BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN URAIAN TEORITIS - Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Massa II.1.1 Pengertian Komunikasi Massa Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah

  media massa untuk mengirim pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 450). Menurut Tan dan Wright, komunikasi massa merupakan komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu (Ardianto, 2004: 3).

  Massa dalam media massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Dengan kata lain massa yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa seperti televisi atau koran, maka massa di sini dimaksudkan kepada khalayak, audience atau pemirsa.

  Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Gerbner. Gerbner mengemukakan bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan atau bulanan (Ardianto, 2004: 4).

  Sekian banyak definisi komunikasi massa yang telah dikemukakan oleh para ahli, Rakhmat merangkum definisi tersebut yaitu komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Rakhmat dalam Ardianto, 2004: 7).

II.1.2 Karakteristik Komunikasi Massa

  Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7)

  1. Komunikator Terlembagakan Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Kita sudah memahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik.

  2. Pesan Bersifat Umum Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum.

  3. Komunikannya Anonim dan Heterogen Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan

  (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak berlangsung tatap muka. Di samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda.

  4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

  5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan Pada komunikasi massa, yang penting adalah unsur isi. Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.

  6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, dan komunikan aktif menerima pesan, namun di antara keduanya tidak dapat melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.

  7. Stimulasi Alat Indra Terbatas Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat.

  Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

  8. Umpan Balik Tertunda Komponen umpan balik atau feedback merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apa pun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan. Umpan balik dalam komunikasi massa tidak terjadi secara langsung karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau tanggapan dari komunikan secara langsung.

II.1.3 Fungsi Komunikasi Massa Komunikasi massa memiliki fungsi-fungsi penting terhadap masyarakat.

  Dominick (2001) membagi fungsi komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 15): 1.

  Surveillance (Pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama, yaitu: a.

  Fungsi pengawasan peringatan yaitu jenis pengawasan yang dilakukan oleh media massa untuk menginformasikan berbagai hal terutama tentang ancaman kepada khalayak.

  b.

  Fungsi pengawasan instrumental yaitu penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.

  2. Interpretation (Penafsiran) Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan.

  3. Linkage (Pertalian) Media massa mampu menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk suatu pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.

  4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai) Media massa yang mewakili gambaran masyarakat dengan model peran yang diamati dan harapan untuk menirunya. Dalam hal ini, media massa memberikan nilai-nilai kepada masyarakat dan nilai-nilai ini yang suatu saat bisa diadopsi oleh masyarakat.

  5. Entertainment (Hiburan) Hampir semua media massa menjalankan fungsi hiburan. Walaupun ada beberapa media yang tidak memberikan fungsi tersebut tetapi memberikan fungsi informasi kepada masyarakat seperti majalah Tempo, Gatra dan lainnya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak.

II.2 Semiotika

  Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda bermakna sesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain (Bungin, 2010: 164).

  Secara terminologis, semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada hakikatnya, semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-sistemnya serta proses pelambangan.

  Barthes dalam Sobur (2004: 15) menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal- hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

  Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Sekalipun keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, pemikiran kedua orang tokoh tersebut memiliki kemiripan satu sama lain. Istilah semiotika yang sekarang dikenal luas mula-mula diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure memilih istilah semiologi untuk pemikirannya.

  Sebuah tanda menurut Peirce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu, dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas

  icon (ikon), index (indeks) dan symbol (simbol) (Wibowo, 2011: 14): 1.

  Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh pemakainya.

  2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya.

  3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat abriter dan konvensional sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.

  Kategori tipe tanda menurut Peirce digambarkan sebagai berikut: Gambar 1.

  Kategori Tipe Tanda dari Peirce Ikon

  Indeks Simbol

  

Sumber dari Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2010), hal: 168

  Teori dari Peirce menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan (Sobur, 2004: 97).

  Dalam kajian komunikasi, pusat perhatian semiotika adalah menggali makna-makna tersembunyi di balik penggunaan simbol-simbol yang lantas dianalogikan sebagai teks atau bahasa. Berbeda dengan Peirce, Saussure mengemukakan tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa (Hermawan, 2011: 236).

  Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:

  Gambar 2. Elemen-Elemen Makna dari Saussure

  Sign Composed of

  Signification Signifier plus Signified external reality (physical (mental of meaning existence concept) of the sign

  Sumber dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal: 125

  Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier.

  Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan

  

signification . Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna

terhadap dunia (Fiske dalam Sobur, 2004: 125).

  Salah seorang pengikut Saussure, Roland Barthes, melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Barthes menggunakan versi jauh lebih sederhana saat membahas model ‘glossematic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, Barthes mendefinisikan sebuah tanda sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya dengan content atau signified (Wibowo, 2011: 16).

  Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Barthes menyebut ini sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Sgnifikasi tahap kedua merupakan gambaran interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan dan ini disebut dengan istilah konotasi.

  Charles Morris memudahkan dalam memahami ruang lingkup kajian semiotika. Menurut Morris, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik dan pragmatik (Wibowo, 2011: 4).

  1. Sintaktik Sintaktik adalah suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal di antara suatu tanda dengan tanda-tanda yang lain. Dengan begitu hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Dalam hal ini, tanda tidak pernah mewakili dirinya, tanda selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu.

  2. Semantik Semantik adalah suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya. Yang dimaksud designata adalah tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu.

  Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).

  3. Pragmatik Pragmatik merupakan suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakai-pemakai tanda. Tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya, atau keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi kepahaman dan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

II.3 Semiotika Iklan

  Pada mula iklan dikenal masyarakat, iklan masih berbentuk relief, iklan koran atau iklan papan nama. Hal ini disebabkan karena media informasi saat itu sangat terbatas, sebagai akibat keterbatasan masyarakat. Demikian pula perkembangan iklan mengikuti perkembangan media massa pada saat itu.

  Karenanya iklan pertama berupa relief, kemudian menjadi iklan koran dan papan nama, kemudian berkembang menjadi iklan radio dan saat ini iklan ditayangkan di televisi, internet atau komputer di samping iklan-iklan luar yang muncul dan bertebaran di mana-mana dengan berbagai bentuk.

  Sebagai sistem pertandaan, iklan sekaligus menjadi sebuah bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang manfaat produk yang ditawarkan, namun seringkali menjadi representasi gagasan yang terpendam di balik penciptanya. Prinsip semiotika iklan adalah bahwa iklan melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan menjadi tanda, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Dalam iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio dan audiovisual. Ketiganya masih dapat dipecah lagi ke dalam anasir-anasir yang lebih kecil dan lebih subtle.

  Iklan juga merupakan konstruksi realitas dalam media. Giacardi berpendapat bahwa iklan adalah acuan, artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang hiperrealistik. Menurutnya iklan berusaha menciptakan suatu realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas nyata yang ada di masyarakat. Suharko mengatakan iklan berusaha merepresentasikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbol-simbol tertentu, sehingga mampu menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya (Wibowo, 2011: 128).

  Konstruksi iklan atas realitas sosial terjadi melalui lima tahap. Yaitu (1) tahap menyiapkan materi konstruksi iklan, (2) tahap sebaran konstruksi, (3) tahap pembentukan konstruksi, (4) tahap konfirmasi dan (5) tahap perilaku keputusan konsumen. Dari tahapan konstruksi ini yang menjadi penekanan dalam studi semiotika adalah pada tahap ke tiga, yaitu pada saat terjadi pembentukan konstruksi. Pada tahap ini tanda dibentuk dan dikonstruksi serta disampaikan pada khalayak melalui media yang terpilih. Tanda-tanda yang dikonstruksi tersebut merupakan suatu sistem tanda yang dalam semiotika dipakai sebagai kajian utama. Dalam hal ini akan dicari gambaran seperti apa tanda sebagai sebuah sistem dalam realitas simbolik berupa teks iklan sehingga terjawab bagaimana sistem representasi yang terdapat dalam konstruksi iklan tersebut (Wibowo, 2011: 129).

  Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik tanda verbal yang mencakup bahasa yang kita kenal maupun tanda non verbal yaitu bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004: 116).

  Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan terhadap keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John Fiske (1991) mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali makna-makna tersembunyi dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah “ideologi”. Sebagai level terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana ideologi yang dibangun dalam sebuah tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248).

  Kajian sistem tanda dalam iklan mencakup objek. Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam iklan produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya.

  Yang penting dalam menelaah iklan adalah penafsiran kelompok sasaran dalam proses interpretan. Dalam mengkaji iklan, ada berbagai elemen desain grafis yang meliputi gambar (ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, teknik serta pengambilan gambar. Hal ini dilakukan guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju.

  1. Tipografi Tipografi merupakan seni menata huruf di mana dalam hal ini huruf merupakan salah satu elemen yang digunakan dalam menyampaikan pesan komunikasi secara verbal dan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, ataupun masyarakat luas yang menjadi tujuan akhir pesan tersebut. Huruf yang ditampilkan dalam iklan, memberikan sebuah kesan tertentu yang semakin menegaskan maksud iklan tersebut. Keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting, sebab pemakaian tipografi yang tepat diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal desain komunikasi visual tersebut.

  2. Komposisi Warna Warna merupakan salah satu komposisi yang memegang peranan penting dalam visualisasi sebuah iklan. Warna dapat memperkuat dan mempertegas kesan pada iklan tersebut. Barker (1954) dalam Mulyana mendeskripsikan karakter warna, sebagaimana dijelaskan berikut ini: a.

  Merah Melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan.

  b.

  Putih

  Menunjukkan kedamaian, permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewaan, keperawanan dan kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, tak bersalah, keamanan, persatuan.

  c.

  Hitam Melambangkan perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidakbahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu yang melanggar, modern music, harga diri, anti kemapanan. Hitam memberikan kesan misteri.

  d.

  Biru Melambangkan kesan komunikasi, peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut, kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan dari dalam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi, idealisme, persahabatan dan harmoni, kasih sayang.

  e.

  Hijau Menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban, tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi, pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan.

  f.

  Kuning Merujuk pada matahari, ingatan, imajinasi logis, energi sosial, kerjasama, kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, tekanan mental, persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan, penipuan, kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi, harapan, filosofi, resah dan curiga.

  g.

  Merah Muda Merah muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta, persahabatn, feminin, kepercayaan, niat baik, damai, perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah.

  h.

  Ungu Menunjukkan pengaruh, pandangan ketiga, kekuatan spiritual, pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, kebangsawanan, upacara, misteri, pencerahan, telepati, empati, arogan, intuisi, kepercayaan yang dalam, ambisi, keajaiban, harga diri. i.

  Orange Menunjukkan kehangatan, antusiasme, persahabatan, pencapaian bisnis, karakter, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, ketertarikan, independensi. j.

  Coklat Menunjukkan persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras. k.

  Abu-Abu Mencerminkan keamanan, kepandaian, tenang dan serius, kesederhanaan, kedewasaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, profesional, diam, tenang. l.

  Emas Mencerminkan prestis (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan, kebijakan, arti, tujuan, pencarian ke dalam hati, kekuatan mistis, ilmu pengetahuan, perasaan kagum, konsentrasi.

  3. Teknik Pengambilan Gambar Gambar merupakan hal yang penting dalam pembuatan iklan. Teknik pengambilan suatu gambar akan memberikan suatu kesan tersendiri dan dapat menginformasikan kepada para penerima pesan mengenai aspek yang ingin disampaikan melalui iklan tersebut. Berikut merupakan tabel yang memaparkan teknik dalam pengambilan gambar:

  Tabel 1 Teknik Dalam Pengambilan Gambar

  PENANDA (SIGNIFIER) PETANDA (SIGNIFIED) PENGAMBILAN GAMBAR Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan Full Shot Hubungan sosial Big Close Up Emosi, dramatik, moment penting Close Up Intim atau dekat Medium Shot Hubungan personal dengan subjek Long Shot Konteks perbedaan dengan publik SUDUT PANDANG (Angle) Pengambilan Gambar: High Dominasi, kekuasaan dan otoritas Eye-Level Kesejajaran, keamanan dan sederajat Low Didominasi, dikuasai, dan kurang otoritas

TIPE LENSA

  Wide Angle Dramatis Normal Normalitas dan keseharian Telephoto Tidak personal, voyeuristik FOKUS

Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu

objek)

  Soft Focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat

secara keseluruhan objek)

  PENCAHAYAAN High Key Riang dan cerah Low Key Suram dan muram High Contrast Dramatikan dan teatrikal Low Contrast Realistik serta terkesan seperti dokumenter Pewarnaan Warm (kuning, orang, merah, abu-abu) Optimisme, harapan, hasrat, dan agitasi Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan Black and White (Hitam dan Putih) Realisme, aktualisme dan faktual

Sumber: Selby, Keith, dan Codery, Ron, How to Study Television, London, Mc Millisan,

1995(dalam Muhammad Reza, 2011, Representasi Citra Budaya Dalam Iklan).

  Saat ini telah banyak produksi-produksi iklan yang menerapkan konsep semiotika. Iklan televisi seringkali dijadikan obyek analisis dengan perangkat semiotika. Iklan acapkali tidak terkait dengan sekadar tawaran produk belaka, melainkan juga seperangkat nilai ideologis, sehingga semiotika dapat dipakai sebagai pisau analisis. Hampir semua produk yang ditawarkan dalam iklan televisi menerapkan semiotika, seperti iklan rokok, iklan rumah tangga, hingga iklan perawatan tubuh wanita seperti pada iklan WRP versi Diet To Go. Iklan-iklan tersebut banyak menggambarkan citra yang menjadi realitas dalam iklan tersebut.

  Berbagai cara dilakukan untuk menentukan citra, mulai dari pilihan kata atau frase beserta asosiasi yang dilekatkan.

II.4 Semiotika Roland Barthes

  Sepanjang sejarah semiotika, nama Roland Barthes tidak dapat dilepaskan begitu saja. Barthes adalah seorang ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks. Semiotika, atau dalam istilah Barthes disebut semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).

  Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

  Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos.

  Barthes melakukan terobosan penting dalam tradisi semiotika konvensional yang dahulu pernah berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika model Barthes memungkinkan kajian yang mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan popular culture dan media massa. Bahkan dalam pandangan George Ritzer (2003: 53), Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial (Hermawan, 2011: 251).

  Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two

  

order of signification ). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi

  tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Ini disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Wibowo, 2011: 17).

  Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes memperjelas sistem signifikasi dua tahap dalam peta berikut ini:

  Gambar 3 Peta Tanda Roland Barthes 1.

  Signifier

  2. Signified

  (Penanda) (Petanda)

  3. denotative sign (tanda denotatif)

  4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

  5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF)

  6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)

  

Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal: 69

  Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi yang dapat ditunjukkan dengan warna atau rangkaian gambar yang ada dalam objek yang diteliti. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi.

  Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai tanda alias layak dianggap sebagai lingkaran linguistik. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kepahlawanan, tokoh, kecantikan, kejantanan dan aneka macam mitos yang bertebaran di dunia kita sehari-hari.

  Menurut Barthes pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif itulah yang menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe wacana.

  Saussure cenderung mengatakan makna sebagai apa yang didenotasikan oleh tanda. Sementara bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure dikembangkan oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.

  Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan suatu produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi (Fiske, dalam Sobur, 2004: 128).

  Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini pada akhirnya berfungsi sebagai penanda sebuah pesan tersendiri.

  Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Terdapat beragam pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana manusia menggambarkan dunia atau lingkungannya (Hermawan, 2011: 253).

II.5 Representasi

  Representasi berarti menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu secara bermakna atau mempresentasikan kepada orang lain. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, dan sebagainya yang mewakili ide, emosi, fakta dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau sistem tekstual secara timbal balik.

  Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu objek, realitas atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa (Hermawan, 2011:

  234). Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa.

  David Croteau dan William Hoynes (dalam Wibowo, 2011: 123) menyatakan bahwa representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan dan pencapaian tujuan komunikasi, ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan.

  Stuart Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental representations menandai keniscayaan subyektif alias pengakuan makna yang bergantung kemampuan individu; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan di antara semua itu. Konsep ini masih ada dalam pikiran masing-masing individu tersebut, representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara atau kesan yang membawa makna adalah tanda (Hermawan, 2011: 234).

  Bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam pikiran kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, agar dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu.

  Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain di luar pemberitaan. Intinya bahwa sama dengan berita, iklan juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi melalui tabel berikut:

  Tabel 2 Tabel Proses Representasi Fiske

  PERTAMA REALITAS (Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik dan sebagainya

  KEDUA REPRESENTASI Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposis, kalimat, foto, caption, grafik dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya dan lain-lain).

  Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog dan lain-lain) KETIGA

  IDEOLOGI Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.

  Sumber: Wibowo, Semiotika Komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hal: 123

  Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan.

  Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat perangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi dan lain- lain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis.

  Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.

  Konsep representasi digunakan untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks iklan (media) dengan realitas. Representasi merupakan proses dimana para anggota sebuah budaya menggunakan bahasa untuk memproduksi makna. Bahasa dalam hal ini didefinisikan secara lebih luas, yaitu sebagai sistem apapun yang menggunakan tanda-tanda. Tanda di sini dapat berbentuk verbal maupun non verbal.

  Representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses yang statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu bentuk usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia. Melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini terjadi melalui proses penandaan, praktik yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (Wibowo, 2011: 124).

II.6 Feminisme

  Feminitas adalah stereotype yang didasarkan atas perbedaan biologis yang tidak melekat sejak lahir tetapi dibuat oleh masyarakat. Feminitas menunjuk pada perbedaan gender, bukan seks, yaitu keadaan di mana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki atau perempuan yang mendapat pencirian psikologis sebagai laki-laki atau perempuan.

  Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Dalam Sugihastuti (2000: 37) terdapat dua penjelasan mengenai feminisme. Pertama adalah penjelasan dari Moeliono, yang menjelaskan bahwa feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Yang kedua, Goefe mendefinisikan feminisme sbagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.

  Dalam media massa, sering dijumpai iklan produk yang menampilkan perempuan dalam iklan tersebut. Perempuan dianggap mampu menampilkan citra yang tepat agar pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan, dapat sampai kepada para penonton.

  Dalam banyak iklan terjadi penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis, seperti memiliki waktu menstruasi (iklan pembalut wanita), memiliki rambut panjang (iklan sampo) dan lainnya. Beberapa citra perempuan yang digambarkan dalam iklan televisi seperti citra pigura, citra pilar, citra pinggan dan citra pergaulan.

  Keindahan perempuan menjadi stereotip perempuan dan membawa pada sifat-sifat di sekitar keindahan itu, seperti perempuan harus tampil menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak, tampil prima untuk menyenangkan suami dan pantas diajak ke berbagai acara. Stereotip perempuan tersebut menjadi wacana dalam rancangan iklan televisi, sekaligus menempatkan stereotip itu dalam konteks sentral iklan televisi serta pula menempatkan posisi perempuan dalam iklan televisi. Beberapa iklan yang ditampilkan dalam iklan televisi tersebut dianggap mengeksploitasi perempuan.

  Kasiyan (dalam Sugihastuti, 2007: 96) berpendapat feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan perbedaan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender. Ada empat aliran utama dalam gerakan feminisme, antara lain adalah (Fakih, 2004: 81): 1.

  Feminisme Liberal Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.

  Kerangka kerja feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk di dalamnya kesempatan dan hak perempuan. Feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki, sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis atas struktur kelas, politik, ekonomi serta gender.

  2. Feminisme Radikal Feminisme radikal muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat tahun 60-an. Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis. Sehingga, dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya.

  3. Feminisme Marxis Kelompok feminisme marxis menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Penganut feminisme marxis tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya.

  4. Feminisme Sosialis Feminisme sosialis menganggap bahwa penindasan perempuan bisa melahirkan kesadaran revolusi, tapi bukan revolusi model perempuan sebagai jenis kelamin (women as sex). Bagi feminisme sosialis, ketidakadilan bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan, tetapi lebih karena penilaian dan anggapan terhadap perbedaan itu. Oleh karena itu, yang diperangi dalam gerakan feminisme sosialis adalah konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender.

  Dalam kajian feminisme, kategori yang sesuai dengan penelitian ini adalah feminisme liberal. Dalam feminisme liberal, perempuan mendapatkan pendidikan yang setara, hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara. Feminis liberal berkeinginan berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif yaitu, dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, baik dalam akademi, forum, maupun pasar (Rosemarie, 2010: 48). Seperti yang ditampilkan dalam iklan WRP Diet To Go bahwa perempuan dapat melakukan aktivitas seperti yang dilakukan oleh banyak kaum pria.