Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

(1)

ANALISIS HUKUM PERDATA TENTANG SYARAT SAH KONTRAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN

2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

080200117

BACHTIAR HASAN SINAGA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS HUKUM PERDATA TENTANG SYARAT SAH KONTRAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN

2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

080200117

BACHTIAR HASAN SINAGA

BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN BW Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP. 196603031985081001 DR. HASYIM PURBA S.H. M.Hum

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

DR. HASYIM PURBA S.H. M.Hum.

NIP. 196603031985081001 NIP. 196101181988031010 ZULKIFLI S. S.H. M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan : "ANALISIS HUKUM PERDATA TENTANG SYARAT SAH KONTRAK BERDASARKAN UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK" disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syaratuntuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatra Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Skripsi ini membahas mengenai UU ITE yang diterbitkan demi memenuhi kebutuhan hukum akan bidang elektronik yang saat ini semakin pesat perkembangannya. Dalam pembahasannya, skripsi ini membahas mengenai keunggulan dan kelemahan serta perbedaan antara KUH Perdata dengan UU ITE, sehingga dapat diketahui kelemahan ataupun kekurangan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak meluangkan waktu fikiran serta tenaga hingga akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.


(4)

Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, baik berupa isi maupun kalimat penulisannya. Oleh karenanya, skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH.DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasyim Purba, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini. 6. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen


(5)

7. Bapak Zulkifli Sembiring, SH, MH., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Muhammad Ekaputra, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak memberikan arahan-arahan kepada Penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

7. Teristimewa kepada Orangtua tercinta, Ayahanda Drs. Warisman Sinaga M.Hum., dan Ibunda Dra. Latifah Hanum Harahap yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan kasih sayang yang tak hentinya serta memberikan motivasi, semangat dan mendoakan setiap langkah Penulis dalam mencapai cita-cita.

8. Kepada Adik-Adikku tersayang Sarah Chalida Sinaga dan M. Rizky Maulid Sinaga yang telah memberikan motivasi, semangat serta doa kepada Penulis.

9. Kepada sahabat-sahabat Penulis : Eko Yolanda Putra, M. Ahmad Sanusi Tarigan, SH., M. Ikhsan, S.Psi., Fajar Syahputra.


(6)

10. Seluruh teman-teman mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A Latar Belakang ... 1

B Rumusan Masalah... 6

C Tujuan Penulisan ... 6

D Manfaat Penulisan ... 7

E Keaslian Penulisan ... 8

F Metode Penelitian ... 9

G Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK ... 14

A Defenisi Perjanjian ... 14

B Asas Hukum Kontrak... 17

C Syarat Sahnya Suatu Kontrak ... 20

D Bentuk-Bentuk Kontrak ... 36

E Jenis-jenis Kontrak ... 38

F Momentum Terjadinya Kontrak ... 41

G Berakhirnya Suatu Kontrak ... 43


(8)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK

ELEKTRONIK ... 47

A Defenisi Kontrak Elektronik ... 47

B Media Pendukung Awal Lahirnya Kontrak Elektronik ... 51

C Lahir dan Berakhirnya Kontrak Elektronik... 56

D Syarat Sah Kontrak Elektronik ... 57

E Tanda Tangan Digital ... 61

F Fungsi Kontrak Elektronik ... 63

BAB IV ANALISIS HUKUM PERDATA TENTANG SYARAT SAH KONTRAK BERDASARKAN UU NO. 11TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK ... 65

A Perbandingan Keunggulan dan Kelemahan Aturan Hukum Tentang Kontrak Menurut KUH Perdata dan UU ITE ... 65

B Perbedaan Syarat Sah Kontrak antara KUH Perdata dengan UU ITE Serta Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Tersebut ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

A Kesimpulan ... 75

B Saran ... 76


(9)

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang

Manusia hidup sebagai makhluk sosial, yang berarti untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari membutuhkan bantuan dari manusia lainnya. Dengan adanya hubungan antar individu tersebut tentu dapat menimbulkan suatu hal yang bisa saja merupakan suatu perbuatan yang dianggap merugikan orang lain, sehingga timbullah suatu aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur hubungan sosial antar individu tersebut. Hal yang paling umum yang sering dipergunakan antar individu itu ialah suatu perjanjian. Dalam pencapaian suatu perjanjian itu tentu diperlukan suatu kesepakatan antara para pihak yang saling berhubungan tersebut.

Kesepakatan atau sepakat dalam Pasal 1320 KUH Perdata merupakan salah satu dari empat syarat utama dalam proses terjadinya suatu kontrak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kontrak itu berarti perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, atau artian lainnya ialah suatu persetujuan yang bersanksi hukum antara dua


(10)

pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan.1 Artinya, perjanjian atau kontrak itu merupakan suatu proses puncak dalam hal berhubungan antara satu orang kepada orang yang lain untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan yang mempunyai tujuan bagi masing-masing pihak, di mana di dalam kontrak tersebut ada hal-hal yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak tersebut sehingga tercapailah pemenuhan kewajiban dan haknya.

Perkembangan zaman yang kian hari semakin maju telah banyak menciptakan teknologi yang semakin canggih, terutama tekhnologi yang ditujukan untuk membantu mempermudah kegiatan sehari-hari. Salah satu contoh ialah media telekomunikasi. Dalam perkembangannya, media telekomunikasi begitu banyak mengalami perubahan-perubahan yang amat besar, sehingga pada saat ini telekomunikasi tidak hanya berupa percakapan langsung melalui alat penghubung, tetapi sudah berubah menjadi suatu bentuk pengiriman data secara langsung, atau yang dikenal dengan internet.

1

Kamus Besar Bahasa Indonesia,edisi ke empat (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008)

Internet yang saat ini berkembang sangat pesat menyebabkan terciptanya sebuah wahana baru yang biasa disebut dengan dunia maya. Di sini setiap orang bisa dengan bebas dan mudah untuk berkomunikasi dengan orang lain tanpa batasan apapun yang menghalanginya.


(11)

Perkembangan teknologi ini sudah pasti sangat memudahkan bagi setiap orang untuk bisa melakukan banyak hal melalui dunia maya. Dengan demikian dapat dipastikan, hal tersebut pula yang menjadi pengaruh besar terhadap berubahnya sistem sosial disebagian besar masyarakat. Media elektronik, yang berkembang saat ini juga berpengaruh terhadap berkembangnya kegiatan-kegiatan hukum yang ada di masyarakat. Kegiatan hukum tersebut tidak lain adalah “kesepakatan”. Banyak orang pada masa sekarang ini yang benar-benar memanfaatkan kemajuan teknologi untuk membantu kegiatan kesehariannya, terutama kegiatan yang bersifat untuk mencari atau mencapai keinginan yang dituju. Hal tersebutlah yang menjadi penyebab dari berbagai pihak untuk memanfaatkan internet atau media online untuk membantu kegiatannya dalam membuat suatu perjanjian. Dikarenakan dengan melalui media elektronik tersebut, para pihak dapat berhubungan langsung tanpa harus melakukan tatap muka, atau bertemu di suatu tempat, di mana cara tersebut sudah tentu memakan waktu dan biaya yang biasanya tidak sedikit. Sehingga terciptalah suatu arena baru dimana para pelaku hukum mulai merubah metode dalam bertransaksi dari metode konvensional atau metode dengan cara bertemu langsung menjadi metode yang lebih mudah dan praktis yakni melalui media online tersebut.


(12)

b Para pihak yang berkontrak dalam kontrak elektronik tidak bertatap wajah secara langsung, bahkan bisa saja tidak akan pernah bertemu.

Terobosan baru atas suatu hal pasti berdampak terhadap masalah yang akan ditimbulkannya. Hal inilah yang terjadi dalam proses bertransaksi dalam penggunaan media elektronik sebagai sarananya. Hal ini dikarenakan proses bertransaksi dalam metode lama atau konvensional yang dipergunakan di mana seseorang yang hendak berhubungan itu bertemu secara langsung, bahkan sudah saling mengenal, sehingga tidak perlu diragukan lagi atas terpenuhinya syarat sah kontrak tersebut. Berbeda halnya dengan proses pelaksanaan kontrak yang menggunakan media elektronik sebagai sarananya, di mana seseorang tersebut belum pasti bisa dikatakan telah memenuhi syarat sah dalam suatu kontrak, dikarenakan antara para pihak tidak melakukan kesepakatan secara langsung, sehingga tidak dapat dipastikan antara para pihak apakah sudah memenuhi syarat untuk melaksanakan kesepakatan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kontrak elektronik itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a Dapat terjadi secara jarak jauh, bahkan melampaui batas-batas Negara melalui internet.

2

2

Johannes Gunawan, Reorientasi Hukum Kontrak Di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22, No. 6: 2003), hlm. 47


(13)

Secara umum apa yang tertuang di dalam Kontrak Elektronik itu sudah mencakup isi yang dimaksud dalam pasal 1320 KUH Perdata, pada dasarnya pembuatan kontrak melalui media elektronik sama dengan pembuatan kontrak secara konvensional, yang membedakan hanya proses atau cara berlangsungnya. Hal ini lah yang membuat sebagian besar orang masih belum percaya atau belum yakin untuk menggunakan kontrak secara elektronik, walaupun undang-undang yang mengaturnya telah diterbitkan. Banyak orang beranggapan kontrak secara konvensional itu tetap lebih baik, walaupun secara ekonomis pelaksanaannya lebih sulit dilaksanakan dan membutuhkan biaya yang lebih besar daripada pelaksanaannya melalui media elektronik.

Untuk menjamin kegiatan yang menggunakan media elektronik sebagai alat bantu pelaksanaannya, maka dikeluarkan Undang-Undang yang dibuat khusus mengatur segala hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum melalui media elektronik. Yakni Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa dikenal dengan UU ITE, serta PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah ini diterbitkan dengan tujuan agar setiap masyarakat bisa mendapat kepastian hukum dalam melakukan perbuatan hukum melalui media elektronik. Dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah


(14)

tersebut diatur juga mengenai kontrak elektronik, di mana pada saat ini kontrak elektronik banyak dipergunakan. Namun dalam pelaksanaan dan penerapan UU ITE ini masih banyak menemui kendala-kendala, dikarenakan banyak pihak yang menganggap undang-undang ini belum mencakup semua aspek kebutuhan dalam berkontrak, terutama dari segi pemenuhan syarat keabsahan berkontrak melalui media elektronik. Hal inilah yang menarik bagi peneliti untuk melakukan pengkajian dan penelitian lebih dalam mengenai UU ITE.

B. Rumusan Masalah

Penulis merumuskan beberapa hal yang perlu dikaji lebih dalam dalam penulisan skripsi ini. Permasalahan tersebut ialah :

1 Apa keunggulan dan kelemahan aturan Hukum tentang Kontrak menurut KUH Perdata dan UU No. 11 Tahun 2008.

2 Apa perbedaan Syarat Sah Kontrak dan Faktor penyebab terjadinya perbedaan Syarat Sah Kontrak pada KUH Perdata dan UU No. 11 Tahun 2008.

C. Tujuan Penulisan


(15)

1 Untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan aturan hukum yang mengatur tentang kontrak baik menurut KUH Perdata maupun menurut UU ITE dan PP PSTE.

2 Untuk mengetahui perbedaan syarat sah kontrak dan faktor penyebab terjadinya perbedaan syarat sah kontrak pada KUH Perdata dan UU ITE dan PP PSTE.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan yang diharapkan oleh penulis ialah : 1 Manfaat teoritis

Untuk memberikan suatu pengetahuan, pengembangan wawasan, dan pemikiran mahasiswa /kalangan akademis mengenai suatu kegiatan hukum yang dilakukan melalui media elektronik terutama yang berkenaan dengan perjanjian.

2 Manfaat praktis

Untuk menjadi masukan dan sebagai referensi bagi siapa saja yang hendak melakukan kegiatan hukum melalui media elektronik, sehingga melalui skripsi ini dapat menjadi bahan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu perjanjian yang dibuat melalui media elektronik.


(16)

E. Keaslian Penulisan

UU ITE merupakan suatu peraturan yang diterbitkan guna memenuhi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang pada masa sekarang ini dalam kegiatan hukumnya mulai banyak dipengaruhi oleh perkembangan tekhnologi. Namun pada Undang-Undang tersebut dirasa memiliki perbedaan yang sedikit mencolok terhadap peraturan hukum yang sudah ada di Indonesia sebelumnya, khususnya pada bidang Perdata mengenai perjanjian.

Dikarenakan masih terdapat banyak keraguan masyarakat atas fungsi dari penerapan UU ITE inilah yang menjadi alasan penulis untuk meneliti UU ITE tersebut. Namun penulis menyadari bahwa pembahasan mengenai UU ITE ini baik berupa skripsi maupun karya ilmiah lainnya bukanlah yang pertama kali dan satu-satunya yang pernah dibuat, untuk itulah penulis akan meneliti UU ITE ini dari sudut pandang yang berbeda.

Pada penulisan skripsi yang berjudul : "Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik" ini penulis meneliti mengenai aturan-aturan yang terdapat dalam UU ITE tersebut, khususnya pada aturan-aturan yang berkenaan dengan perjanjian, lalu membandingkannya dengan aturan-aturan yang termuat dalam KUH Perdata. Dengan demikian pada dasarnya skripsi ini berbeda


(17)

pembahasannya dengan karya ilmiah lainnya yang sudah pernah dibuat sebelumnya sehingga keaslian dari isi skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena merupakan hasil buah pemikiran penulis sendiri.

F. Metode Penelitian

Dalam menyusun atau menulis sebuah skripsi, harus didasarkan pada data teoretis maupun data di lapangan yang diperoleh secara obyektif sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis dalam penulisan karya ilmiah ini lebih berdasarkan kepada landasan teoritis dalam mencari pokok permasalahan dengan berpedoman kepada studi kepustakaan (library research).

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penulisan skripsi yang berjudul "Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik" ini menggunakan jenis pendekatan undang-undang, dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.3

3

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2005) hlm. 92


(18)

(Library Research). Penelitian kepustakaan bertujuan untuk menunjukkan jalan pemecahan masalah penelitian dalam suatu karya ilmiah.4

Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sifatnya sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus).

5

Dalam hal ini Peter Mahmud Marzuki membagi sumber penelitian hukum menjadi 2, yakni sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Penelitian ini bersifat kualitatif karena pengumpulan data yang dilakukan bersifat deskriptif dan tidak menggunakan data dalam bentuk angka-angka (non-kuantitatif). Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu dalam penulisan skripsi ini agar fokus penelitian tidak melenceng dari tujuan utamanya.

2. Sumber Data

6

4

Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, -) hlm. 112-114

5

Sedarmayanti & Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 23.

6

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 140

Berikut ini sumber-sumber penelitian hukum tersebut :


(19)

Data-data yang diperoleh penulis dengan mengkaji dari Hukum Perdata, terutama yang berkaitan dengan hukum kontrak, serta undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b Bahan Hukum Sekunder.

Data-data yang diperoleh penulis dengan mengkaji buku-buku di perpustakaan dan hasil karya ilmiah sarjanawan terdahulu, Kamus Besar Bahasa Indonesia, media internet, maupun sumber lain yang mempunyai relevansi dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi, diperlukan adanya sistematika penulisan skripsi. Hal ini untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai gambaran dalam skripsi yang dibuat. Maka penulis akan menyajikan sistematika penulisan skripsi sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini disajikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, serta sitematika penulisan skripsi.


(20)

BAB II KONTRAK MENURUT KUH PERDATA

Dalam bab ini dijelaskan mengenai kontrak menurut KUH Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai definisi kontrak, asas hukum, syarat sahnya suatu kontrak, bentuk-bentuk kontrak, jenis-jenis kontrak, dan momentum terjadinya dan berakhirnya suatu kontrak.

BAB III KONTRAK ELEKTRONIK

Dalam bab ini dijelaskan mengenai kontrak menurut UU No. 11 Tahun 2008. Di dalamnya diterangkan mengenai defenisi kontrak elektronik, media kontrak elektronik, lahir dan berakhirnya suatu kontrak elektronik, syarat sahnya kontrak elektronik, dan alat bukti kontrak elektronik.

BAB IV ANALISIS HUKUM PERDATA TENTANG SYARAT

SAH KONTRAK BERDASARKAN UU ITE

Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai keunggulan dan kelemahan aturan-aturan yang mengatur mengenai kontrak, baik menurut KUH Perdata maupun menurut UU No. 11 Tahun 2008, dan juga penyebab terjadinya


(21)

perbedaan syarat sah kontrak menurut masing-masing aturan hukum tersebut, serta hasil dari penelitian tersebut.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi mengenai kesimpulan atas permasalahan yang telah dibahas juga berisi saran-saran penulis mengenai permasalahan yang timbul akibat perbedaan karakteristik kontrak menurut masing-masing peraturan hukum tersebut.


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK

A. Definisi Perjanjian

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa : persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Persetujuan yang dimaksud ialah berjanji untuk mengikatkan diri kepada pihak lain. Perjanjian memiliki defenisi yang berbeda-beda menurut pendapat pakar hukum. Perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.7 Sehingga dengan demikian, dari perjanjian tersebutlah timbul suatu perikatan. Sedangkan perikatan itu sendiri menurut Subekti ialah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.8

Perjanjian menurut M Yahya Harahap ialah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi

7

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2001) hlm.1.

8 Ibid.


(23)

kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.9

Salim H.S. dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, berpendapat bahwa dalam Pasal 1313 perjanjian itu bersifat tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut dengan perjanjian, ia juga mengatakan bahwa dalam pasal tersebut tidak tampak asas konsensualisme dan bersifat dualisme. Hal yang mendasarinya dikarenakan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun dapat disebut perjanjian. Untuk itu, demi memperjelas pengertian mengenai perjanjian itu sendiri harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut dengan perjanjian adalah : "perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum"

Unsur dari wujud perjanjian tersebut adalah hubungan hukum yang menyangkut harta kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

10

Berdasar banyak defenisi tentang kontrak, Salim H.S menyimpulkan bahwa kontrak merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain, dalam bidang harta

9

M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) hlm. 6.

10

Salim H.S., (1). Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) hlm. 15


(24)

kekayaan.11

Hasanudin Rahman menyimpulkan bahwa kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis.

Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu berhak atas prestasi, dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.

12

Kontrak adalah salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan.13

2 Perjanjian untuk berbuat sesuatu.

Perikatan terdapat di dalam perjanjian karena perikatan dapat ditimbulkan oleh perjanjian di samping undang-undang. Hal tersebut diatur dalam pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi : “perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”.

Kontrak merupakan bentuk konsekuen oleh para pihak untuk saling menepati janji sesuai dengan apa telah disepakati. Di mana dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang mendapatkan pemenuhan atas haknya, dan pihak lain memenuhi kewajibannya. Namun jika dilihat dari segi pelaksanaannya, perjanjian dapat dibagi menjadi tiga macam, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1324 KUH Perdata, yakni :

1 Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang.

11

Ibid, hlm. 17

12

Hasanudin Rahman, Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam MerancangKontrak Perorangnan/Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 4

13

Budiman N.P.D, Sinaga, Hukum Kontrak & Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12


(25)

3 Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

B. Asas Hukum Kontrak

Kontrak dalam pembuatan atau proses terjadinya terdapat berbagai macam asas, hal ini dikarenakan dalam pembuatan kontrak itu sendiri dimaksudkan agar tercapai maksud yang dituju oleh para pihak. Sehingga tercapailah prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Dalam KUH Perdata sendiri terdapat beberapa asas hukum kontrak, antara lain :

1. Hukum Kontrak bersifat mengatur.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi kedalam dua bagian yaitu :

a Hukum memaksa, dalam hal ini para pihak diharuskan untuk mengikuti segala ketentuan, tidak diperbolehkan adanya pelanggaran atas apa yang telah tertuang di dalam kontrak itu sendiri.

b Hukum mengatur, dalam hal ini jika para pihak mengaturnya secara lain dari apa yang diatur dalam hukum kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri oleh para pihak tersebut. kecuali undang undang menentukan lain.


(26)

2. Asas Kebebasan Berkontrak.

Dalam asas ini artinya para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur sendiri isi kontraknya. Menurut Pasal 1338 KUH Perdata, ketentuan yang harus dipenuhi dalam asas kebebasan berkontrak ialah sebagai berikut :

a Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak b Tidak dilarang oleh undang-undang

c Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan

d Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

Menurut Salim H.S, asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian. 2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.

4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 3. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah mempunyai ikatan hukum yang penuh. Artinya kontrak tersebut berlaku mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Sehingga dengan demikian


(27)

kontrak tersebut menjadi peraturan yang berlaku seperti undang-undang bagi para pihak tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi : "setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya." Adapun Huala Adolf menyatakan dalam bukunya yang berjudul "Hukum Perdagangan Internasional" bahwa pacta sunt servanda adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah ditandatangani dan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum di dunia menghormati prinsip ini.14

Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.

4. Asas Konsensual dari suatu Kontrak

15

14

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 16

15

Budiman N.P.D, Sinaga, op.cit., hlm. 15

Artinya ketika tercapainya kata sepakat, maka kontrak tersebut sudah mengikat para pihak. Hal ini tentunya setelah semua syarat sah kontrak tersebut sudah dipenuhi, sesuai dengan yang tertuang dalam pasal 1320 KUH Perdata. Sehingga, dengan hal tersebut,


(28)

maka timbul lah akibat hukum bagi para pihak untuk memenuhi hak dan kewajiban bagi para pihak.

5. Asas Obligator dari suatu Kontrak

Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak, tetapi pada taraf tersebut hak milik belum berpindah kepada pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik ke pihak yang lain diperlukan adanya kontrak kebendaan (zakelijke

overeenkomst). Perjanjian kebendaan inilah yang disebut dengan

“penyerahan” (levering).16

4 Suatu sebab yang tidak terlarang."

C. Syarat Sahnya Suatu Kontrak

Suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga dapat mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat-syarat sahnya kontrak tersebut tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan "supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat ;

1 Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, 2 Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3 Suatu pokok persoalan tertentu,

16

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 31


(29)

Selain dari Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, ada pula syarat sah yang lainnya, seperti yang tertuang dalam Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata. Syarat sah kontrak tersebut yakni sebagai berikut :

a Syarat itikad baik,

b Syarat sesuai dengan kebiasaan, c Syarat sesuai dengan kepatutan,

d Syarat sesuai dengan kepentingan umum.

Munir Fuady dalam bukunya menyebutkan bahwa selain syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, ada syarat-syarat lainnya agar suatu kontrak itu dinyatakan sah, yakni syarat sah khusus. Menurut Munir Fuady syarat sah khusus tersebut ialah :

1) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu, 2) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,

3) Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk akta kontrak-kontrak tertentu, dan

4) Syarat izin dari yang berwenang.17

17Ibid, hlm. 34

Berikut ini penjelasan mengenai syarat-syarat sah suatu kontrak berdasarkan syarat syah yang umum dan syarat sah yang khusus :


(30)

Kesepakatan kehendak artinya ialah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.18 Hal ini lah yang menjadi dasar terjadinya suatu kontrak. Suatu kesepakatan itu lazimnya terjadi saat adanya penawaran. Rai Widjaya dalam bukunya menyebutkan bahwa tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada pihak-pihak yang saling berkomunkasi, menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak lainnya.19

Yang dimaksudkan dengan paksaan (dwang, duress) ialah suatu perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dimana terhadap orang yang terancam karena paksaan tersebut timbul ketakutan

Namun dalam pencapaian kata sepakat ini tidak boleh ditemukan adanya unsur-unsur yang dapat menjadi syarat batalnya suatu kontrak. Unsur-unsur tersebut seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata, yakni :

a) Unsur paksaan b) Unsur kesilapan c) Unsur penipuan

Berikut ini penjelasan mengenai unsur syarat yang dapat membatalkan suatu kontrak menurut Pasal 1321 KUH Perdata :

a) Unsur paksaan

18

Salim H.S., op.cit., hlm 23

19

I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (Contrak Drafting, Teori Dan Praktik), (Jakarta: Kesaint Blanc, 2008), hlm. 46


(31)

baik terhadap dirinya maupun terhadap kekayaannya dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Menurut Sudargo, paksaan (duress)

adalah setiap tindakan intimidasi mental.20

(a) Ketakutan terhadap diri orang tersebut.

Menurut KUH Perdata, yakni Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327, suatu paksaan dapat mengakibatkan pembatalan atas suatu kontrak, jika telah terpenuhi syarat-syarat paksaan sebagai berikut :

(1) Paksaan tersebut dilakukan terhadap : (a) Orang yang membuat kontrak,

(b) Suami atau istri dari orang yang membuat kontrak. (c) Keluarga orang yang membuat kontrak dalam garis ke

atas atau ke bawah

(2) Paksaan tersebut dilakukan oleh : (a) Salah satu pihak dalam kontrak,

(b) Dari pihak ketiga yang merasa mempunyai kepentingan atas kontrak tersebut.

(3) Paksaan tersebut menakutkan seseorang.

(4) Orang yang takut karena mendapatkan paksaan tersebut haruslah dalam keadaan sehat serta berpikiran sehat.

(5) Ketakutan karena paksaan tersebut berupa :

20

Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 76.


(32)

(b) Ketakutan terhadap kerugian yang nyata terhadap harta kekayaan orang tersebut.

(6) Timbulnya ketakutan karena paksaan haruslah dengan mempertimbangkan keadaan dari yang dipaksakan, berupa: (a) Usia

(b) Kelamin (c) Kedudukan

(7) Ketakutan bukan karena hormat dan patuh kepada orang tua atau sanak keluarga tanpa paksaan.

(8) Setelah terjadi paksaan, kontrak tersebut tidak telah dikuatkan (dengan tegas atau diam-diam).

(9) Tidak telah lewat waktu kadaluwarsa setelah dilakukan paksaan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesepakatan yang dipilih oleh pihak yang membuat kontrak tersebut bukan merupakan kehendak murni dari dalam hatinya. Sehingga dalam pengambilan keputusan untuk membuat kontrak tersebut pihak yang dipaksa mendapatkan tekanan untuk menyetujui/menyepakati kontrak, sehingga lahir lah sebuah kontrak yang bukan merupakan berasal dari kehendaknya sendiri, melainkan karena adanya paksaan dari luar yang membuatya harus menyepakati perjanjian.


(33)

b) Unsur Kesilapan

Seseorang yang dikatakan telah membuat kontrak secara silap ialah manakala ia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang tidak benar.21

Yang dimaksud dengan salah pengertian di sini ialah jika terhadap suatu istilah dalam kontrak dimana istilah tersebut memiliki penafsiran atas artian yang berbeda. Sehingga dapat menimbulkan kebingungan bagi pihak yang membuat konrak.

Kesilapan yang dimaksud ini mempunyai jenis-jenis yang berbeda, tergantung dari segi mana dilihat bentuk kesilapan tersebut. bentuk kesilapan tersebut yakni :

(1) Kesilapan terhadap hakikat barang

Dalam hal ini yang menjadi objek dari kesilapan ialah barang yang diperjanjikan dalam kontrak. Maksudnya ialah barang yang diperjanjikan ternyata berbeda dengan barang yang dimaksud dalam perjanjian.

(2) Kesilapan terhadap diri orang

Kesilapan mengenai orang tersebut tidaklah dapat membatalkan kontrak, kecuali jika kontrak tersebut dibuat mengingat tentang diri orang yang diperjanjikan.

(3) Salah pengertian

21


(34)

(4) Mistranskripsi.

Mistranskripsi ialah kontrak tertulis yang sewaktu ditulisnya kontrak tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang sudah secara lisan disepakati oleh para pihak. Dalam hal ini pihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan perubahan isi kontrak sesuai dengan apa yang telah disepakati secara lisan oleh para pihak tersebut.

c) Unsur Penipuan

Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat, hal ini seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1328 KUH Perdata, namun penipuan tersebut harus dapat dibuktikan dan tidak dapat dikira-kira. Maksudnya ialah dikarenakan suatu tindakan penipuan, sehingga salah satu pihak setuju untuk mengadakan suatu perbuatan yang mengikat dirinya. Tindakan penipuan tersebut haruslah berjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan.22

22

Sudargo Gautama, Op.cit., hlm. 77.

Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) menyebutkan penipuan harus dilihat dari segi


(35)

pandang keterlibatan pihak dan syarat yang harus dipenuhi agar suatu penipuan dalam kontrak dapat menyebabkan pembatalan kontrak,23

(d) Penipuan termasuk juga nondisclosure.

yakni sebagai berikut :

(1) Dilihat dari segi keterlibatan pihak yang melakukan penipuan :

(a) Penipuan yang disengaja (Intentional misrepresentation).

(b) Penipuan karena kelalaian (Negligent misrepresentation).

(c) Penipuan tanpa kesalahan (Innocent misrepresentation).

(d) Penipuan dengan jalan merahasiakan (Concealment).

(e) Penipuan dengan jalan tidak terbuka informasi

(Nondisclosure).

(2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dibatalkan :

(a) Penipuan harus mengenai fakta.

(b) Penipuan harus terhadap fakta substansial.

(c) Pihak yang dirugikan berpegang pada fakta yang ditipu tersebut.

23


(36)

(e) Penipuan termasuk juga kebenaran sebahagian. (f) Penipuan termasuk juga dalam bentuk tindakan.

Berdasarkan ketiga unsur tersebut, bila salah satunya tidak dipenuhi, maka suatu kontrak yang dibuat tersebut dapat dibatalkan, karena dalam kehendaknya, salah satu pihak yang telah mengalami salah satu unsur dari yang telah disebutkan tersebut sebenarnya tidaklah benar-benar menginginkan adanya kesepakatan itu.

ad. 2) Kecakapan Para Pihak

Kontrak baru dapat dikatakan sah apabila telah terpenuhi semua syarat-syaratnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata, salah satu syarat sahnya yakni “cakap bertindak”. Cakap bertindak ini artinya orang-orang yang bisa melakukan dan mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang dilakukannya. Berdasar Pasal 1330 KUH Perdata, orang-orang yang dianggap tidak cakap dalam bertindak digolongkan menjadi :

a) Orang yang belum dewasa

b) Orang yang berada dibawah pengampuan c) Perempuan yang telah kawin

d) Orang-orang yang oleh Undang-undang dilarang untuk melakukan perbuatan hukum.


(37)

Berikut ini penjelasan lebih lanjut tentang orang-orang yang tidak cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum menurut Pasal 1330 KUH Perdata:

a) Orang yang Belum Dewasa

Untuk menentukan kedewasaan seseorang dapat dilihat dari syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 330 KUH Perdata, dimana orang-orang yang dikategorikan sudah dewasa ialah :

(1) Sudah genap berumur 21 tahun.

Seseorang dikatakan dewasa jika usianya telah genap 21 tahun, sementara orang yang berusia 20 tahun 11 bulan dianggap belum dewasa karena usianya belum mencapai 21 tahun.

(2) Sudah kawin.

Seseorang dapat dikatakan dewasa meskipun ia belum berumur genap 21 tahun, namun ia telah menikah,

(3) Sudah kawin dan akhirnya bercerai.

Seseorang dikatakan sudah dewasa, dikarenakan ia telah menikah, namun dalam pernikahannya ia bercerai. Ia tetap dianggap sebagai orang yang telah dewasa walaupun ia belum berumur 21 tahun.


(38)

Seseorang dikatakan tidak cakap dalam bertindak hukum apa bila ia berada dibawah pengampuan. Dengan kata lain alasan orang-orang tersebut berada dibawah pengampuan dikarenakan ia tidak bisa mengambil keputusan yang baik bagi dirinya sendiri. Dalam Pasal 433 KUH Perdata menyebutkan, ada beberapa golongan orang yang berada dibawah pengampuan, sehingga dianggap tidak sah dalam pengambilan atau pembuatan keputusan hukum. Orang-orang tersebut ialah :

(1) Orang yang dungu (2) Orang yang gila

(3) Orang yang mata gelap (4) Orang yang boros c) Perempuan yang Telah Kawin

Dalam hal ini seorang wanita yang telah menikah dan bersuami maka dalam pengambilan keputusannya harus didasarkan kepada suami. Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kontrak” mengatakan hal ini dikarenakan agar jangan sampai ada dua nahkoda dalam satu kapal, sebab dalam suatu perkawinan, pihak suami lah yang dianggap sebagai nahkodanya (kepala rumah tangga).

Namun pada saat sekarang ini, ketentuan istri dianggap tidak cakap dalam bertindak hukum sudah dapat dikatakan tidak berlaku lagi. Pasal 31 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa


(39)

“sungguhpun dikatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga, tetapi masing-masing pihak mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang, dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”. Artinya istri pada saat ini telah dikatakan sebagai orang yang cakap dalam bertindak hukum, termasuk dalam hal pembuatan kontrak.

d) Orang-orang yang oleh Undang-undang tidak diperbolehkan melakukan perbuatan hukum

Dalam hal ini undang-undang juga menyatakan secara jelas bagi sebagian orang yang tidak diperbolehkan untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Hal ini tertuang dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Orang-orang tertentu tersebut dianggap tidak berwenang utuk melakukan suatu perbuatan tertentu, dengan cara tertentu pula. Sebagai contoh, dalam bidang kontrak jual-beli, ada pihak-pihak yang disebutkan oleh undang-undang untuk dianggap tidak sah melakukan sebuah kontrak. Menurut Munir Fuady,orang-orang tersebut ialah :

(1) Suami istri yang hendak melakukan kontrak jual beli di antara mereka. Hal ini terdapat dalam Pasal 1467 KUH Perdat.

(2) Hakim, jaksa, panitera, jurusita, advokat, dan notaries tidak boleh menerima penyerahan untuk menjadi pemilik untuk


(40)

dirinya sendiri atau orang lain atas hak dan tuntutan yang menjadi pokok perkara.

(3) Pegawai dalam suatu jabatan umum dilarang membeli untuk dirinya sendiri atau untuk perantara atas barang-barang yang dijual oleh atau di hadapan mereka.24

Suatu hal tertentu dalam hal ini dimaksudkan terhadap benda atau obyek dari suatu kontrak itu sendiri. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata, barang yang menjadi obyek suatu perjanjian haruslah tertentu, maksudnya harus jelas bentuk dan wujudnya. Sedangkan untuk jumlahnya sendiri tidak perlu ditentukan, asalkan kemudian bisa dihitung jumlahnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi obyek suatu perjanjian itu bisa saja barang tersebut tidak harus sudah ada saat dibuatnya kontrak, melainkan benda-benda atau barang yang hendak diciptakan sehingga pada nantinya bisa menjadi obyek perjanjian. Namun yang tidak diperbolehkan untuk menjadi obyek suatu perjanjian barang yang masih ada dalam warisan yang belum terbuka, hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 1334 KUH Perdata, dimana diatur di dalamnya mengenai barang-barang yang boleh dan tidak boleh untuk dijadikan sebagai obyek perjanjian.

ad. 3) Suatu Pokok Persoalan Tertentu

24


(41)

ad. 4) Suatu Sebab Yang Halal

Syarat ini merupakan syarat yang terakhir dalam membuat suatu kontrak itu bisa dianggap sah secara hukum. Namun hal ini berbeda dengan syarat subyektif dalam keabsahan suatu kontrak, dimana jika pada syarat subyektifnya belum terpenuhi, maka bagi para pihak diberikan keleluasaan untuk meminta apakah perjanjian itu dibatalkan ataukah dilanjutkan dengan syarat memenuhi persyaratan yang ada. Sedangkan pada syarat obyektif, jika syaratnya tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.25

Dalam syarat yang terakhir ini, yang dimaksud dengan syarat halal itu sendiri adalah tidak lain daripada isi perjanjian itu sendiri. Syarat kausa

(oorzaak) yang legal untuk suatu kontrak adalah sebab mengapa kontrak tersebut dibuat.26

Syarat itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, dimana berisi bahwa suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Namun, dalam pengertiannya, syarat itikad baik ini bukan

Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. ad. a Syarat Itikad Baik

25

Salim H.S., (2). Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010) hlm. 35

26


(42)

merupakan syarat agar sahnya suatu kontrak, melainkan hanya sebagai sarana yang mengatur mengenai pelaksanaan tentang isi dari suatu kontrak. Artinya, bagi para pihak yang melaksanakan kontrak itu haruslah sesuai dengan apa yang tertera di dalam kontrak, tidak boleh melenceng keluar dari apa yang sudah diperjanjikan, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi pihak yang lainnya.

ad. b Kepatutan

Bahwa dalam pelaksanaannya kontrak itu haruslah berdasarkan atas asas kepatutan, artinya, kontrak itu tidak boleh dibuat untuk memaksa pihak yang lain sehingga timbul kerugian atas diri pihak yang lain tersebut. Oleh karenanya, dalam hal ini, syarat kepatutan mempunyai fungsi sebagai pengisi kekosongan suatu aturan dalam sebuah kontrak. Sehngga dalam pelaksanaannya bilamana terjadi suatu hal yang tidak diinginkan, maka bagi kedua pihak merupakan suatu kewajiban untuk saling memikul kerugian secara bersama-sama.

ad. c Kepentingan Umum

Suatu pembuatan dan pelaksanaan kontrak juga tidak boleh melanggar prinsip kepentingan umum, karena sesuai dengan prinsip hukum yang sangat universal dan mendasar, bahwa kepentingan umum tidak boleh dikalahkan dengan kepentingan pribadi. Karena itu, jika ada suatu kontrak yang dalam tujuan pembuatan dan pelaksanaannya


(43)

bertentangan dengan kepentingan umum, maka kontrak tersebut akan menjadi bertentangan juga dengan undang-undang yang berlaku di wilayah di mana kontrak tersebut dibuat.

ad. d Kebiasaan

Dalam hal ini, kontrak tersebut tidak hanya berdasar atas apa yang diatur di dalamnya, tetapi juga harus berdasarkan atas suatu kebiasaan dalam pembuatan kontrak tersebut. Maksudnya ialah bahwa dalam suatu pelaksanaannya, suatu kontrak itu harus berdasar atas kebiasaan yang sering dilakukan oleh para pihak pembuat kontrak. Contoh dalam suatu kontrak dagang, terhadap suatu perbuatannya biasanya didasari dengan hal yang serupa seperti yang sebelumnya dilakukan, namun bila hal ini dilakukan dengan cara yang berbeda dan dianggap merugikan bagi pihak lainnnya, maka hal ini sudah bertentangan dengan Pasal 1339 KUH Perdata.

ad. 1) Syarat Sah Khusus, terdiri dari Syarat tertulis, dan Izin yang Berwenang

Dalam hal ini suatu kontrak itu diharuskan dibuat dalam berbentuk tertulis, tidak cukup hanya berbentuk lisan saja. Hal ini dikarenakan ada suatu bentuk keharusan yang mengharuskan bagi para pihak yang bersepakat tersebut untuk menuangkan bentuk perjanjiannya ke dalam bentuk yang tertulis. Sehingga dapat dikatakan kontrak tersebut dianggap


(44)

sah jika telah dituangkan kedalam suatu bentuk tulisan, dimana isinya tersebut merupakan aturan-aturan yang mengatur, dan menjadi peraturan selain undang-undang bagi para pihak yang berkontrak tersebut.

Pembuatan suatu kontrak itu biasanya tidaklah diharuskan adanya campur tangan oleh pihak ketiga, atau dengan kata lain, para pihak yang membuat kontrak tersebut diberi kebebasan untuk mengatur isi kontraknya sesuai dengan apa yang mereka inginkan, selama tidak bertentangan dengan asas-asas dan undang-undang yang berlaku. Namun dalam suatu hal ada kalanya dimana kontrak tersebut diharuskan untuk intervensi dari pihak ketiga, dalam hal ini untuk pemberian izin atas pembuatan kontrak tersebut. misalnya kontrak peralihan hak guna usaha, kontrak peralihan Hak Penguasaan Hutan, dimana dalam hal ini izin dari pihak yang berwenang sangat diperlukan dalam pembuatan kontrak tersebut.

D. Bentuk-Bentuk Kontrak

Di dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk kontrak. Namun apabila ditelaah berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata maka kontrak menurut bentuknya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis.27

27

Salim H.S., (1). op.cit. hlm. 32

Kontrak lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup dengan lisan atau kesepakatan para pihak (Pasal 1320 KUH Perdata).


(45)

Dengan adanya konsensus maka perjanjian itu telah terjadi. Termasuk dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Perjanjian konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dilihat dan dilaksanakan secara nyata.

Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH Perdata). Kontrak ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta autentik. Akta di bawah tangan adalah akta yang cukup dibuat dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan akta autentik merupakan akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Akta yang dibuat oleh Notaris itu merupakan akta pejabat. Di samping itu, dikenal juga pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar. Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam bentuk formulir.

Menurut Salim H.S ada tiga fungsi akta autentik, yakni :

1 Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan perjanjian tertentu.

2 Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian adalah menjadi tujuan dan keinginan para


(46)

pihak.

3 Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu, kecuali ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian. Hal itu juga menentukan bahwa perjanjian sesuai dengan kehendak para pihak.28

Dalam KUH Perdata dikenal beberapa jenis perikatan, namun yang dimaksud jenis-jenis perikatan dalam KUH Perdata tersebut pada dasarnya adalah sama dengan jenis-jenis perjanjian atau jenis-jenis kontrak, karena perikatan-perikatan yang dimaksud adalah juga perikatan yang lahir dari kontrak.

E. Jenis-Jenis Kontrak

29

Kontrak bersyarat adalah kontrak yang digantungkan pada suatu peristiwa yang akan terjadi. Kontrak bersyarat ini dapat dibagi atas dua, yaitu kontrak dengan syarat tangguh dan kontrak dengan syarat batal.

Berikut ini pembagian kontrak secara umum menurut jenis-jenisnya :

1 Kontrak bersyarat.

30

28

Ibid, hlm. 33

29

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012) hlm. 69

30

Ibid. hlm.70

Kontrak dengan syarat tangguh adalah kontrak dimana suatu perjanjian baru akan terjadi jika pada suatu peristiwa yang akan datang tersebut


(47)

telah tercapai. Sedangkan kontrak dengan syarat batal ialah kontrak dimana suatu perjanjian baru akan batal jika peristiwa yang akan datang tersebut terjadi.

2 Kontrak dengan ketetapan waktu.

Kontrak dengan ketetapan waktu yaitu suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, suatu hal yang akan datang, meskipun belum dapat ditentukan kapan datangnya, (tentang matinya seseorang, misal perjanjian asuransi jiwa).31

Salim H.S. dalam bukunya menyatakan pembagian kontrak menurut namanya menjadi kontrak bernama dan kontrak tidak bernama. Kontrak bernama tersebut meliputi jenis perjanjian yang diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata, yakni jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, dan lain sebagainya. Sedangka kontrak tidak bernama itu sendiri menurut Salim H.S. ialah kontrak yang belum dikenal dalam KUH Perdata, seperti

leasing, beli-sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, 3 Kontrak menurut namanya.

31

Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, Panduan Memahami Hukum Perikatan & Penerapan Surat Perjanjian Kontrak (Yogyakarta: Cakrawala, 2012), hlm. 16


(48)

kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain sebagainya.32

Hal ini tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi dan juga kehendak kedua pihak yang membuat perjanjian. Persoalan ini baru tampil ke muka, bila salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Biasanya, ini terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-4 Kontrak Alternatif.

Kontrak alternatif ini maksudnya ialah suatu perikatan ketika terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan bagi pihak yang dibebani hutang diberikan pilihan mana yang akan ia lakukan untuk memenuhi prestasinya.

5 Perjanjian tanggung-menanggung.

Perjanjian tanggung-menanggung ialah suatu perikatan ketika beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu pihak yang menghutangkan, atau sebaliknya.

6 Kontrak yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.

32


(49)

haknya oleh sekalian ahli warisnya.33

Teori ini merupakan teori pernyataan kesepakatan oleh 7 Kontrak dengan ancaman hukum.

Ancaman hukuman merupakan suatu klausula kontrak yang memberikan jaminan kepada kreditor bahwa debitur akan memenuhi prestasi, dan manakala debitur tidak memenuhi prestasi tersebut, maka debitur diwajibkan melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu. Ancaman hukuman ini dapat batal jika kontrak tersebut batal, sehingga dengan demikian ancaman hukuman tersebut hanya bersifat sebagai tambahan.

F. Momentum Terjadinya Kontrak

Menurut KUH Perdata tidak ditentukan mengenai momentum terjadinya suatu kontrak. Pada Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan mengenai syarat sah terbentuknya suatu kontrak. Namun, dalam berbagai literatur hukum, khususnya yang berkenaan dengan kontrak, banyak disebutkan mengenai momentum terjadinya suatu kontrak. Hal tersebut dikategorikan menjadi beberapa teori. Berikut ini penjabaran dan penjelasan teori-teori mengenai momentum terjadinya suatu kontrak :

1 Teori Pernyataan (Uitingstheorie)

33


(50)

pihak yang menerima tawaran yang diberikan oleh si pemberi tawaran. Menurut teori ini, kesepakatan itu terjadi saat yang menerima tawaran tersebut menerima tawaran yang diberikan oleh si pemberi tawaran. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan

ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Namun teori ini memiliki kelemahan, karena bersifat sangat teoritis. Teori ini menganggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

2 Teori Pengiriman (verzendtehorie)

Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Namun, teori ini mendapat kritik, karena bisa saja pihak yang menawarkan penawaran tersebut tidak mengetahui bahwa pihak penerima tawaran telah menerima tawaran dengan mengirimkan telegram balasan. Teori ini juga sangat teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis. 3 Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)

Menurut teori pengetahuan bahwa kesepakatan terjadi apabila pihakyang menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan. Akan tetapi, penerimaan itu belum


(51)

diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahuinya isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

4 Teori Penerimaan (ontvangstheorie)

Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi pada saat pihak yang melakukan penawaran mengetahui bahwa penawarannya telah diketahui oleh pihak yang menerima penawaran tersebut. Kelemahan teori ini antara lain memungkinkan terlambat lahirnya perjanjian karena menunda-nunda untuk membuka surat penawaran dan sukar untuk mengetahui secara pasti kapan penerima tawaran mengetahui isi surat penawaran.

G. Berakhirnya Suatu Kontrak

Di dalam KUH Perdata dapat ditemukan ketentuan tentang pengakhiran kontrak atau perjanjian. Secara khusus dalam Pasal 1381 disebutkan sepuluh cara untuk mengakhiri perjanjian, yakni :

1 Pembayaran,

2 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,

3 Pembaharuan utang (novatie), 4 Perjumpaan utang (kompensasi),


(52)

5 Percampuran utang, 6 Pembebasan utang,

7 Musnahnya barang yang terutang, 8 Batal/pembatalan,

9 Berlakunya suatu syarat batal, 10 Lewatnya waktu.

Namun cara tersebut dianggap belum lengkap, sebab masih ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, seperti berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam perjanjian atau menginggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang persero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di mana prestasi hanya dapat dilakukan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh orang lain.34 Hapusnya persetujuan harus benar-benar dibedakan daripada hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.35

34

Budiman N.P.D, Sinaga, Op.cit., hlm. 21

35

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung: Putra A Bardin, 1999), hlm.68

R. Setiawan menambahkan bahwa persetujuan dapat hapus karena hal-hal berikut :


(53)

a Hapusnya persetujuan ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak. Misalnya, persetujuan akan berlaku untuk waktu tertentu.

b Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan. Misalnya, menurut Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata, bahwa para ahli waris dapat mengadakan persetujuan untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi, waktu persetujuan tersebut oleh ayat (4) Pasal 1066 KUH Perdata dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.

Hapusnya suatu persetujuan tersebut menurut R. Setiawan merupakan suatu jenis persetujuan yang berdasarkan undang-undang berlaku atau batal berdasarkan dengan ketetapan waktu. Artinya, persetujuan tersebut berlaku atau batal dikarenakan adanya persetujuan atau karena undang-undang itu sendiri yang menyatakan suatu persetujuan tersebut dianggap batal. Adapun ketentuan para pihak yang saling bersepakat tersebut yang dapat menjadi penentu atas berlaku atau batalnya suatu perikatan tersebut sesuai dengan yang diperjanjikan sebelumnya.

H. Fungsi Suatu Kontrak

Kontrak secara umum seperti apa yang telah disinggung pada pembahasan sebelumnya merupakan suatu bentuk perjanjian yang dibuat


(54)

secara tertulis. Pembuatan kontrak secara tertulis tersebut juga memiliki fungsi tersendiri. Menurut Salim H.S. fungsi kontrak tersebut dibedakan menjadi dua macam, yakni fungsi yuridis dan fungsi ekonomis.36

Fungsi yuridis suatu kontrak itu ialah sebagai suatu jaminan atau kepastian hukum bagi para pihak yang saling bersepakat, atau para pihak yang memiliki kepentingan masing-masing dalam suatu kontrak. Sedangkan fungsi ekonomis suatu kontrak itu menurut Salim H.S. ialah menggerakkan sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih renda menjadi nilai yang lebih tinggi.

36


(55)

BAB III

Tinjauan Umum Tentang Kontrak Elektronik

A. Definisi Kontrak Elektronik

Kontrak pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama. Seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya, kontrak itu sendiri berarti perjanjian yang dituangkan menjadi suatu bentuk tertulis yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak sebagai mana yang telah disepakati oleh masing-masing pihak yang saling bersepakat. Namun, dalam perkembangannya, kontrak itu sendiri mengalami suatu evolusi, di mana perubahan tersebut terjadi karena suatu perkembangan zaman yang semakin canggih. Hal tersebutlah yang akhirnya menciptakan suatu metode baru dalam melakukan suatu kegiatan berkontrak sebagaimana yang sering didengar saat ini, yakni kontrak elektronik.

Dalam Pasal 1 angka (17) UU ITE dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kontrak elektronik itu ialah "perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik". Artinya, para pihak tersebut melaksanakan kesepakatannya melalui sistem elektronik.

Pengaturan mengenai kontrak elektronik yang berkembang sampai saat ini pada awalnya berasal dari UNCITRAL. Pada tahun 1996


(56)

UNCITRAL berhasil mengeluarkan aturan hukum yang cukup penting yakni UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce.37

2 Dilakukan oleh Subjek Hukum yang cakap atau yang Pada aturan-aturan yang dibuat melalui UNCITRAL Model Law ini bersifat sebagai peraturan yang memberi kejelasan mengenai tata cara bertransaksi melalui sistem elektronik. Sehingga, aturan-aturan yang dimuat di dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce tersebut tidaklah bersifat memaksa. Negara-negara yang menyetujuinya diperbolehkan untuk mengikuti sebagian, seluruhnya, atau tidak mengikuti aturan-aturannya sama sekali. UNCITRAL sendiri merusmuskan Model Law on Electronic Commerce dengan tujuan untuk menggalakkan aturan- aturan hukum yang seragam dalam penggunaan jaringan komputer guna transaksi-transaksi yang bersifat komersial.

Kontrak elektronik ini juga disebut sebagai kontrak tanpa kertas. Hal ini dikarenakan kontrak tersebut dianggap sah apabila memenuhi persyaratan sebagai syarat sahnya suatu kontrak elektronik menurut Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Dalam pasal tersebut ada 4 syarat yakni :

1 Terdapat kesepakatan para pihak,

37

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 166


(57)

berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

3 Terdapat hal tertentu,

4 Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Namun, ada pula syarat tambahan agar kontrak tersebut bisa dianggap sah, yakni bila kontrak tersebut dituangkan menjadi suatu dokumen elektronik, maka dokumen elektronik tersebut harus memenuhi syarat sesuai Pasal 5 ayat (3) UU ITE, yakni "Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini".

Wirapradja dan Budhijanto dalam bukunya menyebutkan bahwa : "Sistem informasi dan teknologinya telah digunakan di banyak sektor kehidupan, mulai dari perdagangan/bisnis (electronic commerce/e-commerce) pendidikan (electronic education), kesehatan (tele-medicine),

telekarya, transportasi, industri, pariwisata, lingkungan sampai ke sektor hiburan, bahkan sekarang timbul pula untuk bidang pemerintahan (e-government).”38

38

E.S. Wiradipradja dan D. Budhijanto, Perspektif Hukum Internasional tentang CyberLaw, dalam Kantaatmadja, et al, Cyberlaw : Suatu Pengantar (Jakarta : Elips 11, 2002), hlm.88.

Artinya, penggunaan sistem elektronik sebagai sarana pembuatan suatu kontrak pada saat ini merupakan hal yang dianggap lebih


(58)

menguntungkan. Melalui sistem elektronik tersebut setiap orang dapat mengakses data-data atau dokumen-dokumen yang dianggap penting tanpa harus menggunakan kertas, melainkan hanya dengan menggunakan perangkat elektronik yang telah memenuhi spesifikasi untuk bisa mengambil dokumen elektronik tersebut. Hal ini lah yang dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dalam hal melakukan transaksi secara mudah. Para pelaku bisnis tersebut tidak perlu lagi mengalami kesulitan untuk melakukan transaksi perdagangannya baik yang bersifat lokal maupun internasional. Mereka bisa memanfaatkan media elektronik tersebut untuk melakukan transaksi perdagangannya.

Dalam Pasal 1 ayat (9) UU ITE dinyatakan bahwa "Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik." Dengan demikian, hal tersebutlah yang menjadi dasar acuan bagi para pelaku bisnis untuk melaksanakan transaksi perdagangannya melalui media elektronik. Karena persyaratan transaksi yang dahulu dilakukan secara konvensional kini bisa dilakukan tanpa harus menggunakan kertas, namun di dalamnya tetap tercantum berupa identitas para subjek hukum, sehingga dapat terjamin kekuatan hukum kontrak secara elektronik tersebut.


(59)

Adapun ciri-ciri dari suatu kontrak elektronik itu antara lain ialah : 1 Dapat terjadi secara jarak jauh, tidak ada apapun

penghalangnya, bisa dilakukan kapan dan dimana saja. 2 Para pihak yang berkontrak dalam kontrak elektronik tidak

bertatap wajah secara langsung, bahkan bisa saja tidak akan pernah bertemu.

3 Tidak ada kepastian bahwa kontrak tersebut bisa terjalin dengan syarat yang sah sesuai dengan syarat sah kontrak.

B. Media Pendukung Awal Lahirnya Kontrak Elektronik

Mengenai media atau sarana elektronik sebagai tempat untuk menuangkan bentuk kontrak berarti menelaah ke Pasal 1 angka (14) UU ITE, di situ dinyatakan dalam hal suatu perangkat elektronik yang dimaksud ialah suatu komputer. Komputer yang dimaksud harus memenuhi persyaratan agar bisa menjalankan fungsinya sebagai mana yang dituangkan dalam Pasal 1 angka (5) yakni menjalankan sistem elektronik.

Sistem elektronik itu sendiri maksudnya ialah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Artinya, suatu perangkat tersebut harus bisa memenuhi


(60)

persyaratan di mana persyaratan itu sendiri diatur dalam Pasal 16 angka (1) huruf a sampai Pasal 16 angka (1) huruf e. Media elektronik yang dimaksud tersebut ialah :

1 Komputer,

2 Jaringan penghubung (internet) 3 Nama Domain (situs web)

4 Perangkat lain yang dianggap memenuhi persyaratan sebagai sistem elektronik, lebih lanjut dijelaskan.

1. Komputer

Komputer adalah alat yang dipakai untuk mengolah data menurut prosedur yang telah dirumuskan. Kata computer semula dipergunakan untuk menggambarkan orang yang perkerjaannya melakukan perhitungan aritmatika dengan atau tanpa alat bantu, tetapi arti kata ini kemudian dipindahkan kepada mesin itu sendiri.39

Komputer dalam pelaksanaan suatu transaksi elektronik diharuskan memenuhi persyaratan dalam Pasal 1 ayat (5) UU No. 11 Tahun 2008. Artinya, tidak semua jenis komputer dianggap memadai dalam pelaksanaan kontrak elektronik tersebut. Keharusan bagi pengguna atau pihak yang hendak melaksanakan kontrak elektronik tersebut ditujukan agar tidak ada kekeliruan dalam penerimaan data yang dikirim oleh

39


(61)

pengirim. Sehingga kontrak tersebut dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan.

2. Internet

Di dalam UU ITE dan PP No. 82 Tahun 2012 sebenarnya tidak disinggung mengenai Internet. Namun dalam pelaksanaannya, internet itu sendiri merupakan alat yang amat penting dalam proses terjadinya suatu transaksi elektronik. Melalui internet tersebut para pihak yang hendak melangsungkan proses penawaran bisa saling terhubung. Sehingga dengan adanya komunikasi secara langsung namun tanpa bertatap muka tersebutlah bisa tercapai kata sepakat antara kedua belah pihak tersebut.

Internet termasuk karya tekhnologi tertinggi yang pernah ditemukan oleh manusia dalam bidang komunikasi. Karena, internet merupakan alat komunikasi yang bisa mengirimkan data sehingga dapat diterima oleh suatu perangkat elektronik dan merubahnya menjadi suatu tampilan yang dapat berupa gambar, suara, atau bentuk tulisan dan sebagainya.

Internet itu sendiri diciptakan sekitar pada tahun 1969 di Amerika Serikat, di mana pada Universitas California di Los Angeles, Universitas California di Santa Barbara, Universitas Utah dan Institut Penelitian Stanford membuat suatu jaringan komputer yang bisa saling terhubung satu sama lain. Proyek ini mendapat dana dari Departemen Pertahanan


(62)

Amerika Serikat dengan nama Advances Researche Project Agence (ARPA).40

World wide web atau disebut dengan web, merupakan halaman

yang tersedia melalui jaringan internet, dimana di dalamnya terdapat berbagai macam informasi yang diinginkan. Menurut Ahmad Bustami, melalui Web, setiap orang bisa mengakses informasi-informasi tidak hanya berupa teks, tapi juga gambar-gambar, sound , film dan multimedia

Pada mulanya, hasil penemuan tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan dalam bidang Pertahanan di Amerika Serikat. Lalu pada tahun 1983 internet tersebut diperluas jaringannya hingga bisa mencakup semua komputer yang ada di seluruh dunia.

Di dalam perkembangannya, internet memiliki situs-situs yang berguna sebagai sumber informasi dan data yang dibutuhkan oleh setiap orang yang menggunakan jasa internet tersebut. Khusus pada bidang hukum terutama yang berkenaan dengan suatu transaksi, maka sebuah situs harus terdaftar dan memiliki sertifikat elektronik, hal ini bertujuan agar situs tersebut diakui dan sah secara hukum. Sehingga dalam perbuatan hukumnya tidak dianggap cacat hukum, dan juga bisa menjadi jaminan bagi pihak lainnya yang hendak melaksanakan suatu transaksi elektonik melalui situs tersebut.

3. Nama Domain (situs web)

40

http://ilmupengetahuan.org/sejarah-perkembangan-internet/ diakses pada tanggal 6 April 2014


(63)

lainnya.41

Perangkat lain yang dimaksud dalam hal ini ialah suatu perangkat elektronik yang bisa dianggap memenuhi persyaratan secara tidak langsung. Artinya, dengan berkembangnya alat-alat telekomunikasi saat ini memungkinkan bagi para pemiliknya untuk melakukan suatu akses melalui internet dan mengunduh data yang terdapat pada internet tersebut, sehingga menghasilkan suatu tampilan yang mempunyai kesamaan terhadap data yang dapat diterima oleh perangkat yang disetujui

Melalui situs atau nama Domain inilah suatu kontrak elektronik itu terjadi. Namun, untuk bisa menjalankan suatu kontrak, maka pemilik domain atau web tersebut harus mendaftarkannya melalui Lembaga Sertifikasi Keandalan. Sehingga web tersebut diakui secara hukum. Hal ini dimaksudkan agar dalam setiap perbuatan hukumnya dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam pembuatan kontrak itu sendiri, biasanya di dalam situs tersebut sudah tertuang mengenai kontrak baku. Para pihak yang menerima tawaran biasanya hanya tinggal menyetujui atau tidak dengan persyaratan yang diajukan oleh si pemberi tawaran.

4. Perangkat lain yang dianggap memenuhi Persyaratan sebagai Sistem Elektronik

41

Ahmad Bustami, Cara Mudah Belajar Internet. Home Site. dan HTML,(Jakarta: Dinastindo, 1999), hlm. 3


(64)

sebelumnya seperti komputer. Perangkat lain ini dapat berupa smartphone

atau telepon canggih yang bisa melakukan pengolahan data seperti yang dilakukan oleh suatu komputer.

C. Lahir dan Berakhirnya Suatu Kontrak Elektronik

Menurut Pasal 50 ayat (1) PP No. 82 Tahun 2012 dinyatakan suatu transaksi elektronik terjadi ketika tercapainya kesepakatan para pihak. Sedangkan kesepakatan yang dimaksud tersebut terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh Pengirim telah diterima dan disetujui oleh Penerima. Artinya transaksi elektronik tersebut dinyatakan telah terjadi ketika para pihak telah saling melakukan suatu proses tawar menawar hingga akhirnya saling menerima atas pernyataan yang diinginkan oleh masing-masing pihak tersebut.

Mengenai tindakan untuk menyatakan bahwa suatu transaksi itu telah mencapai kata sepakat telah diatur dalam Pasal 50 ayat (3) PP No. 82 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa :

"Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan cara:

1 Tindakan penerimaan yang menyatakan persetujuan; atau 2 Tindakan penerimaan dan/atau pemakaian objek oleh


(65)

Maksud dari cara pertama yang disebutkan di atas ialah jika salah satu pihak yang menerima penawaran tersebut menyatakan suatu penerimaan dengan cara mengirimkan suatu balasan bahwasannya ia telah menyetujui atas penawaran yang diberikan kepadanya. Sedangkan cara kedua itu biasanya dilakukan dalam kontrak baku di mana pokok-pokok persoalan telah ditentukan sendiri oleh si pemberi penawaran, sehingga pihak yang menerima tawaran hanya melakukan balasan penawaran dengan meng-klik tombol "OK" pada akhir dokumen elektronik.

Mengenai hal berakhirnya perjanjian atas suatu transaksi elektronik dirasakan mempunyai kesamaan terhadap apa yang dimaksudkan dalam KUH Perdata. Hal ini dikarenakan pada kontrak elektronik itu sendiri ketika telah tercapai prestasi dari para pihak maka kontrak tersebut dianggap berakhir. Karena yang menjadi perihal dalam kontrak baik kontrak konvensional menurut KUH Perdata maupun kontrak elektronik ialah mengenai prestasi yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terikat di dalamnya. Artinya, jika terjadi kendala dalam pemenuhan prestasi atau telah terjadi suatu wanprestasi oleh salah satu pihak, maka dapat dilakukan penyelesaian dengan cara yang telah diatur dalam KUH Perdata.

D. Syarat Sah Kontrak Elektronik


(66)

memenuhi persyaratan sesuai yang ditentukan oleh PP No. 82 Tahun 2012. Hal ini agar pelaksanaan perjanjiannya dianggap sah dan mempunyai kekuatan dan kepastian hukum, sehingga para pihak terjamin hak-haknya dalam pelaksanaan prestasi yang akan terjadi dikemudiannya. Menurut Pasal 47 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012, syarat sah suatu perjanjian melalui media elektronik ialah :

1 Terdapat kesepakatan para pihak,

2 Dilakukan oleh Subjek Hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,

3 Terdapat hal tertentu,

4 Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Berikut ini penjelasan mengenai syarat sah kontrak atau perjanjian melalui media elektronik :

1. Kesepakatan Para Pihak

Kesepakatan dalam proses tawar menawar antara para pihak tersebut seperti yang diatur pada Pasal 50 ayat (1) sampai dengan ayat (3) PP No. 82 Tahun 2012 telah mencitrakan bahwa antara para pihak harus tercapai suatu kata sepakat. Sehingga dengan tercapai kata sepakat tersebut maka kontrak elektronik tersebut baru lahir. Dalam hal ini sepakat


(67)

tersebut bukan hanya berdasar atas penentuan mengenai persyaratan atau hal-hal yang harus dipenuhi oleh para pihak saja. Namun, bisa saja terjadi penentuan bentuk persyaratan oleh salah satu pihak saja. Biasanya yang menentukan persyaratan tersebut ialah pihak yang memberikan tawaran (offerer). Kontrak tersebut dinamakan dengan jenis kontrak baku, atau kontrak yang isinya hanya berdasarkan atas penentuan dari pemberi tawaran, sehingga si penerima tawaran tidak diberi kesempatan untuk melakukan perubahan persyaratan tersebut. Pihak penerima tawaran biasanya hanya dipersilahkan untuk menyetujui isi dari kontrak tersebut. Hal ini memang tidak dijelaskan secara pasti dalam UU No. 11 Tahun 2008 ataupun dalam PP No. 82 Tahun 2012, namun kontrak baku ini diperbolehkan untuk dilakukan selama isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan asas hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Dilakukan oleh Subjek Hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan Subjek Hukum yang cakap ialah orang-orang yang memiliki kecakapan dalam melakukan suatu tindakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Orang-orang tersebut yang dimaksud ialah sama dengan apa yang tertera menurut Pasal 1320 KUH Perdata mengenai kecakapan para pihak,


(68)

ditambah, seseorang tersebut juga andal dalam penggunaan perangkat elektronik yang hendak dipergunakan dalam pelaksanaan kontrak elektronik. Sedang orang yang berwenang menurut undang-undang ialah orang yang mempunyai kewenangan dalam mewakili suatu kontrak elektronik, serta ia memiliki keahlian mengenai perangkat elektronik. 3. Terdapat hal tertentu

Artinya, objek dalam suatu kontrak itu harus jelas bentuk ataupun wujudnya, sehingga tidak ada kekeliruan saat kontrak elektronik tersebut berjalan. Para pihak harus saling memberi informasi yang jelas dalam penawaran mengenai suatu objek kontrak. Bila terdapat kekeliruan atau ketidakjelasan mengenai objek sebagaimana yang dimaksud, maka kontrak tersebut dapat batal demi hukum. Dalam hal ini, dikarenakan pihak yang menerima tawaran tidak bisa melihat objek secara langsung, maka bagi pihak pemberi tawaran merupakan suatu keharusan mutlak untuk memberikan informasi mengenai objek yang ditawarkannya tanpa ada unsur menutupi kebenaran akan objek tersebut.

4. Objek harus memenuhi syarat halal

Maksud dari syarat halal tersebut ialah objek tersebut tidak boleh bertentangan dengan unsur kesusilaan, ketertiban umum, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalkan, suatu kontrak elektronik itu berkenaan dengan perjudian secara online, maka kontrak elektronik itu


(69)

sudah pasti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga kontrak elektronik tersebut dengan sendirinya akan batal demi huku m.

Selain persyaratan tersebut di atas, dapat dikemukakan juga persyaratan lain yang dapat menjadi syarat sahnya suatu kontrak elektronik. Yakni mengenai sistem elektronik yang dipergunakan tersebut harus memenuhi standar persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (5) dan angka (14) UU ITE, karena pelaksanaan kontrak elektronik tersebut haruslah melalui sistem elektronik yang benar-benar bisa mengolah data secara bersama bagi kedua belah pihak.

E. Tanda Tangan Digital

Huala Adolf dalam bukunya menyatakan bahwa tanda tangan digital adalah sejumlah karakter alfanumerik yang dihasilkan dari operasi matematik dan kriptografi.42

42

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 185

Fungsi dari kriptografi itu sendiri ialah untuk melindungi data dari perubahan yang tidak diinginkan. Menurut Pasal 1 angka (12) UU ITE, Tanda Tangan Elektronik ialah : "tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi." Artinya, suatu dokumen elektronik itu diberikan suatu alat penanda yang dapat menjamin keaslian dari dokumen


(70)

elektronik, di mana hanya para pihak yang bersangkutan saja yang bisa menggunakan alat penanda tersebut.

Tanda tangan elektronik ini merupakan suatu alat bukti yang dianggap sah oleh hukum. Hal ini demi menjaga kepentingan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini juga sesuai dengan asas kepastian hukum di mana para pihak tersebut mendapat jaminan hukum bila telah melaksanakan perbuatan hukumnya sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Adapun persyaratan tanda tangan elektronik yang sah secara hukum dinyatakan dalam Pasal 53 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012 bahwa :

1 Data pembuatan tanda tangan elektronik terkait hanya kepada penanda tangan

2 Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan hanya berada dalam kuasa penanda tangan

3 Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui 4 Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang

terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui


(71)

siapa penanda tangannya, dan

6 Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penanda tangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.

Fungsi dari tanda tangan elektronik atau tanda tangan digital itu sendiri dalam Pasal 52 angka (1) sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas:

1 Identitas penanda tangan.

2 Keutuhan dan keautentikan informasi elektronik.

Artinya, tanda tangan digital ini digunakan untuk memastikan bahwa penerima menerima pesan yang diterima sungguh berasal dari pengirim yang dimaksudkan.43

Kontrak elektronik yang dibuat melalui sistem elektronik yang dioperasikan atau yang dipergunakan sesuai dengan syarat syah suatu kontrak elektronik tersebut memiliki tujuan atau fungsi tertentu. Jika suatu kontrak elektronik tersebut telah memenuhi syarat syahnya, maka kontrak elektronik tersebut dapat berfungsi sama seperti kontrak secara Dengan demikian sewaktu pembuktian si pengirim tidak dapat mengelak bahwa ia telah mengirimkan data tersebut kepada si penerima.

F. Fungsi Kontrak Elektronik

43

http://motif-tif.blogspot.com/2013/05/digital-signature-tanda-tangan-digital.html diakses pada tanggal 7 april 2014


(72)

konvensional, fungsi tersebut yakni fungsi yuridis, yakni sebagai suatu jaminan kepastian hukum bagi para pihak yang terkait atau yang berkepentingan dalam kontrak yang dibuat tersebut.


(73)

BAB IV

Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasar UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

A. Perbandingan Keunggulan Dan Kelemahan Aturan Hukum Tentang Kontrak Menurut KUH Perdata Dan UU ITE

Aturan-aturan hukum yang mengatur tentang kontrak yang telah dibuat memiliki keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Berikut ini uraian mengenai masing-masing aturan hukum tersebut sebelum merumuskan keunggualan dan kelemahannya.

1. KUH Perdata

KUH Perdata merupakan kumpulan atas aturan-aturan Hukum Perdata yang dibuat untuk mengatur berbagai kegiatan antar perorangan sehingga tercipta keadilan dan keseimbangan bagi setiap orang yang melakukan suatu kegiatan yang berkenaan dengan hukum. KUH Perdata ini dibuat berdasarkan aturan-aturan yang umum. Artinya, KUH Perdata merupakan sumber atas sebagian besar aturan-aturan hukum yang berkembang di Indonesia saat ini.

Menelaah secara khusus mengenai kontrak atau perjanjian, pada KUH Perdata didasari pada Pasal 1313 yang berbunyi "suatu persetujuan


(1)

BAB V

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran yang diharapkan dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun untuk pihak-pihak lainnya.

A. Kesimpulan

1. KUH Perdata memiliki bentuk aturan-aturan dasar yang dipergunakan untuk mengatur berbagai jenis perjanjian. Berbeda dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 yang diciptakan khusus untuk mengatur mengenai kegiatan hukum melalui media elektronik. Namun, tidak semua jenis perjanjian yang dapat diatur dan dilakukan melalui media elektronik. Karena, tidak terdapat pengaturan yang menyatakan bahwa segala jenis perjanjian dapat dilakukan melalui media elektronik. Hal inilah yang menjadi kelemahan tersendiri bagi UU ITE walaupun UU tersebut dibuat secara khusus untuk mengatur kegiatan bertransaksi melalui media elektronik.


(2)

konvensional memiliki perbedaan. Perbedaan syarat syah suatu kontrak tersebut terletak pada syarat syah khusus. Menurut KUH Perdata, syarat syah khusus tersebut ialah syarat tertulis, walaupun tidak secara tegas disebutkan, namun jika dilihat dalam pasal 1682 KUH Perdata suatu perjanjian hibah itu harus dibuat secara tertulis dan dibuat dihadapan notaris, sedangkan menurut UU ITE syarat khususnya ialah mengenai sistem elektronik yang dipergunakan itu haruslah sesuai dengan ketentuan dalam UU ITE itu sendiri.

B. Saran

1. Hendaknya UU ITE tersebut diberikan keleluasaan dalam mengatur jenis-jenis perjanjian, sehingga tidak hanya mengatur perjanjian mengenai transaksi dagang saja, atau dengan kata lain dapat pula mengatur perjanjian-perjanjian lainnya yang tidak hanya bersifat komersial, dikarenakan pada saat sekarang ini penggunaan media elektronik tersebut dianggap sangat menguntungkan. Transaksi melalui media elektronik ini dianggap lebih mudah, cepat, dan hemat biaya.

2. Bagi para pihak yang hendak melakukan suatu kegiatan transaksi agar memperhatikan apakah jenis transaksi yang dilakukan melalui sistem elektronik tersebut diperbolehkan oleh undang-undang, serta


(3)

memperhatikan apakah pihak penyelenggara yang menyediakan kontrak tersebut sudah terdaftar secara sah melalui Lembaga Sertifikasi Keandalan yang didirikan Pemerintah.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Bustami, Ahmad, 1999, Cara Mudah Belajar Internet. Home Site. dan HTML, Dinastindo, Jakarta

Fuady, Munir, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Gautama, Sudargo, 1995, Indonesian Business Law, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Gunawan, Johannes, 2003, Reorientasi Hukum Kontrak Di Indonesia,

Jurnal Hukum Bisnis.

Harahap, M Yahya, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung

Hasanuddin, Rahman, 2000, Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam Merancang Kontrak Perorangan/Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung.

I.G. Rai Widjaya, 2008, Merancang Suatu Kontrak (Contrak Drafting, Teori Dan Praktik), Kesaint Blanc, Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, edisi ke empat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.


(5)

Kantaatmadja, 2002, Perspektif Hukum Internasional, Cyberlaw : Suatu Pengantar, Elips 11, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Miru, Ahmadi, 2012, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Salim H.S., 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Salim H.S., 2010, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.

Santoso, Lukman, 2012, Hukum Perjanjian Kontrak, Panduan memahami Hukum Perikatan & Penerapan Surat Perjanjian Kontrak,

Cakrawala, Yogyakarta.

Sedarmayanti, dan Syarifudin Hidayat, 2002, Metodologi Penelitian, Mandar Maju, Bandung.

Setiawan, R, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, Bandung.

Sinaga, Budiman N.P.D, 2005, Hukum Kontrak & Penyelesaian Sengketa dari Perspektif Sekretaris, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Subekti, 2001, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta.

Sugono, Bambang, -, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajawali Pers, Jakarta.


(6)

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

C. Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Komputer diakses pada tanggal 6 April 2014

http://ilmupengetahuan.org/sejarah-perkembangan-internet/ diakses pada tanggal 6 April 2014

http://motif-tif.blogspot.com/2013/05/digital-signature-tanda-tangan-digital.html diakses pada tanggal 7 April 2014


Dokumen yang terkait

Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik - [PERATURAN]

0 2 38

Analisis Yuridis Mengenai Perjanjian Jual Beli yang Dibuat Melalui Media Elektronik Berdasarkan kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

0 0 31

ASPEK HUKUM UANG ELEKTRONIK (E-MONEY) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA.

0 0 1

Perjanjian jual beli ID (identity) pada game online ditinjau dari kitab Undang-Undang hukum perdata dan Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.

0 0 1

KEDUDUKAN DROPSHIPPER DALAM JUAL BELI MELALUI MEDIA INTERNET BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG.

0 0 1

undang undang no 11 tahun 2008 informasi dan transaksi elektronik

0 0 22

ANALISIS HUKUM TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS SECARA ONLINE (E-COMMERCE) BERDASARKAN BURGERLIJKE WETBOEK DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

0 0 14

SITUS LAYANAN PEMBUNUH BAYARAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK, KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

0 0 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Definisi Perjanjian - Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 0 33

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang - Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 0 13