Menilik Peluang Kiprah Kepemimpinan Pere

ANALISIS KAPASITAS FISKAL TUJUH DAERAH PROVINSI BARU

Juli Panglima Saragih

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA:

ebijakan V Kasus Desa Banjarwaru, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor

Renny Savitri

PERBANDINGAN MANAJEMEN JABATAN SENIOR BIROKRASI DI AUSTRALIA, INDONESIA DAN SINGAPURA DALAM PERSPEKTIF PUBLIC SERVICE BARGAINS

olume 1 Nomor 2 T Muhammad Imam Alfie S

MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD

Any Sundari dan Rusman Nurjaman

PENDAMPING DESA KONTEKSTUAL

Tony Murdianto Hidayat

ahun 2016

PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI TANTANGAN MANAJEMEN KEPEGAWAIAN DAERAH.

Suryanto

Analisis Kebijakan

Volume 1

Nomor 2

Halaman 123-239 2016

Diterbitkan Oleh: DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN

MENILIK PELUANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM BINGKAI DEMOKRASI KOMUNITARIAN DESA: Ihwal Representasi Perempuan dalam BPD

Abstrak:

UU No. 6/2014 tentang Desa membuka kesempatan bagi proses pendalaman demokrasi ko- munitarian desa, termasuk peluang kiprah kepemimpinan perempuan di ranah desa. Dengan berpijak pada prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, arah reposisi peran publik perempuan di desa semakin terbuka lebar. Mekanisme yang dipakai adalah dengan mem- pergunakan demokratis baik melalui pemilihan atau musyawarah. Proses ini mengandaikan bahwa demokrasi memberi ruang-ruang partisipasi bagi seluruh elemen yang ada di masya- rakat, termasuk di dalamnya adalah perempuan. Artinya, posisi perempuan yang selama ini terpinggirkan dapat diperoleh kembali. Dalam konteks membangun nilai kesetaraan di desa, tentunya wajib mempertimbangkan representasi perempuan, dan UU Desa mengakomodir hal tersebut. Representasi perempuan dapat dilakukan dengan mencontoh kebijakan air- masi di lembaga legislasi/parlemen, baik di level nasional maupun daerah, yakni dengan memberikan aturan kuota 30% perempuan dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang posisinya menyerupai “parlemen desa”. Representasi perempuan di dalam pemerintahan desa melalui BPD penting untuk memberikan ruang demokrasi bagi perempuan. Melalui ru- ang ini perempuan dapat mengasah kemampuan berorganisasi, mengeluarkan aspirasi dan mengontrol setiap kebijakan, program, kegiatan dalam penyelengaraan pemerintahan desa agar memiliki perspektif gender. Selain itu, representasi ini dapat menjadi salah satu upaya untuk membentuk kembali ruang-ruang politik dan munculnya kepemimpinan politik perem- puan di level desa ( grassroot). Kepemimpinan yang dimaksudkan di sini adalah kemampuan perempuan untuk menggunakan pengaruhnya pada suatu kelompok dalam mencapai tujuan tertentu. Tulisan ini mendeskripsikan peluang, tantangan, dan strategi penguatan kiprah kepemimpinan perempuan di ranah desa, melalui keterwakilannnya dalam keanggotaan BPD, pasca implementasi UU No. 6/2014 tentang Desa.

Kata Kunci: demokrasi desa, representasi perempuan, kepemimpinan perem- puan, Badan Permusyawaratan Desa.

Abstract:

ULaw No. 6/2014 on Villages enhance opportunities for deepening the communitarian de- mocracy process in the village, including in terms of women’s leadership. The principle “of the people, by the people, and for the people” have encouraged the repositioning of women’s public role in the village level by using democratic mechanism, either through elections or consencus. These processes assume that democracy provide a room for participation from all elements within the community, including women. Hence, women’s public role that have been marginalized can be recovered. In the context of building the value of equality in the village, it is inevitable that the representation of women has become one of the major consideration, as it has been accomodated by the Law on Villages. Women’s representation can be pursued by following the example of afirmative policies in the parliament, both at national and local lev- els, by providing rules of 30% women’s quota in the Village Consultative Board (BPD) whose position resembles a “village parliament”. Representation of women in the village government through BPD is important to give a democratic space for women in which women sharpen

WOMEN’S LEADERSHIP IN VILLAGE COMMUNITARIAN DEMOCRACY PERSPECTIVE: Women Representation in

the Village Consultative Body (BPD)

Any Sundari dan Rusman Nurjaman

Departemen Sosiologi UGM dan Peneliti Pusat Desentralisasi dan Otonomi Daerah

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016 193

A. PENDAHULUAN

Di dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) Pasal 3, pengaturan desa diatur dalam beberapa asas, yakni (a) rekognisi; (b) subsidiaritas; (c) keberagaman; (d) kebersamaan; (e) kegotongroyongan; (f) kekeluargaan; (g) musyawarah; (h) demokrasi; (i) kemandirian; (j) partisipasi; (k) kesetaraan; (l) pem- berdayaan; dan (m) keberlanjutan. Proses-proses demokratisasi di desa dengan UU No 6 Tahun 2014 masih harus menempuh upaya panjang un- tuk mencapai demokrasi yang subs- tansial. Semangat UU Desa yang ingin mengembalikan kewenangan desa un- tuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan masyarakatnya se- suai dengan prakarsa masyarakat serta pengakuan atas hak asal usul merupa- kan capaian baik. Mengapa? Karena desa memiliki sejarah panjang dalam cengkeraman bayang-bayang otorite- risme Orde Baru yang dampaknya

masih mengakar hingga hari ini. Pada masa Orde Baru, desa sama sekali ti-

dak memiliki kaki-kaki kemerdekaan untuk berorganisasi selain organisasi yang disponsori oleh pemerintah. Tak terkecuali kondisi yang dialami oleh

perempuan-perempuan yang hidup di desa.

Orde Baru merupakan sistem pe- merintahan yang dibangun dengan gaya karakter kepemimpinan militer- istik. Gaya kepemimpinan di bawah Soeharto mengandaikan satu garis komando. Seluruh organisasi yang

ada di bawah pemerintahannya harus mengikuti gaya aturan terpusat. Di level desa, setelah runtuhnya pemerin- tahan Soekarno, hampir tidak pernah ditemukan lagi organisasi-organisasi progresif, semuanya adalah organi- sasi yang disponsori pemerintah. Da- lam relasinya dengan perempuan, Orde Baru membangun legitimasi pe- merintahannya terhadap perempuan dengan menjalankan politik seksual. Ia memulai dengan menghancurkan Gerwani, sebuah gerakan perempuan progresif pada masa Soekarno (Wieri- nga, 2010). Gerwani sebuah gerakan perempuan pada masa Soekarno ialah

organisasi yang membangun sebuah basis gerakan yang sangat kuat di level

desa maupun nasional. Satu hal yang membedakan gerakan perempuan lain pada masa itu ialah Gerwani menuntut hak-hak perempuan untuk berpolitik. Sesuatu yang mengancam struktur besar patriarkhi yang diba ngun dalam bayang-bayang kekuasaan politik la- ki-laki. Pada masa itu, Gerwani meng-

organisir perempuan-perempuan un- tuk menghapuskan buta huruf di desa,

mereka menolak poligami, memper- juangkan UU Perkawinan yang mem- berikan perlindungan terhadap perem- puan dalam perkawinan, dan satu

yang dianggap cukup berbahaya ada- lah karena Gerwani berpolitik, mereka

mulai merambah ke parlemen untuk membuat kebijakan-kebijakan yang pro perempuan (Lestariningsih, 2011)

Dengan tipikal progresif dan be- railiasi dengan Partai Komunis Indo-

organizational skills, canalise aspiration, and incorporate gender perspective into each policy, program, and activity within the village administration. Moreover, this representations can be considered as one of the efforts to reshape the political spaces and to encourage the emer- gence of women’s political leadership at the village level (grassroots). Leadership refers to women’s ability to use their inluence in a group to achieve certain goals. This paper describes the opportunities, challenges, and strategies to strengthen women’s leadership in the village level, through women’s representation in BPD upon the implementation of Law No. 6/2014 on Villages.

Keywords: village communitarian democracy, women’s representation, women’s leadership, Village Consultative Board (BPD).

Any Sundari dan Rusman Nurjaman

194 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016

Any Sundari dan Rusman Nurjaman

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016 195

nesia, organisasi perempuan progresif ini akhirnya ditumpas oleh Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Orde Baru, dengan menggunakan tangan militer, membangun imajinasi kolek- tif bahwa perempuan yang mengi- kuti organisasi Gerwani adalah sosok sundal yang tidak memiliki etika dan melakukan penyiletan kepada jend- ral-jendral yang terbunuh di Lubang Buaya. Imajinasi tentang sosok sun- dal ini terus-menerus dikonstruksi dengan berbagai cara seperti meng- gunakan ilm Gestok, kurikulum buku pelajaran dan mengaburkan sejarah. Bagi perem puan yang terlibat Ger- wani, mereka banyak yang ditangkap, dan mengalami penyiksaan di penjara (Les tariningsih, 2011). Banyak di an- tara mereka yang kemudian menutup identitas, yang lain harus menjalani wajib lapor hingga harus meminta izin kepada militer kala mereka berpergian keluar kota. Hari-hari para perempuan itu, mereka diawasi oleh Orde Baru.

Dengan menjalankan politik sek- sual, Orde Baru kemudian melakukan serangkaian normalisasi atas berba- gai kehidupan perempuan termasuk kehidupan perempuan desa. Sebagai ganti wadah organisasi bagi perem- puan di kota maupun desa, pemerin- tah membentuk Pembinaan Kese- jahteraan Keluarga (PKK). Organisasi ini merupakan organisasi yang ditun- juk oleh negara sebagai saluran untuk menghubungkan antara perempuan dan negara. Soeharto dalam pidato pada tahun 1981 mengatakan ;

“Pemerintah mendukung PKK yang diharapkan menjadi anak panah bagi pembangunan masyarakat dari bawah, yang akan dimotori oleh wanita. Saya minta agar berbagai kegiatan yang diprogramkan di tingkat nasional untuk kaum wani- ta dapat disalurkan melalui PKK. Namun, jangan dilupakan, bahwa

program itu akhirnya harus dituju- kan oleh kaum wanita sendiri di de- sa-desa atau di kampung-kampung, atau di daerah perkotaan. Jika ter- lalu banyak organisasi, maka kaum wanita perdesaan itu akan menjadi bingung, dan tidak sesuai dengan

pemikiran dan keinginan mereka yang masih sederhana”. (Sumber:

Pidato Presiden pada Rakernas Peningkatan Peran Wanita-Keluarga Sehat Sejahtera, 2 Maret 1981)

Dengan kondisi demikian, perem- puan tidak memiliki alternatif untuk bergerak di organisasi yang lain ke- cuali PKK. PKK menggunakan jalur sasaran terakhirnya pada keluarga. Keluarga dianggap sebagai satuan ekonomi, yaitu tempat reproduksi dan konsumsi; sebagai satuan biososial yakni tempat seseorang mendapatkan konstruksi dan makna sosial; terakhir sebagai sarana untuk pembentukan ideologis-keyakinan, agama, kon- servatisme maupun nilai mulai sejak anak-anak (Suryakusuma, 2011). Se- hingga pada masa ini, praktis perem- puan tertarik kembali ke jalur domes- tik. Program-program PKK dirancang untuk menjauhkan perempuan untuk bergerak dalam ranah politik, memiliki kesadaran untuk menuntut hak-hak-

nya sebagai perempuan dan warga negara serta menghilangkan kesada-

ran kritis perempuan dengan menja- dikannya semata sebagai agen untuk

mensukseskan pembangunan negara. Praktis, sepanjang periode domesti-

ikasi yang dialami oleh perempuan pada masa Orde Baru, hampir sangat jarang bisa ditemukan kepemimpinan politik perempuan di dalam kehidupan

negara.

Kondisi minimnya representasi pe- rempuan dalam ranah politik pun dirasa tidak cukup banyak perubahan pasca runtuhnya Orde Baru. Hal paling sederhana tercermin dari data minimn- Kondisi minimnya representasi pe- rempuan dalam ranah politik pun dirasa tidak cukup banyak perubahan pasca runtuhnya Orde Baru. Hal paling sederhana tercermin dari data minimn-

2 Tahun 2008 dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggo- ta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam UU terse- but ada aturan khusus tentang kuota 30% bagi perempuan, sebagai se- buah upaya mendorong keterwakilan dan kepemimpinan perem puan di ja- lur politik formal. Prinsip kuota 30% perempuan di parlemen memiliki misi untuk membentuk praktek politik yang setara dan berkeadilan. Namun, UU ini sayangnya kemudian dianulir oleh putusan Mahkamah Konstitusi dengan Keputusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang membatalkan pasal 214 huruf a,

b, c, d, dan e. Dalam putusan ini di- anulir pengggunaan nomor urut untuk memilih daftar calon anggota terpilih, sebagai gantinya sistem pemilihan berdasarkan suara terbanyak. Sebagai akibatnya, zipper system yang diha- rapkan bisa menentukan posisi perem- puan tidak berjalan (Tholib, 2014). Kondisi demikian membuat perem- puan harus bertarung di medan poli- tik formal dengan amunisi yang sama dengan laki-laki, sementara konstruksi sosial budaya lebih banyak melemah- kan perempuan ketika ia berada di panggung politik formal.

Namun dalam konteks mikro, terbit- nya UU Desa membuka babak baru bagi

proses pendalaman demokrasi desa, termasuk peluang kiprah kepemim-

pinan perempuan di aras desa. De- ngan berpijak pada prinsip demokrasi

“dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, arah reposisi peran publik

perempuan di desa memang semakin terbuka lebar. Mekanisme yang dipakai

adalah dengan mempergunakan cara- cara pemilihan umum atau musyawa- rah untuk mufakat. Proses ini meng-

andaikan bahwa demokrasi memberi ruang-ruang partisipasi bagi seluruh

elemen yang ada di masyarakat, ter- masuk di dalamnya adalah perem- puan. Dalam proses demokrasi, posisi perempuan yang selama ini terpinggir- kan dapat diperoleh kembali. Melalui sistem demokrasi, perempuan dapat merebut ruang-ruang politik, akses dan kontrol yang selama ini lebih ba- nyak dipegang oleh laki-laki. (Subekti, 2015). Demikian pula ketika berbicara demokrasi di level desa. Dengan ada- nya UU Desa, proses-proses demokrasi semestinya bisa dirasakan penuh oleh warga. UU Desa memberikan otonomi yang begitu besar kepada desa untuk memaksimalkan potensi sumber daya desa. Sumber daya yang dimaksud di sini bukan hanya soal sumber daya alam tetapi juga potensi sumber daya manusia untuk membangun desa.

Tak bisa dipungkiri bahwa semua tunas kepemimpinan di negeri ini jus-

tru diperoleh dari desa. Tokoh-tokoh pemimpin bangsa, seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, ataupun Sjahrir, tidak dilahirkan di kota besar. Mereka hidup di daerah pedesaan yang jauh dari hingar bingar keramaian kota. Desa sesungguhnya menjadi gudang dari stok pemimpin yang berkuali- tas. Orang-orang desa paham benar bagaimana menjalankan kepemimpin- an, karena yang dihadapi oleh kepala desa adalah soal-soal rill yang dihadapi oleh masyarakat. Kontrol yang diberi- kan oleh masyarakat bukan hanya

196 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016 197

soal-soal administratif birokrasi, tetapi para pemimpin di desa juga dikontrol oleh etika publik yang ketat. Dalam arti, kepemimpinan di desa juga me- nyangkut relasi kultural yang dibangun antara pemimpin desa dengan war- ganya. Dan, UU Desa sesungguh bisa menjadi instrumen kebijakan strategis untuk memastikan mendapatkan calon pemimpin yang berkualitas sehingga menghadirkan demokrasi substansial

di desa. Demokrasi substansial yang di-

hadirkan melalui UU Desa diharapkan dapat memunculkan makna mendalam seperti penghargaan terhadap perbe- daan (toleransi), kemanusiaan, peng- hargaan atas hak asasi manusia, dan tentu kesetaraan (Alfan, 2009). Dalam konteks membangun nilai kesetaraan pada demokrasi di desa, tentunya wa- jib mempertimbangkan representasi perempuan, dan UU Desa sebenarnya bisa mengakomodir hal tersebut. Re- presentasi perempuan dapat dilakukan dengan mencontoh kebijakan airma- si di parlemen, baik di level nasional maupun daerah, yakni dengan mem- berikan aturan kuota 30% di Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang posisinya menyerupai “par lemen de- sa”. Representasi perempuan di dalam pemerintahan desa melalui BPD se- benarnya penting untuk memberikan

ruang demokrasi bagi perempuan. Melalui ruang ini perempuan dapat mengasah kemampuan berorganisa- si, mengeluarkan aspirasi dan me-

ngontrol kebijakan-kebijakan dana di desa agar pro pada program-program perempuan di level desa. Selain itu,

representasi ini dapat menjadi salah satu upaya untuk membentuk kemba- li ruang-ruang politik dan munculnya kepemimpinan politik perempuan di level desa ( grassroot).

Dalam tulisan ini, penulis secara khusus ingin melihat tentang peluang

diskursus kepemimpinan perempuan di level desa. Pertama, bagaimana

peluang munculnya representasi 30% perempuan di BPD pasca implementasi UU No. 6 Tahun 2014? Secara umum, isi UU Desa memang masih netral gen- der. Di dalamnya tidak menyebutkan secara khusus tentang representasi perempuan di level kepemimpinan desa, seperti representasi 30% kuota perempuan di BPD. Kedua, bagaimana representasi 30% perempuan di BPD ini dapat menjadi strategi untuk mem- bentuk aksi kolektif perempuan yang bermanfaat bagi perempuan-perem- puan desa? Serta apa sajakah tantang- an yang muncul ketika strategi 30% perempuan di BPD kiranya dimuncul- kan di level desa?

B. METODE

Kajian yang disajikan dalam tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan varian studi kasus terhadap peluang representasi perempuan da- lam keanggotaan Badan Permusya- waratan Desa (BPD). Kajian ini meng- ambil di Kabupaten Minahasa Selatan di Provinsi Sulawesi Utara. Pengum- pulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yang relevan, pemetaan kebijakan, dan wawancara mendalam, serta observasi yang dilakukan dalam rentang waktu antara bulan Septem- ber-Oktober 2016.

C. PENCARIAN KERANGKA KON- SEPTUAL

Sebagai bagian dari pencarian kerangka konseptual kajian ini, bagian berikut ini akan memaparkan bebera- pa konsep kunci. Beberapa konsep seperti demokrasi komunitarian, dan domestikasi perempuan ( state ibuism), merupakan konsep kunci yang menja- di kerangka penjelas dalam tulisan ini.

Demokrasi komunitarian

Sutoro Eko, seorang pakar tentang desa, selalu mengutip ungkapan seo- Sutoro Eko, seorang pakar tentang desa, selalu mengutip ungkapan seo-

Demokrasi komunitarian bukanlah ra tentang desa. “Di desa-desa sistem

demokrasi nasional yang kemudian yang demokratis masih kuat dan hi dup

dijiplak di ranah komunitas. Menurut sehat sebagai bagian adat-istiadat

Sutoro Eko (2005:78), demokrasi ko- yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan

munitarian adalah demokrasi yang ber- tanah yang komunal yaitu setiap orang

orientasi pada masyarakat dan lokalis- merasa bahwa ia harus bertindak ber-

tik. Demokrasi, dalam hal ini, dipahami dasarkan keputusan bersama, sewaktu

sebagai seni atau cara “pergaulan hi- menyelenggarakan kegiatan ekonomi”

dup” untuk meraih kebahagiaan bersa- (dalam Sutoro Eko, 2005:64-65 dan

ma. Para penganut demokrasi komu- 2015:178). Lebih lanjut, menurut Su-

nitarian menolak pandangan bahwa toro, Hatta juga menegaskan bahwa

demokrasi adalah kebebasan individu. struktur demokrasi yang hidup dalam

Alih-alih menekankan pada kebebasan diri bangsa Indonesia harus berdasar-

individu, demokrasi komunitarian jus- kan pada tradisi demokrasi asli yang

tru berorientasi pada komunitas atau berlaku di desa. Lalu apakah sesung-

masyarakat.

guhnya demokrasi desa itu? Uniknya, demokrasi komunitarian Dari ungkapan Hatta tampak bah-

justru berkembang sebagai kritik ter- wa demokrasi desa tentunya berbe-

hadap model demokrasi liberal yang

da dengan demokrasi modern yang berbasis pada kebebasan individu diterapkan di era sekarang. Tradisi

dan kini banyak diadopsi oleh banyak demokrasi yang selama ini hidup

negara. Di Indonesia, demokrasi di di desa atau demokrasi desa bera-

kancah nasional yang dibingkai de- kar pada demokrasi komunitarian.

ngan demokrasi liberal tersebut, ditan- Menurut Sutoro Eko, demokrasi komu-

dai dengan beberapa ciri. Pertama, nitarian desa tersebut pada prinsipnya

keberadaan parlemen sebagai lemba- bertumpu pada tiga substansi: 1)

ga perwakilan rakyat yang dibentuk demokrasi politik dalam bentuk pen-

dengan kompetisi aktor-aktor politik, gambilan keputusan bersama melalui

termasuk partai politik, melalui me- musyawarah; 2) demokrasi sosial da-

kanisme elektoral (Pemilu). Kedua, lam wujud solidaritas bersama melalui

presiden dan wakil presiden yang gotong royong, dan; 3) demokrasi

dipilih secara langsung melalui pemi- ekonomi dalam wujud kepemilikan

lu. Ketiga, demokrasi elektoral untuk tanah secara komunal.

membentuk parlemen (legislatif) mau- Apakah sesungguhnya demokrasi

pun eksekutif dengan prinsip one per- komunitarian itu? Apa yang membeda-

son one vote. Keempat, pelembagaan kan demokrasi komunitarian de ngan

pembagian kekuasaan maupun me- demokrasi liberal yang kini ba nyak

kanisme kontrol dan keseimbangan di praktikkan? Mengapa demokrasi

( check and balance) antara eksekutif, komunitarian lebih kompatibel da-

legislatif, dan yudikatif. Kelima, konsti- lam menjelaskan berbagai fenomena

tusi memberikan jaminan kebebasan demokrasi di ranah lokal termasuk

politik bagi warga untuk berbicara, di level desa? Beberapa pertanyaan

berkumpul, berserikat, berorganisasi tersebut menjadi penting untuk

maupun memperoleh informasi dari dikemukakan ketika hendak berbicara

pers yang bebas. tentang demokrasi desa. Hal ini karena

Dalam aras prosedural, demokrasi demokrasi desa itu sendiri hanya vari-

liberal diukur melalui bekerjanya tiga 198

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016 199

indikator penting: kontestasi (kompeti- si, pertarungan), liberalisasi, dan parti- sipasi. Ketiga elemen ini berbasis pada individualisme dan semangat kebe- basan individu. Secara prosedural ke- tiga elemen itu kemudian dilembaga- kan dalam pemilihan dan lembaga perwakilan yang memberi ruang pada setiap individu untuk berkompetisi memperebutkan jabatan-jabatan pu- blik, baik eksekutif maupun legislatif, melalui proses pemilihan. Setiap indi- vidu bebas berpartisipasi dalam pemi- lihan umum, atau menggunakan hak suaranya secara bebas, tanpa tekanan, ancaman, dan mobilisasi. Dengan kata lain, prinsip one man one vote sangat dipegang teguh oleh pandangan libe- ral. Oleh karena itu, diperlukan jami- nan hukum untuk melindungi peng- gunaan hak-hak politik setiap individu untuk berkompetisi dan berpartisipasi.

Namun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ha- nya di negara-negara maju lah model demokrasi liberal mampu menciptakan stabilitas politik yang kokoh. Sedang-

kan di negara-negara berkembang yang masih tergopoh-gopoh belajar

berdemokrasi seperti Indonesia, mo- del ini belum mampu menciptakan fondasi yang kokoh bagi institusiona- lisasi dan konsolidasi demokrasi na- sional. Sebaliknya, demokrasi liberal yang direduksi dalam demokrasi dalam bentuk demokrasi elektoral mengala- mi krisis legitimasi yang serius, baik dari sisi institusi (parlemen dan par- tai politik) maupun proses (pemilihan umum). Selain itu, demokrasi elektoral tidak mampu mendorong transformasi politik melainkan hanya menciptakan mobilisasi politik dan terjebak dalam proseduralisme, yang hanya mem- bentuk lembaga-lembaga formal yang dikuasai oleh segelintir elite (oligarki) minus partisipasi warga.

Oleh karena itulah demokrasi

komunitarian lahir untuk mengko- reksi demokrasi liberal. Demokrasi liberal dinilai menjadi hegemoni uni- versal yang menyeragamkan praktik demokrasi di seluruh dunia. Pandangan umum mengatakan bahwa demokrasi adalah kebebasan individu, pemilihan, dan partisipasi. Jarang sekali muncul pandangan bahwa demokrasi adalah metode untuk mencapai kebersamaan secara kolektif. Sementara tradisi ko- munitarian menaruh perhatian pada masalah ini. Dalam tradisi komuni- tarian memaknai demokrasi secara partikularistik dan historis, dengan memperhatikan keragaman dan karak- teristik budaya, struktur sosial, sistem ekonomi dan sejarah setiap negara (Eko, 2005: 80). Penganut tradisi ko- munitarian meyakini bahwa rakyat selalu dalam ikatan komunal ketim- bang individualistik. Model demokrasi perwakilan cenderung menyebabkan setiap partisipasi publik terpisah dari persoalan nyata keseharian alih-alih mampu memenuhi kebutuhan dasar publik. Namun demikian, kaum komu- nitarian juga mengakui adanya oto- nomi individu seperti halnya kamu libe- ral. Hanya saja, yang ditonjolkan oleh kaum komunitarian bukan kebebasan individu melainkan penghargaan atas otonomi individu serta pemberian ke- sempatan pada setiap individu untuk memaksimalkan aktualisasi diri dalam ikatan kolektif (Eko, 2005: 81).

Dengan latar belakang teoritik de- mikian, konsep demokrasi komunitari- an sangat relevan diterapkan pada level komunitas yang lebih kecil seperti desa. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa demokrasi komunitarian, se- bagai pilar self-governing community, hendak mendorong partisipasi publik dalam urusan publik, pemerintahan, dan pembangunan di level komuni- tas. Tidak hanya itu, demokrasi ko- munitarian juga merekomendasikan pentingnya perluasan ruang publik, Dengan latar belakang teoritik de- mikian, konsep demokrasi komunitari- an sangat relevan diterapkan pada level komunitas yang lebih kecil seperti desa. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa demokrasi komunitarian, se- bagai pilar self-governing community, hendak mendorong partisipasi publik dalam urusan publik, pemerintahan, dan pembangunan di level komuni- tas. Tidak hanya itu, demokrasi ko- munitarian juga merekomendasikan pentingnya perluasan ruang publik,

Soetardjo Kartohadikoesoemo (19- 83), mengemukakan bahwa demokra- si komunitarian desa dibingkai dengan tiga tata yang berbasis pada “kontrak sosial” masyarakat setempat. Pertama, tata krama (fatsoen) dan, kedua, tata susila (etika), sebagai bentuk budaya demokrasi yang mengajarkan toleran- si, penghormatan terhadap sesama, kesantunan, kebersamaan, dan lain- lain. Ketiga, tata cara atau aturan main sebagai mekanisme untuk mengelola pemerintahan, hukum waris, perkawi- nan, pertanian, pengairan, pembagian tanah, dan lain-lain. Adapun dalam konteks pemerintahan, sejak zaman dulu desa sesungguhnya sudah mene-

rapkan pembagian kekuasaan yang sejalan dengan konsep Montesqiue

tentang Trias Politica: eksekutif yang diperankan oleh pemerintah desa, legis latif dalam bentuk rembug desa, dan yudikatif dalam bentuk dewan

morokaki. Namun demikian, sebagaimana

dikemukakan oleh Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto (Sutoro Eko 2005: 67 dan; Eko, 2015: 181), demokrasi desa pernah mengalami kemunduran. Menurut mereka, go- tong-royong dan musyawarah, dua

kata kunci dalam demokrasi tradisio- nal desa yang dulu pernah hidup, kini makin surut. Kemunduran demokrasi komunitarian desa, menurut mere- ka, disebabkan oleh perubahan so- sial-ekonomi dan kepemimpinan kepa- la desa. Setidaknya terdapat empat bukti kemunduran demokrasi desa di era modern yang mereka catat. Per- tama, lurah (kepala desa) tidak lagi menggunakan cara demokrasi, tidak lagi menjadi “bapak” bagi rakyatnya; Kades lebih cenderung menjadi admi- nistrator ketimbang menjadi pemim- pin. Kedua, tidak ada lagi pemerataan dan kepemilikan tanah secara komunal di desa karena karena keterbatasan lahan akibat pertumbuhan penduduk yang begitu pesat. Ketiga, berubahnya struktur kekuasaan desa yang dipicu oleh masuknya partai-partai politik ke ranah desa. Keempat, timbulnya pola- risasi masyarakat desa yang disebab- kan oleh dinamika sosial, politik, dan ekonomi pasca kemerdekaan, konlik land reform, dan meluasnya pemba- ngunan pedesaan, yang menyebabkan berubahnya fungsi ekonomi kepala desa dan keterlibatan masyarakat da- lam proses politik dan pembangunan

desa.

Menyusutnya praktik demokrasi desa terutama terjadi pada masa Orde Baru. Kuatnya nuansa korporatis da- lam UU No. 5/1979 tentang Pemerin- tahan Desa telah secara masif meng- hilangkan demokrasi desa. Meskipun ada Pilkades namun demokrasi desa pada masa ini bersifat artiisial belaka karena setiap proses elektoral selalu mendapat intervensi dari pemerintah supradesa. Dalam Pilkades, pihak ka- bupaten hanya akan meloloskan kan- didat yang telah terbukti loyal kepada pembangunan dan partai penguasa

maupun mereka yang benar-benar dinyatakan “patuh” kepada pemerin-

tah. Kuatnya intervensi pemerintah supradesa juga mendominasi lemba-

200 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016 200 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016

Kesejahteraan Keluarga dan Dharma menjustiikasi kebijakan dari atas yang

Wanita, terhadap kaum perempuan di dikendalikan kades, serta bekerja tan-

era Orde Baru. Menurut Julia (2011: pa berbasis pada aspirasi lokal dan

1-9), konsep domestikasi ini berkai- tantangan nyata yang di desa (Sutoro

tan dengan wilayah ekonomi, politik, Eko: 2005, 66-67).

dan budaya, yang mempengaruhi Setelah mengalami kemunduran,

konstruksi keperempuanan Indonesia, kini orang cenderung romantis ketika

yakni bagaimana perempuan didei- berbicara tentang demokrasi komuni-

nisikan perannya di dalam masyarakat. tarian desa. Demokrasi desa merupa-

Domestikasi tercermin dalam program kan benteng terakhir demokrasi ketika

pemerintah untuk kaum perempuan demokrasi nasional telah mati. Orang

pada umumnya, dan secara khusus, di Minangkabau, misalnya, selalu mem-

dalam PKK dan Dharma Wanita. banggakan bahwa sejak lama nagari

Lebih jauh, menurut Julia Suryaku- selalu merawat tradisi demokrasi ko-

suma, proses domestikasi tidak lepas munitarian melalui musyawarah da-

dari upaya negara dalam mendei- lam pengambilan keputusan kolektif.

nisikan suatu ideologi gender yang Begitu pula dengan keyakinan seba-

diorientasikan untuk kepentingannya gian besar orang bahwa mereka masih

sendiri. Ideologi gender yang dimak- meyakini adanya sisa-sisa demokrasi

sud di sini adalah apa yang disebut yang masih terpelihara di desa-desa

oleh Julia sebagai “ibuisme negara” di Jawa. Beberapa indikatornya antara

(Suryakusuma, 2011: 10). Ideolo- lain: pemilihan langsung kepala desa,

gi gender ini menciptakan stereotipe tradisi forum-forum RT sampai rembug

kaku dan sangat membatasi kaum desa sebagai arena pembuatan kepu-

perempuan dengan tujuan untuk tusan kolektif yang demokrasi, terja-

me ngontrol dan menciptakan suatu ganya solidaritas komunal antar war-

tatanan hirarkis.

ga dalam bentuk gotong-royong, dan Kecenderungan seperti ini sesung- kini telah terbentuk badan permusya-

guhnya dapat kita runut ke belakang. waratan desa yang anggotanya dipilih

Sepanjang sejarah, demikian Julia, secara demokratis. Bahkan, khusus

negara lazim memanipulasi secara terkait keanggotaan BPD, kini UU No.

bergantian paham perempuan sebagai 6/2014 tentang Desa mengharuskan

istri atau ibu, atau keduanya, sesu- adanya keterwakilan perempuan da-

ai dengan “kebutuhan” negara atau lam “parlemen desa” tersebut.

bangsa. Di era Orde Baru, tampak nya

Domestikasi kaum perempuan

pemerintah menemukan cara yang

( State ibuism)

paling baik untuk membendung dan Domestikasi perempuan merupakan

memanipulasi kekuatan kaum perem- konsep yang merujuk pada bagaimana

puan—baik secara sosial, politik, dan konstruksi sosial peran publik perem-

ekonomi—adalah dengan mendei- puan dideinisikan sehingga berim-

nisikan perempuan dalam kategori plikasi pada penjinakan, segregasi,

utama sebagai istri, sesuatu yang pada dan depolitisasi kaum perempuan itu

gilirannya menciptakan budaya “ikut sendiri. Konsep ini dikembangkan oleh

suami” sebagaimana tercermin dalam sosiolog feminis Julia Suryakusuma ke-

organisasi isteri pegawai negeri sipil, tika melakukan investigasi mengenai

yang tak lain adalah “Dharma Wanita” implikasi pembentukan organisasi-or-

(Suyakusuma, 2011: 10). JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016

Melalui domestikasi, negara meng- ambil konstruksi keperempuanan dari aspek-aspek yang paling opresif dari ideologi gender. Perempuan disegre- gasikan ke dalam program-program yang khusus untuk perempuan. Melalui Dharma Wanita dan PKK, ne-

ga ra sesungguhnya sedang mencip- takan organisasi istri yang wajib diiku-

ti, meniru hirarki suami. Hal tersebut, menurut Julia, mencerminkan gagasan bahwa perempuan dideinisikan untuk melayani suami, keluarga, dan nega- ra. Dalam paham “ibuisme”, kaum perempuan harus melayani suami, anak-anak, keluarga, masyarakat, dan negara.

Evolusi Kelembagaan Badan Per- musyaratan Desa

Kehadiran BPD dalam tata pemerin- tahan desa bukanlah hal baru. Kita dapat merunut embrio keberadaan BPD hingga jauh ke belakang. Sebe- lum era Ordes Baru, dalam konteks tata kelola pemerintahan, desa-desa zaman dulu sudah memiliki mekanisme pembagian kekuasaan ala Trias Politi-

ca: eksekutif (pemerintah desa), legis- latif (rembug desa), dan yudikatif (de- wan morokaki). Rembug desa terdiri dari seluruh kepala keluarga di desa yang secara politik sebagai pemegang kedaulatan rakyat di desa (Sutoro Eko dalam Bahagijo, dkk., 2005: 65). Di era Orde Baru, nama BPD memang belum dikenal, namun di tingkat desa sudah ada lembaga kemasyarakatan desa yang menjalankan fungsi sebagai wa- dah permusyawaratan/pemufakatan warga desa, yaitu Lembaga Musya- warah Desa (LMD). LMD lahir dari rahim UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang antara lain mengatur tentang keberadaan lemba-

ga tersebut. Pada Pasal 17 (1) UU No. 5/1979 menyebutkan bahwa anggota LMD terdiri dari kepala-kepala dusun, pimpinan lembaga-lembaga kemasya-

rakatan, dan pemuka masyarakat di desa yang bersangkutan. Meski tum- buh dalam konteks sistem politik yang otoritarian dan situasi masa mengam- bang era Ordes Baru, LMD inilah yang kemudian dapat disebut sebagai cikal bakal BPD, seperti yang dikenal dalam struktur pemerintahan desa saat ini (Riawan Tjandra dan Ninik Handayani, 2014:1). Fungsi LMD adalah membina kelancaran hubungan yang berkem- bang dalam masyarakat desa dan menyalurkannya dalam rapat-rapat LMD. Sedangkan komposisi peng urus LMD didominasi oleh elite-elite birokra- si desa. Hal ini tampak jelas dari posisi ketua yang dipegang oleh kepala desa dan sekretaris dijabat sekretaris desa.

Pembentukan BPD (Badan Per- wakilan Desa) diatur dalam UU No.

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut Sutoro Eko (dalam Bahagijo, dkk, 2005: 84), kemun- culan BPD tidak bisa lepas dari arus demokratisasi desa yang berlangsung seiring dengan euforia rakyat me- nyambut gelombang reformasi tahun 1998. Arus demokratisasi desa terjadi dalam 2 (dua) fase. Runtuhnya banyak kepala desa bermasalah karena de- sakan rakyat di jalanan menandai arus demokratisasi desa paling awal. Arus demokratisasi desa ditandai dengan hadirnya BPD sebagai arena baru bagi

kekuasaan dan demokrasi di ranah desa. Kelahiran BPD sendiri merupa-

kan bentuk kritik terhadap LMD. Mes- ki BPD hanya mampu menghadirkan partisipasi masyarakat secara terba- tas, namun kehadirannya dipandang menjanjikan arena bagi demokrasi perwakilan yang lebih baik ketimbang LMD. Beberapa hal mencolok yang membedakan antara BPD dengan LMD terletak dari keanggotaan dan kedudukan kepala desa. Keanggotaan LMD ditunjuk oleh kepala desa, se- dangkan keanggotaan BPD dipilih oleh masyarakat. Jika dulu LMD menempat-

202 JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016 203

Any Sundari dan Rusman Nurjaman

kan kepala desa sebagai ketua ex-of- icio sehingga perannya dominan, kini kepala desa murni menjadi eksekutif sedangkan BPD sebagai legislatif yang terpisah dari kepala desa. Pimpinan BPD (ketua, wakil ketua, dan sekretar- is BPD) dipilih dari anggota BPD, bu- kan dari perangkat desa. Berdasarkan UU No. 22/1999, fungsi BPD adalah mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan melakukan penyelenggaraan pemerin- tah desa.

Pada kenyataannya di lapangan, se- butan nama BPD bukan nomenklatur yang bersifat baku. Tidak semua desa menggunakan nama BPD, dan bisa menyebutnya dengan nama lain sesuai dengan kesepakatan masyarakat desa/ wilayah yang bersangkutan. Sebagai contoh, di Aceh masyarakat setempat pada umumnya menamai lembaga se- rupa BPD dengan sebutan Tuha Peuet Gampong, sedangkan khusus di Aceh Tamiang bernama Mejelis Duduk Seti-

kar. Namun di desa-desa yang meru- pakan basis penduduk transmigran,

masyarakat setempat tetap memakai nama BPD.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa, kemudian meng- ubah BPD menjadi Badan Permusya- waratan Desa. Berdasarkan UU ini, BPD merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Oleh karena itu, BPD berwenang dan ikut mengatur dan mengurus desa. Fungsi BPD adalah menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, me- netapkan kepala desa melalui kepala desa, dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Desa. Ketika UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa terbit, terjadi lagi perubahan (kedudukan) dan fungsi BPD. UU Desa

mendeinisikan BPD sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerin- tahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

BPD kini tidak lagi mempunyai ke- wenangan menetapkan peraturan desa bersama kepala desa. Fungsi BPD kini adalah membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama kepala desa. Selain itu, yang membe- dakan BPD saat ini dengan sebelum- nya adalah pada fungsinya melaku- kan pengawasan kinerja kepala desa. Menurut Sutoro Eko (2015: 188), hal tersebut berarti pelemahan fungsi hu- kum (legislasi) BPD digantikan dengan penguatan fungsi politiknya melalui representasi, kontrol, dan deliberasi.

Secara sederhana, Tabel 1 meng- gambarkan bagaimana berkembangan BPD sejak berlakunya UU No. 5/1979

hingga lahirnya UU No. 6/2014 ten- tang Desa.

Jumlah anggota BPD mengala- mi perubahan dari masa ke masa. Di masa lalu, jumlah anggota BPD

ditetapkan dengan jumlah ganjil, an- tara 5 (lima) hingga 11 orang, dengan memperhatikan sejumlah indikator, yaitu: luas wilayah, jumlah penduduk, kemampuan keuangan desa, dan ke- ter wakilan perempuan minimal 30 % dari jumlah anggota BPD. Sementara itu, UU No. 6/2014 mengatur keang- gotaan BPD tidak jauh berbeda. Hanya saja dalam ketentuan yang terakhir ini, jumlah anggota BPD paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan tetap mem- perhatikan luas wilayah, keterwakilan perempuan, jumlah penduduk, dan

kemampuan keuangan desa.

Posisi Perempuan dalam Evolusi Kelembagaan Desa

UU Desa lahir dari sebuah periode panjang pergulatan hubungan antara pemerintahan pusat dengan desa.

Any Sundari dan Rusman Nurjaman

Tabel 1. Evolusi Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

Substansi UU No. 5/1979 UU No. UU No. 32/2004 UU No. 6/2014

22/1999

tentang Desa

Nomenklatur LMD (Lembaga

BPD (Badan BPD (Badan Musyawarah Desa)

BPD (Badan Per-

wakilan Desa)

Permusyawaratan Permusyawaratan

Desa) Keanggotaan Kepala-kepala

Desa)

Wakil dari penduduk Dipilih dari dusun, pimpinan

Dipilih dari dan

desa bersangkutan penduduk desa lembaga-lembaga

oleh penduduk

yang ditetapkan berdasarkan keter- kemasyaraka-

desa yang

memenuhi per- melalui musyawarah wakilan wilayah tan, dan pemuka

yang pengisian- masya rakat

syaratan

dan mufakat

nya dilakukan secara demokratis (musyawarah dan mufakat).

Jabatan Ketua dipegang

Pimpinan BPD Pimpinan BPD kepala desa dan

Pimpinan BPD

(meliputi ketua, terdiri dari 1 (satu) sekretaris dijabat

(meliputi ketua,

wakil ketua, dan orang ketua, sekretaris desa

wakil ketua, dan

sekretaris BPD)

sekretaris BPD) 1(satu) orang dipilih dari anggo- dipilih dari anggota wakil ketua, dan ta BPD dan bukan BPD dan bukan dari

1 (satu) orang

dari perangkat

perangkat desa sekretaris. Dipilih

desa

dari dan oleh ang- gota BPD dalam rapat BPD yang diadakan secara khusus

Fungsi Membina kelan-

Tiga pilar fungsi 1) Membahas dan caran hubungan

Mengayomi adat

istiadat, membuat BPD: 1) menam- menyepakati Ran- yang berkembang

pung dan menya- cangan Peraturan dalam masyarakat menampung dan

peraturan desa,

lurkan aspirasi Desa bersama dan menyalurkan

masyarakat, 3) Kepala Desa; 2) aspirasinya dalam

menyalurkan as-

pirasi masyarakat, menetapkan pera- menampung dan rapat-rapat LMD

melakukan peng- turan desa bersama menyalurkan as- awasan terhadap

kepala desa, dan 3) pirasi masyarakat

pemerintahan

melakukan peng- desa; dan 3)

desa

awasan terhadap melakukan peng- kebijakan pemerin- awasan kinerja tah desa.

kepala desa. Diolah dari berbagai sumber.

Sebelum Indonesia merdeka pada 17 kerangka sub-sistem pemerintahan Agustus 1945, desa sudah memiliki

daerah. Namun hubungan baik an- eksistensinya di Nusantara. Desa bah-

tara negara dengan desa mengalami kan sudah termaktub dalam pasal 18

pasang surut, masa-masa kelam itu Undang-Undang Dasar 1945, di mana

terjadi pada masa Orde Baru. Orde NKRI memberikan penghormatan atas

Baru di bawah pemerintahan Soeharto kebinekaan yang dimiliki oleh desa.

mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1979. Desa-desa pada masa tersebut ada-

Di dalam UU tersebut, pemerintah pu- lah entitas yang otonom dan memili-

sat melakukan penyeragaman organi- ki hak asal usul. Sehingga NKRI yang

sasi dan kelembagaan desa. Unit desa baru merdeka pun juga memberi-

berada dibawah kecamatan. Usia dari kan pengakuan atas desa di luar dari

UU ini cukup panjang hingga ia akhir- 204

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016

JURNAL ANALISIS KEBIJAKAN Volume 1, No. 2, 2016 205

nya dihapus pada tahun 1999 karena posisinya bertentangan dengan UUD

1945. 1 Pasca reformasi hubungan pe- merintahan dengan pusat mengalami perubahan dengan munculnya UU No.

22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan berubah lagi dengan UU

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam bingkai pemerintahan daerah, desa dianggap sebagai ba- gian pemerintah daerah. Namun de- mikian, jangkuan UU 32 Tahun 2004 ini ternyata tidak berhasil memberi- kan manfaat penuh bagi desa. Karena nyatanya jangkauan keadilan distribusi dan pemerataan pembangunan tidak

pernah sampai pada desa. Desa masih menjadi obyek dari pembangunan dari

keinginan pusat maupun pemerintah daerah.

Lahirnya UU Desa, sejatinya be- rusaha merombak kembali tatanan pengaturan tentang desa. Kini desa memiliki kewenangan untuk menga- tur pemerintahan dan masyarakatnya sendiri, termasuk adat yang ia miliki, yaitu kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal ber- skala desa, yang diturunkan dari asas rekognisi dan subsidiaritas. Dengan demikian, desa memiliki kontrol penuh atas sumber daya yang dimiliki dan mempergunakan seluruh akses sum- ber daya tersebut untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga desa.

Dalam proses evolusi kelembagaan di desa, perempuan adalah entitas yang tidak pernah bisa dipisahkan di dalamnya. Tahun 1972, dibawah Orde Baru, diperkenalkanlah Pembinaan Kesejahteraan Keluarga bagi perem-

puan di desa-desa. 2 Organisasi ini

1. http://desamembangun.or.id/2014/04/ tata-kelola-desa-dalam-uu-desa/ diunduh 15 Oktober 2016

2. Dewi, Kurniawati H. “Demokrasi dan De- konstruksi Ideologi Gender Orde Baru”. Demokrasi Mati Suri. Jurnal Penelitian Poli-

menarik kembali peran-peran publik perempuan dan menjadikan perem-

puan bergerak pada ranah domes- tik (keluarga/rumah tangga). Dalam

konteks ini, ada yang disebut Panca Dharma PKK yang mengatur tugas seorang perempuan sebagai istri ada- lah mengurus suami, mengurus rumah tangga, menjadi pendidik anak, men- cari nafkah tambahan bagi keluarga dan sebagai warga masyarakat (Wolf, 1992). PKK merupakan sebuah organi- sasi terstruktur dari tingkatan provinsi hingga ke level desa. Dan yang menja- bat sebagai ketua PKK di setiap wilayah dari pusat, provinsi, kabupaten, keca- matan hingga desa merupakan istri dari pemimpin di setiap level pemerin- tahan. Misalkan, seorang gubernur, maka istri gubernur adalah ketua tim penggerak PKK. Begitu pula di tingka- tan kabupaten dibawah bupati, di ke- camatan dipimpin oleh istri camat, dan tentu di desa ketua tim penggerak PKK adalah istri kepala desa.

Program PKK biasa disebut 10 pro- gram pokok PKK yakni meliputi: peng- hayatan dan pengamalan Panca sila; gotong royong, pangan, sandang, perumahan dan tata laksana rumah tangga; pendidikan dan keterampilan; kesehatan; pengembangan kehidupan berkoperasi; kelestarian lingkungan hidup dan perencanaan sehat. Se pu - luh program pokok PKK dikerjakan melalui 4 kelompok kerja. Nama PKK sendiri sempat mengalami perubahan dari tahun 1972. Awalnya bernama Pendidikan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga melalui surat kawat No. Sus 3/6/12 kepada seluruh gubernur kepa- la daerah Tk. I Jawa Tengah dengan tembusan gubernur seluruh Indone- sia. Pada masa reformasi, namanya pun berubah menjadi Pemberdayaan

tik Vol 4 No.1 2007.

dan Kesejahteraan Keluarga berdasar pada Keputusan Menteri Dalam Nege- ri dan Otonomi Daerah No. 53 Tahun 2000.

Perubahan singkatan nama dari PKK sejatinya tidak pernah mengu- bah ruh ideologi dari organisasi terse- but. PKK tetap menjadi organisasi di bawah komando dari pusat sehingga desa tidak bisa serta merta mengu- bah garis kebijakan PKK. Panca Dhar- ma PKK yang memposisikan perem- puan kembali pada ranah domestik, membuat pe rempuan tidak memiliki akses yang luas untuk menjangkau persoalan-persoalan publik, misal- kan dalam pengambilan keputusan di ranah desa. Kondisi demikian mem- buat perempuan-pe rempuan PKK di bawah Orde Baru mewariskan sebuah tradisi domestiikasi kepada anak-anak perempuan. Bahwa perempuan yang ideal merupakan perempuan yang dikons truksikan seperti yang ada di dalam Panca Dharma PKK. Perem- puan harus menjadi pendamping istri dan bergerak pada kodratnya dalam ranah domestik. Akibatnya, peluang perempuan untuk menjadi pemimpin- pemim pin di level desa atau komuni- tasnya amat terbatas.

Peluang Representasi Perempuan dalam BPD Pasca UU No. 6 Tahun 2014

Kondisi represif semasa 32 tahun Orde Baru berkuasa, membuat posisi perempuan di desa makin terpinggir- kan. Organisasi-organisasi perempuan di luar dari PKK, dianggap organisasi yang berlawanan dengan pemerintah. Tak jarang organisasi perempuan yang tidak sesuai dengan komando dari pe- merintah dianggap sebagai organisasi subversif. Di pedesaan PKK dianggap menjadi representasi dari suara perem- puan. Padahal acapkali suara perem- puan di PKK tidak selalu merepresen- tasikan kepemimpinan perempuan,

mengingat PKK merupakan wadah dan program yang terstruktur. Di banyak desa yang pernah dikunjungi penulis, kegiatan PKK hanya terbatas pada ari- san, baik hanya undian arisan maupun arisan simpan pinjam. Selebihnya, PKK hanya menerima sosialisasi dari berba- gai instansi dari pemerintah, seperti penyuluhan kesehatan dari Dinas Ke- se hatan, penyuluhan kesehatan re- produksi dari BKKBN, maupun instansi lain dari pemerintah. Bahkan, sering pula PKK dijadikan “wahana” promo- si penjualan barang oleh agen-agen distribusi barang. Adanya UU Desa sebenarnya dapat menjadi peluang untuk mengubah keadaan perempuan di desa. Dalam banyak kasus, mere- ka yang menjadi bagian dari PKK, baik yang menjadi pengurus dan anggota, sebenarnya memiliki kemampuan dan kapasitas yang mumpuni untuk meng-

gerakkan perempuan desa.

Praktik baik dari daerah, yang memiliki organisasi masyarakat si- pil (OMS) aktif, dalam menggerakan kelompok-kelompok perempuan desa untuk keluar dari cara berpikir Orde Baru yang sangat patriarkhi dalam

memandang perempuan sebenar nya sudah banyak berkembang. Salah satu kasus keberhasilan perempuan beror-

ganisasi di tingkat desa muncul pada kelompok perempuan di Desa Arakan, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Desa ini merupakan salah satu basis komunitas dari orga- nisasi perempuan Swara Perempuan di Manado. Swara Perempuan meru- pakan sebuah organisasi masyarakat sipil yang muncul didekade 90an. Pada dekade ini Swara Perempuan banyak melakukan pendampingan bagi pe- rempuan di sekitar Pantai Bunaken. Pendampingan ini dilakukan kepa-

da 17 desa di sekitar teluk Bunaken. Fokus isu dalam pengorganisasian adalah mengorganisir perempuan dan lingkungan. Teluk Bunaken pada