BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Distribusi Maloklusi pada Pasien di Departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU Tahun 2009-2013

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Maloklusi dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaksesuaian dari hubungan

  1

  gigi atau rahang yang menyimpang dari normal. Maloklusi merupakan sebuah penyimpangan yang tidak dapat diterima secara estetis maupun fungsional dari oklusi

  2

  ideal. Selain itu, maloklusi juga dianggap sebagai hubungan yang menyimpang

  3

  antara gigi geligi pada rahang atas dan rahang bawah. Maloklusi dapat menyebabkan tampilan wajah yang buruk, resiko karies, penyakit periodontal, perubahan pada

  1,4 bicara, mastikasi, disfungsi sendi temporomandibula dan nyeri orofasial.

  Derajat keparahan maloklusi berbeda-beda dari rendah ke tinggi yang

  1

  menggambarkan variasi biologi individu. Bentuk-bentuk penyimpangan ini harus dikelompokkan kedalam kategori-kategori yang lebih kecil sehingga diperlukan

  5

  klasifikasi maloklusi. Klasifikasi maloklusi merupakan deskripsi penyimpangan

  6

  dentofasial berdasarkan karakterisktik umum. Bermacam sistem klasifikasi maloklusi telah dikenalkan diantaranya adalah klasifikasi maloklusi oleh Angle, Bennette, Simon dan Ackerman-Profitt. Selain itu, juga terdapat modifikasi

  5,6

  klasifikasi maloklusi Angle oleh Dewey dan Lischer. Klasifikasi maloklusi Angle merupakan sistem klasifikasi maloklusi yang paling sering digunakan hingga saat

  6 ini.

  Pada 1899, Edward Angle memperkenalkan klasifikasi maloklusi berdasarkan relasi mesial distal gigi, lengkung dental dan rahang. Klasifikasi Angle ini masih

  5,6

  digunakan hingga sekarang karena sederhana untuk diterapkan. Angle berpendapat molar satu permanen maksila adalah kunci oklusi. Berdasarkan relasi molar satu permanen mandibula dengan molar satu permanen maksila, Angle mengklasifikasikan maloklusi kedalam tiga Klas utama yaitu Klas I, Klas II, dan Klas

  2,5-7 III.

  Maloklusi memiliki penyebab yang multifaktorial dan hampir tidak pernah

  8

  memiliki satu penyebab yang spesifik. Beberapa klasifikasi etiologi maloklusi sudah dikenalkan, salah satunya adalah klasifikasi etiologi maloklusi menurut Graber yang membagi etiologi maloklusi dalam dua kelompok besar yaitu faktor umum dan lokal.Faktor umum yang menjadi etiologi maloklusi diantaranya adalah herediter, kongenital, lingkungan, nutrisi, trauma, kebiasaan dan lain-lain. Sedangkan faktor lokal yang menjadi etiologi maloklusi diantaranya adalah anomali jumlah gigi, anomali ukuran gigi, premature loss gigi desidui, persistensi gigi desidui, karies dan

  5,6 lain-lain.

  Selama beberapa tahun, studi telah dilakukan untuk mengetahui prevalensi

  9-11

  maloklusi pada populasi yang berbeda-beda. Prevalensi maloklusi bervariasi di seluruh belahan dunia pada berbagai populasi yang berdasarkan pada umur, ras,

  2,3

  genetik dan faktor lingkungan. Studi yang dilakukan mendapatkan hasil yang bervariasi meskipun pada populasi yang sama. Variabel seperti perbedaan klasifikasi maloklusi, umur sampel, periode perkembangan sampel, perbedaan pendapat peneliti mengenai oklusi normal dan perbedaan pada besar sampel dapat mempengaruhi hasil

  9-11

  penelitian. Meskipun begitu, menentukan frekuensi tipe-tipe maloklusi pada suatu

  10

  populasi dapat memberikan informasi yang bernilai. Data dari WHO menunjukkan bahwa maloklusi adalah masalah kesehatan mulut ketiga paling penting karena

  4,8 memiliki prevalensi tertinggi ketiga setelah karies dan penyakit periodontal.

  Beberapa penelitian mengenai prevalensi maloklusi telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Wijanarko menemukan bahwa prevalensi maloklusi pada anak SMP usia 12-14 tahun di Jakarta mencapai 83,3 % menduduki urutan

  1

  ketiga setelah karies dan penyakit periodontal. Oshagh dkk melaporkan bahwa prevalensi maloklusi Klas I, Klas II dan Klas III pada anak usia sekolah yang datang ke departemen ortodonsia di Universitas Shiraz, Iran, adalah 52,0 %, 32,6 % dan 12,3

  9

  % secara berturut-turut. Penelitian lain yang dilakukan oleh Bittencourt dan Machado pada anak usia 6-10 tahun di Brazil menunjukkan hanya 14,83 % anak yang memiliki oklusi normal sedangkan 85,17 % sisanya memiliki maloklusi yaitu 57,24

  8 Penelitian maloklusi gigi permanen pada ras Arya dan Mongoloid yang dilakukan oleh Baral menunjukkan 61,3 % ras Arya dan 64 % ras Mongoloid memiliki maloklusi Klas I. Untuk maloklusi Klas II divisi 1 yaitu 25,2 % pada ras Arya dan 17,9 % pada ras Mongoloid sedangkan maloklusi Klas II divisi 2 memiliki prevalensi yang lebih rendah yaitu 5,3 % pada ras Arya dan 2,5 % pada ras Mongoloid. Maloklusi Klas III terdapat pada 8,2 % ras Arya dan 15,6 % ras

3 Mongoloid.

  Thilander dkk., melakukan penelitian di Bogota mengenai maloklusi berdasarkan tahap perkembangan dental. Hasil penelitian tersebut menunjukkan maloklusi Klas II sebanyak 20,8 % yaitu 14,9 % pada Klas II divisi 1dan 5,9 % pada Klas II divisi 2. Prevalensi tersebut meningkat seiring dengan meningkatnya umur hingga masa gigi bercampur yaitu mencapai 24,9 % dan menurun pada masa gigi permanen yaitu sebanyak 18,5 %. Prevalensi maloklusi Klas III tercatat 3,7 % dan meningkat dengan bertambahnya usia. Pengamatan terhadap perbedaan antara periode perkembangan dental menunjukkan prevalensi menurun pada Klas II tetapi meningkat pada prevalensi Klas III terutama pada masa akhir gigi bercampur ke masa gigi permanen yang merupakan periode rata-rata percepatan pertumbuhan

  11 mandibula.

  Penelitian oleh Wijayanti dkk., mengenai maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia 9-11 tahun di Jakarta menunjukkan bahwa dari 98 subjek, 65,3 % memiliki maloklusi Klas I, 31,6 % Klas II dan 3,1 % Klas III. 76,5 %

  1 diantaranya membutuhkan perawatan ortodonti dan 23,5 % sisanya tidak.

  Berdasarkan hasil-hasil penelitian diatas, maloklusi Klas I adalah bentuk maloklusi dengan prevalensi tertinggi baik berdasarkan ras maupun umur.

  Terdapat beberapa bentuk umum maloklusi diantaranya adalah crowding,

  5,17

spacing ,deepbite, crossbite maupun openbite. Crowding atau gigi berjejal dapat

  5,12 didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara ukuran gigi dan panjang lengkung.

  Prevalensi terjadinya crowding adalah 5% hingga 80% pada populasi yang berbeda-

  13

  beda. Dari hasil penelitian Wijanarko di Jakarta menyatakan dari 270 sampel pada

  14

  prevalensi maloklusi tertinggi diantara lainnya. Penelitian maloklusi gigi permanen pada ras Arya dan Mongoloid yang dilakukan oleh Baral menunjukkan prevalensi

  

crowding pada ras Arya adalah 46,6 % sedangkan pada ras Mongoloid adalah 48,1

  3 %.

  Penelitian lain yang dilakukan oleh Sidlauskas pada 1681 anak usia 7-15 tahun di Lithuania menunjukkan 38,4 % crowding terjadi pada rahang atas sedangkan

  15

  35,4 % terjadi pada rahang bawah. Penelitian yang dilakukan oleh Mugonzibwa menyatakan bahwa secara umum, crowding lebih banyak terjadi pada rahang bawah daripada rahang atas dan prevalensi crowding lebih rendah pada ras Afrika yaitu sebesar 0-13,3 % daripada ras Kaukasian yaitu sebesar 6,1-38,7 % secara

  13

  signifikan. Hasil penelitian Thilander menunjukkan bahwa 50,6 % crowding terjadi

  11 pada masa gigi bercampur awal dan 55,7% pada masa gigi bercampur akhir.

  Spacing (gigi bercelah) merupakan keadaan yang normal pada masa gigi

  5

  desidui tetapi pada masa gigi permanen merupakan keadaan yang abnormal. Spacing

  2,16

  terjadi akibat berlebihnya panjang lengkungmaupun akibat tidak adanya gigi. Gigi

  2

  bercelah jarang ditemukan pada ras Kaukasian. Prevalensi spacing berkisar antara

  13

  6% hingga 50%. Hasil penelitian oleh Mugonzibwa menunjukkan bahwa spacing

  13

  lebih banyak ditemukan pada rahang atas. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wijanarko menunjukkan prevalensi terjadinya spacing pada remaja adalah 16,7

  14

  %. Penelitian oleh Thilander menunjukkan spacing pada masa gigi bercampur awal

  11 adalah 15, 1 % sedangkan pada masa gigi bercampur akhir adalah 18,5 %.

  Prevalensi terjadinya deepbiteberdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sidlauskas adalah 13,26 % pada anak usia 7-9 tahun, 16,94 % pada usia 10-12 tahun

  15

  dan 12,58% pada usia 13-15 tahun. Prevalensi terjadinya crossbiteberdasarkan hasil penelitian Oshagh adalah 36% yaitu 17 % crossbite anterior dan 19 %

  9

crossbite posterior sedangkan prevalensi terjadinya openbite adalah 11%. Penelitian

  lain mengenai prevalensi openbite adalah penelitian oleh Sidlauskas yang mengelompokkan berdasarkan usia yaitu 5,53% pada anak usia 7-9 tahun, 2,43%

  15 pada anak usia 10-12 tahun dan 4,64% pada anak usia 13-15 tahun. Berdasarkan uraian penelitian-penelitian sebelumnya bahwa prevalensi maloklusi yang terjadi di beberapa negara tinggi dan sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian mengenai distribusi maloklusi di FKG USU, maka peneliti tertarik untuk mengetahui distribusi maloklusi pada pasien yang dirawat di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU.

  1.2 Rumusan Masalah

  1. Bagaimanakah distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013?

  2. Apakah terdapat perbedaan distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013 berdasarkan jenis kelamin ?

  1.3 Tujuan Penelitian

  1.3.1 Tujuan Umum

  1. Untuk mengetahui distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

  2.Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013 berdasarkan jenis kelamin

  1.3.2 Tujuan Khusus

  1. Untuk mengetahui distribusi bentuk-bentuk umum maloklusi pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

  2. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan distribusi bentuk-bentuk umum maloklusi pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009- 2013 berdasarkan jenis kelamin

  3. Untuk mengetahui distribusi usia pasien pada masa gigi bercampur di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

1.4Manfaat Penelitian

  1. Memberikan bahan informasi ilmiah tentang distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle dan bentuk-bentuk umum maloklusi pada pasien yang dirawat di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009 – 2013

  2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya

  3. Bagi praktisi, dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan lebih memperhatikan hal-hal yang dapat menyebabkan maloklusi dan dapat menentukan rencana perawatan yang tepat pada macam-macam bentuk maloklusi