Representasi Citra Budaya Dalam Iklan (Studi Analisis Semiotika Representasi Citra Budaya Indonesia Dalam Iklan Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia)

(1)

1

REPRESENTASI CITRA BUDAYA DALAM IKLAN

(Studi Analisis Semiotika Representasi Citra Budaya Indonesia Dalam Iklan Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1)

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun Oleh: MUHAMMAD REZA

070904027

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

2 ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes, Dengan judul Representasi citra budaya dalam iklan mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) visual kode-kode kultural, serta merujuk bahwa teks desain komunikasi visual dan penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem non kebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan, maka pendekatan semiotika sebagai sebuah metode analisis tanda guna mengupas citra budaya Indonesia berbentuk visual iklan layak diterapkan dan disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya

Penelitian akan menggunakan analisis semiotika guna menangkap makna yang terdapat dalam tanda-tanda, kode-kode kultural, serta konteks kebudayaan dimana lahir produk seperti Iklan Garuda Indonesia ini. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menangkap representasi citra budaya Indonesia dalam iklan sebagai satu bentuk strategi periklanan dengan mengangkat karakter Indonesia dan bagaimana upaya membongkar mitos iklan tersebut.

Untuk memahami Iklan sebagai produksi tanda dan pembangunan mitos, maka digunakan analisis semiotika Roland Barthes. Penggunaan analisis semiotika Barthes adalah untuk membongkar mitos-mitos dalam iklan dengan memperlihatkan aspek kesejajaran sehingga tampak ketidakalamiahan makna yang muncul dari tanda dalam iklan.

Hasil penlitian ini menunjukkan bahwa dalam membangun suatu mitos konsumsi, iklan memanfaatkan kode kultural yang telah ada dan memanfaatkan elemen lain seperti grafis visual, narasi untuk mendukung pesan yang dibawa. Melalui bahasanya, iklan secara terus-menerus melakukan dorongan menjadi konsumen yang pasif dan kritis. Iklan memberikan pencerahan palsu kepada konsumennya sehingga konsumen semakin terdorong untuk masuk dan menjadi pembenar suatu iklan.


(3)

3 DAFTAR ISI

ABSTRAK...………... i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI………... v

DAFTAR TABEL………...viii

DAFTAR GAMBAR………...ix

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang Masalah………. 1

1.2. Perumusan Masalah………. 5

1.3. Pembatasan Masalah……… 6

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 6

1.5. Kerangka Teori……… 7

1.5.1. Representasi.………...…. 7

1.5.2. Citra Budaya………..… 8

1.5.3. Semiotika ...……….... 9

1.5.4. Semiotika Komunikasi Visual……… 11

1.5.5. Semiologi Roland Barthes...……….. 12

1.5.6. Iklan………... 13

I.6. Kerangka Konsep………... 13

1.7.Operasional konsep...15

BAB II URAIAN TEORITIS……….. 18

2.1. Reprsentasi………... 18

2.2. Citra Budaya .……….... 23

2.3. Semiotika ...………... 27

2.4. Semiotika Komunikasi Visual ...………... 35

2.5. Semiologi Roland Barthes ....……… 46

2.6. Iklan ...………... 53

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... 59


(4)

4

3.2. Deskripsi Subjek Penelitian………... 60

3.3. Unit dan Level Analisis………. 62

3.4. Metode Pengumpulan Data……… 63

3.5. Teknik Analisis Data………. 64

3.6. Kerangka Konsep……….. 67

3.7. Operasionalisasi Konsep……… 69

3.8. Kelemahan Penelitian...70

BAB IV PEMBAHASAN………. 71

4.1. Penyajian Data... 71

4.2. Analisis Data... 72

4.2.1. Analisis Scene Pertama ………... 73

4.2.2 Analisis Scene Kedua ………... 82

4.2.3. Analisis Scene Ketiga ………... 89

4.2.4. Analisis Scene Keempat ………... 95

4.2.5. Analisis Scene Kelima ………... 101

4.2.6. Analisis Scene Keenam ………... 108

4.2.7. Analisis Scene Ketujuh ………... 114

4.2.8. Analisis Scene Kedelapan ………...118

4.2.9. Analisis Scene Kesembilan ………... 122

4.2.10. Analisis Scene Kesepuluh ………... 127

4.2.11. Analisis Scene Kesebelasa ………...130

4.3. Uraian Analisis...133

BAB V PENUTUP………...137

5.1. Kesimpulan………..137


(5)

5

DAFTAR PUSTAKA………... 139


(6)

6

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Tiga Proses Dalam Representasi………...21

Tabel 2. 2 Teknik Dalam Pengambilan Gambar………...28

Tabel 2.3 Teknik Editing Dan Gerakan Kamera...29

Tabel 3.1 Unit Level Dan Analisis...62

Tabel 4.1 Identifikasi Iklan Garuda Indonesia Experiance...71

Tabel 4.2 Teknik Dalam Menyunting Gambar... 72

Tabel 4.3 Ikon scene Pertama... 76

Tabel 4.4 Ikon scene Kedua... 84

Tabel 4.5 Ikon scene Ketiga... 92

Tabel 4.6 Ikon scene Keempat... 97

Tabel 4.7 Ikon scene Kelima... 103

Tabel 4.8 Ikon scene Keenam...110

Tabel 4.9 Ikon scene Ketujuh... 115

Tabel 4.10 Ikon scene Kedelapan... 119

Tabel 4.11 Ikon scene Kesembilan... 123

Tabel 4.12 Ikon scene Kesepuluh...128


(7)

7

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1. Tingkatan Makna Barthes………... 15

Gambar 2. 1. Contoh Representasi Pada Seks…...……… 19

Gambar 2. 2. Gambar Elemen Makna Sausure……… 28

Gambar 2. 3. Signifikasi Dua Tahap Barthes ………... 29


(8)

2 ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes, Dengan judul Representasi citra budaya dalam iklan mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) visual kode-kode kultural, serta merujuk bahwa teks desain komunikasi visual dan penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem non kebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan, maka pendekatan semiotika sebagai sebuah metode analisis tanda guna mengupas citra budaya Indonesia berbentuk visual iklan layak diterapkan dan disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya

Penelitian akan menggunakan analisis semiotika guna menangkap makna yang terdapat dalam tanda-tanda, kode-kode kultural, serta konteks kebudayaan dimana lahir produk seperti Iklan Garuda Indonesia ini. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat menangkap representasi citra budaya Indonesia dalam iklan sebagai satu bentuk strategi periklanan dengan mengangkat karakter Indonesia dan bagaimana upaya membongkar mitos iklan tersebut.

Untuk memahami Iklan sebagai produksi tanda dan pembangunan mitos, maka digunakan analisis semiotika Roland Barthes. Penggunaan analisis semiotika Barthes adalah untuk membongkar mitos-mitos dalam iklan dengan memperlihatkan aspek kesejajaran sehingga tampak ketidakalamiahan makna yang muncul dari tanda dalam iklan.

Hasil penlitian ini menunjukkan bahwa dalam membangun suatu mitos konsumsi, iklan memanfaatkan kode kultural yang telah ada dan memanfaatkan elemen lain seperti grafis visual, narasi untuk mendukung pesan yang dibawa. Melalui bahasanya, iklan secara terus-menerus melakukan dorongan menjadi konsumen yang pasif dan kritis. Iklan memberikan pencerahan palsu kepada konsumennya sehingga konsumen semakin terdorong untuk masuk dan menjadi pembenar suatu iklan.


(9)

8 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Industri penerbangan sedang tumbuh pesat saat ini, suatu kondisi yang tidak pernah terbayangkan 10-20 tahun yang lalu saat indutri transportasi darat dan laut masih menjadi primadona dikarenakan biayanya yang murah. Saat ini dengan semakin tingginya mobilitas masyarakat untuk berpindah-pindah tempat dengan waktu yang cepat telah membawa pergeseran dalam penggunaan jasa layanan transportasi ke udara. Situasi dan kondisi yang cukup mendukung dimana industri penerbangan menjawab kebutuhan itu dengan menawarkan harga miring.

Selain itu Perkembangan perekenomian masyarakat di perkotaan membuat sarana transportasi udara menjadi salah satu pilihan utama untuk mengembangkan bisnis. Harga tiket yang cukup mahal kini bukan menjadi masalah sebab tansportasi udara bukan milik mereka yang berkantung tebal saja, harapan akan penerbangan yang terjangkau, nyaman, dan mencakup banyak rute kini bukan menjadi halangan. Banyak maskapai yang menawarkan harga murah yang bisa dijangkau hampir semua kalangan. Saat ini segmen pasar pengguna jasa maskapai penerbangan terkosentrasi pada segmen pelanjong bujet sedang tumbuh pesat didunia.

Ada berbagai alasan konsumen menggunakan jasa layanan penerbangan, mulai dari berlibur, bisnis, mengunjungi kerabat, keluarga, pulang kampung, bahkan mudik lebaran. Merupakan sebuah tambang emas bagi beberapa maskapai penerbangan untuk meraup keuntungan. Munculnya maskapai-maskapai


(10)

9

penerbangan baru dibeberapa negara khususnya Asia tenggara dimana saat ini Singapore Airlines akan segera meluncurkan maskapai bujet untuk rute jarak jauh, bersaing dengan Air Asia X dan Jetstar Airways, serta tak ikut ketinggalan maskapai penerbangan dari indonesia dimana posisi pasarnya melayani kota-kota di Asia baik domestik maupun internasional

Untuk memperoleh pasar, maka berbagai strategi promosipun dilakukan mulai dari menawarkan harga yang terendah, kemudahan memperoleh akses, sampai layanan yang full-services ditawarkan. Agar semakin efektif strategi promosi maka dihadirkan dalam bentuk iklan, salah satunya iklan televisi.

Situasi pasar yang seperti ini dibaca juga oleh industri penerbangan di indonesia, salah satunya Garuda Indonesia. Sebagai maskapai penerbangan asli Indonesia, Garuda memanfaatkan kondisi ini dengan cara beriklan di televisi, sebab sampai saat ini iklan televisi masih ampuh untuk menarik konsumen dalam menggunakan suatu produk dan jasa.

Garuda indonesia adalah maskapai penerbangan nasional indonesia. Garuda adalah nama burung mitos dalam legenda pewayangan. Garuda Indonesia telah menjadi simbol atau ikon dari negara Indonesia, dalam masyarakat modern segala sesuatu yang telah menjadi sosok jatidiri sebuah bangsa, seperti Logo maskapai penerbangan garuda yang baru merupakan penggalian karakter jatidiri bangsa indonesia. Suatu kebanggaan bagi setiap bangsa saat memiliki pesawat yang dikelola oleh negaranya sendiri.

Ada hal yang menarik sejak juni 2007, maskapai ini, bersama dengan maskapai indonesia lainnya, dilarang menerbangi rute Eropa karena alasan


(11)

10

keselamtan dimana saat itu sering terjadi kecelakaan pada maskapai penerbangan Indonesia. Namun, larangan ini di cabut di tahun 2009. Untuk memperbaiki citra dan mendapatkan konsumen kembali, maskapai penerbangan Garuda Indonesia mulai memperbaiki manajemennya dengan melengkapi seterfikasi Operational Safety Audit (IOSA) dari IATA, yang berarti Garuda telah seluruhnya memenuhi standar keselamatan penerbangan internasional. Selain itu Garuda masuk dalam daftar maskapai bintang empat dari Skytrax), yang berarti memiliki kinerja pelayanan yang bagus. Dan di tahun 2012, Garuda dijadwaalkan juga akan bergabung dengan aliansi penerbangan Sky Team.

Saat ini secara agresif Garuda Indonesia telah melakukan transformasi dengan sebuah rencana ekspansi 5 tahun yang bernama Quantum Leap yang meliputi mengubah levery maskapai, penambahan jumlah armada, peningkatan jumlah penumpang, Destinasi tujuan, seragam staf, dan logo. Upaya dalam mewujudkan Quantum Leap dilakukan dengan mengusung konsep pelayanan baru iklan “Garuda Indonesia Experince”.Untuk menghasilkan objek agar tampak lebih menarik maka objek itu di hadirkan dalam bentuk iklan.

Iklan maskapai Penerbangan “Garuda Indonesia Experince”, yang berdurasi 92 detik, menampilkan visualisasi gambar budaya indonesia termasuk berbagai aspek dari kebudayaan, masakan, dan keramahan Indonesia. Seperti Mini Nasi Tumpeng Nusantara, dan jus martebe(markisa dan terong belanda), telah menjadi tanda masakan Garuda Indonesia baru yang ditampilkan, sebab melalui iklan inilah visualisasi budaya tentang Indonesia diimajikan.


(12)

11

Pada iklan yang ditampilkan di televisi disana terlihat jelas bagaimana indonesia direpresentasikan. Pada iklan ini ada semacam bentuk positioning dan penciptaan citra. Ada semacam upaya untuk menanamkan citra merek semakin dalam melalui teknik mitologisasi. Ini adalah strategi untuk secara sengaja mengaitkan nama, logo, produk,dan komersial suatu merek dengan makna mitis tertentu. Iklan ini begitu menarik untuk diteliti guna memahami tatanan signifikasi modern dimana makna iklan dibungkus dalam tekstualitas, dan melihat sistem signifikasi dari para pembuat iklan sehingga ditafsirkan oleh banyak orang untuk memahami makna yang diperoleh.

Ketika iklan di tayangkan melalui televisi dengan menggunakan metode pengungkapan realitas sosial, maka iklan menjadi sebuah realitas yang juga digemari dan mengkonstruksi masyarakat serta tidak bisa dilepaskan dari masyarakat itu sendiri sebagai bagian yang telah terstruktur, paling tidak dalam kognisi masyarakat. Raymon Williams mengatakan Iklan bagaikan sebuah dunia magis yang dapat mengubah komoditas kedalam gemerlapan yang memikat dan mempesona. Sebuah sistem yang keluar dari imajinasi dan muncul kedalam dunia nyata (Bungin, 2008: 107).

Menciptakan suatu strategi kreatif dalam penciptaan iklan, harus memperhatikan tanda-tanda (signs), simbol-simbol (symbols), dan makna (meaning) yang mampu dipahami secara umum oleh seluruh lapisan khalayak dengan latar belakang khalayak yang bersangkutan. Suatu iklan akan menjadi menarik dan mampu hinggap di benak khalayak jika mampu menyentuh sisi nalar dan intuisi dari setiap responden disesuaikan dengan lingkungan disekitar mereka.


(13)

12

Penggunaan tanda-tanda dan simbol-simbol yang ditampilkan dalam iklan mewakili realitas sosial yang ada dalam masyarakat, iklan menjadi salah satu bentuk diskursus sosial yang paling tersebar dan menyeluruh yang pernah dibuat manusia. Pemaknaan dari audiens merefleksikan tanda dan simbol yang diterapkan oleh khalayak dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan mengambil peran yang signifikan.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Semiotika untuk melihat lebih dalam upaya untuk menggambarkan pelbagai pilihan makna yang tersedia melalui tanda-tanda yang digunakan, serta mencari makna dibalik iklan Garuda Indonesia. Untuk menunjukkan pelbagai tanda dan makna yang ada, peneliti telah mengumpulkan keseluruhan gambar, kemudian akan memilih gambar-gambar yang memiliki relevansi dan potensi cukup kuat untuk dijadikan objek penelitian, pada akhirnya gambar yang memiliki kekuatan makna akan dijadikan sebagai objek penelitian tetap. Selain itu peneliti juga akan melihat narasi dan Jingle (musik) pada iklan yang mengiringi gambar akan peneliti seleksi untuk merepresentasikan sistem signifikasi iklan yang bersangkutan dengan menggunakan pendekatan Semiologi Barthes

an Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :”Bagaimanakah representasi citra budaya Indonesia yang terdapat dalam iklan maskapai penerbangan Garuda Indonesia ?


(14)

13 1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah diperlukan agar ruang lingkup tidak terlalu luas dan permasalahan peneliti semakin jelas, terarah, dan spesifik, maka pembatasan masalah yang akan diteliti :

nelitian ini bersifat kualitatif-kritis

nelitian ini dilakukan pada iklan garuda Indonesia tahun 2010

rangkat analisis yang digunakan adalah semiologi Roland Barthes signifikasi dua tahap (two order of signification); denotasi, konotasi, dan mitologi.

1.4 Tujuan Penelitian Manfaat penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi citra budaya indonesia pada iklan garuda indonesia

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembungkusan makna di balik tektualitas iklan garuda indonesia

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Sistem Signifikasi makna yang diciptakan oleh kreator iklan.


(15)

14

1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasnah penelitian tentang ilmu komunikasi, khususnya tentang analisis semiotika

2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis dan dapat memahami makna dan tanda yang disampaikan dalam sebuah iklan

3. Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi sumbangsih kepada Departemen Ilmu Komunikasi Fisip USU, guna memperkaya bahan rujukan penelitian dan sumber bacaan.

1.5 Kerangka Teori

Dalam suatu penelitian teori berperan untuk mendorong pemecahan suatu permasalahan dengan jelas dan sistematis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pengertian teori yakni serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antar konsep (Singarimbun, 1995:37).

Sedangkan Kerlinger menjabarkan pengertian teori sebagai suatu himpunan constuct (konsep) defenisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel untuk menjelaskan gejala tersebut (Rakhmat, 2004 : 6).

Adapun teori-teori yang relevan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1.5.1 Representasi

Representasi merupakan bentuk konkret (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, dsb


(16)

15

yang mewakili ide, emosi fakta dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau sitem tekstual secara timbal balik. Hal ini melalui fungsi tanda ‘mewakili’ yang kita tahu dan mempelajari realitas. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontreversial-sebagai contoh, bagaimana hujan direpresentasikan dalam film, karena sebenarnya hujan sulit ditangkap oleh mata kamera dan susah diproduksi.

Beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik sebagai contoh : gender, bangsa usia, kelas, dst. Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa daripada yang lain, ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan dalam percakapan sehari-hari. Pada faktanya seperti yang dikemukakan Dyer (2009:266) bagaimana ‘kita terlihat menentukan sebagian bagaimana kita diperlakukan; bagaimana kita memperlakukan orang lain didasarkan bagaimana kita melihat mereka (dan) penglihatan semacam itu datang dari representasi’. Selanjutnya, bagaimana cara representasi diatur melalui pelbagai macam media, genre, dan dalam pelbagai macam wacana memerlukan perhatian menyeluruh.

Budaya

Kroeber dan Klukohn (1950) mengajukan konsep kebudayaan sebagai kupasan kritis dari definisi-definisi kebudayaan (konsensus) yang mendekati. Definisinya adalah : Kebudayaan terdiiri atas berbagai pola, bertingkah laku


(17)

16

mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang menyususun pencapaiannya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk didalamnya perwujudan benda-benda materi; pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paham, dan terutama keterikatan terhadap nilai-nilai (Soelaeman,2007:21).

Pergeseran kebudayaan manusia terus berlanjut. Gagasan-gagasan kebudayaan terus diciptakan. Pergerakan kebudayaan yang berpusat pada perkataan ke gagasan kebudayaan yang berpusat pada citra atau bentuk visual, tidak bisa dihindari lagi.

ika

Seorang pakar semiotika kontemporer Umberto Eco memberikan definisi tentang semiotika. Bahwa disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang bisa dipkai untuk berbohong, karena jika sesuatu tidak bisa dipakai untuk berbohong, sebaliknya itu tidak bisa dipakai untuk apapun juga (Denesi, 2010:33).

Charles Saunders Peirce, yang dianggap sebagai pendiri semiotika modern. Ia mendefinisikan semiotika sebagai hubungan antara tanda (simbol), objek, dan makna (Morissan, 2009: 28). Tanda mewakili objek (referent) yang ada di dalam pikiran orang yang meninterpretasikan (interpreter). Peirce menyatakan bahwa representasi dari suatu objek disebut dengan interpretant.

Bagi Pierce, tanda “is something whichstands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant.


(18)

17

Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground baginya menjadi qualisgn, sinsign dan lesign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, lemah, lembut, merdu. Sinsign adalah eksitensi aktual atau benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Lesign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia (Sobur, 2004:41).

Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. (Wibowo, 2011 : 4)

1) Sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) : suatu cabang penyelidikan semiotika mengkaji “hubungan-hubungan formal diantara satu tanda-tanda yang lain”. Dengan begitu hubungan-hubungan formal ini merupaakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengertian sintaktik kurang lebih adalah semacam gramatika.

2) Semantik (semantics): suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “ hubungan di antara tandaa-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu


(19)

18

3) Paragmatik (pragmatics) : Suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda interpreter-interpreter atau para pemakainya”-pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.

1.5.4 Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang lebih luas, yang melibatkan pelbagai elemen komunikasi, seperti saluran (channel), sinyal (signal), media, pesan, kode (bahkan juga (noise). ‘semiotika komunikasi’ menekankan aspek ‘produksi tanda’ (sign production) di dalam pelbagai rantai komunikasi, saluran, dan media ketimbang ‘sistem tanda’ (sign system). Didalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran penting dalam penyampaian pesan.

Dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sebuah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni. Di dalam sistem semiotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’, yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (messaege) dari sebuah pengirim pesan (sender) kepadaa penerima (receiver) tanda berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu. Fungsi komunikasi mengharuskan ada relasi (satu atau dua arah) antara pengirim dan penerima pesan, yang dimediasi oleh media tertentu. (Tinarbuko, 2010:xi).


(20)

19

Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi, tetapi bentuk-bentuk komunikasi visual juga mempunyai fungsi signifikasi (signification), yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep isi, atau makna. Fungsi signifikasi ini bersifat konkret dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna,yang secara umum disebut petanda (signified).

1.5.5 Semiologi Roland Barthes

Roland barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (stanggered systems), yang memungkinkan untuk di hasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu dengan denotasi (denotation) dan konotasi (conotation).

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda daan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna ekplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalaam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah SBY berarti wajah SBY yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.

Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda atau petanda, yang didalamnya beroperasi makna tidak ekplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan ‘kasih sayang’ atau tanda tengkorak mengkonotasikan ‘bahaya’. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang


(21)

20

bersifat implisist, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (connotative meaning).

Selain itu, Roland Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitoas dalam pemahaman semiotika barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial ( yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.

1.5.6 Iklan

Iklan adalah bagian penting dari serangkaian kegiatan mempromosikan produk yang menekankan unsur citra. Dengan demikian, objek iklan tidak sekedar tampil dalam wajah utuh, akan tetapi melalui proses penciotraan, sehingga citra produk lebih mendominasi bila dibandingkan produk itu sendiri. Pada proses ini cita produk di ubah menjadi citra produk (Bungin, 2008:79).

Iklan dikategorisasikan sebagai iklan nonkomersial dan iklan komersial. Iklan nonkomersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri. Sehingga terbentuk image, semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut (Bungin,2008:65). Hant dan Seldon mengatakan, periklanan komersial sebagai media publik, dibuat dengan informasi dan promosi penjualan untuk tujuan pasar.


(22)

21

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi,1995:40). Dalam penelitian ini kerangka konsep yang digunakan yaitu analisis Semiologi Roland Barthes.

Salah seorang ahli teori kunci semiotika, Roland Barthes, mengembangkan gagasan-gagasan Saussure dan mencoba menerapakan kajian tanda-tanda secara lebih luas lagi (1967). Melalui sebuah karier yang produktif dan menggairahkan dalam banyak fase budaya, barthes memasukkan fesyen (1990), fotografi (1984) sastra (1987), majalah, dan musik diantara sekian banyak minatnya (1973;1984). Salah satu keasyikan utamanya adalah “bagaimana makna masuk kedalamcitra/image” (Barthes, 1984:32). Dan itulah kunci menuju semiotika : tentang bagaimana pencipta sebuah citra membuatnya bermakna sesuatu dengan bagaimana kita, sebagai pembaca, mendapatkan maknanya. (Stokes, 2006:76)

Roland barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan (stanggered systems), yang memungkinkan untuk di hasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu dengan denotasi (denotation) dan konotasi (conotation).

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda daan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna ekplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalaam hal ini, adalah makna pada apa yang tampak. Misalnya, foto wajah SBY berarti wajah SBY yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi.


(23)

22

Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda atau petanda, yang didalamnya beroperasi makna tidak ekplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda bunga mengkonotasikan ‘kasih sayang’ atau tanda tengkorak mengkonotasikan ‘bahaya’. Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisist, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (connotative meaning).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama (Sobur,2004:69).

Berbagai tingkatan pertandaan ini sangat penting dalam penelitian desain, karena dapat digunakan sebagai model dalam membongkar makna desain (iklan, produk , interior, fesyen) yang berkaitan secara implisist dengan nilai-nilai ideologi, budaya, moral, spritual. Tingkatan tanda dan makna barthes ini dapat digambarkan sebagai berikut :


(24)

23 I.7 Operasional Konsep

1. Tanda

Tanda itu adalah keseluruhan yang dihasilkan antara penanda atau petanda, tanda harus memiliki baik signifier dan signified. Tanda adalah juga parole yang membawa pesan. Parole dapat berbentuk lisan, tulisan atau representasi lain, misalnya wacana tulis, iklan foto, film, sport, tontonan, dan lain-lain. (Christomy, 2004:269).

Secara figuratif, tanda memberi kita kesempatan untuk membawa dunia sekitar kita di dalam pikiran kita. Akan tetapi, ini bukan dunia yang sebenarnya; ini adalah dunia mental yang menjadi kenyataan oleh lingkup referen di batasi oleh tanda.

2. Denotasi

Denotasi memiliki makna yang bersifat secara langsung, yaitu makna khusus yang terdapat pada tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran petanda.makna ini didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; memiliki sifat objektif

3. Konotasi

Konotasi diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada


(25)

24

pembicara dan pendengar selain itu juga memiliki makna subjektif dan berhubungan dengan emosional.

4. Mitos

Mitos berasal dari kata bahasa Yunani mythos yang artinya’ kata-kata’, ‘wicara’, ‘kisah tentang para dewa’. Ini bisa didefinisikan sebagai narasi yang didalmnya karakter-karakternya adalah para dewa, pahlawan, dan makhluk-makluk mitis, dengan plotnya adalah tentang asal usul segala sesuatu atau tentang peristiwa metafisis yang berlangsung didalam kehidupan manusia, dan disini setting-nya adalahpenggabungan dunia metafisis dengan dunia nyata. Dalam tahap-tahap awal budaya manusia, mitos berfungsi sebagai ‘teori narasi’ yang asli tentang dunia. Itulah sebabnya semua budaya menciptakan kisah ini untuk menjelaskan asal-usulnya.(Danesi,2010:56)

Barthes berpendapat bahwa dalam mitos ada dua sistem semiologis yaitu satu sistem bahasa, yang disebut bahasa-objek, yang dipakai oleh mitos untuk membentuk sistemnya sendiri, yang merupakan metabahasa, karena merupakan bahasa kedua yang “membicarakan” (dibuat atas dasar) yang pertama. Mitos tidak mempertanyakan lagi susunan bahasa-objek atau mempermasalahkan unsur-unsur kebahasaabya, melainkan hanya tanda globalnya (Cristomy, 2004: 269). Joseph campbell (1904-1987) memaparkan Mitos menjelaskan dunia dalam pelbagai cara yang terus dipahami secara intuitif oleh semua orang, tanpa melihat tingkat kemelekhurufan dan kecanggihan teknologi yang mereka miliki.


(26)

25 BAB II

URAIAN TEORITIS 2.1 Representasi

Menurut David Croteau dan William Hoynes, representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan dan pencapaian tujuan-tujuan komunikasi ideologisnya itu yang digunakan sementaran tanda-tanda lain diabaikan.

Marcel Danesi mendefinisikan representasi sebagai, proses perekaman gagasan, pengetahuan, atau pesan secara fisik. Secara lebih tepat dapat diidefinisikan sebagai penggunaan ‘tanda-tanda’ (gambar, suara, dan sebagainya) untuk menampilkan ulang sesuatu yang diserap, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik. Didalam semiotika dinyatakan bahwa bentuk fisik sebuah representasi, yaitu X, pada umumnya disebut sebagai penanda. Makna yang dibangkitkannya (baik itu jelas maupun tidak), yaitu Y, pada umumnya dinamakan petanda; dan makna secara potensial bisa diambil dari representasi ini (X = Y) dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai signifikasi (sistem penandaan).

Hal ini bisa dicirikan sebagai proses membangun suatu bentuk X dalam rangka mengarahkan perhatian sesuatu, Y, yang ada baik dalam bentuk material maupun konseptual, dengan cara tertentu, yaitu X = Y. Meskipun demikian, upaya menggambarkan arti X = Y bukan suatu hal yang mudah. Maksud dari pembuat


(27)

26

bentuk, konteks historis dan sosial yang terkait dengan terbuatnya bentuk ini, tujuan pembuatannya, dan seterusnya merupakan faktor-faktor kompleks yang memasuki gambaran tersebut. Agar tugas ini bisa dilakukan secara sistematis, terbentuklah disini suatu terminologi yang khas ( Danesi, 2010: 3-4).

Kita dapat mengambil contoh seperti proses yang dilakukan dalam merepresentasikan seks bisa dirangkum dalam diagram dibawah ini. Untuk menunjukkan pelbagai penanda dan petanda yang ada didalam masing-masing representasi ini, dipakai subskrip dalam bentuk angka. Meskipun demikian, ini bukanlah praktik standar dalam semiotika; hal ini dipakai di sini untuk memberikan kejelasan saja.

Gambar 2.1 Contoh Representasi pada Seks

Referen Penanda Petanda Signifikasi

X = Y potret (=X ) Y

Seks X = Y puisi (=X ) Y

X = Y film (= X )

Y

Di sini tidak ada cara untuk menentukan hal menjadi petanda atau meramalkan signifikasi mana yang akan diterapkan untuk bisa menggambarkan secara tepat representasi (X = Y) seperti apa yang berlaku pada satu kelompok orang tertentu. Meskipun demikian, proses penurunan makna dari representasi tertentu bukan merupakan proses terbuka karena dibatasi oleh konvensi sosial, pengalaman komunal, serta banyak hal faktor kontekstual yang membatasi pelbagai pilihan makna yang mungkin berlaku pada pilihan tertentu. Analisis


(28)

27

semiotika adalah upaya menggambarkan pelbagai pilihan makna yang tersedia. Danesi mencontohkan representasi dengan sebuah konstruksi X yang dapat mewakilkan atau memberikan suatu bentuk kepada suatu materil atau konsep tentang Y. (Wibowo, 2010: 122).

Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang ‘sesuatu ‘ yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, ‘bahasa’ yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam ‘bahasa’ yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu. Media sebagai suatu teks banyak menebarkan bentuk-bentuk representasi pada isinya. Representasi dalam media menunjuk Pada bagaimana seseorang atau suatu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan.

Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain di luar pemberitaan intinya bahwa sama dengan berita, iklan juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi melalui tabel dibawah ini.


(29)

28

Tabel 2.1 Tiga Proses Dalam Representasi1 PERTAMA REALITAS

(Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik dan sebagainya.

KEDUA REPRESENTASI

Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya, dan lain-lain). Elemen-elemen tersebut di transmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan diantaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog, dan lain lain)

KETIGA IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koheransi dan kode ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.

Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan.

1 

Wibowo, Semiotika komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi (Jakarta:  Mitra Wacana Media,2011), hal.123 


(30)

29

Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat-perangkat teknis seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi, dan lain-lain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi sendiri bisa berubah-ubah, selalu ada pemaknaan baru. Representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah -ubah. Setiap waktu terjadi proses negoisasi dalam pemaknaan.

Jadi representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakn suatu proses usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru , juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia, melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini menjadi proses penandaan, praktik yang membuat suatu hal bermakna sesuatu.


(31)

30

Menurut Koentjaraningrat (1980), kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Sedangkan kata “budaya” merupakan perkembangan majemuk dari “budi daya” yang berarti “daya dari budi” sehingga dibedakan antara “budaya” yang bearti “ daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, dengan “kebudayaan” yang berarti hasil dari cipta, karsa dan rasa. Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, kebudayaan dan budaya itu artinya sama saja. Menganalisis konsep kebudayaan perlu dilakukan dengan pendekatan dimensi wujud dan isi dari wujud kebudayaan (Sulaeman 2007:22).

Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai : (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu mendefinisikan dunia mereka, mengekpresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan, (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi (Saifuddin, 2005:289).

Simbol-simbol yang melekat pada suatu kebudayaan merupakan wahana dari konsepsi, hasilnya berupa unsur-unsur intelektual dalam proses sosial. Dan


(32)

31

preposisi-preposisi kebudayaan dapat mengartikulasikan dunia sebagai suatu simbol, proposisi-proposisi ini juga memberikan pedoman bagi perilaku.

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Bentuk primer dari simbolisasi oleh manusia adalah melalui bahasa. Tetapi, manusia juga berkomunikasi dengan menggunakan tanda dan simbol dalam lukisan, tarian, musik, arsitektur, mimik wajah, gerak-gerik, postur tubuh, perhiasan, pakaian, ritus agama, kekerabatan, nasionalitas, tata ruang, pemilikan barang, dan banyak lagi lainnya. Manusia dapat memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan, dan emosi. Persepsi tentang penggunaan simbol sebagai salah satu ciri signifikan manusia menjadi sasaran penting kijian-kajian kebudayaan.

Leslie white (1940), dalam suatu tulisan tentang manusia sebagai spesies yang mampu menggunakan simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol. Ernest Cassier (1944) berpendapat bahwa tanpa suatu kompleks simbol, pikiran rasional tidak akan mungkin terjadi. Manusia memiliki kemampuan untuk mengisolasi hubungan hubungan dan mengembangkannya dalam abstrak. Cassirer menunjuk geometrik sebagai suatu contoh klasik. Geometrik secara konseptual berkaitan dengan hubungan-hubungan spasial yang ekspresinya adalah bahasa simbolik dan suatu bentuk representasi. Cassirer mengekpresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai berikut : “ Manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup dalam semesta simbolik. Bahasa, mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari


(33)

32

semesta itu bagaikan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring-jaring simbolik. Semua kemajuan manusia dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus dan memperkuat jaring-jaring ini”.

Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai pengkhasann sesuatu yang lain yang mengandung kualitas-kualitas analisis logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran atau fakta. Simbol pohon mudyi pada orang Ndembu, Zambia, Afrika, dari Victor Turner (1967) adalah salah satu contoh yang penting. Suatu simbol menstimulasi atau membawa pesan yang mendorong atau tindakan. Simbol memberikan landasan bagi tindakan perilaku selain gagasan dan nilai-nilai. Teori simbolik mengenai kebudayaan yang berlandaskan pandangan bahwa manusia adalah spesies yang memproduksi. Kedua model ini mengaku eksitensi aspek materi maupun aspek mental dari keberadaan manusia, tetapi masing-masing model memandang satu sama lain dari perspektifnya sendiri. Definisi simbolik dari kebudayaan adalah bagian dari suatu tren yang memandang kebudayaan sebagai ilmu mengenai makna-makna, sebab seluruh semesta dipenuhi oleh tanda-tanda.

Sebagian besar pengetahuan, pikiran, perasaan, dan persepsi manusia terkandung dalam bahasa suatu simbol. Kata-kata mengandung makna atau nama yang menggolong-golongkan objek dan pikiran. Simbol-simbol kata, bahasa, sesuai bagi suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Dalam perspektif simbolik, kebudayaan adalah aspek yang bermakna mengenai realitas konkret atau realitas objektif dan yang akan datang (coming-to-be), kesesuaian dengan kesadaran, dari realitas objektif (Saifuddin, 2005:292).


(34)

33

Dimana saja sistem simbol adalah pedoman bagi tindakan, sistem ini bekerja dalam konteks sosial. Konteks sosial ini memberikan suatu simbol atau tanda makna spesifik, karena suatu simbol atau tanda dapat memiliki suatu makna spesifik, karena suatu simbol atau tanda dapat memiliki satu makna dalam konteks sosial dan makna lain dalam konteks yang berbeda pula. Kata ayah memiliki satu makna dalam struktur kekerabatan dan berbeda maknanya dalam konteks struktur agama Katolik. Kata ayah yang diterjemahkan dari kata bahasa Inggris father, telah menghilangkan makna keagamaan father bagi penganut Katolik. Yang berarti pemimpin agama Katolik, meskipun sehari-hari kata father juga berarti sama dengan ayah dalam bahasa indonesia.

Masyarakat adalah hasil dari perilaku dan tindakan orang-orang yang saling terjalin satu sama lain yang menempati batas-batas dan konteks sosial yang berbeda-beda, dan kerap kali secara simultan. Konteks itu mungkin tempat, organisasi, suku bangsa, kelompok kekerabatan, institusi, usia, kelompok pekerjaan atau jenis kelamin, atau dimensi sosial lainnya yang mendefinisikan, mengatur, dan menentukan batas-batas penggunaan perilaku . Tanda dan simbol bersama-sama menentukan manusia dalam gerakannya. Dalam pandangan simbolik, kombinasi tanda, simbol, dan konteks memberikan makna dan interpretasi bagi tindakan dan perilaku manusia. Manusia harus memiliki konsep tertentu mengenai apa yang diyakini oleh orang lain dalam komunitas mereka, pengharapan tertentu terhadap apa baraangkali respons orang lain, dan orang lain terhadap mereka, sehingga mereka mampu berinteraksi dan berkomunikasi. Jika komunikasi adalah sine qua non dari masyarakat manusia, simbolisasi (istilah


(35)

34

leslie White), penandaan dan pembawa makna bagi pikiran dan tindakan, adalah apa yang disebut kebudayaan.

2.3 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang bearti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya-dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandaai adanya api, sirine mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5).

Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas dan objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/ wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic .

Konteks semiotik yang paling penting dalam pemikiran Saussure adalah pandangan mengenai tanda. Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan pemilihan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi dari sekeping mata uang atau selembar kertas. Tanda bahasa dengan demikian menyatukan,


(36)

35

bukan hal dengan nama, melainkan konsep dan gambaran akustis. Sausure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut :

Gambar 2.2 Elemen-Elemen Makna Saussure2

Sign

Composed Of

signification

Signifier plus Signified external reality (physical (mental concept) Of meaning

existence of the sign)

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur, 2004:125).

Salah seorang pengikut Saussure, Roland Barthes, membuat sebuah model sistematis dalam menganalisa makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti terlihat pada gambar.

2


(37)

36

Gambar 2. 3 Signifikasi Dua Tahap Barthes3

First Order Second order

Reality Sign Culture

Form Content

Melalui gambar 3.4 ini Barthes, seperti dikutip Fiske, menjelaskan: signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata-kata kadang

3

 Ibid hal 127  Denotation

Signifier ---

Signified

Connotation


(38)

37

merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan terhadap sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.

Charles Morris memudahkan kita memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut dia, kajian semiotika pada dasarnya dapat di bedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik, dan pragmatik. (Indiwan, 2011 : 4).

1. Semantik

Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu ‘dunia benda (world of Things) dan dunia tanda dan menjelaskan hubungan keduanya. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morissan, 2009: 29).

Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah‘semaino’ yang berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique).


(39)

38

Menurut Ferdinan de Saussure (1966), melihat semiotika melalui sudut pandang lingustik yang terdiri dari : 1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa. 2) Komponen yang diartikan atau makna dari komponen pertama4.

Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adaah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent / acuan / hal yang ditunjuk.

Jadi, Ilmu Semantik adalah :

- Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang

ditandainya.

- Ilmu tentang makna atau arti

Semantik mengacu pada makna dari sebuah tanda. Sebagai contoh, dua jari dipasangkan di belakang kepala seseorang adalah sebuah cara untuk memanggilnya seorang “setan”.

Dalam analisis semantik, bahasa bersifat unik dan memiliki hubungan yang erat dengan budaya masyarakat penuturnya. Maka, suatu hasil analisis pada suatu bahasa, tidak dapat digunakan untuk menganalisi bahasa lain. Contohnya

4

http://www.scribd.com/doc/4634605/Pengertian-Semantik,10:22/29/07/2011)


(40)

39

penutur bahasa Inggris yang menggunakan kata ‘rice’ pada bahasa Inggris yang mewakili nasi, beras, gabah dan padi. Kata ‘rice’ akan memiliki makna yang berbeda dalam masing-masing konteks yang berbeda. Dapat bermakna nasi, beras, gabah, atau padi. Tentu saja penutur bahasa Inggris hanya mengenal ‘rice’ untuk menyebut nasi, beras, gabah, dan padi. Itu dikarenakan mereka tidak memiliki budaya mengolah padi, gabah, beras dan nasi, seperti bangsa Indonesia.

Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu penanda dan referent-nya memiliki hubungan satu lawan satu. Yang artinya, setiap tanda lingustik tidak selalu hanya memiliki satu makna. Adakalanya, satu tanda lingustik memiliki dua acuan atau lebih. Dan sebaliknya, dua tanda lingustik, dapat memiliki satu acuan yang sama.

Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan contoh-contoh berikut :

Racun Bisa

Dapat

Buku

Lembar kertas berjilid Kitab


(41)

40 ,

2. Sintaktik

Sintaktik (syntactics) yaitu studi mengenai hubungan di antara tanda. Dalam hal ini, tanda tidak pernah mewakili dirinya, tanda adalah selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini disebut kode (code). Kode dikelola dalam berbagai aturan. Dengan demikian, tanda yang berbeda mengacu atau menunjukkan benda berbeda dan tanda digunakan bersama-sama melalui cara-cara yang diperbolehkan (Morissan, 2009:30).

Tanda-tanda tersebut disusun kedalam sistem dengan tanda lainnya. Sebagai contoh, seseorang mungkin menyimpan dua buah jarinya di belakang kepala seseorang, tertawa dan berkata “mengejek Anda!” Hal tersebut adalah sebuah gerak tubuh, sebuah tanda suara (tertawa), ekspresi wajah, dan bahasa bersatu untuk menciptakan makna. Menurut pandangan semiotika tanda selalu dipahami dalam hubungannya dengan tanda lainnya.

Sintaksis semiotis menganalisis hubungan antartanda. Dalam suatu sistem yang sama, sintaksis semiotis tidak dapat membatasi diri dengan hanya mempelajari hubungan antar tanda, tetapi harus melihat hubungan-hubungan lain yang pada prinsipnya bekerja sama.

Dalam situasi pembicaraan biasa tanda-tanda dari berbagai sistem tanda berfungsi secara bersama-sama, sistem tanda bahasa berdampingan dengan sistem


(42)

41

tanda paralinguistik (getaran suara, intonasi) dan yang lain (gerak, sikap, pancaran mata, mimik, jarak,dll).

Pragmatik yaitu bidang yang mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia atau dengan kata laian, pragmatik adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi pemahaman (understanding) atau kesalahpahaman (misunderstanding) dalam berkomunikasi.

Pragmatik mengacu pada pengaruh atau perilaku yang dimunculkan oleh sebuah tanda atau sekelompok tanda tanda, seperti ketika tanda “setan” dianggap sebuah lelucon daripada sebuah penghinaan.

Dari perspektif semiotika, kita harus memiliki pengertian sama, tidak saja terhadap setiap kata dan tatabahasa yang digunakan, tetapi juga masyarakat dan kebudayaan yang melatarbelakanginya, agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik. Sistem hubungan diantara tanda harus memungkinkan komunikator untuk mengacu pada sesuatu yang sama. Kita harus memiliki kesatuan rasa (sense of coherance) terhadap pesan. Jika tidak, maka tidak akan ada pengertian komunikasi. Kita juga harus memastikan bahwa apabila kita menggunakan aturan tata bahasa, maka mereka yang menerima pesan kita juga harus memiliki pemahaman yang sama terhadap tata bahasa yang kita gunakan. Dengan


(43)

42

demikian, makna yang kita maksudkan, people can communicateif they share meaning (orang hanya dapat berkomunikasi jika mereka melihat makna yang sama) (Morissan, 2009:30).

Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai (user atau interpreter ), menjadi bagian dari sistem semiotik sehingga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya.Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Sehubungan dengan itu Abrams (1981: 171) mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the under lying system of language,not on the parol. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa

2.4 Semiotika Komunikasi Visual

Semiotika komunikasi visual diperlukan untuk mengkaji tanda verbal (judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual). Desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Diharapkan pisau analisis semiotika visual mampu menjadi salah satu pendekatan untuk memperoleh makna yang terkandung dibalik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual (Tinarbuko, 2010: 9).

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar


(44)

43

(ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan lay-out. Semua itu dilakuakan guna menyampaikan pesan secara visual, audio, dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju.

1 Tipografi

Tipografi dalam konteks komunikasi visual mencakup pemilihan bentuk huruf; besar huruf; cara dan teknik penyusunan huruf menjadi kata atau kalimat yang sesuai dengan karakter pesan (sosial atau komersial) yang ingin disampaikan (Tinarbuko, 2010:25).

Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau terget sasaran.

Tipografi dalam hal ini adalah seni memilih dan menata huruf untuk pelbagai kepentingan menyampaikan informasi berbentuk pesan sosial ataupun komersial. Dewasa ini, perkembangan tipografi banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital.

Huruf yang telah disusun secara tipografis merupakan elemen dasar dalam membentuk sebuah tampilan desain komunikasi visual. Hal ini diyakini dapat memberikan inspirasi untuk membuat suatu komposisi yang menarik. sedangkan bentuk-bentuk tipografi itu sendiri dapat dipergunakan secara terpisah atau dapat pula dikomposisikan dengan materi lain seperti ilustrasi hand drawing ataupun image.


(45)

44

Dalam perkembanganya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf tersebut sejatinya merupakan hasil perkawinan silang lima jenis huruf berikut ini :

1) Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan antara tebal-tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip pada setiap batang hurufnya.

2) Huruf egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus atau kaku.

3) Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak mempunyai kaki atau kait.

4) Huruf miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.

5) Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan bersifat spontan.

Sementara itu, Danton Sihombing (2001: 96) mengelompokkan keluarga huruf berdasarkan latar belakang sejarahnya :

1) Old Style, jenis huruf ini meliputi : Bembo, Caslon, Galliard, Garamond.

2) Transitional, jenis huruf ini meliputi : baskerville, Perpetua, Times New Roman.

3) Modern, jenis huruf ini meliputi : Bodoni


(46)

45

5) Sans Serif, jenis huruf ini meliputi : Franklin Gothic, Futura, Gill Sans, Optima.

Huruf-huruf tertentu dalam melakukan aktivitas perancangan. Ia harus menjadikan rangkaian huruf (kata atau kalimat) tidak sekedar bisa dibaca dan dimengerti maknanya. Tetapi lebih dari itu, seorang desainer komunikasi visual harus piawai menampilkan tipografi yang enak dipandang mata dan lebih melancarkan pembaca dalam memahami media komunikasi visual. Dengan demikian, keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting. Sebab, perencanaan dan pemilihan tipografi yang tepat, baik ukuran, warna, maupun bentuk, diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal desain komunikasi visual tersebut.

Dalam social Communication seperti dikutip Bebe Indah Maryam, ada beberapa faktor yang mempengaruhi mudah tidaknya ketersampaian sebuah pesan verbal yang terkandung dalam karya desain komunikasi visual, diantaranya: pertama, latar belakang, yakni warna dasar dan tekstur yang digunakan. Teks menjadi unsur utama dari sebuah pesan verbal akan terlihat jelas manakala keberadaan warna huruf dan latarnya cukup kontras

Kedua, besar huruf yang digunakan. Ukuran standar teks adalah antara 6 sampai 10 point, tergantung luas ruangan yang tersedia dan banyak sedikitnya teks yang akan ditampilkan, juga menyesuaikan keluarga huruf yang ingin ditampilkan.

Selain itu, Danton Sihombing (2001:28) mengingatkan, keluarga huruf terdiri dari kembangan yang berakar dari struktur bentuk dasar (regular) sebuah


(47)

46

alfabet dan setiap perubahan huruf masih memiliki kesinambungan bentuk. Perbedaan tampilan yang pokok dalam keluarga huruf dibagi menjadi tiga bentuk pengembangan : (1)kelompok berat terdiri atas light, regular, dan bold. (2) Kelompok proporsi condesed, regular, dan extended. (3) kelompok kemiringan yaitu italic.Ketiga, spasi antarhuruf, kata, maupun jarak antar baris kalimat. Keempat, faktor-faktor subjektif seperti jarak baca maupun kualitas penerangan ketika membaca.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka ketika desainer komunikasi visual mahir mengusai tipografi yang dipergunakan untuk menyampaikan informasi yang bersifat sosial ataupun komersial, maka sejatinya sang desainer tersebut mampu memposisikan dirinya sebagai kurir komunikasi (visual) yang bertanggung jawab kepada masyarakat luas yang dijadikan target .

2 Komposisi Warna

Bagi yang ingin mendesain sebuah gambar visual tidak terlepas dari artistik, desain, warna serta tema dari gambar yang ingin di buat. Berikut pemaknaan yang akan dideskripsikan sebagaimana yang diungkapkan Barker (1954) dalam Mulyana :

1. Merah,

Melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. Warna ini dapat menyampaikan kecenderungan untuk menampilkan gambar dan teks secara lebih besar dan dekat. warna merah dapat


(48)

47

mengganggu apabila digunakan pada ukuran yang besar. Merah cocok untuk tema yang menunjukkan keberanian seseorang. energi misal mobil, kendaraan bermotor, olahraga dan permainan.

2. Putih.

Menunjukkan kedamaian, Permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewaan, keperawanan atau kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, takbersalah, keamanan, persatuan. Warna putih sangat bagus untuk menampilkan atau menekankan warna lain serta memberi kesan kesederhanaan dan kebersihan.

3. Hitam.

Melambangkan perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidak bahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu yang melanggar (underground), modern music, harga diri, anti kemapanan. Sangat tepat untuk menambahkan kesan misteri. latar belakang warna hitam dapat menampilkan perspektif dan kedalaman. Sangat bagus untuk menampilkan karya seni atau fotografi karena membantu penekanan pada warna-warna lain.

4. Biru.

Memberikan kesan Komunikasi, Peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut, kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan,


(49)

48

kekuatan dari adlam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi, idealisme, persahabatan dan harmoni, kasih sayang. Warna ini memberi kesan tenang dan menekankan keinginan. Biru tidak meminta mata untuk memperhatikan. Obyek dan gambar biru pada dasarnya dapat menciptakan perasaan yang dingin dan tenang. Warna Biru juga dapat menampilkan kekuatan teknologi, kebersihan, udara, air dan kedalaman laut. Selain itu, jika digabungkan dengan warna merah dan kuning dapat memberikan kesan kepercayaan dan kesehatan.

5. Hijau

Menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban, tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi, pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan. Dapat digunakan untuk relaksasi, menetralisir mata, memenangkan pikiran, merangsang kreatifitas.

6. Kuning

Merujuk pada matahari, ingatan, imajinasi logis, energi sosial, kerjasama, kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, tekanan mental, persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan, penipuan, kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi, harapan, musim panas, filosofi, ketidakpastian,resah dan curiga. Warna kuning merangsang aktivitas mental dan menarik perhatian, Sangat efektif digunakan pada blogsite yang menekankan pada perasaan bahagia dan kekanakan.


(50)

49 7. Merah Muda

Warna Merah Muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta, persahabatan, feminin, kepercayaan, niat baik, pengobatan emosi, damai, perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah.

8. Ungu

Menunjukkan pengaruh, pandangan ketiga, kekuatan spiritual, pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, kebangsawanan, upacara, misteri, pencerahan, telepati, empati, arogan, intuisi, kepercayaan yang dalam, ambisi, magic atau keajaiban, harga diri.

9. Orange

Menunjukkan kehangatan, antusiasme, persahabatan, pencapaian bisnis, karier, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, sesuatu yang tumbuh, ketertarikan, independensi. Pada Blog dapat meningkatkan aktifitas mental. Disamping itu warna Orange memberi kesan yang kuat pada elemen yang dianggap penting.

10. Coklat

Menunjukkan Persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras. Warna coklat sangat tidak menarik apabila digunakan tanpa tambahan


(51)

50

gambar dan ornamen tertentu, coklat harus didukung ornament lain agar menarik.

11. Abu-Abu

Mencerminkan keamanan, kepandaian, tenang dan serius, kesederhanaan, kedewasaaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, profesional, kualitas, diam, tenang.

12. Emas

Mencerminkan prestis (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan, kebijakan, arti, tujuan, pencarian kedalam hati, kekuatan mistis, ilmu pengetahuan, perasaan kagum, konsentrasi

3 Teknik Pengambilan Gambar

Dalam analisis visual gambar menjadi suatu elemen terpenting yang menjadikannya bermakna, Ada dua aspek yang difokuskan dalam menganalisis iklan yakni aspek visual yang berupa ekspresi para tokoh, cara pengambilan gambar dan setting. Kedua aspek audio yang berupa narasi, gaya bahasa dan pilihan kata yang ada pada iklan.

Konsep pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera yang dijelaskan oleh Asa Berger. Cara pengambilan gambar dalam penelitian ini dapat


(52)

51

berfungsi sebagai penanda. Konsep cara pengambilan gambar, teknik editing dan pergerakan kamera dapat digambarkan sebagai berikut 5 :

Tabel 2.2 Teknik Dalam Pengambilan Gambar6

PENANDA (SIGNIFIER) MENANDAKAN (SIGNIFIED)

PENGAMBILAN GAMBAR

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, moment penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks Perbedaan dengan publik

SUDUT PANDANG (Angle) Pengambilan Gambar:

High Dominasi, Kekuasaan dan otoritas

Eye-Level Kesejajaran, keamanan dan sederajat

Low Didominasi, dikuasai dan kurang

otoritas TIPE LENSA

Wide Angle Dramatis

Normal Normalitas dan keseharian

Telephoto Tidak personal, Voyeuristik

FOKUS

Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu objek)

Soft Focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat secara keseluruhan objek)

PENCAHAYAAN

High Key Riang dan Cerah

Low Key Suram dan Muram

High Contrast Dramatikal dan teartikal 5 ( http://www.scribd.com/doc/53188290/6/CONNOTATIVE-SIGN-TANDA-KONOTATIF11:06/10/08/2011)   6

Sumber : Selby, keith dan Codery, Ron, How to Study Television”, London, Mc Millisan, 1995


(53)

52

Low Contrast Realistik serta terkesan seperti dokumenter

PEWARNAAN

Warm (kuning,orange, merah dan abu-abu)

Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan

Black and White (hitam dan Putih) Realisme,aktualisme, dan faktual Tabel 2.3Teknik Editing dan Gerakan Kamera7

Penanda Definisi Petanda Pan down Kamera mengarah ke

bawah

Menunjukkan kekuasaan, kewenangan

Pan up Kamera mengarah ke

atas

Menunjukkan kelemahan, pengecilan

Dolly in Kamera mengarah ke dalam

Memperlihatkan sebuah observasi, fokus

Fade in/out Image muncul dari gelap ke terang dan sebaliknya

Permulaan dan akhir cerita

Cut Perpindahan dari gambar

satu ke gambar yang lain

Simultan, kegairahan

Wipe Gambar terhapus dari

layar

“penutupan”kesimpulan

Menurut Berger, TV merupakan medium “close up” untuk menunjukkan sebuah karakter (Berger, 2000:33). Dalam penerapan semiotik pada televisi pengetahuan tentang aspek-aspek medium yang berfungsi sebagai tanda. Setiap angel gambar yang diambil mempunyai makna dan interpretasi tersendiri. Dari cara pengambilan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa setiap cara pengambilan gambar dapat menggambarkan hubungan personal antar tokoh, ekspresi, emosi, waktu, kejadian dan tempat secara lebih jelas. Dari gambar

7 

Sumber : Berger, tanda‐tanda dalam kebudayaan kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2000,. Hal 33 


(54)

53

tersebut kita juga dapat melihat makna-makna dan ideologi tertentu yang ada dibalik potongan sebuah adegan.

2 .5 Semiologi Roland Barthes

Kancah penelitian semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental dalam strukturalisme semiotika teks.

Sebagai pengikut Saussurean yang berpandangan bahwa sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Semiotik, atau dalam istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity ) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify ) dalam hal ini tidak dapat dicampurdukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak dikomunikasikan, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalahperan pembaca (The reader ). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara lugas mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran kedua,yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam buku Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.


(55)

54

Demi memperjelas signifikasi dua tahap, Barthes menciptakan peta bagaimana tanda bekerja sebagai berikut :

Gambar 2.4 Peta Tanda Roland Barthes8

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2).Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekadar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dipahami oleh Barthes. Di dalam semiotika Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan

8

 Roland Barthes, Mythologies (New York: The NOONDAY Press, 1991), hal. 113 

6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) 4. CONOTATIVE SIGNIFIER

(PETANDA KONOTATIF 3. denotative sign

(tanda denotatif)

2. Signified (Petanda) 1. Signifier

5. CONOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF)


(56)

55

dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi.Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna harfiah merupakan sesuatu yang bersifat. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda.Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnyaatau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua.Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.9

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya barthes menggunakan versi yang jauh lebih sederhana membahas model ‘glossematic sign’(tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, barthes mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan conntent (atau signified) (C): ERC.

Sebuah sitem tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda ketimbang semula.

Barthes menulis :

Such sign system can become an element of a more comprehensive sign system. If the extension is one of content, the primary sign (E R C ) Becomes the expression of secondary sign system:

9

(http://www.scribd.com/doc/46455415/TELAAH-kajian-semiotika 10:5501/08/2011).


(57)

56

E = (E R C ) R C

Dengan begitu, primary sign adalah denotative sedangkan secondary sign adalah satu dari connotative semiotics. Konsep conotative inilah yang menjadi kunci penting dari model semiotika Roland Barthes.

Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier(ekspresi) dan Signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yang paling nyata dari tanda (sign).

Dimulai dari tatanan pertandaan pertama adalah denotasi, tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal.Hal ini mengacu pada anggapan umum, tentang kejelasan makna suatu tanda( Fiske, 2004: 118).

Denotasi menunjukkan hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam suatu ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah pertanda (Wibowo, 2011:174).

Konotasi adalah istilah yang digunakan berthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya.


(58)

57

Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, konotasi bekerja dalam tingkat intersubjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misereading) aatau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2011: 174).

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek realitas dan gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan.

Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangakai menjadi suatu mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan budaya-budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapapun bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalmnya.

Dalam pandangan Umar Yunus (1990), mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenannya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Ia mungkin hidup dalam ‘gosip’ kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita.


(59)

58

Mitos menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu yang dinyatakan dalam mitos.

Sebuah teks, Aart van Zoest tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi. Sedangkan Eriyanto menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis.

Hal ini menurutnya, karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logos, Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat, sedangkan kata logia berasal dari kata logos yang berarti kata-kata. Dan arti kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori. Konsep ideologi juga bisa dikaitkan dengan wacana. Menurut Teun A van Dijk, ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi membuat anggota suatu kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dari kohesi di dalam kelompok.

akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka dan memberinya kontribusi dalam membentuk solidaritas dari kohesi didalam kelompok.

Dalam perspektif ini, ideologi mempunyai beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inharen bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia


(60)

59

membutuhkan’share’ diantara anggota kelompok organisasi atau kreativitas dengan orang lainnya.

Hal-hal yang dibagi (sharing) tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap. Misalnya, kelompok tertentu yang mempunyai ideologi feminis, antirasis dan pro lingkungan akan membawa nilai-nilai itu dalam semua tindakan mereka.

Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinat dan kohesi. Tetapi juga membentuk identitas diri kelompok, membedakannya dengan kelompok lain.

Ideologi di sini bersifat umum, abstrak dan nilai-nilai yang terbagi antar kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan pandangan semacam itu, wacana lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara ilmiah, karena dalam setiap wacana selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh.

2.6 Iklan

Dalam peradaban manusia, tulisan pertama yang terkait dengan iklan adalah tanda-tanda yang ditampilkan di atas pintu toko kota-kota kuno di Timur Tengah. Sejak tahun 3000 Sebelum Masehi orang-orang Babilonia menggunakan tanda seperti itu untuk mengiklankan toko mereka. Orang-orang Yunani dan Romawi Kuno juga menggantungkan tanda-tanda tersebut di luar toko mereka. Ketika orang sudah mulai bisa membaca, para pedagang dizaman itu manatahkan


(1)

139

Dengan menarik minat konsumen, pada suatu iklan memberikan segmentasi utama kepada siapa produk tersebut ditujukan, seperti pada iklan garuda Indonesia yang mengutamakan konsumen yang peduli akan suatu layanan. Secara umum para konsumen Garuda Indonesia berbeda dengan konsumen pengguna jasa penerbangan lainnya.

Gagasan dibalik penciptaan citra bagi sebuah produk adalah upaya untuk berbicara secara langsung ke satu jenis pribadi atau khalayak tertentu, bukan ke setiap orang sehingga para individu ini bisa melihat kepribadian mereka yang terwakili di dalam citra gaya hidup yang diciptakan oleh iklan demi satu produk tertentu.

Citra merek tertanam semakin dalam melalui teknik mitologisasi, Hal seperti ini merupakan strategi yang secara sengaja mengaitkan nama, logo, rancangan produk, iklan narasi, visualisasi gambar dengan makna mitis tertentu. Sebagai contoh dari pelbagai mitis yang ada, sudah lama terdengar bahwa Indonesia adalah negri yang indah. Hal ini kiranya tampak pada narasi-narasi yang diciptakan dalam iklan ini, seperti masih dengan mengangkat icon “Bali” pada sebagian iklan ini.

Strategi yang dipakai adalah dengan menampilkan model iklan yang menarik, seperti wanita yang cantik dan pria yang tampan. Dalam iklan ini, strategi ini secara harfiah sering terlihat didalam iklan komersil. Orang-orang yang tampil di iklan ini diceritakan adalah manusia yang cantik dan tampan senang mengunjungi Indonesia, Disini seolah-olah orang-orang yang memiliki


(2)

140

kulitas kecantikan dan ketampanan dianggap sebagai suatu yang agung atau dapat dikatakan nyaris seperti dewa.

Iklan televisi merupakan medan wacana untuk mempengaruhi konsumen, semiotika merupakan metode untuk menanamkan mitologi terhadap konsumen demi penguatan sebuah citra. Para pembuat iklan menciptakan nama merek, logo, rancangan kemasan visual, narasi cerita, teknik editing. Pewarnaan, komersialisasi, dibungkus dan disembunyikan di dalam teks iklan. Iklan dpat membangkitkan hasrat-hasrat dorongan dan motif mitis secara tidak sadar. Saat ini iklan komersial menawarkan bentuk janji-janji dan harapan yang dahulunya hanya dimiliki agama dan filsafat sosial-keamanan terhadap segala sesuatu yang dapat mengancam perubahan terhadap diri. Posisi yang lebih baik kini ditawarkan didalam kehidupan, popularitas dan prestise pribadi, kemajuan sosial, kesehatan yang lebih baik dan sebagainya.

Dengan kata lain, para kreator iklan modern tidak menekankan produk, melainkan keuntungan yang diharapkan datang bersama dengan pembelian produk tersebut. Para pengiklan ini cukup pakar dalam menancapkan kuku didalam daerah yang tidak disadari, pengalaman psikis yang dahulu hanya di eksplorasi oleh para filsuf, seniman, dan pemikir religius.


(3)

141 PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Dalam upaya menciptakan karakter suatu produk, para kreator iklan membuat sistem signifikasi. Hal yang pertama dan terutama dibuat para pengiklan adalah memberi nama merek, membuat simbol visual, narasi, dan penciptaan sebauh logoKetika sebuah produk diberi nama maka produk tersebut bisa dikenali Dalam semiotika dikenal tengan signifikasi tahap pertama “Denotasi”. Selanjutnya menciptakan signifikasi tahap kedua atau lebih dikenal dengan konotasi. Pada tahap ini mulai muncul pemaknaan yang akan ditafsirkan oleh pembaca iklan . Selanjutnya makna itu diperluas sehingga dikenal dengan konotasi, hal ini merupakan sistem signifikasi yang dibuat untuk memapankan citra suatu produk kedlam tatanan pemikiran sosial secara de facto. Ketika seseorang manaiki Garuda Indonesia, ia merasakan mengunjugi dan mengelilingi Indonesia.

2. Industri iklan adalah industri yang tak pernah mati, berbagai strategi dilakukan untuk menjadikanya sebagai yang terdepan, termasuk penanaman mitologisasi tentang Indonesia secara sosial. Mitos tersebut dikonstruksi dengan memanfaatkan visualisasi-visualisasi gambar dan simbol yang sebelumnya sudah ada dalam masyarakat. Suatu kode kultural dikemas dalam visualisasi gambar keindonesiaan yang menjadikannya semenarik mungkin dengan sentuhan teknologi grafis yang diwujudkan daalam bentuk iklan.


(4)

142 5.2 Saran

1. Garuda Indonesia dalam setiap iklanya terus mempertahankan karakter iklan yang berbudaya serta bernuansa indonesia, sebab dengan cara itulah seluruh masyarakat dapat melihat gambaran dan visualisai tentang Indonesia secara massal sehingga menambah kecintaan terhadap produk-produk lokal

2. Iklan Garuda tidak hanya untuk mencari keuntungan semata tetapi juga harus memperhatikan konsumen dalam iklan. Sehingga ada kesamaan persepsi antara produk yang diiklankan dengan keadaan yang nyata , sehingga konsumen merasa telah memilih produk yang tepat sesuai dengan gambarannya.


(5)

143 Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Barthes, Roland. 2007. Petualangan Semiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 1991. Mythologies. New York: The Noonday Press.

Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-tanda dalam kebudayaan Kontemporer.Penerjemah M. Dwi Marianto dan Sunarto. Yogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana.

Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

--- 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana. Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Kemasyarakatan dan Budaya UI.

Danesi, Marcel. 2010. Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra

Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, Serta Teori Produksi – Tanda. Bantul: Kreasi Wacana.

Hamidi. 2005. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: UMM Press

Hoed, B.H. 2004. Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik. Di dalam Semiotika Budaya. Ed. T. Christomy dan Untung Yuwono. Depok: Pusat Pe-nelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.

Kusrianto, Adi. 2007. Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Andi Offset.

Morissan, M. A. 2009. Teori Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Komunikasi. Medan: USU PRESS Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Kaarya.

Sachari, Agus. 2007. Budaya Visual Indonesia. Jakarta: Erlangga

Sihombing, Danton.2001.Tipografi dalam Desain Grafis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Singarimbun dan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Soelaeman, Munandar. 2007. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Refika Aditama Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya _________ . 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Stoke,Jane. 2006. How To Do Media And Cultural Studies. Yogyakarta : Bentang. Usman, Ks. 2009. Ekonomi Media Pengantar dan Aplikasi. Bogor: Ghalia


(6)

144

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media