Khilafah Ahmadiyah sebagai Satu Model P

Dipersiapkan untuk buku Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila. Editor: Dr. Komaruddin Hidayat

Khilafah Ahmadiyah: Menerapkan Sistem Papacy (Kepausan) dalam Islam
Oleh: Ahmad Najib Burhani*

Sejak IS (Islamic State, sebelumnya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) atau ISIL
(Islamic State of Iraq and the Levant)) mendeklarasikan terbentuknya kekhilafahan baru bagi
umat Islam dengan Abu Bakr al-Baghdadi (lahir 1971) sebagai khalifahnya pada 29 Juni 2014,
isu tentang khilafah Islamiyah kembali ramai dibicarakan dan menjadi energi baru bagi beberapa
kelompok yang selama ini mendukung khilafah. Sebelum IS, wacana dan upaya untuk
mewujudkan khilafah telah dipromosikan secara massif oleh Hizbut Tahrir (HT) sejak 1953 dan
Al-Qaeda sejak akhir 1980an sebagai pengganti dari sistem demokrasi yang dipandang oleh
kelompok ini sebagai sistem tidak Islami. Meski ketiga kelompok itu sama-sama
mempromosikan khilafah, namun masing-masing dari ketiga kelompok itu saling menentang
kekhilafahan yang diusung kelompok lain.1
Sebagai sebuah sistem pemerintahan, khilafah telah hancur pada Maret 1924 setelah
sistem ini berjalan lebih dari 13 abad semenjak wafatnya Nabi Muhammad tahun 632 Masehi.
Namun sebagai wacana, gagasan untuk membangun kembali khilafah itu terus muncul dalam
tubuh sebagian umat Islam. Tahun 2007 lalu, misalnya, Universitas Meryland mengadakan
survey terhadap 4.384 orang Islam di empat negara (Maroko, Mesir, Pakistan, dan Indonesia).
Salah satu pertanyaannya adalah pandangan mereka tentang khilafah. Mereka yang memberikan

jawaban “sangat setuju” (agree strongly) dan “agak setuju” (agree somewhat) adalah sebagai
berikut: Mesir (67%), Indonesia (49%), Maroko (71%), dan Pakistan (67%).2 Selain HT dan AlQaida, salah satu promoter wacana khilafah adalah Abul A’la Maududi (1903-1979) yang,

1

Penolakan HT terhadap IS bisa dilihat di link ini: http://hizbut-tahrir.or.id/2014/07/26/bagaimana-sikap-htterhadap-khilafah-yang-diproklamirkan-isis/ (Diakases 1 September 2014). Hubungan IS dengan AL-Qaeda bahkan
telah putus sama sekali sejak Februari 2014.
2
“Muslim Public Opinion on U.S. Policy, Attacks on Civilians, and al Qaeda”. Versi online survey ini tersedia di
http://www.worldpublicopinion.org/pipa/pdf/apr07/START_Apr07_quaire.pdf (Diunduh 25 Agustus 2014). Hasil
ini tentu mengejutkan dan meragukan karena berdasarkan survey yang dilakukan oleh PPIM (Pusat Pengkajian
Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta pada 2010, pendukung Hizbut Tahrir, kelompok yang paling getol mengusung
khilafah, di Indonesia itu hanya 0,4 persen (Bush 2012). Tentu saja harus dilihat bahwa pertanyaan yang diajukan
oleh kedua survey itu memang berbeda; yang pertama tentang khilafah, yang kedua tentang HT. Pendukung khilafah
belum tentu pendukung HT, tapi pendukung HT pasti menjadi pendukung khilafah.

1

misalnya, menyebutkan bahwa khilafah adalah salah satu dari tiga prinsip politik Islam, yaitu
tauhid, risalah (kenabian), dan khilafah (Maududi tt.; Liebl 2009, 373-4).3

Dalam wacana tentang khilafah ini, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa kalau
Ahmadiyah diakui sebagai bagian dari Islam, maka sistem kekhilafahan Islam itu sebetulnya
tidaklah benar-benar hancur. Ini karena sebelum kekhilafahan Turki Utsmani dibubarkan oleh
Mustafa Kemal Ataturk, pada tahun 1908 kelompok Ahmadiyah telah mendirikan kekhilafahan
baru di India. Hanya saja, karena kelompok ini sering dipandang sebagai kelompok sesat dan di
luar Islam, maka kekhilafahan Ahmadiyah sering tak diperhatikan oleh umat Islam lain.
Tulisan ini secara lebih khusus akan melihat sistem kekhilafahan Ahmadiyah dan sekilas
perbedaannya dengan sistem kekhilafan Islam yang lain. Beberapa pertanyaan yang hendak
dibahas dalam tulisan ini adalah: Bagaimana sistem khilafah Ahmadiyah itu terbentuk dan
bagaimana cara memilih khalifah? Apa dasar otoritas dari khalifah dan apa batas kekuasaan yang
dimilikinya? Apakah ada batasan masa kekuasaan dari seorang khalifah? Kekhilafahan
Ahmadiyah, yang menjadi bahasan utama tulisan ini, diangkat untuk memberikan bayangan
perbandingan tentang wujud dari sistem khilafah itu ketika diterapkan oleh kelompok Islam di
masa kontemporer. Tentu saja akan terjadi berbagai variasi ketika sistem khilafah diterapkan
oleh umat Islam yang berbeda, namun ada elemen yang sama dalam semua sistem khilafah,
diantaranya adalah adanya bayangan tentang persatuan seluruh umat Islam dibawah satu khalifah
dan adanya otoritas keagamaan yang luar biasa pada diri khalifah.

Khilafah sebagai Nostalgia dan Utopia
Sebelum memulai pembahasan tentang kekhilafahan Ahmadiyah, penting untuk

dipaparkan terlebih dahulu mengapa wacana tentang khilafah terus menghantui sebagian umat
Islam dan bahkan menemukan momentumnya di abad ke-21 ini. Secara umum, khilafah sering
dipahami sebagai sistem pemerintahan trans-etnik dan trans-nasional dengan menjadikan
keyakinan keagamaan (Islam) sebagai landasan untuk bersatu dan syariah sebagai hukum yang
diterapkan untuk mengatur tatanan masyarakat (Al-Rasheed, Kersten, dan Shterin 2013, 1).
Meski dalam sejarahnya sistem khilafat ini hampir tidak pernah benar-benar mempersatukan
umat Islam, namun sebagian kelompok dalam Islam masih tetap meyakini bahwa ini adalah

3

Intinya, menurut Maududi, dengan sistem khilafah tersebut maka otoritas manusia dalam politik di dunia ini
sebetulnya hanya untuk mewujudkan apa yang diperintahkan oleh Allah.

2

sistem pemerintahan yang dimandatkan oleh Tuhan dan karenanya bisa mempersatukan umat
Islam, mengangkat umat ini pada kejayaan, dan menjadi solusi terhadap seluruh persoalan umat
manusia. Mengutip pernyataan Ismail Yusanto, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Burhanuddin Muhtadi (2009, 631) menyebutkan tiga alasan mengapa HT meyakini bahwa
pendirian khilafah adalah wajib bagi umat Islam, yaitu: pertama, alasan normatif berupa perintah

dari Allah seperti tersebut dalam Al-Qur’an. Kedua, alasan historis, yakni eksistensi sistem ini
sejak meninggalnya Nabi Muhammad. Ketiga, alasan faktual berupa kondisi umat Islam yang
terpecah belah tanpa khilafah sehingga mudah diadu domba dan ditindas oleh kelompok lain.
Jika dalam sejarahnya khilafah itu hampir tak pernah sesempurna yang dibayangkan,
lantas mengapa sebagian umat Islam di abad ini menginginkan untuk mewujudkan kembali
sistem kekhilafahan? Berbagai perspektif tentu bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan ini.
Namun untuk tulisan ini, ada tiga hal penting yang akan dilihat, yaitu faktor politik, agama, dan
psikologi.
Pertama, secara politik, sistem khilafah itu berhubungan erat dengan konsep ummah,
sebuah konsep yang hadir sejak awal Islam yang sering dipakai untuk menunjukkan bahwa
seluruh umat Islam di dunia itu tanpa pandang etnis, bahasa, warna kulit, dan kebangsaan adalah
komunitas yang tunggal dengan keyakinan spiritual yang sama dan menyembah Tuhan yang
sama.4 Keyakinan sebagai umat yang satu ini terus dikokohkan setiap tahun dalam ritual haji ke
Makkah dan Madinah dan juga dengan keberadaan OKI (Organisasi Kerjasama Islam) serta
Rabitah al-‘Alam al-Islamy. Karena itu, meski cita-cita terwujudnya kembali khilafah hanya ada
pada sebagian umat Islam, tapi mimpi adanya persatuan umat Islam itu ada pada sebagian besar
kelompok yang taat dalam agama ini. Dulu, keinginan bersatu itu terwujud dalam gagasan PanIslamisme. Kini, khilafah adalah perwujudan mimpi tentang hubungan yang lebih kongkrit dari
sekadar perasaan sebagai umat yang satu, terutama demi mewujudkan kepentingan politik.
Karena itulah, salah satu janji dan harapan yang selalu ditawarkan oleh para pengusung khilafah
adalah persatuan umat Islam, dan kadang, seperti kasus IS, ini dilakukan dengan pemaksaan.

Persatuan umat dalam kepentingan politik ini menjadi terasa sangat penting di tengah kondisi
keterpurukan dan keterbelakangan umat Islam di dunia saat ini, seperti kondisi Palestina yang
4

Talal Asad (2003, 197) memiliki penjelasan yang sangat menarik tentang konsep ummah ini. Menurutnya, makna
umat sebagai sebuah imagined community tidaklah sama dengan harapan terwujudnya negara Arab yang bersatu
secara politik. Ia lebih merupakan wilayah teologis dimana umat Islam bisa melaksanakan agamanya di dunia ini.
Ummatul Muslimin, bagi Asad, bukanlah sebuah “masyarakat” yang bisa dipetakan sebagai sebuah negara, ekonomi,
dan agama .

3

terus-menerus tak menentu dan menjadi bulan-bulanan dari Israel. Karena itu, ketika gagasan
khilafah ini ditawarkan pada abad ini, ketika kekhilafahan Islam menjadi nostalgia sejarah, maka
beberapa kelompok dalam Islam menyambutnya dengan penuh semangat.
Kedua, khilafah sering dipandang sebagai tawaran alternatif sistem pemerintahan yang
bersifat ketuhanan (divine system). Saat ini, tidak ada sistem pemerintahan yang bisa menjadi
alternatif bagi demokrasi. Padahal sistem ini bukanlah sistem yang sempurna dan bisa membuat
sesuatu yang bertentangan dengan hukum Tuhan, seperti perkawinan sejenis, menjadi hukum
yang sah. Karena itu, pendukung khilafah menganggap sistem khilafah lebih baik dari demokrasi

karena ia berasal dari Tuhan. Seperti disebutkan oleh Ismail Yusanto (2008), khilafah merupakan
simbol resistensi terhadap neo-kolonialisme yang dikembangkan oleh Barat. Utopia tentang
khilafah dari HT itu sering disejajarkan dengan utopia kelompok Komunis atau Marxist yang
ingin mewujudkan masyarakat tanpa kelas dan HT sering dipandang sebagai Islam Bolsheviks
(Muhtadi 2009, 624). Sama seperti ideologi komunisme yang mampu mengbangkitkan emosi
dan komitmen moral dari pada pendukungnya, aspirasi penyatuan umat Islam dibawah
kekhilafahan yang melampaui batas etnis, bahasa, dan kebangsaan ini juga mampu menciptakan
militan Muslim untuk memperjuangkan utopia ini.
Ketiga, respon umat Islam terhadap khilafah itu sering dikaitkan dengan aspek psikologi.
Pendukung gagasan ini banyak yang berasal dari perkotaan atau komunitas diaspora. Mereka
sering merasa dipersatukan satu sama lain dengan teknologi, terutama technology cyber. Di
dunia maya itulah mereka bisa bertemu sesama Muslim dari berbagai negara dan bisa berbagi
kesedihan, kebahagiaan, dan mimpi. Masyarakat perkotaan dan dispora inilah yang seringkali
secara psikologis mengalami kesepian dan merindukan persatuan umat Islam dalam konteks
politik yang memiliki wilayah tertentu (Al-Rasheed, Kersten, dan Shterin 2013, 29). Dalam
konteks ini, sambutan terhadap khilafah lebih merupakan respon psikologis terhadap dunia
modern, daripada sebagai mimpi dan fantasi.
Setelah melihat tiga faktor yang mendorong resepsi terhadap khilafah, kini kita akan
melihat bagaimana kekhilafahan Ahmadiyah dibentuk dan dijalankan.


Kekhilafahan sebagai Sistem Ilahi
Kekhalifahan adalah salah satu doktrin yang paling penting di dalam ajaran Ahmadiyah
karena sistem ini diyakini sebagai sumber kekuatan dan alat pemersatu umat Islam. Tanpa
4

khilafah, seperti ditegaskah oleh khalifah ke-5 Ahmadiyah, Masrur Ahmad, maka umat Islam
pasti akan mengalami kehancuran dan disintegrasi. Hanya dengan khilafah umat Islam bisa
berjaya di dunia ini (Bashir 2010, v). Berbeda dari demokrasi, Ahmadiyah meyakini bahwa
khilafah, berdasarkan pada Surat An-Nur 56, adalah sistem ilahi (divine system) dan karena itu ia
merupakan sistem pemerintah yang terbaik (Bashir 2010, 3).
Bahkan, dalam Ahmadiyah, doktrin tentang khilafah ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari doktrin tentang kenabian. Khalifah adalah bayang-bayang Nabi dan karena itu
keberadaan khalifah mengemban misi agar peran dan misi kenabian tetap berlangsung di dunia
ini. Dalam konteks Ahmadiyah ini berarti bahwa dengan wafatnya Ghulam Ahmad, semua tugas
kenabian diambilalih oleh Khalifah. Pandangan Ahmadiya ini menjawab Ahmad Atif Ahmad
dalam bukunya The Fatigue of Shari’a (2012, 1-2) yang mengajukan suatu pertanyaan:
“Mungkinkah petunjuk Tuhan yang telah diberikan kepada generasi terdahulu, seperti yang kita
ketahui dari catatan sejarah agama, pada suatu titik tiba-tiba dihentikan untuk dapat kita raih?”
dan “dapatkah umat manusia hidup di dunia ini tanpa petunjuk-Nya?” Ahmadiyah menjawab
pertanyaan itu dengan pasti bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa petunjuk Tuhan dan, oleh

karenanya, wahyu dari Tuhan akan selamanya diturunkan. Tuhan tidak akan berhenti
mengirimkan utusan-Nya hingga akhir masa (Ghulam Ahmad 1984, 4).5
Setelah Ghulam Ahmad, mandat kenabian telah diserahkan kepada Khalifahnya yang
juga menerima wahyu dari Allah. Selanjutnya, para pengikut Ahmadiyah percaya bahwa sistem
kekhalifahan Ahmadiyah akan bertahan hingga akhir zaman (Lajna Imaillah 1996, 97; Bashir
2010, 94). Sama seperti Nabi, dalam keyakinan Ahmadiyah, Khalifah juga menerima bimbingan
dan pertolongan ilahi selama masa pemerintahannya dan sekali Khalifah telah terpilih, ia tidak
dapat digulingkan (Bashir 2010, 4, 45-8).
Persepsi tentang Khalifah dan sistem kekhalifahan inilah yang telah menjadi salah satu
alasan utama terjadinya perpecahan dalam tubuh Ahmadiyah pada tahun 1914, yaitu menjadi dua
kelompok; Ahmadiyah Qadian dan Ahmadiyah Lahore.6 Kelompok Qadian sering menyebut
Lahore sebagai penolak sistem kekhalifahan, sementara pengikut Lahore berpendapat bahwa
5

Namun, seperti yang dinyatakan oleh Muhammad Iqbal, jika pertanyaan ini diperpanjang, apakah ada nabi setelah
Ghulam Ahmad, maka jawaban dari Ahmadiyah adalah ‘tidak’ (Nadwi 1967, 122-3).
6
Di Indonesia, nama resmi dari Ahmadiyah Qadiani adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sedangkan nama
resmi dari Ahmadiyah Lahore adalah Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). JAI memiliki sekitar 400.000 anggota,
sementara GAI memiliki anggota yang kurang dari 10.000 orang. Untuk level internasional, atau pimpinan pusat,

Ahmadiyah Qadiani dipimpin oleh khalifah, sementara Ahmadiyah Lahore dipimpin oleh presiden.

5

kekhilafahan bukanlah sistem yang harus diadopsi oleh Ahmadiyah setelah wafatnya Ghulam
Ahmad. Seperti diilustrasikan oleh Wilfred Cantwell Smith (1969), setelah berpisah dari
kelompok Qadian, kelompok Lahore lebih tepat dikategorikan sebagai representasi Islam liberal
dan anggota-anggotanya bergerak mendekati komunitas Muslim pada umumnya, bahkan sampai
melupakan atau menghapuskan perbedaan mereka dari umat Muslim kebanyakan, serta
mengurangi hubungan mereka dengan Ghulam Ahmad. Smith juga menjelaskan bahwa
kelompok Lahore perlahan-lahan mulai mengidentifikasi dirinya “hanya sebagai sebuah
kelompok misionaris Muslim yang senang bekerja keras dan memberi manfaat bagi orang lain”
(Smith 1969, 369).
Bagi Ahmadiyah Qadian, sejak didirikan pada 27 Mei 1908 kantor Khalifah mereka telah
berpindah sebanyak tiga kali. Kantor pertama bertempat di Qadian. Setelah terpecahnya India
pada tahun 1947 (menjadi India dan Pakistan), kantor Khalifah pindah ke Rabwah, kota baru di
Pakistan yang dibangun oleh pengikut Ahmadiyah. Akhirnya, setelah Jenderal Zia’ul Haq
mengeluarkan Ordonansi No. XX tahun 1984 yang mengkriminalisasi keyakinan dan praktikpraktik keagamaan Ahmadiyah, kantor Khalifah dipindah ke London. Hingga kini, pusat
kekhilafahan Ahmadiyah tetap di London. Untuk nama-nama khalifah, telah ada lima Khalifah
dalam Ahmadiyah, yaitu: Hakim Nuruddin (memimpin sejak tahun 1908 sampai 1914),

Bashiruddin Mahmud Ahmad (1914-1965), Nasir Ahmad (1965-1982), Tahir Ahmad (19822003), Masrur Ahmad (2003 - sekarang). Kecuali Hakim Nuruddin, semua Khalifah Ahmadiyah
itu adalah keturunan Mirza Ghulam Ahmad.

Pemilihan dan Masa Kepemimpinan Khalifah
Selain empat khalifah pertama pengganti Nabi Muhammad (yaitu Abu Bakar, Umar,
Usman, dan Ali), sistem kekhilahan dalam Islam itu hampir seluruhnya dijalankan dengan sistem
dinasti. Itu terjadi dalam kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, dan Usmaniyah. Sistem
yang hampir sama berlaku dalam kekhilafahan Ahmadiyah, yaitu khalifah dipegang oleh
keturunan Mirza Ghulam Ahmad, kecuali khalifah pertama Hakim Nuruddin yang merupakan
pengikut setia Ghulam Ahmad sejak Ahmadiyah didirikan di India pada 1889.
Seperti yang dinyatakan oleh Karimullah Zirvi (2010), pada dasarnya sistem Khilafah
dalam gerakan ini tidak menggunakan sistem turun-temurun, melainkan melalui pemilihan oleh
Lembaga Pemilihan (Electoral College) yang didirikan khusus untuk tujuan itu. Lembaga itu
6

pertama kali didirikan oleh Khalifah kedua, Mahmud Ahmad. Meski lembaga ini berada dalam
supervisi khalifah, namun begitu khalifah meninggal maka ia menjadi lembaga independen yang
bertugas memilih khalifah berikutnya. Dalam proses pemilihan, beberapa nama diusulkan dan
ditolak. Pada akhirnya anggota lembaga ini memilih satu nama melalui voting dengan cara
mangacungkan tangan.7 Namun demikian, sistem pemilihan Khalifah dalam gerakan ini berbeda

dari sistem demokrasi pada umumnya, di mana setiap anggota gerakan ini memiliki hak untuk
memilih langsung seorang Khalifah, ataupun menggunakan perwakilan untuk memilihnya. Para
Ahmadi berpendapat, karena sistem Khilafah di Ahmadiyah adalah “sebuah bagian atau cabang
dari sistem kenabian” (Zirvi 2010, 416), maka sesungguhnya Tuhanlah yang menunjuk seorang
Khalifah seperti halnya Dia menunjuk seorang Nabi. Oleh karena itu, Ahmadiyah mengklaim
bahwa telah terjadi keterlibatan yang bernuansa mistis atau spiritual dari Allah dalam setiap
pemilihan atau pengangkatan Khalifah baru. Jadi, meski secara kasat mata tampak bahwa
khalifah itu dipilih oleh para anggota atau perwakilan Ahmadiyah, namun pada dasarnya,
“Orang-orang Muslim Ahmadi meyakini bahwa Allah-lah yang memilih Khalifah, seperti yang
Dia lakukan dalam pemilihan Khulafaur Rasyidin, karena setiap kali pemilihan Khalifah terjadi,
hati dan pikiran para pemilih semuanya tertuju pada orang yang sama” (Lajna Imaillah 1996,
97).
Menggunakan kata-kata dari Karimullah Zirvi, Sekretaris Nasional Ta’lim Jama’at
Ahmadiyah di Amerika Serikat, “Khilafah bukanlah bagian dari sistem demokrasi apapun di
dunia ini, melainkan itu adalah bagian dari sistem spiritual dan keagamaan, di mana kewenangan
telah diturunkan dari atas dan seorang Khalifah selalu didukung dan diberkati Allah yang
senantiasa menyertainya” (Zirvi 2010, 423). Berdasarkan argumen ini, maka menjadi bagian dari
kehendak Allah jugalah alasan mengapa keturunan dari Ghulam Ahmad selalu menjadi Khalifah
dalam kelompok ini, kecuali untuk Khalifah yang pertama.
Berkenaan dengan periode Khilafah, kepemimpinan seorang Khalifah berlaku sampai
akhir hayatnya. Ini berarti bahwa ketika Khalifah telah terpilih, tidak ada yang bisa
menyingkirkannya. Nasir Ahmad menggarisbawahi ketidakmungkinan untuk melengserkan
Khalifah ini dengan menyatakan bahwa, “Hak untuk menurunkannya hanya ada pada Allah saja.
Jika Allah merasa perlu untuk mengganti Khalifah, Dia akan membuatnya meninggal dengan
7

Informasi ini diperoleh dari artikel berjudul “How is Khalifatul Masih elected?” yang mengutip sesi tanya-jawab
dengan Hadrat Khalifatul Masih IV, Tahir Ahmad, di Mannheim, Germany, pada 24-26 Agustus 2001.
https://www.alislam.org/library/khalifah-election.html (Diunduh 24 Agustus 2014).

7

berbagai sebab dan menunjuk Khalifah lain pilihan-Nya melalui perantaraan pilihan orang-orang
yang beriman. Khalifah, oleh karenanya, tidak bisa disingkirkan oleh masyarakat sendiri dan
barangsiapa yang menentang hal ini berarti ia munafik dan durhaka” (Bashir 2010, 101).
Meskipun pandangan ini sulit diterima oleh orang-orang yang berpikiran sekuler, namun hal itu
disepakati oleh semua Khalifah Ahmadiyah lainnya dan masing-masing mereka menyatakan
bahwa bukanlah hak masyarakat untuk mengubah Khalifah. Hak tersebut hanya milik Allah dan
tidak ada yang bisa mengganggu-gugat hal itu.
Mahmud Ahmad, seperti dikutip oleh Zafrullah Khan, menjelaskan perbedaan antara
sistem Khilafah di Ahmadiyah dan kelompok Muslim lainnya sebagai berikut:
Ada perbedaan antara kekhilafahan saya dan kekhilafahan Khalifah-Khalifah yang telah
berlalu. Kekhilafahan mereka kini menjadi subjek kajian intelektual, [sementara]
Khilafah saya secara ajaib berkaitan dengan bukti-bukti yang mendukung keberadaannya
… Khalifah tidak akan melakukan penyelewengan, tak ada ada keraguan tentang hal ini.
Anda akan tersingkir dari Khilafah jika Anda berbuat korup ... Ingatlah hal ini dengan
baik, bahwa selama Khilafah tetap tegak, tak akan ada kekuatan di muka bumi ini yang
mampu mengalahkan Anda dan Anda akan mendapat pertolongan serta kemenangan di
segala bidang ... (Khan 1978, 284-5).
Pendeknya, karena khalifah itu tak hanya menjadi pemimpin urusan dunia saja, tapi juga
pemimpin urusan spiritual, maka upaya menggulingkannya atau menggantinya adalah sebuah
tindakan keji dan bahkan blasphemy (pelecehan agama). Menggulingkan khalifah tidak hanya
melanggar persoalan hukum dunia, tapi itu sebuah dosa (Bashir 2010, 49).

Kekuasaan Khalifah dan Beberapa Kontroversi
Khalifah dalam gerakan ini memiliki otoritas mutlak, khususnya di dalam urusan agama.
Untuk menggambarkan otoritas Khalifah dan hubungan antara Khalifah dan para Ahmadi,
seorang misionaris Ahmadiyah di Pandeglang mengatakan kepada penulis bahwa Khalifah harus
diberitahu mengenai segala hal yang berhubungan dengan kehidupan seorang muballigh,
“bahkan sampai urusan warna celana dalam (CD) muballigh pun harus diketahui oleh
Khalifah”.8 Kesimpulan ini digarisbawahi oleh Mansur Ali, seorang Ahmadi Indonesia lainnya.
Dia menyebutkan bahwa seorang Ahmadi harus memberikan kesetiaannya secara penuh kepada
Khalifah. Bahkan jika Khalifah memintanya untuk mati, ia harus dengan senang hati
8

Wawancara pribadi di Pandeglang pada tanggal 24-25 Juni 2012.

8

memberikan nyawanya (Muryadi 2005, 122). Sikap ini sejalan dengan pernyataan Ghulam
Ahmad di Tadzkiratus Syahadatain. Dengan retorika seorang sufi, Ghulam Ahmad berkata,
“Merupakan kewajiban seorang hamba untuk benar-benar senang dalam melayani Tuannya
dengan penuh kesiapan untuk mengorbankan diri dalam pelayanan kepada-Nya. Ia menyerahkan
hidupnya sebagai pengorbanan untuk Sang Kekasih dan ia pun bahkan akan menelan racun demi
meraih-Nya” (1984, 57).
Dalam konteks tajdīd (pembaharuan) pemikiran Islam, para pengikut Ahmadiyah percaya
bahwa tidak akan ada mujaddid selama ada sistem Khilafah ada (Nasir Ahmad 1978, 8).
Mengutip pernyataan dari Khalifah Ketiga, Mirza Nasir Ahmad, “Keberadaan seorang Imam
baru atau seorang mujaddid tidak diperlukan sekarang. Kebutuhan akan adanya para mujaddid
muncul hanya dalam kondisi tidak adanya Khilafah ... Allah akan menegakkan kembali Khilafah
di atas satu komando kenabian. Oleh karena itu harus diingat bahwa setelah sistem Khilafah ini
ditegakkan, maka tidak diperlukan lagi adanya seorang mujaddid di sisi lain” (Bashir 2010, 100).
Bagi mereka yang meninggalkan Ahmadiyah, seperti Ahmad Hariadi dan Hasan
Mahmud Odeh, sistem Khilafah di Ahmadiyah itu hanyalah lelucon belaka. Mahmud Odeh,
misalnya, menulis, “Di antara keberatan saya terhadap penyelenggaraan Komunitas
(Ahmadiyah) ialah adanya sistem ‘Khilafah’, yang selalu menjadi milik keluarga Mirza Ghulam
Ahmad sejak anaknya, yang disebut sebagai ‘Sang Reformis Yang Dijanjikan’, memimpin
kekhalifahan pada tahun 1914. Tidak ada penjelasan yang bisa diberikan oleh para pengikut
Ahmadiyah mengenai hal ini, selain bahwa kepemimpinan ‘Khilafah’ telah ditakdirkan untuk
tetap berada dalam keluarga ini, yang oleh beberapa orang disebut sebagai ‘keluarga yang
memiliki predikat kenabian’ (Odeh 2000, 98).

Catatan Akhir
Ada tiga catatan akhir yang perlu ditulis berkaitan dengan sistem kekhilafahan Islam
secara umum dan khilafah Ahmadiyah secara khusus, yaitu: Adanya berbagai variasi sistem
khilafah di dunia Islam, fungsi dari khilafah dalam komunitas Ahmadiyah, dan karakter
kekhilafahan di dunia Islam.
Berkaitan dengan variasi sistem khilafah, paling tidak ada tiga makna khilafah yang saat
ini diyakini oleh umat Islam: Pertama, khilafah dalam arti politik seperti yang terjadi dalam
khilafah Umayyah, Abbasiyah, Turki Usmani, dan Fatimiyah. Pendukung pemahaman ini
9

meyakini bahwa mendirikan khilafah Islamiyah yang mempunyai kontrol penuh terhadap politik
hukumnya adalah wajib. Ini diantaranya yang dianut oleh Hizbut Tahrir, Al-Qaida, dan Islamic
State di Irak dan Syria. Kedua, khilafah dalam arti wewenang sebagai khalifatullah fi al-ardh
(wakil Allah di muka bumi) (Qs. 2: 30). Bahwa semua umat manusia, terutama dalam hal ini
adalah umat Islam, adalah diciptakan di dunia adalah untuk menciptakan kebaikan di bumi,
karena mereka adalah wakil Allah.9 Para pendukung pemahaman ini menilai khilafah dalam arti
politik bukan hanya tidak wajib, tapi bisa jadi bertentangan dengan fungsi kekhilafahan yang
diamanatkan oleh Allah. Salah satu pendukung pemahaman ini, seperti diulas Carool Kersten
(2013), adalah Nurcholish Madjid.
Ketiga, khilafah yang hanya berkaitan dalam urusan agama. Sistem yang berlaku di sini
sebetulnya mirip dengan model yang pertama, hanya saja kekuasaan dan otoritas khalifah dalam
model ketiga ini ada dalam bidang agama. Ini mirip dengan wewenang dan otoritas Paus di
Roma bagi umat Katolik. Sebagaimana yang disampaikan oleh Khalifah Ahmadiyah kelima,
Masroor Ahmad, dalam pertemuan dengan berbagai delegasi dari Indonesia, kekhilafahan
Ahmadiyah mangklaim masuk kategori ketiga ini.10 “Khilafah tidak akan memiliki peran apapun
dalam pemerintahan dan tidak akan mencampuri urusan negara. Kita sepenuhnya percaya kepada
pemisahan antara agama dan negara,” jelas Masroor Ahmad. Pendeknya, kekhalifah Ahmadiyah
ini tidak mengganggu-gugat konsep negara bangsa (nation-state). Ia mengurusi masalah
kesejahteraan dan keagamaan warga Ahmadiyah yang ada di berbagai negara dalam koordinasi
yang terpusat dengan khalifah sebagai pimpinan tertinggi. Ketika ada tiga orang Ahmadi yang
terbunuh di Cikeusik tahun 2011 lalu, maka khalifah dan anggota Ahmadiyah di berbagai negara
menyuarakan keprihatinan mereka, menuntut pemerintah setempat (Indonesia) untuk
menghukum pelakunya, dan meminta berbagai lembaga internasional agar menekan Indonesia
untuk menegakkan keadilan. Jadi, meski secara langsung khilafah Ahmadiyah memang tidak
mencampuri urusan dari negara-negara yang menjadi tempat hidup warganya, namun jaringan
dan pengaruh internasional yang dimiliki khalifah dan khalifah ini tentu mempengaruhi
kebijakan berbagai negara.

9

Bantahan terhadap pemahaman bisa dilihat dalam tulisan Idris (1990). Bagi Idris, khalifa berarti pengganti dan
karena itu manusia tidak bisa menjadi pengganti Allah. Konsep yang menyebut bahwa manusia adalah khalifah
Allah di bumi, menurutnya, adalah sangat samar dan tidak konsisten.
10
Informasi ini dapat diperoleh di https://www.alislam.org/egazette/press-release/true-khilafat-compatible-withdemocracy-head-of-ahmadiyya-muslim-jamaat/ (Diunduh 28 Agustus 2014).

10

Berkaitan dengan fungsi khilafah Ahmadiyah, catatan penulis ketika diundang untuk
menghadiri Peace Symposium dan Mulaqat dengan Khalifah Ahmadiyah kelima, Mirza Masroor
Ahmad, di Singapura pada 26-28 September 2013 bisa menjadi gambaran. Ada tiga kegiatan
utama yang penulis ikuti dengan penuh perhatian selama acara itu, yaitu: mengikuti Peace
Symposium, mendengarkan secara langsung khutbah Jum’ah yang disampaikan Huzur (panggilan
kepada khalifah Ahmadiyah) dan Sholat Jum’ah yang diimami Huzur, dan terakhir, mulaqat atau
bertemu langsung dan berdialog dengan Huzur.
Meski bukan seorang Ahmadi, penulis bisa merasakan bagaimana kharisma dari Hadrat
Mirza Masroor Ahmad di hadapan pengikut Ahmadiyah. Entah kesan kharismatik itu sengaja
diciptakan atau memang terjadi secara natural, namun kharisma itulah diantaranya yang mampu
menyatukan pengikut Ahmadiyah di seluruh dunia, memperkokoh keberadaan Ahmadiyah
sebagai organisasi keagamaan di dalam Islam, dan membangun ketaatan beragama yang luar
biasa bagi pengikut gerakan ini. Jika dibandingkan antara kharisma Huzur dengan kharisma
ulama NU (Nahdlatul Ulama) yang paling khos, maka tampak beberapa persamaan atau bahkan
kadang terlihat bahwa Huzur memiliki kharisma yang jauh lebih tinggi, terutama bagi warga
Ahmadiyah. Orang berebutan untuk bisa bersalaman atau mencium tangan khalifah. Orang rela
pergi jauh dan menunggu lama untuk bisa didoakan oleh khalifah. Khalifah menjadi role model
dari hidup seorang Ahmadi. Ini terlihat, misalnya, dalam upaya Ahmadiyah untuk menunjukkan
keindahan Islam, keberagamaan yang penuh disiplin, dan pengorbanan materi demi agama.
Tentang keindahan dan kedamaian Islam ini, misalnya, ditekankan berkali-kali oleh khalifah
dalam khutbah Jum’at dan Mulaqat. Meski Ahmadiyah mendapat tekanan dan serangan dimanamana, mereka diminta tetap menunjukkan semangat “love for all and hatred for none”. Slogan
ini pun bisa ditemukan hampir di seluruh tempat pada acara symposium ini dan juga diberbagai
rumah warga Ahmadiyah. Kecintaan orang-orang Ahmadiyah kepada khalifah dan semangat
mereka berkorban demi agama ditunjukkan dengan berbondong-bondongnya mereka ke
Singapura untuk menghadiri acara ini dengan biaya sendiri. Sementara kedisiplinan ditunjukkan
dalam acara-acara dan dalam mengatur seluruh peserta yang hadir di symposium ini.
Posisi khalifah di Ahmadiyah sangat tinggi dan menjadi sebuah kehormatan bila
seseorang bisa bertemu khalifah. Karena itu, penulis dan rombongan dari Indonesia seperti
mendapat perlakuan istimewa ketika diberi kesempatan bertemu dan berdialog dengan khalifah.
Dalam dialog ini, satu pertanyaan yang berkaitan dengan tajdid (reformasi) dalam bidang agama
11

mendapatkan jawaban dari khalifah. Huzur mengatakan bahwa apa yang diajarkan oleh
Ahmadiyah adalah ajaran dari Allah dan Rasulullah dan karena itu visi ini tak perlu di revisi atau
reformasi. Huzur menegaskan bahwa jika Ahmadiyah itu harus berubah, maka itu menunjukkan
bahwa “we fear more to people than to Allah” (kita lebih takut kepada manusia daripada takut
kepada Allah). Padahal selama ini Ahmadiyah merasa jauh lebih takut kepada Allah daripada
hukum manusia.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari pertemuan dengan khalifah itu? Pertama, khalifah
memiliki pengaruh yang luar biasa dalam mempersatukan umat Ahmadiyah. Namun kharisma
khalifah dan kemampuan mempersatukan ini bisa terjadi tidak semata didasarkan pada hal-hal
yang bersifat rasional, tapi juga mistik atau ilahiah. Bahwa khalifah adalah orang yang paling
dekat kepada Allah, paling taat, mewarisi mandat kenabian, memiliki kekuatan lebih dibanding
manusia lain, dan paling mampu memberikan interpretasi keagamaan. Dalam komunitas ini,
khalifah memiliki otoritas tertinggi dalam bidang agama. Kedua, tugas dari khalifah adalah untuk
menegakkan hukum-hukum di dunia ini, meski itu terutama seperti yang ia pahami. Kalaulah
hukum itu terasa bertentangan dengan akal manusia atau kehendak rasional manusia, maka yang
harus didahulukan adalah ketentuan dari Allah itu. Seperti yang ditegaskan khalifah, manusia
harus lebih takut kepada Allah daripada kepada manusia lain. Ketiga, ketaatan kepada khalifah
bersifat absolut. Ini bisa bermakna positif jika, seperti keyakinan pengikut Ahmadiyah, seluruh
langkah khalifah adalah langkah profetik (kenabian). Ada banyak contoh ketika kepemimpinan
khalifah Ahmadiyah menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Misalnya, dengan antusiasme
keagamaan yang tinggi dibawah kepemimpinan Khalifah Kedua, Mahmud Ahmad, Ahmadiyah
mampu menciptakan kota Rabwah. Setelah terpecahnya India, sebagaimana diuraikan oleh S.E.
Brush (1955), warga Ahmadiyah memilih kawasan tandus dan tidak bersahabat, sekitar 90 km di
sebelah barat daya Lahore, sebagai pemukiman baru mereka. Para anggota Ahmadiyah yang
enerjik, penuh antusiasme dan terorganisir itu berhasil menyulap tempat baru mereka menjadi
sebuah kota yang cukup maju yang kemudian dinamakan Rabwah, yang merujuk kepada sebuah
nama dalam Al-Qur’an (Q 2. 265).
Berkaitan dengan karakter kekhilafahan Ahmadiyah dan kekhilafahan lain, berdasarkan
apa yang terjadi di Ahmadiyah dan kekhilafahan masa lalu, maka terlihat bahwa kekhilafahan itu
acapkali menunjukkan adalanya monopoli ortodoksi, bahwa pemahaman agama yang benar
adalah seperti yang dipahami secara resmi oleh khilafah. Dalam khilafah Ahmadiyah, maka
12

Islam versi Ahmadiyah lah yang benar. Dalam khilafah yang dipimpin Al-Baghdadi di Irak dan
Suriah maka Islam Sunni versi merekalah yang benar; Syiah akan dianggap sesat, Sunni versi
Al-Qaeda juga sesat, dan Sunni versi Saudi Arabia juga tidak benar. Hal seperti ini sering
berulang dalam sejarah Islam. Pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun (813-833 M) dari Dinasti
Abbasiyah, paham Mu’tazilah dianggap sebagai Islam ortodoks, sedangkan Islam Sunni,
khususnya tradisionalis, yang dipimpin oleh Aḥmad ibn Hanbal (780-855 M), dianggap telah
melakukan bid’ah karena meyakini bahwa Al-Qur’an bukan makhluk. Khalifah bahkan
mendukung penangkapan orang-orang yang dianggap melakukan bid’ah itu. Namun, beberapa
tahun kemudian, dimulai pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil (847-861M) situasi berubah
drastis bahkan berbalik arah. Islam ortodoks identik dengan Islam tradisionalis atau Islam Sunni
dengan Ibn Hanbal sebagai tokoh utamanya, sedangkan Mu’tazilah justru dianggap sesat.
Bagi kelompok yang berpikir bahwa ortodoksi itu tidak boleh dipegang oleh orang
tertentu atau kelompok tertentu, bahwa otoritas keagamaandalam Sunni memang harus
menyebar, maka sistem khilafah akan dipandang sebagai ancaman. Namun bagi mereka yang
merindukan adanya otoritas kuat dalam agama, maka khilafah adalah harapan. Ajakan untuk
menghidupkan khilafah mendapatkan dukungan dalam komunitas Sunni diantaranya karena,
berbeda dari Syiah dan Ahmadiyah, Sunni saat ini mengalami krisis legitimasi keagamaan yang
cukup dalam. Suara ulama yang mana yang harus didengar dan diikuti? Al-Qaradhawi atau
Osama bin Laden atau Bin Baz atau KH Ma’ruf Amin atau Dr. M. Din Syamsuddin atau Masdar
Farid Mas’udi? Sejak kekhilafahan hancur pada 1924, pengikut Sunni menjadi “leaderless”
(tanpa kepemimpinan) atau tak memiliki apa yang disebut Jean-Pierre Filiu (2007) sebagai “an
undisputed guiding voice”, suara yang memiliki legitimasi kuat dan kokoh untuk membimbing
umat dan memberi kepastian, sehingga umat tidak merasa bingung dan terombang-ambing.
Bentuk monopoli lain dalam sistem kekhalifahan adalah pada kecilnya kemungkinan bagi
perempuan untuk menjadi khalifah. Khilafah akan memperkuat sistem patriarchal. Karena
khalifah dianggap sebagai pengganti atau pelanjut nabi, sementara semua nabi adalah laki-laki,
maka khalifah pun akan menjadi domain laki-laki. Selain itu, masa jabatan dari khalifah adalah
seumur hidup atau tidak memiliki batasan waktu kekuasaan. Dan terakhir, dalam imaginasi
hampir semua pendukung khilafah, tugas utama dari khalifah adalah menegakkan hukum Allah
atau syariah di muka bumi. Konsekuensinya, keterlibatan masyarakat dalam merumuskan aturan
hidup dan penentuan hukum menjadi terbatas.
13

--oo0oo--

Referensi:
Ahmad, Ahmad Atif. 2012. The fatigue of the shari’a. New York: Palgrave Macmillan.
Al-Rasheed, Madawi, Carool Kersten, and Marat Shterin (ed.). 2013. Demystifying the caliphate:
historical memory and contemporary contexts. New York: Columbia University Press.
Asad, Talal. 2003. Formations of the secular: Christianity, Islam, modernity. Stanford, Calif:
Stanford University Press.
Bashir, Majeed Ahmad. 2010. The system of Khilafat in Jama’at-e-Ahmadiyya. Rabvah: Black
Arrow printers.
Brush, S. E. 1955. “Ahmadiyyat in Pakistan: Rabwah and the Aḥmadis”. The Muslim World 45
(2): 145-171.
Bush, Robin. 2012. “A Snapshot of Muhammadiyah – social change and shifting markers of
identity and values”. Makalah di presentasikan pada International Research Conference
on Muhammadiyah (IRCM), di Malang, 29 November - 2 Desember 2012.
Filiu, Jean-Pierre. 2007. “Ghosts of the caliphate.” Majalah Prospect, 25 November.
http://www.prospectmagazine.co.uk/magazine/ghostsofthecaliphate
(Diakses
2
September 2014)
Ghulam Ahmad, Mirza. 1984. Tadhkiratush shahadatain (the narrative of two martyrdoms).
London: The London Mosque.
Idris, Jaafar Kheikh. 1990. “Is man the vicegerent of God?” Journal of Islamic Studies 1: 99-110.
Kersten, Carool. 2013. “Khilafa as the Viceregency of Humankind: Religion and State in the
Thought of Nurcholish Madjid”, dalam Madawi Al-Rasheed, Carool Kersten, and Marat
Shterin (ed.). Demystifying the caliphate, h. 163-184. New York: Columbia University
Press. h. 163-184
Khan, Muhammad Zafrulla. 1978. Ahmadiyyat: The renaissance of Islam. London: Tabshir
Publications.
Lajna Imaillah. 1996. Pathway to paradise a guidebook to Islam. Silver Spring, MD: Ahmadiyya
Movement in Islam, Inc.
Liebl, Vernie. 2009. “The Caliphate”. Middle Eastern Studies. 45 (3): 373-391.
Maududi, Abul A’la. t.t. “Essential Features of the Islamic Political System”. Dalam
http://www.islam101.com/politics/politicalsystem.htm (Diunduh 25 Agustus 2014).
Muhtadi, Burhanuddin. 2009. “The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia”. Asian Journal of
Social Science. 37 (4): 623-645.
Muryadi, Wahyu (ed.). 2005. Ahmadiyah: Keyakinan yang digugat. Jakarta: PDAT Tempo.
Nasir Ahmad. 1978. Selama khilafat masih berlangsung mujaddid baru tidak akan ada. Amanat
tertulis Hadhrat Khalifatul Masih III pada Jalsah Salahan 1977 di Qadian. Sinar Islam
No. 4/XLVI, April: 8-12.
Odeh, Hassan bin Mahmood. 2000. Ahmadiyya: Beliefs and experiences. Slough, England:
Attawa Establishment International.
Smith, Wilfred Cantwell. 1969. Modern Islām in India, a social analysis. Lahore: Sh.
Muhammad Ashraf.
Yusanto, Muhammad Ismail. 2008. “Sharia and caliphate for a better Indonesia”. Jakarta Post,
16 April. Diunduh dari: http://www.thejakartapost.com/news/2008/04/22/sharia-andcaliphate-a-better-indonesia.html (22 Agustus 2014).
14

Zirvi, Karimullah. 2010. Welcome to Ahmadiyyat, the true Islam. Silver Spring, MD: Ahmadiyya
Movement in Islam, USA.

* Ahmad Najib Burhani adalah peneliti di Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB),
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Ia memperoleh gelar Ph.D. di bidang
Religious Studies dari University of California, Santa Barbara (UCSB), USA pada 2013 dengan
disertasi berjudul When Muslims are not Muslims: The Ahmadiyya Community and the
Discourse on Heresy in Indonesia. Ia mendapat penghargaan The Professor Charles Wendell
Memorial Award untuk tahun 2012-2-13 dari UCSB atas prestasi akademiknya dalam kajian
Islam dan Timur Tengah . Beberapa artikelnya telah diterbitkan di jurnal internasional seperti
Islam and Christian-Muslim Relations (ICMR), Asian Journal of Social Science (AJSS),
Indonesia and the Malay World (IMW), Contemporary Islam (COIS), Al-Jami’ah, Studia
Islamika, dan Asian Politics & Policy (APP). Bidang akademik yang ditekuni diantaranya adalah
kelompok minoritas dalam Islam, gerakan Islam di Asia Tenggara, dan Sufisme perkotaan.

15