Anak

  Anak merupakan cerminan dari kehidupan bangsa. Anak merupakan pembawa dan penerus cita-cita bangsa. Sehingga baik buruknya masa depan bangsa bergantung pada baik buruknya kondisi anak pada saat ini. Hal-hal yang termasuk dalam hak asasi manusia (HAM) juga melekat pada diri setiap anak bangsa. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada setiap manusia sejak ia dilahirkan, yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab hak-haknya hanya dapat efektif apabila hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum.Anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Hak asasi manusia menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang merupakan pencerminan hakikat manusia sebagai pribadi, anggota

   masyarakat, dan makhluk Tuhan, yang harus dihormati dan dijamin oleh hukum .

  Hak untuk hidup, kemerdekaan berpikir dan berpendapat, hak untuk menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri, merupakan beberapa contoh dari hak asasi manusia yang juga dapat dimiliki oleh anak. Namun terlepas dari hakikatnya sebagai manusia, hak-hak anak juga mendapatkan pengaturan khusus yang harus dibedakan dari hak-hak orang dewasa. Hal ini dikarenakan, seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa anak itu dianggap kondisi kejiwaan maupun cara berpikirnya masih labil, sehingga belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. Dan seiring perkembangan anak itu sendiri, anak yang bertumbuh dan berkembang nantinya menjadi manusia dewasa, tentunya memiliki hak dan kewajiban yang senantiasa berubah pula sesuai dengan perkembangan fisik dan psikisnya.

  Seorang anak, dengan kemampuan dan pengalamannya yang masih terbatas, dalam pemenuhan hak-haknya tidak dapat menjalankannya sendiri 9 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana melainkan masih memerlukan bantuan dan bergantung pada orang dewasa, khususnya dalam lingkungan sejak anak itu dilahirkan. Inilah yang menjadi peran penting bagi sebuah keluarga, terutama peran orang tua, sebagai elemen terkecil dan paling utama bagi seorang anak itu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 ditetapkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dari penjelasan dalam batang tubuh konstitusi tersebut, jelaslah bahwa kedudukan dan perlindungan terhadap hak-hak anak merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

  Secara umum kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, hak-hak anak itu dapat dirumuskan secara umum, tidak dominan mengarah pada perlindungan akan hak-hak hukumnya, seperti berhak mendapatkan pendidikan yang layak, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mengeluarkan pendapat, dan lain-lain. Pada tanggal 20 November 1989 diadakan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mensahkan Convention On The Rights of The Child (Kovensi tentang Hak- Hak Anak/KHA). Lebih lanjut pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini juga diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang

   Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak . Undang-Undang Perlindungan Anak,

  dalam pasal 1 butir 12 menyatakan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Dan undang-undang ini sendiri merupakan bentuk konkretisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Maka sejak tahun 1990 Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub dalam Konvensi tersebut.

  Konvensi PBB yang dimaksud di antaranya memuat 10 asas tentang

  

  hak-hak anak, yaitu : 1.

  Anak berhak menikmati semua haknya sesuai ketentuan yang terkandung dalam deklarasi ini. Setiap anak tanpa pengecualian harus dijamin hak-haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, kebangsaan, tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atau status lain, baik yang ada pada dirinya maupun pada keluarganya.

  2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk mengembangkan diri secara fisik, kejiwaan, moral, spiritual, dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai dengan kebebasan dan harkatnya. Penuangan tujuan itu ke dalam hukum, kepentingan terbaik atas diri anak harus merupakan pertimbangan utama.

3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan.

  4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh kembang secara sehat.

  5. Anak yang cacat fisik, mental, dan lemah kedudukan sosialnya akibat keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus.

  6. Agar kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan pengertian.

  7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-Cuma sekurang- kurangnya di tingkat sekolah dasar.

  8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan.

  9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan, penghisapan. Mereka tidak boleh dijadikan subyek perdagangan, tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu atau dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan dan pendidikannya maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa, dan akhlaknya.

  10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi sosial, agama, dan lain-lain.

  2) Kewajiban Anak

  Ada hak tentu ada kewajiban. Tidak disarankan setiap manusia hanya akan menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya. Karena harus ada keseimbangan antara hak dengan kewajiban, sehingga keduanya dapat berjalan beriringan. Begitu juga akan kewajiban dari seorang anak. Mengapa kewajiban perlu dilakukan oleh seorang anak? Karena tidaklah mungkin anak itu akan menjadi seorang anak yang berakhlak baik jika ia hanya menuntut pemenuhan akan hak-haknya saja, sementara kewajibannya sendiri sering diabaikan. Jadi dapat dikatakan bahwa pemenuhan kewajiban merupakan salah satu cara untuk membimbing anak ke arah yang lebih baik.

  Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam

  pasal 19 merumuskan, bahwa setiap anak berkewajiban untuk :

  a) Menghormati orang tua, wali,, dan guru;

  b) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

  c) Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

  d) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

e) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

  Pelaksanaan terhadap kewajiban anak merupakan tugas kita semua. Baik keluarga, lingkungan, pemerintah bahkan instansi-instansi terkait harus dapat menyokong, memberikan dukungan dan motivasi bagi anak agar dapat menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.

2. Bantuan Hukum a. Definisi Bantuan Hukum

  Dalam pasal 3 huruf c Undang-Undang SPPAdinyatakan bahwa setiap anak dalam proses peradilan berhak untuk memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif. Dalam pasal 3 huruf k juga dinyatakan bahwa anak berhak memperoleh advokasi sosial. Pemberian bantuan hukum merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap anak dalam mengikuti proses beracara di pengadilan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 23 ayat (1) yang berbunyi : “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

  Di Indonesia telah diterbitkan Undang-Undang Bantuan Hukum terbaru, yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (selanjutnya disebut Undang-Undang Bantuan Hukum). Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.

  Hak atas bantuan hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant

   on Civil and Political Rights (ICCPR)) .

   Negara Indonesia adalah negara hukum . Meskipun tidak ada

  penegasan secara jelas bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab negara, namun karena konstitusi kita berkata demikian, maka setiap negara hukum pasti mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu, termasuk dalam pemberian bantuan hukum. Hal ini menjadi prioritas negara hukum dalam 12 Lihat Penjelasan Ketentuan Umum UU No. 16 Tahun 2011:

  “Pasal 16 dan pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan

hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan pasal 14 ayat (3)

  

ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu : 1) kepentingan-kepentingan keadilan, mewujudkan suatu perubahan yang berasaskan sosial berkeadilan. Negara hukum harus mencapai kebenaran dan keadilan yang hakiki dalam perwujudan sistem hukum yang digunakannya, sehingga pemberian bantuan hukum menjadi hal yang wajib.

  Profesi Advokat merupakan Pemberi Bantuan Hukum yang sudah sering kita dengar. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Profesi Advokat disini mempunyai peran sentral terhadap penegakan supremasi hukum, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.

  Bila kita kembalikan dalam konsep mengenai perlindungan anak, maka pemberian bantuan hukum merupakan hak yang wajib diberikan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini sebagai wujud perlindungan terhadap hak-hak anak. Perlu diingat ketentuan bahwa seorang Advokat atau pemberi bantuan hukum lain harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan agar suasana kekeluargaan tetap terjaga. Karena proses beracara di Peradilan Anak tentunya akan berbeda dengan proses beracara di Peradilan Umum. Anak tidak boleh tertekan, tidak boleh semakin menurunkan mentalnya

b. Tujuan Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Indonesia

  Secara umum dirumuskan bahwa tujuan penyelenggaraan bantuan hukum adalah untuk mencapai keadilan tanpa adanya diskriminasi terhadap tersangka. Pengaturan lebih lanjut disebutkan dalam pasal 3 Undang-Undang Bantuan Hukum, bahwa penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan untuk : a.

  Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; b.

  Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; c.

  Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan d.

  Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

  Keempat hal di atas menjadi kunci dari penyelenggaraan bantuan hukum karena keempat hal itulah yang dianggap masih lemah oleh pembuat Undang-Undang ini. Banyaknya masalah di peradilan yang memicu kontroversi dalam penanganannya menjadikan status Indonesia sebagai negara hukum semakin melemah, sehingga diperlukan pengaturan lebih tegas.

  Setiap orang yang berhadapan dengan hukum harus dijunjung tinggi hak-haknya dalam mengikuti proses peradilan pidana. Setiap individu harus memperoleh jaminan perlindungan atas dirinya. Kebenaran yang hakiki tidak Orang yang bersalah harus benar-benar dihukum, tanpa mengesampingkan hak- hak mereka. Dan yang tidak terbukti bersalah harus dibebaskan. Salah satu cara menemukan kebenaran yang hakiki yaitu dengan pemberian bantuan hukum yang dimaksud. Semua proses harus berjalan dengan baik. Oleh sebab itu pencaharian fakta atau menemukan kebenaran hakiki merupakan salah satu tujuan pokok

   administrasi peradilan pidana .

3. Peradilan Anak a. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum

  Seperti telah diuraikan sebelumnya dalam pasal 1 angka 3 Undang- Undang SPPA, bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pengertiannya harus dibedakan dengan Anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Secara luas bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, dituduh, atau terbukti melanggar ketentuan hukum pidana. Berkonflik dengan hukum berarti anak tersebut berurusan dengan hukum, mengikuti proses hukum akibat kenakalan yang dilakukannya. 14

  Undang-Undang Pengadilan Anak terdahulu masih menggunakan istilah Anak nakal, di mana dalam pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Anak nakal adalah : a) anak yang melakukan tindak pidana, atau b) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang- undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebenarnya ketentuan tersebut telah bertentangan dengan asas legalitas karena peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan juga turut dimasukkan ke dalam kategori pidana.

  Sebagai contoh bahwa anak nakal menurut hukum adat bisa saja ditangani melalui Pengadilan Anak. Sehingga berakibat dapat terjadi pengkriminalisasian kenakalan anak, padahal belum tentu ia sesuai dengan konsep hukum pidana yang kita

   anut .

  Dari istilah anak nakal kemudian muncul istilah kenakalan anak atau yang sering disebut “juvenile delinquency”. Delinkuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu

  

  masyarakat . Sehingga dapat disimpulkan bahwa juvenile delinquency berarti tingkah laku anak yang melanggar norma hukum dalam masyarakat. Terdapat banyak pengertian dari kenakalan anak. Romli Atmasasmita, contohnya, mengatakan bahwa delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu 15 16 M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 33.

  

  sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela . Sementara definisi juvenile delinquency menurut beliau adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. Berbeda dengan Fuad Hassan yang menyatakan bahwa juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.

  Perbedaan definisi delinkuensi mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam penentuan macam-macam jenis tingkah laku yang termasuk perbuatan delinkuen. Sementara banyaknya pengertian juvenile delinquency menggambarkan bahwa terhadap pengertian juvenile delinquency tidak ada

  

  keseragaman . Artinya definisi yang diberikan oleh setiap ahli tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya.

b. Perlindungan Anak dan Peradilan Anak 1) Perlindungan Anak

  Perlindungan anak merupakan salah satu wujud hak yang harus diterima anak, terutama anak yang sedang berkonflik dengan hukum. Anak harus mendapatkan perlindungan agar segala kepentingannya dapat terlaksana. Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu 17 Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Armico, Bandung, 1984,

  

  atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) . Hak untuk mendapatkan perlindungan ini berhak diperoleh oleh semua anak tanpa terkecuali. Hal ini didasarkan karena anak adalah masa depan bangsa dan penerus cita-cita bangsa.

  

  “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” . Sejak dahulu Konstitusi kita sendiri sudah menyatakan demikian. Seyogyanya seorang anak harus dipelihara dan mendapatkan perlindungan agar mempunyai kesempatan yang luas untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar dan baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang

   menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari .

  Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, dalam pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sementara itu, perlindungan khusus dapat diberikan bagi anak yang sesuai dengan konsep judul skripsi ini, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini dipertegas selanjutnya dalam pasal 1 angka 15 Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang dapat diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan 19 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kedua, 2013, (selanjutnya disingkat Maidin Gultom II), hlm. 69. 20 hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

   Dasar-dasar perlindungan anak adalah :

  a) Dasar filosofis. Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dan dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

  b) Dasar etis. Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

  c) Dasar yuridis. Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada

  UUD 1945 dan berbagai peratura perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

  Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, di samping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dala pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun

  

  sosial . Dari berbagai macam peraturan yang ada, maka secara yuridis, Indonesia telah berupaya secara maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap hak anak. Yang dibutuhkan kemudian adalah implementasi dari berbagai macam peraturan yang sudah ada yang tentunya menjadi tugas dan kewenangan dari

   eksekutif .

  2) Peradilan Anak

  Berbicara mengenai peradilan, maka sangat besar kaitannya dengan proses beracara di pengadilan, yaitu dengan ketentuan-ketentuan hukum acara.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan yaitu segala sesuatu mengenai perkara pengadilan. Dan mengenai perkara yang dimaksud, apakah menyangkut perkara pidana, perdata ataupun tata usaha negara, harus diselesaikan menurut hukum acara masing-masing. Peradilan juga merupakan tempat mencari keadilan dalam menyelesaikan masalah-masalah tentang hak dan kewajiban seseorang menurut hukum. Secara yuridis peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang

  

  berbentuk badan peradilan . Peradilan secara sosiologis berperan sebagai lembaga kemasyarakatan harus dapat mencapai aspek tertinggi dari segala aspek nilai dalam hubungan antara manusia dan masyarakat, yaitu nilai keadilan.

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dan Korban Tindak Pidana

4 103 127

Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

9 219 88

Analisis Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

22 292 126

Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

2 72 177

Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

16 268 163

Analisis Terhadap Status Hukum Dan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

11 248 141

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan Pidana Sesuai Dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Studi Kasus Di Wilayah Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli)

1 64 127

Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 8 0

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak Juncto Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

0 4 1

Tinjauan Hukum Tentang Efektivitas Pemberlakuan Pidana Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak JUNCTO Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 10 64