BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batasan dan Klasifikasi 2.1.1. Definisi - Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Fungsi kognitif (IQ)Anak Epilepsi Idiopatik

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batasan dan Klasifikasi

  2.1.1. Definisi

  Epilepsi didefinisikan sebagai serangan paroksismal berulang dua kali atau lebih tanpa penyebab, akibat lepasnya muatan listrik di neuron otak serangan dapat berupa gangguan kesadaran, perilaku, emosi, motorik atau sensoris yang sembuh secara spontan, sebagian besar berhenti sendiri berulang lebih dari 24 jam dan setelah

  12 serangan kondisi kembali normal seperti biasa.

  Kognitif adalah tingkah laku adaptif dari individu yang umumnya didasari oleh beberapa elemen pemecahan masalah dan diarahkan oleh proses kognitif dan pengoperasiannya dimana proses perkembangan fungsi kognitif dimulai sejak lahir namun peranan sel-sel otak dimulai setelah bayi usia lima bulan saat kemampuan

  13 sensorisnya benar-benar nampak.

  2.1.2. Etiologi dan patofisiologi:

  Bangkitan kejang atau serangan epilepsi dapat dicetuskan oleh tidak aktifnya sinaps inhibisi, stimulasi berlebihan pada sinaps eksitasi, atau perubahan pada keseimbangan

  14 neurotransmiter palsu yang memblokade aksi neurotransmiter alamiah.

  Sampai saat ini belum diketahui dengan baik mekanisme yang mencetuskan sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan berlebihan sehingga mekanisme terjadinya bangkitan epilepsi belum sepenuhnya diketahui namun dari studi

  15

  sebelumnya, beberapa faktor yang ikut berperan diantaranya : a) Gangguan pada membran sel neuron Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut terhadap ion natrium dan kalium dimana membran neuron bersifat sangat permeabel terhadap ion kalium dan sebaliknya kurang permeabel terhadap ion natrium sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi dan konsentrasi

  4,5

  ion natrium yang rendah didalam sel pada keadaan normal. Pontensial membran ini dapat terganggu dan berubah oleh berbagai hal misalnya perubahan konsentrasi ion ekstraselular, stimulasi mekanis atau kimiawi, perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas atau pengaruh genetik. Bila keseimbangan terganggu sifat semipermiabel berubah sehingga terjadi difusi ion natrium dan kalium melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan perubahan potensial yang menyertainya dimana potensial aksi terbentuk di permukaan sel dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel

  4 lainnya dan menyebar sepanjang akson.

  b) Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paskasinaps Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps. Potensial aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neuroakson yang kemudian membebaskan zat transmiter pada sinaps yang mengeksitasi atau menginhibisi membran paskasinaps. Transmiter eksitasi (asetilkolin, glutamic acid) mengakibatkan depolarisasi sedangkan zat transmiter inhibisi (GABA atau Gama

  amino butyric acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya jadi

  4 satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi sinaps. Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi bila terjadi gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan bangkitan kejang. Kegagalan mekanisme inhibisi menyebabkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan begitu juga bila terjadi gangguan sintesis GABA mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi yang menimbulkan

  4,6

  bangkitan epilepsi. Defisiensi piridoksin metabolik atau nutrisi dapat mengakibatkan konvulsi pada bayi karena fosfat - piridoksin penting untuk

  4

  sintesis GABA. Jaringan saraf dapat menjadi hipereksitabel oleh perubahan homeostasis tubuh yang diakibatkan demam, hipoksia, hipokalsemia, hipoglikemia, hidrasi berlebih dan keseimbangan asam basa selain itu penghentian mendadak obat antikonvulsan terutama barbiturat, dosis lebih

  4 bermacam obat dan berbagai toksin dapat meningkatkan hipereksitabilitas.

  c) Sel glia Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstraselular di sekitar neuron dan terminal presinaps dimana pada keadaan cedera fungsi glia dalam mengatur konsentrasi ion kalium terganggu dan meningkatkan eksitabilitas sel

  4,5

  neuron disekitarnya. Telah banyak bukti bahwa astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron dimana pada penelitian eksperimental didapatkan bila kation dimasukan kedalam sel astrosit melalui

  4 pipet mikro timbul letupan kejang pada sel neuron disekitarnya.

  Para peneliti umumnya sependapat bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi berasal dari sekelompok sel neuron abnormal (fokus epileptik) di otak yang berlepas muatan listrik secara berlebihan dan hipersinkron dimana lepasnya muatan listrik ini dapat menyebar melalui jalur fisiologis anatomis dan melibatkan daerah sekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya dari otak. Jadi ada tiga kemungkinan bila sekelompok sel neuron tercetus aktivitas listrik berlebihan yaitu :

  a) Aktifitas ini tidak menjalar kesekitarnya melainkan terlokalisasi pada kelompok neuron tersebut kemudian berhenti b) Aktifitas menjalar sampai jarak tertentu namun tidak melibatkan seluruh otak kemudian menjumpai tahanan dan berhenti c) Aktifitas menjalar keseluruh otak dan kemudian berhenti

  Pada keadaan a dan b didapatkan bangkitan epilepsi fokal (parsial) sedangkan

  4 pada keadaan c didapatkan kejang umum.

  2.1.3. Diagnosis

  Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa EEG dan atau CT scan dan atau MRI.

  2.1.4. Klasifikasi

  Berdasarkan faktor etiologi maka sindroma epilepsi dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

  A. Epilepsi idiopatik adalah sebuah sindrom yang hanya epilepsi, tanpa underlying lesion pada struktur otak atau tanda-tanda dan gejala neurologis lain. Ini diduga genetik dan biasanya tergantung usia. Penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien tidak menunjukan manifestasi kelainan organik di otak dan juga tidak mengalami penurunan kecerdasan dimana sebagian dari jenis idiopatik disebabkan oleh interaksi beberapa faktor

  14

  genetik, seperti yang telah dilaporkan beberapa studi sebelumnya yang mendapatkan

  15

  hasil bahwa sindroma epilepsi idiopatik berhubungan dengan mutasi gen tunggal, dengan prevalensinya sebesar 28% dimana satu studi mendapatkan sekitar 29% anak epilepsi idiopatik mengalami gangguan pada kemampuan akademiknya dengan

  16

  rata – rata IQ berkisar 94 sampai 96.

  B. Epilepsi simtomatik Penyebab diketahui dan dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial misalnya anomali kongenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, enselopati, abses otak dan jaringan parut atau kelainan ekstrakranial dimana penyebab bermula ekstrakranial kemudian mengganggu fungsi otak juga misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat dan gangguan keseimbangan

  14 cairan.

2.2. Kognitif

2.2.1. Definisi

  Kognitif merupakan cara mempersepsikan dan menyusun informasi yang berasal dari lingkungan sekitar yang dilakukan secara aktif oleh seorang pembelajar. Cara aktif yang dilakukan dapat berupa mencari pengalaman baru, memecahkan suatu masalah, mencari informasi, mencermati lingkungan, mempratekkan, mengabaikan respon- respon guna mencapai tujuan, dimana untuk mengukur kemampuan kognitif dengan

  17 melakukan tes intellegent Quotient (IQ).

  Intellegent Quotient (IQ) adalah tes psikometrik mencoba mengukur kecerdasan

  17

  dengan membandingkan performa yang diuji dengan nilai terstandarisasi, dimana IQ prediktor terbaik menilai kemampuan akademik dan sensitif menggambarkan defisit

  18 neuropsikologikal.

2.2.2. Pengukuran

  intellegent Quotient (IQ)

  a. Wechler preschool and primary scale of intelligence, revised (WPPSI-R), adalah sebuah tes individual yang memakan waktu satu jam dan digunakan untuk anak usia 4 sampai 6.5 tahun, menghasilkan nilai verbal dan kinerja yang terpisah dan juga nilai gabungan keduanya. Skala terpisahnya mirip dengan skala yang ada dalam Wechsler intelligence scale.

  b. Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC), yang dikembangkan oleh David Wechsler, adalah tes kecerdasan dilakukan secara individual untuk anak-anak antara usia 6 dan 16 tahun inklusif yang dapat diselesaikan tanpa membaca atau menulis. The WISC membutuhkan 65 - 80 menit untuk mengelola dan menggambarkan skor IQ yang merupakan kemampuan kognitif umum anak yang meliputi beberapa subtes yaitu skala verbal : informasi, pemahaman, digit span, persamaan kata, perbendaharaan kata dan aritmatika.

  Klasifikasi skor IQ menurut WISC

  Sangat superior : > 128 Superior : 120

  • – 127 High average : 111
  • – 119 Average :>– 110 Low Average : 80 – 90 Borderline : 66
  • – 79 Mental defective : < 65

c. Standford

  • – Binnet Intelligence scale

  Adalah tes yang mengukur general factor of Intelligence Pemeriksaannya memakan waktu sekitar 30 sampai 40 menit.

  Anak diminta untuk mendefinisikan kata, merangkai manik

  • – manik, menyusun balok, mengidentifikasikan bagian gambar yang hilang, melacak maze dan menunjukkan pemahaman terhadap angka. Nilai seorang anak digunakan untuk mengukur memori, orientasi spasial dan penilaian praktis dalam situasi nyata.

  d. The Kaufman Assesment Battery for children ( K

  • – ABC) adalah alat klinis (uji diagnostik psikologi) untuk menilai perkembangan kognitif.

  Konstruksi menggabungkan beberapa perkembangan terakhir dalam teori psikologis dan metodologi statistik. Tes ini dikembangkan oleh Alan S. Kaufman dan Nadeen L. Kaufman pada tahun 1983 dan direvisi pada tahun 2004. KABC juga memberikan perhatian khusus pada kebutuhan pengujian tertentu, seperti pada kelompok cacat, aplikasi untuk masalah ketidakmampuan belajar, dan

  17 kesesuaian untuk budaya dan bahasa minoritas.

2.3. Faktor - faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif anak epilepsi

  Beberapa studi sebelumnya menyebutkan epilepsi dan kognitif memiliki hubungan yang kompleks dimana perubahan kemampuan kognitif dan perilaku dapat dipengaruhi oleh kejang persisten dari epilepsi selain itu genetik, usia awitan, tipe kejang, frekuensi kejang, tipe sindroma epilepsi, kondisi patologis pada otak serta efek negatif penggunaan OAE merupakan beberapa faktor yang berinteraksi mempengaruh fungsi

  4,8

  kognitif. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi kognitif :

  1. Usia awitan kejang Sebagian besar studi menyatakan bahwa semakin dini usia awitan kejang berkorelasi dengan semakin buruk fungsi kognitif dan merupakan prediktor

  8,9

  penting terhadap outcome pasien epilepsi. Sebuah studi menemukan adanya gangguan atau defisit yang signifikan pada kemampuan pengulangan aksi motorik sederhana, perhatian dan konsentrasi, memori, serta kemampuan memecahkan masalah yang kompleks pada anak dengan kejang tonik klonik dengan usia awitan kejang lebih dini (sebelum usia lima tahun) dibandingkan

  9 anak dengan usia awitan kejang lebih tua.

  2. Tipe kejang Kejang absans dulu dianggap tidak berbahaya tetapi saat ini sebuah studi menunjukan adanya masalah kognitif dan perilaku jangka panjang pada pasien

  18

  ini walaupun penyebab pastinya masih belum jelas. Sebuah penelitian yang mempelajari defisit kognitif pada pasien dengan kejang absans dimana enam belas anak dengan kejang absans mendapat skor tes neuropsikologi yang lebih rendah pada fungsi kognitif umum, visuo-spatial skill dibanding anak normal selain itu terdapat gangguan memori nonverbal dan keterlambatan dalam mengingat sedangkan memori verbal dan kemampuan bahasa masih relatif

  8,19 stabil.

  3. Frekuensi kejang Batas ambang kejang yang dapat menyebabkan gejala sisa belum sepenuhnya diketahui tetapi beberapa studi telah menemukan korelasi negatif antara frekuensi kejang dengan outcome kognitifnya dimana efek jangka panjang dari kejang singkat yang berulang pada spatial memory dan hipokampus telah diteliti pada tikus, dengan hasil dimana kejang pendek yang berulang menginduksi progresif, fungsi permanen dan struktur yang abnormal dari hipokampus termasuk defisit spatial memory diiringi kehilangan pola perkembangan syaraf

  8 secara bertahap menyerupai sklerosis hipokampus pada manusia.

  Suatu studi menyatakan anak-anak dengan kontrol kejang yang baik secara umum memiliki kecerdasan dan kemampuan verbal yang lebih tinggi

  20 dibandingkan dengan anak epilepsi refrakter.

  4. Lama menderita epilepsi Lamanya menderita epilepsi berhubungan dengan kemunduran kognitif seperti hasil sebuah studi secara statistik menunjukan pasien yang menderita epilepsi lebih dari 30 tahun secara signifikan memiliki skala IQ lebih rendah dibandingkan pasien yang menderita epilepsi 15 sampai 30 tahun atau kurang dari 15

  8,21 tahun.

  5. Etiologi kejang Etiologi dari epilepsi merupakan faktor yang menentukan fungsi kognitif dan perubahan intelektual dari waktu ke waktu dimana pasien epilepsi simtomatik lebih sering dikaitkan dengan kemunduran yang lebih berat dibandingkan pasien

  3,20,22

  epilepsi idiopatik. Polymicrogyria merupakan malformasi perkembangan kortikal yang paling sering dijumpai, disertai dengan sindroma lainnya yaitu

  Bilateral frontoparietal polymicrogyria (BFPP) dengan manifestasi klinis retardasi 7,8 mental berat, penurunan kemampuan bahasa dan motorik serta epilepsi.

  6. Efek terapi OAE Beberapa studi menyebutkan bahwa diantara OAE yang tersedia khususnya yang klasik misalnya fenobarbital dapat berefek negatif terhadap fungsi kognitif termasuk memori meskipun efeknya sering ringan tetapi dapat secara signifikan mempengaruhi kemampuan belajar anak atau kemampuan berkendara pada

  8

  dewasa atau fungsi pertahanan diri. Hasil Studi di RSUD Moewardi Surakarta bahwa gangguan daya ingat dialami 46% pasien epilepsi anak dengan lama pengobatan lebih dari 2 tahun dengan risiko 17 kali lebih tinggi dibandingkan

  23 dengan lama pengobatan kurang dari 2 tahun.

  Semakin lama pengobatan epilepsi semakin besar kemungkinan terjadi gangguan memori dimana OAE mempunyai efek negatif maupun positif terhadap kemampuan kognitif penderita. Obat anti epilepsi meningkatkan kemampuan kognitif dan tingkah laku pasien epilepsi dengan cara mengurangi bangkitan kejang, efek modulasi terhadap neurotransmiter dan efek psikotropika mengurangi iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi pasca-sinaps atau mempengaruhi sinkronisasi jaringan neuron untuk menurunkan eksitasi neuron yang berlebihan sehingga dapat menurunkan bangkitan kejang dan dapat menurunkan aktivitas epilepsi di sekeliling jaringan otak yang normal. Aktivitas OAE tersebut apabila dirangsang secara terus menerus dapat mengakibatkan penurunan aktivitas motorik dan psikomotor, penurunan perhatian, dan gangguan memori. Penurunan daya ingat dapat bersifat reversibel dan kumulatif, sehingga semakin lama pasien mendapatkan terapi anti epilepsi maka gangguan

  23,24 memori akan semakin besar. OAE yang paling mempengaruhi fungsi kognitif dan memori adalah

  8,10,23

  fenobarbital (PB) dan fenitoin (PHT). Beberapa studi tentang efek samping OAE terhadap fungsi kognitif dimana PB adalah OAE yang paling signifikan

  25

  mempengaruhi IQ. PB merupakan obat anti epilepsi klasik yang efektif untuk

  26

  epilepsi fokal. Dampak obat antiepileptik terjadi dengan cara meningkatkan inhibisi dimana PB berikatan dengan reseptor GABA memperpanjang waktu membukanya kanal klorida sehingga terjadi hiperpolarisasi. Pemakaian PB menimbulkan efek samping sedasi dan hipnosis yang mengakibatkan gangguan

  10,27

  perhatian dan konsentrasi. Suatu studi pada anak-anak penderita idiopathic

  

generalized tonic-clonic (GTC) seizure dimana OAE memodifikasi secara

  signifikan fungsi kognitif dan perilaku pada anak-anak epilepsi. Monoterapi PHT dan PB memiliki efek merusak dimana PHT lebih merusak pada kognisi, sementara PB lebih merusak pada perilaku sementara CBZ dan VPA memiliki

  10,25 efek positif pada kognisi dan perilaku.

  VPA dengan struktur 2-propylpentanoic acid merupakan obat antiepilepsi dengan spektrum luas. VPA bersifat larut dalam air, dan sangat higroskopis. VPA diindikasikan pada hampir semua tipe epilepsi, seperti absence, kejang tonik

  26

  klonik, kejang mioklonik, spasme infantile, serta kejang parsial. Pada sebuah studi didapatkan bahwa VPA merupakan pilihan utama pada penderita epilepsi usia sekolah karena penggunaan VPA jarang menyebabkan terjadinya gangguan

  25

  fungsi kognitif. Selain itu, kelebihan VPA juga memiliki potensi rendah dalam

  27

  menimbulkan eksaserbasi kejang. Pada penggunaan VPA dapat timbul efek samping lain seperti gangguan fungsi hati, trombositopenia, dan obesitas. Pada sebuah studi dikatakan kadar serum VPA secara signifikan berhubungan dengan edema, rambut rontok, trombositopenia, nyeri abdomen.

  28

2.4. Kerangka Konseptual

  • Asuhan - SOSEK
  • Pendidikan Orangtua - Jumlah saudara

  = Yang diteliti

Gambar 2.8 Kerangka konseptual

   IQ total

  Wechsler Intelligence scale for children : Verbal test dan performance test

  Tipe kejang Jenis sindroma epilepsi Frekuensi kejang

  Usia onset

  Genetika

  Lama mendapat OAE & Jenis OAE

  Lingkungan :

  Status gizi

  Epilepsi Idiopatik

Dokumen yang terkait

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Fungsi kognitif (IQ)Anak Epilepsi Idiopatik

5 88 52

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Anak 2.1.1. Pengertian anak - Faktor Dominan Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan di Kota Binjai

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Pasar Modal - Pengaruh Faktor Makro Ekonomi dan Faktor Fundamental Terhadap Harga Saham Perusahaan Asuransi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 22

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dermatitis Atopik 2.1.1. Definisi - Efektifitas Vitamin D terhadap Derajat Keparahan Dermatitis Atopik

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Laba dan Dividen Payout Ratio Pada Bank Umum

0 0 38

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth 2.1.1. Definisi - Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 18

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis Neonatorum 2.1.1. Definisi - Prokalsitonin Sebagai Tes Diagnostik Sepsis Bakterialis Pada Neonatus

0 4 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kantin 2.1.1. Definisi Kantin - Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kelaikan Kantin Sehat di Sekolah Dasar Kecamatan Medan Kota

1 1 39

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Laporan Keuangan - Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Audit Report Lag Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (2010-2012)

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dismenore 2.1.1. Defenisi Dismenore - Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Dismenore pada Siswi SMA Negeri 2 Medan Tahun 2014

0 1 11