BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth 2.1.1. Definisi - Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth

  2.1.1. Definisi

  Infeksi STH banyak ditemukan pada masyarakat yang tinggal di negara berkembang, terutama di daerah pedesaan. Soil-transmitted helminth (STH) adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) yang dalam

  1 perkembangannya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif.

  Terdapat 3 jenis infeksi STH dengan habitat pada usus manusia yang paling

  12

  sering ditemukan, yaitu: 1) Cacing gelang (roundworm/ A. lumbricoides) 2) Cacing cambuk (whipworm/ T. trichiura) 3) Cacing tambang (hookworm/ Necator americanus dan Ancylostoma

  duodenale)

  2.1.2. Epidemiologi

  Berdasarkan laporan terakhir oleh de Silva et al. pada tahun 2003 diperkirakan infeksi A. lumbricoides sebesar 1,221 miliar, T. trichiura 795 juta,

  1

  dan cacing tambang 740 juta terjadi di seluruh dunia. Infeksi STH yang paling banyak terdapat di negara Cina dan Asia Timur, Sub-Sahara Afrika,

4 India, serta Amerika. Di Indonesia angka nasional prevalensi kecacingan

  pada tahun 1987 sebesar 78,6%. Data prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia pada tahun 2002 sampai 2006 secara berurutan adalah sebesar

  13 33,3%, 33,0%, 46,8%, 28,4%, dan 32,6%.

  Berdasarkan data UNICEF tahun 2002 dengan penggunaan GIS didapatkan prevalensi tinggi kejadian infeksi STH di Indonesia terdapat di wilayah Irian Jaya (50 sampai 79.9%) dan Sumatera Utara (57% sampai 100%) serta prevalensi rendah di wilayah Jawa Timur (0.1 sampai 19.9%).

  Berdasarkan spesiesnya maka prevalensi di Sumatera Utara 50% sampai 79.9% untuk ascariasis, 80% sampai 100% untuk trichuriasis, dan 50%

  5

  sampai 79.9% untuk infeksi cacing tambang. Data terbaru mengenai prevalensi kecacingan di beberapa wilayah Sumatera Utara juga menunjukkan prevalensi tinggi infeksi STH, dimana di Kelurahan Tembung

  14

  15 ;

  tahun 2007 sebesar 73% Sibolga tahun 2008 dijumpai sebesar 55.8%;

  

16

Samosir tahun 2008 sebesar 56.4%; bahkan pada tahun 2011 terjadi

  17 peningkatan di Kabupaten Deli Serdang sebesar 84.4%.

  Kejadian ascariasis dan trihuriasis terbesar ditemukan pada anak yang berusia 5 sampai 15 tahun dan akan menurun pada usia dewasa. Sebaliknya infeksi cacing tambang mulai meningkat pada usia 20 tahun dan terus

  4 mengalami peningkatan pada usia dewasa.

  Infeksi STH lebih berakibat pada tingkat kesakitan (disability) dibandingkan kematian, beban yang ditanggung masyarakat diukur menggunakan disability-adjusted life years (DALY). Infeksi A. lumbricoides dan T. trichiura masing-masing menyebabkan hilangnya DALY sebesar 10.5 juta dan 6.4 juta DALY setiap tahunnya.

  

18

2.1.3. Faktor risiko

  Baik faktor lingkungan maupun penjamu mempengaruhi berat ringannya infeksi STH.

4 Terdapat beberapa faktor risiko kejadian infeksi STH

  sebagai berikut:

  a) Perilaku, rumah tangga, dan pekerjaan Intensitas infeksi cacing tambang tertinggi ditemukan pada orang dewasa.

  Pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian merupakan denominator infeksi cacing tambang.

  6

  b) Kemiskinan, sanitasi, dan urbanisasi Transmisi infeksi STH bergantung pada lingkungan yang telah tercemar tinja dan mengandung telur. Akibatnya, infeksi STH sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, sanitasi yang buruk, dan kurangnya akses penyediaan air bersih. Pencemaran tanah terutama oleh telur cacing A.

  

lumbricoides banyak terjadi di daerah pedesaan, pemukiman penduduk di

daerah pinggiran kota, dan daerah kumuh.

  19

  c) Iklim, cuaca, dan musim

  Penggunaan GIS dan remote sensing akhir-akhir ini dapat mengidentifikasi batasan distribusi infeksi STH berdasarkan pola suhu

  20 dan curah hujan.

  d) Etnis dan budaya Ditemukan prevalensi infeksi A. lumbricoides yang tinggi pada suku Bantu dibandingkan suku Baka (Pygmy) di Republik Afrika Tengah, sama seperti pada suku Melayu atau suku India di Malaysia dibandingkan suku Cina. Di India, Nawalinski et al. menemukan prevalensi tinggi infeksi cacing tambang pada kalangan Muslim dibandingkan orang Hindu meskipun kedua kalangan tersebut tinggal berdekatan dan memiliki pola perilaku

  21 yang berhubungan dengan faktor risiko tidak jauh berbeda.

  e) Pola makan Meskipun STH bukan merupakan infeksi yang ditularkan melalui makanan, namun telur A. lumbricoides dan larva cacing tambang akan melekat pada sayur-sayuran, dimana sayur-sayuran tersebut akan disebarkan ke pasar tanpa proses seleksi terlebih dahulu. Suatu survei di Jepang menemukan bahwa telur A. lumbricoides ditemukan pada 1 178

  21 dari 2 750 item sayur-sayuran yang dijual di 40 toko di Tokyo.

  f) Genetik Hingga saat ini belum diidentifikasi adanya gen yang dapat mengendalikan infeksi STH pada manusia. Namun, hasil penelitian mengenai genom akhir-akhir ini menemukan adanya kromosom 1 dan 13

  22 sebagai pengendali infeksi A. lumbricoides.

2.1.4. Gejala klinis

  Gejala klinis infeksi STH dapat dibagi dalam manifestasi akut yang berkaitan dengan migrasi larva melalui kulit dan visera, dan manifestasi akut serta kronik sebagai akibat dari cacing dewasa masuk ke saluran gastrointestinal. Manusia merupakan hospes definitif dari cacing tersebut. Di dalam tubuh, infeksi STH akan mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan, dan

  23 metabolisme makanan.

  Manifestasi dari infeksi STH bervariasi dari gejala ringan sampai berat. Gejala intestinal ringan yang timbul berupa nausea, muntah, diare, nyeri perut, konstipasi, dan kehilangan nafsu makan. Sedangkan gejala yang lebih berat antara lain obstruksi usus, malnutrisi, perdarahan kronis, anemia, serta

  

23

kolitis dengan tinja berlendir dan darah.

2.1.4.1. Migrasi larva Migrasi larva STH menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilaluinya.

  Misalnya, larva A. lumbricoides yang meninggal saat migrasi melalui hepar dapat menimbulkan eosinophilic granuloma. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus berakibat timbulnya gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindrom Löffler. Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu dan pankreas, sehingga menyebabkan kolesistitis atau pankreatitis. Gejala lain yang dapat ditimbulkan akibat migrasi larva A.

  

lumbricoides adalah gejala alergi seperti demam, urtikaria, dan penyakit

23,24 granulomatosa.

2.1.4.2. Parasit di saluran gastrointestinal

  Umumnya manifestasi klinis akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal terjadi bila intensitasnya sedang dan tinggi.

2.1.4.2.1. Ascariasis

  Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh cacing dewasa. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi

  

acute bowel obstruction, hal ini terlihat dengan adanya gejala muntah, distensi abdomen, dan rasa kram pada perut. Bahkan jika cacing bermigrasi

  23,24 ke dinding usus maka akan bermanifestasi sebagai peritonitis.

2.1.4.2.2. Trichuriasis

  Cacing T. trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat penderita mengejan saat defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Cacing dewasa T. trichiura diperkirakan menghisap darah sekitar 0.005 mL darah/ cacing/ hari. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Terkadang penderita memiliki riwayat rasa nyeri tersamar yang dirasakan pada regio abdomen kuadran kanan bawah.

  Penderita terutama anak-anak dengan infeksi T. trichiura yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala seperti diare yang sering disertai dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi kronis dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan disertai kemunduran dalam bidang intelektual dan kognitif.

  Infeksi berat T. trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau

  23,25 protozoa.

  2.1.5. Diagnosis

  Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur atau cacing dewasa dalam tinja segar. Metode yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel tinja dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz dan McMaster. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi dengan memperkirakan jumlah telur per

  

26-28

gram tinja (egg per gram feces/ epg).

  2.1.6. Pengobatan

  Terdapat 4 intervensi utama dalam pengobatan infeksi STH mencakup:

  1. Pemberian obat antihelmintik Pemberian obat antihelmintik (deworming) bertujuan untuk mengurangi morbiditas dengan mengurangi angka kesakitan akibat infeksi STH.

  Pemberian obat antihelmintik secara periodik terhadap kelompok yang berisiko tinggi dapat menurunkan angka kesakitan dan memperbaiki kesehatan serta pertumbuhan anak. Selain itu untuk ascariasis dan trichuriasis dengan angka kejadian yang tinggi pada anak sekolah dapat dikurangi kejadian transmisinya dari waktu ke waktu. Obat yang direkomendasikan untuk kontrol infeksi STH adalah benzimidazole antihelmintik (BZAs), albendazole (dosis tunggal: 400 mg, kecuali dosis 200 mg untuk anak usia 12-24 bulan), mebendazole (dosis tunggal: 500

  18,29,30 mg), levamisole, atau pirantel pamoat.

  2. Perbaikan sanitasi Bertujuan untuk mengendalikan transmisi dengan mengurangi kontaminasi pada tanah dan air. Hal ini merupakan intervensi utama untuk mengurangi angka kejadian infeksi STH, namun strategi ini hanya efektif jika dapat menjangkau populasi yang luas. Jangkauan populasi yang luas ini yang menjadi kendala karena membutuhkan biaya yang besar. Lebih lanjut lagi, intervensi tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun

  6,31 bahkan hingga puluhan tahun agar dapat menjadi efektif.

  3. Edukasi kesehatan Bertujuan untuk mengurangi kejadian transmisi dan reinfeksi dengan mempromosikan perilaku sehat. Cara sederhana dengan mengajarkan penggunaan jamban dan perilaku bersih. Tanpa adanya perubahan kebiasaan buang air besar, pemberian obat antihelmintik secara periodik diketahui tidak dapat mengurangi transmisi infeksi STH. Edukasi kesehatan merupakan cara yang sederhana namun dapat menurunkan

  31 angka kejadian infeksi STH secara berkelanjutan.

  4. Cara pengendalian baru Tingginya kejadian reinfeksi setelah pemberian terapi antihelmintik pada daerah endemis tinggi serta berkurangnya efikasi pengobatan antihelmintik secara periodik diperkirakan karena adanya resistensi terhadap obat-obat antihelmintik tersebut. Penelitian terbaru sedang mengembangkan cara baru untuk mengendalikan infeksi STH melalui program pengembangan vaksin untuk infeksi cacing tambang yang mengandung antigen larva Ancylostoma–secreted protein (ASP) 2. Vaksin ini terbukti efektif dalam pencegahan pada model hewan. Hal ini diharapkan dapat memutuskan penyebaran infeksi STH. Akan tetapi vaksin tersebut masih dalam proses pengembangan agar dapat digunakan pada manusia.

  4,29

2.2. Eosinofil

2.2.1. Fungsi eosinofil

  Eosinofil merupakan leukosit yang berasal dari sumsum tulang dimana perkembangan dan diferensiasi akhirnya berada dibawah kontrol beberapa sitokin seperti interleukin 3 (IL-3), granulocyte-macrophage colony-

  stimulating factor (GM-CSF), dan interleukin 5 (IL-5). Granulocyte

macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF) dan IL-3 menstimulasi

  perkembangan leukosit lain seperti monosit, neutrofil, basofil, sementara IL-5 berperan lebih spesifik pada eosinofil dimana bertanggung jawab dalam

  7,32 eosinofilopoiesis.

  Eosinofil memiliki diameter 8 µm dengan nukleus yang biasanya bilobus, terkadang bisa memiliki 3 atau lebih lobus. Ciri khas eosinofil adalah memiliki granul kristaloid yang besar, biasanya disebut granul spesifik atau sekunder. Granul kristaloid dikelilingi oleh membran dan mengandung protein dasar yang sangat kationik, dengan berat polipeptida 18 000 sampai 21 000 dalton. Protein dasar kationik tersebut diketahui memiliki aktivitas bakterisidal dan helmintotoksik. Selain itu eosinofil memiliki 4 tipe granul lainnya yaitu

  32,33 granul primer, granul kecil, badan lemak, dan vesikel sekretori kecil.

  Eosinofil membahayakan karena efek proinflamasi, namun dapat

  34

  menguntungkan karena efek antiparasitik. Meskipun salah satu fungsi eosinofil adalah untuk memfagosit dan membunuh bakteri, namun eosinofil

  32 tidak dapat menghilangkan infeksi bakteri tanpa adanya bantuan neutrofil.

  Hipotesis mengenai fungsi utama eosinofil untuk melindungi pejamu dari infeksi organisme seperti STH berdasarkan beberapa penemuan sebagai

  35

  berikut:

  a) Eosinofil berdegranulasi dan dapat membunuh cacing secara in vitro dengan adanya antibodi dan/atau komplemen b) Eosinofil berada dalam darah dan bersatu pada cacing secara in vivo c) Sejumlah besar eosinofil seringkali terlihat berhubungan erat dengan cacing yang masih utuh bahkan telah mati secara in vivo d) Eosinofil secara jelas berdegranulasi di sekitar atau pada permukaan cacing secara in vivo

  Disamping berfungsi sebagai efektor perifer, eosinofil juga mengatur respon imun dengan meningkatkan pelepasan sitokin dan kemokin. Eosinofil berperan dalam beragam reseptor permukaan sel untuk memberi sinyal pada sel sehubungan dengan proses kemotaksis, adhesi, respiratory burst, degranulasi, produksi sitokin dan kemokin, apoptosis maupun bertahan hidup, dimana semuanya berhubungan dengan eosinophil-mediated tissue

  36 inflammatory responses ketika terjadi infeksi cacing.

2.2.2. Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan nilai eosinofil

  Istilah eosinofilia (dahulu dikenal dengan istilah granulosit eosinofilik) adalah

  33 peningkatan eosinofil > 450 eosinofil/µl yang diukur dari darah perifer.

  Peningkatan nilai eosinofil dalam darah perifer dapat muncul pada beragam penyakit (lihat Tabel 2.1.), maka untuk menegakkan penyebab dibutuhkan anamnesis yang lengkap. Penyebab peningkatan nilai eosinofil yang paling

  7,8

  sering di seluruh dunia adalah infeksi STH. Terdapat beberapa obat yang dapat menurunkan nilai eosinofil, seperti glukokortikoid, estrogen, epinefrin, obat myelosupresif, interferon alfa, antihistamin, kromolin, siklosporin,

  34 inhibitor dan antagonis leukotrien, serta inhibitor fosfodiesterase.

  Nilai eosinofil dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan apusan

  8

  darah tepi dan pemeriksaan darah vena di laboratorium. Nilai eosinofil mengikuti variasi diurnal dengan nilai terendah pada jam 10 pagi hingga siang hari dan mencapai 2 kali dari nilai terendah antara tengah malam

  7,37 hingga pukul 4 subuh.

  Kejadian eosinofilia merupakan kelainan darah yang umum terjadi di daerah tropis. Prevalensi kejadian eosinofilia di Kisaran sebesar 7.7% dibandingkan dengan negara di Eropa 2.8%. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di India (W. Bengal) sebesar 26.7% dibandingkan dengan negara di Eropa sebesar 2.1%. Diperkirakan bahwa kejadian eosinofilia pada masyarakat pedesaan tersebut berhubungan dengan tingginya insidensi

  11 infeksi parasit.

  8 Tabel 2.1. Beberapa keadaan penyebab eosinofilia Alergi Rinitis alergi Asma Urtikaria akut dan kronik Pemphigoid Reaksi hipersensitivitas obat Infeksi Infeksi cacing yang berinvasi ke jaringan Trichinosis

  Toxocariasis Strongyloidosis Ascariasis Filariasis Schistosomiasis Echinococcosis

  Pneumocystis carinii Toksoplasmosis Amebiasis Malaria Bronchopulmonary aspergillosis Coccidioidomycosis Scabies Keganasan Tumor otak Penyakit Hodgkin dan limfoma sel T Leukemia myelogenik akut Kelainan myeloproliferatif Gastrointestinal Inflammatory Bowel Disease Dialisis peritoneal Eosinophilic gastroenteritis Milk precipitin disease Hepatitis aktif kronis Reumatologi Artritis rheumatoid Eosinophilic fasciitis Imunodefisiensi Hyper-IgE syndrome Wiskott-Aldrich syndrome Graft vs host reaction Omenn syndrome Penyakit paru Sindrom Löffler Leukemia eosinofilik Hipersensitivitas pneumonia Lain-lain Trombocytopenia with absent radii Vaskulitis Post-iradiasi abdomen Histiositosis dengan kelainan pada kulit

2.3. Hubungan antara nilai eosinofil dan infeksi soil-transmitted

  helminth

  Pada awal tahun 1939, eosinofil dianggap berperan sebagai respon imun pada infeksi cacing. Kejadian eosinofilia pada infeksi selain sebagai reaksi

  38

  patologi juga merupakan reaksi imunitas protektif. Banyak ilmuwan menganggap bahwa fungsi utama eosinofil adalah perlindungan terhadap parasit, meskipun hanya sedikit bukti studi in vivo yang membuktikan hal tersebut. Eosinofil juga muncul dalam jumlah besar pada mamalia jika terjadi

  39 lesi inflamasi terkait dengan infeksi cacing atau kondisi alergi.

  Eosinofil timbul dalam sumsum tulang dari sel prekursor haematopoietik CD34. Pada tahap awal diferensiasi, eosinofil dikendalikan oleh sitokin GM-CSF dan IL-3, yang juga mengendalikan perkembangan granulosit lain seperti neutrofil, basofil, dan sel mast. Tahap selanjutnya dari diferensiasi dan pematangan, sebagian besar eosinofil dikendalikan oleh

  39,40

  sitokin IL-5, yang diproduksi oleh sel T aktif dan sel mast. Respon

  T-helper 2 (Th2) jelas terlibat dalam infeksi STH, dimana memberikan

  kemungkinan adanya kelangsungan hidup pada penderita infeksi STH

  41,42 sekaligus melindungi terhadap superinfeksi.

  Pada individu yang normal, eosinofil ditemukan dalam jaringan, terutama yang berinteraksi dengan dunia luar, seperti di kulit, permukaan

  39

  mukosa usus, pernapasan, dan sistem reproduksi. Eosinofil yang diproduksi di sumsum tulang dilepaskan dalam jumlah yang rendah ke sirkulasi darah.

  Eosinofil merupakan sel yang berdiferensiasi akhir setelah meninggalkan

  32 sumsum tulang dengan umur paruh waktu sekitar 18 jam.

  Masa hidup eosinofil pada jaringan normal tidak diketahui pasti, namun diperkirakan dapat bertahan selama beberapa hari bahkan minggu.

  Eosinofil hanya bertahan hidup beberapa jam dalam sirkulasi darah. Pada infeksi STH, eosinofil dikeluarkan lebih cepat dari sumsum tulang dengan terstimulasi kurang lebih dalam 1 jam. Kelangsungan hidup eosinofil dalam jaringan juga meningkat dan laju eosinofilopoiesis dalam sumsum tulang

  32,43-45

  meningkat secara dramatis. Diketahui bahwa IL-3, IL-5, dan GM-CSF dapat menghambat proses apoptosis eosinofil selama kurang lebih 12 sampai 14 hari secara in vitro dan pada penderita sinusitis. Sebaliknya tanpa

  34 adanya sitokin tersebut, eosinofil hanya dapat bertahan kurang dari 48 jam.

  Eosinofil sangat cepat mengalami pergantian pada lesi inflamasi

  39

  dimana hanya bertahan hidup 4 sampai 5 hari. Diketahui bahwa apoptosis pada eosinofil yang dipicu oleh helminth-derived excretory-secretory products (ESP) dapat menyebabkan inflamasi jaringan berat yang turut berperan

  46 dalam melawan infeksi kecacingan.

  Studi di Jepang membuktikan adanya hubungan signifikan ascariasis

  47

  dengan derajat eosinofilia. Namun tidak terdapat perubahan signifikan nilai eosinofilia pada trichuriasis, bahkan jika terjadi migrasi cacing ke mukosa

  25

  usus besar. Dari studi oleh James B. Sumagaysay et al. di Filipina didapatkan nilai rerata eosinofil pada masing-masing Infeksi A. lumbricoides, cacing tambang, T. trichiura, dan koinfeksi adalah 10%, 15.1%, 13%, dan

  10 15.8%.

2.4. Kerangka Konseptual

  Hematocytoblast

  IL-3 GM-CSF Common Lymphoid Common Myeloid Progenitor Progenitor

  Lymphoblast Megacaryosit Proerythroblast Myeloblast Eritrosit Trombosit Sel B Sel T

  IL-3

  IL-5 GM-CSF Eosinofil Netrofil Basofil Monosit

  • Perilaku, rumah tangga,

  Fungsi kognitif:

  • Kemampuan verbal dan pekerjaan KOMPLIKASI
  • Kemampuan motorik

  Infeksi

  • Kemampuan aritmetik

  Soil-Transmitted

  • Kemiskinan, sanitasi, dan
  • Kehadiran di sekolah

  Helminths urbanisasi

  • Iklim, cuaca, dan musim

  Status nutrisi:

  • Berat badan
  • Tinggi Badan - Etnis dan bu
  • Pola makan

  Anemia Hati, Paru, Kulit, Saluran cerna, Saluran empedu, Pankreas

  Toxocariasis Ascariasis Trichuriasis Infeksi Infeksi Infeksi

  Infeksi Cacing Strongyloides Trichinella Enterobius Tambang stercoralis vermicularis spiralis

  Keterangan: yang diamati dalam penelitian

Dokumen yang terkait

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan Perusahaan Pengakuisisi Sebelum dan Sesudah Akuisisi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2010

0 1 8

Analisis Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan Perusahaan Pengakuisisi Sebelum dan Sesudah Akuisisi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2009-2010

0 0 10

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sejarah Singkat Kartu Prabayar GSM (Global System for Mobile) - Analisis Preferensi Mahasiswa Terhadap Kartu Prabayar GSM dengan Metode Konjoin Full-Profile (Studi Kasus: Mahasiswa FMIPA USU)

0 0 16

Analisis Pendapatan Petani Silvopastura di Desa Aman Damai, Kecamatan Sirapait, Kabupaten Langkat

2 4 15

Analisis Manajemen Kas Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara

0 0 18

a. Mohon dengan hormat bantuan dan kesediaan saudara untuk menjawab seluruh pertanyaan yang ada. b. Berilah tanda (X) pada salah satu nomor jawaban pada kolom pertanyaan dibawah ini, pilih sesuai dengan keadaan atau kejadian yang sebenarnya. c. Kuesioner

0 2 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Faktor Gizi, Merokok, Minum Kopi, Minum Teh dan Antenatal Care terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Batang Kuis Kabupate

0 0 21

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Faktor Gizi, Merokok, Minum Kopi, Minum Teh dan Antenatal Care terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

0 1 12

2. Biaya Penelitian - Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 30

Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 1 6