BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Puskesmas - Pengaruh Sosiodemografi, Sosiopsikologi dan Pelayanan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Puskesmas oleh Masyarakat Raja Maligas Kec. Hutabayu Raja Kabupaten Simalungun

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Puskesmas

  Depkes (1991) mendefinisikan puskesmas sebagai suatu kesatuan organisasi fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang membina peran serta masyarakat dan memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan strata pertama menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan, yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan (private goods) dan pelayanan kesehatan masyarakat (public goods).

2.1.1 Kegiatan Pokok Puskesmas

  Puskesmas melakukan kegiatan-kegiatan termasuk upaya kesehatan masyarakat sebagai bentuk usaha pembangunan kesehatan dalam bentuk usaha-usaha kesehatan pokok. Jenis pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kemampuan puskesmas, namun terdapat upaya kesehatan wajib yang harus dilaksanakan oleh puskesmas ditambah dengan upaya kesehatan pengembangan yang disesuaikan dengan permasalahan yang ada serta kemampuan puskesmas.

  Ada 6 upaya kesehatan wajib (basic six) yang harus dilaksanakan oleh puskesmas, yaitu: upaya promosi kesehatan, upaya kesehatan lingkungan, upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, upaya perbaikan gizi masyarakat, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan upaya pengobatan.

2.1.2 Indikator Keberhasilan Puskesmas

  Dalam mengukur keberhasilan puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota secara rutin menetapkan target atau standar keberhasilan masing-masing program.

  Standar pelayanan kesehatan adalah suatu alat organisasi untuk menjabarkan mutu atau kualitas ke dalam terminologi operasional sehingga semua orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan akan terikat dalam suatu sistem, baik pasien, penyedia pelayanan kesehatan, penunjang pelayanan kesehatan, ataupun pengelolaan pelayanan kesehatan dan akan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan perannya masing-masing (Pohan, 2003).

  Standar pelaksanaan ini juga merupakan standar untuk kinerja staf. Standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan mulai diterapkan tahun 2003 yang disesuaikan dengan Millenium Development Goals (MDG’s). Adapun indikator kinerja dan target standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan di puskesmas Tahun 2010 untuk kabupaten/kota adalah sebagai berikut: 1.

  Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi 2. Pelayanan Kesehatan Anak Pra Sekolah dan Usia Sekolah 3. Pelayanan Keluarga Berencana 4. Pelayanan Imunisasi

5. Pelayanan Pengobatan/Perawatan 6.

  Pelayanan Kesehatan Jiwa 7. Pemantauan Pertumbuhan Balita 8. Pelayanan Gizi 9. Pelayanan Obsterik dan Neonatal Emergensi Dasar 10.

  Pelayanan Gawat Darurat 11. Penyelenggaraan Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian

  Luar Biasa (KLB) dan Gizi Buruk 12. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Polio 13. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit TB Paru 14.

  Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA 15. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS 16. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 17. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Diare 18. Pelayanan Kesehatan Lingkungan 19. Pelayanan Pengendalian Vektor 20. Pelayanan Hygiene Sanitasi di Tempat Umum 21. Penyuluhan Perilaku Sehat 22. Penyuluhan Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika,

  Psikotropika dan Zat Adiktif (P3 NAPZA) Berbasis Masyarakat 23. Pelayanan Penyediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan 24.

  Pelayanan Penggunaan Obat Generik

25. Penyelenggaraan Pembiayan untuk Pelayanan Kesehatan Perorangan 26.

  Penyelenggaraan Pembiayaan untuk Keluarga Miskin dan Masyarakat Rentan Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 1457/Menkes/SK/X/2003 tentang standar pelayanan minimal bidang kesehatan di kabupaten/kota.

2.2 Faktor Sosiodemografi

  Sosiodemografi adalah suatu cabang ilmu yang mengkombinasikan ilmu sosial dan ilmu demografi. Sosiodemografi adalah suatu karakteristik seorang individu ataupun sekumpulan individu. Sosiodemografi terdiri dari umur, ras, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan dan status pernikahan (Census Bureau, U.S, 2003).

  Secara sosiodemografi penduduk Kabupaten Simalungun terdiri dari 817.720 jiwa. Jumlah penduduk tersebut 407.838 jiwa laki-laki dan 409.882 jiwa perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 143.026 KK. Untuk tingkat pendidikan yang pernah ditamatkan oleh penduduk Kab. Simalungun adalah sebagai berikut: tidak/belum pernah sekolah adalah 6,31%; tidak/belum tamat SD adalah 52,01%; Tamat SD adalah 19,90%; tamat SMP adalah 10,75%; tamat SMA adalah 8,79%; tamat Diploma adalah 1,29% dan tamat universitas adalah 0,94%. Pekerjaan penduduk terbanyak adalah pada sektor pertanian disusul industri dan jasa.

  Adapun jumlah penduduk yang ditanggung yaitu pada kelompok umur 0-14 dan diatas 60 tahun adalah sebesar 328.971 jiwa dan jumlah penduduk yang produktif sebesar 488.749 jiwa.

2.3 Faktor Sosiopsikologi

  Sosiopsikologi adalah suatu studi ilmiah tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan situasi sosial seperti situasi kelompok, situasi massa dan sebagainya termasuk di dalamnya interaksi antara orang dan hasil kebudayaannya.

  Menurut Taylor, et al sosiopsikologi adalah studi ilmiah tentang bagaimana orang berpikir, memengaruhi dan berhubungan dengan orang lain. Prinsip sosiopsikologi membantu kita memahami berbagai macam isu penting seperti cara mempromosikan gaya hidup sehat, bahaya merokok.

  Menurut Notoatmodjo (2003), faktor sosiopsikologi terdiri dari pengetahuan, sikap, penilaian tentang sesuatu hal, persepsi dan kepercayaan masyarakat termasuk persepsi terhadap penyakit dan kepercayaan terhadap pelayanan medis atau dokter.

  Sikap seseorang menilai unit pelayanan kesehatan berasal dari proses evaluasi dalam dirinya yang memberi kesimpulan nilai dalam bentuk baik/buruk, positif/negatif, menyenangkan/tidak dimana kesemuanya ini dibentuk dari pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain dan emosi sehingga pada akhirnya akan memengaruhi keputusannya untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

  Kepercayaan sering diperoleh dari pengalaman orang tua, kakek/nenek, atau orang yang bisa dipercaya. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa ada pembuktian terlebih dahulu. Misalnya wanita hamil tidak boleh makan telur agar tidak kesulitan waktu melahirkan, wanita hamil tidak boleh duduk di depan pintu, dan lain sebagainya.

2.3.1 Persepsi

  Persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus di dalam lingkungan (Atkinson, 1991). Chaplin (1999) memandang persepsi sebagai proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera. Proses perseptual ini dimulai dengan perhatian, yaitu merupakan pengamatan selektif. Di dalamnya mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek atau kejadian.

  Menurut Zastrow, et al (2004), persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya aktifitas (pelayanan yang diterima) yang dapat dirasakan oleh suatu objek. Mengingat bahwa persepsi setiap orang terhadap suatu objek akan berbeda- beda oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif yang merupakan suatu rasa puas atau tidak oleh adanya pelayanan.

  Persepsi dapat memengaruhi cara berpikir, bekerja, serta bersikap pada diri seseorang. Hal ini terjadi karena orang tersebut dalam mencerna informasi dari lingkungan berhasil melakukan adaptasi, sikap, pemikiran, atau perilaku terhadap informasi tersebut (Prawiradilaga dan Eveline, 2004).

  Taylor, et al menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang mengelola semua informasi yang tersedia untuk membentuk kesan kita tentang seseorang atau sesuatu hal termasuk membuat penilaian tentang kepribadian atau menyusun hipotesis tentang jenis seseorang atau sesuatu. Ada enam prinsip yang membentuk persepsi menurut Taylor, yaitu:

  1. Orang membentuk kesan tentang seseorang/sesuatu hal dengan cepat berdasarkan informasi minimal dan kemudian menyebut ciri-ciri umum dari seseorang atau sesuatu hal tersebut.

  2. Orang memberi perhatian khusus pada ciri yang paling menonjol darri seseorang atau sesuatu hal, bukan memerhatikan seluruh ciri seseorang. Kita memerhatikan kualitas yang membuat seseorang atau sesuatu berbeda.

  3. Dalam memproses informasi tentang orang lain kita akan memberi makna yang koheren pada perilaku mereka. Kita, sampai tingkat tertentu, menggunakan konteks perilaku orang lain untuk menyimpulkan makna perilaku, mereka, bukan mengiterpretasikan perilaku secara terpisah.

  4. Kita menata persepsi kita dengan mengorganisasikan atau mengelompokkan stimuli. Alih-alih melihat setiap orang sebagi individu tersendiri, kita cenderung memandang seseorang atau sesuatu sebagai anggota suatu kelompok. Misalnya orang yang berbaju putih kita anggap sebagai dokter, meskipun belum tentu seseorang tersebut adalah seorang dokter.

5. Kita menggunakan struktur kognitif kita untuk memahami perilaku orang lain.

  Untuk mengidentifikasi wanita sebagai dokter, kita menggunakan informasi tentang dokter secara lebih umum ketimbang menarik kesimpulan dari atribut perempuan itu dan makna perilakunya.

  6. Kebutuhan pihak yang memahami dan tujuan personal juga akan memengaruhi bagaimana dia memandang orang lain. Misalnya, kesan tentang seseorang yang ditemui hanya sekali akan berbeda dengan kesan terhadap teman karib.

  Menurut Notoatmodjo (2003), persepsi adalah konsep yang dimiliki seseorang tentang orang lain atau sesuatu hal. Misalnya persepsi seseorang tentang sehat dan sakit. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda tentang sehat dan sakit.

2.4 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

  Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, kelompok ataupun masyarakat.

  Pelayanan kesehatan yang baik dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan (Azwar, 1995).

  Kualitas pelayanan kesehatan memiliki multidimensi, yaitu kualitas menurut pemakai jasa pelayanan kesehatan (pasien dan keluarganya), menurut penyelenggara pelayanan kesehatan (pihak institusi dan petugas pemberi pelayanan kesehatan) serta menurut penyandang dana penyelenggara pelayanan kesehatan tersebut (Pohan, 2006).

  Pengertian kualitas dari ketiga pihak tersebut adalah: a. Dari segi pemakai jasa pelayanan, kualitas terutama berhubungan dengan ketanggapan dan kemampuan petugas dalam memenuhi kebutuhan pasien, komunikasi petugas dengan pasien, sikap ramah, rendah hati dan kesungguhan.

  b.

  Bagi pihak institusi penyelenggara pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya petugas pemberi pelayanan, mutu pelayanan yang terkait dengan pemakaian sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, juga berhubungan dengan otononomi profesi dokter dan perawat serta profesi lain yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di puskesmas.

  c.

  Dari segi pembiayaan, kualitas pelayanan terkait dengan efisiensi pemakaian sumber daya serta kewajaran pembiayaan kesehatan.

  Menurut Zeithaml, Berry, dan Parasuraman (1996), ada lima dimensi kualitas pelayanan yang merupakan indikator ukuran kepuasan seseorang sehingga mau memanfaatkan fasilitas kesehatan, yaitu:

  1. Reliability (keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang terpercaya dan akurat

  2. Responsiveness (daya tanggap), yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan tanggap terhadap keinginan konsumen.

  3. Assurance (jaminan), meliputi kemampuan karyawan atas : pengetahuan terhadap produk / jasa secara tepat, kualitas keramahtamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberikan pelayanan, keterampilan dalam memberikan informasi, kemampuan dalam memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan, dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan.

  4. Emphaty (empati), yaitu sikap tegas tetapi penuh perhatian secara individual yang diberikan pegawai kepada pelanggan guna memahami keinginan konsumen.

  5. Tangibles (bukti langsung), meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan front office, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi dan penampilan karyawan.

  Dari beberapa pakar mutu yang memperhatikan berbagai sudut pandang, dapat dirangkum ada 9 (sembilan) dimensi mutu, yaitu:

  1. Manfaat: pelayanan kesehatan yang diberikan menunjukan manfaat dan hasil yang diinginkan

  2. Ketepatan: pelayanan kesehatan yang diberikan relevan dengan kebutuhan pasien dan sesuai dengan standar keprofesian

  3. Ketersediaan: pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tersedia 4.

  Keterjangkauan: pelayanan kesehatan yang diberikan dapat dicapai dan mampu dibiayai pasien

  5. Kenyamanan: pelayanan kesehatan dalam suasana yang nyaman 6.

  Hubungan interpersonal: pelayanan kesehatan yang diberikan memperlihatkan komunikasi, rasa hormat, perhatian dan empati yang baik

  7. Waktu: pelayanan kesehatan yang diberikan memperlihatkan waktu tunggu pasien dan tepat waktu sesuai perjanjian

  8. Kesinambungan: pelayanan kesehatan yang diberikan dilaksanakan secara berkesinambungan, pasien yang memerlukan tindak lanjut perawatan perlu ditindaklanjuti, ibu hamil yang sudah mendapatkan pemeriksaan pertama (K1) perlu ditindaklanjuti untuk pemeriksaan selanjutnya

  9. Legitimasi dan akuntabilitas: pelayanan kesehatan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan, baik dari aspek medik maupun aspek hukum. (Sulaeman, 2009)

  Untuk dapat meningkatkan jumlah pasien puskesmas diharapkan mampu memberi pelayanan yang bermutu. Mutu pelayanan yang baik akan memberikan kepuasan pada pelanggan dan pelanggan akan memanfaatkan dan merekomendasikan pelayanan kesehatan tersebut pada orang di sekitarnya. Kepuasan konsumen dapat juga diartikan sebagai suatu sikap konsumen ditinjau dari kesukaan atau ketidaksukaannya terhadap pelayanan yang pernah dirasakan.

  Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan terdepan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat dengan mutu yang baik dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Dalam rangka meningkatkan kunjungan pasien ke puskesmas maka puskesmas harus mampu menampilkan dan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu sehingga mampu memberikan kepuasan pasien.

  Menurut Kasl dan Cobb di dalam Muzaham (1995) ada tiga alasan pokok seseorang terlibat dengan kegiatan medis dan pelayanan kesehatan, yaitu:

  1. Untuk pencegahan penyakit atau pemeriksaan kesehatan pada saat gejala penyakit belum dirasakan (perilaku sehat)

  2. Untuk mendapatkan diagnosis penyakit dan tindakan yang diperlukan jika ada gejala penyakit yang dirasakan (perilaku sakit)

  3. Untuk mengobati penyakit, jika penyakit tertentu telah dipastikan, agar sembuh dan sehat seperti sedia kala, atau agar penyakitnya tidak bertambah parah (peran sakit - sick role behavior)

  Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah interaksi antara konsumen dengan pemberi pelayanan. McKinlay dalam Muzaham (1995) telah mengidentifikasikan lima pendekatan utama dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu: sudut ekonomi, sosiodemografi, sosiopsikologi, sosial budaya, dan organisasional.

  Beberapa faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Dever (1984) antara lain:

1. Faktor yang berhubungan dengan pemberi pelayanan

  Faktor yang berhubungan dengan pemberi pelayanan atau provider ini terutama dalam hal karakteristik pemberi pelayanan. Karakteristik pemberi pelayanan kesehatan meliputi perilaku dan kemampuan dokter, petugas kesehatan atau petugas non kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh pasien. Lingkungan kerja di tempat dokter bekerja juga memengaruhi aktifitas profesional mereka yang pada akhirnya akan membentuk sikap, norma dan peraturan yang memengaruhi perilaku mereka. Begitu juga dengan jumlah dan jenis tenaga kesehatan tambahan, pekerja lain, peralatan dan penggunaan peralatan yang inovatif juga memengaruhi perilaku mereka. Dengan kata lain bahwa karakteristik ini terdiri dari sikap dan keterampilan petugas pelayanan kesehatan (Dever, 1984).

2. Faktor Sosiokultural (sosial budaya)

  Yang merupakan faktor sosiokultural terdiri dari teknologi dan nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat.

  a. Teknologi Dengan adanya perkembangan yang telah dicapai dalam bidang teknologi kedokteran terutama setelah penemuan antibiotika, kemajuan dalam bidang pencegahan penyakit, serta peningkatan usaha-usaha yang bertujuan memperbaiki standar kehidupan, maka ancaman beberapa penyakit menular seperti cacar, difteri sekarang sudah jarang ditemukan. Pola penyakit yang berubah sedikit banyak juga memengaruhi pola masyarakat dalam mencari pertolongan medis atau pemanfaatan pelayanan kesehatan. Masyarakat yang berkunjung ke fasilitas kesehatan bukan lagi semata-mata karena takut mati melainkan karena ingin agar pekerjaannya sehari-hari tidak terganggu, atau ingin mengembangkan kemampuan fisik dan dan intelektual seoptimal mungkin b. Nilai-nilai Sosial yang ada di masyarakat

  Norma, nilai dan keyakinan yang ada di masyarakat akan memengaruhi seseorang dalam bertindak termasuk dalam memanfaaatkan pelayanan kesehatan.

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi

  Faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi adalah struktur dan proses yang memengaruhi proses pelayanan kesehatan (interaksi antara pasien dan penyedia pelayanan kesehatan) yang meliputi ketersediaan sumber daya, akses geografi, akses sosial serta proses pelayanan kesehatan.

  a. Ketersediaan sumber daya Ketersediaan disini mengacu kepada jumlah dan jenis sumber daya yang ada sehingga dapat memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat.

  b. Akses geografi Yang dimaksud dengan akses geografi adalah faktor-faktor geografi yang memengaruhi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, berkaitan dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya tempuh yang harus dikorbankan pengguna pelayanan kesehatan untuk dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan.

  c. Akses sosial Akses sosial terdiri atas dua dimensi yaitu dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat. Dapat diterima mengarah ke faktor psikologis, sosial, dan faktor budaya sedangkan terjangkau mengarah kepada faktor ekonomi. Penchansky dan Thomas mendefinisikan dapat diterima sebagai hubungan antara pengguna jasa dengan sikap dan karakteristik petugas kesehatan. d. Karakteristik struktur dan proses perawatan Puskesmas memberikan pelayanan kesehatan dasar berupa upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Untuk itu puskesmas perlu ditunjang dengan pembiayaan yang cukup untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan gedung maupun untuk biaya rutin seperti gaji karyawan dan biaya operasional. Pembiayaan Puskesmas saat ini berasal dari pemerintah dan pendapatan puskesmas serta sumber- sumber lain seperti askes dan jamkesmas. Penggunaan dana sesuai dengan usulan kegiatan yang telah disetujui dengan memperhatikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Depkes, 2005).

4. Faktor yang berhubungan dengan konsumen

  Seseorang akan bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, apabila ia merasakan bahwa ia rentan terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain, tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul apabila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut. Kebutuhan terdiri atas kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan diagnosa klinis (evaluated

  need ). Kebutuhan yang dirasakan ini dipengaruhi oleh: a.

  Faktor sosiodemografi yang terdiri dari umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa, status perkawinan, jumlah keluarga dan status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, penghasilan).

  b.

  Faktor sosiopsikologis yang terdiri dari persepsi dan kepercayaan terhadap pelayanan medis atau dokter.

  Pemanfaatan pelayanan kesehatan sangat erat kaitannya dengan perilaku seseorang dalam pencarian pelayanan kesehatan terutama dengan persepsi individu atau masyarakat tentang sehat-sakit. Orang yang berpenyakit (having a disease) dan orang yang sakit (having a illness) adalah dua hal yang berbeda. Berpenyakit adalah suatu kondisi patologis yang objektif, sedangkan sakit adalah evaluasi atau persepsi individu terhadap konsep sehat-sakit. Dua orang atau lebih secara patologis menderita suatu jenis penyakit yang sama. Bisa jadi orang kesatu merasa lebih sakit dari yang lain, dan bahkan orang yang satunya lagi tidak merasa sakit. Hal ini disebabkan karena evaluasi atau persepsi mereka yang berbeda tentang sakit.

  Masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit dan tidak merasakan sakit (disease but no illness) sudah tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka timbul berbagai macam perilaku dan usaha termasuk memanfaatkan pelayanan kesehatan.

  Menurut Notoatmodjo (2003) respons seseorang apabila mengalami sakit adalah sebagai berikut:

  1. Tidak bertindak apa-apa (no action) Alasan seseorang tidak melakukan apa-apa antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang masyarakat lebih memprioritaskan tugas atau pekerjaan lain yang dianggap lebih penting daripada mengobati sakitnya. Alasan lain yang sering terdengar sehingga sesesorang tidak melakukan apa-apa terhadap penyakitnya adalah fasilitas kesehatan yang jauh letaknya, petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak simpatik, pelayanan yang terlalu lama dan lain sebagainya.

  2. Tindakan mengobati sendiri (self treatment) Alasan yang sering timbul sehingga melakukan pengobatan sendiri antara lain masyarakat tersebut sudah percaya kepada diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lalu usaha-usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.

  3. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional

  remedy )

  Untuk masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat teratas dibanding dengan pengobatan-pengobatan yang lain. Pada masyarakat yang masih sederhana, masalah sehat-sakit adalah lebih bersifat budaya daripada gangguan-gangguan fisik. Identik dengan itu pencarian pengobatan pun lebih berorientasi kepada sosial budaya masyarakat daripada hal-hal yang dianggapnya masih asing. Misalnya dukun beranak dan pengobatan yang lahir dari kebudayaan masyarakat lebih dekat pada kebudayaan masyarakat sehingga lebih mudah diterima daripada dokter, bidan dan perawat yang masih asing bagi mereka begitu juga pengobatan yang dilakukan dan obat-obatannya pun masih asing bagi kebudayaan mereka.

  4. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obatan ke warung-warung obat (chemist

  shop ) dan sejenisnya termasuk ke tukang-tukang jamu

  Obat-obat yang mereka dapatkan pada umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar dikontrol. Namun demikian sampai sejauh ini pemakaian obat-obat bebas oleh masyarakat belum mengakibatkan masalah yang serius. Khusus mengenai jamu sebagai sesuatu untuk pengobatan (bukan hanya untuk pencegahan saja) makin tampak peranannya dalam kesehatan masyarakat. Untuk itu perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam.

  5. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta yang dikategorikan ke dalam balai pengobatan, Puskesmas, dan rumah sakit.

  6. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine) Beberapa teori tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan antara lain menurut

  Rosenstock yang dikutip oleh Anderson (1974), ada empat kesiapan seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan yaitu: kepekaan seseorang terhadap penyakit, persepsi seseorang terhadap konsekuensi dari penyakit, persepsi seseorang terhadap keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pelayanan kesehatan dan persepsi seseorang terhadap hambatan-hambatan di dalam menggunakan pelayanan kesehatan.

  Menurut Donnabedian dalam Dever, pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan interaksi antara konsumen dan pemberi pelayanan yang dipengaruhi oleh faktor sosiokultural meliputi teknologi, norma dan nilai-nilai yang ada dimasyarakat, faktor organisasi meliputi ketersediaan sumber daya, akses geografis, akses sosial dan karakteristik struktur dan proses perawatan, faktor yang berhubungan dengan konsumen meliputi sosiodemografis, akses sosial, dan karakteristik struktur dan proses perawatan, dan faktor yang berhubungan dengan pemberi pelayanan meliputi sosioekonomi dan karakteristik pemberi pelayanan.

2.5 Landasan Teori

  Menurut Andersen faktor – faktor yang menentukan pemanfaatan pelayanan kesehatan meliputi :

  1. Faktor pemungkin (predisposing factors), yang menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda yang digolongkan atas:

  a) Demografi

  Variabel demografis terdiri dari umur dan jenis kelamin. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa variabel-variabel sosiodemografi digunakan sebagai ukuran mutlak atau indikator fisiologis yang berbeda (umur, jenis kelamin) dan siklus hidup (status perkawinan dan jumlah keluarga) dengan asumsi bahwa perbedaan derajat kesehatan, derajat kesakitan, penggunaan pelayanan kesehatan akan berhubungan dengan variabel-variabel tersebut. b) Struktur Sosial Variabel struktur sosioal terdiri dari pendidikan, pekerjaan, etnis, hubungan sosioal, interaksi sosial dan kebudayaan. Variabel tingkat pendidikan, pekerjaan dan kesukuan mencerminkan keadaan sosial dari individu atau keluarga dalam masyarakat. Berbagai gaya kehidupan yang berbeda diperlihatkan oleh individu- individu dan keluarga dari kedudukan sosial yang berbeda pula. Penggunaan pelayanan kesehatan adalah salah satu aspek dari gaya hidup ini, yang ditentukan oleh lingkungan sosial, fisik, dan psikologis. Individu-individu yang berbeda etnis/suku, pekerjaan, atau tingkat pendidikan mempunyai kecenderungan yang tidak sama dalam mengerti dan bereaksi terhadap kesehatan mereka. Dengan kata lain, pendekatan sosiodemografis didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dengan struktur sosial yang bertentangan akan menggunakan pelayanan kesehatan dengan cara yang tertentu pula (Notoatmodjo, 2003).

  c) Kepercayaan terhadap kesehatan Variabel kepercayaan terhadap kesehatan terdiri dari sikap, nilai dan pengetahuan yang membuat individu perduli dan mencari pelayanan kesehatan.

  Notoatmodjo (2003) menyatakan variabel sosiopsikologi termasuk di dalam variabel kepercayaan terhadap kesehatan. Variabel sosiopsikologis yang dipakai adalah persepsi dan kepercayaan individu terhadap pelayanan medis atau dokter. Variabel-variabel sosiopsikologis pada umumnya terdiri dari 4 kategori, yaitu: 1.

  Pengertian kerentanan terhadap penyakit 2. Pengertian keseluruhan dari penyakit

  3. Keuntungan yang diharapkan dari pengambilan tindakan dalam menghadapi penyakit

4. Kesiapan tindakan individu.

  2. Faktor pendukung (enabling factors), yang menjelaskan bahwa meskipun individu mempunyai predisposisi untuk menggunakan pelayanan kesehatan, tidak akan memanfaatkannya kecuali mampu memperolehnya. Penggunaan pelayanan kesehatan yang ada tergantung pada kemampuan atau kesanggupan dari individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi anggota keluarganya. Yang termasuk karakteristik ini adalah : a.

  Sumber keluarga (family resources), yang meliputi

  1. Pendapatan keluarga, cakupan asuransi kesehatan dan pihak – pihak yang membiayai individu atau keluarga dalam mengkonsumsi pelayanan kesehatan 2. Lamanya waktu tempuh, jauhnya jarak tempuh.

  Lokasi pelayanan kesehatan adalah penting diperhatikan oleh pencari pelayanan kesehatan karena jarak yang dekat akan memengaruhi pencari pelayanan kesehatan.

  b.

  Sumber daya masyarakat (community resources), yang meliputi: Tersedianya pelayanan kesehatan bisa mencakup: 1. Tersedianya fasilitas yang memadai di pelayanan kesehatan.

  Fasilitas pelayanan kesehatan yang baik akan memengaruhi sikap dan perilaku pasien, pengadaan fasilitas pada pelayanan kesehatan akan menciptakan perasaan sehat, aman, dan nyaman.

  2. Kualitas pelayanan kesehatan yang diterima.

  Pemanfaatan akan meningkat apabila masyarakat bebas dari masalah kesehatan mereka, kecepatan dan kemudahan dalam mendapatkan pelayanan (pelayanan yang cepat, tidak berbelit-belit dan mudah dimengerti) juga pelayanan personil (mencakup pelayanan dokter, perawat, bidan maupun tenaga non kesehatan) yang diterima oleh pengguna pelayanan kesehatan. Pelayanan personil dapat berupa pelayanan profesional maupun keramahan dan daya tanggap terhadap pasien juga kerjasama yang terdapat antara petugas kesehatan.

  3. Biaya atau tarif yang terjangkau Biaya kesehatan tentu sangat memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan. Adanya harga yang tinggi pada pelayanan kesehatan akan menyebabkan penurunan permintaan

  4. Informasi medis yang diperlukan Informasi dapat berupa pengalaman pribadi dimasa lalu, keluarga ataupun teman pada saat mendapatkan perawatan kesehatan, ataupun berupa informasi yang perlu diketahui oleh pasien dari dokter atau tenaga kesehatan yang sangat memengaruhi seseorang dalam memanfaatkan pelayanan.

  3. Faktor kebutuhan (need factors). Faktor predisposisi dan faktor pendukung dapat terwujud menjadi tindakan pencarian pengobatan, apabila tindakan itu dirasakan sebagai kebutuhan. Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan menjadi :

  a. Kebutuhan yang dirasakan (perceived need), yaitu keadaan kesehatan yang dirasakan oleh pasien.

  b. Evaluated/clinical diagnosis yang merupakan penilaian keadaan sakit didasarkan oleh penilaian petugas.

2.6 Kerangka Konsep

  Banyak faktor yang memengaruhi seseorang memanfaatkan pelayanan kesehatan (dalam hal ini puskesmas) secara garis besar dengan menggabungkan teori Andersen dan beberapa peneliti Layli (2005), Syafriadi, dkk (2008), dan Rinaldy (2005) menyatakan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor pemungkin (predisposing factors) meliputi demografi (umur dan jenis kelamin, status perkawinan dan jumlah keluarga), struktur sosial (pendidikan, pekerjaan, etnis, hubungan sosioal, interaksi sosial dan kebudayaan) dan kepercayaan terhadap kesehatan (sikap, nilai, pengetahuan,persepsi dan kepercayaan individu terhadap pelayanan medis atau dokter; Faktor pendukung (enabling factors) meliputi sumber keluarga (pendapatan keluarga, lamanya waktu tempuh, jauhnya jarak tempuh dan sumber daya masyarakat (fasilitas, kualitas pelayanan kesehatan, biaya , dan informasi) dan Faktor kebutuhan (need factors) meliputi kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan evaluated/clinical diagnosis.

  Penelitian ini hanya akan melihat faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan puskesmas adalah pemungkin yang meliputi sosiodemografis (umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah keluarga, tingkat pendidikan dan pekerjaan), faktor sosiopsikologi (persepsi terhadap penyakit, kepercayaan terhadap pelayanan medis atau dokter) dan faktor pendukung yaitu sumber daya masyarakat yang meliputi pelayanan kesehatan (kecepatan pelayanan, pelayanan personil, ketersediaan pelayanan, dan biaya pelayanan).

  Berdasarkan hal di atas, maka kerangka konsep penelitian ini secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

  Faktor Sosiodemografis:

  1.Umur

  2.Jenis kelamin

  3.Status perkawinan

  4.Jumlah keluarga

  5.Tingkat pendidikan

  6.Pekerjaan

  PEMANFAATAN Faktor Sosiopsikologi: PUSKESMAS

  1.Persepsi terhadap penyakit

  2.Kepercayaan terhadap pelayanan medis atau dokter

  Pelayanan Kesehatan:

  1.Kecepatan Pelayanan

  2.Pelayanan Personil

  3.Ketersediaan Pelayanan

  4.Biaya Pelayanan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Sosiodemografi, Sosiopsikologi dan Pelayanan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Puskesmas oleh Masyarakat Raja Maligas Kec. Hutabayu Raja Kabupaten Simalungun

6 120 176

Pengaruh Faktor Organisasi dan Faktor Pemberi terhadap Pemanfaatan Kembali Puskesmas Bandar Huluan Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun oleh Pasien Umum

1 62 92

Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Ibu Balita serta Peran Bidan Desa terhadap Pemanfaatan Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Bosar Maligas Kabupaten Simalungun

21 229 116

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Antenatal Care) 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Motivasi dan Kompetensi Bidan terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Puskesmas di Kabupaten Aceh Barat

0 12 45

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Implementasi Pelayanan Promotif dan Preventif di Puskesmas Tapian Dolok Kabupaten Simalungun Tahun 2015

1 5 28

Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh Masyarakat Sekitar Cagar Alam Dolok Tinggi Raja

0 4 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfatan Pelayanan Kesehatan - Pengaruh Kepercayaan dan Kebutuhan Masyarakat Kecamatan Girsang Sipangan Bolon terhadap Pemanfaatan RSUD Parapat

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Puskesmas - Analisis Pelaksanaan Pelayanan Pencabutan Gigi Permanen Pasien Di Poligigi Puskesmas Medan Sunggal Kec. Medan Sunggal Tahun 2015

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan - Pengaruh Faktor Predisposisi, Pemungkin dan Kebutuhan terhadap Pemanfaatan Pelayanan Jampersal di Wilayah Kerja Puskesmas Parongil Kabupaten Dairi

0 0 32

Pengaruh Sosiodemografi, Sosiopsikologi dan Pelayanan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Puskesmas oleh Masyarakat Raja Maligas Kec. Hutabayu Raja Kabupaten Simalungun

0 0 55