Distribusi Maloklusi pada Pasien di Departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU Tahun 2009-2013

(1)

DISTRIBUSI MALOKLUSI BERDASARKAN

KLASIFIKASI ANGLE PADA PASIEN

DI DEPARTEMEN ORTODONSIA

RSGMP FKG USU TAHUN

2009-2013

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperolehgelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

ANDIRA RETNO UTAMI NIM: 110600139

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ortodonsia Tahun 2015

Andira Retno Utami

Distribusi Maloklusi Berdasarkan Klasifikasi Angle pada Pasien di Departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU Tahun 2009-2013

xi + 53 halaman

Maloklusi merupakan masalah kesehatan mulut dengan prevalensi yang ketiga tertinggi setelah karies dan penyakit periodontal. Derajat keparahan maloklusi berbeda-beda pada setiap individu. Distribusi maloklusi menunjukkan hasil yang berbeda-beda dengan prevalensi cukup tinggi pada setiap populasi di seluruh belahan dunia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle dan melihat apakah terdapat perbedaan distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013 antara laki-laki dan perempuan. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Populasi penelitian adalah seluruh rekam medik dan model studi pasien di klinik S-1 departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013. Pemilihan sampel dilakukan menggunakan metode purposive sampling

berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Besar sampel pada penelitian ini adalah 385 sampel dengan jumlah 77 sampel setiap tahunnya. Penelitian dilakukan dengan mencatat data pasien sesuai rekam medik kemudian dilakukan pengamatan pada model studi pasien untuk mendapatkan data mengenai bentuk-bentuk maloklusi.

Hasil penelitian menunjukkan 41,6 % sampel memiliki hubungan molar Klas I Angle, 26,8 % Klas II subdivisi, 18,4 % Klas II divisi 1, 5,7 % Klas III subdivisi, 4,7 % Klas II divisi 2 dan 2,9 % Klas III. Distrbusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle tidak menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Bentuk maloklusi yang paling umum adalah crowding rahang bawah (49,6 %), crossbite


(3)

memiliki overjet normal, 19,5 % overjet berlebih, 69,6 % sampel memiliki overbite normal, 14 % deep bite, 9,4 % edge to edge dan 7,8 % open bite. Bentuk maloklusi

deep bite menunjukkan adanya perbedaan distribusi berdasarkan jenis kelamin. Daftar rujukan: 37 (1975 – 2014).


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 16 Maret 2015

Pembimbing: Tanda tangan

Mimi Marina Lubis, drg., Sp.Ort


(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 16 Maret 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Mimi Marina Lubis, drg., Sp.Ort ANGGOTA : 1. Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort (K)


(6)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Distribusi Maloklusi pada Pasien di Departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU Tahun 2009-2013” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat banyak bimbingan dan bantuan dari pelbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort., sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort (K) sebagai Ketua Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Hilda Fitria Lubis, drg., Sp.Ort., sebagai koordinator skripsi di Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

4. Mimi Marina Lubis, drg., Sp.Ort., sebagai pembimbing yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort (K) dan Erliera, drg., Sp.Ort., sebagai penguji yang telah memberikan saran dan masukan untuk penulis.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Ortodonsia Universitas Sumatera Utara atas bantuan dan motivasinya.

7. Yumi Lindawati, drg., sebagai dosen pembimbing akademik atas motivasi dan bantuannya kepada penulis selama masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

8. Maya Fitria, SKM., M.Kes., sebagai pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara atas bantuannya kepada penulis dalam analisis statistik.


(7)

v

9. Sahabat-sahabat penulis yaitu Rahmad, Yudith, Rica, Maya, Sukma dan Keyke yang selalu membantu dalam segala hal; teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Ortodonsia yaitu Jessica, Ulfa, Octavina, Salahuddin, Ulfah, Rahmy serta teman-teman angkatan 2011, senior, dan junior lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan selama pengerjaan skripsi.

Rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Gugus Gunawan dan Ibunda Adriana Eka Syahputri atas segala kasih sayang, doa, dan dukungan serta bantuan baik berupa moral ataupun materi kepada penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada saudari penulis yaitu Andiva Liesty Amelia yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, khususnya di Departemen Ortodonsia.

Medan, 16 Maret 2015 Penulis,

( Andira Retno Utami )


(8)

vi DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR GRAFIK ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Periode gigi geligi ... 7

2.1.1 Periode gigi desidui ... 7

2.1.2 Periode gigi bercampur ... .. 10

2.1.3 Periode gigi permanen ... ... 13

2.2 Oklusi ... 13

2.3 Maloklusi ... 17

2.3.1 Definisi ... 17

2.3.2 Klasifikasi ... 17

2.3.2.1 Klasifikasi maloklusi oleh Angle ... 18

2.3.2.2 Klasifikasi maloklusi oleh Dewey... ... 23

2.3.2.3 Klasifikasi maloklusi oleh Lischer... .. 23


(9)

vii

2.3.4 Prevalensi ... 24

2.3.5 Bentuk umum maloklusi ... 25

2.3.5.1Crowding ... 25

2.3.5.2 Spacing ... 26

2.3.5.3Crossbite ... 27

2.3.5.4 Overbite ... 28

2.3.5.5 Overjet ... 29

2.4 Kerangka Teori ... 30

2.5 Kerangka Konsep ... 31

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 32

3.2Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

3.3 Populasi Penelitian ... 32

3.4 Sampel Penelitian ... 32

3.4.1 Kriteria Inklusi ... 33

3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 33

3.5Variabel Penelitian ... 33

3.6 Definisi Operasional ... 34

3.7 Alat dan Bahan Penelitian... ... 36

3.8Metode Pengumpulan Data ... 37

3.9 Pengolahan dan Analisis Data ... 38

3.10 Etika Penelitian ... 38

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 39

BAB 5 PEMBAHASAN ... 43

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 48

6.2 Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50 LAMPIRAN


(10)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Kronologi erupsi gigi desidui menurut Kronfeld R... 8 2

3

4

Kronologi erupsi gigi permanen menurut Kronfeld R... Distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013... Distribusi bentuk-bentuk umum maloklusi pada pasien di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013...

11

39


(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Celah anthropoid/simian/primata... 9 2 Hubungan molar pada periode gigi desidui... 10 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Hubungan oklusal molar permanen dan desidui... Relasi molar antar rahang... Angulasi mahkota... Inklinasi mahkota... Tidak terdapat rotasi... Kontak rapat...

Curve of Spee... Oklusi normal... Maloklusi Klas I Angle... Maloklusi Klas II Angle... Maloklusi Klas II divisi 1 Angle... Maloklusi Klas II divisi 2 Angle... Maloklusi Klas III Angle... Molar Klas I Angle dengan crowding...

Spacing (gigi bercelah) ...

Crossbite anterior dan crossbite posterior... Perbandingan overbite dan open bite...

Open bite dan deep bite... Overjet... 12 14 14 15 15 16 16 17 19 20 20 21 22 26 27 28 28 29 29


(12)

x

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

1 Distribusi usia pasien pada masa gigi bercampur di departemen


(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1 Form Pemeriksaan Rekam Medik dan Model Studi

2 Data Hasil Pengamatan Maloklusi pada Pasien di Departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU Tahun 2009-2013

3 Hasil Perhitungan Statistik Uji Deskriptif Distribusi Maloklusi pada Pasien di Departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU Tahun 2009-2013

4 Hasil Statistik Uji Chi Square Distribusi Maloklusi pada Pasien di Departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU Tahun 2009-2013 berdasarkan Jenis Kelamin 5 Persetujuan Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Maloklusi dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaksesuaian dari hubungan gigi atau rahang yang menyimpang dari normal.1 Maloklusi merupakan sebuah penyimpangan yang tidak dapat diterima secara estetis maupun fungsional dari oklusi ideal.2 Selain itu, maloklusi juga dianggap sebagai hubungan yang menyimpang antara gigi geligi pada rahang atas dan rahang bawah.3 Maloklusi dapat menyebabkan tampilan wajah yang buruk, resiko karies, penyakit periodontal, perubahan pada bicara, mastikasi, disfungsi sendi temporomandibula dan nyeri orofasial.1,4

Derajat keparahan maloklusi berbeda-beda dari rendah ke tinggi yang menggambarkan variasi biologi individu.1 Bentuk-bentuk penyimpangan ini harus dikelompokkan kedalam kategori-kategori yang lebih kecil sehingga diperlukan klasifikasi maloklusi.5 Klasifikasi maloklusi merupakan deskripsi penyimpangan dentofasial berdasarkan karakterisktik umum.6 Bermacam sistem klasifikasi maloklusi telah dikenalkan diantaranya adalah klasifikasi maloklusi oleh Angle, Bennette, Simon dan Ackerman-Profitt. Selain itu, juga terdapat modifikasi klasifikasi maloklusi Angle oleh Dewey dan Lischer.5,6 Klasifikasi maloklusi Angle merupakan sistem klasifikasi maloklusi yang paling sering digunakan hingga saat ini.6

Pada 1899, Edward Angle memperkenalkan klasifikasi maloklusi berdasarkan relasi mesial distal gigi, lengkung dental dan rahang. Klasifikasi Angle ini masih digunakan hingga sekarang karena sederhana untuk diterapkan.5,6 Angle berpendapat molar satu permanen maksila adalah kunci oklusi. Berdasarkan relasi molar satu permanen mandibula dengan molar satu permanen maksila, Angle mengklasifikasikan maloklusi kedalam tiga Klas utama yaitu Klas I, Klas II, dan Klas III.2,5-7


(15)

Maloklusi memiliki penyebab yang multifaktorial dan hampir tidak pernah memiliki satu penyebab yang spesifik.8 Beberapa klasifikasi etiologi maloklusi sudah dikenalkan, salah satunya adalah klasifikasi etiologi maloklusi menurut Graber yang membagi etiologi maloklusi dalam dua kelompok besar yaitu faktor umum dan lokal.Faktor umum yang menjadi etiologi maloklusi diantaranya adalah herediter, kongenital, lingkungan, nutrisi, trauma, kebiasaan dan lain-lain. Sedangkan faktor lokal yang menjadi etiologi maloklusi diantaranya adalah anomali jumlah gigi, anomali ukuran gigi, premature loss gigi desidui, persistensi gigi desidui, karies dan lain-lain.5,6

Selama beberapa tahun, studi telah dilakukan untuk mengetahui prevalensi maloklusi pada populasi yang berbeda-beda.9-11 Prevalensi maloklusi bervariasi di seluruh belahan dunia pada berbagai populasi yang berdasarkan pada umur, ras, genetik dan faktor lingkungan.2,3 Studi yang dilakukan mendapatkan hasil yang bervariasi meskipun pada populasi yang sama. Variabel seperti perbedaan klasifikasi maloklusi, umur sampel, periode perkembangan sampel, perbedaan pendapat peneliti mengenai oklusi normal dan perbedaan pada besar sampel dapat mempengaruhi hasil penelitian.9-11 Meskipun begitu, menentukan frekuensi tipe-tipe maloklusi pada suatu populasi dapat memberikan informasi yang bernilai.10 Data dari WHO menunjukkan bahwa maloklusi adalah masalah kesehatan mulut ketiga paling penting karena memiliki prevalensi tertinggi ketiga setelah karies dan penyakit periodontal.4,8

Beberapa penelitian mengenai prevalensi maloklusi telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Wijanarko menemukan bahwa prevalensi maloklusi pada anak SMP usia 12-14 tahun di Jakarta mencapai 83,3 % menduduki urutan ketiga setelah karies dan penyakit periodontal.1 Oshagh dkk melaporkan bahwa prevalensi maloklusi Klas I, Klas II dan Klas III pada anak usia sekolah yang datang ke departemen ortodonsia di Universitas Shiraz, Iran, adalah 52,0 %, 32,6 % dan 12,3 % secara berturut-turut.9 Penelitian lain yang dilakukan oleh Bittencourt dan Machado pada anak usia 6-10 tahun di Brazil menunjukkan hanya 14,83 % anak yang memiliki oklusi normal sedangkan 85,17 % sisanya memiliki maloklusi yaitu 57,24 % maloklusi Klas I, 21,73 % Klas II dan 6,2 % Klas III.8


(16)

Penelitian maloklusi gigi permanen pada ras Arya dan Mongoloid yang dilakukan oleh Baral menunjukkan 61,3 % ras Arya dan 64 % ras Mongoloid memiliki maloklusi Klas I. Untuk maloklusi Klas II divisi 1 yaitu 25,2 % pada ras Arya dan 17,9 % pada ras Mongoloid sedangkan maloklusi Klas II divisi 2 memiliki prevalensi yang lebih rendah yaitu 5,3 % pada ras Arya dan 2,5 % pada ras Mongoloid. Maloklusi Klas III terdapat pada 8,2 % ras Arya dan 15,6 % ras Mongoloid.3

Thilander dkk., melakukan penelitian di Bogota mengenai maloklusi berdasarkan tahap perkembangan dental. Hasil penelitian tersebut menunjukkan maloklusi Klas II sebanyak 20,8 % yaitu 14,9 % pada Klas II divisi 1dan 5,9 % pada Klas II divisi 2. Prevalensi tersebut meningkat seiring dengan meningkatnya umur hingga masa gigi bercampur yaitu mencapai 24,9 % dan menurun pada masa gigi permanen yaitu sebanyak 18,5 %. Prevalensi maloklusi Klas III tercatat 3,7 % dan meningkat dengan bertambahnya usia. Pengamatan terhadap perbedaan antara periode perkembangan dental menunjukkan prevalensi menurun pada Klas II tetapi meningkat pada prevalensi Klas III terutama pada masa akhir gigi bercampur ke masa gigi permanen yang merupakan periode rata-rata percepatan pertumbuhan mandibula.11

Penelitian oleh Wijayanti dkk., mengenai maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia 9-11 tahun di Jakarta menunjukkan bahwa dari 98 subjek, 65,3 % memiliki maloklusi Klas I, 31,6 % Klas II dan 3,1 % Klas III. 76,5 % diantaranya membutuhkan perawatan ortodonti dan 23,5 % sisanya tidak.1 Berdasarkan hasil-hasil penelitian diatas, maloklusi Klas I adalah bentuk maloklusi dengan prevalensi tertinggi baik berdasarkan ras maupun umur.

Terdapat beberapa bentuk umum maloklusi diantaranya adalah crowding,

spacing,deepbite, crossbite maupun openbite.5,17 Crowding atau gigi berjejal dapat didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara ukuran gigi dan panjang lengkung.5,12 Prevalensi terjadinya crowding adalah 5% hingga 80% pada populasi yang berbeda-beda.13 Dari hasil penelitian Wijanarko di Jakarta menyatakan dari 270 sampel pada anak berusia 12-14 tahun diperoleh dental crowding sebesar 44,9% dan merupakan


(17)

prevalensi maloklusi tertinggi diantara lainnya.14 Penelitian maloklusi gigi permanen pada ras Arya dan Mongoloid yang dilakukan oleh Baral menunjukkan prevalensi

crowding pada ras Arya adalah 46,6 % sedangkan pada ras Mongoloid adalah 48,1

%.3

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sidlauskas pada 1681 anak usia 7-15 tahun di Lithuania menunjukkan 38,4 % crowding terjadi pada rahang atas sedangkan 35,4 % terjadi pada rahang bawah.15 Penelitian yang dilakukan oleh Mugonzibwa menyatakan bahwa secara umum, crowding lebih banyak terjadi pada rahang bawah daripada rahang atas dan prevalensi crowding lebih rendah pada ras Afrika yaitu sebesar 0-13,3 % daripada ras Kaukasian yaitu sebesar 6,1-38,7 % secara signifikan.13Hasil penelitian Thilander menunjukkan bahwa 50,6 % crowding terjadi pada masa gigi bercampur awal dan 55,7% pada masa gigi bercampur akhir.11

Spacing(gigi bercelah) merupakan keadaan yang normal pada masa gigi

desidui tetapi pada masa gigi permanen merupakan keadaan yang abnormal.5 Spacing

terjadi akibat berlebihnya panjang lengkungmaupun akibat tidak adanya gigi.2,16 Gigi bercelah jarang ditemukan pada ras Kaukasian.2Prevalensi spacing berkisar antara 6% hingga 50%.13 Hasil penelitian oleh Mugonzibwa menunjukkan bahwa spacing

lebih banyak ditemukan pada rahang atas.13 Penelitian lain yang dilakukan oleh Wijanarko menunjukkan prevalensi terjadinya spacing pada remaja adalah 16,7 %.14Penelitian oleh Thilander menunjukkan spacing pada masa gigi bercampur awal adalah 15, 1 % sedangkan pada masa gigi bercampur akhir adalah 18,5 %.11

Prevalensi terjadinya deepbiteberdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sidlauskas adalah 13,26 % pada anak usia 7-9 tahun, 16,94 % pada usia 10-12 tahun dan 12,58% pada usia 13-15 tahun.15 Prevalensi terjadinya crossbiteberdasarkan hasil penelitian Oshagh adalah 36% yaitu 17 % crossbite anterior dan 19 %

crossbiteposterior sedangkan prevalensi terjadinya openbite adalah 11%.9 Penelitian lain mengenai prevalensi openbite adalah penelitian oleh Sidlauskas yang mengelompokkan berdasarkan usia yaitu 5,53% pada anak usia 7-9 tahun, 2,43% pada anak usia 10-12 tahun dan 4,64% pada anak usia 13-15 tahun.15


(18)

Berdasarkan uraian penelitian-penelitian sebelumnya bahwa prevalensi maloklusi yang terjadi di beberapa negara tinggi dan sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian mengenai distribusi maloklusi di FKG USU, maka peneliti tertarik untuk mengetahui distribusi maloklusi pada pasien yang dirawat di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU.

1.2Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013?

2. Apakah terdapat perbedaan distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013 berdasarkan jenis kelamin ?

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

2.Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013 berdasarkan jenis kelamin

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui distribusi bentuk-bentuk umum maloklusi pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

2. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan distribusi bentuk-bentuk umum maloklusi pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013 berdasarkan jenis kelamin

3. Untuk mengetahui distribusi usia pasien pada masa gigi bercampur di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013


(19)

1.4Manfaat Penelitian

1. Memberikan bahan informasi ilmiah tentang distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle dan bentuk-bentuk umum maloklusi pada pasien yang dirawat di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009 – 2013

2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya

3. Bagi praktisi, dengan adanya hasil penelitian ini, diharapkan lebih memperhatikan hal-hal yang dapat menyebabkan maloklusi dan dapat menentukan rencana perawatan yang tepat pada macam-macam bentuk maloklusi


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Periode Gigi Geligi 2.1.1Periode Gigi Desidui

Pembentukan benih gigi desidui terjadi selama enam minggu pertama pada intra uterin. Gigi desidui mulai erupsi pada umur sekitar 6 bulan. Erupsi seluruh gigi desidui secara lengkap adalah pada umur 2,5 - 3,5 tahun ketika molar dua desidui mencapai oklusi. Insisivus sentralis mandibula adalah gigi pertama yang erupsi yaitu sekitar usia 6-7 bulan.5 Adapun usia rata-rata erupsi gigi desidui menurut Kronfeld R dapat dilihat pada tabel 1.

Variasi waktu erupsi gigi geligi adalah sekitar 3 bulan dari usia rata-rata termasuk normal.5 Periode gigi desidui dimulai pada usia 6 bulan yaitu saat erupsi gigi desidui pertama yang biasanya adalah insisivus sentralis mandibula dan berakhir ketika erupsi molar satu permanen pada usia 6 tahun. Ketika usia 2,5 tahun, gigi desidui biasanya sudah lengkap dan berfungsi penuh. Pembentukan akar lengkap pada seluruh gigi desidui adalah pada usia 3 tahun.6

Periode gigi desidui memiliki beberapa tanda normal, yaitu: 5,6

a. Anterior spacing

Spacing biasanya terjadi pada periode gigi desidui. Celah ini disebut celah fisiologis. Adanya celah ini penting untuk perkembangan yang normal pada masa gigi permanen. Apabila tidak ada celah pada periode gigi desidui, dapat mengindikasikan terjadinya crowding saat gigi permanen erupsi karena ukuran gigi permanen yang lebih besar.


(21)

Tabel 1. Kronologi erupsi gigi desidui menurut Kronfeld R18 Gigi Saat

pembentukan jaringan keras gigi Jumlah enamel yang terbentuk saat lahir Pembentuk an enamel secara lengkap

Erupsi Pembentu kan akar secara lengkap Rahang Atas Insisivus sentralis

4 m.i.u 5/6 1,5 bulan 7,5 bulan 1,5 tahun

Insisivus lateral

4,5 m.i.u 2/3 2,5 bulan 9 bulan 2 tahun

Kaninus 5 m.i.u 1/3 9 bulan 18 bulan 3,25 tahun Molar

satu

5 m.i.u Penyatuan

cusp

6 bulan 14 bulan 2,5 tahun

Molar dua

6 m.i.u Ujung cusp

masih tertutup

11 bulan 24 bulan 3 tahun

Rahang Bawah Insisivus

sentralis

4,5 m.i.u 3/5 2,5 bulan 6 bulan 1,5 tahun

Insisivus lateral

4,5 m.i.u 3/5 3 bulan 7 bulan 1,5 tahun

Kaninus 5 m.i.u 1/3 9 bulan 16 bulan 3,25 tahun Molar

satu

5 m.i.u Penyatuan

cusp

5,5 bulan 12 bulan 2,25 tahun

Molar dua

6 m.i.u Ujung cusp

masih tertutup

10 bulan 20 bulan 3 tahun


(22)

b. Celah anthropoid/simian/primata

Celah ini terdapat pada bagian mesial kaninus maksila dan distal kaninus mandibula yang digunakan untuk interdigitasi cusp kaninus pada lengkung antagonis. Celah ini dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Celah anthropoid

/simian/primata6

c. Overjet dan overbite yang dangkal d. Inklinasi vertikal pada gigi anterior e. Bentuk rahang ovoid

f. Relasi flush terminal plane (lurus)

Relasi mesio-distal antara permukaan distal molar dua desidui maksila dan mandibula disebut terminal plane.5 Gambaran normal pada gigi desidui adalah flush terminal plane (lurus) dimana permukaan distal molar dua desidui maksila dan mandibula terletak pada bidang vertikal yang sama karena lebar mesiodistal molar mandibula lebih besar daripada lebar mesiodistal molar maksila.6 Hubungan molar pada periode gigi desidui dapat diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:6

1. Flush terminal plane, yaitu permukaan distal molar dua desidui maksila dan mandibula terletak pada bidang vertikal yang sama

2. Mesial step, yaitu permukaan distal molar dua desidui mandibula terletak sebelah mesial dari permukaan distal molar dua desidui maksila


(23)

3. Distal step, yaitu permukaan distal molar dua desidui mandibula terletak sebelah distal dari permukaan distal molar dua desidui maksila

Gambar 2. Hubungan molar pada periode gigi desidui a. Flush terminal plane, b.Mesial step, c. Distal step6

2.1.2 Periode Gigi Bercampur

Periode ini merupakan periode ketika gigi desidui dan gigi permanen terlihat yang dimulai pada usia 6 tahun saat erupsi molar satu permanen hingga usia 12 tahun.5,6 Adapun usia rata-rata erupsi gigi permanen dapat dilihat pada tabel 2.

Pada umumnya, maloklusi terjadi pada periode ini.6 Periode ini dibagi dalam 3 fase, yaitu:5

1. Periode transisi pertama

Erupsi molar satu permanen dan transisi gigi insisivus merupakan

a


(24)

karakteristik periode ini.5,6

- Erupsi molar satu permanen

Molar satu permanen mandibula adalah gigi permanen pertama yang erupsi yaitu pada usia 6 tahun.5 Gigi ini berperan penting dalam oklusi gigi permanen.6 Erupsi molar satu permanen dipandu oleh permukaan distal molar dua desidui. Letak dan hubungan molar satu permanen tergantung pada hubungan permukaan distal antara molar dua desidui maksila dan mandibula yang ditunjukkan oleh gambar 3.5 Tabel 2. Kronologi erupsi gigi permanen menurut Kronfeld R18

Gigi Saat

pembentukan jaringan keras gigi

Pembentukan enamel secara lengkap

Erupsi Pembentukan akar secara lengkap

Rahang Atas Insisivus sentralis

3-4 bulan 4-5 tahun 7-8 tahun 10 tahun

Insisivus lateral

10-12 bulan 4-5 tahun 8-9 tahun 11 tahun

Kaninus 4-5 bulan 6-7 tahun 11-12 tahun 13-15 tahun Premolar satu 1,5-1,75

tahun

5-6 tahun 10-11 tahun 12-13 tahun

Premolar dua 2-2,25 tahun 6-7 tahun 10-12 tahun 12-14 tahun Molar satu Saat lahir 2,5-3 tahun 6-7 tahun 9-10 tahun Molar dua 2,5-3 tahun 7-8 tahun 12-13 tahun 14-16 tahun Molar tiga 7-9 tahun 12-16 tahun 17-21 tahun 18-25 tahun Rahang Bawah

Insisivus sentralis

3-4 bulan 4-5 tahun 6-7 tahun 9 tahun


(25)

lateral

Kaninus 4-5 bulan 6-7 tahun 9-10 tahun 12-14 tahun Premolar satu 1,75-2 tahun 5-6 tahun 10-12 tahun 12-13 tahun Premolar dua 2,25-2,5

tahun

6-7 tahun 11-12 tahun 13-14 tahun

Molar satu Saat lahir 2,5-3 tahun 6-7 tahun 9-10 tahun Molar dua 2,5-3 tahun 7-8 tahun 11-13 tahun 14-15 tahun Molar tiga 8-10 tahun 12-16 tahun 17-21 tahun 18-25 tahun

Gambar 3. Hubungan oklusal molar permanen dan desidui6

- Erupsi gigi insisivus

Pada periode transisi pertama, insisivus desidui digantikan oleh insisivus permanen. Insisivus sentralis mandibula biasanya merupakan gigi yang pertama erupsi.Insisivus permanen erupsi lebih ke lingual dan ukurannya lebih besar dari insisivus desidui yang mereka gantikan. Perbedaan antara jumlah ruang yang dibutuhkan untuk akomodasi insisivus dan jumlah ruang yang tersedia disebut incisal


(26)

liability.Ukuran incisal liability ini biasanya 7 mm pada maksila dan 5 mm pada mandibula.5

2. Periode intertransisional

Periode ini merupakan fase yang stabil dimana hanya sedikit perubahan terjadi. Diantara insisivus permanen dan molar satu permanen terdapat molar dan kaninus desidui.5,6

3. Periode transisi kedua

Karakteristik dari fase ini adalah tanggalnya molar dan kaninus desidui sekitar usia 10 tahun yang digantikan oleh premolar dan kaninus permanen. Lebar mesiodistal premolar dan kaninus permanen biasanya kurang dari lebar mesiodistal kaninus dan molar desidui. Ruang berlebih ini biasanya disebut leeway space of Nance dimana pada maksila adalah sekitar 1,8 mm dan 3,4 mm pada mandibula.5

2.1.3 Periode Gigi Permanen

Urutan erupsi gigi permanen bervariasi.5,6 Urutan yang paling sering terlihat pada maksila adalah: 6-1-2-4-3-5-7 atau 6-1-2-4-5-3-7 sedangkan pada mandibula adalah: 6-1-2-4-5-3-7 atau 6-1-2-3-4-5-7.6

Pada usia 13 tahun, seluruh gigi permanen telah erupsi sempurna kecuali gigi molar tiga. Gambaran pada periode gigi permanen adalah sebagai berikut:6

a. Midline yang berhimpit

b. Hubungan molar Klas I pada molar satu permanen

c. Overbite vertikal sekitar ⅓ tinggi mahkota insisivus sentralis mandibular d. Curve of Spee yang berkembang selama transisi dan menjadi stabil pada masa dewasa

2.2 Oklusi

Kata “oklusi” memiliki dua aspek, yaitu statis dan dinamis. Oklusi statis berupa bentuk, susunan dan artikulasi gigi serta hubungan gigi terhadap struktur pendukungnya. Oklusi dinamis berupa fungsi sistem stomatognasi sebagai struktur


(27)

pendukung, sendi temporomandibula, neuromuskular dan nutrisi. Angle mendefinisikan oklusi sebagai relasi normal bidang oklusal gigi ketika rahang tertutup. Oklusi merupakan suatu hubungan kompleks yang melibatkan gigi, ligamen periodontal, rahang, sendi temporomandibula, otot dan sistem saraf.5,16

Terdapat enam kunci oklusi normal menurut Andrew, yaitu :5 1. Relasi molar antar rahang

Cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas harus berkontak dengan

groove antara cusp mesial dan medial bukal dari gigi molar satu rahang bawah.

Cuspmesiolingual molar satu rahang atas harus berkontak dengan fossa sentralis molar satu rahang bawah seperti yang terlihat pada gambar 4.

Gambar 4. Relasi molar antar rahang6

2. Angulasi mahkota mesiodistal

Kunci kedua terbentuk menggunakan garis yang melewati aksis panjang mahkota yang menuju bagian paling menonjol pada pertengahan permukaan labial atau bukal. Garis ini disebut aksis panjang mahkota klinis. Sebuah oklusi dianggap normal jika bagian gingival dari aksis panjang mahkota terletak sebelah distal dari bagian oklusal garis. Setiap gigi memiliki angulasi mahkota yang berbeda-beda seperti yang terlihat pada gambar 5.


(28)

Gambar 5. Angulasi mahkota5

3. Inklinasi mahkota labio-lingual

Inklinasi mahkota dilihat dari sebelah mesial atau distal. Apabila area gingival mahkota terletak lebih ke lingual daripada area oklusal, disebut inklinasi mahkota positif. Apabila area gingival mahkota terletak lebih ke labial atau bukal daripada area oklusal maka disebut dengan inklinasi mahkota negatif. Insisivus maksila memiliki inklinasi mahkota positif sedangkan insisivus mandibula menunjukkan inklinasi mahkota negatif yang ringan. Gigi posterior maksila dan mandibula memiliki inklinasi mahkota negatif seperti yang terlihat pada gambar 6.

Gambar 6. Inklinasi mahkota6


(29)

Pada oklusi normal tidak terdapat rotasi. Rotasi gigi posterior menyebabkan ruang berlebih pada rahang sedangkan rotasi insisivus menyebabkan berkurangnya ruang pada rahang seperti yang terlihat pada gambar 7.

Gambar 7. Tidak terdapat rotasi6 5. Kontak rapat

Sebuah oklusi dikategorikan normal apabila terdapat kontak rapat dengan gigi tetangga seperti yang terlihat pada gambar 8.

Gambar 8. Kontak rapat6

6. Curve of Spee

Bidang oklusal normal menurut Andrew harus datar dengan curve of Spee


(30)

Gambar 9. Curve of Spee6

Oklusi normal dalam bidang ortodonti merupakan oklusi Klas I Angle. Kunci pada klasifikasi ini adalah molar satu permanen. Cusp mesiobukal molar satu rahang atas harus beroklusi atau kontak dengan mesiobukal groove molar satu permanen rahang bawah.6 Oklusi normal memiliki relasi molar Klas I dan susunan gigi tepat pada garis oklusiseperti yang terlihat pada gambar 10.19

Gambar 10. Oklusi normal20

2.3 Maloklusi 2.3.1 Definisi

Maloklusi dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaksesuaian dari hubungan gigi atau hubungan rahang yang menyimpang dari normal.1 Maloklusi merupakan sebuah penyimpangan yang tidak dapat diterima secara estetis maupun fungsional dari oklusi ideal.2 Selain itu, maloklusi juga dianggap sebagai hubungan yang menyimpang antara gigi geligi pada rahang atas dan rahang bawah.3


(31)

Derajat keparahan maloklusi berbeda-beda dari rendah ke tinggi yang menggambarkan variasi biologi individu.1 Bentuk-bentuk penyimpangan ini harus dikelompokkan kedalam kategori-kategori yang lebih kecil sehingga diperlukan klasifikasi maloklusi.5 Klasifikasi maloklusi merupakan deskripsi penyimpangan dentofasial berdasarkan karakterisktik umum.Berdasarkan bagian pada oral dan maksilofasial yang mengalami penyimpangan, maloklusi dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:6

1. Malposisi gigi individual

Malposisi gigi individual merupakan malposisi masing-masing gigi terhadap gigi tetangga yang berada pada rahang yang sama maka disebut juga intra-arch malocclusion. Bentuk-bentuk dari malposisi gigi individual ini adalah seperti inklinasi mesial, inklinasi distal, inklinasi lingual, inklinasi labial/bukal, infra oklusi, supra oklusi, rotasi dan transposisi.

2. Malrelasi rahang

Maloklusi ini memiliki karakteristik adanya relasi abnormal antara gigi atau sekelompok gigi pada satu rahang dengan rahang lain maka disebut juga inter-arch malrelation. Malrelasi ini dapat terjadi dalam tiga bidang, yaitu sagital, vertikal dan transversal.

3. Maloklusi skeletal

Maloklusi ini terjadi akibat defek pada struktur skeletal itu sendiri. Defek tersebut dapat berupa defek ukuran, posisi atau hubungan antara tulang rahang.

Selain klasifikasi di atas, beberapa ahli telah mengemukakan klasifikasi maloklusi, yaitu:


(32)

Pada 1899, Edward Angle memperkenalkan klasifikasi maloklusi berdasarkan relasi mesio-distal gigi, lengkung dental dan rahang. Klasifikasi Angle ini masih digunakan hingga sekarang karena sederhana untuk diterapkan.5,6 Angle berpendapat molar satu permanen maksila adalah kunci oklusi. Berdarsakan relasi molar satu permanen mandibula dengan molar satu permanen maksila, Angle mengklasifikasikan maloklusi kedalam tiga Klas utama yaitu Klas I, Klas II, dan Klas III.2,5-7,19,21-22

a. Maloklusi Klas I

Maloklusi Klas I Angle menunjukkan relasi molar yang normal. Cusp

mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi pada bukal groove molar satu permanen rahang bawah.5Pada maloklusi Klas I Angle ini, garis oklusi tidak tepat akibat adanya satu atau lebih gigi yang malposisi maupun rotasi tetapi tidak mempengaruhi hubungan normal molar satu permanenseperti yang terlihat pada gambar 11.19,21 Pada maloklusi Klas I dapat terlihat beberapa manifestasi seperti

crowding, spacing, rotasi, gigi yang hilang, dll. Maloklusi Klas I memiliki relasi skeletal normal dan juga fungsi otot yang normal. Faktor lokal yang menyebabkan maloklusi Klas I dapat berupa gigi impaksi, anomali ukuran, jumlah dan bentuk gigi yang mengakibatkan maloklusi yang terlokalisasi. Maloklusi lain yang sering dikategorikan sebagai Klas I adalah bimaksilari protrusi dimana pasien memiliki hubungan molar Klas I tetapi gigi geligi pada rahang atas dan bawah terletak di posisi yang lebih maju sehingga mempengaruhi profil wajah.5

Rahang bawah terletak pada relasi mesiodistal yang normal terhadap rahang atas, dengan posisi cusp mesiobukal molar satu rahang atas beroklusi dengan groove

bukal molar satu permanen rahang bawah dan cusp mesiolingual molar satu permanen rahang atas beroklusi dengan fossa oklusal molar satu permanen rahang bawah ketika rahang dalam posisi istirahat dan gigi dalam keadaan oklusi sentrik.6

Pada maloklusi Klas I, ujung gigi kaninus atas berada pada bidang vertikal yang sama seperti ujung distal gigi kaninus bawah. Gigi premolar atas berinterdigitasi dengan cara yang sama dengan gigi premolar bawah. Jika gigi insisivus berada pada inklinasi yang tepat, overjet insisal adalah sebesar 3 mm.7


(33)

Gambar 11. Maloklusi Klas I Angle20

b. Maloklusi Klas II

Maloklusi ini memiliki karakteristik cusp distobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi dengan groove bukal molar satu permanen rahang bawah(gambar 12).5 Rahang mandibula dalam posisi lebih ke distal daripada rahang maksila pada maloklusi Klas II ini. Cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi dengan ruang diantara cusp mesiobukal molar satu permanen rahang bawah dan dengan bagian distal premolar dua rahang bawah. Selain itu, cusp

mesiolingual molar satu permanen rahang atas beroklusi lebih ke mesial dari cusp

mesiolingual molar satu permanen rahang bawah.6

Gambar 12. Maloklusi Klas IIAngle20

Berdasarkan angulasi labiolingual insisivus rahang atas, Angle mengklasifikasikan maloklusi Klas II dalam dua divisi, yaitu:5,6


(34)

Maloklusi Klas II divisi 1 memiliki karakteristik adanya proklinasi atau labioversi insisivus rahang atas5,6 sehingga overjet meningkat (gambar 13).5 Overbite yang berlebih pada regio anterior dapat terjadi. Pada maloklusi ini juga menunjukkan adanya aktivitas otot yang abnormal. Bibir atas biasanya hipotonik, pendek dan inkompeten. Bibir bawah berkontak dengan bagian palatal gigi rahang atas merupakan salah satu gambaran Klas II divisi 1 yang disebut sebagai “lip trap”.5

Gambar 13. Maloklusi Klas II divisi 1 Angle6 2. Klas II divisi 2

Maloklusi Klas II divisi 2 juga memiliki relasi molar Klas II tetapi karakteristik maloklusi ini adalah adanya inklinasi lingual atau lingoversi gigi insisivus sentralis rahang atas dan insisivus lateral rahang atas yang lebih ke labial ataupun mesial sehingga overlap pada insisivus sentralis (gambar 14).5,6 Pada maloklusi Klas II divisi 2 biasanya pasien menunjukkan overbite anterior yang berlebih (deep anterior overbite).5

Gambar 14. Maloklusi Klas II divisi 2 Angle6


(35)

Ketika relasi molar Klas II terjadi pada satu sisi rahang saja maka maloklusi tersebut adalah sebagai subdivisi dari divisi yang terlibat.6 Contohnya apabila relasi molar Klas II pada satu sisi rahang baik divisi 1 maupun divisi 2 dan relasi molar Klas I pada sisi lainnya maka dapat disebut sebagai Klas II divisi 1 subdivisi atau Klas II divisi 2 subdivisi.5

c. Maloklusi Klas III

Maloklusi ini memiliki relasi molar Klas III dimana rahang bawah dalam hubungan mesial terhadap rahang atas, yaitu cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi dengan ruang interdental diantara molar satu dan molar dua permanen rahang bawah seperti yang terlihat pada gambar 15.5,6

Gambar 15. Maloklusi Klas III Angle20

Maloklusi Klas III dapat diklasifikasikan dalam true Class III dan pseudo Class III5,6

a. True Class III

Ini merupakan maloklusi Klas III skeletal yang berasal dari genetik dimana dapat terjadi akibat beberapa hal berikut:5

• Ukuran mandibula yang berlebih

• Maksila yang lebih kecil dari ukuran normal • Kombinasi penyebab-penyebab di atas


(36)

Insisivus rahang bawah memiliki inklinasi lebih ke lingual. Pasien dengan maloklusi ini dapat menunjukkan overjet normal, relasi insisivus edge to edge

ataupun crossbite anterior.5 b. Pseudo Class III

Maloklusi ini dihasilkan dari pergerakan ke depan mandibula ketika penutupan rahang sehingga disebut juga maloklusi Klas III ‘postural’ atau ‘habitual’.5 Mandibula pada maloklusi ini bergerak pada anterior fossa glenoid akibat kontak prematur dari gigi.6

Klas III subdivisi

Karakteristik dari maloklusi ini adalah ketika relasi molar Klas III hanya pada satu sisi rahang dan relasi Klas I pada sisi lainnya.5,6

2.3.2.2Modifikasi klasifikasi maloklusi Angle oleh Dewey

Pada 1915, Dewey membagi maloklusi Klas I Angle dalam 5 tipe dan maloklusi Klas III dalam 3 tipe.5,6

a. Modifikasi Klas I oleh Dewey

Tipe 1 : Maloklusi Klas I dengan gigi anterior rahang atas berjejal Tipe 2 : Klas I dengan insisivus maksila yang protrusi (labioversi) Tipe 3 : Maloklusi Klas I dengan crossbite anterior

Tipe 4 : Relasi molar Klas I dengan crossbite posterior

Tipe 5 : Molar permanen mengalami drifting mesial akibat ekstraksi dini molar dua desidui atau premolar dua

b. Modifikasi Klas III oleh Dewey

Tipe 1 : Ketika rahang atas dan bawah dilihat secara terpisah menunjukkan susunan yang normal, tetapi ketika rahang dioklusikan, pasien menunjukkan adanya gigitan edge to edge pada insisivus

Tipe 2 : Insisivus rahang bawah berjejal dan menunjukkan relasi lingual terhadap insisivus rahang atas


(37)

Tipe 3 : Insisivus rahang atas berjejal dan menunjukkan crossbite dengan anterior rahang bawah

2.3.2.3 Modifikasi klasifikasi maloklusi Angle oleh Lischer

Pada 1933, Lischer melakukan modifikasi terhadap klasifikasi Angle dengan mengganti nama Klas I, II dan III Angle dengan neutro-oklusi, disto-oklusi dan mesio-oklusi. Selain itu, Lischer juga mengklasifikasikan maloklusi gigi individual.5,6

Neutro-oklusi : istilah sinonim maloklusi Klas I Angle Disto-oklusi : istilah sinonim maloklusi Klas II Angle Mesio-oklusi : istilah sinonim maloklusi Klas III Angle

Nomenklatur Lischer pada malposisi individual gigi adalah dengan akhiran ‘versi’ pada kata yang diindikasikan penyimpangan dari posisi normal.6

1. Mesioversi : lebih ke mesial dari posisi normal 2. Distoversi : lebih ke distal dari posisi normal 3. Linguoversi : lebih ke lingual dari posisi normal 4. Labioversi : lebih ke labial dari posisi normal

5. Infraversi : lebih ke inferior atau menjauh dari garis oklusi 6. Supraversi :lebih ke superior atau melewati garis oklusi 7. Aksiversi : inklinasi aksial abnormal, tipping

8. Torsiversi : rotasi gigi pada aksis panjangnya

9. Transversi : perubahan pada urutan posisi atau transposisi dua gigi

2.3.3 Etiologi

Etiologi maloklusi merupakan studi yang mempelajari penyebab terjadinya maloklusi. Secara luas, maloklusi disebabkan oleh faktor genetik maupun faktor lingkungan. Perkembangan gigi geligi normal dan oklusi bergantung pada sejumlah faktor yang saling terkait yaitu faktor dentoalveolar, skeletal dan neuromuskular. Maloklusi memiliki penyebab yang multifaktorial dan hampir tidak pernah memiliki satu penyebab yang spesifik.8


(38)

Beberapa klasifikasi faktor etiologi maloklusi telah diperkenalkan salah satunya adalah klasifikasi etiologi menurut Graber yang membagi faktor etiologi dalam dua kelompok yaitu faktor umum dan faktor lokal.Faktor umum yang merupakan etiologi maloklusi adalah herediter, kongenital, lingkungan, keadaan dan penyakit metabolik, nutrisi, kebiasaan buruk dan kelainan fungsional, postur dan trauma. Faktor lokal yang merupakan etiologi maloklusi adalah anomali jumlah gigi, anomali ukuran gigi, anomali bentuk gigi, frenum labial yang abnormal, premature loss gigi desidui, retensi gigi desidui yang berkepanjangan, erupsi gigi permanen yang terlambat, arah erupsi yang abnormal, ankilosis, karies dan restorasi yang tidak baik.5,6

2.3.4Prevalensi

Prevalensi maloklusi bervariasi di seluruh belahan dunia pada berbagai populasi yang berdasarkan pada umur, ras, genetik dan faktor lingkungan.2,3Insiden terjadinya maloklusi dilaporkan bervariasi sekitar 11% hingga 93%.15Penelitian oleh Wijayanti dkk mengenai maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia 9-11 tahun di Jakarta menunjukkan bahwa dari 98 subjek, 65,3 % memiliki maloklusi Klas I, 31,6 % Klas II dan 3,1 % Klas III.1

Oshagh dkk., melaporkan bahwa prevalensi maloklusi Klas I, Klas II dan Klas III pada anak usia sekolah yang datang ke departemen ortodonsia di Universitas Shiraz, Iran, adalah 52,0 %, 32,6 % dan 12,3 % secara berturut-turut.9Penelitian lain yang dilakukan oleh Bittencourt dan Machado pada anak usia 6-10 tahun di Brazil menunjukkan hanya 14,83 % anak yang memiliki oklusi normal sedangkan 85,17 % sisanya memiliki maloklusi yaitu 57,24 % maloklusi Klas I, 21,73 % Klas II dan 6,2 % Klas III.8

2.3.5Bentuk umum maloklusi 2.3.5.1Crowding

Crowding atau gigi berjejal dapat didefinisikan sebagai ketidakseimbangan antara ukuran gigi dan panjang lengkung.5,12Panjang lengkung yang kurang ataupun


(39)

ukuran mesiodistal gigi yang lebih dapat menghasilkan crowding.5 Crowding

merupakan bentuk maloklusi yang paling umum.19,25Umumnya, crowding

ditemukanpada maloklusi Klas I (gambar 16).5Prevalensi terjadinya crowding adalah 5% hingga 80% pada populasi yang berbeda-beda.13

Etiologi terjadinya crowding diantaranya adalah:5

a. Diskrepansi panjang lengkung dan ukuran gigi akibat kurangnya panjang lengkung atau ukuran gigi yang berlebih

b. Adanya gigi supernumerari yang menyebabkan susunan gigi berjejal

c. Retensi gigi desidui yang berkepanjangan menyebabkan erupsi gigi pengganti tidak pada tempat yang seharusnya

d. Abnormalitas ukuran dan bentuk gigi

e. Premature loss gigi desidui menyebabkan gigi tetangga drifting ke ruang kosong

Gambar 16. Molar Klas I Angle dengan

crowding2

2.3.5.2Spacing

Spacing atau gigi bercelah terjadi akibat berlebihnya panjang

lengkungmaupun akibat tidak adanya gigi yang menyebabkan adanya jarak atau celah diantara gigi seperti yang terlihat pada gambar 17.2,16,26Spacing merupakan kebalikan dari crowding.26Gigi bercelah jarang ditemukan pada ras Kaukasian.2 Prevalensi

spacing berkisar antara 6% hingga 50%.13Spacing dapat disebabkan oleh gigi


(40)

merupakan salah satu manifestasi maloklusi Klas I.5 Salah satu bentuk spacing adalah diastema midline yang merupakan celah antara dua insisivus sentralis rahang atas.5

Spacing pada masa gigi bercampur ditandai dengan adanya diastema midline antara insisivus sentralis rahang atas yang merupakan keadaan normal.16 Diastema midline sering terlihat pada anak-anak yaitu sebanyak 26% memiliki celah lebih dari 2 mm. Meskipun celah ini cenderung akan menutup, lebih dari 6% remaja dan dewasa masih memiliki diastema yang harus diperhatikan karena mempengaruhi penampilan senyum.19 Beberapa etiologi dari spacing adalah sebagai berikut:5

a. Spacing yang terjadi secara umum (generalized spacing) biasanya terjadi karena ketidakseimbangan panjang lengkung dan ukuran gigi. Kondisi seperti oligodonsia dan mikrodonsia dapat menyebabkan spacing.

b. Morfologi gigi yang tidak normal, seperti gigi insisivus lateral yang peg shaped

c. Kebiasaan buruk seperti menghisap ibu jari (thumb-sucking) dan tongue thrusting dapat menyebabkan spacing pada region anterior

d. Ukuran lidah yang tidak normal yaitu makroglossia dapat menunjang terjadinya spacing

e. Gigi supernumerari yang tidak erupsi ataupun adanya patologi seperti lesi kistik diantara gigi

f. Premature loss gigi permanen

Gambar 17. Spacing (gigi bercelah)28 2.3.5.3Crossbite


(41)

Crossbite atau gigitan silang adalah istilah yang digunakan pada hubungan gigi dalam keadaan bukolingual atau labiolingual yang abnormal .22,27 Crossbite

merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan oklusi abnormal pada bidang transversal. Istilah ini juga digunakan pada overjet terbalik pada satu atau lebih gigi anterior. Graber mendefinisikan crossbite sebagai suatu kondisi dimana satu atau lebih gigi berada pada posisi abnormal yaitu lebih ke bukal atau lingual maupun labial dari gigi antagonisnya.5

Berdasarkan lokasinya, crossbite dibagi atas anterior crossbite dan posterior crossbite. Anterior crossbite adalah keadaan gigi dimana gigi insisivus atas terdapat sebelah lingual gigi insisivus bawah5,27 sedangkan posterior crossbite adalah relasi transversal abnormal antara gigi posterior atas dan bawah dengan keadaan gigi posterior atas terletak sebelah lingual dari gigi posterior bawah seperti yang terlihat pada gambar berikut.5,19,20

Gambar 18. CrossbiteA. Crossbite Anterior, B. Crossbite Posterior28

2.3.5.4Overbite

Overbite adalah jarak vertikal antara tepi insisal insisivus sentralis atas ke tepi insisal insisivus sentralis bawah ketika rahang dalam hubungan sentrik.19,27 Dalam keadaan normal, insisal gigi insisivus bawah berkontak dengan permukaan palatal insisivus atas tepat pada singulum atau di atas singulum. Ukuran normal overbite adalah 1-2 mm.19Jarak overbite 2-4 mm juga tergolong normal.29 Overbite bernilai nol ketika tepi insisal insisivus atas dan bawah berkontak yang disebut dengan edge


(42)

to edge.16,29Jika tidak terdapat jarak overlap vertikal antara gigi pada rahang atas dan bawah maka disebut sebagai openbite (gambar 19) dan apabila jarak tersebut lebih dari normal maka disebut sebagai deepbite (gambar 20).5,19,27

Gambar 19. Perbandinganoverbite dan open bite20

Gambar 20. A. Open bite, B. Deep bite6

2.3.5.5 Overjet

Overjet adalah jarak horizontal antara insisivus sentralis atas dan insisivus sentralis bawah (gambar 21).16,19 Dalam keadaan normal, insisivus atas terletak di depan insisivus bawah dengan jarak normal sekitar 2-4 mm.19,29 Apabila insisivus bawah terletak di depan insisivus atas, hal tersebut disebut dengan overjet terbalik atau crossbite anterior.19


(43)

(44)

2.4 Kerangka Teori

Periode Gigi Geligi

Desidui Bercampur Permanen

Etiologi Klasifikasi

Definisi

Maloklusi Oklusi

Angle

Prevalensi

Klas I

Spacing Crowding

OpenBite Crossbite

DeepBite

Klas II Klas III

Divisi 1 Divisi 2 Subdivisi Subdivisi

Bentuk umum maloklusi


(45)

2.5 Kerangka Konsep

Pasien di departemen Ortodonsia RSGMP FKG

USU tahun 2009-2013

Distribusi maloklusi berdasarkan Klasifikasi Angle

Distribusi bentuk umum maloklusi


(46)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Jenis rancangan penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu untuk mendeskripsikan atau menggambarkan tentang distribusi maloklusi pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013.

3.2Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di departemen ortodonsia FKG USU pada bulan November 2014 – Januari 2015.

3.3 Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh rekam medik dan model studi pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU klinik S-1 selama 5 tahun terakhir yaitu 2009-2013.

3.4 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah subjek yang diambil dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian yaitu rekam medik dan model studi pasien yang datang ke departemen ortodonsia RSGMP FKG USU klinik S-1 tahun 2009-2013 dengan menggunakan teknik purposive sampling.

Besar sampel ditentukan dengan rumus penaksiran proporsi populasi dengan ketelitian absolut (absolute precision):

�=��

2.. (1− �)

�2

Keterangan : n : besar sampel


(47)

P : proporsi pada populasi penelitian sebelumnya (hasil penelitian Oshagh dkk., tahun 2010 menunjukkan prevalensi maloklusi Klas I sebagai prevalensi tertinggi yaitu 52% )

d : presisi mutlak (5%)

�=(1,96)

2. (0,52). (0,48) (0,05)2

�= 385

Maka, sampel yang diambil peneliti adalah 385 rekam medik dan model studi dengan 77 sampel setiap tahunnya.

3.4.1 Kriteria Inklusi

•Rekam medik dan model studi yang lengkap di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

•Rekam medik dan model studi dalam keadaan baik

•Rekam medik dan model studi milik pasien dalam periode gigi bercampur •Rekam medik dan model studi milik pasien yang gigi molar satu permanennya sudah erupsi sempurna

3.4.2Kriteria Eksklusi •Rekam medik tidak lengkap •Model studi yang rusak

3.5 Variabel Penelitian 1. Usia

2. Jenis kelamin

3.Maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle : •Maloklusi Klas I


(48)

•Maloklusi Klas II divisi 1 •Maloklusi Klas II divisi 2 •Maloklusi Klas II subdivisi •Maloklusi Klas III

•Maloklusi Klas III subdivisi 4. Bentuk-bentuk umum maloklusi :

Crowding

Spacing

Crossbite anterior •Crossbite posterior •Overjet normal

•Overjet berlebih (protrusi) •Overbite normal

Deep bite

Open bite

Edge to edge

3.6 Definisi Operasional

1. Rekam medik adalah catatan medis pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

2. Model studi adalah model cetakan gigi rahang atas dan rahang bawah pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013 sebelum perawatan

3. Usia adalah usia yang tercatat dalam rekam medik pasien yang datang ke departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

4. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan yang tercatat pada rekam medik pasien yang datang ke departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013


(49)

5. Maloklusi Klas I adalah maloklusi menurut klasifikasi Angle berdasarkan relasi molar satu permanen dimana cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi pada bukal groove molar satu permanen rahang bawah

6. Maloklusi Klas II adalah maloklusi menurut klasifikasi Angle berdasarkan relasi molar satu permanen dimana cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi dengan ruang diantara cusp mesiobukal molar satu permanen rahang bawah dan dengan bagian distal premolar dua rahang bawah ataupun cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas berada lebih mesial dari bukal groove molar satu permanen rahang bawah

7. Maloklusi Klas II divisi 1 adalah maloklusi yang memiliki relasi molar Klas II tetapi memiliki karakteristik adanya proklinasi atau labioversi insisivus rahang atas

8. Maloklusi Klas II divisi 2 adalah maloklusi yang memiliki relasi molar Klas II tetapi memiliki karakteristik adanya inklinasi lingual atau lingoversi gigi insisivus sentralis rahang atas dan insisivus lateral rahang atas yang lebih ke labial ataupun mesial sehingga overlap pada insisivus sentralis

9. Maloklusi Klas II subdivisi adalah maloklusi yang memiliki hubungan molar Klas II hanya pada satu sisi rahang sedangkan sisi rahang yang lain memiliki hubungan molar Klas I

10. Maloklusi Klas III adalah maloklusi menurut klasifikasi Angle berdasarkan relasi molar satu permanen dimana cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas beroklusi dengan ruang interdental diantara molar satu dan molar dua permanen rahang bawah ataupun cusp mesiobukal molar satu permanen rahang atas berada lebih distal dari bukal groove molar satu permanen rahang bawah

11. Maloklusi Klas III subdivisi adalah maloklusi yang memiliki hubungan molar Klas III hanya pada satu sisi rahang sedangkan sisi rahang yang lain memiliki hubungan molar Klas I

12. Crowding adalah keadaan gigi berjejal pada studi model yang dilihat

secara visual dengan adanya gigi yang tidak pada susunan yang seharusnya (malalignment) ataupun adanya gigi yang tumpang tindih dengan gigi lain


(50)

13. Spacing adalah keadaan gigi bercelah pada studi model yang dilihat secara visual adanya celah antara satu gigi dengan gigi lain akibat adanya gigi dengan morfologi yang abnormal, kebiasaan buruk (dilihat dalam rekam medik pasien),

premature loss dan supernumerary teeth

14. Crossbite anterior adalah keadaan dimana gigi anterior atas terdapat sebelah lingual gigi anterior bawah baik yang melibatkan 1 gigi maupun lebih

15. Crossbite posterior adalah keadaan dimana gigi posterior atas terdapat sebelah lingual dari gigi posterior bawah baik yang melibatkan 1 gigi atau lebih dan unilateral maupun bilateral

16. Overjet normal adalah jarak horizontal antara insisivus sentralis atas dan insisivus sentralis bawah ketika model dioklusikan dengan ukuran normal 2-4 mm yang diukur menggunakan penggaris

17. Overjet berlebih (protrusi) adalah keadaan dimana jarak overjet lebih dari ukuran normal (lebih dari 4 mm) yang diukur dengan menggunakan penggaris

18. Overbite normal adalah jarak vertikal antara tepi insisal insisivus atas ke tepi insisal insisivus bawah ketika model dioklusikan dengan ukuran normal 2-4 mm yang diukur dengan menggunakan penggaris

19. Deep bite adalah keadaan dimana jarak overbite lebih dari normal (lebih dari 4 mm) yang diukur dengan menggunakan penggaris

20. Open bite adalah keadaan dimana tidak terdapat jarak vertikal antara gigi pada rahang atas dan bawah ataupun tepi insisal insisivus atas tidak berkontak dengan tepi insisal insisivus rahang bawah

21. Edge to edge adalah keadaan dimana tepi insisal gigi insisivus rahang atas bertemu dengan tepi insisal gigi insisivus rahang bawah sehingga tidak terdapat overjet dan overbite

3.7 Alat dan Bahan Penelitian a. Alat :

• Pensil • Pulpen


(51)

• Penggaris • Penghapus

• Form pemeriksaan rekam medik dan model studi b. Bahan :

• Rekam medik pasien • Model studi pasien

3.8 Metode Pengumpulan Data

1. Pengumpulan data dilakukan di klinik S-1 departemen ortodonsia RSGMP FKG USU Medan dengan mengambil sampel berupa rekam medik dan model studi pasien sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

2. Pengambilan data melalui rekam medik dan model studi dikelompokkan berdasarkan tahun rekam medik dan model studi tersebut dibuat yang dimulai dari tahun terendah yaitu tahun 2009.

3. Data-data pasien yang datang ke klinik S-1 departemen ortodonsia RSGMP FKG USU seperti nama, usia dan jenis kelamin dicatat pada form pemeriksaan berdasarkan yang tertera pada rekam medik pasien. Jumlah sampel yang diamati peneliti per hari adalah 10 sampel.

4. Setelah itu, dilakukan pengamatan terhadap model studi setiap pasien sesuai dengan informasi yang peneliti butuhkan seperti yang tertera pada form pemeriksaan yaitu melihat maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle dan bentuk-bentuk umum maloklusi lainnya.

5. Untuk pengamatan overjet dan overbite, dibutuhkan pengukuran terlebih dahulu menggunakan penggaris dan kemudian hasilnya dicatat pada form pemeriksaan.

6. Setelah dilakukan pengamatan pada seluruh sampel dan seluruh data yang dibutuhkan sudah terkumpul, dilakukan analisis data dan kemudian didapatkan hasil penelitian.


(52)

3.9 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data penelitian ini dilakukan secara komputerisasi dengan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisa data pada penelitian ini dilakukan setelah pemeriksaan rekam medik dan model studi selesai. Dilakukan uji deskriptif untuk menganalisis prevalensi dan frekuensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle maupun bentuk umum maloklusi dan uji Chi Square untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan distribusi maloklusi pada pasien di departemen ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013 berdasarkan jenis kelamin.

3.10 Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat persetujuan (ethical clearance) dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran USU. Etika dalam penelitian ini mencakup kerahasiaan

(confidentiality) dimana data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin


(53)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU Medan dengan menggunakan data sekunder yaitu melalui pengamatan data pada rekam medik dan model studi pasien yang dirawat di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013 sebanyak 385 sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan metode purposive sampling dengan jumlah 77 sampel setiap tahun. Jumlah sampel berdasarkan jenis kelamin adalah 146 laki-laki dan 239 perempuan.

Berdasarkan hasil pengamatan dan pencatatan data sampel tersebut, dilakukan uji statistik deskriptif untuk mengetahui distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle dalam bentuk frekuensi dan persentase serta uji Chi-Square untuk mengetahui apakah ada perbedaan distribusi maloklusi berdasarkan jenis kelamin (Tabel 3).

Tabel 3. Distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

Maloklusi (klasifikasi Angle)

Total (n = 385)

Laki-laki (n = 146)

Perempuan

(n = 239) Nilai P

n % n % n %

Klas I 160 41,6 66 45,2 94 39,3 0,256

Klas II divisi 1 71 18,4 23 15,7 48 20,1 0,288

Klas II divisi 2 18 4,7 5 3,4 13 5,43 0,364

Klas II subdivisi 103 26,8 38 26,0 65 27,1 0,801

Klas III 11 2,9 5 3,4 6 2,5 0,601

Klas III subdivisi 22 5,7 9 6,2 13 5,4 0,766 Keterangan : n = frekuensi

% = persentase

Tabel 3 menunjukkan distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013. Hubungan


(54)

molar Klas I memiliki persentase tertinggi yaitu 41,6 % (160 orang) dengan persentase lebih tinggi pada laki-laki yaitu sebanyak 45,2 % (66 orang) sedangkan pada perempuan sebanyak 39,3 % (94 orang). Persentase tertinggi kedua adalah persentase hubungan molar Klas II subdivisi yaitu sebanyak 26,8 % (103 orang), kemudian Klas II divisi 1 sebanyak 18,4 % (71 orang), Klas III subdivisi sebanyak 5,7 % (22 orang), Klas II divisi 2 sebanyak 4,7 % (18 orang) dan Klas III sebanyak 2,9 % (11 orang). Distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle tidak menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Selain melihat maloklusi melalui klasifikasi Angle yaitu hubungan molar, penelitian ini juga mengamati bentuk-bentuk maloklusi lain yang sering dijumpai seperti crowding, spacing, crossbite, overjet dan overbite setiap sampel. Distribusi bentuk-bentuk umum maloklusi pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Distribusi bentuk-bentuk umum maloklusi pada pasien di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

Bentuk maloklusi

Total (n = 385)

Laki-laki (n = 146)

Perempuan

(n = 239) Nilai P

n % n % n %

Crowding

Rahang Atas 100 26 37 25,3 63 26,3 0,825

Rahang Bawah 191 49,6 73 50 118 49,4 0,905

Spacing

Rahang Atas 83 21,6 32 21,9 51 21,3 0,893

Rahang Bawah 64 16,6 30 20,5 34 14,2 0,106

Crossbite

Crossbite Anterior 119 30,9 47 32,2 72 30,1 0,670

Crossbite Posterior 44 11,4 16 10,9 28 11,7 0,821

Overjet

Normal 155 40,3 58 39,7 97 40,6 0,867

Protrusi 75 19,5 29 19,9 46 19,2 0,882

Crossbite Anterior 119 30,9 47 32,2 72 30,1 0,670


(55)

Overbite

Normal 268 69,6 94 64,3 174 72,8 0,081

Deep bite 54 14 27 18,5 27 11,3 0,049*

Open bite 30 7,8 14 9,6 16 6,7 0,304

Edge to Edge 36 9,4 12 8,2 24 10,0 0,551

Keterangan : n = frekuensi % = persentase

* = perbedaan signifikan (P < 0,05)

Tabel 4 menunjukkan distribusi bentuk umum maloklusi pada pasien di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013. Bentuk maloklusi paling umum adalah gigi berjejal (crowding). Hal tersebut dapat dilihat pada penelitian ini yang memiliki persentase crowding yang tinggi yaitu pada rahang bawah sebanyak 49,6 % (191 orang). Bentuk umum maloklusi lain seperti spacing

memilki persentase yang lebih tinggi pada rahang atas yaitu 21,6 % (83 orang). Pada penelitian ini, crossbite anterior memiliki persentase lebih tinggi daripada crossbite

posterior yaitu sebanyak 30,9 % (119 orang).

Overjet pada penelitian ini menunjukkan overjet normal memiliki persentase tertinggi yaitu 40,3 % (155 orang). Overjet berlebih atau protrusi memiliki persentase sebanyak 19,5 % (75 orang) sedangkan overjet terbalik pada penelitian ini dikategorikan sebagai crossbite anterior yang memiliki persentase sebanyak 30,9 % (119 orang).

Selain itu, dari tipe gigitan pada gigi anterior dapat terlihat persentase gigitan dalam atau deep bite memiliki persentase yang tertinggi apabila dibandingkan dengan tipe gigitan edge to edge dan open bite. Tetapi, secara umum sampel memiliki tipe gigitan dengan overbite normal yaitu sebanyak 69,6 % (268 orang). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa hanya deep bite yang memiliki perbedaan signifikan berdasarkan jenis kelamin dengan nilai P=0,049. Variabel lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan distribusi maloklusi berdasarkan jenis kelamin yang dapat terlihat pada nilai P yang lebih besar dari 0,05.


(56)

Sampel pada penelitian ini adalah rekam medik dan model studi milik pasien pada masa gigi bercampur. Distribusi usia sampel pada penelitian ini dapat dilihat pada grafik 1.

Grafik 1. Distribusi usia pasien pada masa gigi bercampur di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013

Distribusi usia pasien pada masa gigi bercampur di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU menunjukkan bahwa sampel berusia 9 tahun memiliki persentase tertinggi yaitu 31,2 % (120 orang) sedangkan sampel berusia 13 tahun memiliki persentase terendah yaitu 0,5 % (2 orang). Sampel dengan usia 7 tahun pada penelitian ini adalah sebanyak 2,6 % (10 orang), usia 8 tahun sebanyak 21,3 % (82 orang), usia 10 tahun sebanyak 28,6 % (110 orang), usia 11 tahun sebanyak 11,4 % (44 orang) dan usia 12 tahun sebanyak 4,4 % (17 orang).

2,6 21,3

31,2 28,6

11,4 4,4

0,5 0

5 10 15 20 25 30 35

7 8 9 10 11 12 13

P

er

sen

t

a

se


(57)

BAB 5 PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle yaitu hubungan molar Klas I memiliki prevalensi tertinggi pada pasien di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013 dengan persentase 41,6 % (160 orang) diikuti dengan Klas II subdivisi sebanyak 26,8 % (103 orang), kemudian Klas II divisi 1 sebanyak 18,4 % (71 orang), Klas III subdivisi sebanyak 5,7 % (22 orang), Klas II divisi 2 sebanyak 4,7 % (18 orang) dan Klas III sebanyak 2,9 % (11 orang). Penelitian yang dilakukan oleh Oshagh dkk., juga menggunakan rekam medik dan model studi pasien yang memperoleh hasil penelitian distribusi maloklusi berdasarkan hubungan molar yang juga menunjukkan hubungan molar Klas I dengan persentase tertinggi yaitu 52 % (364 orang) sedangkan Klas II sebanyak 32,6 % (228 orang) dan Klas III sebanyak 12,3 % (86 orang).9

Penelitian lain mengenai distribusi maloklusi juga dilakukan oleh Bittencourt dan Machado pada anak usia 6-10 di Brazil. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan hubungan molar Klas I memiliki prevalensi tertinggi yaitu 40,6 % diikuti oleh Klas II divisi 1 sebanyak 18,4 %, Klas III sebanyak 6,2 % dan Klas II divisi 2 sebanyak 3,2 % . Persentase pada penelitian oleh Bittencourt dan Machado ini hampir sama dengan hasil penelitian ini yaitu pada persentase Klas I dan Klas II divisi 1.8

Pada penelitian ini, peneliti juga mengamati adanya hubungan molar Klas II subdivisi. Dr. Angle mengklasifikasikan maloklusi Klas II unilateral sebagai kasus subdivisi. Hubungan molar Klas II unilateral atau subdivisi terjadi karena erupsi molar satu mandibula yang lebih ke distal hanya pada satu sisi rahang saja sedangkan sisi yang lain memiliki relasi molar Klas I . Posisi molar satu maksila yang lebih ke mesial pada sisi Klas II juga menyebabkan kasus subdivisi.30,31 Diperkirakan 66 % dari Klas II subdivisi memiliki hubungan molar Klas II pada sisi kanan sedangkan hanya 33 % Klas II pada sisi kiri.30 Pada penelitian ini hubungan molar Klas II


(58)

subdivisi memiliki persentase yang cukup tinggi yaitu 26,8 % (103 orang). Adanya hubungan molar Klas II ataupun Klas III yang unilateral atau sering disebut kasus subdivisi, berkaitan dengan adanya karies terutama karies interproksimal. Karies interproksimal dapat menyebabkan hilangnya ruang pada rahang akibat terjadinya

drifting mesial gigi tetangga sehingga terjadi maloklusi. Karies juga dapat

menyebabkan pencabutan dini pada gigi desidui.23,24,32,33Drifting mesial yang terjadi dapat menyebabkan hubungan molar Klas II atau Klas III meskipun pasien tersebut memiliki pola skeletal Klas I. Karies asimetris dapat menyebabkan drifting mesial yang asimetris juga sehingga seseorang dapat memiliki hubungan molar Klas I pada satu sisi tetapi Klas II atau III pada sisi lainnya. Pada penelitian ini, Klas III subdivisi memiliki persentase 5,7 % (22 orang).32

Berdasarkan jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan signifikan pada persentase hubungan molar. Persentase hubungan molar Klas I, Klas III dan Klas III subdivisi lebih tinggi pada laki-laki sedangkan hubungan molar Klas II divisi 1, Klas II divisi 2 dan Klas II subdivisi lebih tinggi pada perempuan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Oshagh dkk., juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan secara statistik antara laki-laki dan perempuan.9

Persentase terjadinya crowding atau gigi berjejal pada penelitian ini cukup tinggi yaitu 26 % (100 orang) pada rahang atas dan 49,6 % (191 orang) pada rahang bawah. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Almeida dkk., yang memiliki prevalensi terjadinya crowding sebesar 31,59 %.34 Pada penelitian yang dilakukan oleh Sidlauskas dan Lopatiene, persentase crowding adalah 38,4 % pada rahang atas dan 35,4 % pada rahang bawah.15 Persentase terjadinya crowding pada penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian-penelitian sebelumnya tetapi masih dalam kisaran yang dilaporkan yaitu 5% hingga 80 % pada populasi yang berbeda.13 Hal ini dapat disebabkan oleh karena pada penelitian ini kriteria gigi berjejal atau tidak hanya dilihat secara visual dan penilaian subjektif oleh peneliti dengan melihat susunan gigi yang tidak rapi ataupun adanya satu gigi yang tumpang tindih terhadap gigi lain sedangkan penelitian lain menilai crowding dengan mengukur ruang yang dibutuhkan terhadap panjang lengkung gigi. Pada penelitian ini, peneliti lebih banyak


(59)

menemukan gigi yang berjejal pada rahang bawah daripada rahang atas.15 Salah satu hal yang menyebabkan crowding adalah premature loss gigi desidui. Premature loss

gigi desidui dapat menyebabkan kurangnya ruang pada lengkung gigi untuk erupsi gigi permanen sehingga dapat terjadi crowding. Penelitian oleh Cavalcanti dkk., dan Mehdi dkk., menunjukkan persentase premature loss pada rahang bawah lebih tinggi. Kemungkinan hal tersebut yang dapat menyebabkan persentase crowding pada rahang bawah juga lebih tinggi daripada rahang atas.23,24

Persentase spacing pada penelitian ini adalah 21,6 % (83 orang) pada rahang atas dan 16,6 % (64 orang) pada rahang bawah dengan persentase yang lebih tinggi pada laki-laki. Penelitian oleh Sidlauskas dan Lopatiene menunjukkan persentase

spacing pada rahang atas juga lebih tinggi yaitu 7,9 % sedangkan rahang bawah

hanya 4,3 %.15 Penelitian ini mengkategorikan spacing berdasarkan penilaian visual adanya ruang antara satu gigi dengan gigi tetangganya dan kemudian melihat pada rekam medik ada atau tidaknya hal-hal yang menyebabkan spacing tersebut terjadi seperti adanya kebiasaan buruk, supernumerary teeth dan morfologi gigi yang abnormal.5,6 Pada penelitian ini, kebiasaan buruk yang paling sering dilakukan pasien adalah menghisap jari. Pada penelitian oleh Almeida dkk., persentase spacing cukup tinggi yaitu 31,88 %.34 Prevalensi terjadinya spacing berbeda-beda berdasarkan populasi penelitian yang dilaporkan berkisar antara 6 % hingga 50 %.13

Pada penelitian ini, persentase crossbite cukup tinggi terutama pada anterior, yaitu 30,9 % (119 orang). Persentase crossbite posterior pada penelitian ini adalah 11,4 % (44 orang). Hasil penelitian Bittencourt dan Machado menunjukkan persentase yang lebih rendah yaitu 10,41 % untuk crossbite anterior, 6,45 % crossbite

posterior unilateral dan 2,72 % crossbite posterior bilateral.8 Pada penelitian ini, persentase crossbite anterior lebih tinggi pada laki-laki sedangkan persentase

crossbite posterior lebih tinggi pada perempuan. Tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Gelgor dkk., dan Arabiun dkk., yang menunjukkan persentase crossbite posterior pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki dan tidak ada perbedaan berdasarkan jenis kelamin


(60)

meskipun pada kedua penelitian ini persentase crossbite lebih rendah daripada hasil penelitian ini.35,36

Distribusi overjet pada penelitian ini menunjukkan overjet normal memiliki persentase tertinggi yaitu 40,3 % (155 orang). Overjet berlebih atau protrusi memiliki persentase sebanyak 19,5 % (75 orang) sedangkan overjet terbalik pada penelitian ini dikategorikan sebagai crossbite anterior yang memiliki persentase sebanyak 30,9 % (119 orang). Pada penelitian ini, protrusi tidak hanya ditemukan pada relasi molar Klas II divisi 1, tetapi juga terdapat pada sampel yang memiliki relasi molar Klas I. Penelitian oleh Oshagh dkk., dan Gelgor dkk., juga menunjukkan bahwa overjet normal memiliki persentase tertinggi dibandingkan dengan persentase overjet berlebih, terbalik, maupun edge to edge.9,36

Distribusi overbite pada penelitian ini menunjukkan overbite normal mempunyai persentase tertinggi yaitu 69,6 % (268 orang). Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian oleh Almeida dkk., yang menunjukkan persentase overbite normal sebanyak 69,07 %.34 Persentase overbite normal lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gelgor dkk., dan Oshagh dkk.9,36 Persentase deep bite pada penelitian ini adalah 14 % (54 orang). Hasil persentase ini mendekati persentase deep bite pada penelitian yang dilakukan oleh Almeida dkk., yaitu 13,28 % dan penelitian oleh Bittencourt dan Machado yaitu 18,09 %.8,34 Persentase deep bite penelitian ini lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan yang juga menunjukkan adanya perbedaan signifikan berdasarkan jenis kelamin. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Gelgor dkk., yang juga menunjukan terdapat perbedaan signifikan berdasarkan jenis kelamin pada persentase deep bite.36

Persentase open bite pada penelitian ini adalah 7,8 % (30 orang) dengan persentase yang lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan tetapi tidak terdapat perbedaan signifikan secara statistik. Open bite yang dinilai pada penelitian ini adalah open bite anterior dimana tidak terdapat kontak antara gigi anterior rahang atas dan bawah sehingga membuat keadaan gigitan terbuka. Hasil penelitian ini mirip dengan hasil penelitian oleh Gelgor dkk., yang menunjukkan persentase open bite anterior


(61)

sebesar 8,2 % dengan persentase yang lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan tidak terdapat perbedaan signifikan berdasarkan jenis kelamin.36

Pada penelitian ini, peneliti juga menilai adanya hubungan insisal edge to edge dengan persentase sebesar 9,4 % (36 orang). Penelitian lain yang juga menilai adanya hubungan insisal edge to edge adalah penelitian yang dilakukan oleh Arabiun dkk., dan Gelgor dkk., dengan persentase 4,78 % dan 5,6 % secara berturut-turut. Persentase edge to edge pada penelitian ini lebih tinggi pada perempuan tetapi tidak terdapat perbedaan signifikan dengan persentase pada laki-laki. Sedangkan penelitian oleh Gelgor dkk., menunjukkan hasil yang lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan meskipun juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan.35,36 Penelitian lain yang juga menilai hubungan edge to edge adalah penelitian yang dilakukan oleh Onyeaso dan Sote pada anak usia 3-5 tahun yang menunjukkan persentase edge to edge sebesar 8,88 %.37


(62)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada pasien di departemen Ortodonsia RSGMP FKG USU tahun 2009-2013, dapat disimpulkan bahwa:

1. Hubungan molar Klas I Angle merupakan hubungan molar dengan persentase tertinggi yaitu 41,6 % (160 orang).

2. Hubungan molar Klas II divisi 1 Angle memiliki persentase sebesar 18,4 % (71 orang).

3. Hubungan molar Klas II divisi 2 Angle memiliki persentase sebesar 4,7 % (18 orang).

4. Hubungan molar Klas II subdivisi Angle memiliki persentase sebesar 26,8 (103 orang).

5. Hubungan molar Klas III Angle memiliki persentase sebesar 2,9 % (11 orang).

6. Hubungan molar Klas III subdivisi Angle memiliki persentase sebesar 5,7 % (22 orang).

7. Distribusi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle tidak menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

8. Persentase crowding rahang bawah lebih tinggi daripada rahang atas yaitu 49,6 % (191 orang) sedangkan crowding rahang atas memiliki persentase sebesar 26 % (100 orang). Persentase spacing rahang atas lebih tinggi daripada rahang bawah yaitu 21,6 % (83 orang) sedangkan spacing rahang bawah memiliki persentase sebesar 16,6 % (64 orang). Persentase crossbite anterior lebih tinggi daripada

crossbite posterior yaitu 30,9 % (119 orang) sedangkan crossbite posterior memiliki persentase sebesar 11,4 (44 orang). Overjet normal memiliki persentase 40,3 % (155 orang). Overjet berlebih atau protrusi memiliki persentase sebanyak 19,5 % (75


(63)

orang). Overbite normal memiliki persentase 69,6 % (268 orang). Deep bite memiliki persentase sebesar 14 % (54 orang). Open bite memiliki persentase sebesar 7,8 % (30 orang). Hubungan insisal edge to edge memiliki persentase sebesar 9,4 % (36 orang).

9. Distribusi bentuk-bentuk umum maloklusi tidak memiliki perbedaan signifikan berdasarkan jenis kelamin kecuali pada deep bite yang memiliki P=0,049 (P<0,05) sehingga pada deep bite terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara laki-laki dan perempuan.

10. Distribusi usia pasien pada masa gigi bercampur pada penelitian ini menunjukkan bahwa sampel berusia 9 tahun memiliki persentase tertinggi yaitu 31,2 % (120 orang).

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan sampel yang lebih besar untuk mendapatkan validitas yang tinggi.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bentuk maloklusi yang dapat dikelompokkan berdasarkan etiologi, ras maupun usia.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan populasi masyarakat kota Medan agar dapat diketahui distribusi maloklusi di kota Medan.


(64)

DAFTAR PUSTAKA

1. Wijayanti P, Krisnawati, Ismah N. Gambaran maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia 9-11 tahun (Studi pendahuluan di SD At-Taufiq, Cempaka Putih, Jakarta. Jurnal PDGI 2014; 63 (1): 25-9.

2. Millett D, Welbury R. Orthodontics and Paediatric Dentisry. China: Churcill Livingstone, 2000 : 5,24,36.

3. Baral P. Prevalence of malocclusion in permanent dentition in Aryan and Mongoloid race of Nepal – A comparative study. POJ 2013; 5 (2): 57-9.

4. Brito DI, Dias PF, Gleiser R. Prevalence of malocclusion in children aged 9 to 12 years old in the city of Nova Friburgo, Rio de Janeiro State, Brazil. R Dent Press Ortodon Ortop Fac 2009; 14(6): 118-24.

5. Bhalajhi SI. Orthodontics the art and science. 4th ed. New Delhi: Arya (MEDI), 2009: 45-52, 59-110, 407-10, 437, 445, 455.

6. Singh G. Textbook of Orthodontics. 2nd ed. India: Jaypee, 2007: 41-51, 53-61, 159-74, 175-8.

7. Foster TD. Buku Ajar Ortodonsi. 3rd ed. Alih Bahasa. Yuwono L. Jakarta: EGC, 2012: 32-6.

8. Bittencourt MAV, Machado AW. An overview of the prevalence of malocclusion in 6 to 10 year old children in Brazil. Dental Press J Orthod 2010; 15 (6): 113-22.

9. Oshagh M, Graderi F, Pakshir HR, Baghmollai AM. Prevalence of malocclusions in school-age children attending the orthodontics department of Shiraz University of Medical Sciences. EMHJ 2010; 16 (12): 1245-50.

10.Sayin MO, Turkkahraman H. Malocclusion and crowding in Orthodontically Referred Turkish Population. Angle Orthod 2004; 74 (5): 635-39.

11.Thilander B, Pena L, Infante C, Parada SS, Mayorga C. Prevalence of malocclusion and orthodontic treatment need in children and adolescent in Bogota, Colombia. European Journal of Orthodontics 2001; 23: 153-67.


(1)

Total 146 239 385

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square .014a 1 .905

Continuity Correctionb

.000 1 .988

Likelihood Ratio .014 1 .905

Fisher's Exact Test .917 .494

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .006 .905

N of Valid Cases 385

Spacing Rahang Atas * Jenis Kelamin Crosstabulation

Count

Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan

Spacing Rahang Atas 114 188 302

Ya 32 51 83

Total 146 239 385

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .018a 1 .893

Continuity Correctionb .000 1 .995

Likelihood Ratio .018 1 .893

Fisher's Exact Test .899 .495

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .007 .893


(2)

Spacing Rahang Bawah * Jenis Kelamin Crosstabulation

Count

Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan

Spacing Rahang Bawah 116 205 321

Ya 30 34 64

Total 146 239 385

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.614a 1 .106 Continuity

Correctionb

2.177 1 .140

Likelihood Ratio 2.564 1 .109

Fisher's Exact Test .121 .071

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .082 .106

N of Valid Cases 385

Crossbite Anterior * Jenis Kelamin Crosstabulation

Count

Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan

Crossbite Anterior 99 167 266

Ya 47 72 119

Total 146 239 385

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .181a 1 .670

Continuity Correctionb .097 1 .755

Likelihood Ratio .181 1 .671


(3)

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .022 .670

N of Valid Cases 385

Crossbite Posterior * Jenis Kelamin Crosstabulation

Count

Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan

Crossbite Posterior 130 211 341

Ya 16 28 44

Total 146 239 385

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .051a 1 .821

Continuity Correctionb .004 1 .951

Likelihood Ratio .051 1 .820

Fisher's Exact Test .870 .480

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .012 .821

N of Valid Cases 385

Overbite Normal * Jenis Kelamin Crosstabulation

Count

Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan

Overbite Normal 52 65 117

ya 94 174 268

Total 146 239 385


(4)

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 3.037a 1 .081

Continuity Correctionb 2.652 1 .103

Likelihood Ratio 3.007 1 .083

Fisher's Exact Test .088 .052

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .088 .081

N of Valid Cases 385

Deepbite * Jenis Kelamin Crosstabulation

Count

Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan

Deepbite 119 212 331

Ya 27 27 54

Total 146 239 385

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 3.892a 1 .049

Continuity Correctionb 3.318 1 .069

Likelihood Ratio 3.796 1 .051

Fisher's Exact Test .069 .035

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .100 .049

N of Valid Cases 385

Openbite * Jenis Kelamin Crosstabulation

Count

Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan

Openbite 132 223 355


(5)

Total 146 239 385

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.057a 1 .304

Continuity Correctionb .692 1 .405

Likelihood Ratio 1.034 1 .309

Fisher's Exact Test .330 .202

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .052 .304

N of Valid Cases 385

Edge to Edge * Jenis Kelamin Crosstabulation

Count

Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan

Edge to Edge 134 215 349

Ya 12 24 36

Total 146 239 385

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .355a 1 .551

Continuity Correctionb .173 1 .678

Likelihood Ratio .361 1 .548

Fisher's Exact Test .593 .343

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .030 .551

N of Valid Cases 385


(6)

Count

Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan

Overjet Normal 88 142 230

Ya 58 97 155

Total 146 239 385

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .028a 1 .867

Continuity Correctionb .004 1 .952

Likelihood Ratio .028 1 .867

Fisher's Exact Test .915 .477

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .009 .867

N of Valid Cases 385

Protrusi * Jenis Kelamin Crosstabulation

Count

Jenis Kelamin Total Laki-laki Perempuan

Protrusi 117 193 310

Ya 29 46 75

Total 146 239 385

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .022a 1 .882

Continuity Correctionb .000 1 .988

Likelihood Ratio .022 1 .882

Fisher's Exact Test .895 .491

N of Valid Cases 385

Symmetric Measures

Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient .008 .882