BAB I PENDAHULUAN - Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Pada Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan)
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan UU No. 12 Tahun 1985. Kemudian UU ini diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 dan mulai berlaku terhitung 1 Januari 1995. Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada Daerah, karena PBB termasuk jenis pajak yang penerimaannya dibagi-bagikan kepada daerah sebagai bagi hasil dana perimbangan (revenue sharing).
Imbangan pembagian penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam
pasal 18 UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta melalui PP nomor 16 Tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 82/KMK.0412000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu untuk Pemerintah Pusat sebesar 10 % (dikembalikan lagi ke daerah) dan untuk Daerah sebesar 90%. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan PBB tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan Bagi Hasil Pajak.
Wacana desentralisasi kemudian muncul dengan mulai diberlakukannya kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah, yang dilaksanakan secara efektif tanggal 1 Januari 2001. Kebijakan tersebut diwujudkan dalam 2 (dua) UU, yaitu UU Nomor 22 tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 joUU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pelaksanaan UU No.25 Tahun 2004 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Banyak hal yang justru sudah menggejala pada awal implementasi otonomi daerah, seperti tarik menarik kewenangan antara pusat-daerah, bermunculannya perda dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan lainnya, daerahisme dan profesionalisme pegawai, sampai kepada wacana untuk menjadikan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pajak Daerah. Masalah keuangan daerah juga selalu mendapat tempat yang penting dalam setiap kebijaksanaan pemerintahan daerah. Untuk dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya, daerah harus mempunyai sumber sendiri, sehingga tidak perlu selalu tergantung pada sumber- sumber dari Pemerintah Pusat.
Otonomi daerah pada awalnya dianggap sebagai suatu jawaban atas masalah yang ditimbulkan dari kecenderungan sentralisasi perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan yang terbukti selama ini ternyata tidak mendorong adanya pengembangan potensi sumberdaya manusia dari sisi prakarsa, sumberdaya ekonomi setempat dan partisipasi masyarakat. Salah satu soal yang selalu muncul ialah soal ketergantungan pemerintah daerah pada bantuan dari pemerintah pusat. Meskipun telah diambil berbagai upaya selama bertahun-tahun yang lalu untuk menyerahkan wewenang memungut pajak kepada Pemerintah Daerah, sumberdaya Pemerintah Daerah tetap saja pada umumnya pada tingkat yang rendah.
Kompleksitas persoalan otonomi daerah di Indonesia juga terkait dengan hubungan keuangan pusat dan daerah. Walau terdapat kepentingan yang sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan kontrol atas keuangan, namun kedua pihak juga memiliki kelemahan yang sangat mengganggu mekanisme pengelolaan keuangan pusat dan daerah. Pada tingkatan daerah, terdapat persoalan akuntabilitas dan responsibilitas pengelolaan keuangan serta belum terbentuknya sistem yang sempurna untuk memastikan setiap uang rakyat dikelola secara bertanggung jawab oleh pemerintah daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi malah sering disebut sebagai desentralisasi korupsi akibat berpindahnya locus penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah.
Sedang pada tingkatan pemerintah pusat, orang telah sama-sama maklum tentang rivalitas yang sangat tinggi antar departemen dalam pengelolaan keuangan untuk daerah.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan merupakan jenis Pajak Pusat yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota yang selanjutnya disebut Pajak Daerah sebagaimana diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Pelaksanaan pelimpahan Pajak Bumi dan BangunanPerdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah tersebut dilakukan secara bertahap, yang diatur oleh Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lama 4(empat) tahun sejak diberlakuknya UU No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai waktu paling lama tanggal 31 Desember 2013, artinya pada tanggal 1 Januari 2014 Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan sudah diterapkan secara menyeluruh di seluruh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia.
Dalam masa transisi tahapan pelimpahan tersebut, ketentuan tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang telah diatur dalam UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 termasuk peraturan pelaksanaannya masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, sepanjang dalam kurun waktu tersebut belum ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang hal tersebut.
Maka dengan masuknya Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan sebagai salah satu Pajak Daerah sesuai dengan amanat UU No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah , maka Pemerintah Daerah harus sudah mulai mempersiapkan Peraturan Daerah, Struktur Organisasi dan SDM (sumber daya manusia)dalam pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan karena peengelolaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan membutuhkan kinerja yang besar.
Sejak berlakunya UU No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada tanggal 1 Januari 2010 ada daerah yang sejak 1 Januari
2012 sudah menerapkan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan tersebut sebagai Pajak Daerah, yaitu Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Pendapatan Kota Medan . Hal ini ditandai dengan di keluarkannya Peraturan Daerah Kota Medan No.3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan dan Peraturan Walikota Medan No.27 Tahun 2011 Tetang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan No.3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan.
Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Pendapatan Kota Medan berharap berdasarkan Perda No.3 Tahun 2011 yang sudah dimulai Januari 2012, realisasi penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Perkotaan dapat dilaksanakan dengan baik sehingga dapat meningkatkan sumber pendapatan asli daerah. Untuk itu diperlukan dukungan serta kerjasama dari Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada wajib pajak. Selain itu petugas yang akan diterjunkan untuk mengelola Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan telah di latih di Kanwil Pajak dan Bank Pratama. Dengan demikian Dinas Pendapatan Kota Medanberharappenerimaan daerah yang bersumber dari penerimaan di sektor Pajak Daerah yaitu melalui Pajak bumi dan bangunan pedesaan perkotaan semakin meningkat.
Untuk itu Dinas Pendapatan Kota Medan akan menyesesuaikan dengan po tenipajak yang ada karena penerimaan pajak daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan sangat mendukung pembangunan Kota Medan secara focus dan terarah..
Akan tetapi pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan belum berjalan secara optimal. Masalah dalam kinerja Dinas Pendapatan Kota Medan dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan ini senantiasa terjadi di dalamnya, khususnya kinerja Dinas Pendapatan Kota Medan dalam hal meraup potensi Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan terus disorot.Selain itu sejak diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) per 1 Januari 2012, menimbulkan keresahan dan protes dari masyarakat. Pasalnya, dalam Perda itu masyarakat diharuskan membayar PBB dengan kenaikan 100 persen lebih dibanding tahun sebelumnya. Apalagi, situasi ekonomi masyarakat saat ini masih terbilang belum menguntungkan. Maka wajar jika warga Kota Medan protes atas Perda tentang PBB yang dinilai memberatkan dan menambah derita masyarakat. Belum lagi timbal balik dari pajak-pajak yang dibayar dengan pembangunan infrastruktur yang hingga kini belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat.
Dengan segala permasalahan yang ada, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai implementasi pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan. Hal tersebut membuat peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan
Studi Pada Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah Kota
Medan”I.2. Perumusan Masalah
Untuk dapat memudahkan penelitian ini nantinya dan supaya peneliti dapat terarah dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam pembahasan, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya. Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian dimana penulis mengajukan pertanyaan terhadap dirinya tentang hal-hal yang akan dicari jawabannya melalui kegiatan penelitian. (Arikunto, 2002:47).
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini adalah “Bagaimana
Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Di Kelurahan Sei Sikambing D Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan?”.
I.3. Tujuan Penelitian Setiap penelitian dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai.
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kelurahan Sei Sikambing D Kecamatan Medan Petisah.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam Implementasi Kebijakan
Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kelurahan Sei Sikambing D Kecamatan Medan Petisah.
I.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dilakukan adalah: 1. Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan, khususnya mengenai implementasi kebijakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan, serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang menindaklanjuti penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang sama dan dengan informan penelitian yang lebih baik.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut: a.
Bagi penulis, sebagai masukan dan menambah wawasan serta literatur perpustakaan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.
b.
Bagi instansi, Sebagai bahan masukan yang berarti bagi instansi yang berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunandalam upaya penyempurnaan dan peningkatan kegiatan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunansehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil pemungutan Pajak Bumi dan Bangunandi waktu yang akan datang.