Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Pada Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan)

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

(Studi Pada Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

100903080

ZAIN SATRIA KHAFID

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsiinidisetujuiuntukdiperbanyakdandipertahankanoleh:

Nama : Zain Satria Khafid NIM : 100903080

Departemen : IlmuAdministrasi Negara

Judul : Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan (Studi Pada Kelurahan Sei Sikambing D Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan)

Medan,

KetuaDepartemen DosenPembimbing IlmuAdministrasi Negara

Drs. Husni Thamrin, M.Si

NIP: 196401081991021001 NIP: 196401081991021001 Drs. M. HusniThamrin, M.Si

Dekan,

FISIP USU MEDAN

NIP. 196805251992031002 Prof. Dr.Badaruddin, M. Si


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim ... Assallamualaikum Wr.Wb

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmad dan anugerah-Nya penulis mendapat kesempatan untuk menyelesaikan studi di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU dan atas pertolongan-Nya pula kepangkuan Nabi Besar Muhammdad SAW yang telah membawa umat manusia ke jalan kebenaran.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat wajib bagi setiap mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Administrasi Negara. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa mendapatkan gambaran langsung tentang ilmu yang diperoleh dibangku kuliah dan menambah bekal pengalaman yang berhubungan dengan ilmu sosial dan ilmu politik secara khusus.

Dalam melakukan penelitian dan penyusunan skripsi yang membahas mengenai “Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (Studi pada Kantor Lurah Sei Sikambing D)”, penulis dibantu oleh banyak pihak. Bantuan tersebut berupa materi, moril, maupun spiritual sehingga penulis dapat termotivasi untuk menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis, diantaranya kepada:


(4)

2. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M. Si, selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara.

3. Ibu Dra. Elita Dewi, M. Sp, selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara.

4. BapakDrs. M. Husni Thamrin Nasution, M. Si, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi petunjuk serta arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Drs. Alwi Hashim,M. Si, selaku dosen wali yang membantu penulis selama masa perkuliahan.

6. Seluruh dosen dan pegawai Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU.

7. Kak Dian dan Kak Mega yang telah membantu penulis dalam urusan administrasi.

8. Lurah Sei Sikambing D beserta seluruh staf dan pegawainya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian di kantor tersebut.

9. Teristimewa dan terkasih buat kedua orang tua saya, Satia Negara Lubis (Ayah) dan (Mama) yang telah memberikan banyak kasih sayang,doa dan dorongan moril yang tak pernah henti kepada penulis, Insya Allah Penulis akan sekuat tenaga untuk selalu membuat mamak sama bapak bangga.

10.Buat abang Abdi Rafiud Darajat Lubis yang selalu mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(5)

11.Buat teman-temanku yang selalu mendukung penulis. Teman-teman di AN 2010 terima kasih telah bersama-sama dengan penulis melalui bangku perkuliahan.

12.Buat senior dan junior di Administrasi Negara, terima kasih buat semua bantuannya terutama Bang Bambang Hermanto yang bersedia menjadi teman bertukar pikiran dan memberikan saran-saran yang baik kepada penulis.

13.Dan banyak lagi pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini tapi tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis ucapkan terima kasih banyak.

Dengan keterbatasan ilmu yang penulis miliki, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karenanya penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna untuk menyempurnakan penelitian ini agar menjadi lebih baik lagi. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, 09 September 2014 Penulis

Zain Satria Khafid Lubis NIM 100903080


(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang ………. 1

I.2 Perumusan Masalah ……….. 8

I.3 Tujuan Penelitian ……….. 9

I.4 Manfaat Penelitian ……… 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Kebijakan Publik ………...……….. 11

II.1.1. Pengertian Kebijakan Publik ... 11

II.1.2. Tahap-Tahap Kebijakan Publik...………….... 13

II.1.2.1 Penyusunan Agenda... 13

II.1.2.2 Formulasi Kebijakan ... 15

II.1.2.3 Legitimasi Kebijakan... 15

II.1.2.4 Evaluasi Kebijakan... 16

II.2. Pelaksanaan Kebijakan Publik ... 16

II.3. Isu Kebijakan Publik ... 17

II.4. Implementasi Kebijakan ... 21

II.5. Kebijakan Pajak Bumi Dan Bangunan ... 31

II.6 Definisi Konsep ……….. 36

II.7 Sistematika Penulisan ………. 37

BAB III METODE PENELITIAN III.1 Bentuk Peneltian ……….. 39

III.2. Fokus Penelitian ... 39

III.3 Lokasi Penelitian ……….. 40

III.4Informan Penelitian... 40

III.5 Teknik Pengumpulan Data ……… 41

III.6 Teknik Analisa Data ……….. 42

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN... 44

BAB V PENYAJIAN DATA V.1 Penyajian Data Primer... 59

BAB VI ANALISA DATA V1.1.Analisa...……….. 64


(7)

VI.2. Pembahasan ... 80

BAB VII PENUTUP

VII.1 Kesimpulan ……….... 84

VII.2 Saran ……… 85


(8)

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ZAIN SATRIA KHAFID 100903080

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (Studi Pada Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan

Petisah)

Implementasi Kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian adalah di Kelurahan Sei sekambing D, Kecamatan Medan Petisah Propinsi Sumatera Utara.Adabeberapatahapanyang dilakukanpenulis,yaitu; pertama,penelitian diawali denganpengumpulanberbagaidokumenKantor Kelurahan Sei Sikambing Dseperti Susunan Organisasi danTugasPokokdan Fungsi (Tupoksi)Kelurahan Sei Sikambing D danberbagaihalyang berkaitan dengan permasalahanyangingin

dijawab.Kedua, penulismelakukansejumlah

wawancaradenganpegawaipadaKantorKelurahan Sei Sikambing D yangberkaitan denganmasalah yang diteliti.

Hasil wawancara terhadap informan menunjukkan sosialisasi informasi di Kelurahan Sei Sikambing D cukup baik dan implementasi kebijakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan berjalan dengan baik akan tetapi tetap perlu ada perbaikan-perbaikan agar semuanya dapat maksimal.


(9)

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ZAIN SATRIA KHAFID 100903080

ABSTRAK

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (Studi Pada Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan

Petisah)

Implementasi Kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian adalah di Kelurahan Sei sekambing D, Kecamatan Medan Petisah Propinsi Sumatera Utara.Adabeberapatahapanyang dilakukanpenulis,yaitu; pertama,penelitian diawali denganpengumpulanberbagaidokumenKantor Kelurahan Sei Sikambing Dseperti Susunan Organisasi danTugasPokokdan Fungsi (Tupoksi)Kelurahan Sei Sikambing D danberbagaihalyang berkaitan dengan permasalahanyangingin

dijawab.Kedua, penulismelakukansejumlah

wawancaradenganpegawaipadaKantorKelurahan Sei Sikambing D yangberkaitan denganmasalah yang diteliti.

Hasil wawancara terhadap informan menunjukkan sosialisasi informasi di Kelurahan Sei Sikambing D cukup baik dan implementasi kebijakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan berjalan dengan baik akan tetapi tetap perlu ada perbaikan-perbaikan agar semuanya dapat maksimal.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986 berdasarkan UU No. 12 Tahun 1985. Kemudian UU ini diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 dan mulai berlaku terhitung 1 Januari 1995. Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada Daerah, karena PBB termasuk jenis pajak yang penerimaannya dibagi-bagikan kepada daerah sebagai bagi hasil dana perimbangan (revenue sharing).

Imbangan pembagian penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan diatur dalam pasal 18 UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta melalui PP nomor 16 Tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 82/KMK.0412000 tanggal 21 Maret 2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu untuk Pemerintah Pusat sebesar 10 % (dikembalikan lagi ke daerah) dan untuk Daerah sebesar 90%. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), penerimaan PBB tersebut dimasukkan dalam kelompok penerimaan Bagi Hasil Pajak.

Wacana desentralisasi kemudian muncul dengan mulai diberlakukannya kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah, yang dilaksanakan secara efektif


(11)

tanggal 1 Januari 2001. Kebijakan tersebut diwujudkan dalam 2 (dua) UU, yaitu UU Nomor 22 tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 joUU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pelaksanaan UU No.25 Tahun 2004 telah menyebabkan perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Banyak hal yang justru sudah menggejala pada awal implementasi otonomi daerah, seperti tarik menarik kewenangan antara pusat-daerah, bermunculannya perda dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan lainnya, daerahisme dan profesionalisme pegawai, sampai kepada wacana untuk menjadikan Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pajak Daerah. Masalah keuangan daerah juga selalu mendapat tempat yang penting dalam setiap kebijaksanaan pemerintahan daerah. Untuk dapat menyelenggarakan urusan rumah tangganya, daerah harus mempunyai sumber sendiri, sehingga tidak perlu selalu tergantung pada sumber-sumber dari Pemerintah Pusat.

Otonomi daerah pada awalnya dianggap sebagai suatu jawaban atas masalah yang ditimbulkan dari kecenderungan sentralisasi perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pembangunan yang terbukti selama ini ternyata tidak


(12)

mendorong adanya pengembangan potensi sumberdaya manusia dari sisi prakarsa, sumberdaya ekonomi setempat dan partisipasi masyarakat. Salah satu soal yang selalu muncul ialah soal ketergantungan pemerintah daerah pada bantuan dari pemerintah pusat. Meskipun telah diambil berbagai upaya selama bertahun-tahun yang lalu untuk menyerahkan wewenang memungut pajak kepada Pemerintah Daerah, sumberdaya Pemerintah Daerah tetap saja pada umumnya pada tingkat yang rendah.

Kompleksitas persoalan otonomi daerah di Indonesia juga terkait dengan hubungan keuangan pusat dan daerah. Walau terdapat kepentingan yang sama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan kontrol atas keuangan, namun kedua pihak juga memiliki kelemahan yang sangat mengganggu mekanisme pengelolaan keuangan pusat dan daerah. Pada tingkatan daerah, terdapat persoalan akuntabilitas dan responsibilitas pengelolaan keuangan serta belum terbentuknya sistem yang sempurna untuk memastikan setiap uang rakyat dikelola secara bertanggung jawab oleh pemerintah daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi malah sering disebut sebagai desentralisasi korupsi akibat berpindahnya locus penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah. Sedang pada tingkatan pemerintah pusat, orang telah sama-sama maklum tentang rivalitas yang sangat tinggi antar departemen dalam pengelolaan keuangan untuk daerah.

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan merupakan jenis Pajak Pusat yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota yang selanjutnya disebut Pajak Daerah sebagaimana diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku sejak


(13)

tanggal 1 Januari 2010. Pelaksanaan pelimpahan Pajak Bumi dan BangunanPerdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah tersebut dilakukan secara bertahap, yang diatur oleh Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lama 4(empat) tahun sejak diberlakuknya UU No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai waktu paling lama tanggal 31 Desember 2013, artinya pada tanggal 1 Januari 2014 Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan sudah diterapkan secara menyeluruh di seluruh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia.

Dalam masa transisi tahapan pelimpahan tersebut, ketentuan tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang telah diatur dalam UU No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 termasuk peraturan pelaksanaannya masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, sepanjang dalam kurun waktu tersebut belum ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang hal tersebut.

Maka dengan masuknya Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan sebagai salah satu Pajak Daerah sesuai dengan amanat UU No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah , maka Pemerintah Daerah harus sudah mulai mempersiapkan Peraturan Daerah, Struktur Organisasi dan SDM (sumber daya manusia)dalam pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan karena peengelolaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan membutuhkan kinerja yang besar.

Sejak berlakunya UU No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada tanggal 1 Januari 2010 ada daerah yang sejak 1 Januari


(14)

2012 sudah menerapkan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan tersebut sebagai Pajak Daerah, yaitu Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Pendapatan Kota Medan . Hal ini ditandai dengan di keluarkannya Peraturan Daerah Kota Medan No.3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan dan Peraturan Walikota Medan No.27 Tahun 2011 Tetang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan No.3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan.

Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Pendapatan Kota Medan berharap berdasarkan Perda No.3 Tahun 2011 yang sudah dimulai Januari 2012, realisasi penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan Perkotaan dapat dilaksanakan dengan baik sehingga dapat meningkatkan sumber pendapatan asli daerah. Untuk itu diperlukan dukungan serta kerjasama dari Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada wajib pajak. Selain itu petugas yang akan diterjunkan untuk mengelola Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan telah di latih di Kanwil Pajak dan

Bank Pratama. Dengan demikian Dinas Pendapatan Kota

Medanberharappenerimaan daerah yang bersumber dari penerimaan di sektor

Pajak Daerah yaitu melalui Pajak bumi dan bangunan pedesaan perkotaan semakin meningkat.

Untuk itu Dinas Pendapatan Kota Medan akan menyesesuaikan dengan po tenipajak yang ada karena penerimaan pajak daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan sangat mendukung pembangunan Kota Medan secara focus dan terarah..


(15)

Akan tetapi pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan belum berjalan secara optimal. Masalah dalam kinerja Dinas Pendapatan Kota Medan dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan ini senantiasa terjadi di dalamnya, khususnya kinerja Dinas Pendapatan Kota Medan dalam hal meraup potensi Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan terus disorot.Selain itu sejak diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) per 1 Januari 2012, menimbulkan keresahan dan protes dari masyarakat. Pasalnya, dalam Perda itu masyarakat diharuskan membayar PBB dengan kenaikan 100 persen lebih dibanding tahun sebelumnya. Apalagi, situasi ekonomi masyarakat saat ini masih terbilang belum menguntungkan. Maka wajar jika warga Kota Medan protes atas Perda tentang PBB yang dinilai memberatkan dan menambah derita masyarakat. Belum lagi timbal balik dari pajak-pajak yang dibayar dengan pembangunan infrastruktur yang hingga kini belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat.

Dengan segala permasalahan yang ada, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai implementasi pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan. Hal tersebut membuat peneliti tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan Studi Pada Kelurahan Sei Sikambing D, Kecamatan Medan Petisah Kota Medan”

I.2. Perumusan Masalah

Untuk dapat memudahkan penelitian ini nantinya dan supaya peneliti dapat terarah dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam pembahasan,


(16)

maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya. Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian dimana penulis mengajukan pertanyaan terhadap dirinya tentang hal-hal yang akan dicari jawabannya melalui kegiatan penelitian. (Arikunto, 2002:47).

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Di Kelurahan Sei Sikambing D Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan?”.

I.3. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kelurahan Sei Sikambing D Kecamatan Medan Petisah.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kelurahan Sei Sikambing D Kecamatan Medan Petisah.

I.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dilakukan adalah:

1. Secara teoritis/akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kepustakaan, khususnya mengenai implementasi kebijakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan, serta dapat menjadi bahan masukan bagi mereka yang menindaklanjuti penelitian ini dengan mengambil kancah penelitian yang sama dan dengan informan penelitian yang lebih baik.


(17)

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Bagi penulis, sebagai masukan dan menambah wawasan serta literatur perpustakaan yang berkaitan dengan implementasi kebijakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.

b. Bagi instansi, Sebagai bahan masukan yang berarti bagi instansi yang berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunandalam upaya penyempurnaan dan peningkatan kegiatan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunansehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil pemungutan Pajak Bumi dan Bangunandi waktu yang akan datang.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Hoy dan Miskel (Sugiyono, 2008:55) teori adalah seperangkat konsep, asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilihnya. Sugiyono (2009:47) lebih lanjut menambahkan bahwa teori bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk bisa memahami konteks social secara lebih luas dan mendalam.

Kerangka teori adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel pokok, sub variabel atau pokok masalah yang ada dalam penelitian (Arikunto, 2002:92).

Sebagai landasan berfikir dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang ada, perlu adanya pedoman teoritis yang membantu dan sebagai bahan referensi dalam penelitian. Kerangka teori diharapkan memberikan pemahaman yang jelas dan tepat bagi peneliti dalam memahami masalah yang diteliti.

Sebagai titik tolak atau landasan berpikir dalam menyoroti atau memecahkan masalah perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian mempunyai dasar yang kokoh dan


(19)

bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error) landasan teoritis (Sugiyono, 2006:55).

Menurut Hoy dan Miskel dalam Sugiyono (2006:55) teori adalah seperangkat konsep, asumsi, dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam organisasi. Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti harus menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilihnya.

I1.1. Kebijakan Publik

II.1.1. Pengertian Kebijakan Publik

Pada dasarnya terdapat banyak batasan dan defenisi mengenai apa yang dimaksud dengan kebijakan publik (public policy). Masing-masing defenisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan itu timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang beragam.

Menurut Chandler dan Plano dalam Tangkilisan (2003) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Dalam kenyataannya kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Selanjutnya dikatakan bahwa Kebijakan Publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam


(20)

masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

Menurut H. Hugh Heglo dalam Abidin (2004:21) kebijakan adalah suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai suatu tujuan tujuan tertentu. Sedangkan Anderson dalam Abidin (2004:21) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.

Sedangkan menurut Woll dalam Tangkilisan (2003:2) kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah yaitu:

1. Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat.

2. Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat.

3. Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Konsep kebijkan publik ternyata juga dimaknai dan dirumuskan secara beragam.hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar defenisi yang


(21)

dikemukakan dipengaruhi oleh masalah-masalah tertentu yang ingin dilihat. Pandangan pertama, ialah pendapat para ahli yang mengidentikkan kebijakan publik dengan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Beranggapan bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya disebut sebagai kebijakan publik. Parker dalam Wahab (2008:51), menyatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu, atau serangkaian asas tertentu, atau tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu subjek atau sebagai respon terhadap keadaan yang kritis. Sedangkan Thomas R. dye merumuskan kebijakan publik sebagai semua pilihan atau tindakan yang dilakukan pemerintah. Dalam hal ini Dye beranggapan bahwa kebijakan publik itu menyangkut pilihan-pilihan apapun yang dilakukan oleh pemerintah, baik untuk melakukan sesuatu ataupun untuk tidak berbuat sesuatu.

Pandangan yang kedua, ialah pendapat para ahli yang memusatkan perhatian pada implementasi kebijakan (policy implementation). Mereka melihat kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran tertentu dan mempunyai dampak dan akibat-akibat yang diramalkan (predictable), atau dapat diantisipasikan sebelumnya. Seperti apa yang dikemukakan Nakamura dan Smal Wood dalam Wahab (2008:52), bahwa kebijakan publik adalah serentetan instruksi/ perintah dari para pembuat kebijakan yang ditujukan kepada para pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Namun pada hakekatnya, bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Hal ini


(22)

dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi sehingga defenisi kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.

Seperti yang dikemukakan oleh James Anderson dalam Tangkilisan (2003:2) bahwa kebijakan publik merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan. Konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi, yakni:

1. Kebijakan publik selalu selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.

2. Kebijakan publik itu berisi tindakan-tindakan pemerintah.

3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan.

4. Kebijakan pemerintah tersebut didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Berdasarkan beberapa literatur yang dibaca adapun tahap-tahap kebijakan publik adalah :


(23)

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Pembuatan Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Evaluasi Kebijakan

Proses pembuatan suatu kebijakan diawali dengan penyusunan agenda yang menempatkan berbagai masalah ke dalam sebuah agenda kebijakan yang selanjutnya akan dibahas oleh para pembuat kebijakan untuk menghasilkan alternatif pemecahan masalah yang akan dibahas pada tahap formulasi kebijakan. Setelah memperoleh alternatif terbaik, maka alternatif tersebut dirumuskan ke dalam bentuk kebijakan yang selanjutnya akan diimplementasikan oleh para pelaksana kebijakan. Kebijakan yang telah dilaksanakan tersebut selanjutnya akan dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memcahkan masalah.

Dari semua proses tersebut, menurut penulis, implementasi kebijakan merupakan tahap yang paling penting dan krusial sehingga harus mendapat perhatian lebih dari para pembuat maupun pelaksana suatu kebijakan. Tahap ini merupakan kunci keberhasilan proses pembuatan suatu kebijakan akan mencapai


(24)

tujuannya atau tidak. Jika sebuah kebijakan sudah diformulasikan dan dibuat secara tepat kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi jika proses implementasi tidak berjalan dengan tepat. Bahkan sebuah kebijakan yang sangat brilliant sekalipun jika diimplementasikan dengan buruk, maka kebijakan tersebut bisa gagal untuk mencapai tujuan para perancangnya.

II.1.2. Isu Kebijakan Publik

Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn, isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa

Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik menurut Kimber, Salesbury, Sandbach, Hogwood dan Gunn, diantaranya:

1. Telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius

2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis;

3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa


(25)

4. Menjangkau dampak yang amat luas

5. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;

6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)

Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama. Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan UU mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih. Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder. Formulasi kebijakan Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudia dibahas oleh para pembuat kebijakan.

Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung


(26)

berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu.

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah- masalah kebijakan, program- program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

Pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan publik juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama dipersepsikan sebagai "belum pernah tersentuh" oleh pemerintah atau ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah. Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan tingkat perhatian tertentu. (Wahab : 2001:35) Jadi, pada intinya isu kebijakan (policy issues) lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri.

Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu masalah tertentu (Dunn, 1990). Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung makna adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan positif tertentu dan kecenderungan-kecenderungan yang


(27)

dipersepsikan sebagai memiliki nilai potensial yang signifikan (Hogwood dan Gunn, 1996).

Dipahami seperti itu, maka isu bisa jadi merupakan kebijakan-kebijakan alternatif (alternative policies) atau suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka (Alford dan Friedland, 1990: 104). Singkatnya, timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah terjadi konflik atau "perbedaan persepsional" di antara para aktor atas suatu situasi problematik yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu.

Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah proses dengan mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu atas pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari luar dirinya. Singkatnya, persepsi adalah "lensa konseptual" (conceptual lense) yang pada diri individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami suatu masalah (Allison, 1971).

Karena dipengaruhi oleh daya persepsi inilah, maka pemahaman, dan tentu saja perumusan atas suatu isu sesungguhnya amat bersifat subjektif. Dilihat dari sudut pandang ini, maka besar kemungkinan masing-masing orang, kelompok atau pihak-pihak tertentu dalam sistem politik yang berkepentingan atas sesuatu isu akan berbeda-beda dalam cara memahami dan bagaimana merumuskannya. Persepsi ini, pada gilirannya juga akan mempengaruhi terhadap penilaian mengenai status peringkat yang terkait pada sesuatu isu.

Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan dapat dibagi menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder, isu


(28)

fungsional, dan isu minor (Dunn, 1990). Kategorisasi ini menjelaskan bahwa makna penting yang melekat pada suatu isu akan ditentukan oleh peringkat yang dimilikinya. Artinya, makin tinggi status peringkat yang diberikan atas sesuatu isu, maka biasanya makin strategis pula posisinya secara politis

I1.2. Pengertian Implementasi

Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2004:68) yang dimaksud dengan implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk UU, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan UU, kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata, baik yang dikehendaki atau yang tidak, dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap UU/peraturan yang bersangkutan.

Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky dalam (Tangkilisan, 2003 : 17), implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara


(29)

untuk mencapainya. Implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan.

Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan menurut Tangkilisan (2003 : 18) adalah :

1. Penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.

2. Organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.

3. Penerapan, yaitu berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya.

Dalam setiap perumusan kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti. Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperolehapa dari suatu kebijakan ( Wahab, 2004:59). Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan dalam arti walaupun perumusan dilakukan dengan sempurna namun apabila proses implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang semula baik akan menjadi jelek begitu pula sebaliknya. Dalam kaitan ini, seperti dikemukakan oleh Wahab (2004:51), menyatakan bahwa


(30)

pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan.

I1.2.1 Implementasi Kebijakan

ImplementasiKebijakanpada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat tercapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut. (Riant Nugroho. 2003:158).

Menurut Mazmanian dan Sabatier (Safi’i, 2007:144) mengatakan bahwa mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan, baik yang menyangkut usaha-usaha mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau pada kejadian-kejadian tertentu. Pendapat kedua tokoh ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pada hakekatnya tidak hanya terbatas pada tindakan-tindakan atau perilaku badan-badan administratif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari kelompok sasaran (target group). Namun demikian hal itu juga memperhatikan secara cermat berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat,


(31)

dan pada akhirnya membawa dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

Dalam setiap perumusan kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti. Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperolehapa dari suatu kebijakan (Wahab, 2004:59). Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan dalam arti walaupun perumusan dilakukan dengan sempurna namun apabila proses implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang semula baik akan menjadi jelek begitu pula sebaliknya.

Dalam kaitan ini, seperti dikemukakan oleh Wahab (2004:51), menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan.

Dari beberapa pemahaman tersebut maka terlihat dengan jelas bahwa implementasi kebijakan merupakan rangkaian aktifitas dalam rangka membawa kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Membicarakan masalah implementasi berarti


(32)

melihat sejauh mana kebijakan berjalan setelah dirumuskan dan diberlakukan. Dan dapat dirumuskan bahwa fungsi implementasi ialah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran kebijakan publik diwujudkan sebgai outcome atau hasil akhir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

Menurut Wibawa (1994), implementasi kebijakan merupakan pengejahwantahan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu UU namun juga dapat berbentuk instruksi instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundangan. Idealnya keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menentukan tujuan yang hendak dicapai dan dalam berbagai cara “menggambarkan struktur” proses implementasi tersebut. Tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.

I1.2.2. Model-Model implementasi Kebijakan Publik

Implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan.


(33)

Sekalipun benyak dikembamgkan model-model yang membahas tentang implementasi kebijakan, namun dalam hal ini hanya akan menguraikan beberapa model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi berbagai pemikiran meiupun tulisan para ahli. Berikut beberapa model-model implementasi kebijakan dari berbagai ahli :

1. Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn. Model mereka ini kerap kali oleh para ahli disebut sebagai ”The top dwon approach”. Menurut Hogwood dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut((Wahab, 2004:71-78):

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan atau kendala yang serius.

Beberapa kendala/hambatan pada saat implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali para administrator, sebab hambatan-hambatan itu memang di luar jangkauan wewenang kebijakan dan badan pelaksana. Hambatan-hambatan tersebut tersebut diantaranya mungki bersifat fisik. Adapula kemungkinan hambatan tersebut bersifat politis, dalam artian bahwa baik kebijakan maupun tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakannya tidak diterima/tidak disepakati oleh berbagai pihak yang kepentingannya terkait. Kendala-kendala semacam itu cukup jelas dan mendasari sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa diperbuat oleh para administrator guna mengatasinya. Dalam hubungan ini yang mungkin dapat dilakukan para administrator ialah mengingatkan bahwa


(34)

kemungkinan-kemungkinan semacam itu perlu dipikirkan matang-matang sewaktu merumuskan kebijakan.

b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

Syarat kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama, dalam pengertian bahwa kerap kali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Jadi, kebijakan yang memiliki tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Alasan yang biasanya dikemukakan ialah terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, khususnya jika persoalannya menyangkut sikap dan perilaku. Alasan lainnya ialah bahwa para politis kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang peduli dengan penyediaan sarana untuk mencapainya, sehingga tindakan-tindakan pembatasan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karena sumber-sumber yang tidak memadai.

c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratam kedua, dalam artian bahwa di satu pihak harus dijamin tidak terdapat kandala-kendala pada semua sumber-sumber yang diperelukan dan di lain pihak pada setiap tahapan proses implementasinya perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus benar-benar dapat disediakan.


(35)

d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.

Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan, melainkan karena kebijakan itu sendiri tidak tepat penempatannya.

e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

Pada kenyataannya program Pemerintah, sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih kompleks dari pada sekedar berupa jika X dilakukan, maka terjadi Y dan mata rantai kualitas hubungannya hanya sekedar jika X, maka terjadi Y, dan Jika Y terjadi maka akan diikuti oleh Z. Dalam hubungan ini Pressman dan Wildavski memperingatkan, bahwa kebijakan-kebijakan yang hubungan sebab-akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks implementasinya.

f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil .

Implementasi yang sempurna menurut adanya persyaratan bahwa hanya terdapat Badan pelaksana tunggal untuk keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada Badan-badan lain kalaupun dalam pelaksanaannya harus melibatkan Badan-badan/Instansi-instansi lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini


(36)

haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar kepentingannya. Jika implementasi suatu program tenyata tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu meleinkan juga kesepakatan terhadap setiap tahapan diantara sejumlah besar pelaku yang terlibat, maka peluang bagi keberhasilan implementasi program bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan semakin berkurang.

g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.

Persyaratan ini menharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh mengenai dan kesepakatan terhadap tujuan atau sasaran yang akan dicapai dan yang penting keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses omplementasi. Tujuan tersebut haruslah dirumuskan dengan jelas, spesifik dan lebih baik lagi apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami,serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam organisasi, bersifat saling melengkapi dan mendukung serta mampu berperan selaku pedoman dengan mana pelaksanaan program dapat dimonitor.

h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.

Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengfayunkan langkah menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat. Kesukaran-kesukaran untuk mencapai kondisi implementasi yang sempurna ini tidak dapat kita sngsikan lagi. Disamping itu juga duiperlukan bahkan dapat dikatakan tidak dapat dihindarkan keharusan


(37)

adanya ruangan yang cukup bagi kebebasab bertindak dan melakukan improvisasi, sekalipun dalam program yang telah dirancang secara ketat. i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

Persyatratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan koordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program. Hood dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna barangkali diperlukan suatu sistem administrasi tunggal.

j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Persyaratan terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi loyalitas penuh dan tidak ada penolakan sama sekali terhadap perintah dari siapapun dalam sistem administrasi itu. Apabila terdapat potensi penolakan terhadap perintah itu maka iya harus dapat diidentifikasikan oleh kecanggihan sistem informasinya dan dicegah sedini mungkin oleh sistem pengendalian yang handal.

2. Model yang dikembangkan oleh George C. Edwards III

Sementara menurut George Edwards III ada empat faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan, antara lain (Winarno, 2002:125) :

a. Komunikasi

Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam komunikasi, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Transmisi adalah keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah telah diteruskan kepada personil yang tepat. Kejelasan adalah perintah-perintah yang akan


(38)

dilaksanakan tersebut haruslah jelas misalkan melalui petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Konsistensi adalah perintah-perintah tersebut harus jelas dan tidak bertentangan dengan para pelaksana kebijakan agar proses implementasi dapat berjalan lebih efektif.

b. Sumber-sumber

Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Adapun sumber-sumber yang penting meliputi :

c. Kecenderungan

Yaitu dimana para pelaksana memiliki kecenderungan tidak sepakat dengan suatu kebijakan sehingga mengabaikan beberapa persyaratan yang tidak sesuai pandangan mereka. Oleh karena para pelaksana memegang peran penting dalam implementasi kebijakan publik, maka usaha-usaha untuk memperbaiki kecenderungan-kecenderungan mereka menjadi penting. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan insentif.

d. Struktur Birokrasi

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai

Standard Operating Procedure (SOP) berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjasamanya


(39)

organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Fragmentasi

adalah tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislative, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi-birokrasi pemerintah.

3. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, yang disebut sebagai model proses implementasi kebijakan.

Meter dan Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan prestasi kerja. Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi.

Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005:99) ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu:

a. Standar dan Sasaran Kebijakan .

Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan kebijakan kabur, maka akan terjadi miti interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.


(40)

b. Sumber Daya

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.

c. Komunikasi Antar Organisasi dan Penguatan Aktivitas

Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu perlu koordinasi dan kerja sama antara instansi bagi keberhasilan suatu program.

d. Karakteristik Agen Pelaksana

Agen pelaksana mancakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program.

e. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok- kelompok kepentingan daoat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.

f. Disposisi Implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal, yakni: a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, dan c) intensitas disposisi implementor, yakni prefansi nilai yang dimiliki oleh implementor.


(41)

Variabel-variabel kabijakan bersangkutan dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi baik organisasi formal maupun informal, sedamgkan komunikasi antara organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antara hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan para pelaksana mengantarkan kita pada pemahaman mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program di lapangan.( Subarsono, 2005:99).

Model implementasi inilah yang akan digunakan penulis di lapangan untuk menganalisis proses implementasi kebijakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan di Dinas Pendapatan Kota Medan. Alasan penulis menggunakan model ini karena variabel ataupun indikator yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn merupakan variabel yang bisa menjelaskan secara komprehensif tentang kinerja implementasi dan dapat lebih kongkret dalam menjelaskan proses implementasi yang sebenarnya.

II.3. Otonomi Daerah

Otonomi berasal dari kata Yunani autos dan nomos. Kata pertama berarti sendiri dan kata kedua berarti pemerintah. Otonomi bermakna memerintah sendiri, dalam wacana administrasi publik daerah sering disebut sebagai local selfgovernment. Menurut Khusaini (2006) daerah otonom praktis berbeda dengan daerah saja yang merupakan penerapan dari kebijakan yang dalam wacana administrasi publk disebut sebagai local state government yang berarti pemerintah di daerah merupakan kepanjangan dari pemerintah pusat (dalam Handayani, 2009). Otonomi daerah menurut UU No.32 Tahun 2004, diartikan sebagai hak


(42)

wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perUUan. Daerah otonom adalah masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan bagi pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan (Handayani, 2009). Sebagai upaya untuk mencapai tujuan itu, maka kepada daerah diberikan wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

Menurut Handayani (2009) menyebutkan terdapat 4 (empat) unsur otonomi daerah yaitu :

1. Memiliki perangkat pemerintah sendiri yang ditandai dengan adanya Kepala Daerah, DPRD, dan Pegawai Daerah

2. Memiliki urusan rumah tangga sendiri yang ditandai dengan adanya dinasdinasdaerah

3. Memiliki sumber keuangan sendiri yang ditandai dengan adanya pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah dan pendapatan dinas-dinas daerah

4. Memiliki wewenang untuk melaksanakan inisiatif sendiri (diluar dari instruksi dari pemerintahan pusat atau atasan) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.


(43)

Otonomi daerah membawa dua implikasi khusus bagi pemerintah daerah yaitu pertama adalah semakin meningkatnya biaya ekonomi (high cost economy) dan yang kedua adalah efisiensi dan efektifitas. Oleh karena itu daesentralisasi membutuhkan dana yang memadai bagi pelaksanaan pembangunan didaerah (Emelia, dalam Handayani 2009).

Apabila suatu daerah tidak memiliki sumber-sumber pembiayaan yang memadai maka dari hal ini akan mengakibatkan daerah bergantung terus terhadap pembiayaan pemerintah pusat. Ketergantungan terhadap pembiayaan pemerintah pusat merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan asas otonomi daerah. Oleh karena itu perlu suatu upaya oleh pemerintah daerah dalam memutus ketergantungan tersebut dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah.

Menurut Syamsi (dalam Emelia, 2006) terdapat beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran agar suatu daerah dikatakan mampu untuk mengurus rumah tangganya sendiri yaitu :

a. Kemampuan struktur organisasinya

Struktur organisasi pemerintah daerah yang mampu menampung seluruh aktivitas dan tugas yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

b. Kemampuan aparatur Pemerintah Daerah

Aparatur pemerintah daerah mampu menjalankan tugas dan kewajibannya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Oleh karena itu, dalam mencapai tujuan yang diinginkan daerah dibutuhkan keahlian, moral, disiplin dan kejujuran dari aparatur daerah.


(44)

c. Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat

Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar bersedia terlibat dalam kegiatan pembangunan nasional. Karena peran serta masyarakat sangat penting dalam menunjang kesuksesan pembangunan daerah.

d. Kemampuan keuangan daerah

Suatu daerah dikatakan mampu mengurus rumah tangganya sendiri apabila pemerintah daerah tersebut mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Sesuai dengan urgensi penelitian ini, maka suatu daerah dituntut kemampuannya dalam menggali dan mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah sehingga tidak bergantung pada pemerintah pusat.

II.4 Pendapatan Asli Daerah

Didalam penyelenggaraan fungsi-fungsi Pemerintah Daerah, kepada Daerah kabupaten/kota diharapkan dapat mengelola dan memanfaatkan seluruh sumber pendapatan daerah yang dimilikinya secara optimal, khususnya di era Otonomi Daerah saat ini dimana kewenangan pemerintahan diserahkan secara luas dan nyata kepada Daerah Kabupaten/Kota. Dengan kata lain diharapkan kepada Daerah Kabupaten/Kota didalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan daerah tidak terus-menerus selalu menggantungkan dana (anggaran) dari Pemerintah Pusat melalui pembagian Dana Perimbangan.

Daerah tingkat II dalam hal ini perlu jelas dalam membudayakan potensi alam setempat agar lebih berdaya guna dan berhasil guna, dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah memang salah satu kriteria dalam


(45)

pemantapan otonomi daerah adalah pendapatan asli daerah. Terlepas dari itu, sebenarnya penyerahan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah tingkat I kepada Daerah Tingkat II, bukan sekedar meningkatkan PAD, tetapi meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian yang diharapkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab itu adalah peningkatan kualitas pelayan aparatur dan semua jajaran kepada masyarakat. (Widjaja 1998: 153)

Salah satu konsekuensi pada setiap Negara yang melaksanakan asas desentralisasi, yang pada gilirannya melahirkan otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan-surusan pemerintahan yang menjadi urusan pada pemerintahan daerah (local government) yang menjalankannya. Sehingga menimbulkan pembagian kewenangan pada sektor keuangan untuk membiayai penyelengaraan urusan rumah tangga (otonomi) pada pemerintahan daerah tersebut. Meskipun demikian, bukam berarti pemerintah nasional atau pusat (central government) melepaskan tanggung jawabnya dalam masalah pembiayaan pemerintah daerah, bila pemerintah daerah yang bersangkutan mengalami kesulitan didalam mencari sumber-sumber pembiayaan keuangan daerahnya.

Menurut Mardiasmo (2007:132), pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah Tingkat II melakukan berbagai upaya dan terobosan dalam meningkatkan perolehan pendapatan asli daerah, sebab faktor dana sangat menetukan lancar tidaknya roda pemerintahan daerah. Pelayanan kepada masayarakat akan terlambat akibat terbatasnya kemampuan


(46)

dalam bidang pendanaan. Dengan terbatasnya sumber pendapatan (PAD) tidak banyak yang dilakukan dalam memberikan pelayanan maupun kemudahan bagi masyarakat.

Diantara berbagai jenis penerimaan daerah yang menjadi sumber daya sepenuhnya dapat dikelola oleh daerah adalah pendapatan asli daerah (PAD), oleh karena itu upaya peningkatan pemerimaan dari pendapatan asli daerah (PAD) perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah daerah baik dengan cara intensifikasi maupun dengan cara ekstensifikasi dengan maksud agar daerah tidak terlalu mengandalakan/mengantungkan harapan pada pemerintah tingkat atas tetapi harus mampu mandiri sesuai cita-cita otonomi nyata dan bertanggung jawab.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah ini merupakan sumber pendapatan yang menjadi tulang punggung otonomi daerah, bahkan dapat dikatan lebih lanjut bahwa sektor Pendapatan Asli Daerah inilah yang menjadi salah satu ukuran penting untuk menilai apakah daerah-daerah akan mampu menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Sumber pendapatan daerah menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, antara lain :

1. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari: a. Pajak daerah

b. Retribusi daerah

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah


(47)

a. Dana bagi hasil b. Dana alokasi umum c. Dana alokasi khusus. 3.Lain-lain pendapatan yang sah .

II.4.1 Pajak Daerah

Pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Sesuai dengan pasal 1 UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan ke pada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksaakan berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

Pajak daerah adalah pajak yang pemungutannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai keperluan rumah tangga daerah APBD. Sedangkan menurut Ahmad Yani (2002:45) Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badankepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkanperaturan perUUan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayaipenyelenggaraan pemerintahan di daerah dan pembangunan daerah.

Devas menyebutkan bahwa untuk menilai berbagai pajak daerah yang ada sekarang, digunakan serangkaian ukuran ( Dasril Munir, dkk, 2004 : 1447 145 ). 1. Hasil ( Yierd )


(48)

Memadai tidaknya hasil pajak daerah dengan kaitan dalam berbagai layanan yang dibayarnya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besar tidaknya hasil itu, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan biaya pungut. 2. Keadilan ( equity )

Dasar pajak dan kewajiban harus dan tidak sewenang – wenang, pajak bersangkutan harus adil secara horisontal, artinya beban pajak harus sama benar antara berbagai kelompok yang berbeda beda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama, haruslah adil secara vertikal, artinya kelompok yang memiliki sumber daya ekonomi yang lebih besar dan memberikan sumbangan ekonomi yang lebih besar dari pada kelompok yang tidak banyak mamiliki sumber daya ekonomi, dan perbedaan – perbedaan yang besar dan sewenang – wenang dalam beban pajak dari suatu daerah ke daerah lain, kecuali jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam menyediakan layanan masyarakat.

3. Daya guna ekonomi ( economic efciency )

Pajak hendaknya mendorong ( atau setidak- tidaknya tidak menghambat ) penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam kehidupan ekonomi, mencegah agar pilihan konsumen dan pilihan produsen menjadi salah satu arah atau orang menjadi segan bekerja atau menabung dan memperkecil beban lebih pajak.

4. Kemampuan melaksanakan ( ability to implement )

Suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan dari sudut keamanan politik dan kemauan tata usaha.


(49)

5. Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah ( suitability as a local revenue source )

Ini berartii haruslah jelas kepada daerah mana pajak harus dibayar dan tempat-tempat akhir beban pajak, pajak tidak mungkin dihindari dengan cara memindahkan objek pajak dari suatu daerah ke daerah lain. Pajak daerah hendaknya jangan mempertajam perbedaan – perbedaan antara daerah dari segi potensi daerah masing – masing, dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak.

Berdasarkan hal tersebut adapun jenis-jenis pajak kabupaten/kota menurut UU No.28 Tahun 2009tersebut adalah:

a. Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. b. Pajak restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh resroran. c. Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.

d. Pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.

e. Pajak penerangan jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yangdihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.

f. Pajak mineral bukan logam dan batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan

g. Pajak mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan ataupermukaan bumi untuk dimanfaatkan.

h. Pajak parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir dalam badan jalan,baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakansebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.


(50)

i. Pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah. j. Pajak sarang burung wallet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan atau

pengusahaan sarang burung wallet.

k. Pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan adalah pajak atas bumi dan ataubangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh pribadi atau badan,kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

l. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak atas perolehan hak atastanah dan atau bangunan (BPHTB).

II.5. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan merupakan jenis Pajak Pusat yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota yang selanjutnya disebut Pajak Daerah sebagaimana diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Pelaksanaan pelimpahan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan menjadi Pajak Daerah tersebut dilakukan secara bertahap, yang diatur oleh Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dalam jangka waktu paling lama 4(empat) tahun sejak diberlakuknya UU No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau sejak tanggal 1 Januari 2010 sampai waktu paling lama tanggal 31 Desember 2013, artinya pada tanggal 1 Januari 2014 Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sudah diterapkan secara menyeluruh di seluruh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia.


(51)

Menurut Peraturan Daerah No.3 Tahun 20011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas Bumi dan / atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang di gunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.Oleh karena itu bagi mereka yang memperolah manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya pada negara melalui pembayaran pajak.

II.5.1 Dasar Pengenaan Tarif dan Cara Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan

Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan pedesaan perkotaan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar terhadap kepemilikan atas pajak bumi dan bangunan. Berdasarkan Peraturan Daerah No.3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan adalah nilai jual objek pajak (NJOP). Besarnya nilai jual objek pajak (NJOP) ditetapkan setiap 3 ( tiga ) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.Dalam penetapan besarnya nilai jual objek pajak (NJOP) dilakukan oleh Kepala Daerah. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan sebagai berikut :

1. untuk NJOP sampai dengan Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ) ditetapkan sebesar 0,2 % ( nol koma dua persen ) pertahun;


(52)

2. untuk NJOP diatas Rp. 1.000.000.000,00 ( satu milyar rupiah ) ditetapkan sebesar 0,3 % ( nol koma tiga persen ) pertahun.

Besaran Pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitungdengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan Pajak setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Hasil perhitungan besaran Pokok Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang ditetapkan minimal sebesar Rp. 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah).

II.5.2 Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan

Berdasarkan Perda No.3 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dijelaskan Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempuyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

Sedangkan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

1. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya, yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut


(53)

2. Jalan tol 3. Kolam renang 4. pagar mewah 5. Tempat olah raga

6. Galangan kapal atau dermaga 7. Taman mewah;

8. Tempat penampungan/kilang minyak,air dan gas, pipa minyak 9. Menara.

Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang :

1. Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan. 2. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksud untuk memperolehkeuntungan.

3. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.

4. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional dan tanahnegara yang belum dibebani suatu hak.

5. Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbale balik.

6. Digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan denganPeraturan Menteri Keuangan.


(54)

Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu social (Singarimbun, 2006 :33). Agar mendapatkan pembatasan yang jelas dari setiap konsep yang akan diteliti, maka penulis mencoba mengemukakan definisi dari berbagai konsep yang digunakan, yaitu:

1. Implementasi Kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu.

2. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan adalah Pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan.

3. Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan merupakan pelaksanaan serangkaian prosedur pelaksanaan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.

II.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian iniadalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian.


(55)

BAB II KERANGKA TEORI

Bab ini memuatkerangka teori, defenisi konsep, dan sistematika penulisan.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum atau karakteristik lokasi penelitian berupa sejarah singkat, visi, misi, dan sktruktur organisasi serta hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah penelitian.

BAB V PENYAJIAN DATA

Bab ini memuat tentang hasil data yang diperoleh dari lapangan selama penelitian berlangsung dan dokumen-dokumen lain yang akan dianalisis.

BAB VI ANALISA DATA

Bab ini memuat tentang kajian dan analisis data yang diperoleh saat penelitian dan memberikan interpretasi atas permasalahan yang diteliti.


(56)

BAB VII PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dan saran-saran yang dianggap perlu dari hasil penelitian yang dilakukan.


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Bentuk Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Zuriah (2006:47) penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling berhubungan dan menguji hipotesis.

Jadi dengan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan ehingga dapat menerangkan fenomena yang ada berdasarkan data atau informasi yang diperoleh pada saat melakukan penelitian.

III.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penenelitian ini ditentukan secara purposive area sampling atau penentuan area penelitian yang disengaja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Lokasi penelitian adalah di Kelurahan Sei sekambing D, Kecamatan Medan Petisah Propinsi Sumatera Utara.


(58)

III.3 Informan Penelitian

Sesuai dengan penjelasan di atas, bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hendrarso (dalam Usman 2009:50) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian inilah yang akan menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian.

Informan penelitian adalah orang-orang yang memberikan informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi informan kunci dan informan biasa. Informan kunci adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian atau informan yang mengetahui secara mendalam permasalahan yang diteliti. Sedangkan informan biasa adalah informan yang ditentukan dengan dasar pertimbangan mengetahui dan berhubungan dengan permasalahan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah masyarakat yang melakukan pengurusan yang berkaitan dengan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan. Infroman utama yaitu Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Sei Sikambing D.

III.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data/keterangan/informasi yang diperlukan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam pemelitian ini adalah sebagai berikut :


(59)

1. Teknik Pengumpulan Data Primer, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian. Pengumpulan data primer dilakukan dengan instrument sebagai berikut:

a. Wawancara, yaitu dengan cara wawancara mendalam(indepth interview) untuk memperoleh data yang lengkmen sebagai berikuapstru dan mendalam dari informan. Metode ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan atau pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.

b. Observasi atau pengamatan merupakan salah satu teknik penelitianyang sangat penting. Pengamatan itu digunakan karena berbagai alasan.Ternyata ada beberapa tipologi pengamatan. Terlepas dari jenis pengamatan,dapat dikatakan bahwa pengamatan terbatas dan tergantung pada jenis danvariasi pendekatan (Moleong, 2007: 242).

2. Teknik Pengumpulan Data Sekunder, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui studi bahan-bahan kepustakaan yang diperlukan untuk mendukung data-data primer. Pengumpulan data sekunder dilakuka dengan instrument sebagai berikut :

a. Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan catatan-catatan atau foto-foto dan rekaman video yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian. b. Studi Kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan

berbagai literature seperti buku, karya ilmiah, dan sumber-sumber bacaan lainnya yang berkenaan dengan penelitian ini.


(60)

III.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para informan kunci dan informan biasa.Tujuan analisis data kualitatif yaitu untuk menganalisa proses berlangsungnya suatu fenomena sosial, memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut, dan menganalisasa makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial (Bungin, 2007:153). Penganalisisan ini didasarkan pada kemampuan nalar dalam menghubungkan fakta, data, dan informasi, kemudian data yang diperoleh akan dianalisis sehingga diharapkan muncul gambaran yang dapat mengungkapkan permasalahan penelitian. Pendekatan analisis kualitatif menggunakan pendekatan logika induktif, dimana silogisme dibangun berdasarkan pada hal-hal khusus atau data di lapangan dan bermuara pada hal-hal umum. Analisis kualitatif umumnya tidak digunakan untuk mencari data dalam arti frekuensi, tetapi digunakan untuk menganalisis makna dari data yang tampak di permukaan itu (Bungin,2007:66). Dalam penelitian ini, analisis data akan dilakukan bersamaan dengan pengumpulandata. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data model Miles dan Huberman. Miles and Huberman (dalam Sugiyono, 2008:91) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Adapun langkah-langkah dalam melakukan analisis data menurut Miles dan Huberman yaitu:


(1)

75% dari target yang telah ditentukan. Sedangkan pada tahun 2013, jumlah wajib pajak di Kelurahan Sei Sikambing D berjumlah 2181 wajib pajak dengan jumlah ketetapan yang telah ditentukan sebesar Rp. 2.230.694.129 sedangkan yang terealisasi sebesar Rp. 1.845.866.467 hal ini menunjukkan pemenuhan target sebesar kira-kira 80% dari target yang ditetapkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Pihak Kelurahan Sei Sikambing D masih memerlukan perbaikan dan bantuan dari berbagai pihak agar mampu dalam menggali potensi Pajak Bumi dan Bangunan dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah.

VI.1.2. Kendala Dalam Implementasi Kebijakan Pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan

Dalam proses pengimplementasian suatu kebijakan atau program, sering dijumpai kendala-kendala yang terkadang akan menghambat proses implementasi tersebut. Begitu juga dengan proses pengimplementasian pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan ini. Kendala yang pertama adalah datang dari keterbatasan sumber daya manusia terlatih dan profesional yang dimiliki oleh pihak Kelurahan Sei Sikambing D. Kondisi pegawai yang dimiliki belum cukup memadai dari segi kualitas untuk melakukan semua urusan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.

Dari wawancara ditemukan bahwa kendala atau hambatan yang hadir berasal dari internal ataupun eksternal. Hambatan yang hadir dari internal Kelurahan Sei Sikambing D itu sendiri seperti kurang meratanya sosialisasi yang dilakukan mengenai mekanisme ataupun tata cara pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, tentunya kurang meratanya sosialisasi mengakibatkan masyarakat jadi tidak mengetahui bagaimana mekanisme serta tata cara yang baik dalam proses pembayaran iuran Pajak Bumi dan Bangunan.


(2)

Selain itu adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan. Hal ini terlihat dari status kepemilikan tanah dan bangunan yang tidak jelas, kemudian wajib pajak berdomisili di luar kota dan tidak diketahui siapa pemilik objek pajak serta wajib keberatan atas penetapan NJOP bangunan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selanjutnya kurangnya koordinasi mengakibatkan Surat pemberitahuan objek pajak (SPPT) masih ada yang belum sampai ke wajib pajak.

Hambatan ini harus benar-benar disikapi dengan bijak agar dapat diminimalisir pengaruhnya terhadap kelancaran dan keberhasilan dari implementasi kebijakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kelurahan Sei Sikambing D.


(3)

BAB VII

PENUTUP

VII.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada di Kelurahan Sei Sikambing D, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil penelitian, maka terlihat bahwa Dinas Pendapatan Kota Medan sebagai pihak yang bertanggung jawab melakukan pemungutan pajak bumi dan bangunan belum menjalankan tugasnya dengan baik.

2. Proses implementasi kebijakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan belum berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari terlihat dari proses pemungutan yang dilakukan oleh pihak Kelurahan bukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan.

3. Dalam proses implementasi kebijakan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan juga menghadapi beberapa kendala antara lain adanya keterbatasan sumber daya manusia terlatih dan professional, kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan, minimnya sosialisasi mengenai Pajak Bumi dan Bangunan.

VII.2 Saran

1. Dinas Pendapatan Daerah harusnya langsung turun tangan dalam proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan tidak lagi diwakilkan oleh pihak Kelurahan.


(4)

2. Dengan keterbatasan tenaga ahli dan profesional, ada baiknya Kelurahan Sei Sikambing D segera mengajukan permohonan kepada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan agar terlibat langsung dalam proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.

3. Dinas Pendapatan Kota Medan sebaiknya mengadakan sosialisasi secara langsung (tatap muka) kepada masyarakat mengenai prosedur, waktu, biaya, serta persyaratan dalam proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan agar masyarakat mengetahui segala perubahan peraturan yang terjadi dalam proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Penerbit PT Bumi Aksara. ---. 1998. Analisis Kebijakan Publik : Teori dan Aplikasinya.

Ackoff, R.L, 1974, Redesigning the Future, New York: Wiley.

Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Penelitan: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Badjuri, Abdulkahar dan Yuwono, Teguh, 2002, Kebijakan Publik: Konsep dan Strategi. Semarang: Universitas Diponegoro

Bridgman, Peter and Davis, Glyn. 2000. The Australian Policy Handbook. Australia: Allen & Unwin.

Dunn, Willian.N. 1981. Public Policy Analysis : An Introduction. USA : Prentice-Hal,Inc., Englewood Cliffs,N.J.07632.

---. 1992. Analisis Kebijaksanaan Publik. Terjemahan Muhajir Darwis. Yogyakarta : Penerbit PT. Hanindita.

---. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Terjemahan Samodra Wibawa,dkk. Yogyakarta : Penerbit Gajah Mada University Press.

Dye, Thomas R. 1987. Understanding Public Policy. USA : Prentice-Hall, INC., Englewood Cliffs, NJ.

---. 1976. Policy Analysis : What Governments Do, Why They Do It, and What Difference it Makes. The University of Alabama Press.

Faisal, Sanapiah.2007. Format-format Penelitian Sosial. PT.Rajagrafindi Persada: Jakarta

Grindle, Merilee S. (1980). Politics and Policy Implementation in the Third World. New Jersey : Princeton University Press.

Hewlett, Michael & M. Ramesh. 2003. Studying Public Policy : Policy Cycles and Policy Subsystems. Oxford Penerbir : University Press


(6)

Jones, Charles O. 1996. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy. Terjemahan Ricky Ismanto. Jakarta : Penerbit PT RajaGrafmdo Persada.

Mustopadidjaja. 2000. Manajemen Proses Kebijakan. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara

Nudgroho D, Riant. 2003. Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo.

---. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-negara Berkembang. Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo.

Repley, Randall B. 1985. Policy Analysis In Polical Science. Cicago : Nelson- Hall Inc.

Singarimbun, Masri, dan Efendy, Sofian, 1995. Metode Penelitian Survei, Jakarta LP3ES.

Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung : Penerbit AIPI Bandung – Puslit KP2W Lemlit Unpad.

Usman, Husaini. 2009. Metodologi Penelitian Sosial (Edisi Kedua). Jakarta: Bumi Aksara.

Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik, Proses dan Analisis. Jakarta : Intermedia.

Winarno, Budi. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo

Zuriah, Nurul. 2006. Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan: Teori-Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara