Orang Muda dalam Politik Dinamika Perge

“Orang Muda” dalam Politik:
Dinamika Pergerakan Antikolonial di Indonesia Awal Abad Ke-20
Oleh: Andi Achdian
(Terbit dalam Jurnal Prisma, Edisi 2, Tahun 2011)

Abstrak:
Ada suatu waktu dalam pengalaman sejarah suatu masyarakat, betapa pun biasa tetapi
karena keunikan dan kegunaannya, menjadi momen berpengaruh dalam lingkup kehidupan
masyarakat bersangkutan. Ia diperingati sebagai ritual khusus dan diberi makna baru sesuai
dengan kondisi kontemporer. Begitulah ketika membayangkan peristiwa Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 yang sekarang ini menjadi “hari besar” tersendiri dalam kalender nasional
Indonesia. Ia sekaligus menjadi penanda yang mengingatkan waktu historis sebuah
masyarakat yang membayangkan diri sebagai komunitas politik dengan hak sahih atas
kedaulatan politik manusia yang tinggal di dalamnya – pada saat itu belum menyentuh
kedaulatan wilayah.
Satu setengah dekade kemudian, pernyataan “bangsa” dalam Sumpah Pemuda yang
masih berupa konsep mengambil bentuk lebih historis dalam momentum krisis pasca-Perang
Dunia II. Kalimat pembuka teks proklamasi “Kami bangsa Indonesia” disusul dengan
pernyataan kedaulatan politik melalui kemerdekaan menegaskan sifat politik bahwa konsepsi
tentang bangsa, menjadi matang dalam rentang periode waktu satu setengah dekade
sebelumnya, yang memutuskan mengambil alih bentuk kekuasaan negara “dalam tempo

setjepat-tjepatnja” melalui proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Tulisan ini bukan bermaksud mengupas sebuah tradisi dan ritual yang lahir dan
“diciptakan” dalam riwayat historis suatu negara-bangsa, atau lebih khusus tentang
bagaimana Sumpah Pemuda menjadi landasan ontologis imajinasi Indonesia sebagai negara
bangsa dalam benak kontemporer kita. Uraian yang disodorkan lebih mewakili cara
tradisional seorang sejarawan dengan kegemaran meletakkan sebuah peristiwa pada rentang
waktu kejadiannya, menelaah kekhususan yang ada di dalam, untuk kemudian mengikuti
jalur perkembangan kejadian-kejadian khusus itu. Dengan cara seperti ini fokus penulisan
akan bertumpu pada istilah “pemuda” yang membentuk frase politik memasuki paruh kedua
dekade 1920-an abad ke-20. Frase pemuda dengan demikian menjadi jendela awal dalam
tulisan ini untuk meneropong sebuah periode antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II
dalam membangun pengertian terhadap persoalan zaman, dan karakter politik periode
tersebut sebagaimana diwakili dengan kemunculan frase pemuda dalam politik pergerakan.

 



Pendahuluan
Bandung awal Januari 1923. “Ketika itu berlangsung rapat raksasa di sebuah lapangan

terbuka di Kota Bandung.... Ini adalah rapat Radicale Concentratie, sebuah rapat raksasa
yang diadakan oleh seluruh organisasi kebangsaan,” Soekarno menuturkan pengalaman awal
memasuki dunia pergerakan antikolonial di Hindia Belanda. “Setiap pemimpin berpidato.
Aku masih seorang pemuda. Aku mendengarkan. Tetapi tiba-tiba aku ingin mengatakan
sesuatu dan sesuatu. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Mereka semua bicara
omong kosong”. Atas “semua omong kosong” itu, Soekarno naik ke mimbar. Di luar
perkiraan panitia dan polisi rahasia yang mengawasi jalannya pertemuan, Soekarno berpidato
mengecam kolonialisme Belanda di Indonesia. Kepala polisi Bandung, yang terkejut dengan
isi pidato yang diucapkan, memaksa Soekarno turun dan membubarkan pertemuan. “Hari itu
juga aku menjadi pembicaraan di seluruh kota dan setiap orang mengetahui nama
Soekarno”.1
Kemunculan Soekarno di lapangan terbuka di Bandung -- seperti ditulis Cindy Adams
-- mengawali satu fase penting dalam sejarah pergerakan politik antikolonial di HindiaBelanda. Bagi Soekarno pribadi, perkembangan yang terjadi setelah pidatonya itu
menempatkan transformasi diri seorang pemuda yang dua tahun sebelumnya adalah aktivis
organisasi pemuda biasa di Kota Surabaya, Jong Java, dan siswa Hogere Burger School
(HBS), menjadi salah seorang tokoh penting dalam politik pergerakan nasional.
Ketika Sukarno tampil di atas panggung, sesungguhnya momentum politik bagi
seorang pemimpin muda telah terbuka lebar dalam memimpin pergerakan antikolonial di
Hindia-Belanda. Tetapi ada yang cukup mengherankan di sini. Soekarno memilih
menamatkan lebih dahulu studinya di THS dibanding segera terjun dalam dunia politik yang

kemudian menjadi kehidupan yang dijalani sampai akhir riwayat hidupnya. Pilihan ini
menjadi tipikal umum karakter dan sosok para pemimpin politik pergerakan Indonesia yang
lahir dan berkembang dalam era yang sama dengan periode kemunculan Sukarno dalam
dunia politik seperti Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta.
“Pematangan diri dan studilah yang dipilihnya, dan bukan glamor seorang
politikus...” seorang sejarawan memberikan catatan atas fenomena tersebut. Lebih lanjut ia
menambahkan bahwa “[c]iri pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir bahwa
semasa mudanya mereka dapat mengatur hidup menurut cita-cita serta peran yang mereka
idamkan”.2 Jadi, ada satu periode jeda sebelum kemudian seorang dengan keyakinan pribadi
merasakan bahwa “diri mereka memang ditakdirkan’ tampil memimpin sebuah bentuk
perjuangan dari kelompok yang diwakilinya. Mereka adalah tipe freischwebende Intelligenz,
meminjam istilah Karl Manheim, yang memiliki klaim menjalankan kekuasaan politik bukan
sekedar dari latar belakang pendidikan ala barat yang mereka terima dan latar belakang
sosialnya, ‘tetapi berkuasa karena mereka adalah seorang intelligentsia’ (Benda, 1965 : 234).
Ini yang kemudian membedakan sosok Sukarno, Sjahrir dan Hatta dan para pemimpin
pergerakan politik antikolonial Indonesia dengan sosok lain seperti Jose Rizal di Filipina,
Sihanouk di Kamboja dan para pangeran keturunan dinasti Rama V di Thailand dalam satu
semangat jaman yang sama. Apabila pembanding mereka lebih mewakili sosok pembaharu
bagi kelas atau kelompok sosial mereka berasal, maka di Indonesia kita mendapatkan sosok
dengan‘pengalaman belajar dan pandangan dunia bersama’ dengan latar belakang sosial yang

beragam dan memimpin arah dan orientasi pergerakan antikolonial. Dalam kasus Sukarno,
ada sekitar dua tahun setelah pidato menggemparkan itu untuk menjadikan Soekarno bersama
                                                        
1
2

 

Cindy Adams. Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (Edisi Revisi). Media Pressindo, Jakarta. 2007. Hal.
Onghokham. Rakyat dan Negara. LP3ES, Jakarta. 1991. Hal. 12.



Mr Ishaq Tjokrohadisoerjo, Tjipto, Abdoel Moeis, dan Anwari, terjun dalam dunia politik
nyata dengan mendirikan Algemene Studie Club (ASC) beserta Indonesia Moeda yang terbit
berkala setiap bulan. Sepanjang tahun itu Sukarno menelurkan tesis besar yang terbit
bersambung dengan tajuk Nasionalisme, Islam dan Marxisme (1926) dan kemudian
diterapkan dalam persatuan politik bagi golongan Nasionalis, Agama dan Komunis
(NASAKOM) dalam era dewasa Sukarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia yang
merdeka.

Di luar transformasi diri yang diwakili Sukarno, sesungguhnya kita tengah
menyaksikan sebuah karakter dan sifat politik berbeda ketika Sukarno muncul sebagai
pemimpin dengan periode sebelumnya ketika muncul apa yang disebut Takashi Shirashi
sebagai ‘pergerakan rakyat’ dalam panggung politik Indonesia. Tak dapat dimungkiri, usia
muda mewakili ciri bersama generasi pergerakan antikolonial Indonesia sejak peralihan abad
ke-20 yang dimulai dengan pembentukan organisasi Boedi Utomo di kalangan mahasiswa
kedokteran STOVIA di Batavia. Kita bisa memperhatikan karier politik Ki Hadjar Dewantara
(Soewardi Soerjaningrat) yang bergabung dengan Boedi Utomo saat berusia 19 tahun,
bergabung dengan Indische Partij bersama Tjipto Mangunkusumo (saat itu berusia 26 tahun)
dan Douwes Dekker, kemudian menjalani hukuman pembuangan keluar dari Hindia Belanda
pada usia 24 tahun atas tulisan satir yang mengejek perayaan 100 Tahun Kemerdekaan
Belanda berjudul Als Ik Nederlander Was. Dari segi usia, perbandingan lebih mengesankan
lagi adalah Semaun. Pada usia 14 tahun dia telah memulai aktivisme politik sebagai
propagandis organisasi Sarekat Islam (SI), menjadi pemimpin SI Semarang pada usia 18
tahun, dan menduduki jabatan ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) saat berusia 20 tahun.3
Dalam kaitan ini profil Semaun mengalahkan Sokarno, Hatta dan Sjahrir yang bisa dikatakan
“terlambat” memasuki arena politik pergerakan.
Namun ada persoalan lebih penting di sini saat kita mencoba membandingkan sosok
Sukarno dengan Semaun yang sama-sama tampil dalam usia muda. Lebih dari sekadar usia
muda mereka, sesungguhnya kita tengah menyaksikan sebuah “sejarah baru” yang menjadi

ciri kepemimpinan Soekarno dan Sjahrir yang mendominasi politik pergerakan sejak akhir
dekade 1920-an. Sifat sadar akan usia muda seperti dinyatakan sendiri oleh Soekarno dalam
otobiografinya dengan demikian adalah ciri tersendiri sesuai kondisi jaman yang
membedakan watak politik mereka. Kemunculan frase “pemuda” (dan terpelajar) sebagai
bagian penting dalam wacana politik pergerakan antikolonial adalah sebuah perubahan
sejarah yang terjadi dalam panggung politik pergerakan itu sendiri.

Hancurnya Radikalisme
Dalam bagian ini, kita mundur ke belakang sejenak untuk mendapatkan gambaran
tentang bagaimana transformasi sejarah yang membedakan watak pergerakan politik
Indonesia terjadi dalam beberapa dekade awal abad ke-20, khususnya setelah Perang Dunia I
di Eropa yang menjadi dasar perkembangan baru dalam politik global terkait dengan
kolonialisme bangsa Eropa di Asia. Periode itu adalah sebuah awal merosotnya keyakinan
supremasi dan dominasi kulit putih di Asia yang dimulai sejak kedatangan armada Vasco da
Gama di Tanjung Harapan lima abad sebelumnya. Pemerintah kolonial Inggris di India dan
Burma serta Perancis di Indochina mulai meminta “dukungan moral” bangsa jajahannya
dengan mengirim buruh dari koloni mereka mengisi kekosongan tenaga kerja dalam negeri
menghadapi agresi militer Jerman pada Perang Dunia I (1912-1914).
                                                        
3


 

Lihat Ruth. T. McVey. The Rise of Indonesian Communism. Equinox Publishing, Jakarta. 2006.



Tahun 1914, Presiden Woodrow Wilson mengeluarkan deklarasi empat belas poin
yang mengangkat “hak menentukan nasib sendiri” bangsa-bangsa jajahan. Dalam periode
waktu hampir bersamaan dengan munculnya Soekarno di panggung politik antikolonial di
Indonesia, Mahatma Gandhi dan Partai Kongres di India memulai gerakan non-kooperasi
sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Inggris. Revolusi kaum sosialis bulan
Oktober 1917 di Rusia semakin memalingkan harapan kaum nasionalis di Asia terhadap
negara-negara barat dan melihat Revolusi Oktober di Rusia sebagai orientasi baru politik
mereka. Sun Yat-sen, pendiri negara Republik Tiongkok, menyatakan di depan publik China
bahwa rakyat Rusia adalah “satu-satunya sekutu dan saudara” rakyat China dalam perjuangan
mereka.4 Ringkasnya, politikus di negeri induk semakin menyadari pentingnya menjalankan
politik kolonial mereka dengan cara baru sesuai dengan perkembangan zaman.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam dunia internasional itu juga menghampiri
masyarakat Hindia-Belanda dibawah kekuasaan kolonialisme Belanda.

Kita akan melihatnya dari perkembangan koridor kekuasaan yang terjadi di Hindia
Belanda saat itu dan dinamikanya ketika berinteraksi dengan politik oposisi yang muncul
terhadap koridor kekuasaan itu. Karakter yang menarik saat itu diwakili JP Graaf van
Limburg Stirum, seorang aristokrat liberal yang mulai menjabat Gubernur Jenderal pada
Maret 1916 menggantikan Idenburg yang telah menjabat selama lima tahun (1911-1916).
Secara garis besar, kebijakan-kebijakan van Limburg Stirum meneruskan langkah Idenburg
menggulirkan pembaruan politik di tanah jajahan dengan visi bahwa “Hindia tidak selamanya
menjadi cabang dari Belanda sebagai negeri induk.” Salah satu kreasi penting van Limburg
Stirum adalah membentuk Volksraad yang berfungsi sebagai “badan penasihat”
mendampingi pemerintahan pada Desember 1916. Wewenang terbatas tanpa kekuasaan
legislasi dan interpelasi menyebabkan lembaga tersebut mendapat julukan “panggung
komedi” di kalangan aktivis pergerakan. Namun, ia tetap membangkitkan antusiasme
pimpinan pergerakan yang melihat lembaga itu sebagai awal menuju otonomi dan
pembentukan pemerintahan sendiri di tanah jajahan. Dalam kaitan ini, van Limburg Stirum
jelas ingin mengarahkan kebangkitan kesadaran nasional dan mengendalikan perubahan itu
melalui jalur politik parlemen.5 Langkah-langkah van Limburg Stirum ini berada dalam satu
semangat zaman yang sama dalam lingkup lebih luas di Eropa.
Namun demikian, senantiasa ada jarak antara rencana yang tersusun rapi dan cermat
dengan kenyataan yang terjadi kemudian dalam catatan sejarah. Dalam kaitan ini, van
Limburg Stirum menghadapi tantangan terbesar dengan benih gagasan juga berasal dari

“negeri induk” yang diwakili sosok penggerak sayap kiri Partai Sosial Demokrat sekaligus
ketua serikat buruh kereta api di Negeri Belanda, yakni Henk Sneevliet yang datang tiga
tahun lebih awal sebelum van Limburg Stirum menduduki jabatan gubernur jenderal.
Dibanding van Limburg Stirum, Sneevliet terbukti berhasil mengarahkan perkembangan
politik di Hindia-Belanda di luar rencana pemerintah. Dia segera merombak organisasi
serikat buruh kereta api (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel, VSTP) yang
terbentuk sejak 1908 dengan mengaitkan hubungan organisasi serikat buruh ini dengan
perkumpulan sosialis demokrat di Hindia-Belanda (ISDV) yang dibentuknya di Semarang
pada 1914. Dia mengikutertakan murid didiknya, Semaun, yang saat itu bekerja sebagai
karyawan muda di bagian administrasi jawatan kereta api. Melalui Semaun, sebuah jembatan
dibangun antara organisasi serikat buruh, kelompok sosial demokrat dan organisasi massa
yang populer di Hindia-Belanda saat itu, Sarekat Islam.
                                                        
4

K.M. Panikkar. Asia and Western Dominance: A Survey of the Vasco Da Gama Epoch of Asian History, 14981945. Allen & Unwin, London. 1961. Hal. 205-211.
5
Takashi Shiraishi. An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. Cornell University Press,
Ithaca. 1990. Hal. 94.


 



Kedudukan Semaun sebagai pemimpin Sarekat Islam cabang Semarang menjadi bukti
keberhasilan Sneevliet menanamkan “prinsip-prinsip sayap kiri” dalam perjuangan
antikolonial di Hindia-Belanda saat itu. Pada 23 Mei 1920, kader-kader militan Sneevliet
mendirikan Perserikatan Komunis di Hindia (kemudian Partai Komunis Indonesia) di
Semarang dan menjadi partai komunis pertama di Asia, mendahului Partai Komunis China
yang berdiri setahun kemudian (Juli 1921). Dengan basis utama gerakan buruh, Semaun yang
menjadi pemimpin PKI memasukkan nilai-nilai baru melampaui visi politik etis pemerintah
kolonial yang mengharapkan integrasi pribumi dalam nilai-nilai kemajuan Eropa. Melalui
pemogokan, rapat akbar, pawai, dan demonstrasi, Semaun dan partainya (PKI) memimpin
“abad pemogokan yang menyingsing di Hindia” dan “SI Semarang di bawah kepemimpinan
Semaun menjadi titik gravitasi dunia pergerakan”.6
Tantangan seperti itu merupakan batu sandungan terhadap kebijakan-kebijakan van
Limburg Stirum. Radikalisme kaum buruh menyebabkan kebijakan van Limburg Stirum
dianggap sebagai sebuah bentuk kegagalan pemerintah di mata politisi konservatif dan
pengusaha Belanda di negeri induk. Pada April 1921, van Limburg Stirum digantikan Dirk
Fock, seorang pengacara yang sebelumnya menjadi anggota Volksraad dan selalu menentang

kebijakan van Limburg Stirum yang dianggapnya lemah dalam menghadapi militansi dan
radikalisme politik kaum buruh. Debut politik Fock sebagai gubernur jenderal diawali dengan
diperkenalkannya kebijakan anggaran berimbang, pengetatan finansial dan peningkatan pajak
dengan tidak merugikan pengusaha. Akan tetapi, hal lebih penting adalah cara dia menangani
politik di Hindia-Belanda saat itu. Van Limburg Stirum lebih banyak menerapkan cara-cara
politik, sedangkan Fock memperkuat Dinas Polisi Rahasia (Algemeene Rechercedienst
dibentuk pada 1918) sebagai cara menghadapi pergerakan. Dengan demikian, realitas
pergerakan politik di Hindia-Belanda pada paruh kedua abad ke-20 menjadi realitas “Negara
Polisi” dengan polisi rahasia dan telik sandi senantiasa mengintai aktivis pergerakan
menggantikan peran pegawai sipil dinas dalam negeri.7
Kebijakan Fock cukup efektif dalam menghentikan laju politik radikal di HindiaBelanda. Aktivitas polisi rahasia dan telik sandi yang membuntuti dan menangkap aktivis
pergerakan dan membubarkan pertemuan-pertemuan politik menjadi tekanan yang
melemahkan gerakan kaum buruh dan politik radikal. Sepanjang paruh kedua abad ke-20,
pendekatan represif pemerintah praktis melumpuhkan politik pergerakan dan menempatkan
kaum pergerakan sekadar bertahan menghadapi tekanan berujung pada pemberontakan yang
gagal pada 1926. Penghancuran gerakan komunis di Indonesia mengingatkan kita pada
Shanghai Massacre (1927) yang nyaris meluluhlantakkan kekuatan Partai Komunis China.
Akan tetapi, di sini ada perbedaan cukup signifikan. Pembersihan kaum komunis di China
melahirkan strategi baru gerakan komunis dengan meninggalkan buruh perkotaan dan beralih
pada kelompok petani sambil membangun tentara sendiri. Inisiatif seperti itu tidak pernah
muncul di sepanjang riwayat pergerakan antikolonial di Hindia-Belanda. Organisasi sebesar
PKI hancur dan “terpaksa” bergerak di bawah tanah sampai muncul kembali menjadi partai
politik legal tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Agustus 1945.
Sebelum mengakhiri bagian ini dengan riwayat kehancuran gerakan komunis tertua di
Asia saat itu, kita akan menajamkan terlebih dahulu lensa sejarah pada sosok pimpinan
terkemuka, yaitu Semaun, sebagai cara melihat bagaimana perbedaan itu terjadi dalam waktu
kemudian dalam panggung politik pergerakan. Sosok Semaun dengan segala aktivitas
pergerakannya di Semarang tampil berbeda dibanding Soekarno dan Sjahrir. Soekarno dan
Sjahrir banyak menghabiskan usia muda mereka sebagai siswa sekolah tinggi kolonial,
sedangkan Semaun seperti kebanyakan tokoh aktivis pergerakan radikal yang tumbuh
                                                        
6
7

 

Ibid., hal. 103.
Ibid., hal. 232.



berkembang sejak paruh kedua abad ke-20 terjun langsung dalam aktivisme politik sebagai
propagandis organisasi serikat buruh di Surabaya dan Semarang serta memimpin Sarekat
Islam cabang Semarang dan kemudian PKI. Semaun, dan juga Winanta yang
menggantikannya sebagai ketua PKI pada 1924, berasal dari keluarga buruh dengan tingkat
pendidikan lebih rendah dibanding Soekarno dan Sjahrir.
Semaun menekuni dunia pergerakan “sebagai kenyataan hidup yang dihadapinya
tanpa amarah, ketakutan dan ketegangan generasi sebelumnya” dalam menghadapi tradisi
jongkok dan sembah berhadapan dengan para pembesar pribumi dan kolonial. “Generasi
pendahulunya membenci tradisi itu, tetapi tetap terkungkung” dalam apa yang dikatakan
Pramoedya Ananta Toer sebagai sembah-sumpah.8 Ini tentu sebuah psikologi politik berbeda
bila kita memperhatikan para pemuda terpelajar yang menjadi pemimpin pergerakan
antikolonial seperti Tjipto Mangoenkusumo dan Suwardi Soerjaningrat pada awal abad ke-20
dan tokoh lainnya seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.
Dalam kaitan ini, pergerakan dan kesadaran untuk terjun dalam dunia pergerakan
bukan sekadar dorongan motivasi pribadi mematahkan kekolotan tradisi feodal yang
mengungkung dunia pemuda terpelajar Indonesia pada dekade awal abad ke-20, tetapi lebih
pada bagaimana pembentukan kekuatan terwujud melalui pengorganisasian basis sosial kelas
buruh di perkotaan melalui disiplin organisasi massa dikaitan dengan strategi politik partai
(diwakili oleh satu partai komunis). Pendek kata, “abad pemogokan yang menyingsing di
Hindia dan SI Semarang di bawah kepemimpinan Semaun menjadi titik gravitasi dunia
pergerakan” sekaligus menjadikan Semaun dan partainya (PKI) sebagai kekuatan utama
memimpin pergerakan saat itu.9 Dengan demikian, ketika Semaun memimpin pergerakan,
istilah “pemuda” (dan terpelajar) tidak pernah menjadi wacana politik dan unsur penting di
kalangan basis massa buruh dan petani. Hal demikian seolah menegaskan pandangan seorang
sejarawan yang menyebutkan bahwa “[d]i kalangan petani di Indonesia, masa muda itu
sebenarnya tidak ada. Demikian juga tidak ada masa muda di kalangan buruh”.10

Kaum Terpelajar Memimpin Politik
Kembali pada sosok Sukarno dan rekan-rekannya. Setelah menyelesaikan pendidikan
dan meraih gelar sarjana sekolah teknik di Bandung, ia terjun dalam dunia politik secara
total. Mereka membentuk Perserikatan Nasional Indonesia (kemudian menjadi Partai
Nasional Indonesia, PNI) pada 4 Juli 1927. Di sini, selain gambaran lengkap tentang
kehadiran seorang politikus dengan pemikiran matang sebagai visi penuntun tindakan politik
sekaliber Soekarno, terdapat sebuah terobosan politik yang mengisi “kevakuman” politik
pergerakan setelah kehancuran PKI dalam pemberontakan gagal 1926. Terobosan itu terjadi
melalui inisiatif Soekarno sebagai ketua PNI yang mengusulkan pembentukan Permufakatan
Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) bulan Desember 1927.
Partai dan organisasi politik yang masuk menjadi anggotanya adalah PNI, Partai Sarekat
Islam, Paguyuban Pasundan, Budi Utomo, Studie Club, Sarekat Sumatra, Sarekat Madura,
Kaum Betawi, dan Partindo yang dibentuk pada 1932.11
Pembentukan PPPKI sejenak mengingatkan pada model front persatuan ala Tiongkok
yang berhasil menyatukan Partai Komunis China dengan Partai Nasionalis Kuomintang
dalam menghadapi agresi militer Jepang. Perbedaan signifikan antara PPPKI dan front
                                                        
8

Shiraishi, 1990: 98.
Shiraishi: 103.
10
Onghokham. Op.cit., hal. 133.
11
Slamet Mulyana. Kesadaran Nasional: dari kolonialisme sampai kemerdekaan, Jilid. I. LKIS, Yogyakarta.
2008. Hal. 134.
9

 



persatuan model China adalah pada sifat keanggotaannya. Front persatuan didasarkan pada
keikutsertaan individu anggota masing-masing partai dalam satu program bersama,
sedangkan PPPKI lebih menampilkan gambaran penyatuan organisasi partai-partai politik
yang ada menjadi “pembentukan kekuatan dan pembangunan kekuasaan nasional”.12
Perubahan nama “permufakatan” menjadi “persatuan” pada kongres Mei 1931 menegaskan
gambaran itu. Ringkasnya, kita memperoleh sebuah penerapan gagasan politik yang telah
dirumuskan Soekarno tentang arti penting persatuan kekuatan nasional di Hindia-Belanda.
Dalam periode ini, sifat dan warna “Indonesia” dalam tindakan politik pergerakan
semakin kental menggantikan suasana politik periode sebelumnya. Walaupun PKI adalah
partai politik pertama yang menggunakan kata Indonesia dalam identitas partai, masih
banyak tersisa orang-orang Belanda dan kalangan Indo progresif era ISDV yang mengisi
kepemimpinan PKI dan organisasi serikat buruh pendukung partai ini. Aktivitas politik PKI
yang lebih menekankan mobilisasi kekuatan ekonomi politik buruh di perkotaan dan petani di
perdesaan dalam slogan politik “sama rata sama rasa” menjadikan konsep tentang Indonesia
sebagai bukan prioritas utama agenda politik mereka. Sebuah impian tentang transformasi
sosial dalam hubungan kapitalistik masyarakat kolonial saat itu adalah target utama politik
pergerakan yang berpusat di kota buruh Semarang.
Setelah kehancuran PKI dan kepemimpinan PNI dalam panggung politik pergerakan,
visi Soekarno tentang arah pergerakan menjadi pemikiran dominan dan konsepsi mengenai
Indonesia menjadi penanda politik utama yang menekankan sebuah perbedaan di antara front
“kulit sawo matang” berhadapan dengan “kulit putih” yang memegang tampuk kekuasaan
kolonial. Sifat politik lebih menekankan unsur Indonesia dalam kalangan pergerakan
dijadikan alasan oleh Partai Sarikat Islam (PSI) untuk keluar dari PPPKI. Tokoh-tokoh partai
ini beralasan bahwa prinsip PSI yang menekankan unsur Islam tidak membatasi keanggotaan
berdasarkan latar belakang asalkan mereka adalah pemeluk agama Islam. Persoalan ini pun
sesungguhnya menciptakan krisis terus-menerus di tubuh PSI antara kubu Agus Salim dan
Cokroaminoto yang mengedepankan visi tentang Pan-Islamisme dengan Sukiman dan
Surjopranoto yang lebih menekankan sisi kebangsaan dalam agenda politik masing-masing.
Kubu Sukiman-Surjopranoto akhirnya memisahkan diri dengan membentuk Partai Islam
Indonesia (PARI) pada Mei 1935, mengikuti arus perkembangan zaman yang cenderung
bergerak pada politik kebangsaan.
Jadi, PPPKI adalah sebuah inisiatif yang mewakili semangat baru dalam mengisi
pergerakan politik antikolonial dengan sifat Indonesia yang lebih mewarnai wacana politik
dan tindakan mereka. Dibanding “front persatuan” dalam program bersama anggota partai di
China, PPPKI tampak lebih menampilkan sosok “partai politik baru” yang mewakili
penyatuan kekuatan politik yang ada di dalam perhimpunan itu. Ini kemudian menjadi ciri
utama yang membentuk watak pergerakan politik dalam paroh kedua tahun 1920-an
menggantikan periode sebelumnya. Setidaknya visi ini menciptakan sebuah ruang gerak
politik lebih leluasa dalam menghadapi kebijakan pemerintah kolonial yang membatasi ruang
gerak aktivisme politik di Hindia-Belanda dengan tujuan memisahkan para pemimpin dengan
massa luas pendukung mereka di perkotaan dan perdesaan.
Dalam waktu tidak terlampau jauh dari pembentukan PNI di kota yang sama, seorang
siswa AMS yang “tangkas, siaga dan cerdas” serta berusia sembilan tahun lebih muda
dibanding Soekarno mulai menarik perhatian polisi kolonial. “Soetan Sjahrir, siswa AMS”,
demikian sosok pemuda itu dalam laporan polisi, menarik perhatian dengan kiprahnya
sebagai seorang pemimpin “pergerakan” yang pada 20 Februari 1927 membentuk Jong
Indonesia (kemudian berubah menjadi Pemoeda Indonesia pada April 1927) sekaligus
pemimpin redaksi majalah himpunan muda tersebut. Sampai dengan akhir 1928, organisasi
                                                        
12

 

Ibid., hal. 138.



Pemoeda Indonesia yang dipimpinnya telah menyebar keluar Kota Bandung dengan cabangcabang di Batavia, Yogyakarta, dan Surabaya. Organisasi ini tumbuh pesat berdampingan
dengan organisasi-organisasi pemuda yang telah ada dengan basis pengorganisasian
keanggotaan sesuai daerah asal, seperti Paguyuban Pasundan, Jong Java, Jong Sumatra, dan
juga basis agama, seperti Jong Islamieten Bond dan Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi
(KRIS).
Perkembangan cukup menarik adalah ketika terjalin hubungan antara organisasi
Pemoeda Indonesia dan PNI. Sjahrir secara pribadi tidak pernah menjadi anggota PNI,
namun ada beberapa anggota Pemoeda Indonesia masuk dan juga “kolega-kolega dari PNI
yang bertindak sebagai penasihat”. Hubungan ini mengesankan sosok Pemoda Indonesia
sebagai “persemaian bagi para pemimpin organisasi (PNI)” seperti dilaporkan dalam catatan
polisi kolonial saat itu. Sebagian anggota Pemoeda Indonesia kerap hadir dalam rapat-rapat
dan diskusi PNI, termasuk Sjahrir. Soekarno pun terkadang berbicara di dalam pertemuanpertemuan Pemoeda Indonesia.13
Laporan polisi kolonial tentang sifat hubungan itu tampaknya tidak terlalu berlebihan.
Ini merupakan sebuah transformasi model lama ketika dunia pergerakan di bawah arahan PKI
mendapatkan sumber kepemimpinan mereka dari propagandis-propagandis militan dalam
organisasi serikat buruh, khususnya organisasi buruh kereta api. Perbedaannya sekarang lebih
pada unsur generasi yang diwakili kata “pemuda” dalam aktivitas politik mereka. Ukurannya
bukan lagi militansi dan kematangan politik para pemimpin dalam pengalaman kerja
pengorganisasian sebagai propagandis serikat buruh, tetapi lebih pada usia muda dengan
beban kewajiban menyelesaikan terlebih dahulu masa belajar di sekolah menengah dan
perguruan tinggi.
Sjahrir pun merasa perlu menyelesaikan pendidikan dengan melanjutkan studi di
Negeri Belanda pada 1929 dan memasuki Fakultas Hukum di Universitas Amsterdam. Ini
seperti mengulang pengalaman Soekarno yang memutuskan melanjutkan pendidikan ke
sebuah perguruan tinggi di Bandung, meski dia telah menjadi sosok terkenal di lingkungan
organisasi pemuda sewaktu masih menjadi siswa HBS di Surabaya. Sjahrir banyak bergaul
dengan tokoh-tokoh sosial demokrat di Negeri Belanda, namun dia tidak pernah menjadi
anggota partai politik. Dia memilih organisasi Perhimpoenan Indonesia, yang merupakan
organisasi para pelajar asal Indonesia di Negeri Belanda, sebagai tempat beraktivitas.
Keputusannya untuk terjun dalam dunia politik menunggu waktu dua tahun setelah di HindiaBelanda terjadi kekosongan pimpinan politik akibat dipenjarakannya Soekarno pada akhir
1929. Pada 1931, Sjahrir pulang ke Hindia-Belanda disusul Mohammad Hatta yang harus
menyelesaikan terlebih dahulu masa studi yang tersisa sebelum memperoleh gelar sarjana
ekonomi. Bersama Sjahrir, Hatta membentuk sebuah partai, PNI-Pendidikan atau PNI-gaya
baru, yang mendaku sebagai penerus PNI yang didirikan Soekarno.14
Perkembangan yang terjadi di Bandung memasuki paruh kedua tahun 1920-an dengan
Soekarno yang mulai menanamkan pengaruh dalam politik pergerakan antikololonial melalui
pembentukan PNI dan kepemimpinan Sjahrir yang masih menjadi siswa AMS dalam Jong
Indonesia, merupakan sebuah gambaran tentang dominasi kaum terpelajar usia muda dalam
panggung politik. Mereka membawa frase “pemuda” menjadi wacana politik yang lekat
dengan tindakan yang dilakukan. Kiprah politik mereka, utamanya Soekarno dengan PNInya, menjadikan Bandung sebagai pusat orientasi baru menggantikan peran Semarang
sebagai “kota merah”, seperti Turin di Italia pasca-Perang Dunia I dengan kekuatan serikat
buruh dan kader-kader komunis militan sepanjang akhir tahun 1910-an dan awal pertengahan
1920-an. Berbeda dengan Semarang, Bandung lebih menampilkan suasana dan watak
                                                        
13
14

 

Rudolf Mrazek. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia. Yayasan Obor, Jakarta. 1996. Hal. 64-65.
Ibid., hal. 127-137.



kosmopolitan tempat sekolah dan pendidikan tinggi terkemuka di Hindia; arsitektur rumahrumah di perkotaan mirip dengan suasana Eropa mutakhir. Tidak ketinggalan pula ragam
pertunjukan kesenian, pameran lukisan, dan pemutaran film Nostromo karya Conrad di
Bioskop Preanger dengan waktu bersamaan pemutaran perdana film ini di London,
Amsterdam, dan Leiden, mengingatkan orang-orang Eropa dan Belanda pada suasana kota
Paris.15
Lebih dari sekadar perpindahan lokus, pergeseran pusat aktivisme politik ke Bandung
menampilkan pula watak baru politik pergerakan antikolonial. Fakta paling menonjol dalam
periode ini adalah kemunculan pemimpin politik lulusan sekolah tinggi atau sekolah
menengah Belanda menggantikan peran aktivis buruh dan propagandis yang lahir dari
keluarga buruh dan menjadi ciri dunia pergerakan sebelumnya. Sebagian besar sumber
kepemimpinan PKI pada periode sebelumnya berasal dari propagandis yang aktif dalam
organisasi serikat buruh, sedangkan pada periode berikutnya kita mendapat gambaran tentang
orang-orang terpelajar yang menjadikan aktivisme politik sebagai pilihan hidup sebagaimana
diwakili Soekarno, Sjahrir, dan lingkaran angkatan muda yang terbentuk di sekitar Sjahrir.
Periode ini adalah periode anak-anak sekolahan menggantikan anak-anak buruh dan pegawai
rendahan yang menempati strata rendah dalam masyarakat kolonial, tetapi lebih dekat dengan
basis massa rakyat yang mereka wakili.
Dengan latar seperti itu, frase “pemuda” menempati makna semakin meluas. Ia bukan
sekadar rujukan pada ukuran usia seseorang, tetapi juga telah menjadi bagian dari watak dan
kepribadian baru yang membedakan dengan generasi orang tua mereka. Seruan mereka
seperti membangkitkan kembali gema pemikiran tentang “kemajuan” rakyat pribumi seperti
pernah ditulis Kartini pada akhir abad ke-19 dan para pelajar STOVIA di Batavia yang
membentuk Budi Utomo pada awal abad ke-20. Ringkasnya, di sini kita mendapat sebuah
gambaran tentang memudarnya seruan melawan “kapitalisme yang berdosa” dengan
dukungan aksi pemogokan kaum buruh yang membentuk kekuatan politik pergerakan
periode sebelumnya. Sifat kebudayaan dalam bentuk identitas diri dan status mereka sebagai
bangsa terjajah mewarnai dinamika politik pergerakan di Bandung setelah kehancuran
gerakan buruh dengan watak ekonomisme yang melatari aksi-aksi politik PKI. Konsolidasi
keanggotaan kelompok-kelompok pemuda, organisasi kepanduan, seni dan teater serta
olahraga sepak bola merupakan beberapa petunjuk tentang pergeseran watak perpolitikan saat
itu.
Dinamika Gagasan tentang Pemuda
Sosok Soetan Sjahrir yang saat itu siswa AMS di Bandung merupakan tipikal
kepemimpinan baru, selain berperan dalam Pemoeda Indonesia dia juga aktif sebagai ketua
perkumpulan seni teater pelajar Bandung (Bandoengsche Tooneelvereeniging van
Indonesicsche Studeerenden, Batovis). Kesibukan dan visi pribadinya dalam periode itu
agaknya mendekati gambaran tentang konsep “priyayi baru” yang tumbuh berkembang di
perkotaan awal dekade ketiga abad ke-20.16 Di satu sisi pendidikan sekolah membatasi
lingkup pergaulan mereka dengan kebanyakan masyarakat awam dan mendorong
memperluas wawasan berpikir di sisi lain. “Di dalam dunia pemikiranku aku pun bercakapcakap dengan Perdana Menteri Gladstone dari Britania sebagaimana Sidney dan Beatrice
Webb,” demikian Soekarno mengingat masa mudanya saat menjadi siswa HBS di Surabaya.
“Aku berbicara berhadapan muka dengan Mazzini, Cavour dan Garibaldi dari Italia; Otto
Bauer dan Adler dari Austria; Karl Marx dan Friedrich Engels dan Lenin, dan aku mengobrol
                                                        
15

Ibid., hal. 56-57.
Lihat William H Frederick. Pandangan dan Gejolak: masyarakat kota dan lahirnya revolusi Indonesia
(Surabaya, 1926-1946). Gramedia, Jakarta. 1989.
16

 



dengan Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand dan Jean Jaures, ahli pidato terbesar dalam
sejarah Prancis”.17 Di sini kita mendapatkan sebuah ilustrasi tentang luasnya jangkauan
intelektual dari sosok pemimpin yang muncul dari sekolah-sekolah berbahasa Belanda dan
kemudian memimpin pergerakan setelah kehancuran gerakan komunis. Keluasan cakrawala
intelektual generasi ini memang sangat istimewa dan sampai sekarang belum ada yang
mampu menyamainya.
Akan tetapi, di sisi lain pendidikan dan keluasan intelektual mereka justru
menciptakan semacam keterbatasan tindakan politik. Tidak seperti generasi Semaun yang
melandaskan aksi politik pada kekuatan pemogokan buruh sekaligus sumbangan
kepemimpinan politiknya, periode ketika Soekarno dan Sjahrir di Bandung muncul sebagai
pimpinan politik berada dalam situasi ketika para pemimpin dibatasi oleh lingkup sosial
mereka sebagai wakil golongan terpelajar di lingkungan Hindia-Belanda saat itu. Jumlah
mereka masih sangat terbatas. Mereka yang kemudian menjadi pemimpin (politik) adalah
orang-orang berasal dari lingkaran pertemanan pada masa sekolah atau pernah terlibat dalam
organisasi kepanduan, seni dan budaya, atau olahraga. Keterputusan dengan massa
pendukung di perkotaan dan perdesaan akhirnya menjadi ciri keterbatasan lingkup imajinasi
politik mereka.
“Rakyat” adalah “hal pokok di dalam retorika terus-menerus dari kalangan
terpelajar...”, tetapi itu merupakan “... sebuah bangun sosial yang abstrak atau bahkan
imajiner yang di seputarnya terdapat sejumlah besar gambaran romantik.” Dalam ucapan dan
tulisan mereka, “betapapun seringnya kata ‘revolusi’ di dalam tulisan-tulisan mereka, dalam
kenyataannya kurang revolusioner dalam pengertian umum,” demikian William Frederick
menggambarkan mentalitas politik “priyayi baru” saat itu. “Mereka tidak membayangkan
berlangsungnya perubahan yang luas atau mendalam, dan bisa dipastikan tidak berkeinginan
untuk menarik picu yang dapat menimbulkan reaksi berantai yang tak terkontrol di seluruh
masyarakat Indonesia”.18 Sifat romantik itu ditunjukkan melalui cara bagaimana pemuda di
lingkaran Sjahrir membentuk lembaga pendidikan sebagai bagian dari organisasi Pemoeda
Indonesia, yaitu Tjahja Universiteit. Cukup menarik bahwa para pengajar dalam organisasi
ini berusaha memasukkan gagasan mereka tentang kemajuan ke benak penduduk di
perdesaan dengan “pelajaran bahasa Inggris gratis” dan menjadikan “silabus dalam
pendidikan AMS seperti stenografi dan bahasa Prancis”, sebagai sesuatu yang dianggap
berguna “bagi petani berpenghasilan lima puluh sen sehari”.19
Represi pemerintah kolonial terhadap gerakan radikal yang membawa massa rakyat
“memasuki” dunia politik pada satu sisi menghambat generasi pemimpin selanjutnya
membangun gerakan politik mereka dan menghubungkan cita-cita politik tersebut dengan
massa pendukung lebih luas di perkotaan dan perdesaan. Namun demikian, situasi ini juga
memberi ruang lain yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru di kalangan aktivis
pergerakan, seperti Soekarno dan Sjahrir, tentang tujuan akhir pergerakan politik yang
mereka gulirkan. Sifat dan tindakan politik golongan terpelajar pada pertengahan tahun 1920an itu mendapatkan pembanding kontemporer dari rekan-rekan mereka para mahasiswa di
China dalam Gerakan 4 Mei 1919 yang berupaya mendefinisikan kembali masyarakat budaya
China sebagai bagian perkembangan dunia modern dengan sejumlah pertanyaan apa arti
menjadi seorang China dan nilai-nilai apa yang dapat membawa negeri mereka menuju
kemajuan di masa depan.20
Inisiatif Sjahrir dan beberapa temannya di Jong Indonesia untuk mengubah nama
organisasi ini pada Desember 1927, satu tahun sebelum peristiwa “Sumpah Pemuda”,
                                                        
17

Adams. Op.cit., hal. 47.
Frederick. Op.cit., hal. 72-73
19
Mrazek. Op.cit., hal. 69.
20
Jonathan D. Spence. The Search for Modern China. W.W. Norton & Company, London. 1991. 311-312.
18

 

10 

menjadi Pemoeda Indonesia dan dorongan agar dalam setiap pertemuan para aktivis
pergerakan diharapkan berpidato dengan bahasa Indonesia disertai kisah dramatis saat Sjahrir
“memukulkan palunya dan mengingatkan Sukarno secara tegas agar tidak terlalu banyak
menggunakan bahasa Belanda dalam pertemuan kaum nasionalis”,21 merupakan wujud aksi
dari sejumlah pertanyaan serupa yang diangkat oleh mahasiswa aktivis Gerakan 4 Mei di
China tentang harapan dan keinginan akan masa depan negeri mereka seperti dibayangkan
kaum terpelajar di Hindia-Belanda saat itu. Dalam kaitan ini, dapat dipahami bahwa
menguatnya frase “pemuda” dalam tataran politik di Hindia-Belanda tahun 1920-an
menunjukkan kelekatan frase ini dengan dominasi orang-orang terpelajar yang mengisi dunia
pergerakan setelah kehancuran gerakan komunis di Indonesia. Dengan kata lain, pemuda
adalah kata lain dari sifat terpelajar para pemimpin yang lahir dalam pentas pergerakan saat
itu.
Peristiwa Kongres Pemuda di Batavia pada 27-28 Oktober 1928 menjadi sebuah
momentum yang mewakili bentuk baru politik pergerakan di Hindia- Belanda akhir tahun
1920-an. Penegasan keyakinan tentang sebuah masyarakat “bertanah, berbahasa, dan
berbangsa satu” sebagai ikrar penutup kongres diiringi pengenalan kali pertama lagu
Indonesia Raya dengan gesekan biola merupakan hasil perkembangan tak terelakkan akan
suasana politik yang telah berkembang sejak Soekarno tampil memimpin pergerakan dan
membentuk ASC dan kemudian PNI serta Soetan Sjahrir yang mengarahkan dan memimpin
Pemoeda Indonesia di Bandung. Dalam kongres itu sebagian besar wakil delegasi meminta
maaf kepada hadirin karena berpidato dalam bahasa Indonesia terpatah-patah. Mereka
kemudian melanjutkan pidato dalam bahasa Belanda. Laporan yang disusun Van der Plas,
seorang pejabat pemerintah yang hadir dalam kongres, memberi gambaran sebagai berikut,
“pemimpin kongres, pelajar Soegondo, tidak dapat memenuhi tugasnya dan kekurang
otoritas. Ia mencoba untuk berbicara bahasa Indonesia, tetapi tidak mampu membuktikan
dirinya mampu melakukannya dengan baik”.22 Jelas disini ada perbedaan tajam antara
mereka dan generasi pergerakan sebelumnya seperti diwakili Semaun, Marco Kartodikromo
dan Haji Misbach yang berbicara di depan massa, menulis di koran-koran partai, dan
memaparkan gagasan politik dengan menggunakan bahasa Melayu
Di sini kita mendapatkan ironi getir tentang suasana politik akhir tahun 1920-an.
Terlepas bahwa para pemuda terpelajar itu berjarak cukup lebar dalam cara hidup dan
gagasan intelektual mereka dengan massa rakyat, kita mendapatkan sebuah konsepsi matang
tentang bangsa seperti diwakili dalam peristiwa kongres pemuda tersebut. Ketika pemerintah
kolonial memperketat kontrol dengan memisahkan aktivisme politik para pemimpin dengan
massa perkotaan dan perdesaan melalui kehadiran polisi di mana-mana, keterbatasan politik
tersebut justru melahirkan gagasan baru dalam dunia politik yang membuat kata “Indonesia”
menjadi sebuah konsepsi penting dan menjadikan isme-isme politik dalam periode
sebelumnya sebagai “kaidah moral” di bawah konsepsi Indonesia sebagai bentuk masyarakat
baru lebih besar dibanding kelompok-kelompok suku di Hindia-Belanda saat itu. Wawasan
serta pergaulan sehari-hari di sekolah dan organisasi-organisasi kepemudaan justru menjadi
lahan subur bagi persemaian gagasan sebuah bangsa dengan nasib sama menghadapi
kolonialisme Belanda di Indonesia saat itu. Walaupun menyampaikan pidato dalam bahasa
Indonesia terpatah-patah, tak dapat disangkal bahwa semangat yang menekankan sifat
keindonesiaan dalam tindakan politik mereka menjadi kontribusi besar yang mengarahkan
perjuangan antikolonial dalam orientasi baru politik kebangsaan.
                                                        
21

Mrazek. Op.cit., hal. 73-84.
Keith Foulcher. Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia.
Komunitas Bambu, Jakarta. 2000. Hal. 17.

22

 

11 

Fase seperti ini mempersiapkan dan mematangkan sifat politik baru pada tahun 1930an dan 1940-an. Ketika itu muncul beberapa pemimpin seperti Mohammad Husni Thamrin
dan Mohammad Yamin yang menerima prinsip kerja sama dengan pemerintah kolonial
melalui partisipasi di Volksraad. Inisiatif politik yang kemudian berkembang adalah lahirnya
Petisi Soetardjo yang mengusulkan telaah tentang kemungkinan Indonesia bebas dari
Belanda dalam periode waktu sepuluh tahun kemudian dan gerakan Indonesia berparlemen
pada pertengahan tahun 1930-an. Sebagian besar tuntutan memang tidak pernah mendapat
tanggapan serius pemerintah kolonial. Pemerintahan dibawah Gubernur Jendral de Jonge
memahami bahwa seruan-seruan tersebut hanya memiliki kekuatan politik terbatas dalam
pergulatan politik di Volksraad tanpa kemampuan menggerakkan massa rakyat seperti pada
dekade sebelumnya. Ancaman pimpinan pergerakan bahwa mereka akan “beragitasi di
kalangan rakyat” disimpulkan oleh para pejabat kolonial sebagai kata-kata belaka dan
“malahan dapat diabaikan seratus persen”.23
Gambaran lain yang menarik pada tahun 1930-an dan 1940-an adalah merosotnya
“sifat” pemuda dalam politik pergerakan yang berada di tangan politikus yang menjalin kerja
sama dengan pemerintah, seperti Thamrin dan Yamin. Dengan Soekarno dan Sjahrir yang
disingkirkan dari pusat kehidupan politik saat itu, sifat nonkooperatif politik pergerakan pun
turut tergusur dan dengan demikian menyingkirkan angkatan muda dalam dunia politik
pergerakan yang mengisi dinamika politik periode sebelumnya. Sifat hati-hati dan lebih
banyak mengandalkan kompromi di “parlemen” seperti Sutardjo, Thamrin, dan Yamin, tak
pelak menjauhkan para pemimpin dengan angkatan muda.
Cerminan sikap itu muncul dalam kenangan Adam Malik saat mengulas kegagalan
inisiatif Indonesia berparlemen yang digulirkan sejak Desember 1939 melalui pembentukan
Gabungan Politik Indonesia (GAPI) tetapi baru diajukan pada Februari 1941. “Sudah sangat
terlambat! Momentumnya sudah tidak ada lagi, dan amat disayangkan bahwa harapanharapan yang ada tidak dimanfaatkan akibat sikap ragu-ragu dari kaum politisi tua.”
Selanjutnya Adam Malik menautkan hal itu dengan tindakan para pemuda yang mendesak
Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945. “Pelajaran
dari pengalaman yang pahit dalam sejarah politik kita tahun 1941 ini telah mendorong kami
dalam tahun 1945 untuk mendesak kaum politisi tua kita supaya memproklamasikan
kemerdekaan.... Desakan itu semata-mata kami lakukan karena kekhawatiran akan terjadi
suatu perkembangan baru yang akan menyebabkan tertangguhnya kelahiran Republik kita.
Itulah tindakan cepat dari pemuda-pemuda Radikal...”.24 Dalam kaitan ini, frase pemuda
semakin mendapatkan tempat dalam kamus politik Indonesia modern, sebuah ketegangan
abadi antara dua kutub berbeda dalam masa hidup seseorang ketika hendak menjalankan
agenda-agenda politik tertentu.
Penutup
Pemaparan di atas menunjukkan bagaimana frase pemuda adalah sebuah wacana
politik yang lahir dari satu situasi khusus ketika gerakan kerakyatan yang membawa
partisipasi buruh di perkotaan dan para petani di perdesaan membentuk karakter awal
pergerakan antikolonial di Indonesia. Dalam situasi ini, kita melihat banyak tokoh pemimpin
yang lahir dari struktur sosial dan organisasi mewakili struktur tersebut. Represi kolonial
yang menghancurkan kekuatan gerakan rakyat yang dipelopori gerakan komunis mengakhiri
episode itu. Penggantinya adalah golongan terpelajar berpendidikan barat yang mulai
mendominasi watak dan arah pergerakan antikolonial pada paruh kedua tahun 1920-an. Kata
                                                        
23
24

 

Onghokham. Op.cit., hal. 83-84.
Adam Malik. Mengabdi Republik. Angkatan 45. Jilid II. Gunung Agung, Jakarta. 1978. Hal. 205-206.

12 

“pemuda” dalam model seperti ini sesungguhnya mewakili sebuah karakter zaman, ketika
kaum terpelajar berusia muda dari sekolah-sekolah model barat membentuk arah politik
pergerakan. Frase pemuda mendapatkan makna baru sesuai dengan perkembangan situasi
saat itu. Di sini kita mendapatkan “sifat temporer” sebuah tindakan politik untuk kemudian
ditampilkan dalam sebuah pentas lebih permanen sarat mekanisme politik “orang dewasa”.
Tulisan ini berangkat dari pemikiran bahwa frase pemuda yang mengisi suasana
politik dekade akhir 1920-an adalah sebuah produk khusus. Ia tidak sekadar sebuah frase
yang mewakili ketegangan “jurang generasi” atau mewakili sensibilitas baru dari mereka
yang lahir dan bergerak pada masa itu. Dengan memperhatikan riwayat politik lahirnya frase
pemuda dalam sejarah pergerakan Indonesia, maka kita pun bisa memahami bagaimana
makna pemuda itu kini menjadi bagian lekat dalam imajinasi politik di Indonesia. Imajinasi
ini pun memiliki ritual khususnya melalui peringatan peristiwa Sumpah Pemuda menjadi hari
besar dalam kalender nasional Indonesia, menempati posisi kedua setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia.
Bagaimanapun, dalam tataran sejarahnya, arti penting peristiwa Sumpah Pemuda
tidak serta merta muncul ketika para pemuda menjalankan kongres di Batavia -- Jakarta saat
itu. Ia haru menunggu beberapa dekade kemudian setelah kemerdekaan Indonesia sampai
pertengahan dekade 1950-an ketika Soekarno dan Mohammad Yamin “membangun sebuah
simbol yang menjadi bagian dari susunan ideologi sebuah bangsa dan negara” dan “diyakini
sebagai sebuah momen ditemukannya identitas nasional dan bangsa.” Harian Merdeka pada
perayaan Sumpah Pemuda tahun 1958 mewartakan “[t]idak pernah terjadi sebelumnya bahwa
sumpah dari masyarakat Indonesia, dikenal dengan Sumpah Pemuda saat kelahirannya,
dirayakan begitu bersemangat seperti yang tampak hari ini.” Gelombang separatisme yang
secara beruntun terjadi di Indonesia pada dekade tersebut menjadi alasan penting yang
menjadikan peristiwa Sumpah Pemuda sejak pukul 08.00 pagi diperingati di kantor-kantor
pemerintahan, pabrik-pabrik, kantor kelurahan dan berpuncak di Istana Kepresidenan seperti
dilaporkan harian Merdeka.25 Jadi, sebagai ritus, ia merupakan sebuah produk sejarah khusus
yang terjadi di luar ketika momen peristiwa terjadi.
Perkembangan ritual Sumpah Pemuda dalam kaitan ini mengingatkan kita tentang
riwayat tradisi Pledge of Allegiance (Janji Setia) dalam sejarah kontemporer Amerika Serikat
yang bermula dari momentum perayaan pendaratan 400 tahun Christoper Columbus, 8
September 1892. Ketika itu, James Upham, editor majalah The Youth’s Companion, meminta
staf editornya menulis kalimat “I pledge allegiance to my Flag and to the Republic for which
it stands -- one Nation indivisible -- with liberty and justice for all”. Pledge of Allegiance itu
selanjutnya menjadi tradisi rutin bagi siswa sekolah di Amerika Serikat. Pada 1923, kalimat
itu diubah menjadi “I pledge allegiance to the flag of the United States” (kemudian ditambah
kata America pada 1942) dan ditambahkan suatu cara baru dengan meletakkan tangan kanan
menyilang di dada saat mengucapkan kalimat itu.
Dalam kaitan ini, sebuah hal biasa dalam momentum kejadiannya, menjadi tidak biasa
dalam masa-masa selanjutnya ketika satu generasi baru membutuhkan cara tersendiri dalam
melihat sejarah mereka. Perkembangan Pledge of Allegiance seperti itu terjadi ketika
Amerika Serikat mulai mengambil posisi penting dalam politik global memasuki abad ke-20
menggantikan peran negara adi daya dalam abad sebelumnya seperti Inggris dan Prancis.
Ritual Sumpah Pemuda memiliki riwayat perkembangan yang hampir sama. Ia melembaga
sebagai car