Maskulinitas dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Maskulinitas Dalam Iklan Televisi Gudang Garam Merah Versi “The Cafe”)

(1)

MASKULINITAS DALAM IKLAN TELEVISI

(ANALISIS SEMIOTIKA MASKULINITAS DALAM IKLAN TELEVISI GUDANG GARAM MERAH VERSI “THE CAFÉ”)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Romi Comando Girsang 070904077

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

MEDAN 2014


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Maskulinitas dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Maskulinitas Dalam Iklan Televisi Gudang Garam Merah Versi “The Cafe”). Iklan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana maskulinitas ditampilkan dalam iklan Gudang Garam Merah versi The Cafe serta untuk mengetahui makna dan mitos apa saja yang muncul dalam iklan Gudang Garam Merah versi The Cafe. Gaya hidup masyarakat saat ini sangat dekat dengan rokok. Tidak hanya orang dewasa, remaja dan anak-anak sekarang juga sudah banyak yang mengkonsumsi rokok. Pencitraan dalam iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis objek iklan yang diiklankan. Rokok sangat dekat dan melekat pada laki-laki. Sebagai tokoh utama yang ditampilkan dalam iklan rokok, laki-laki selalu dicitrakan sebagai makhluk yang maskulin. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi, Komunikasi Massa, Iklan, Semiotika, Semiotika Roland Barthes, Semiotika Komunikasi Visual, Maskulinitas. Penelitian ini menggunakan kerangka analisis semiologi Roland Barthes, yaitu melalui analisis leksia dan analisis lima kode pembacaan dalam level denotasi, konotasi dan mitos. Hasil penelitian ini menemukan Maskulinitas yang digambarkan dalam iklan Gudang Garam Merah versi The Cafe adalah maskulinitas tradisional dan maskulinitas baru (new Masculinities). Makna denotasi yang terdapat dalam iklan ini yaitu laki-laki yang disebut maskulin adalah laki-laki yang memiliki fisik kuat, keras, dan macho, mampu menghangatkan suasana, dan mampu menunjukkan rasa kasih sayang kepada orang lain. Makna konotasi yang terdapat dalam iklan ini digambarkan lewat simbol-simbol seperti harmonika, warna merah, simbol huruf ‘g’, dan tag line. Mitos yang terdapat dalam iklan ini adalah rokok merupakan lambang maskulinitas.


(3)

ABSTRACT

This study entitled “Masculinity in Television Commercials (Analysis of Semiotics of Masculinity In Gudang Garam Merah Version “The Café” Television Commercials”). The ad aims to find out how masculinity is shown in Gudang Garam Merah ad version “The Café” as well as to find out the meaning and myth of what appears in the ad a Gudang Garam Merah version “The Café”. The lifestyle of today's society is very close to smoking. Not only adults, teens and children nowadays in great number already consume cigarettes. The imaging in television commercials adjusted to the proximity of the object type that advertised. Cigarette is very close and attached to men. As the main character is shown in the advertisement of cigarettes, men have always been imaged as being masculine. In this study the researchers used several relevant theories, namely: Communication, Mass Communication, Advertising, Semiotics,Semiotics of Roland Barthes, The Semiotics of Visual Communication, and Masculinity. This research uses a framework of analysis Semiotics of Roland Barthes, namely through the analysis of leksia and analysis of five code readability level denoted, connotation and myth. The results of this research to find Masculinity portrayed in Gudang Garam Merah Version “The Café” is the traditional and the new masculinity . The meaning denoted in this ad are men called the masculine is the man who has a strong physical, tough, macho, and able to warm the atmosphere, and is able to show compassion to others. The connotation meaning contained in this advertisement depicted by symbols such as the harmonica, the color red, a symbol of the letter ' g ', and the tag line. The myth contained in these ads is smoking a symbol of masculinity.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan penyertaannya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan sebaik - baiknya. Penelitian skripsi ini berjudul Maskulinitas Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Maskulinitas Dalam Iklan Televisi Gudang Garam Merah Versi “The Café”), merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih peneliti ucapkan kepada kedua orang tua. Alm. Deliaman Girsang dan juga kepada ibu Idawati Saragih yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang yang tak terbatas. Peneliti juga mengucapkan Terima Kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, dan Ibu Dra. Dayana, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Bapak dan Ibu Dosen staf pengajar Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Terima kasih untuk segala ilmu dan pengalaman yang telah diberikan selama penulis menjadi mahasiswa.

4. Kepada Bang Drs. Hendra Harahap, M.Si selaku dosen wali peneliti. 5. Kak Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos, M.Si, selaku dosen pembimbing yang

selalu sabar dalam membimbing peneliti hingga penelitian ini selesai. 6. Kepada Abangku Hendy Hadinata Girsang dan Rony Pristonedi Girsang,

Kakakku Indah Sofiana Girsang, dan adikku Fanni Violeta Girsang. Terima kasih sudah menjadi saudara sekaligus sahabat dalam hidupku. 7. Kepada Kak Farida Hanim, Kak Puan Munzaimah Masril, Kak Windi

Siregar yang selalu memiliki waktu untuk berbagi cerita.

8. Seluruh sahabat peneliti, Firman Frans Silalahi, Perdana Tua S, Inggit Frinsyah Putra, Angga Tinova, Anggi Siregar, Iqbal Damanik, Aldino


(5)

Agusta dan Ade Dian Sanjaya, David Binsar Aritonang, Jhon Budi Silalahi dan sahabat peneliti yang banyak memberi bantuan, motivasi dan semangat Natasia Simangunsong, Tabita Silitonga, Inggrid Hutabarat, Ropenta Pasaribu, Herbin Rajagukguk, Emma Violita Pinem, Grace Pakpahan, Fazario, Andre, Surya, dan teman-teman sejawat yang memberi kebaikan dan kesan selama perkuliahan.

9. Sahabatku Randy Simanjuntak, Ferdian Pardede, Joseph Erik Tarigan, Hanna Purba, Maria Lely, Rinaldy Pakpahan, dan Adven Siregar.

10.Saudaraku Jhon Medy Purba, Rikki Lingga, Frans Januarman, Jana Tauki Damanik, dan Jhonpriadi Damanik.

Akhir kata peneliti panjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan. Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi agar pendidikan di Indonesia lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Februari 2014 Peneliti


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR ORISINAL

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

LEMBAR PUBLIKASI... iii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 KonteksMasalah... 1

1.2 Pembatasan dan Fokus Masalah... 6

1.3 Tujuan Penelitian... 7

1.4 Manfaat Penelitian... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma... 8

2.2 Uraian Teoritis... 10

2.2.1 Komunikasi... 10

2.2.2 Fungsi Komunikasi... 10

2.2.3 Komunikasi Massa... 16

2.2.4 Iklan... 18

2.2.5 Semiotika... 24

2.2.6 Semiotika Roland Barthes... 28

2.2.7 Semiotika Komunikasi Visual... 35

2.2.8 Maskulinitas... 45


(7)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian... 56

3.2 objek Penelitian... 56

3.3 Kerangka Analisis... 57

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 57

3.5 Teknik Analisis Data... 58

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian... 60

4.1.1 Sejarah PT Gudang Garam Tbk ... 60

4.2 Analisis………... 61

4.2.1 Analisis Scene Satu... 61

4.2.2 Analisis Scene Dua... 67

4.2.3 Analisis Scene Tiga..………... 72

4.2.4 Analisis Scene Empat... 76

4.2.5 Analisis Scene Lima... 80

4.2.6 Analisis Scene Enam………... 84

4.3 Pembahasan... 88

BAB V KESIMPULAN & SARAN 5.1 Kesimpulan... 93

5.2 Saran... 95

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal

1. Teknik Pengambilan Gambar... 43

2. Pertentangan Gender... 49

3. Identifikasi Kode Scene 1... 62

4. Identifikasi Kode Scene 2... 68

5. Identifikasi Kode Scene 3... 73

6. Identifikasi Kode Scene 4... 76

7. Identifikasi Kode Scene 5... 81


(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal

1. Elemen Makna Pierce... 25

2. Elemen Makna Saussure... 27

3. Peta Roland Barthes... 29


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Maskulinitas dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Maskulinitas Dalam Iklan Televisi Gudang Garam Merah Versi “The Cafe”). Iklan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana maskulinitas ditampilkan dalam iklan Gudang Garam Merah versi The Cafe serta untuk mengetahui makna dan mitos apa saja yang muncul dalam iklan Gudang Garam Merah versi The Cafe. Gaya hidup masyarakat saat ini sangat dekat dengan rokok. Tidak hanya orang dewasa, remaja dan anak-anak sekarang juga sudah banyak yang mengkonsumsi rokok. Pencitraan dalam iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis objek iklan yang diiklankan. Rokok sangat dekat dan melekat pada laki-laki. Sebagai tokoh utama yang ditampilkan dalam iklan rokok, laki-laki selalu dicitrakan sebagai makhluk yang maskulin. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi, Komunikasi Massa, Iklan, Semiotika, Semiotika Roland Barthes, Semiotika Komunikasi Visual, Maskulinitas. Penelitian ini menggunakan kerangka analisis semiologi Roland Barthes, yaitu melalui analisis leksia dan analisis lima kode pembacaan dalam level denotasi, konotasi dan mitos. Hasil penelitian ini menemukan Maskulinitas yang digambarkan dalam iklan Gudang Garam Merah versi The Cafe adalah maskulinitas tradisional dan maskulinitas baru (new Masculinities). Makna denotasi yang terdapat dalam iklan ini yaitu laki-laki yang disebut maskulin adalah laki-laki yang memiliki fisik kuat, keras, dan macho, mampu menghangatkan suasana, dan mampu menunjukkan rasa kasih sayang kepada orang lain. Makna konotasi yang terdapat dalam iklan ini digambarkan lewat simbol-simbol seperti harmonika, warna merah, simbol huruf ‘g’, dan tag line. Mitos yang terdapat dalam iklan ini adalah rokok merupakan lambang maskulinitas.


(11)

ABSTRACT

This study entitled “Masculinity in Television Commercials (Analysis of Semiotics of Masculinity In Gudang Garam Merah Version “The Café” Television Commercials”). The ad aims to find out how masculinity is shown in Gudang Garam Merah ad version “The Café” as well as to find out the meaning and myth of what appears in the ad a Gudang Garam Merah version “The Café”. The lifestyle of today's society is very close to smoking. Not only adults, teens and children nowadays in great number already consume cigarettes. The imaging in television commercials adjusted to the proximity of the object type that advertised. Cigarette is very close and attached to men. As the main character is shown in the advertisement of cigarettes, men have always been imaged as being masculine. In this study the researchers used several relevant theories, namely: Communication, Mass Communication, Advertising, Semiotics,Semiotics of Roland Barthes, The Semiotics of Visual Communication, and Masculinity. This research uses a framework of analysis Semiotics of Roland Barthes, namely through the analysis of leksia and analysis of five code readability level denoted, connotation and myth. The results of this research to find Masculinity portrayed in Gudang Garam Merah Version “The Café” is the traditional and the new masculinity . The meaning denoted in this ad are men called the masculine is the man who has a strong physical, tough, macho, and able to warm the atmosphere, and is able to show compassion to others. The connotation meaning contained in this advertisement depicted by symbols such as the harmonica, the color red, a symbol of the letter ' g ', and the tag line. The myth contained in these ads is smoking a symbol of masculinity.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Gaya hidup masyarakat saat ini sangat dekat dengan rokok. Tidak hanya orang dewasa, remaja dan anak-anak sekarang juga sudah banyak yang mengkonsumsi rokok. Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, strategi jitu perusahaan rokok dalam memasarkan produknya adalah menampilkan iklan yang bersifat menggiring para anak muda menjadi perokok pemula dengan menggunakan jargon-jargon yang ada dalam dunia remaja dan generasi muda. Iklan-iklan rokok menggiring anak-anak muda dan remaja untuk menjadi perokok pemula sebagai pengganti perokok yang sudah berhenti karena sudah tua dan sakit atau meninggal akibat merokok.

Hasil survei cepat yang dilakukan Komnas Perlindungan Anak menunjukkan bahwa dari 10.000 anak remaja di Indonesia, 93% mulai merokok karena terpengaruh iklan rokok di televisi, 50% anak remaja mulai merokok akibat promosi rokok di luar ruang, sedangkan 33% lainnya menjadi perokok setelah mendapat pengaruh dari acara-acara musik yang disponsori oleh perusahaan rokok. Citra yang dibentuk iklan rokok itu membuat seolah-seolah merokok itu adalah hal yang normal dan rokok adalah barang biasa. Hal itu juga dikuatkan dengan statement beberapa perusahaan rokok yang menyatakan bahwa remaja saat ini adalah target konsumen mereka

Umumnya pencitraan dalam iklan televisi disesuaikan dengan kedekatan jenis objek iklan yang diiklankan. Rokok merupakan benda konsumsi yang sangat dekat dan melekat pada laki-laki. Sebagai tokoh utama yang ditampilkan dalam iklan rokok, laki-laki selalu dicitrakan sebagai makhluk yang maskulin. Maskulin atau maskulinitas berasal dari bahasa Perancis, masculinine adalah sebuah kata sifat, adjektif yang berarti "kepriaan" atau menunjukkan sifat laki-laki. Citra maskulin dalam iklan mempertontonkan kejantanan, otot laki-laki, ketangkasan,


(13)

keperkasaan, keberanian, menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, bagian-bagian tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki sebagai bagian-bagian dari citra maskulin. Citra maskulin adalah stereotip laki-laki dalam realitas sosial nyata. Untuk menggambarkan realitas tersebut, maka iklan mereproduksinya kedalam realitas media tanpa memandang bahwa yang digambarkan itu sesuatu yang real atau sekedar mereproduksi realitas itu di dalam realitas media yang penuh dengan kepalsuan. Pencitraan maskulin digambarkan sebagai kekuatan otot lelaki yang menjadi dambaan wanita, atau dicitrakan sebagai makhluk yang tangkas, berani, menantang maut (iklan rokok Wismilak dan iklan rokok Djarum Super). Mereka adalah lelaki berwibawa, macho dan sensitif (iklan rokok Marlboro, iklan rokok Bentoel Merah).

Banyak hal yang mempengaruhi perkembangan konsep maskulinitas yaitu seperti perbedaan budaya. Dalam iklan rokok Marlboro misalnya, laki-laki digambarkan sebagai seorang cowboy. Cowboy sangat lekat dengan sejarah dan budaya Amerika dan Marlboro adalah sebuah merk rokok yang dibuat dan diproduksi di Amerika. Berbeda dengan iklan rokok di Indonesia seperti iklan rokok Djarum coklat 76. Di dalam iklan rokok Djarum coklat 76 tokoh utamanya adalah seorang jin yang karakternya dibalut dengan adat jawa dengan pakaian tradisional jawa lengkap dengan blangkonnya. Hal ini dibuat berdasarkan kedekatan budaya yang ada di Indonesia.

Namun saat ini tidak selamanya maskulinitas laki-laki dicitrakan atau direpresentasikan sebagai makhluk yang macho, berani, tangguh, dan berwibawa. Perubahan gaya hidup anak muda saat ini mengarah kepada konsep pria metroseksual. Metroseksual berasal dari dua istilah yaitu metropolitan dan heteroseksual, merujuk pada pria khususnya yang hidup pada masyarakat post-industri dengan budaya kapitalis yang menampilkan ciri-ciri seperti perhatian yang berlebih terhadap penampilan, ia cenderung memiliki kepakaan mode dan memilih pakaian bermerek, serta memiliki kebiasaan merawat diri seperti kaum perempua pada tanggal 10 Februari 2014). Di jaman industrialisi saat ini, pasar tidak hanya


(14)

berfokus pada kaum wanita saja, melainkan sudah merambah kepada pasar potensial yang baru yaitu kaum pria dengan mengangkat konsep metroseksual.

Iklan rokok Gudang Garam Merah versi The Café berdurasi 45 detik. Tokoh utama laki-laki dalam iklan rokok Gudang Garam Merah versi The Café ini digambarkan sebagai laki-laki yang tidak memiliki keberanian, tidak macho, dan tidak kekar atau gagah seperti yang biasa digambarkan pada iklan rokok lain. Iklan ini menceritakan tentang sepasang kekasih yang bahagia. Mereka tersenyum dan tertawa sambil masuk ke sebuah café. Namun, ketika mereka baru saja masuk mereka heran dengan suasananya. Café tersebut ramai pengunjung namun semuanya diam dan kaku karena sepertinya mereka terpaku dengan kegiatannya masing-masing. Terkejut dengan situasi tersebut mereka bertatapan dan kemudian kembali tersenyum dan berjalan mencari tempat duduk. Ketika mereka sedang berjalan tiba-tiba angin bertiup kencang dan menerbangkan topi yang dipakai perempuan tersebut. Tidak disangka topi itu terbang dan jatuh kejalan. Topi itu kemudian terinjak oleh seseorang yang baru memarkirkan sepeda motornya. Orang yang menginjak topi itu adalah ‘geng motor’. Saat melihat topi pacarnya jatuh ditempat yang salah laki-laki tersebut pun menjadi takut. Dia tidak berani mengambil topi tersebut sehingga perempuan tadi pun kecewa dan sedih. Ketika kelompok geng motor tersebut masuk kedalam café pengunjung wanita yang ada didalam café terlihat takut kemudian mereka mengambil dan menjaga tas mereka. Melihat situasi tersebut pria yang datang bersama pacarnya tadi mendapat ide. Dia mengambil harmonika dari saku jaket dan memainkannya. Pacarnya terkejut kemudian berdiri dan tersenyum, begitu juga dengan pengunjung yang ada di dalam café. Geng motor tadi juga ikut kagum dengan aksi pria tadi, mereka kemudian menghampirinya dan memberi topi tadi kepada pacar si pemain harmonika tersebut. Suasana café pun menjadi hangat.

Iklan (advertisement) adalah pesan komunikasi yang disebarluaskan kepada khalayak untuk memberikan sesuatu atau untuk menawarkan barang dan jasa dengan menyewa media massa. Sedangkan periklanan adalah kegiatan menyebarluaskan pesan komunikasi kepada khalayak untuk memberikan sesuatu


(15)

atau menawarkan barang dan jasa dengan menyewa media massa (Effendi, 1989: 8).

Pemasaran modern memerlukan lebih dari sekedar mengembangkan produk yang baik, menawarkannya dengan harga yang menarik, dan membuatnya mudah didapat oleh pelanggan sasaran. Salah satu strategi komunikasi yang paling efektif dalam pemasaran adalah promosi. Media promosi yang sering digunakan untuk menyampaikan informasi tentang produk adalah media periklanan. Periklanan merupakan salah satu media yang digunakan perusahaan, bisa diklasifikasikan menurut tujuannya yaitu, untuk memberikan informasi, membujuk dan mengingatkan (Kotler, 1993: 362).

Berdasarkan sifatnya iklan televisi dibangun dari kekuatan visualisasi objek dan kekuatan audio. Simbol-simbol yang divisualisasikan lebih menonjol bila dibandingkan dengan simbol-simbol verbal. Umumnya iklan televisi menggunakan cerita-cerita pendek menyerupai karya film pendek. Dan karena waktu tayangan yang pendek, maka iklan televisi berupaya keras meninggalkan kesan yang mendalam kepada pemirsa dalam beberapa detik (Bungin, 2008: 110).

Di masyarakat terdapat dua kategorisasi iklan yang lebih umum dikenal. Pertama, iklan komersial dan kedua, iklan layanan masyarakat. Iklan komersial, yaitu berbagai iklan yang dilakukan untuk semata-mata ditujukan untuk kegiatan komersial dengan harapan apabila iklan ditayangkan, produsen memperoleh keuntungan komersial dari tayangan iklan tersebut. Sedangkan iklan layanan masyarakat semata-mata dibuat dan ditayangkan untuk tujuan-tujuan nonkomersial dan sosial atau semata-mata untuk penerangan umum (Bungin, 2008: 110).

Iklan rokok adalah iklan yang dapat dikategorikan kedalam jenis iklan komersial. Namun, iklan rokok tidak seperti iklan komersial lain yang boleh menampilkan bentuk fisik dari produk yang akan diiklankan. Sebagaimana yang tertuang dalam PP No. 19 Tahun 2003 Pasal 17 bagian (c) Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan menyebutkan:

“Materi iklan rokok dilarang memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya, bungkus rokok, rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok”.


(16)

Disinilah tantangan bagi para pembuat iklan dimana mereka harus membuat iklan yang berbeda. Iklan harus dibuat semenarik mungkin agar produk rokok yang akan dipasarkan dapat diperkenalkan kepada masyarakat sehingga nantinya masyarakat diharapkan akan membeli produk rokok yang diiklankan. Pendekatan-pendekatan psikologis mulai diterapkan sehingga mampu menggugah minat dan emosi masyarakat. Melalui citra yang diciptakannya, iklan diharapkan mampu mengubah perilaku seseorang, menciptakan permintaan konsumen, dan juga mampu membujuk orang agar berpartisipasi di dalam kegiatan konsumsi, yang pada akhirnya memproduksi masyarakat konsumen.

Di dalam masyarakat konsumen, obyek-obyek yang diproduksi untuk dikonsumsi, tidak hanya digunakan untuk memuaskan kebutuhan seperti sandang, pangan dan papan dengan segera, tetapi juga berfungsi sebagai penanda dan komunikator perbedaan-perbedaan interpersonal, seperti kehormatan, prestise, dan tinggi rendahnya kekuasan di dalam kelompok sosial. Iklan lebih menekankan pada penciptaan hasrat yang berkaitan dengan hubungan individu dengan orang lain, pada bagaimana orang lain melihat diri kita. Pengertian cantik, tampan, jantan, macho, senang, sehat, feminim, maskulin bukanlah hasil dari pemikiran kita sendiri. Media menciptakan pengertian atau perspektif yang dikonstruksi untuk mengubah pandangan masyarakat secara umum tentang sesuatu hal. Pesan-pesan tentang kebutuhan seperti makan, pakaian, kendaraan, alat komunikasi, dikombinasikan dengan pesan-pesan yang direkonstruksi dalam presentasi citra gaya hidup.

Peneliti memilih iklan Gudang Garam Merah versi The Café sebab iklan ini menggambarkan citra maskulin yang berbeda dari iklan rokok pada umumnya. Secara konsep iklan ini dibuat pada bulan Februari 2012, untuk proses shooting dilakukan pada akhir Maret 2012. Shooting iklan Gudang Garam Merah versi The Cafe berlokasi di Maja House Bandung. Iklan ini pertama kali tayang pada quarter kedua 2012 (April 2012). Biasanya iklan tayang perquarter, jadi iklan ini tayang di bulan April - Juni 2012. Untuk optional bisa diperpanjang hingga Juli-September 2012.


(17)

Iklan ini membawa pesan yang kuat yang ingin disampaikan dan merupakan sebuah upaya pembentukan karakter dan image yang baru terhadap produk rokok itu sendiri. Rokok Gudang Garam Merah ingin merambah pasar yang lebih potensial yaitu anak-anak muda. Iklan ini begitu menarik diteliti guna memahami dan menguak makna dan pesan yang terkandung dalam sebuah iklan dan melihat sistem signifikasi dari para pembuat iklan sehingga ditafsirkan oleh banyak orang untuk memahami makna yang diperoleh.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan semiotika untuk melihat lebih dalam makna yang terdapat dalam iklan tersebut melalui tanda-tanda yang digunakan, serta mencari makna dari pesan dibalik iklan Gudang Garam Merah versi The Café. Untuk menunjukkan tanda dan makna yang ada, peneliti telah mengumpulkan keseluruhan gambar, kemudian akan memilih gambar-gambar yang memiliki relevansi dan potensi cukup kuat untuk dijadikan objek penelitian, pada akhirnya gambar yang memiliki kekuatan makna akan dijadikan sebagai objek penelitian tetap.

1.2 Pembatasan dan Fokus Masalah

Pembatasan masalah diperlukan agar ruang lingkup tidak terlalu luas dan permasalahan peneliti semakin jelas, terarah, dan spesifik, maka pembatasan masalah yang akan diteliti :

1. Penelitian ini bersifat kualitatif-kritis.

2. Penelitian ini dilakukan pada iklan Gudang Garam Merah versi The Cafe tahun 2012.

3. Perangkat analisis yang digunakan adalah analisis semiologi Roland Barthes, yaitu melalui analisis leksia dan analisis lima kode pembacaan dalam level denotasi, konotasi dan mitos.

Fokus masalah dalam penelitian ini yang ditarik berdasarkan latar belakang masalah diatas adalah :

1. “Bagaimana maskulinitas ditampilkan dalam iklan Gudang Garam Merah versi The Café?”


(18)

2. “Makna dan mitos apa sajakah yang muncul dalam iklan Gudang Garam Merah versi The Café?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bagaimana maskulinitas ditampilkan dalam iklan Gudang Garam Merah versi The Cafe.

2. Mengetahui makna dan mitos apa saja yang muncul dalam iklan Gudang Garam Merah versi The Cafe.

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat sebagai wadah untuk mengaplikasikan teori-teori yang sudah dipelajari selama perkuliahan, khususnya tentang toeri semiotika. Penelitian ini juga mampu menambah wawasan peneliti mengenai maskulinitas dalam media dan masyarakat. Melalui penelitian semiotika ini peneliti menjadi mampu membedakan atau menganalisis secara kritis baik realitas di media maupun di masyarakat.

2. Bagi pembaca, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca memahami lebih dalam mengenai maskulinitas. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu pembaca agar lebih kritis dan dapat memahami makna dan tanda yang disampaikan dalam sebuah iklan. Dengan demikian pembaca dapat menyaring pesan yang disampaikan dalam iklan. Penelitian ini dapat menjadi sumbangsih kepada Departemen Ilmu Komunikasi Fisip USU, guna memperkaya bahan rujukan penelitian dan sumber bacaan terutama di bidang komunikasi secara umum dan analisis semiotika secara khusus.


(19)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Penelitian

Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan bentuk cara pandangnya terhadap dunia. Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya: paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisnya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2004:9).

Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria penelitian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian (Guba & Lincoln dalam Erlina, 2011, hal 10).

Secara umum, paradigma penelitian diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Paradigma kuantitatif menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik. Paradigma kualitatif merupakan paradigma penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitasyang holistis, kompleks, dan rinci. Penelitian ini menggunakan pendekatan induktif yang mempunyai tujuan penyusunan konstruksi teori atau hipotesis yang didasarkan pada satu atau lebih fakta atau bukti-bukti. Paradigma kualitatif disebut juga dengan pendekatan konstruktifis, naturalistik atau interpretatif, atau perspektif post-modern (Erlina, 2011, hal 14).


(20)

Guba & Lincoln (1994:17-30) juga menyusun beberapa paradigma dalam teori ilmu komunikasi. Paradigma yang dikemukakan itu terdiri dari paradigma positivistik, paradigma kritis, dan paradigma konstruktivisme. Analisis semiotika termasuk dalam kategori paradigma kritis. Paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media. Salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Karena kondisi masyarakat yang kelihatannya produktif dan bagus tersebut sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak.

Ada beberapa karakteristik utama paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas. Ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46). Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 1997: 75-87).

Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Proses tersebut dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat. Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri


(21)

paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi. Karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini media massa berikut teks yang diproduksinya. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87).

2.2 Uraian Teoritis

Dalam suatu penelitian teori berperan untuk mendorong pemecahan suatu permasalahan dengan jelas dan sistematis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pengertian teori yakni serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antarkonsep (Singarimbun, 1995:37). Kerangka teori juga membantu seseorang peneliti dalam menentukan tujuan dan arah penelitiannya, serta sebagai dasar pijakan penelitian agar langkah yang ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten.

2.2.1 Komunikasi

Kata komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti “sama”, communico, communicatio, atau communicare yang berarti “membuat sama” (to make common) (Mulyana, 2005: 41). Sebuah defenisi singkat dibuat oleh Harold D. Lasswell bahwa cara yang tepat untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “Who says what in which channel to whom with what effect” Atau siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya


(22)

Sebuah defenisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antarmanusia (human communication) bahwa:

“Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antarsesama manusia; (2) melalui pertukaran informasi; (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu” (Book dalam Cangara 1998: 19).

Dari pengertian komunikasi diatas jelas dikemukakan bahwa komunikasi hanya bisa terjadi apabila memiliki unsur-unsur komunikasi. Unsur-unsur komunikasi tersebut adalah (Cangara 1998: 22-27) :

a. Sumber

Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber sering disebut pengirim, komunikator, atau source, sender, atau encoder.

b. Pesan

Pesan (message, content, atau information) yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat disampaikan melalui tatap muka atau melalui media komunikasi.

c. Media

Media yang dimaksud disini adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Dalam komunikasi antarpribadi pancaindra dianggap sebagai media komunikasi. Selain pancaindra manusia, telepon, surat, telegram juga digolongkan sebagai media komunikasi antarpribadi. Dalam komunikasi massa media komunikasi dapat dibedakan kedalam dua macam, yakni media cetak dan media media elektronik. Media cetak bisa berupa surat kabar, majalah, buku, leaflet, brosur, stiker, buletin, hand out, poster, spanduk, dan sebagainya. Sementara media elektronik dapat berupa radio, film, televisi, video recording, komputer, dan sebagainya.


(23)

d. Penerima

Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai, atau negara. Penerima biasa disebut dalam berbagai istilah seperti khalayak, sasaran, komunikan, audience atau reciever. e. Pengaruh

Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh ini bisa terjadi pada pengetahuan, sikap, dan tingkah laku seseorang.oleh karena itu, pengaruh bisa juga diartikan perubahan atau penguatan keyakinan pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai akibat penerima pesan.

f. Tanggapan balik

Ada yang beranggapan bahwa umpan balik sebenarnya adalah salah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima. Akan tetapi sebenarnya umpan balik bisa juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan media, meski pesan belum sampai pada penerima.

g. Lingkungan

Lingkungan atau sesuatu ialah faktor-faktor tertentu yang dapat memengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan atas empat macam, yakni lingkungan fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan psikologis, dan dimensi waktu.

2.2.2 ` Fungsi Komunikasi

William I. Gorden (Deddy Mulyana, 2005:5-30) mengkategorikan fungsi komunikasi menjadi empat, yaitu:

1. Sebagai komunikasi sosial

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan bahwa komunikasi itu penting untuk membangun konsep diri kita, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan dan ketegangan, antara lain lewat


(24)

komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan hubungan orang lain. Melalui komunikasi kita bekerja sama dengan anggota masyarakat (keluarga, kelompok belajar, perguruan tinggi, RT, desa, dan negara secara keseluruhan) untuk mencapai tujuan bersama.

a. Pembentukan konsep diri. Konsep diri adalah pandangan kita mengenai diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai; anda berpikir anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap anda cerdas; anda merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar anda juga mengatakan demikian. George Herbert Mead mengistilahkan significant others (orang lain yang sangat penting) untuk orang-orang disekitar kita yang mempunyai peranan penting dalam membentuk konsep diri kita. Ketika kita masih kecil, mereka adalah orang tua kita, saudara-saudara kita, dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Richard Dewey dan W.J. Humber (1966) menamai affective others, untuk orang lain yang dengan mereka kita mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah, secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Selain itu, terdapat apa yang disebut dengan reference group (kelompok rujukan) yaitu kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Dengan melihat ini, orang mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Kalau anda memilih kelompok rujukan anda Ikatan Dokter Indonesia, anda menjadikan norma-norma dalam Ikatan ini sebagai ukuran perilaku anda. Anda juga meras diri sebagai bagian dari kelompok ini, lengkap dengan sifat-sifat doketer menurut persepsi anda.

b. Pernyataan eksistensi diri. Orang berkomunikasi untuk menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri. Fungsi komunikasi sebagai eksistensi diri


(25)

terlihat jelas misalnya pada penanya dalam sebuah seminar. Meskipun mereka sudah diperingatkan moderator untuk berbicara singkat dan langsung ke pokok masalah, penanya atau komentator itu sering berbicara panjang lebarm mengkuliahi hadirin, dengan argumen-argumen yang terkadang tidak relevan.

c. Untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan, dan memperoleh kebahagiaan. Sejak lahir, kita tidak dapat hidup sendiri untuk mempertahankan hidup. Kita perlu dan harus berkomunikasi dengan orang lain, untuk memenuhi kebutuhan biologis kita seperti makan dan minum, dan memnuhi kebutuhan psikologis kita seperti sukses dan kebahagiaan. Para psikolog berpendapat, kebutuhan utama kita sebagai manusia, dan untuk menjadi manusia yang sehat secara rohaniah, adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan membina hubungan yang baik dengan orang lain. Abraham Moslow menyebutkan bahwa manusia punya lima kebutuhan dasar: kebutuhan fisiologis, keamanan, kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang lebih dasar harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum kebuthan yang lebih tinggi diupayakan. Kita mungkin sudah mampu kebuthan fisiologis dan keamanan untuk bertahan hidup. Kini kita ingin memenuhi kebutuhan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kebutuhan ketiga dan keempat khususnya meliputi keinginan untuk memperoleh rasa lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi dan menerima persahabatan. Komunikasi akan sangat dibutuhkan untuk memperoleh dan memberi informasi yang dibutuhkan, untuk membujuk atau mempengaruhi orang lain, mempertimbangkan solusi alternatif atas masalah kemudian mengambil keputusan, dan tujuan-tujuan sosial serta hiburan.

2. Sebagai komunikasi ekspresif

Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita. Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan


(26)

melalui pesan-pesan nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut, prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun bisa disampaikan secara lebih ekpresif lewat perilaku nonverbal. Seorang ibu menunjukkan kasih sayangnya dengan membelai kepala anaknya. Orang dapat menyalurkan kemarahannya dengan mengumpat, mengepalkan tangan seraya melototkan matanya, mahasiswa memprotes kebijakan penguasa negara atau penguasa kampus dengan melakukan demontrasi.

3. Sebagai komunikasi ritual

Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang tahun dan sepanjang hidup, yang disebut para antropolog sebaga rites of passage, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, dan lain-lain. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau perilaku-perilaku tertentu yang bersifat simbolik. Ritus-ritus lain seperti berdoa (salat, sembahyang, misa), membaca kitab suci, naik haji, upacara bendera (termasuk menyanyikan lagu kebangsaan), upacara wisuda, perayaan lebaran (Idul Fitri) atau Natal, juga adalah komunikasi ritual. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, suku, bangsa. Negara, ideologi, atau agama mereka. 4. Sebagai komunikasi instrumental

Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu: menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan tindakan, dan juga menghibur. Sebagai instrumen, komunikasi tidak saja kita gunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Studi komunika membuat kita peka terhadap berbagai strategi yang dapat kita gunakan dalam komunikasi kita untuk bekerja lebih baik dengan orang lain demi keuntungan bersama. Komunikasi berfungsi sebagi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan pekerjaan, baik tujuan jangka pendek ataupun tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek misalnya


(27)

untuk memperoleh pujian, menumbuhkan kesan yang baik, memperoleh simpati, empati, keuntungan material, ekonomi, dan politik, yang antara lain dapat diraih dengan pengelolaan kesan (impression management), yakni taktik-taktik verbal dan nonverbal, seperti berbicara sopan, mengobral janji, mengenakankan pakaian necis, dan sebagainya yang pada dasarnya untuk menunjukkan kepada orang lain siapa diri kita seperti yang kita inginkan.

Sementara itu, tujuan jangka panjang dapat diraih lewat keahlian komunikasi, misalnya keahlian berpidato, berunding, berbahasa asing ataupun keahlian menulis. Kedua tujuan itu (jangka pendek dan panjang) tentu saja saling berkaitan dalam arti bahwa pengelolaan kesan itu secara kumulatif dapat digunakan untuk mencapai tujuan jangka panjang berupa keberhasilan dalam karier, misalnya untuk memperoleh jabatan, kekuasaan, penghormatan sosial, dan kekayaan.

Berkenaan dengan fungsi komunikasi ini Onong Utjana Effendy (1994) berpendapat fungsi komunikasi adalah:

1. menyampaikan informasi, 2. mendidik,

3. menghibur, dan 4. mempengaruhi.

2.2.3 Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia yang lahir seiring dengan penggunaan alat- alat mekanik yang mampu melipat gandakan pesan-pesan komunikasi. Dalam catatan sejarah publistik, komunikasi massa dimulai satu setengah abad abad setelah mesin cetak ditemukan oleh Johan Gutenberg (Wiryanto, 2004:67).

Komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa Inggris, mass comunication, sebagai kependekan dari mass media communication (komunikasi media massa). Artinya, komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated. Istilah mass communication diartikan sebagai


(28)

salurannya, yaitu media massa sebagai kependekatan dari komunikasi media massa (Wiryanto, 2004:69).

Secara teori, pada satu sisi, konsep komunikasi massa mengandung pengertian sebagai suatu proses dimana institusi media massa memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas, namun pada sisi lain, komunikasi massa merupakan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikomsumsi oleh audience. Fokus kajian dalam komuikasi massa adalah media massa. Media massa adalah institusi yang menebarkan informasi berupa pesan, berita, atau peristiwa (Bungin, 2006:258).

Media massa adalah alat yang digunakan dalam menyampaikan pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, majalah, film, radio, dan televisi. Karakteritik media massa ialah (1) bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian informasi; (2) bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan penerima; (3) Meluas serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama; (4) memakai peralatan tekhnis atau mekanis seperti majalah, televisi, dan surat kabar; (5) bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa (Cangara, 2006:122).

Josep A. Devito mendefenisikan ada dua pengertian tentang komunikasi massa yaitu, pertama komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua ornag yang membaca atau semua ornag yang menonton televisi, agaknya ini tidak berati pula bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar mendefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis


(29)

bila didefenisikan menurut bentuknya (televisi, radio, surat kabar, majalah,film dan sebagainya) (Nurudin,2007:12).

2.2.4 Iklan

Iklan merupakan bentuk komunikasi tidak langsung, yang didasari pada informasi tentang keunggulan atau keuntungan suatu produk, yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa menyenangkan yang akan mengubah pikiran orang untuk membeli. Sedangkan periklanan adalah keseluruhan proses yang meliputi persiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian iklan (Kotler, 2001: 206). Iklan atau advertising berasal dari kata latin “Adverte” yang berarti mengarahkan. Iklan yang kita lihat dan dengar setiap hari sebenarnya merupakan produk akhir dari serangkaian pengamatan sampai pelaksanaan strategi dan taktik yang berupaya untuk menjangkau pembeli potensial (Rachmadi, 1998:36).

Menurut Kepler iklan atau advertising berasal dari bahasa latin, ad-vere yang berati mengoperkan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Jika pengertian ini kita terima maka sebenarnya iklan tidak ada bedanya dengan pengertian komunikasi yaitu satu arah (Liliweri,1992:17). Sedangkan Wright mengemukakan bahwa iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan serta gagasan atau ide – ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif. Periklanan diakuinya mengandung dua makna yaitu iklan dipandang sebagai alat pemasaran dan iklan dalam pengertian proses komunikasi yang bersifat persuasif (Liliweri, 1992 : 20).

Media dalam beriklan secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua yaitu iklan lini atas (above the line) dan iklan lini bawah (bellow the line). Iklan lini atas (above the line) yakni jenis iklan yang mengharuskan pembayaran komisi kepada biro iklan; contohnya adalah tayangan iklan di media cetak, televisi, radio, bioskop, billboard dan sebagainya. Media lini bawah (bellow the line) yakni jenis jenis iklan yang tidak mengharuskan adanya komisi seperti iklan pada pameran, brosur, lembar informasi dan sebagainya. Secara umum produsen akan


(30)

menggunakan kedua media iklan tersebut untuk mengenalkan atau menciptakan positioning produk yang akan diiklankan tersebut (Jefkins, 1994: 28-29).

Sedangkan menurut jenisnya iklan dapat di katagorikan menjadi enam katagori pokok (Jefkins, 1994), yakni :

1. Iklan strategis

Iklan strategis digunakan untuk membangun merek. Hal itu dilakukan dengan mengkomunikasikan nilai merek dan manfaat produk. Perhatian utama iklan strategis ini dalam jangka panjang adalah “memposisikan” merek serta membangun pangsa pikiran dan pangsa pasar.

2. Iklan taktis

Iklan taktis memiliki tujuan yang lebih mendesak. Iklan ini dirancang untuk mendorong konsumen agar segera melakukan kontak dengan merek tertentu. Pada umumnya iklan taktis ini memberikan penawaran khusus jangka pendek yang memacu konsumen memberikan jawaban pada hari yang sama.

3. Iklan ritel

Iklan ritel biasanya dilakukan oleh toko serba ada {toserba}, pasar swalayan yang memberikan banyak penawaran khusus dan mempunyai banyak persediaan barang dagang.

4. Iklan korporat

Iklan korporat merupakan bentuk lain dari iklan strategis, ketika sebuah perusahaan melakukan kampanye untuk mengkomunikasikan nilai-nilai korporatnya kepada publik. Iklan korporat sering kali berbicara tentang nilai-nilai warisan perusahaan, komitmen perusahaan terhadap pengawasan mutu, peluncuran merek dagang atau logo perusahaan yang baru, atau mempublikasikan kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup.

5. Iklan bisnis kepada bisnis (B TO B)

Iklan ini memperkenalkan struktur dan layanan perusahaan yang baru, dapat menjadi alasan munculnya iklan bisnis kepada bisnis.


(31)

6. Iklan layanan masyarakat

Dalam iklan ini disajikan pesan-pesan sosial yang dimaksudkan untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap sejumlah masalah yang harus mereka hadapi yaitu kondisi yang dapat mengancam keserasian dan kehidupan umum.

Pada dasarnya tujuan dari kegiatan periklanan adalah mengubah atau mempengaruhi sikap-sikap khalayak agar membeli produknya. Inti dari segala kegiatan periklanan sendiri adalah melalui kreativitas yang di tuangkan dalam iklan, iklan berfungsi untuk menarik dan memenangkan perhatian khalayak, membangkitkan minat yang berlanjut pada sikap dan tindakan konsumen.

Iklan yang akan disampaikan kepada khalayak diciptakan dengan baik sehingga pesan yang akan disampaikan dapat mudah dicerna dan dimengerti oleh masyarakat dan mengandung informasi yang benar. Tidak hanya sekedar memberikan informasi kepada khalayak, iklan juga harus mampu membujuk khalayak untuk tertarik dan membeli produk yang ditawarkan, sehingga mampu meningkatkan penjualan sekaligus meningkatkan keuntungan bagi produsen (pengiklan).

Fungsi dan tujuan beriklan menjadi latar belakang pemilihan bentuk iklan. Berikut merupakan beberapa fungsi iklan (Shimp, 2003:357):

a. Menginformasikan.

Iklan memfasilitasi pengenalan merek-merek baru, untuk kemudian membuat konsumen sadar (aware) akan merek tersebut, dan meningkatkan puncak kesadaran dalam benak konsumen (Top of Mind) untuk merek-merek yang sudah ada dalam kategori produk sejenis yang sudah matang. b. Mempersuasi.

Iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk barang dan jasa yang diiklankan. Persuasi berbentuk mempengaruhi permintaan primer, yakni menciptakan permintaan bagi keseluruhan kategori produk. Namun pada kenyataannya iklan lebih sering berupaya untuk membangun permintaan sekunder, yaitu permintaan bagi merek yang lebih spesifik.


(32)

c. Mengingatkan.

Iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konsumen. Selain itu, periklanan juga efektif untuk meningkatkan minat konsumen terhadap merek yang sudah ada dan pembelian sebuah merek yang mungkin tidak ada pilihannya.

d. Menambah nilai.

Periklanan memberi nilai tambah pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen. Periklanan yang efektif menyebabkan merek dipandang sebagai lebih elegan, lebih bergaya, lebih bergengsi, dan bisa lebih unggul dari tawaran pesaing.

e. Mendampingi.

Pada saat-saat tertentu, peran utama periklanan adalah sebagai pendamping yang memfasilitasi upaya-upaya lain dari perusahaan dalam proses komunikasi pemasaran. Sebagai contoh, periklanan mungkin digunakan sebagai alat komunikasi untuk meluncurkan promosi-promosi penjualan seperti kupon-kupon dan undian serta upaya penarikan perhatian berbagai perangkat promosi penjualan tersebut.

Berbeda dengan fungsi iklan di atas, Alo Liliweri dalam (Widyatama, 2005: 145-146) mengemukakan bahwa iklan mempunyai fungsi yang sangat luas, meliputi:

a. Fungsi Pemasaran

Dimaksudkan bahwa iklan digunakan untuk mempengaruhi khalayak untuk membeli dan mengkonsumsi produk. Hampir semua iklan komersial memiliki fungsi pemasaran.

b. Fungsi Komunikasi

Artinya iklan sebenarnya merupakan sebentuk pesan dari komunikator kepada khalayaknya. Sama halnya dengan kita berbicara kepada orang lain, maka iklan juga merupakan pesan yang menghubungkan antara komunikator dengan komunikan


(33)

Artinya, iklan merupakan alat yang dapat membantu mendidik khalayak mengenai sesuatu, agar mengetahui dan mampu melakukan sesuatu.

d. Fungsi Ekonomi

Dimaksudkan, iklan mampu menjadi penggerak ekonomi agar kegiatan ekonomi tetap dapat berjalan. Bahkan dengan iklan, ekonomi dapat berkembang dalam melakukan ekspansi.

e. Fungsi Sosial

Artinya, iklan ternyata telah mampu menghasilkan dampak sosial psikologis yang cukup besar. Iklan membawa berbagai pengaruh dalam masyarakat.

Iklan Televisi

Iklan televisi merupakan aktivitas dalam dunia komunikasi, karena iklan juga menggunakan prinsip komunikasi massa. Komunikasi massa mutlak menggunakan media massa dalam proses penyampaiannya. Iklan televisi mempunyai dua segmen dasar, yaitu bagian visual yang dapat dilihat pada layar televisi dan audio, selain itu juga disusun dari kata-kata yang diucapkan, musik, dan suara. Keutamaan televisi yaitu bersifat dapat dilihat dan didengar, “Hidup” menggambarkan kenyataan dan langsung menyajikan peristiwa yang terjadi di tiap rumah pemirsanya (Effendy, 1993:314).

Iklan televisi merupakan iklan yang ditempatkan pada media televisi dan telah menjadi komoditas dalam masyarakat sehari-hari. Pada umumnya, televisi diakui sebagai media iklan paling berpengaruh. Darwanto mengungkapkan bahwa kekuatan yang dimiliki oleh televisi sebagai alat dengan sistem yang besar mampu menciptakan daya rangsang yang sangat tinggi dalam mempengaruhi sikap, tingkah laku dan pola pikir khalayaknya, yang pada akhirnya menyebabkan banyaknya perubahan dalam masyarakat (Sumartono, 2002:11).

Komponen dari sebuah iklan televisi adalah dimana iklan ini dibangun dari kekuatan visualisasi objek dan kekuatan audio. Simbol-simbol yang divisualisasikan lebih menonjol bila dibandingkan dengan simbol-simbol verbal.


(34)

Ada beberapa kelebihan yang dimiliki televisi sebagai media iklan (Jefkins, 1997:110), diantaranya:

a. Kesan realistik sifatnya yang visual, dan memiliki warna, suara dan gerakan, maka iklan televisi tampak begitu hidup dan nyata.

b. Masyarakat lebih tanggap iklan televisi dapat disiarkan dan dilihat dimana saja, sehingga masyarakat lebih siap dalam memberikan tanggapan.

c. Repetisi atau pengulangan iklan televisi dapat ditayangkan beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat, dalam frekuensi yang cukup, sehingga pengaruh iklan itu dapat diterima oleh masyarakat.

Selain itu, ada tiga hal yang menjadi kekuatan dalam televisi (Kasali, 1992:121-122), yaitu :

a. Efisiensi Biaya

Banyak pengiklan memandang televisi sebagai media paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersialnya. Salah satu keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. Jutaan orang menonton televisi secara teratur, televisi juga dapat menjangkau khalayak sasaran yang tidak dapat dijangkau oleh media cetak. Jangkauan massal menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau setiap kepala.

b. Dampak Yang Kuat

Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen, dengan tekanan pada sekaligus 2 (dua) indera, penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu menciptakan kelenturan bagi pekerja-pekerja kreatif dengan mengkombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama, dan humor.

c. Pengaruh Yang Kuat

Televisi mempunyai kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Kebanyakan masyarakat meluangkan waktu di depan televisi, karena televisi dijadikan sebagai sumber berita, hiburan, dan sarana pendidikan. Kebanyakan calon konsumen lebih “percaya” pada perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi daripada di media lain. Inilah ciri bonafit periklanan, segmen pasar yang dapat dijangkau oleh media televisi sangat besar,


(35)

sehingga secara tidak langsung menarik produsen untuk memanfaatkan media televisi.

Selain beberapa kelebihan dari iklan televisi tersebut, ada pula kelemahan yang jika beriklan di televisi yang diungkapkan oleh Damardi Sugiarti (Durianto, 2003:35),yaitu:

a. Biaya Tinggi. Biaya untuk menjangkau setiap orang memang relatif rendah, tapi biaya produksinya yang cukup tinggi.

b. Masyarakat Tidak Selektif. Tayangan yang menjangkau banyak kalangan, sangat memungkinkan jika iklan menjangkau pasar yang bukan targetnya. c. Kesulitan Teknis. Pihak pengiklan seringkali menghadapi kesulitan teknis

untuk mengubah jadwal maupun jam tayang.

2.2.5 Semiotika

Secara epistimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api (Wibowo, 2011:5). Di dalam bukunya, Kriyantono (2006:263) menyatakan semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaanya oleh mereka yang menggunakannya. Menurut Premingger, ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu berupa tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.

Secara terminologis, semiotik dapat disefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sedertan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoest mengartikan semiotik sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan


(36)

kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Sobur, 2004:95).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things) (Sobur, 2009:15). Analisis semiotik berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita) karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial dimana pengguna tanda tersebut berada (Kriyantono, 2006:264).

Semiotika berangkat dari ketiga elemen utama yang disebut Peirce teori segitiga makna. Charles Saunders Peirce yang dianggap sebagai pendiri semiotika modern mendefinisikan semiotika sebagai hubungan antara tanda (simbol), objek, dan makna. Yang pertama adalah tanda, yaitu sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk hal lain diluar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut objek. Kedua adalah acuan tanda (objek), yaitu konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda dan yang ketiga, yaitu penggunaan tanda dimana konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda (Kriyantono, 2006:265). Hubungan segitiga makna Pierce lazimnya tampak dalam gambar berikut ini:

Gambar 1 : Elemen Makna Pierce

Sign

Interpretant Object Sumber : John Fiske dalam Sobur.2004: 115.


(37)

Menurut Pierce sign ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu kepada suatu yang lain, oleh Pierce disebut object. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan, tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melaui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda, artinya tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground yaitu pengetahuan tentang system tanda dalam suatu masyarakat.

Bagi Pierce, tanda “is something whichstands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisgn, sinsign dan lesign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksitensi aktual atau benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004:41).

Tokoh lain yang juga memiliki pengaruh yang cukup penting dalam sejarah perkembangan semiotik adalah Ferdinand De Saussure. Pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilahan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi atau coretan yang bermakna, yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pemikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:


(38)

Gambar 2.

Elemen-Elemen Makna dari Saussure Sign

Composed of

Signification

Signifier plus Signified external reality (physical (mental of meaning existence concept)

of the sign)

Sumber : Alex Sobur.2004: 125

Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai objek sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.

Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk kultural. Hubungan di antara keduanya bersifat manasuka dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signifier dan signified tidak bisa dijelaskan dengan nalar apa pun, baik pilihan bunyi-bunyinya maupun pilihan untuk mengaitkan rangkaian bunyi tersebut dengan benda atau konsep yang dimaksud. Karena hubungan yang terjadi antara signifier dan signified bersifat arbitrer, maka makna signified harus dipelajari, yang berarti ada struktur yang pasti atau kode yang membantu menafsirkan makna.

Hubungan antara signifier dan signified ini dibagi tiga, yaitu :

1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta.


(39)

2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api.

3. Simbol adalah sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan (Sobur, 2004: 126).

Dalam pandangan Saussure, makna sebuah tanda sangat dipengaruhi oleh tanda yang lain. Semiotik berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak ke luar kaidah tata bahasa dan sistaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi, dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan (konotatif) dan arti penunjukan (denotatif), kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan kombinasi tanda. Pelaksanaan hal itu dilakukan dengan mengakui adanya mitos, yang telah ada dan sekumpulan gagasan yang bernilai yang berasal dari kebudayaan dan disampaikan melalui komunikasi.

2.2.6 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah konsep konotasi yang merupakan kunci semiotik dalam menganalisis budaya, dan konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari (Sobur, 2004:46).

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of significations). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified (makna denotasi). Pada tatanan ini


(40)

menggambarkan relasi antara penanda (objek) dan petanda (makna) di dalam tanda, dan antara tanda dan dengan referannya dalam realitasnya eksternal. Hal ini mengacu pada makna sebenarnya (riil) dari penanda (objek). Dan sinifikasi tahap kedua adalah interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu (makna konotasi). Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos, dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya.

Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Ini merupakan sebuah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang terhenti pada panandaan dalam tataran denotatif (Sobur, 2004:69).

Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama seperti yang digambarkan dalam peta tentang bagaimana tanda bekerja dibawah ini:

Gambar 3 Peta Rholand Barthes

1. Signfier (Penanda)

2. Signified (Petanda) 3. Denotative sign (Tanda Denotatif) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)

5.CONNOTATIVE SIGNIFIED

(PETANDA KONOTATIF) 5. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)


(41)

Dari peta Ronald Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi (objek fisik) yang dapat ditunjukkan dengan foto yang sedang diteliti. Pada saat yang bersamaan makna denotatif yang didapatkan dari penanda dan petanda adalah juga penanda konotatif (4) yaitu makna tersirat yang memunculkan nilai-nilai dari penanda (1) dan petanda (2). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi yang berada di balik sebuah penanda (1).

Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda (konotasi, mitos, dan simbol) dalam tatanan pertanda kedua (signifikasi tahap kedua). Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung saat bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama (4) dalam peta Ronald Barthes.

Pada signifikasi tahap kedua, menganalisis tanda konotasi, yaitu makna tersirat yang ada pada gambar yang digunakan untuk membongkar mitos. Analisis konotasi ini bekerja dalam tingkat subjektif. Semiologi Roland Barthes menekankan pada peran pembaca (reader), peran di sini berarti walaupun sebuah tanda telah memiliki makna denotasi ataupun konotasi, tetapi tetap saja dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Dalam semiologi Roland Barthes, kode-kode komunikasi yang terdapat pada teks nantinya akan dicari makna riil-nya (denotasi), kemudian hubungan antara satu tanda dengan tanda lainnya akan dicari makna tersirat didalamnya (konotasi).

Dalam setiap esainya, Barthes membahas fenomena yang sering luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. Beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland Barthes adalah :

1. Penanda dan Petanda

Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Menurut Bertens, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material


(42)

dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Singkat kata, petanda merupakan aspek mental dari bahasa (Sobur, 2004:46).

2. Denotasi dan Konotasi

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memgang peranan penting di dalam ujaran. Denotasi bersifat langsung, dapat dikatakan sebagai makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan menurut Kridalaksana, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif (Sobur, 2004: 263).

Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan. Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif.

Sedangkan konotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yng timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dan sebagainya. (Sobur, 2004: 263).

3. Paradigmatik dan Sintagmatik

Paradigmatik (paradigms) merupakan sebuah istilah teknis untuk menggambarkan bahwa sebuah tanda itu bermakna dalam hubungannya dengan tanda lainnya (Danesi, 2010:46). Ia terdiri dari satu perangkat tanda (contoh: perbendaharaan kata), dan hanya satu unit dari perangkat itu yang dapat dipilih untuk memaknai sebuah tanda. Contoh dari penerapan paradigmatik adalah dalam


(43)

satu sistem fashion. Di atas kepala seseorang tidak mungkin, atau jarang sekali, orang mengenakan topi sekaligus helm dan caping. Pemilihan penggunaan topi atau caping adalah satu pilihan paradigmatik. Pemilihan satu item atas item lain dalam satu kerangka yang sama adalah pilihan paradigmatik.

Analisis sintagmatik menampakkan bahwa susunan suatu tanda adalah pilihan yang ada untuk merangkai tanda menjadi makna. Sintagmatik melihat tanda sebagai suatu rangkaian kejadian-kejadian yang berurutan. Pendekatan sintagmatik ini adalah hubungan sebab-akibat (kausalitas) dari suatu tanda atau teks. Adapun susunan pakaian dari ujung rambut ke ujung kaki seseorang adalah satu susunan sintagmatik. Dengan pemahaman atas pendekatan ini maka kita bisa menelaah alur cerita, logika penceritaan, sampai mencoba menduga apa yang akan terjadi berikutnya. Makna yang dihasilkan dari relasi sintagmatik ini disebut makna yang manifes. Disebut manifes (kelihatan) karena tanda hadir di sana (Birowo, 2004: 52).

4. Mitos

Mitos dapat didefinisikan sebagai narasi yang di dalamnya karakter-karakternya adalah para dewa, pahlawan, dan makhluk-makhluk mitis, dengan plotnya adalah tentang asal-usul segala sesuatu atau tentang peristiwa metafisis yang berlangsung di dalam kehidupan manusia, dan di sini setting yang diambil adalah penggabungan dunia metafisis dengan dunia nyata (Danesi, 2010: 56).

Mitos sering dianggap sebagai sebuah cerita yang aneh dan sering diisi dengan cerita yang tak masuk akal. Mitos terkadang digunakan manusia untuk mencari jawaban-jawaban atas pertanyaannya terhadap alam semesta. Pada umumnya mitos adalah suatu sikap lari dari kenyataan dan mencari “perlindungan dalam dunia khayal”. Sedangkan menurut Barthes, mitos merupakan cara berpikir kebudayaan tentang suatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sebuah hal (Sobur, 2004: 224).

Selain itu, mitos juga sering diiringi oleh ritual-ritual tertentu. Hal ini biasanya menyangkut dengan mitos yang ada dalam sebuah agama tertentu. Dan ritual ini digunakan oleh pemuka-pemuka agama dengan tujuan untuk menghindarkan bahaya atau mendatangkan keselamatan. Seperti yang


(44)

diungkapkan oleh van Peursen bahwa mitos data dikatakan sebagai “sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang” (Sobur, 2004: 225).

Bagi Barthes, mitos adalah sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem pertama (penanda dan petanda) yang membangun makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua makna mitologis konotatif (Barker, 2004: 72).

Semiotika Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa. Bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai obyek dan bahasa tingkat kedua yang disebut dengan metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat signifier (penanda) dan signified (petanda). Sistem tanda kedua terbangun dan menjadi penanda dan penanda tingkat pertama berubah menjadi petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru dalam taraf yang lebih tinggi.

Sistem tanda pertama kadang disebut sebagai denotasi atau sistem termilogi, sedangkan sistem tanda kedua disebut sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk suatu konotasi tunggal; sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda ini dapat pula disebut fragmen ideologi. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah. Dan dapat dikatakan bahwa ideologi adalah bentuk petanda konotasi dan “retorika” adalah bentuk konotasi (Barthes dalam Ishak & Mochsen, 2005: 86). Konotasi dan metabahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lainnya. Metabahasa adalah operasi-operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah sebagai petanda, diluar kesatuan petanda-petanda yang asli, dapat dikatakan berada diluar sebuah alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang utama bersifat sosial dalam hal untuk memberikan pesan-pesan literal dan memberikan dukungan bagi makna.


(45)

Penyatuan konotasi dan metabahasa akan memberikan peluang untuk menghadirkan sebuah sistem atau petanda ketiga yang secara alami dilengkapi oleh sebuah kode ekstra-linguistik yang substansinya adalah obyek atau imaji. Kode sebagai sistem makna yang ketiga (makna luar) yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda yang terdiri dari lima jenis kode (Barthes dalam Ishak & Mochsen, 2005: 86)

Lima kode yang ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2004: 65-66) :

1. Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks, kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2. Kode Proaretik, atau kode tindakan/lakuan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, yang artinya antara lain semua teks bersifat naratif. Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

3. Kode Simbolik, merupakan aspek pengodean yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes pascastruktural. Pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. 4. Kode Kultural (Kode Gnomik), kode ini merupakan acuan teks ke

benda-benda yang sudah diketahui dan sudah dikodifikasi oleh budaya. Menururt Barthes, realisme tradisional didefenisi oleh acuan kepada apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu.

5. Kode Semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi, dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat


(46)

bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.

2.2.7 Semiotika Komunikasi Visual

Pada mula iklan dikenal masyarakat, iklan masih berbentuk relief, iklan koran atau iklan papan nama. Hal ini disebabkan karena media informasi saat itu sangat terbatas, sebagai akibat keterbatasan masyarakat. Demikian pula perkembangan iklan mengikuti perkembangan media massa pada saat itu. Karenanya iklan pertama berupa relief, kemudian menjadi iklan koran dan papan nama, kemudian berkembang menjadi iklan radio dan saat ini iklan ditayangkan ditelevisi, internet atau komputer di samping iklan-iklan luar yang muncul dan bertebaran di mana-mana dengan berbagai bentuk.

Sebagai sistem pertandaan, iklan sekaligus menjadi sebuah bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang manfaat produk yang ditawarkan, namun seringkali menjadi representasi gagasan yang terpendam di balik penciptanya. Prinsip semiotika iklan adalah bahwa iklan melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan menjadi tanda, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Dalam iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio dan audiovisual. Ketiganya masih dapat dipecah lagi ke dalam anasir-anasir yang lebih kecil dan lebih subtitle. Iklan juga merupakan konstruksi realitas dalam media. Giacardi berpendapat bahwa iklan adalah acuan, artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang hiperealistik. Menurutnya iklan berusaha menciptakan suatu realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas nyata yang ada di masyarakat. Suharko mengatakan iklan berusaha merepresentasikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbol-simbol tertentu, sehingga mampu menimbulkan impresi dalam benak konsumen


(1)

pertama, yaitu pada gambar 2,3,5, dan 6. Laki-laki tersebut digambarkan sebagai sosok yang tampan, fashionable, dan lembut. Kemudian pada scene kedua, yaitu pada gambar 7 dan 8 dimana kelembutan dan kehangatan dari laki-laki tersebut ditonjolkan. Pada scene keempat yaitu pada gambar 17 dan 18 laki-laki tersebut memperlihatkan kepekaannya dalam mencari solusi. Pada scene kelima penggambaran maskulinitas baru ini terdapat pada gambar 20, 21, 23, 24, dan 25. Laki-laki tersebut menunjukkan sisi agresifitasnya dan sensitifitasnya dengan mengubah suasana cafe yang tegang dan dingin menjadi hangat. Dengan memainkan harmonika laki-laki tersebut menenangkan hati pacarnya dan menghangatkan suasana cafe. Hal yang sama juga digambarkan pada scene keenam yaitu yang terdapat pada gambar 26 dan 27.

3. Makna yang dapat digali dari iklan Gudang Garam Merah versi the cafe

tahun 2012 yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi dari iklan tersebut, yaitu iklan ini menggambarkan sosok laki-laki yang disebut maskulin. Laki-laki yang disebut maskulin adalah laki-laki yang memiliki fisik yang kuat, keras, dan macho. Selain itu laki-laki juga disebut maskulin apabila mampu menghangatkan suasana dan menunjukan rasa kasih sayang pada orang lain. Makna konotasi yang terdapat dalam iklan ini digambarkan lewat simbol-simbol yang terkandung di dalam iklan. Harmonika adalah konotasi dari wujud rokok Gudang Garam Merah. Warna merah yang dominan dan tagline “merah itu hangat” merupakan konotasi dari warna kemasan rokok Gudang Garam Merah dan rokok Gudang Garam Merah memiliki kandungan cengkeh yang menciptakan rasa hangat. Tagline “beginilah kualitas merah” bermakna Gudang Garam Merah merupakan rokok yang berkualitas tinggi karena terbuat dari tembakau dan cengkeh kualitas terbaik.

Mitos yang dapat digali dari pemaknaan dalam iklan televisi rokok Gudang Garam Merah versi the cafe tahun 2012 ini adalah rokok merupakan lambang maskulinitas. Laki-laki yang termasuk kedalam maskulinitas tradisional


(2)

terlihat maskulin apabila mengonsumsi rokok. Begitu juga sebaliknya, maskulinitas baru yang tidak lagi terpaku pada penampilan fisik yang kekar dan macho, bisa terlihat lebih maskulin apabila mengonsumsi rokok.

5.2 Saran

Beberapa saran yang ingin diberikan penulis adalah :

1. Saran penelitian, peneliti menyadari bahwa masih banyak terdapat banyak

kekurangan dalam penelitian ini. Sulitnya peneliti mendapatkan data sejarah dan budaya untuk beberapa konten analisis menjadi kelemahan dalam penelitian ini. Peneliti berharap dapat memberikan hasil yang lebih memuaskan pada penelitian-penelitian berikutnya.

2. Saran dalam kaitan akademis, mahasiswa komunikasi dituntut untuk

menjadi persona yang melek media. Untuk mengasah kemampuan dalam mengungkap makna, realitas, dan konstruksi dalam sebuah media, mahasiswa membutuhkan bimbingan dan pembelajaran yang lebih banyak mengenai analasisi semiotika. Adanya pemaparan dan penjelasan yang lebih mendalam tentang analisis semiotika di dalam mata kuliah teori komunikasi dan komunikasi massa menjadi sebuah kebutuhan.

3. Saran dalam kaitan praktis, anak muda khususnya laki-laki yang menjadi

khalayak sasaran dari iklan rokok di berbagai media selayaknya dapat berpikir lebih rasional dalam memaknai sebuah iklan. Rokok dapat merusak kesehatan. Bahkan peringatan larangan merokok sudah berbunyi “rokok membunuhmu”. Mulailah mengikuti gaya dan pola hidup sehat dengan tidak merokok. tidak merokok bukan hanya melindungi kesehatan diri sendiri tetapi juga melindungi kesehatan orang lain.


(3)

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2004: Cultural Studies. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Birowo, M Antonius, ed. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta:

Gitanyali

Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKIS. Bungin, Burhan, 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana.

_____________, 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana.

Cangara, Hafied. 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

_____________, 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media.

Yogyakarta: Jalasutra.

Durianto, Sugiarto, Widjaja dan Supraktino. 2003. Invasi Pasar Dengan Iklan Yang Efektif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi.. Bandung : PT. Mandar

Maju.

______________________. 1993. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi.Bandung. PT citra Aditya Bakti.

______________________1994. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung.

Remaja Rosdakarya

Eriyanto, 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS. Erlina, 2011. Metodologi Penelitian. Medan: USU Press.


(4)

Guba, Egon. G dan Lincoln, Yvonna S. 1994. Competing Paradigms in Qualitative Research.

Kertajaya, Hermawan, 2011. Positioning, Diferensiasi, Brand. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Jefkins, 1997: Periklanan. PT Erlangga, Jakarta.

Kasali, Renald. 1992. Manajemen Periklanan. Jakarta. Pustaka Grafiti.

Kotler, Phillip. 2003. Manajemen Pemasaran: Analisa, Perencanaan, Implikasi dan Kontrol, Jilid I. Jakarta. PT Prenhallindo.

Kriyantono, Rakhmat. 2006. Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Perdana Media

Group.

Liliweri, Alo. 1992 : Gatra Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mulyana, Dedy, 2005: Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

_____________, 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Newman, William Lawrence. 1997. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. University of Wiscoustin at Whitewater Nurudin, 2007. Komunikasi Massa. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Rachmadi, F. 1998. Public Relation Dalam Teori dan Praktek. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Shimp, Terence A. 2003. Periklanan promosi dan aspek tambahan komunikasi pemasaran terpadu, Jilid I, Edisi Kelima. Alih Bahasa Revjani Sjahrial & Dyah Anikasari. Jakarta : Erlangga.


(5)

Singarimbun dan Effendy. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya. __________ 2009. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sumartono. 2002. Terperangkap dalam Iklan. Meneropong Imbas pesan Iklan

Televisi. Bandung: Alfabeta

Selby, Keith dan Coedery, Ron, 1995. How to Study Television. London: Mc Millisan.

Synontt, Anthony. 2003. Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, Yogyakarta: Jalasutra

Syar’an, Nasir, 2001. Maskulinitas dalam Iklan Gudang Garam: Analisis Semiotik atas Iklan Gudang Garam, Skripsi (tidak diterbitkan) pada jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, Yogyakarta.

Tinarbuko, Sumbo. 2010. Semiotika Komunikasi Visual. Jalasutra

Wibowo, Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

______________ 2003. Sihir lklan : Format Komunikasi Mondial dalam

Kehidupan Urban- Kosmopolit. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Widyatama, Rendra. 2005. Pengantar Periklanan. Ja karta: Buana Pustaka

Indonesia

Wiryanto, 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta. PT Grasindo

Jurnal

Kurnia, Novi. 2004. Representasi Maskulinitas dalam Iklan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI Volume 8, Nomor 1. Jakarta.


(6)

Muhammad Taufik Ishak, Mohammad Mochsen Sir. 2005. Pembacaan Kode Semiotika Roland Barthes Terhadap Bangunan Arsitektur Katedral Evry Di Prancis Karya Mario Botta. Jurnal Arsitektur FT-Unhas Volume 2 No. 1

Kusumaningrum, Elisabeth Anita Dwi. 2012. Maskulinitas Dalam Iklan (Studi Analisis Isi Maskulinitas dalam Iklan pada Majalah Men’s Health Indonesia Periode Januari-Desember 2010. Paper Jurnal Online Universitas Sebelas Maret.

Sumber Internet

tanggal 10 Februari 2014)

Juni 2013)