Analisis Yuridis Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dan Korban Tindak Pidana

(1)

TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK

SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

ARNOLD HALOMOAN SIHOMBING NIM : 110200335


(2)

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU DAN KORBAN TINDAK PIDANA

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ARNOLD HALOMOAN SIHOMBING 110200335

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Mengetahui :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, S.H., M.H NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum Alwan, S.H., M.Hum

NIP. 195102061980021001 NIP. 196005201998021001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Segala puji dan hormat bagi-Mu Tuhan Allah sumber segala kekuatan dalam hidupku, karena hanya atas berkat dan kasih karunia-Mu yang sungguh luar biasa sehingga hamba dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan kali ini, dengan rendah hati penulis mempersembahkan skripsi yang berjudul : “Analisis Yuridis Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana” kepada dunia pendidikan, guna memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terlebih khusus bagi ilmu pengetahuan hukum.

Pada kesempatan yang sama juga penulis haturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;


(4)

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

7. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik selama penulis duduk di bangku perkuliahan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan setia telah membimbing dan mengarahkan penulis selama mengikuti perkuliahan ;

8. Terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, dan Bapak Alwan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu dan tenaga serta dengan sabar membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan ;

9. Seluruh Dosen Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 10. Seluruh Staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

11. Kedua orangtua yang sangat penulis kasihi, Bapak Y.H. Sihombing dan Ny. Iriyanti, yang selama ini berjuang membesarkan, mendukung serta membiayai segala keperluan yang penulis butuhkan, terlebih selama duduk di bangku perkuliahan ;

12. Kedua kakak penulis, Siska Febriani Sihombing dan Erma Rosiana Sihombing, yang selalu memberikan dukungan dan nasehat juga kepada penulis. Sukses buat segala cita dan cintanya ya... ;

13. Buat kakak dan teman-temanku di Kelompok Kecil Army of God, Kak Juli, Jekson, Hans, Pranto, dan Kardo. Meskipun kita sudah kurang aktif lagi, tapi aku yakin kita tetap anak Tuhan, menaruh kasih dalam persekutuan di dalam Tuhan. Sukses buat kita semua ya.. ;


(5)

semangat yang selalu diberikan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Sukses buat perkuliahannya ya, ;

15. Sahabat-sahabat seperjuangan dan sepermainan penulis : Hengky, Jekson, Reza, Aan, Tia, Rizky, Nurul, Charlene, Sabrina, Samitha, terimakasih untuk kebersamaan dan keceriaan kita selama ini. Semoga keakraban dan kekompakan kita tetap terjaga sampai kapanpun, tetap semangat dan sukses untuk masa depan kita masing-masing ;

16. Teman-teman penulis : Andana, Deddi Lubis, Rahmad, dan semua teman penulis khususnya di Grup H dulu yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu. Semoga kita tetap menjaga kekompakan kita ;

17. Teman-teman sejak kecil, teman-teman sepersekutuan penulis di GPIB Siloam Sibolga : Fredy, Roy, Goldy, Zerri, Bang Jo, Tasha, Ayu, Cici, dan lain-lain. Terimakasih untuk kebersamaan kita selama ini. Terimakasih telah menjadi sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka, dan semoga komunikasi kita tidak akan pernah putus meskipun nantinya kita berada di kota yang berbeda. Sukses untuk cita dan cinta kita masing-masing ;

18. IMADANA FH USU, terimakasih untuk kebersamaan kita, terimakasih telah menjadi tempat penulis bernaung dan bersosialisasi, serta seluruh rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, ;

19. Para penulis buku dan artikel-artikel yang penulis jadikan referensi dalam pengerjaan skripsi ini ; dan


(6)

mempunyai kekurangan baik dari segi materi maupun formatnya, untuk itu segala kritik dan saran yang membangun akan selalu diterima. Harapan besar semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi jendela pendidikan kita, terutama bagi anak-anak yang selama ini terabaikan hak-haknya dalam sistem peradilan pidana anak.

Medan, April 2015

Penulis,

Arnold Halomoan Sihombing


(7)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Tinjauan Pustaka 1. Anak a. Definisi Anak ... 12

b. Batas Usia Anak ... 14

c. Hak dan Kewajiban Anak ... 19

2. Bantuan Hukum a. Definisi Bantuan Hukum ... 24

b. Tujuan Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Indonesia ………. 27

3. Peradilan Anak


(8)

Hukum ………. 28

b. Perlindungan Anak dan Peradilan Anak ... 30

c. Tujuan Peradilan Anak ... 35

G. Metode Penelitian ... 37

H. Sistematika Penulisan ... 40

BAB II PENGATURAN TERHADAP BANTUAN HUKUM DAN PERADILAN ANAK SEBELUM DAN SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA A. Perkembangan Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia ... 43

B. Perkembangan Pengaturan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia ... 50

BAB III TINJAUAN YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA A. Bantuan Hukum Menurut Undang-UndangBantuan Hukum 1. Pemberi dan Penerima Bantuan Hukum ... 63

2. Prosedur Pemberian Bantuan Hukum ... 74

B. Perlindungan dan Peradilan Anak Menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak


(9)

2. Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative

Justice ………. 90

C. Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Pelaku

Tindak Pidana ... 102

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN ... 111 B. SARAN ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 115


(10)

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum** Alwan, S.H., M.Hum***

Anak merupakan bagian dari kehidupan bangsa, kehidupan negara, merupakan bagian dari generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa dalam hakikatnya sebagai salah satu sumber daya manusia yang dapat ditumbuhkembangkan dengan lebih baik lagi. Untuk itu segala upaya perlu dilakukan demi kesejahteraan kehidupan anak bangsa. Banyak anak sekarang menyimpang jauh dari apa yang diharapkan dalam kontribusinya bagi bangsa dan negara. Anak yang berhadapan dengan hukum wajib diupayakan diversi terlebih dahulu sebelum memasuki tahap peradilan. Peradilan merupakan upaya terakhir apabila diversi tidak membuahkan hasil. Anak yang memasuki proses peradilan pidana untuk menyelesaikan tindak pidana yang mereka lakukan harus diberikan perlindungan, salah satunya dalam pemberian bantuan hukum sebagai pemenuhan akses keadilan mereka. Anak-anak yang memasuki sistem peradilan pidana anak harus diperlakukan secara khusus mengingat sifat mereka yang belum mampu untuk dimintai pertanggungjawaban sehingga perlu ada perlindungan hukum secara khusus terhadap setiap anak yang mengalami pemeriksaan di peradilan pidana anak. Untuk itu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibuat agar hak-hak anak dapat terlindungi dalam proses beracara di peradilan anak di Indonesia. Termasuk juga pengaturan dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Sehingga dapat dirumuskan bagaimana eksistensi dari kedua undang-undang ini dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak, terkhusus terhadap anak pelaku tindak pidana.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

Kata Kunci : Bantuan Hukum, Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak Pelaku Tindak Pidana *Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan

**Dosen Pembimbing I ***Dosen Pembimbing II


(11)

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum** Alwan, S.H., M.Hum***

Anak merupakan bagian dari kehidupan bangsa, kehidupan negara, merupakan bagian dari generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa dalam hakikatnya sebagai salah satu sumber daya manusia yang dapat ditumbuhkembangkan dengan lebih baik lagi. Untuk itu segala upaya perlu dilakukan demi kesejahteraan kehidupan anak bangsa. Banyak anak sekarang menyimpang jauh dari apa yang diharapkan dalam kontribusinya bagi bangsa dan negara. Anak yang berhadapan dengan hukum wajib diupayakan diversi terlebih dahulu sebelum memasuki tahap peradilan. Peradilan merupakan upaya terakhir apabila diversi tidak membuahkan hasil. Anak yang memasuki proses peradilan pidana untuk menyelesaikan tindak pidana yang mereka lakukan harus diberikan perlindungan, salah satunya dalam pemberian bantuan hukum sebagai pemenuhan akses keadilan mereka. Anak-anak yang memasuki sistem peradilan pidana anak harus diperlakukan secara khusus mengingat sifat mereka yang belum mampu untuk dimintai pertanggungjawaban sehingga perlu ada perlindungan hukum secara khusus terhadap setiap anak yang mengalami pemeriksaan di peradilan pidana anak. Untuk itu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibuat agar hak-hak anak dapat terlindungi dalam proses beracara di peradilan anak di Indonesia. Termasuk juga pengaturan dari Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Sehingga dapat dirumuskan bagaimana eksistensi dari kedua undang-undang ini dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak, terkhusus terhadap anak pelaku tindak pidana.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, menitikberatkan pada data sekunder dengan spesifikasi deskriptif analitis, yaitu memaparkan tentang peraturan yang berlaku dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

Kata Kunci : Bantuan Hukum, Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak Pelaku Tindak Pidana *Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan

**Dosen Pembimbing I ***Dosen Pembimbing II


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara yang maju dan berkembang tentu memiliki sumber daya yang dapat diandalkan pula. Termasuk dalam hal sumber daya manusia. Tidak hanya manusia dewasa, tetapi juga anak-anak. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sumber daya manusia itu sendiri. Akan lebih baik dan lebih efektif apabila pengelolaan sumber daya manusia itu dimulai dari anak-anak, karena anak masih akan terus berkembang, baik dari segi fisik, psikis, maupun kemampuan berpikirnya. Negara yang maju juga pasti peduli terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai generasi bangsa, penerus cita-cita bangsa. Sehingga muncul upaya untuk memberikan perlindungan dan bimbingan terhadap anak tersebut agar dapat menjadi pribadi yang dicita-citakan, yang dapat memberikan kontribusi besar bagi bangsa dan negaranya.

Namun pada kenyataannya, anak selalu dianggap sepele oleh orang dewasa. Kewajiban mereka selalu dituntut, tanpa memperhatikan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, sehingga hak-hak mereka seringkali terabaikan. Padahal pembinaan dan perlindungan yang baik terhadap anak akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, mental, dan sosialnya kelak. Ketiga elemen tersebut seharusnya diperoleh anak secara seimbang, sehingga masa


(13)

depannya tidak berantakan, bahkan berpotensi untuk mewujudnyatakan cita-cita perjuangan bangsa yang mungkin belum tercapai hingga sekarang.

Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai calon generasi penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan mental1

Orangtua merupakan komponen pertama yang bertanggungjawab penuh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesejahteraan kehidupan anak. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai macam tindakan kejahatan yang menimbulkan kerugian fisik, mental, sosial dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh sebab itu anak harus dibantu oleh orang lain,

. Tindakan sepele terhadap anak tak khayal juga membuat mereka kerap melakukan tindakan melanggar hukum. Untuk itulah diperlukan kekuatan hukum di dalam tiap kehidupan manusia. Hukum ada bukan hanya bagi mereka yang sudah dianggap dewasa, tapi berlaku bagi seluruh kalangan manusia, tak terkecuali anak. Namun diperlukan proses hukum secara khusus bagi mereka anak-anak yang nyatanya berkonflik dengan hukum, agar mereka tidak mendapat perlakuan sama seperti halnya orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Terutama harus dikhususkan dari segi ketidakmampuan mereka bertanggungjawab. Anak-anak yang berkonflik dengan hukum seyogyanya masih buta akan proses hukum yang harus mereka lalui. Hal ini mengakibatkan hak-hak mereka sering direnggut oleh para pihak maupun instansi terkait yang tidak bertanggungjawab.

1

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak), Sinar Grafika, Jakarta, cetakan kedua, 2013, hlm. 1.


(14)

khususnya dalam memperoleh bantuan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya, namun tetap harus diikuti untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Apabila kita melihat kerangka bernegara Indonesia, mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pembinaan terhadap anak merupakan bagian yang integral dalam upaya tersebut. Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan mengenai anak-anak “nakal” yang kemudian bermasalah secara hukum, maka harus diselesaikan secara komprehensif dalam rangka melindungi hak anak agar mampu juga menjadi sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sebagaimana telah disebutkan2

Adanya hukum yang terkait, yang diimplementasikan dengan berbagai peraturan tentang anak, telah banyak diciptakan. Namun menelaah dari kehidupan sekarang, peraturan tersebut yang diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap anak, nyatanya belum mampu direalisasikan dengan baik. Nasib anak yang berkonflik dengan hukum masih menyedihkan, tidak seindah jika kita berbicara dengan memposisikan mereka sebagai generasi penerus bangsa. Tidak hanya anak yang melakukan tindak pidana, bahkan anak yang menjadi korban tindak pidana pun hak-haknya kerap terabaikan atau tidak ada yang melindungi mereka dalam proses beracara di pengadilan, sehingga banyak di antara mereka merasa takut, depresi, tertekan untuk berbicara kebenaran. Kondisi fisik dan

.

2


(15)

mental yang demikian tentunya berdampak juga dalam proses beracara demi mencapai kebenaran dan keadilan.

Namun berbicara mengenai pemidanaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, sebenarnya hal ini merupakan alternatif terakhir menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang terdahulu yang mengatur tentang anak, yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, lebih mengedepankan model retributive justice.

Berbeda halnya dengan Undang-Undang SPPA yang lebih mengedepankan konsep restorative justice, yaitu pemulihan ke kondisi semula, di mana proses ini merupakan penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara3. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya. Dalam konsep ini diusahakan jalan perdamaian antara masing-masing pihak, sehingga pemidanaan merupakan jalan terakhir dengan mendahulukan cara lain di luar pengadilan. Salah satunya adalah dengan cara diversi4

3

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice), PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kedua, 2012, hlm. 180.

4

M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 6.

, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum diusahakan agar tidak sampai pada proses pengadilan. Oleh karena itu diversi merupakan jalan yang tepat. Untuk itu, diversi haruslah diwajibkan dalam setiap penanganan anak yang berkonflik dengan hukum.


(16)

Apabila memang melalui diversi sama sekali tidak ditemukan jalan keluar, maka barulah anak tersebut melalui proses di pengadilan.

Apabila memang harus menempuh proses beracara di pengadilan, maka anak-anak yang berkonflik dengan hukum harus mendapatkan perlindungan yang nyata. Sistem pemidanaan mereka harus dibedakan dengan sistem pemidanaan orang dewasa. Sehingga diperlukan suatu peradilan khusus untuk menangani mereka. Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan : “Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang”. Dan Peradilan Pidana Anak ini adalah salah satu realisasinya. Jadi setiap anak yang bermasalah dengan hukum mengikuti proses beracara berdasarkan ketentuan Peradilan Anak.

Setiap anak itu juga berhak mendapatkan bantuan hukum sebagaimana mestinya, tanpa adanya diskriminasi terhadap anak tersebut. Pemberian bantuan hukum terhadap anak adalah hal penting yang harus dibahas, karena anak yang terjerat dengan kasus hukum, sebenarnya belum memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab. Pengetahuan mereka akan proses beracara di pengadilan pun masih sempit. Hal inilah yang harus ditinjau, bagaimana agar para pemberi bantuan hukum dapat memberikan bantuan hukum berdasarkan asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak itu sendiri.

Peraturan menyangkut tentang anak sebenarnya telah banyak diterbitkan, antara lain : Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang


(17)

Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang digantikan dengan Undang-Undang SPPA (yang selanjutnya disebut Undang-Undang SPPA). Hal ini merupakan bukti bahwa perhatian terhadap anak sebenarnya sudah ada sejak dulu. Substansi yang diatur pun masih seputar anak. Namun penerapannya dianggap masih kurang releven dengan kehidupan sekarang, sehingga undang-undang tersebut lambat laun ditinggalkan dan digantikan dengan Undang-Undang baru, contohnya Undang-Undang Pengadilan Anak yang dianggap sudah tidak dapat digunakan lagi dan digantikan dengan Undang-Undang SPPA ini.

Anak sebagai pelaku tindak pidana akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Identik disini berarti “hampir sama”. Yang membedakannya hanyalah lama serta cara penanganannya. Hal inilah yang menjadi kekhususan tersendiri. Dalam menangani kasus anak dalam peradilan pidana anak, maka terlebih dahulu yang harus diperhatikan adalah kedudukan anak tersebut sebagai seorang anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus. Sehingga harus diutamakan perlindungan terhadap anak tersebut dalam proses penanganannya, demi kesejahteraan dan kepentingan anak tersebut.

Pemerintah melihat bahwa sistem peradilan anak yang selama ini diterapkan dianggap belum mampu menjunjung tinggi hak-hak anak dalam beracara di pengadilan dan kerap kali disalahgunakan oleh instansi terkait. Oleh karena itu pemerintah berusaha memperbaiki sistem perlindungan hukum


(18)

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Hal inilah yang menjadi dasar dikeluarkannya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini.

Dari sekian banyak problematika tentang anak yang terjadi di kehidupan sekarang, ada beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan penulis. Bagaimana sebenarnya pengaturan advokasi bantuan hukum dan peradilan anak sebelum dan setelah lahirnya Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak? Lalu bagaimana anak yang berkonflik dengan hukum itu dapat diberikan bantuan hukum menurut Undang-Undang Bantuan Hukum terbaru? Apakah ada sinergi antara Undang-Undang SPPA ini dengan Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut?

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengangkat judul

ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011

TENTANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI

PELAKU TINDAK PIDANA” yang diharapkan dapat menambah pengetahuan

serta memecahkan problematika yang terjadi di kehidupan sekarang ini menyangkut tentang anak. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut pada bab-bab berikutnya dalam skripsi ini.


(19)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini antara lain :

1. Bagaimanakah ketentuan pengaturan bantuan hukum dan peradilan anak sebelum dan setelah lahirnya Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia? 2. Bagaimana analisis yuridis Undang-Undang Bantuan Hukum dan

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam pemberian bantuan hukum terhadap anak sebagai pelaku dan korban tindak pidana?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Untuk mengetahui kedudukan anak di dalam sistem hukum di Indonesia, baik anak itu sebagai pelaku maupun sebagai korban dari tindak pidana.

2. Untuk mengetahui analisis yuridis dari dua buah undang-undang terkait, yaitu Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang SPPA, dalam memberikan bantuan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, terlebih khusus anak sebagai pelaku tindak pidana.


(20)

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini di antaranya:

1. Manfaat Teoritis

Memberikan informasi-informasi pengetahuan tentang hukum pada umumnya, bagaimana hukum itu bekerja dalam kehidupan masyarakat, serta memberikan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum pidana khususnya. Terlebih khusus lagi untuk menambah pengetahuan hukum dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Skripsi ini juga diharapkan mampu membuka jendela wawasan bagi setiap orang yang mungkin ingin atau sedang mendalami pengetahuan mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak yang terbaru sejak digantikannya Undang-Undang Pengadilan Anak terdahulu, yang pengundangannya baru sekitar 2 tahun yang lalu.

2. Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini dalam prakteknya diharapkan mampu memberikan kontribusi pemikiran serta masukan-masukan yang membangun bagi para aparat penegak hukum, khususnya yang berada dalam ruang lingkup peradilan, yaitu hakim, jaksa, polisi, advokat maupun institusi-institusi lain lain yang terkait, tak terkecuali bagi masyarakat umum dalam memberikan bantuan atau perlindungan bagi anak-anak yang terjerat kasus hukum sehingga dapat mewujudnyatakan penjaminan akan hak-hak anak


(21)

tersebut.Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat membuka nilai-nilai keadilan yang selama ini mungkin tidak diterima oleh anak-anak yang berkonflik dengan hukum pada umumnya, termasuk membuka pemikiran para aparat penegak hukum agar melakukan tugas dan tanggungjawabnya secara adil menurut hukum yang berlaku di negara kita tanpa ada diskriminasi terhadap anak.

E. Keaslian Penulisan

Judul skripsi “Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peardilan Pidana Anak dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku dan Korban Tindak Pidana” yang penulis angkat adalah merupakan hasil dari pemikiran penulis sendiri. Berdasarkan jurnal Mahupiki Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang penulis akses, hanya terdapat beberapa kemiripan judul, di antaranya :

1. Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang ditulis oleh Erikson P. Sibarani / 090200165

2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Perkosaan Dalam Pemberitaan Media Massa, yang ditulis oleh Prinst Rayenda Giovani


(22)

3. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dari Perspektif Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang ditulis oleh Maya Novira / 090200022.

Berdasarkan data tersebut kemudian dijadikan dasar oleh Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dalam menerima judul yang diajukan penulis, karena substansi yang terdapat di dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-judul di atas. Kemudian pengajuan judul skripsi yang penulis angkat ini juga telah melalui proses uji bersih berdasarkan surat tertanggal 16 Desember 2014 dan ditandatangani oleh petugas perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga menelusuri berbagai macam karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang itu tidak pernah penulis temukan kemiripan yang sangat mendasar dengan penulis lain. Sekalipun ada, hal itu berada di luar sepengetahuan penulis dan substansinya jelas berbeda dengan substansi dari skripsi ini. Pengangkatan permasalahan dalam skripsi ini juga murni merupakan hasil pemikiran penulis berdasarkan problematika yang sering terjadi di kehidupan sekarang, maupun dari media-media yang pernah penulis baca. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan dasar bahwa skripsi ini merupakan hasil plagiat dari karya ilmiah lain, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(23)

F. Tinjauan Pustaka

Tinjauan kepustakaan dari skripsi ini berkisar tentang analisis dari dua undang-undang yang disebutkan di atas, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tinjauan kepustakaan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Anak

a. Definisi Anak

Secara umum dapat kita katakan bahwa anak merupakan seseorang yang lahir dari hasil perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, terlepas dari identitas anak itu dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan juga bahwa yang disebut sebagai anak adalah keturunan kedua.

Sementara definisi anak masih memiliki beberapa pengertian di dalam berbagai peraturan hukum di Indonesia. Definisi anak diklasifikasikan menurut usia mereka. Bila usia mereka belum memenuhi standar usia anak sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang terkait, maka mereka tidak dapat dikatakan sebagai “anak”. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, contohnya dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Atau dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyebutkan bahwa Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah


(24)

mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. Lain halnya dalam Undang-Undang yang secara khusus akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu Undang-Undang SPPA, dalam pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Jadi definisi anak menurut Undang-Undang ini sudah secara spesifik menyatakan bahwa pengertian anak itu adalah anak yang berkonflik dengan hukum. Tentu saja karena substansi yang dibahas di dalamnya adalah seputar anak yang berhadapan dengan hukum.

Harus dibedakan pengertian anak dari segi kehidupan sehari-hari dengan segi kedudukan hukumnya. Di mana kedudukan hukum seorang anak mencakup pengertian anak yang ditinjau dari sistem hukumnya. Sama halnya seperti orang dewasa, bahwa anak juga merupakan subyek hukum. Namun pengertian sebagai subyek hukum ini harus mendapatkan kekhususan, bahwa seorang anak itu harus dipandang sebagai subyek hukum yang belum dewasa atau belum mampu. Perkembangan mental atau kejiwaan mereka dianggap masih labil, terkhusus bagi anak yang melakukan tindak pidana. Namun lambat laun kondisi fisik, mental ataupun kejiwaan seorang anak itu dapat berkembang melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Mereka akan dihadapkan dengan berbagai peristiwa hukum, baik itu dalam hukum pidana maupun dalam hubungan kontrak, yang akhirnya melekatkan status subyek hukum itu pada diri mereka.

Perlu juga diingat bahwa tingkat kematangan jiwa seseorang itu tidak hanya diukur berdasarkan faktor usia saja, tetapi juga dari kemampuan dan


(25)

kematangan berpikir. Mengapa dikatakan demikian? Karena pada masa sekarang dengan mudah kita temukan orang yang umurnya sudah masuk kategori dewasa, namun masih memiliki sifat seperti anak-anak. Begitu juga sebaliknya. Sehingga uji kejiwaan itu memang sangat diperlukan.

Pada hakikatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian berikut ini5

1. Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana :

2. Pengembalian hak-hak anak yang timbul dengan jalan mensubstitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara dengan maksud untuk mensejahterakan anak

3. Rehabilitasi, yaitu anak yang berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri

4. Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan 5. Hak-hak anak dalam proses hukum acara pidana.

b. Batas Usia Anak

Mengenai batas usia anak sebenarnya secara umum telah dijelaskan dalam uraian di atas. Penggolongan definisi “anak” pada umumnya selalu dikaitkan dengan batas usia dari seorang anak, meskipun pembatasan anak dari segi umurnya tidaklah selamanya tepat, karena kondisi umur seseorang

5

Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Gramedia Wirasarana Indonesia, Jakarta, 2000, hlm. 22.


(26)

dihubungkan dengan kedewasaan merupakan sesuatu yang bersifat semu dan relatif6

Pembatasan usia anak menunjukkan suatu sinergi dalam pemberian definisi tentang anak. Definisi anak sebagaimana dijelaskan di atas merupakan pemahaman secara komprehensif. Namun, untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya

. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dapat dijumpai anak yang dari segi kemampuannya masih terbatas, namun dari segi usia sebenarnya anak tersebut telah dewasa. Sehingga para ahli psikologi beranggapan lain untuk menentukan batas penggolongan “anak”. Hal ini masih menjadi pertentangan antara ahli pidana dengan ahli psikologi dalam penetapan batas usia pertanggungjawaban pidana.

Para ahli hukum, khususnya hukum pidana, lebih melihat seorang anak itu berdasarkan usianya. Batas usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga dalam dirinya ada peralihan status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subyek hukum yang dinilai sudah dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan atau tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh anak tersebut.

7

1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

:

6

Marlina, Op. Cit, hlm. 36. 7


(27)

2. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.

3. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin.

5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, membolehkan usia bekerja 15 tahun.

Dari beragam pengertian di atas, pada akhirnya timbul disharmonisasi dari definisi anak dalam penetapan batas usia anak menurut peraturan perundang-undangan yang satu dengan perundang-perundang-undangan yang lain. Sehingga, pada praktiknya di lapangan, akan banyak kendala yang terjadi akibat perbedaan tersebut8

8

Pasal 330 KUH Perdata: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dulu telah kawin.

Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.

Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur di dalam bagian ketiga, keempat, kelima, dan keenam bab ini.”

Penentuan arti istilah “belum dewasa” yang dipakai dalam beberapa peraturan perundang-undangan terhadap bangsa Indonesia. Berdasarkan ordonatie 31 Januari 1931, L.N. 1931-1954, untuk menghilangkan segala keragu-raguan yang timbul karena ordonatie 21 September 1917, L.N. 1917-1938, dengan mencabut ordonatie ini ditentukan sebagai berikut :

1. Apabila peraturan perundang-undangan memakai istilah “belum dewasa” maka, sekadar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan : segala orang yang belum mencapai umur dua puluh tahun dan tidak lebih dulu telah kawin.


(28)

Bila menilik dari hukum nasional kita, bahwa penetapan batas usia anak dalam definisi anak, dapat ditinjau dari beberapa dimensi hukum nasional kita, di antaranya:

1. Menurut ketentuan Hukum Pidana

Beberapa spesifikasi pembatasan usia anak menurut ketentuan hukum pidana antara lain:

a. Dalam ketentuan KUHP, batas usia anak yang disebutkan dalam pasal 45, 46, dan 47 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Secara implisit batas usia anak dalam pengertian pidana telah dirumuskan secara jelas dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang SPPA yang menyatakan : Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

b. Ketentuan lain misalnya dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, usia anak diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

2. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai dua puluh satu tahun, maak tidaklah mereka kembali lagi dalam istilah “belum dewasa”. Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk perkawinan anak-anak”


(29)

2. Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

3. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

2. Menurut ketentuan Hukum Perdata

Beberapa contoh dapat diambil, misalnya :

a. Dalam pasal 330 KUH Perdata digunakan istilah anak dengan belum dewasa, yaitu mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

b. Sementara dalam pasal 7 ayat 1, pasal 47 ayat 1, pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa batas usia dikategorikan seorang anak yaitu perkawinan yang hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Artinya bahwa anak-anak yang masih di bawah batas usia seperti ditentukan di atas masih dikategorikan sebagai anak, sehingga belum dapat melakukan perkawinan. Dikatakan lagi bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, dan dalam pasal selanjutnya disebutkan pengaturan khusus bahwa anak yang belum


(30)

berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan tersebut, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

3. Menurut ketentuan Hukum Adat

Batas usia anak menurut ketentuan hukum adat dapat didefinisikan secara umum. R. Soepomo menyatakan bahwa ciri-ciri ukuran kedewasaan adalah sebagai berikut :

a. Dapat bekerja sendiri

b. Cakap dan bertanggungjawab dalam masyarakat c. Mengurus harta kekayaan sendiri

d. Telah menikah e. Berusia 21 tahun

Pengelompokan batas usia maksimum anak bergantung dari kepentingan hukum anak yang bersangkutan. Yang terpenting untuk digolongkan bahwa usia seorang anak, yaitu 0 (nol) tahun batas penuntutan 8 (delapan) tahun sampai dengan batas atas 18 tahun dan belum pernah kawin.

c. Hak dan Kewajiban Anak

1) Hak Anak

Anak merupakan cerminan dari kehidupan bangsa. Anak merupakan pembawa dan penerus cita-cita bangsa. Sehingga baik buruknya masa depan bangsa bergantung pada baik buruknya kondisi anak pada saat ini. Hal-hal yang


(31)

termasuk dalam hak asasi manusia (HAM) juga melekat pada diri setiap anak bangsa. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada setiap manusia sejak ia dilahirkan, yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab hak-haknya hanya dapat efektif apabila hak-hak tersebut dilindungi oleh hukum.Anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM. Hak asasi manusia menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang merupakan pencerminan hakikat manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan makhluk Tuhan, yang harus dihormati dan dijamin oleh hukum9

Seorang anak, dengan kemampuan dan pengalamannya yang masih terbatas, dalam pemenuhan hak-haknya tidak dapat menjalankannya sendiri .

Hak untuk hidup, kemerdekaan berpikir dan berpendapat, hak untuk menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri, merupakan beberapa contoh dari hak asasi manusia yang juga dapat dimiliki oleh anak. Namun terlepas dari hakikatnya sebagai manusia, hak-hak anak juga mendapatkan pengaturan khusus yang harus dibedakan dari hak-hak orang dewasa. Hal ini dikarenakan, seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa anak itu dianggap kondisi kejiwaan maupun cara berpikirnya masih labil, sehingga belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. Dan seiring perkembangan anak itu sendiri, anak yang bertumbuh dan berkembang nantinya menjadi manusia dewasa, tentunya memiliki hak dan kewajiban yang senantiasa berubah pula sesuai dengan perkembangan fisik dan psikisnya.

9

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan ketiga, 2013, (selanjutnya disingkat Maidin Gultom I), hlm. 8.


(32)

melainkan masih memerlukan bantuan dan bergantung pada orang dewasa, khususnya dalam lingkungan sejak anak itu dilahirkan. Inilah yang menjadi peran penting bagi sebuah keluarga, terutama peran orang tua, sebagai elemen terkecil dan paling utama bagi seorang anak itu untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Dalam pasal 28B ayat (2) UUD 1945 ditetapkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dari penjelasan dalam batang tubuh konstitusi tersebut, jelaslah bahwa kedudukan dan perlindungan terhadap hak-hak anak merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Secara umum kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, hak-hak anak itu dapat dirumuskan secara umum, tidak dominan mengarah pada perlindungan akan hak-hak hukumnya, seperti berhak mendapatkan pendidikan yang layak, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak mengeluarkan pendapat, dan lain-lain. Pada tanggal 20 November 1989 diadakan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mensahkan Convention On The Rights of The Child (Kovensi tentang Hak-Hak Anak/KHA). Lebih lanjut pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini juga diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak10

10

M. Nasir Djamil,Op. Cit, hlm. 12.

. Undang-Undang Perlindungan Anak, dalam pasal 1 butir 12 menyatakan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,


(33)

masyarakat, pemerintah dan negara. Dan undang-undang ini sendiri merupakan bentuk konkretisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Maka sejak tahun 1990 Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub dalam Konvensi tersebut.

Konvensi PBB yang dimaksud di antaranya memuat 10 asas tentang hak-hak anak, yaitu11

1. Anak berhak menikmati semua haknya sesuai ketentuan yang terkandung dalam deklarasi ini. Setiap anak tanpa pengecualian harus dijamin hak-haknya tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, kebangsaan, tingkatan sosial, kaya miskin, kelahiran atau status lain, baik yang ada pada dirinya maupun pada keluarganya.

:

2. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan harus memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk mengembangkan diri secara fisik, kejiwaan, moral, spiritual, dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai dengan kebebasan dan harkatnya. Penuangan tujuan itu ke dalam hukum, kepentingan terbaik atas diri anak harus merupakan pertimbangan utama.

3. Anak sejak dilahirkan berhak akan nama dan kebangsaan.

11


(34)

4. Anak berhak dan harus dijamin secara kemasyarakatan untuk tumbuh kembang secara sehat.

5. Anak yang cacat fisik, mental, dan lemah kedudukan sosialnya akibat keadaan tertentu harus memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus.

6. Agar kepribadian anak tumbuh secara maksimal dan harmonis, ia memerlukan kasih sayang dan pengertian.

7. Anak berhak mendapat pendidikan wajib secara cuma-Cuma sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar.

8. Dalam keadaan apapun anak harus didahulukan dalam menerima perlindungan dan pertolongan.

9. Anak harus dilindungi dari segala bentuk kealpaan, kekerasan, penghisapan. Mereka tidak boleh dijadikan subyek perdagangan, tidak boleh bekerja sebelum usia tertentu atau dilibatkan dalam pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan dan pendidikannya maupun yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, jiwa, dan akhlaknya.

10. Anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi sosial, agama, dan lain-lain.

2) Kewajiban Anak

Ada hak tentu ada kewajiban. Tidak disarankan setiap manusia hanya akan menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya. Karena harus ada keseimbangan antara hak dengan kewajiban, sehingga keduanya dapat berjalan


(35)

beriringan. Begitu juga akan kewajiban dari seorang anak. Mengapa kewajiban perlu dilakukan oleh seorang anak? Karena tidaklah mungkin anak itu akan menjadi seorang anak yang berakhlak baik jika ia hanya menuntut pemenuhan akan hak-haknya saja, sementara kewajibannya sendiri sering diabaikan. Jadi dapat dikatakan bahwa pemenuhan kewajiban merupakan salah satu cara untuk membimbing anak ke arah yang lebih baik.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 19 merumuskan, bahwa setiap anak berkewajiban untuk :

a) Menghormati orang tua, wali,, dan guru;

b) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c) Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan e) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Pelaksanaan terhadap kewajiban anak merupakan tugas kita semua. Baik keluarga, lingkungan, pemerintah bahkan instansi-instansi terkait harus dapat menyokong, memberikan dukungan dan motivasi bagi anak agar dapat menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.

2. Bantuan Hukum

a. Definisi Bantuan Hukum

Dalam pasal 3 huruf c Undang-Undang SPPAdinyatakan bahwa setiap anak dalam proses peradilan berhak untuk memperoleh bantuan hukum dan


(36)

bantuan lain secara efektif. Dalam pasal 3 huruf k juga dinyatakan bahwa anak berhak memperoleh advokasi sosial. Pemberian bantuan hukum merupakan salah satu upaya perlindungan terhadap anak dalam mengikuti proses beracara di pengadilan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 23 ayat (1) yang berbunyi : “Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Di Indonesia telah diterbitkan Undang-Undang Bantuan Hukum terbaru, yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (selanjutnya disebut Undang-Undang Bantuan Hukum). Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang ini, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Hak atas bantuan hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR))12

Negara Indonesia adalah negara hukum

.

13

12

Lihat Penjelasan Ketentuan Umum UU No. 16 Tahun 2011:

“Pasal 16 dan pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu : 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat”.

13

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

. Meskipun tidak ada penegasan secara jelas bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab negara, namun karena konstitusi kita berkata demikian, maka setiap negara hukum pasti mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu, termasuk dalam pemberian bantuan hukum. Hal ini menjadi prioritas negara hukum dalam


(37)

mewujudkan suatu perubahan yang berasaskan sosial berkeadilan. Negara hukum harus mencapai kebenaran dan keadilan yang hakiki dalam perwujudan sistem hukum yang digunakannya, sehingga pemberian bantuan hukum menjadi hal yang wajib.

Profesi Advokat merupakan Pemberi Bantuan Hukum yang sudah sering kita dengar. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Profesi Advokat disini mempunyai peran sentral terhadap penegakan supremasi hukum, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.

Bila kita kembalikan dalam konsep mengenai perlindungan anak, maka pemberian bantuan hukum merupakan hak yang wajib diberikan bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini sebagai wujud perlindungan terhadap hak-hak anak. Perlu diingat ketentuan bahwa seorang Advokat atau pemberi bantuan hukum lain harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan agar suasana kekeluargaan tetap terjaga. Karena proses beracara di Peradilan Anak tentunya akan berbeda dengan proses beracara di Peradilan Umum. Anak tidak boleh tertekan, tidak boleh semakin menurunkan mentalnya untuk berproses di pengadilan.


(38)

b. Tujuan Penyelenggaraan Bantuan Hukum di Indonesia

Secara umum dirumuskan bahwa tujuan penyelenggaraan bantuan hukum adalah untuk mencapai keadilan tanpa adanya diskriminasi terhadap tersangka. Pengaturan lebih lanjut disebutkan dalam pasal 3 Undang-Undang Bantuan Hukum, bahwa penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan untuk :

a. Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan;

b. Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;

c. Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan

d. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Keempat hal di atas menjadi kunci dari penyelenggaraan bantuan hukum karena keempat hal itulah yang dianggap masih lemah oleh pembuat Undang-Undang ini. Banyaknya masalah di peradilan yang memicu kontroversi dalam penanganannya menjadikan status Indonesia sebagai negara hukum semakin melemah, sehingga diperlukan pengaturan lebih tegas.

Setiap orang yang berhadapan dengan hukum harus dijunjung tinggi hak-haknya dalam mengikuti proses peradilan pidana. Setiap individu harus memperoleh jaminan perlindungan atas dirinya. Kebenaran yang hakiki tidak dapat tercapai apabila administrasi peradilan pidana tidak berjalan dengan baik.


(39)

Orang yang bersalah harus benar-benar dihukum, tanpa mengesampingkan hak-hak mereka. Dan yang tidak terbukti bersalah harus dibebaskan. Salah satu cara menemukan kebenaran yang hakiki yaitu dengan pemberian bantuan hukum yang dimaksud. Semua proses harus berjalan dengan baik. Oleh sebab itu pencaharian fakta atau menemukan kebenaran hakiki merupakan salah satu tujuan pokok administrasi peradilan pidana14

a. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum

.

3. Peradilan Anak

Seperti telah diuraikan sebelumnya dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang SPPA, bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pengertiannya harus dibedakan dengan Anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Secara luas bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, dituduh, atau terbukti melanggar ketentuan hukum pidana. Berkonflik dengan hukum berarti anak tersebut berurusan dengan hukum, mengikuti proses hukum akibat kenakalan yang dilakukannya.

14

Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, CV. Armico, Bandung, 1984, hlm. 15.


(40)

Undang-Undang Pengadilan Anak terdahulu masih menggunakan istilah Anak nakal, di mana dalam pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Anak nakal adalah : a) anak yang melakukan tindak pidana, atau b) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebenarnya ketentuan tersebut telah bertentangan dengan asas legalitas karena peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan juga turut dimasukkan ke dalam kategori pidana. Sebagai contoh bahwa anak nakal menurut hukum adat bisa saja ditangani melalui Pengadilan Anak. Sehingga berakibat dapat terjadi pengkriminalisasian kenakalan anak, padahal belum tentu ia sesuai dengan konsep hukum pidana yang kita anut15

Dari istilah anak nakal kemudian muncul istilah kenakalan anak atau yang sering disebut “juvenile delinquency”. Delinkuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat

.

16

15

M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 33. 16

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1991, hlm. 219.

. Sehingga dapat disimpulkan bahwa juvenile delinquency berarti tingkah laku anak yang melanggar norma hukum dalam masyarakat. Terdapat banyak pengertian dari kenakalan anak. Romli Atmasasmita, contohnya, mengatakan bahwa delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu


(41)

sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela17

Perbedaan definisi delinkuensi mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam penentuan macam-macam jenis tingkah laku yang termasuk perbuatan delinkuen. Sementara banyaknya pengertian juvenile delinquency

menggambarkan bahwa terhadap pengertian juvenile delinquency tidak ada keseragaman

. Sementara definisi juvenile delinquency menurut beliau adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan. Berbeda dengan Fuad Hassan yang menyatakan bahwa juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.

18

b. Perlindungan Anak dan Peradilan Anak

. Artinya definisi yang diberikan oleh setiap ahli tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya.

1) Perlindungan Anak

Perlindungan anak merupakan salah satu wujud hak yang harus diterima anak, terutama anak yang sedang berkonflik dengan hukum. Anak harus mendapatkan perlindungan agar segala kepentingannya dapat terlaksana. Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu

17

Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Armico, Bandung, 1984, hlm. 23.

18


(42)

atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah)19

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”

. Hak untuk mendapatkan perlindungan ini berhak diperoleh oleh semua anak tanpa terkecuali. Hal ini didasarkan karena anak adalah masa depan bangsa dan penerus cita-cita bangsa.

20

. Sejak dahulu Konstitusi kita sendiri sudah menyatakan demikian. Seyogyanya seorang anak harus dipelihara dan mendapatkan perlindungan agar mempunyai kesempatan yang luas untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar dan baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari21

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, dalam pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sementara itu, perlindungan khusus dapat diberikan bagi anak yang sesuai dengan konsep judul skripsi ini, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum. Hal ini dipertegas selanjutnya dalam pasal 1 angka 15 Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang dapat diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan

.

19

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kedua, 2013, (selanjutnya disingkat Maidin Gultom II), hlm. 69.

20

Pasal 34 UUD 1945 21


(43)

hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Dasar-dasar perlindungan anak adalah22

a) Dasar filosofis. Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dan dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

:

b) Dasar etis. Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

c) Dasar yuridis. Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peratura perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama

22


(44)

didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, di samping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dala pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani maupun sosial23. Dari berbagai macam peraturan yang ada, maka secara yuridis, Indonesia telah berupaya secara maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap hak anak. Yang dibutuhkan kemudian adalah implementasi dari berbagai macam peraturan yang sudah ada yang tentunya menjadi tugas dan kewenangan dari eksekutif24

Berbicara mengenai peradilan, maka sangat besar kaitannya dengan proses beracara di pengadilan, yaitu dengan ketentuan-ketentuan hukum acara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peradilan yaitu segala sesuatu mengenai perkara pengadilan. Dan mengenai perkara yang dimaksud, apakah menyangkut perkara pidana, perdata ataupun tata usaha negara, harus diselesaikan menurut hukum acara masing-masing. Peradilan juga merupakan tempat mencari keadilan dalam menyelesaikan masalah-masalah tentang hak dan kewajiban seseorang menurut hukum. Secara yuridis peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan

.

2) Peradilan Anak

25

23

Maidin Gultom I, Op. Cit, hlm. 35. 24

M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 29. 25

Maidin Gultom I, Op. Cit, hlm. 66.

. Peradilan secara sosiologis berperan sebagai lembaga kemasyarakatan harus dapat mencapai aspek tertinggi dari segala aspek nilai dalam hubungan antara manusia dan masyarakat, yaitu nilai keadilan.


(45)

Peradilan Anak merupakan badan peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dikatakan demikian karena Peradilan Anak bukan merupakan pengadilan khusus yang berdiri sendiri, melainkan suatu pengkhususan di lingkungan Peradilan Umum dengan kualifikasi perkara sama jenisnya dengan yang dilakukan oleh orang dewasa, yaitu melanggar ketentuan dalam KUHP. Hanya saja penanganan maupun cara berprosesnya di pengadilan harus dibedakan dari orang dewasa. Penempatan kata “anak” dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan atas perkara yang ditangani oleh Badan Peradilan yaitu perkara anak26. Selain itu sebagai penegasan kekhususan untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana dewasa. Keadilan yang akan diwujudkan harus dilakukan dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan anak. Hak-hak anak harus dijunjung tinggi. Kesejahteraan anak adalah hal utama yang harus diwujudkan. Peradilan Anak melibatkan anak dalam proses hukum sebagai subyek tindak pidana dengan tidak mengabaikan hari depan anak tersebut, dan menegakkan wibawa hukum sebagai pengayoman, pelindung serta menciptakan iklim yang tertib untuk memperoleh keadilan27

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”

.

28

26

Ibid., hlm. 74. 27

Maidin Gultom II,Op. Cit, hlm.192. 28

M. Nasir Djamil, Op. Cit, hlm. 44.

. Pasal 1 angka 1Undang-Undang SPPA menyatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan


(46)

tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Diundangkannya peraturan baru tentang sistem peradilan pidana anak yang menggantikan Undang-Undang Pengadilan Anak terdahulu menyebabkan tata cara persidangan maupun penjatuhan hukuman dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang yang baru.

c. Tujuan Peradilan Anak

Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Perlu digarisbawahi kata “menegakkan hukum” dan “keadilan”. Kedua kata di atas adalah kunci utama dari fungsi peradilan. Negara Indonesia adalah negara hukum. Sistem hukum harus beroperasi dengan baik agar hukum dapat ditegakkan dan keadilan dapat dicapai. Hakim, berkedudukan sebagai pengadil dalam suatu perkara, harus melalui mekanisme yang tepat sebelum pengambilan keputusan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas putusan tersebut. Hakim dalam hal mengadili, harus menegakkan kembali hukum yang dilanggar sebagai konsekuensi kedudukannya sebagai penegak hukum.

Salah satu usaha penegakan hukum itu adalah melalui Peradilan Anak, sebagai suatu usaha perlindungan anak untuk mendidik anak tanpa mengabaikan


(47)

tegaknya keadilan29

Apabila perdamaian memang sudah tidak dapat dicapai, maka peradilan adalah jalan terakhir. Segala proses harus diikuti. Dan dalam hal ini, secara khusus peran Peradilan Anak meliputi

. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang SPPA menyatakan : “Sistem Peradilan Pidana Anak mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”. Keadilan Restoratif tidak menggunakan pembalasan sebagai dasar pemidanaan. Salah satu upayanya adalah diversi. Ketentuan pasal 1 angka 7 kemudian menjelaskan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Artinya bahwa segala proses peradilan hanya akan dilakukan apabila sudah tidak dapat dicapai lagi perdamaian antara kedua belah pihak, baik pelaku maupun korban yang terkait. Dengan kata lain, peradilan merupakan jalan terakhir bagi penyelesaian perkara. Hal inilah yang menjadi tujuan utama dari Sistem Peradilan Pidana Anak, yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bab selanjutnya.

30

a. Badan Peradilan sebagai sarana pendidikan dalam hal ikut serta dalam membentuk kepribadian anak melalui keputusan atau penetapan hakim. Pendidikan yang dimaksud adalah bagi pelanggar-pelanggar usia muda;

:

b. Badan Peradilan berkewajiban memberikan perlindungan bagi pelanggar-pelanggar muda dalam proses Peradilan dari tindakan-tindakan dan perlakuan-perlakuan yang merugikan demi kepentingan anak;

29

Maidin Gultom I, Op. Cit, hlm. 77.


(48)

c. Badan Peradilan harus melakukan pengawasan dan bimbingan dalam tindak lanjut dalam putusannya, demi hari depan pelanggar-pelanggar muda.

Ketiga hal tersebut jelas menegaskan bahwa kesejahteraan anak harus dapat dicapai. Terdapat tujuan untuk mendidik kembali, memperbaiki sikap dan perilaku anak tersebut agar ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini dilakukan. Artinya bahwa bukan soal penjatuhan pidana saja yang diutamakan, akan tetapi harus melihat juga hak-hak dan masa depan anak yang harus dilindungi dalam perannya sebagai generasi penerus bangsa.

G. Metode Penelitian

Suatu penelitian tidak dapat berjalan secara terarah apabila tidak ada metode yang digunakan di dalamnya. Maka metode penelitian disini diperlukan, sekaligus sebagai pertanggungjawaban secara ilmiah. Dalam skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan penelitian

Penelitian menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum kepustakaan dengan cara meneliti bahan-bahan kepustakaan dan bahan-bahan sekunder.


(49)

2. Jenis Data dan Sumber Data

Karena penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, maka pengerjaannya menggunakan data-data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang tidak didapat secara langsung dari obyek penelitian. Data sekunder yang digunakan di antaranya :

a) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain :

i. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ii. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

iii. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP); iv. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;

v. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

vi. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; vii. Undang-Undang SPPA;

viii. Undang-Undang Bantuan Hukum.

b) Bahan-bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel terkait, laporan-laporan dan sebagainya, yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c) Bahan-bahan hukum tersier, merupakan bahan penunjang dalam memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Contohnya


(50)

seperti abstrak perundang-undangan, direktori pengadilan, ensiklopedi hukum, kamus hukum, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui teknik studi pustaka dan juga literatur media elektronik, yaitu internet. Data diperoleh dengan mengumpulkan, memadukan, menafsirkan dan membandingkan artikel-artikel tersebut yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.

4. Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif dilakukan penelaahan data sekunder, dan biasanya data yang disajikan berikut dengan analisanya31

a) Pengumpulan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas

. Metode analisis data yang dilakukan adalah analisa kualitatif, yaitu dengan :

b) Pemilahan terhadap bahan-bahan hukum yang relevan tersebutagar sesuai dengan masing-masing permasalahan

c) Pengolahan dan penginterpretasian data untuk menarik kesimpulan dari permasalahan

d) Pemaparan kesimpulan, dalam hal ini kesimpulan kualitatif, yang dituangkan ke dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

31

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Depok, 1994, hlm. 69.


(51)

H. Sistematika Penulisan

Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus teratur agar tercipta karya ilmiah yang baik. Skripsi ini dibagi dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini berhubungan antara bab yang satu dengan bab yang lain.

Skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yang disusun secara sistematis untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II KETENTUAN PENGATURAN BANTUAN HUKUM DAN

PERADILAN ANAK SEBELUM DAN SETELAH LAHIRNYA UNDANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA

Pada bab ini dikemukakan bagaimana perkembangan pengaturan dalam pemberian bantuan hukum dan sistem peradilan anak itu, sebelum dan setelah diundangkannya Undang-Undang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bab


(52)

ini juga sekaligus akan mengupas sejarah pembentukan kedua Undang-Undang tersebut.

BAB III ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NOMOR 16

TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUMDAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PEMBERIAN

BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

Pada bagian pertama bab ini akan dibahas tentang analisa yuridis Undang-Undang Bantuan Hukum, mulai dari sejarah pengundangannya, siapa saja yang disebut pemberi dan penerima bantuan hukum, serta bagaimana prosedur pemberian bantuan hukum bagi penerima bantuan hukum menurut ketentuan undang-undang tersebut.

Pada bagian kedua akan dibahas analisa yuridis Undang-Undang SPPA, mulai dari sejarah terbentuknya, bentuk perlindungan hukum terhadap anak, hingga pengembangan konsep diversi dan restorative justice yang menjadi tujuan utama dari pembuatan undang-undang tersebut.

Pada bagian ketiga merupakan inti dari judul yang penulis angkat, yaitu pembahasan mengenai pemberian bantuan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana.


(53)

BAB IV PENUTUP

Pada bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan pembahasan dari bab pertama hingga bab terakhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini. Paling akhir adalah saran dari penulis dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.


(54)

BAB II

KETENTUAN PENGATURAN BANTUAN HUKUM DAN PERADILAN ANAKSEBELUM DAN SETELAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN

PIDANA ANAK DI INDONESIA

A. Perkembangan Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dari ketentuan pasal tersebut telah dicantumkan sekaligus tentang hak dan kewajiban tiap-tiap warga negara, hak untuk pengakuan secara rata dalam kedudukan hukum serta kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan salah satu faktor yang identik dengan hal ini. “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai sila kedua dari Pancasila, dalam butir-butir Pancasila yang terkandung di dalamnya di antaranya mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, serta mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya.


(55)

Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat sejak zaman Romawi, dimana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam bidang moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan atau honorarium32

Bantuan hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum (dalam hal ini lembaga bantuan hukum) baru dikenal di Indonesia sejak diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Namun menurut Adnan Buyung Nasution, bantuan hukum itu sebenarnya sudah dikenal secara formal sejak masa penjajahan Belanda. Bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman Raja tanggal 16 Mei 1848 Nomor 1, perundang-undangan baru di Belanda tersebut juga diberlakukan bagi Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Hindia Belanda. Dalam peraturan itulah pertama kalinya diatur tentang Lembaga Advokat, sehingga diperkirakan bantuan hukum di Indonesia dalam arti formal baru dikenal sekitar tahun tersebut, dan itupun terbatas bagi orang-orang Eropa saja dalam peradilan Raad Van Justitie.

. Meletusnya Revolusi Perancis mengakibatkan konsep bantuan hukum kemudian bergerak menjadi bagian dari kegiatan hukum yang menekankan hak-hak yang sama bagi tiap warga masyarakat dalam mempertahankan kepentingannya di muka pengadilan. Sampai awal abad ke-20 ini pun bantuan hukum lebih banyak dianggap sebagai suatu pekerjaan memberi jasa hukum tanpa suatu imbalan.

32

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 11.


(56)

Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan hukum ini diatur dalam pasal 250 ayat (5) dan (6) HIR (Hukum Acara Pidana Lama) dengan cakupan yang terbatas, artinya, pasal ini dalam prakteknya hanya lebih mengutamakan Bangsa Belanda daripada bangsa Indonesia yang waktu itu lebih populer disebut inladers, di samping itu, daya laku pasal ini hanya terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka yang dituduh dan diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup33. Bangsa Indonesia pada waktu itu seakan-akan tidak ada atau tidak dianggap dalam pemenuhan bantuan hukumnya, sehingga profesi lawyer pada waktu itupun tidak dapat berkembang pesat. Namun pada perkembangan berikutnya paralel dengan gemuruhnya arus pergerakan nasional kita, mulai bermunculan ahli-ahli hukum bangsa Indonesia yang berprofesi advokat turut meramaikan gerakan nasional Indonesia melalui pemberian bantuan hukum. Dengan motif turut membantu gerakan nasional, maka mereka turut membantu rakyat Indonesia yang tidak mampu memakai jasa advokat-advokat Belanda ketika sedang menghadapi masalah hukum di muka pengadilan. Pada dasarnya gerakan bantuan hukum pada waktu itu dapat kita baca sebagai salah satu rangkaian dari pergerakan nasional untuk melepaskan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah Belanda34

Kondisi yang demikian juga masih monoton pada masa penjajahan Jepang. Tidak terlihat adanya perubahan yang signifikan mengenai masalah bantuan hukum. Begitu juga pada masa setelah proklamasi kemerdekaan, di mana seluruh bangsa masa terfokus untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan.

.

33

Ibid., hlm. 12. 34


(57)

Bahkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, bantuan hukum justru mengalami kemerosotan yang luar biasa akibat besarnya kekuasaan dan pengaruh Soekarno pada masa ini. Presiden diberi wewenang untuk ikut campur dalam masalah pengadilan, sehingga wibawa pengadilan pun jatuh dan orang-orang semakin tidak menaruh kepercayaan besar pada bantuan hukum.

Perkembangan yang cukup pesat dalam hal bantuan hukum ini terjadi pada masa Orde Baru yang kembali menjamin kebebasan peradilan untuk tidak diganggu oleh campur tangan pihak-pihak atau kekuatan dari luar untuk tiap urusan peradilan, melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang menggantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada masa ini sudah mulai didirikan dan beroperasinya lembaga-lembaga yang berkaitan dalam masalah pemberian bantuan hukum, seperti biro-biro konsultasi hukum, lembaga-lembaga bantuan hukum, dan lain-lain.

Ketentuan tentang bantuan hukum dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam pasal 35-38. Pasal 35 Undang-Undang ini berbunyi : “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”. Pada penjelasan pasal 35 dapat dibaca landasan pemikiran pembuat undang-undang tentang makna bantuan hukum, yang berbunyi : “Merupakan suatu asas yang penting bahwa seseorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum. Hal ini dianggap perlu karena ia wajib diberi perlindungan sewajarnya. Perlu diingat juga ketentuan pasal 8, dimana seorang tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai


(58)

ada keputusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Karena pentingnya, supaya diadakan undang-undang tersendiri tentang bantuan hukum”35

Terlepas dari sejarah perkembangan bantuan hukum di Indonesia, perlu lebih dijabarkan lagi eksistensi bantuan hukum itu dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia. Pada bagian Konsiderans Undang-Undang Bantuan Hukum, di antaranya menyatakan mengenai penjaminan hak-hak konstitusional sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia, perwujudan akses keadilan bagi masyarakat miskin, hingga terwujudnya perubahan sosial berkeadilan

.

36

35

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 345-346. 36

Lihat bagian Konsiderans Undang-Undang No. 16 Tahun 2011.

. Hal-hal yang dinyatakan dalam Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa pemberian bantuan hukum erat kaitannya dengan pemenuhan hak asasi manusia. Karena pemberian bantuan hukum merupakan salah satu sarana yang tak terpisahkan dalam melindungi hak-hak tiap-tiap manusia dalam proses pencapaian keadilan. Memang patut diakui bahwa menegakkan hukum dan keadilan itu adalah mustahil. Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat bahwa keadilan itu merupakan sesuatu yang nisbi atau relatif adanya. Karena apa yang menurut kita adil, belum tentu adil bagi orang lain. Seolah-olah nilai dan rasa keadilan itu hanya terbatas untuk suatu kelompok dalam suatu batas ruang waktu tertentu. Adapun keadilan yang hendak ditegakkan tiada lain daripada nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila, UUD 1945, serta segala nilai-nilai yang


(59)

terdapat pada hukum dan perundang-undangan yang lain, yang nilai-nilainya aspiratif dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat37

Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang erat. Adil artinya tidak memandang status atau melihat seseorang dari segi manapun dalam pemberian bantuan hukum yang menjamin hak-hak asasinya. Sehingga meletakkan hukum itu harus dibuat secara demokratis dan menjamin hak asasi manusia, dan dalam penegakan keadilan ini maka hukum harus bekerja benar-benar efektif. Sesuai dengan konsep keadilan, maka pemberian bantuan hukum ini pun harus merata bagi seluruh masyarakat. Tidak boleh ada pembedaan antara “si miskin” dengan “si kaya”. Berbagai Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia yang mempelopori gerakan bantuan hukum juga tidak lepas dari konteks perjuangan menegakkan demokrasi kontitusional. Organisasi bantuan hukum bukan semata-mata lembaga yang hanya memberikan fasilitas bantuan hukum secara cuma-cuma kepada rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum seperti di negara-negara lain, melainkan sosial lainnya yang mengacu tegaknya nilai-nilai negara hukum yang demokratis dan dihormatinya hak-hak asasi manusia

.

38

Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam konsep negara hukum, negara tentu akan mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu, termasuk hak atas bantuan hukum ini. Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi

.

37

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 66. 38


(60)

serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law)39.

Selama ini, pemberian bantuan hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak kontitusional mereka40

39

Lihat Penjelasan Umum UU No. 16 Tahun 2011. 40

Ibid.

. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan konsep keadilan yang semestinya.

Jaminan atas hak konstitusional tersebut belum mendapatkan perhatian secara memadai, sehingga dibentuklah Undang-Undang Bantuan Hukum yang merupakan Undang-Undang yang secara khusus dibentuk untuk mengatur pemberian bantuan hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dibentuknya Undang-Undang Bantuan Hukum ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Oleh karena itu, tanggung jawab negara harus diimplementasikan melalui pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum ini. Dengan diundangkannya Undang-Undang-Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, maka ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum diatur melalui Undang-Undang ini.


(1)

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Bantuan hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat sejak zaman Romawi. Di Indonesia sendiri, bantuan hukum sudah dikenal sejak masa penjajahan. Namun perkembangan pesat terjadi pada masa Orde Baru sebagaimana diwujudkan dalam ketentuan pasal 35-38 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hingga diundangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, sehingga pemberian bantuan hukum selanjutnya dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang tersebut.Sedangkan pengaturan tentang Peradilan Anak sebelumnya diatur melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun seiring perkembangan kehidupan manusia, Undang-Undang Pengadilan Anak ini dianggap sudah tidak relevan dengan kehidupan manusia, sehingga lahirlah Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Segala ketentuan mengenai anak beserta proses beracara di pengadilan,


(2)

2. Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum memberikan penjelasan tentang siapa yang dimaksud sebagai Pemberi (pasal 1 angka 3) dan Penerima Bantuan Hukum (pasal 1 angka 2), syarat-syarat (pasal 8), serta apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka (pasal 9-13). Bantuan hukum menurut Undang-Undang Bantuan Hukum diberikan secara Cuma-Cuma. Mengenai pelaksanaan pemberian bantuan hukum itu sendiri dijelaskan dalam pasal 14-15, yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, yang kemudian melahirkan PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum. Sementara itu Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur mengenai anak yang berkonflik dengan hukum dalam menjalani proses pemeriksaan perkaranya. Undang-Undang SPPA ini mewajibkan upaya Diversi dengan pendekatan Keadilan Restoratif, sehingga peradilan merupakan jalan terakhir penyelesaian perkara apabila tidak ada kesepakatan Diversi. Salah satu asas Undang-Undang SPPA ini adalah perlindungan (pasal 2), salah satunya mengenai advokasi bantuan hukum (pasal 3 huruf c), yang wajib diberikan dalam setiap tingkat pemeriksaan (pasal 23 ayat (1)). Tidak ada pengaturan khusus tentang anak dalam Undang-Undang Bantuan Hukum, sehingga advokasi bantuan hukum terhadap anak itu juga ditinjau dari perspektif Undang-Undang SPPA.


(3)

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran yang dapat penulis berikan antara lain :

1. Diharapkan dengan pengaturan dalam instrumen perundang-undangan yang sudah dimulai sejak dahulu dan telah mengalami perkembangan, advokasi bantuan hukum serta sistem peradilan anak dapat semakin menunjukkan eksistensinya dalam pemenuhan kebutuhan akan bantuan hukum tiap-tiap warga negara, secara khusus terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Diperlukan pengawasan dan pelaksanaan efisien dari Pemerintah melalui aparatur negara sehingga masyarakat dapat merasakan dampak dari perubahan dan perkembangan Undang-Undang tersebut.

2. Diperlukan pengawasan dan tindakan tegas dari pemerintah dalam pelaksanaan bantuan hukum dan sistem peradilan pidana anak. Menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan berbagai macam elemen dalam rangka menunjang terlaksananya Undang-Undang SPPA dengan baik, mengingat bahwa Undang-Undang ini memberikan masa transisi 5 tahun setelah diberlakukan, di mana pemberlakuannya 2 tahun setelah diundangkan (Agustus 2012). Khusus mengenai advokasi bantuan hukum terhadap anak, belum ada ketentuan khusus yang mengaturnya dalam


(4)

bekerjasama untuk menciptakan suatu kondisi yang baik bagi kehidupan anak, sebagai upaya pencegahan agar anak-anak tidak terjerumus dalam perkara hukum. Bilamana nantinya harus berhadapan dengan hukum sekalipun, sudah tercipta suatu sistem yang baik dan tidak merugikan anak, sehingga anak dapat terus berkembang demi kemajuan negara.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdussalam, H. R. dan Adri Desasfuryanto. 2014. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: PTIK Press.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2012. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Atmasasmita, Romli. 1984. Problema Kenakalan Anak dan Remaja. Bandung: CV. Armico.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1979. Loka Karya Tentang Peradilan Anak. Bandung: Bina Cipta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum. Bandung: CV. Armico.

Djamil, M. Nasir. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). Jakarta: Sinar Grafika. Gultom, Maidin. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

_____________. 2013. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: PT. Refika Aditama.

Hamzah, Andi. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Jakarta: Sinar Grafika.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. 2009. Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban. Jakarta: Paragraph World.

Mansar, Adi dan Ikhwaluddin Simatupang. 2007. Hukum Acara Pidana Indonesia Dalam Perspektif Advokat dan Bantuan Hukum. Medan: Jabal Rahmat.


(6)

Marlina. 2012. Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: PT. Refika Aditama. Mulyadi, Mahmud. 2014. Bahan Kuliah Politik Hukum Pidana. Medan: Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

Prakoso, Abintoro. 2013. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta: Laksbang Grafika.

Pramukti, Angger Sigit dan Fuady Primaharsya. 2015. Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Sartono dan Bhekti Suryani. 2013. Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat. Jakarta: Dunia Cerdas.

Soetarman. 1979. Kenakalan Anak. Bandung: Alumni.

Sudarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Sunggono, Bambang dan Aries Harianto. 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: CV. Mandar Maju.

Wadong, Maulana Hasan. 2000. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Gramedia Wirasarana Indonesia.

B. SKRIPSI/TESIS/MAKALAH/JURNAL

Erikson P. Sibarani. 2013. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” (Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara).

Hedy Adhitya Putra. 2012. “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Saksi dalam Memberikan Keterangan di Pengadilan” (Jurnal Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Mataram).

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


Dokumen yang terkait

Analisis Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

22 292 126

Pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum pidana islam dan undang-undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak

0 6 169

Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

0 8 0

ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 8 49

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 4 12

PENDAHULUAN TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 10

PENUTUP TINJAUAN DISKRESI KEPOLISIAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

0 2 4

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dan Korban Tin

1 1 42

ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

0 0 10

EFEKTIVITAS BANTUAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NO. 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU SEBAGAI PERLINDUNGAN ATAS HAK ASASI MANUSIA - repo unpas

0 0 43