Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan

(1)

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN TELEVISI (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan WRP “Diet

To Go” di Televisi Swasta)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1)

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh: FRADINA DWI SAFITRI

080904022

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Fradina Dwi Safitri NIM : 080904022

Departemen : Ilmu Komunikasi Judul :

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN TELEVISI (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan WRP Diet To Go

di Televisi Swasta)

Medan, 25 Juni 2012

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

(Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm) (Dra. Fatma Wardy Lubis, MA NIP : 197711062005011001 NIP : 196208281987012001

)

Dekan FISIP USU

NIP : 196805251992031002 (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(3)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi” (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan WRP Versi “Diet To Go” di Televisi Swasta)”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui makna dan tujuan yang terkandung dalam iklan WRP versi “Diet To Go” berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada iklan. Iklan televisi merupakan media yang dapat mempengaruhi khalayak yang menyaksikan tayangannya. Iklan makanan dan minuman untuk kecantikan dalam televisi kian banyak diminati oleh masyarakat luas, sehingga iklan tersebut disajikan secara kreatif. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi Massa, Semiotika, Semiotika Iklan, Semiotika Roland Barthes, Representasi serta Feminisme. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika dengan perangkat analisis semiologi Roland Barthes berupa signikasi dua tahap (two order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam penanda, petanda, level denotasi dan level konotasi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa iklan WRP versi “Diet To Go” merupakan iklan yang banyak mengangkat representasi citra perempuan di dalamnya. Beberapa citra yang dimaksud adalah citra sosial, citra keibuan, citra pergaulan dan sebagainya. Selain itu ditemukan bahwa kecantikan dan keelokan tubuh merupakan hal yang sangat penting yang wajib dijaga oleh perempuan. Segmentasi pasar iklan ini adalah perempuan yang berada di seluruh dunia terutama yang memiliki ekonomi menengah ke atas. Pesan yang ingin disampaikan pembuat iklan adalah perempuan merupakan makhluk yang memiliki banyak sisi keindahan. Sehingga setiap perempuan harus mampu menjaga keindahan tersebut. Kegiatan yang banyak serta usia bukan merupakan penghalang untuk tetap memperhatikan penampilan.


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulisan skripsi yang berjudul “Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi” (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan WRP Versi “Diet To Go” di Televisi Swasta) ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya merupakan hasil pembelajaran yang peneliti terima selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Dalam menyusun skripsi ini, peneliti mendapat banyak saran, bimbingan dan arahan baik dari segi moril maupun materi serta dorongan semangat dari berbagai pihak yang sangat berguna bagi peneliti.

Secara khusus saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua peneliti, Ayahanda H. Farhan S.H dan Ibunda Hj. Ellisa Fitri Tanjung S.Pd. I, MA yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan dan nasehat yang bijaksana bagi saya serta kepada kedua saudara peneliti Fardiansah dan Febi Aditya yang telah memberi dukungan yang sangat berarti bagi peneliti. Ucapan terima kasih lainnya saya ingin sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi.

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas segala bantuan serta dukungannya yang sangat berguna dan bermanfaat bagi peneliti.

4. Bapak Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat dan saran yang luar biasa bagi peneliti selama pengerjaan skripsi ini.


(5)

5. Kepada Penguji Utama yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini hingga akhirnya bisa menjadi lebih baik lagi.

6. Seluruh Dosen dan Staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing mulai dari semester awal hingga saya menyelesaikan perkuliahan di kampus dengan ilmu-ilmu yang luar biasa.

7. Laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi, Kak Yovita, Kak Farida Hanim dan Kak Puan yang telah membantu sehingga saya memperoleh banyak ilmu yang bermanfaat.

8. Sahabat-sahabat spesial peneliti Anggi Naroito, Bebe, Emma, Muna, Azra, Wila, Catur, Ann, Ochie, Oya, Cycha, Cathy, Suci serta Dian yang telah memberikan persahabatan, dukungan dan semangat kepada peneliti semoga persahabatan ini akan berlangsung selamanya.

9. Teman-teman Ilmu Komunikasi berbagai angkatan terutama teman seperjuangan angkatan 2008 yang senantiasa menjadi teman terbaik bagi saya dan memberi motivasi sehingga peneliti terus semangat mengerjakan skripsi ini hingga selesai.

Menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi ini, peneliti memohon maaf sebesar-besarnya. Peneliti juga menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk perbaikan dan pendorong peneliti untuk dapat semakin maju. Semoga skripsi ini dapat menambah khasanah pengetahuan kita semua. Amiin.

Medan, Juni 2012 Peneliti


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 7

I.3. Pembatasan Masalah ... 7

I.4. Tujuan Penelitian ... 8

I.5. Manfaat Penelitian ... 8

I.6. Tinjauan Pustaka ... 9

I.6.1. Komunikasi Massa ... 9

I.6.2. Semiotika ... 10

I.6.3. Semiotika Iklan ... 12

I.6.4. Semiotika Roland Barthes ... 13

I.6.5. Representasi ... 14

I.6.6 Feminisme ... 15

I.7. Definisi Konsep ... 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 21

II1. Komunikasi Massa ... 21

II.1.1. Pengertian Komunikasi Massa ... 21

II.1.2. Karakteristik Komunikasi Massa ... 22

II.1.3. Fungsi Komunikasi Massa ... 24

II.2. Semiotika ... 25

II.3. Semiotika Iklan ... 30

II.4. Semiotika Roland Barthes ... 38

II.5. Representasi ... 42

II.6. Feminisme ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 50

III.1. Tipe Penelitian ... 50

III.2. Objek Penelitian ... 51

III.3. Unit Level Analisis ... 51

III.4. Metode Pengumpulan Data ... 52

III.5. Teknik Analisis Data ... 53

III.6. Kelemahan Penelitian... 55

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 56

IV.1. Gambaran Umum Iklan WRP Versi Diet To Go ... 56

IV.2. Penyajian Data ... 57


(7)

IV.3.1. Analisis Scene Pertama ... 59

IV.3.2. Analisis Scene Kedua ... 66

IV.3.3. Analisis Scene Ketiga ... 72

IV.3.4. Analisis Scene Keempat ... 79

IV.3.5. Analisis Scene Kelima ... 85

IV.3.6. Analisis Scene Keenam ... 93

IV.3.7. Analisis Scene Ketujuh ... 99

IV.4. Mitos Dan Temuan Analisis Data ... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

V.1. Kesimpulan ... 107

V.2. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109 LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Teknik Dalam Pengambilan Gambar ... 37

Tabel 2. Tabel Proses Representasi Fiske ... 44

Tabel 3. Unit dan Level analisis ... 52

Tabel 4. Identifikasi Iklan WRP Versi Diet To Go ... 58

Tabel 5. Teknik Dalam Menyunting Gambar Iklan WRP Versi Diet To Go .... 58

Tabel 6. Ikon scene Pertama ... 61

Tabel 7. Ikon scene Kedua ... 68

Tabel 8. Ikon scene Ketiga ... 74

Tabel 9. Ikon scene Keempat ... 81

Tabel 10. Ikon scene Kelima ... 87

Tabel 11. Ikon scene Keenam ... 95


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kategori Tipe Tanda dari Pierce ... 27

Gambar 2. Elemen-Elemen Makna dari Saussure ... 28

Gambar 3. Peta Tanda Roland Barthes ... 40

Gambar 4. Scene Pertama ... 59

Gambar 5. Scene Kedua ... 66

Gambar 6. Scene Ketiga ... 72

Gambar 7. Scene Keempat ... 79

Gambar 8. Scene Kelima ... 85

Gambar 9. Scene Keenam ... 93


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi” (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan WRP Versi “Diet To Go” di Televisi Swasta)”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui makna dan tujuan yang terkandung dalam iklan WRP versi “Diet To Go” berdasarkan tanda-tanda yang muncul pada iklan. Iklan televisi merupakan media yang dapat mempengaruhi khalayak yang menyaksikan tayangannya. Iklan makanan dan minuman untuk kecantikan dalam televisi kian banyak diminati oleh masyarakat luas, sehingga iklan tersebut disajikan secara kreatif. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teori yang relevan, yaitu: Komunikasi Massa, Semiotika, Semiotika Iklan, Semiotika Roland Barthes, Representasi serta Feminisme. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika dengan perangkat analisis semiologi Roland Barthes berupa signikasi dua tahap (two order of signification); denotasi dan konotasi, yang kemudian dibagi dalam penanda, petanda, level denotasi dan level konotasi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa iklan WRP versi “Diet To Go” merupakan iklan yang banyak mengangkat representasi citra perempuan di dalamnya. Beberapa citra yang dimaksud adalah citra sosial, citra keibuan, citra pergaulan dan sebagainya. Selain itu ditemukan bahwa kecantikan dan keelokan tubuh merupakan hal yang sangat penting yang wajib dijaga oleh perempuan. Segmentasi pasar iklan ini adalah perempuan yang berada di seluruh dunia terutama yang memiliki ekonomi menengah ke atas. Pesan yang ingin disampaikan pembuat iklan adalah perempuan merupakan makhluk yang memiliki banyak sisi keindahan. Sehingga setiap perempuan harus mampu menjaga keindahan tersebut. Kegiatan yang banyak serta usia bukan merupakan penghalang untuk tetap memperhatikan penampilan.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Pesatnya perkembangan teknologi, meningkatkan arus informasi dan telekomunikasi serta meningkatnya pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya sebuah informasi. Hal ini memungkinkan manusia diterpa oleh berbagai informasi setiap saat. Perkembangan yang sangat pesat ini juga merambah pada perkembangan media massa. Oleh karena adanya perkembangan media massa tersebut maka banyak sekali masyarakat yang menggunakan media massa sebagai media penyampai pesan atau informasi ke masyarakat luas.

Media massa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi manusia. Media massa kini telah menjadi salah satu alat yang penting sebagai media penyampai pesan atau informasi kepada masyarakat. Pada hakikatnya, media adalah perpanjangan lidah dan tangan yang berjasa meningkatkan kapasitas manusia untuk mengembangkan struktur sosialnya (Rivers, 2008: 128). Media massa melibatkan jumlah penerima pesan dalam jumlah banyak, serta tersebar dalam area geografis yang luas, namun mempunyai perhatian minat dan isu yang sama. Karena itu, agar pesan yang disampaikan dapat diterima serentak pada satu waktu yang sama, maka digunakan media elektronik seperti televisi dan radio serta media cetak seperti surat kabar dan majalah.

Pada media elektronik, televisi merupakan media yang paling dominan dan efektif dalam komunikasi massa karena televisi merupakan media yang audio


(12)

visual, yaitu selain suara dapat didengar juga menampilkan gambar dalam waktu yang bersamaan. Televisi dikatakan sebagai fenomena aktual masyarakat modern, dalam arti televisi dipersepsikan sebagai karakter khas masyarakat “modern” yang sering kali mengedepankan logika dan rasionalitas. Berkat kehadiran televisi, jarak kultural peradaban dapat teratasi. Masyarakat dari belahan manapun, akan segera mengetahui kondisi aktual ke tempat yang berbeda (Sucipto, 1998: 28). Televisi cenderung menjadi hiburan, berita dan layanan. Sehingga acap kali media televisi ini disebut media keluarga.

Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa televisi cenderung menjadi hiburan. Ini dikarenakan televisi menyajikan program-program hiburan seperti sinetron, film, kartun, musik, serta iklan. Iklan merupakan salah satu unsur penting dalam televisi, ini dikarenakan iklan adalah sarana komunikasi. Iklan merupakan sarana untuk mempromosikan, memberikan informasi dan mengingatkan atau membangun persuasi tentang keberadaan suatu produk, jasa, ide, citra dan bahkan orang. Iklan adalah segala bentuk penyajian informasi dan promosi secara tidak langsung yang dilakukan oleh sponsor untuk menawarkan ide, barang, atau jasa (Keegan (1995) dalam Mahfoedz, 2010: 139). Secara umum, Periklanan diartikan sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan pembuat barang, atau pemasok jasa dengan masyarakat banyak atau sekelompok orang tertentu yang bertujuan untuk menunjang upaya pemasaran. Komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan gambar, suara atau kata-kata, gerak atau bau yang disalurkan melalui media atau secara langsung.

Mahmoed Mahfoedz (2010:50) menyatakan bahwa salah satu kekuatan televisi dalam media untuk beriklan adalah prestise dan status iklan dalam televisi


(13)

lebih tinggi daripada iklan yang disampaikan melalui media lain. Dalam beberapa segi, kredibilitas dan status produk dapat dinilai penting karena ditayangkan melalui televisi. Daya jangkauan terhadap audiens dan sasaran yang luas menjadikan iklan televisi dipandang efisien. Selain itu, iklan di televisi memiliki kelebihan unik dibandingkan dengan iklan di media cetak. Kelebihan iklan televisi memungkinkan diterimanya tiga kekuatan generator makna sekaligus, yakni narasi, suara dan visual. Ketiganya membentuk sebuah sistem pertandaan yang bekerja untuk mempengaruhi penontonnya. Dari ketiganya, iklan televisi bekerja efektif karena menghadirkan pesan dalam bentuk verbal dan nonverbal sekaligus. Sebagai sistem pertandaan, maka iklan sekaligus menjadi sebuah bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang manfaat produk yang ditawarkan, namun seringkali menjadi representasi gagasan yang terpendam di balik penciptanya.

Di Indonesia, istilah iklan sering disebut dengan istilah advertensi dan reklame. Kedua istilah tersebut diambil dari bahasa Belanda yaitu “advertensi” dan bahasa Prancis yaitu “reclame”. Namun pada tahun 1951, istilah periklanan pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh pers Indonesia, Soedarjo Tjokrosisworo, untuk menggantikan istilah reklame atau advertensi yang ke belanda-belandaan.

Awal permunculan iklan di Indonesia lebih banyak berupa iklan pribadi daripada iklan perusahaan. Perkembangan iklan di Indonesia mengikuti model sejarah perkembangan iklan pada umumnya, yaitu seirama dengan perkembangan media massa. Awal masyarakat Indonesia mengenal iklan modern dari surat kabar, kemudian saat masyarakat Indonesia mengenal media radio, maka lahir


(14)

iklan radio, dan kemudian di saat masyarakat mengenal televisi lahir iklan televisi (Bungin, 2011: 77)

Tahun 1970-an juga ditandai dengan tampilan selebritis Indonesia sebagai bintang iklan. Sabun Lux produksi Unilever merupakan trendsetter di bidang itu. Sejak tahun 1950-an, Lux sudah memakai slogan ”dipakai oleh 9 dari 10 bintang-bintang film”. Lux diidentifikasikan dengan bintang-bintang-bintang-bintang film rupawan berkelas dunia, antara lain: Sophia Loren. Beberapa bintang film papan atas pun silih berganti tampil sebagai ”The Lux Lady”. Berbagai merk internasional pun mulai bermunculan di Indonesia dan berupaya meraup pangsa pasar sebesar-sebesarnya. Coca cola, Toyota, Mitsubishi, Fuji Film, American Express, Citibank adalah sebagian dari nama-nama besar yang mulai membanjiri pasar Indonesia

Secara umum, iklan dibagi atas dua jenis yaitu iklan komersial dan iklan tidak komersial. Iklan komersial merupakan iklan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, sedangkan iklan tidak komersial merupakan iklan yang bertujuan untuk tidak mendapatkan keuntungan, seperti iklan layanan masyarakat. Periklanan sebagai sarana penunjang aktivitas pemasaran, sangat tepat dilakukan agar tujuan-tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Dengan berkomunikasi melalui iklan, masyarakat akan mengenal produk-produk yang dipromosikan dan akan menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap produk tersebut. Lebih lanjut, dengan dipromosikannya produk melalui iklan khalayak akan mengetahui produk tersebut, manfaat, kegunaan, cara penggunaan bahkan tempat penjualan produk tersebut. Selain itu, iklan juga akan menguatkan ingatan khalayak akan keberadaan produk tersebut. Penggunaan teknik-teknik verbal dan


(15)

nonverbal membuat pesan-pesannya sepersuasif mungkin, iklan sudah masuk dalam kategori pengintegrasi dalam tatanan signifikasi zaman modern yang dirancang untuk mempengaruhi sikap dan perilaku gaya hidup dengan secara sembunyi-sembunyi menganjurkan kepada bagaimana kita bisa memuaskan dorongan dan aspirasi terdalam melalui konsumsi (Danesi, 2010: 221).

Salah satu bentuk iklan yang paling menarik di televisi saat ini adalah iklan yang menggambarkan atau merepresentasikan tentang perempuan. Terdapat banyak nilai yang ditanam oleh pengiklan produk melalui tayangan iklan tersebut. Nilai tentang tubuh ideal misalnya, sering dijumpai pada iklan kosmetik, makanan, minuman, alat kesehatan, ataupun iklan suplemen dan obat kesehatan lainnya.

Iklan-iklan tersebut banyak memasukkan konsep tentang performa tubuh ideal. Nilai-nilai tentang tubuh ideal ataupun kecantikan versi iklan televisi merupakan citra bagi khalayak yang dipaksakan menjadi konsep bagi masyarakat tersebut tanpa menyadari bagaimana sebenarnya konsep tersebut. Maka menjadi lumrah jika dalam iklan masa kini, citra utama perempuan cantik senantiasa bertubuh langsing, berkulit putih, berambut lurus dan sebagainya. Padahal, tidak semua perempuan terlahir berkulit putih, setidaknya tidak semua perempuan berbakat putih, berpostur langsing, berambut lurus dan sebagainya. Tampilnya perempuan dalam iklan, merupakan elemen yang sangat menjual. Bagi produk pria, kehadiran perempuan merupakan salah satu syarat penting bagi kemapanannya. Sementara bila target-market nya perempuan, kehadiran perempuan merupakan wajah aktualisasi yang mewakili jati dirinya.


(16)

WRP versi Diet To Go merupakan salah satu iklan yang merepresentasikan tentang tubuh ideal perempuan. Iklan WRP versi Diet To Go hadir di tengah masyarakat dengan slogannya “Sure You Can Do”. Melalui iklan, pemirsa televisi dapat lebih mengenal WRP versi Diet To Go sebagai sebuah produk yang dapat membantu para perempuan untuk membentuk tubuh ideal seperti yang diharapkan perempuan masa kini.

Visualisasi dalam iklan tersebut nampak jelas yaitu tiga perempuan yang memiliki tubuh ideal. Perempuan pertama sedang melakukan olah raga, perempuan kedua berjalan sambil meminum WRP Diet To Go, dan perempuan ketiga sedang berada dalam lokasi syuting sambil meminum WRP Diet To Go. Dalam iklan tersebut digambarkan bahwa ketiga perempuan tersebut merupakan sahabat dekat yang berbeda profesi dan berbeda karakter. Ini terlihat dari tampilan ketiga wanita dalam iklan tersebut. Tayangan iklan WRP Diet To Go juga menayangkan bahwa ketiga perempuan tersebut menolak makanan yang ditawarkan. Ini merupakan penjelasan bahwa mereka mempertahankan tubuh mereka dengan berolah raga, tidak memilih sembarangan makanan dan memilih WRP Diet To Go sebagai makanan pengganti. Pada akhir tayangan, digambarkan dua orang pria yang bertabrakan satu sama lain karena terpukau dengan ketiga perempuan tersebut. Ini menjelaskan bahwa tubuh ideal yang dimiliki oleh ketiga perempuan tersebut sangat disukai oleh para lawan jenisnya.

Dalam iklan WRP Diet To Go jelas digambarkan bahwa konsep perempuan yaitu bertubuh langsing, cantik, wanita karir dan mempunyai peran penting dalam rumah tangga yaitu sebagai seorang Ibu. Iklan ini menjelaskan


(17)

konsep perempuan secara sempurna, yaitu konsep yang diinginkan oleh perempuan masa kini.

Iklan tidak selamanya bercerita tentang bagaimana produk bisa segera dibeli konsumen. Namun, beberapa di antaranya juga ingin menyampaikan citra kuat mengenai apa dan bagaimana kiprah produk dan menceritakan makna dalam iklan tersebut. Setelah menyaksikan iklan ini, peneliti merasa tertarik untuk dapat menganalisis representasi citra perempuan dalam iklan WRP Diet To Go.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah representasi citra perempuan yang terdapat dalam iklan WRP versi Diet to Go di media televisi?”

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti.

Adapun pembatasan masalah yang diteliti adalah:

1. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.

2. Perangkat analisis yang digunakan adalah semiologi Roland Barthes signifikasi dua tahap (two order of significations); denotasi, konotasi dan mitologi.


(18)

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem signifikasi makna yaitu makna denotatif dan makna konotatif serta mitologi dalam iklan WRP versi Diet To Go.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui representasi citra perempuan dalam iklan WRP versi Diet To Go di media televisi.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan bagi mahasiswa FISIP USU khususnya Departemen Ilmu Komunikasi.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi di bidang Ilmu Komunikasi, khususnya tentang analisis semiotika dalam iklan.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi pembaca mengenai representasi citra perempuan dalam iklan.

I.6 Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian, peneliti perlu untuk menyusun suatu tinjauan pustaka yang berfungsi untuk menjelaskan, menjabarkan, dan memberikan pandangan terhadap suatu penelitian. Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


(19)

I.6.1 Komunikasi Massa

Konsep komunikasi massa pada satu sisi mengandung pengertian suatu proses di mana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas dan pada sisi lain merupakan proses di mana pesan tersebut dicari, digunakan dan dikonsumsi oleh audiens (Rohim, 2009:160). Komunikasi massa merupakan salah satu proses komunikasi yang berlangsung pada peringkat masyarakat luas yang identifikasinya ditentukan oleh ciri khas institusionalnya (McQuail, 1996: 7). Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Rakhmat, 2005: 189).

Dari sekian banyak definisi mengenai komunikasi massa, ada benang merah kesamaan definisi satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik) (Nurudin, 2004: 2).

I.6.2 Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things) (Barthes dan Kurniawan dalam Sobur, 2004: 15). Semiotika berusaha menjelaskan tentang tanda, secara sistematik


(20)

menjelaskan esensi, ciri-ciri dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya.

Menurut Morissan, semiotika merupakan studi mengenai tanda (signs) dan simbol yang merupakan tradisi penting dalam pemikiran tradisi komunikasi. Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana tanda mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di luar diri (Morissan, 2009: 27). Segers mendefinisikan semiotika sebagai suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi antar makna yang didasarkan pada sistem tanda (Sugihastuti, 2000: 26).

Di dalam semiotika, ada dua aliran utama yaitu semiotika yang menggunakan konsep Pierce dan yang menggunakan konsep Saussure. Dalam konsep Pierce, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks) dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah atau bersifat kemiripan, indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal, sementara simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya dan hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena (Sobur, 2004: 41). Pierce mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan antara tanda, objek dan makna (Morissan, 2009: 28). Sedangkan Saussure memasukkan semiotika sebagai hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan langsung. Saussure mengemukakan bahwa seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Selain itu, ada konsep lain tentang semiotika yang diusung oleh Roland Barthes. Konsep Roland Barthes mengemukakan


(21)

pemaknaan tanda atas signifikasi dua tahap (two order signification), yaitu denotatif dan konotatif. Semiotik mengacu pada hubungan antara dua istilah yaitu penanda (significant) dan petanda (signifie); petanda adalah konsep sedangkan penanda adalah imaji bunyi (yang bersifat psikis) (Sugihastuti. 2000:28).

Doede Nauta membedakan tiga tingkatan hubungan semiotika (Sobur, 2004: 19), yaitu:

1. Semantik, yaitu bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda.

2. Sintaktik, yaitu mengacu pada cara tanda disusun atau diorganisir dengan tanda lainnya di dalam sistem.

3. Pragmatik, yaitu mengacu pada efek atau perilaku yang ditunjukkan oleh tanda.

I.6.3 Semiotika Iklan

Media komunikasi yang paling popular dan paling digemari saat ini adalah televisi. Dalam dunia pertelevisian, sistem teknologi telah menguasai jalan pikiran masyarakat dengan apa yang diistilahkan dengan theater of mind. Sebagaimana gambaran realitas dalam iklan televisi (Bungin, 2011: 119). Televisi merupakan media kontemporer yang paling efektif dalam mengirimkan pencitraan produk. Iklan televisi memberikan pemaknaan bagi para pemirsanya. Giacardi berpendapat bahwa iklan adalah acuan artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang hipperrealistik. Menurutnya iklan berusaha menciptakan suatu


(22)

realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas nyata yang ada di masyarakat (Wibowo, 2011: 128).

Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Pada dasarnya lambang atau simbol yang digunakan dalam iklan terdiri atas dua jenis, yaitu verbal dan nonverbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal, lambang nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas. Ikon adalah bentuk dan warna yang serupa atau mirip dengan keadaan sebenarnya (Sobur, 2004: 116). Sistem tanda bahasa juga digunakan secara maksimal dalam iklan televisi. Iklan televisi yang umumnya berdurasi beberapa detik, memanfaatkan sistem tanda untuk memperjelas makna citra pada iklan tersebut.

Dalam upaya menciptakan kepribadian untuk sebuah produk, pembuat iklan membuat sistem signifikasi. Yang pertama dan terutama ini dibuat dengan memberinya nama merek dan kemudian bila dimungkinkan membuat simbol visual untuknya yang dikenal dengan nama logo. Ketika sebuah produk diberi nama maka, seperti seorang pribadi, produk itu bisa dikenali dengan kaitannya dengan namanya itu (Danesi, 2010: 229).

Sistem penandaan yang tertanam di dalam nama merek dan logonya secara kreatif dipindahkan ke dalam teks iklan. Tekstualisasi iklan bisa didefinisikan sebagai pembentukan iklan dan komersial berdasarkan pada sistem signifikasi khusus yang secara sengaja ditanamkan ke dalam produk. Dalam iklan komersial televisi, nada suara, struktur kalimat dan penggunaan berbagai muslihat


(23)

verbal (jingle, slogan dan sebagainya) dipakai juga untuk mengirimkan sistem signifikasi sebuah produk.

Iklan televisi merupakan iklan yang paling banyak ditonton oleh semua kalangan masyarakat. Ada semacam argumentasi dalam masyarakat bahwa iklan televisi merupakan iklan yang memberikan pesan-pesan secara realistis dengan menggunakan pilihan iklan agar dapat mempengaruhi pemirsanya.

1.6.4 Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Barthes mengartikan semiotika atau dalam istilah Barthes sendiri dikenal dengan semiologi sebagai tanda yang berada di sekitar kita dan sangat dekat dengan keseharian kita.

Barthes membagi analisisnya menjadi dua tingkatan yaitu tingkatan denotasi dan tingkatan konotasi. Tingkatan denotasi merupakan pemaknaan secaraa langsung, yang berarti menunjukkan makna yang tampak atau makna yang sebenarnya. Tingkatan konotasi merupakan pemaknaan secara tidak langsung, yang berarti adanya makna yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi, serta nilai-nilai dari kebudayaannya (Wibowo, 2011: 17).

Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, akan tetapi bersifat konvensional, yakni makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman Barthes merupakan pemaknaan yang berasal dari tingkatan konotatif,


(24)

dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

I.6.5 Representasi

Representasi berarti menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu secara bermakna, atau dapat dikatakan memaknai sesuatu terhadap orang lain. Konsep representasi digunakan untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks iklan (media) dengan realitas. Representasi merupakan kegiatan dari tanda. Marcel Danesi mendefinisikannya sebagai berikut:

“proses merekam ide, pengetahuan atau pesan, dalam beberapa cara fisik disebut representasi. Ini dapat didefinisikan lebih tepat sebagai kegunaan dari tanda yaitu untuk menyambungkan, melukiskan, meniru sesuatu yang dirasa, dimengerti, diimajinasikan atau dirasakan dalam beberapa bentuk fisik” (Wibowo, 2011:122).

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Konsep representasi bisa berubah-ubah. Representasi bukan suatu proses yang statis tetapi dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus berubah. Menurut Nuraini Julianti, representasi berubah-ubah akibat makna yang juga berubah-ubah. Setiap waktu terjadi proses negosiasi dalam proses pemaknaan (Wibowo, 2011: 123).

I.6.6 Feminisme

Kaum perempuan adalah mitra kaum pria yang diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental yang setara. Kaum perempuan memiliki hak penuh untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas kaum pria, dalam detail yang


(25)

sekecil-kecilnya. Kaum perempuan juga memiliki hak atas kemerdekaan dan kebebasan yang sama seperti yang dimiliki kaum pria. Kaum perempuan berhak untuk memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitas yang dia lakukan, sebagaimana kaum pria dalam ruang aktivitasnya (Gandhi, 2002: 5).

Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (Moeliono dalam Sugihastuti, 2000: 37). Pengertian lain dikemukakan oleh Goefe, feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan (Goefe dalam Sugihastuti, 2007: 93).

Sofia dan Sugihastuti menyimpulkan bahwa munculnya ide-ide feminis berangkat dari kenyataan bahwa konstruksi sosial gender yang ada mendorong citra perempuan masih belum dapat memenuhi cita-cita persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kesadaran akan ketimpangan struktur, sistem dan tradisi dalam masyarakat kemudian melahirkan kritik feminis yang termanifestasikan dalam berbagai wujud ekspresi, baik melalui sikap, penulisan artikel, novel maupun melalui media lain (Sugihastuti, 2007: 99).

Dalam media massa, perempuan sering digambarkan menjadi objek. Dalam berbagai iklan televisi, perempuan digambarkan secara bebas, di mana ia harus tampil cantik secara fisik dan tetap awet muda bila ingin sukses, mampu mengurus semua keperluan rumah tangga, serta sebagai objek seks. Tomagola menyatakan bahwa dalam banyak iklan terjadi penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis, seperti memiliki waktu menstruasi, memiliki rambut yang


(26)

panjang dan lainnya. Pencitraan perempuan semacam ini ditekankan lagi dengan menebar isu natural anatomy bahwa umur perempuan, ketuaan perempuan, sebagai momok yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan perempuan (www.google.com). Iklan juga menghidupkan stereotip lama tentang perempuan, bahwa sejauh-jauh perempuan pergi, akhirnya kembali ke dapur juga (Bungin, 2011: 114).

Haris Wijaya dalam artikel Feminist Film Theory mengemukakan bahwa: In order for women to be equally represented in the workplace (and of course in film as a media that can represent reality or construct reality), women must be portrayed as men are: as lacking sexual objectification. This is the idea behind Laura Mulvey’s Visual Pleasure and Narrative Cinema that has become interesting subject since it was published in 1975. Many feminist film theory discuss her idea and relate it with the other theory and also with the present situation in order to analyze a film.

More and more films that produce recently, seeing women not just as men’s sexual desire object, but also plays important role in film’s narrative. Women stand as important as men, in several films sometimes they stand even higher than men. But the feminist film theory thinks that even now the situation still stand on men’s side rather than women’s side. More effort needed to change this situation, until women (or other sexual tendencies) can get what they want in order to stand equally with men. This process can be late or fast, it’s depends on the good willing of all individual working in this area.

“Agar perempuan dapat diperlakukan sama dalam lapangan pekerjaan (dalam hal film sebagai media yang dapat merepresentasikan realitas atau konstruksi realitas), perempuan harus digambarkan sama seperti pria; tidak membedakan gender. Ini adalah ide di balik “Visual Pleasure dan Narrative Cinema” oleh Laura Mulvey yang telah menjadi subjek yang menarik sejak buku tersebut dipublikasikan pada tahun 1975. Banyak teori feminis Film mendiskusikan ide Laura Mulvey dan hubungannya dengan teori lain dan juga dengan situasi dan kondisi saat ini dalam hal menganalisa sebuah film.

Banyak film yang diproduksi baru-baru ini, memperlihatkan perempuan tidak hanya sebagai objek hasrat pria tetapi juga memainkan peranan penting dalam narasi sebuah film. Perempuan sama pentingnya dengan pria, di beberapa film terkadang mereka


(27)

memiliki peranan yang lebih penting daripada pria. Tapi Teori Feminis Film berpikir bahwa bahkan situasi saat ini masih berpihak pada sisi pria daripada sisi perempuan. Banyak usaha yang diperlukan untuk mengubah situasi ini, sampai perempuan (kecenderungan seksual) bisa memperoleh apa yang mereka inginkan dalam hal kesetaraan dengan pria. Proses ini bisa lambat ataupun cepat, tergantung pada kemauan setiap individu yang berusaha di lingkup area ini.”

Menurut Kasiyan (dalam Sugihastuti, 2007: 96), feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan perbedaan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender. Beberapa aliran yang dikenal dalam gerakan ini antara lain:

1. Feminisme Liberal 2. Feminisme Radikal 3. Feminisme Sosialis 4. Feminisme Postmodern 5. Feminisme Anarkis 6. Feminisme Eksistensialis

I.7 Definisi Konsep

Definisi konsep merupakan hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji. Konsep dipakai untuk menggambarkan secara abstrak suatu fenomena sosial atau fenomena alami. Bungin mengartikan konsep sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Kriyantono, 2008: 17).


(28)

Adapun yang menjadi konsep dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis semiologi Roland Barthes siginifikasi dua tahap (two order signification); denotasi dan konotasi, di mana dalam semiologi Roland Barthes ini denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua (Sobur, 2004: 70). Semiologi Roland Barthes ini dipilih karena mampu memaknai tanda untuk merepresentasikan citra perempuan pada iklan WRP versi Diet To Go.

Konsep yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah: 1. Tanda

Tanda merupakan keseluruhan yang dihasilkan antara penanda atau petanda. Tanda harus memiliki baik signifier dan signified. Tanda adalah juga parole yang membawa pesan. Parole dapat berbentuk lisan, tulisan atau representasi lain, misalnya wacana tulis, iklan foto, film, sport, tontonan dan lain-lain (Christomy, 2004: 269). Tanda merupakan sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri (Kriyantono, 2008: 265).

2. Denotasi

Denotasi merupakan makna yang paling nyata, atau makna yang secara langsung tersirat. Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek atau yang disebut sebagai gambaran petanda. 3. Konotasi


(29)

Konotasi merupakan pemaknaan secara tidak langsung atau pemaknaan yang didasarkan atas perasaan dan pikiran yang ditimbulkan pada pemirsanya. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman dalam Sobur, 2004: 71). Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkan sebuah tanda.

4. Mitos

Dalam semiologi Barthes, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos adalah suatu wahana di mana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya (Wibowo, 2011: 17).


(30)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi Massa

II.1.1 Pengertian Komunikasi Massa

Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah media massa untuk mengirim pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 450). Menurut Tan dan Wright, komunikasi massa merupakan komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu (Ardianto, 2004: 3).

Massa dalam media massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Dengan kata lain massa yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa seperti televisi atau koran, maka massa di sini dimaksudkan kepada khalayak, audience atau pemirsa.

Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Gerbner. Gerbner mengemukakan bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan atau bulanan (Ardianto, 2004: 4).

Sekian banyak definisi komunikasi massa yang telah dikemukakan oleh para ahli, Rakhmat merangkum definisi tersebut yaitu komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media


(31)

cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Rakhmat dalam Ardianto, 2004: 7).

II.1.2 Karakteristik Komunikasi Massa

Definisi-definisi komunikasi massa secara prinsip mengandung suatu makna yang sama, bahkan antara satu definisi dengan definisi lainnya dapat saling melengkapi. Melalui definisi-definisi tersebut, dapat diketahui karakteristik komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 7)

1. Komunikator Terlembagakan

Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Kita sudah memahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik.

2. Pesan Bersifat Umum

Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum.

3. Komunikannya Anonim dan Heterogen

Dalam komunikasi massa, komunikator tidak mengenal komunikan (anonim), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak berlangsung tatap muka. Di samping anonim, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda.

4. Media Massa Menimbulkan Keserempakan

Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya, adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif


(32)

banyak dan tidak terbatas. Komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama pula.

5. Komunikasi Mengutamakan Isi Ketimbang Hubungan

Pada komunikasi massa, yang penting adalah unsur isi. Dalam komunikasi massa, pesan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan.

6. Komunikasi Massa Bersifat Satu Arah

Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, dan komunikan aktif menerima pesan, namun di antara keduanya tidak dapat melakukan dialog. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah.

7. Stimulasi Alat Indra Terbatas

Pada komunikasi massa, stimulasi alat indra bergantung pada jenis media massa yang digunakan. Pada surat kabar dan majalah, pembaca hanya melihat. Pada radio siaran dan rekaman auditif, khalayak hanya mendengar, sedangkan pada media televisi dan film, menggunakan indra penglihatan dan pendengaran.

8. Umpan Balik Tertunda

Komponen umpan balik atau feedback merupakan faktor penting dalam bentuk komunikasi apa pun. Efektivitas komunikasi seringkali dapat dilihat dari feedback yang disampaikan oleh komunikan. Umpan balik dalam


(33)

komunikasi massa tidak terjadi secara langsung karena komunikator tidak dapat melihat reaksi atau tanggapan dari komunikan secara langsung.

II.1.3 Fungsi Komunikasi Massa

Komunikasi massa memiliki fungsi-fungsi penting terhadap masyarakat. Dominick (2001) membagi fungsi komunikasi massa sebagai berikut (Ardianto, 2004: 15):

1. Surveillance (Pengawasan)

Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama, yaitu: a. Fungsi pengawasan peringatan yaitu jenis pengawasan yang dilakukan

oleh media massa untuk menginformasikan berbagai hal terutama tentang ancaman kepada khalayak.

b. Fungsi pengawasan instrumental yaitu penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.

2. Interpretation (Penafsiran)

Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan.

3. Linkage (Pertalian)

Media massa mampu menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk suatu pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.


(34)

4. Transmission of values (Penyebaran nilai-nilai)

Media massa yang mewakili gambaran masyarakat dengan model peran yang diamati dan harapan untuk menirunya. Dalam hal ini, media massa memberikan nilai-nilai kepada masyarakat dan nilai-nilai ini yang suatu saat bisa diadopsi oleh masyarakat.

5. Entertainment (Hiburan)

Hampir semua media massa menjalankan fungsi hiburan. Walaupun ada beberapa media yang tidak memberikan fungsi tersebut tetapi memberikan fungsi informasi kepada masyarakat seperti majalah Tempo, Gatra dan lainnya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak.

II.2 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda bermakna sesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain (Bungin, 2010: 164).

Secara terminologis, semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada hakikatnya, semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-sistemnya serta proses pelambangan.


(35)

Barthes dalam Sobur (2004: 15) menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Sekalipun keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, pemikiran kedua orang tokoh tersebut memiliki kemiripan satu sama lain. Istilah semiotika yang sekarang dikenal luas mula-mula diperkenalkan oleh Peirce, sedangkan Saussure memilih istilah semiologi untuk pemikirannya.

Sebuah tanda menurut Peirce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu, dinamakan sebagai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks) dan symbol (simbol) (Wibowo, 2011: 14):

1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh pemakainya.

2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya.

3. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat abriter dan konvensional sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.


(36)

Kategori tipe tanda menurut Peirce digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.

Kategori Tipe Tanda dari Peirce Ikon

Indeks Simbol

Sumber dari Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2010), hal: 168

Teori dari Peirce menjadi grand theory dalam semiotik. Gagasannya bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa secara keseluruhan (Sobur, 2004: 97).

Dalam kajian komunikasi, pusat perhatian semiotika adalah menggali makna-makna tersembunyi di balik penggunaan simbol-simbol yang lantas dianalogikan sebagai teks atau bahasa. Berbeda dengan Peirce, Saussure mengemukakan tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa (Hermawan, 2011: 236).

Saussure menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut:


(37)

Gambar 2.

Elemen-Elemen Makna dari Saussure

Sign

Composed of

Signification

Signifier plus Signified external reality (physical (mental of meaning existence concept)

of the sign

Sumber dari Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal: 125

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske dalam Sobur, 2004: 125).

Salah seorang pengikut Saussure, Roland Barthes, melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Barthes menggunakan versi jauh lebih sederhana saat membahas model ‘glossematic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, Barthes mendefinisikan sebuah tanda sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya dengan content atau signified (Wibowo, 2011: 16).


(38)

Fokus perhatian Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification). Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Barthes menyebut ini sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Sgnifikasi tahap kedua merupakan gambaran interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan nilai-nilai kebudayaan dan ini disebut dengan istilah konotasi.

Charles Morris memudahkan dalam memahami ruang lingkup kajian semiotika. Menurut Morris, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry) yakni sintaktik, semantik dan pragmatik (Wibowo, 2011: 4).

1. Sintaktik

Sintaktik adalah suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji hubungan formal di antara suatu tanda dengan tanda-tanda yang lain. Dengan begitu hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi. Dalam hal ini, tanda tidak pernah mewakili dirinya, tanda selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu.

2. Semantik

Semantik adalah suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya. Yang dimaksud designata adalah tanda-tanda sebelum digunakan dalam tuturan tertentu.

Semantik membahas bagaimana tanda berhubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi


(39)

selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29).

3. Pragmatik

Pragmatik merupakan suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakai-pemakai tanda. Tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya, atau keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya. Aspek pragmatik dari tanda memiliki peran penting dalam komunikasi, khususnya untuk mempelajari mengapa terjadi kepahaman dan kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

II.3 Semiotika Iklan

Pada mula iklan dikenal masyarakat, iklan masih berbentuk relief, iklan koran atau iklan papan nama. Hal ini disebabkan karena media informasi saat itu sangat terbatas, sebagai akibat keterbatasan masyarakat. Demikian pula perkembangan iklan mengikuti perkembangan media massa pada saat itu. Karenanya iklan pertama berupa relief, kemudian menjadi iklan koran dan papan nama, kemudian berkembang menjadi iklan radio dan saat ini iklan ditayangkan di televisi, internet atau komputer di samping iklan-iklan luar yang muncul dan bertebaran di mana-mana dengan berbagai bentuk.

Sebagai sistem pertandaan, iklan sekaligus menjadi sebuah bangunan representasi. Iklan tidak semata-mata merefleksikan realitas tentang manfaat produk yang ditawarkan, namun seringkali menjadi representasi gagasan yang


(40)

terpendam di balik penciptanya. Prinsip semiotika iklan adalah bahwa iklan melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan menjadi tanda, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Dalam iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio dan audiovisual. Ketiganya masih dapat dipecah lagi ke dalam anasir-anasir yang lebih kecil dan lebih subtle.

Iklan juga merupakan konstruksi realitas dalam media. Giacardi berpendapat bahwa iklan adalah acuan, artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang hiperrealistik. Menurutnya iklan berusaha menciptakan suatu realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas nyata yang ada di masyarakat. Suharko mengatakan iklan berusaha merepresentasikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbol-simbol tertentu, sehingga mampu menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya (Wibowo, 2011: 128).

Konstruksi iklan atas realitas sosial terjadi melalui lima tahap. Yaitu (1) tahap menyiapkan materi konstruksi iklan, (2) tahap sebaran konstruksi, (3) tahap pembentukan konstruksi, (4) tahap konfirmasi dan (5) tahap perilaku keputusan konsumen. Dari tahapan konstruksi ini yang menjadi penekanan dalam studi semiotika adalah pada tahap ke tiga, yaitu pada saat terjadi pembentukan konstruksi. Pada tahap ini tanda dibentuk dan dikonstruksi serta disampaikan pada khalayak melalui media yang terpilih. Tanda-tanda yang dikonstruksi tersebut merupakan suatu sistem tanda yang dalam semiotika dipakai sebagai kajian utama. Dalam hal ini akan dicari gambaran seperti apa tanda sebagai sebuah


(41)

sistem dalam realitas simbolik berupa teks iklan sehingga terjawab bagaimana sistem representasi yang terdapat dalam konstruksi iklan tersebut (Wibowo, 2011: 129).

Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik tanda verbal yang mencakup bahasa yang kita kenal maupun tanda non verbal yaitu bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004: 116).

Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan terhadap keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John Fiske (1991) mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali makna-makna tersembunyi dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah “ideologi”. Sebagai level terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana ideologi yang dibangun dalam sebuah tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248).

Kajian sistem tanda dalam iklan mencakup objek. Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam iklan produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya. Yang penting dalam menelaah iklan adalah penafsiran kelompok sasaran dalam


(42)

proses interpretan. Dalam mengkaji iklan, ada berbagai elemen desain grafis yang meliputi gambar (ilustrasi) huruf dan tipografi, warna, teknik serta pengambilan gambar. Hal ini dilakukan guna menyampaikan pesan secara visual, audio dan/atau audio visual kepada target sasaran yang dituju.

1. Tipografi

Tipografi merupakan seni menata huruf di mana dalam hal ini huruf merupakan salah satu elemen yang digunakan dalam menyampaikan pesan komunikasi secara verbal dan visual kepada seseorang, sekumpulan orang, ataupun masyarakat luas yang menjadi tujuan akhir pesan tersebut. Huruf yang ditampilkan dalam iklan, memberikan sebuah kesan tertentu yang semakin menegaskan maksud iklan tersebut. Keberadaan tipografi dalam rancangan karya desain komunikasi visual sangat penting, sebab pemakaian tipografi yang tepat diyakini mampu menguatkan isi pesan verbal desain komunikasi visual tersebut.

2. Komposisi Warna

Warna merupakan salah satu komposisi yang memegang peranan penting dalam visualisasi sebuah iklan. Warna dapat memperkuat dan mempertegas kesan pada iklan tersebut. Barker (1954) dalam Mulyana mendeskripsikan karakter warna, sebagaimana dijelaskan berikut ini:

a. Merah

Melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, resiko, ketenaran, cinta, perjuangan, perhatian, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. b. Putih


(43)

Menunjukkan kedamaian, permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewaan, keperawanan dan kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, tak bersalah, keamanan, persatuan. c. Hitam

Melambangkan perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, kekuatan, formalitas, misteri, kekayaan, ketakutan, kejahatan, ketidakbahagiaan, perasaan yang dalam, kesedihan, kemarahan, sesuatu yang melanggar, modern music, harga diri, anti kemapanan. Hitam memberikan kesan misteri.

d. Biru

Melambangkan kesan komunikasi, peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi spiritual, tenang, kelembutan, dinamis, air, laut, kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan daridalam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi, idealisme, persahabatan dan harmoni, kasih sayang.

e. Hijau

Menunjukkan warna bumi, penyembuhan fisik, kelimpahan, keajaiban, tanaman dan pohon, kesuburan, pertumbuhan, muda, kesuksesan materi, pembaharuan, daya tahan, keseimbangan, ketergantungan dan persahabatan.

f. Kuning

Merujuk pada matahari, ingatan, imajinasi logis, energi sosial, kerjasama, kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, tekanan


(44)

mental, persepsi, pemahaman, kebijaksanaan, penghianatan, kecemburuan, penipuan, kelemahan, penakut, aksi, idealisme, optimisme, imajinasi, harapan, filosofi, resah dan curiga.

g. Merah Muda

Merah muda menunjukkan simbol kasih sayang dan cinta, persahabatn, feminin, kepercayaan, niat baik, damai, perasaan yang halus, perasaan yang manis dan indah.

h. Ungu

Menunjukkan pengaruh, pandangan ketiga, kekuatan spiritual, pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, kebangsawanan, upacara, misteri, pencerahan, telepati, empati, arogan, intuisi, kepercayaan yang dalam, ambisi, keajaiban, harga diri.

i. Orange

Menunjukkan kehangatan, antusiasme, persahabatan, pencapaian bisnis, karakter, kesuksesan, kesehatan pikiran, keadilan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, ketertarikan, independensi.

j. Coklat

Menunjukkan persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras.

k. Abu-Abu

Mencerminkan keamanan, kepandaian, tenang dan serius, kesederhanaan, kedewasaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, profesional, diam, tenang.


(45)

l. Emas

Mencerminkan prestis (kedudukan), kesehatan, keamanan, kegembiraan, kebijakan, arti, tujuan, pencarian ke dalam hati, kekuatan mistis, ilmu pengetahuan, perasaan kagum, konsentrasi.

3. Teknik Pengambilan Gambar

Gambar merupakan hal yang penting dalam pembuatan iklan. Teknik pengambilan suatu gambar akan memberikan suatu kesan tersendiri dan dapat menginformasikan kepada para penerima pesan mengenai aspek yang ingin disampaikan melalui iklan tersebut. Berikut merupakan tabel yang memaparkan teknik dalam pengambilan gambar:

Tabel 1

Teknik Dalam Pengambilan Gambar

PENANDA (SIGNIFIER) PETANDA (SIGNIFIED)

PENGAMBILAN GAMBAR

Extreme Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan

Full Shot Hubungan sosial

Big Close Up Emosi, dramatik, moment penting

Close Up Intim atau dekat

Medium Shot Hubungan personal dengan subjek

Long Shot Konteks perbedaan dengan publik

SUDUT PANDANG (Angle)

Pengambilan Gambar:

High Dominasi, kekuasaan dan otoritas

Eye-Level Kesejajaran, keamanan dan sederajat

Low Didominasi, dikuasai, dan kurang otoritas

TIPE LENSA

Wide Angle Dramatis

Normal Normalitas dan keseharian

Telephoto Tidak personal, voyeuristik

FOKUS

Selective Focus Meminta perhatian (tertuju pada satu


(46)

Soft Focus Romantis serta nostalgia

Deep Focus Semua unsur adalah penting (melihat

secara keseluruhan objek)

PENCAHAYAAN

High Key Riang dan cerah

Low Key Suram dan muram

High Contrast Dramatikan dan teatrikal

Low Contrast Realistik serta terkesan seperti dokumenter

Pewarnaan

Warm (kuning, orang, merah, abu-abu) Optimisme, harapan, hasrat, dan agitasi

Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan

Black and White (Hitam dan Putih) Realisme, aktualisme dan faktual

Sumber: Selby, Keith, dan Codery, Ron, How to Study Television, London, Mc Millisan, 1995(dalam Muhammad Reza, 2011, Representasi Citra Budaya Dalam Iklan).

Saat ini telah banyak produksi-produksi iklan yang menerapkan konsep semiotika. Iklan televisi seringkali dijadikan obyek analisis dengan perangkat semiotika. Iklan acapkali tidak terkait dengan sekadar tawaran produk belaka, melainkan juga seperangkat nilai ideologis, sehingga semiotika dapat dipakai sebagai pisau analisis. Hampir semua produk yang ditawarkan dalam iklan televisi menerapkan semiotika, seperti iklan rokok, iklan rumah tangga, hingga iklan perawatan tubuh wanita seperti pada iklan WRP versi Diet To Go. Iklan-iklan tersebut banyak menggambarkan citra yang menjadi realitas dalam iklan tersebut. Berbagai cara dilakukan untuk menentukan citra, mulai dari pilihan kata atau frase beserta asosiasi yang dilekatkan.

II.4 Semiotika Roland Barthes

Sepanjang sejarah semiotika, nama Roland Barthes tidak dapat dilepaskan begitu saja. Barthes adalah seorang ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks.


(47)

Semiotika, atau dalam istilah Barthes disebut semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos.

Barthes melakukan terobosan penting dalam tradisi semiotika konvensional yang dahulu pernah berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika model Barthes memungkinkan kajian yang mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan popular culture dan media massa. Bahkan dalam pandangan George Ritzer (2003: 53), Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial (Hermawan, 2011: 251).

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Ini disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan


(48)

tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Wibowo, 2011: 17).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes memperjelas sistem signifikasi dua tahap dalam peta berikut ini:

Gambar 3

Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal: 69

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi yang dapat ditunjukkan dengan warna atau rangkaian gambar yang ada dalam objek yang diteliti. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi.

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda)

3. denotative sign (tanda denotatif)

5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER

(PENANDA KONOTATIF)


(49)

Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai tanda alias layak dianggap sebagai lingkaran linguistik. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang kepahlawanan, tokoh, kecantikan, kejantanan dan aneka macam mitos yang bertebaran di dunia kita sehari-hari.

Menurut Barthes pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif itulah yang menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe wacana.

Saussure cenderung mengatakan makna sebagai apa yang didenotasikan oleh tanda. Sementara bagi Barthes, terdapat makna lain yang justru bermain pada level yang lebih mendalam, yakni pada level konotasi. Pada tingkat inilah warisan pemikiran Saussure dikembangkan oleh Barthes dengan membongkar praktik pertandaan di tingkat konotasi tanda. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan suatu produk


(50)

kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi (Fiske, dalam Sobur, 2004: 128).

Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini pada akhirnya berfungsi sebagai penanda sebuah pesan tersendiri. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. Terdapat beragam pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana manusia menggambarkan dunia atau lingkungannya (Hermawan, 2011: 253).

II.5 Representasi

Representasi berarti menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu secara bermakna atau mempresentasikan kepada orang lain. Representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita, dan sebagainya yang mewakili ide, emosi, fakta dan sebagainya. Representasi bergantung pada tanda dan citra yang sudah ada dan dipahami secara kultural, dalam pembelajaran bahasa dan penandaan yang bermacam-macam atau sistem tekstual secara timbal balik.

Representasi merupakan hubungan antara konsep-konsep dan bahasa yang menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu objek, realitas atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa (Hermawan, 2011:


(51)

234). Suatu makna diproduksi dari konsep-konsep dalam pikiran seorang pemberi makna melalui bahasa.

David Croteau dan William Hoynes (dalam Wibowo, 2011: 123) menyatakan bahwa representasi merupakan hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggarisbawahi hal-hal tertentu dan hal lain diabaikan. Dalam representasi media, tanda yang akan digunakan untuk melakukan representasi tentang sesuatu mengalami proses seleksi. Mana yang sesuai dengan kepentingan dan pencapaian tujuan komunikasi, ideologisnya itu yang digunakan sementara tanda-tanda lain diabaikan.

Stuart Hall memetakan sistem representasi ke dalam dua bagian utama, yakni mental representations dan bahasa. Mental representations menandai keniscayaan subyektif alias pengakuan makna yang bergantung kemampuan individu; masing-masing orang memiliki perbedaan dalam mengorganisasikan dan mengklasifikasikan konsep-konsep sekaligus menetapkan hubungan di antara semua itu. Konsep ini masih ada dalam pikiran masing-masing individu tersebut, representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Sedangkan bahasa menjadi bagian sistem representasi karena pertukaran makna tidak mungkin terjadi ketika tidak ada akses terhadap bahasa bersama. Istilah umum yang seringkali digunakan untuk kata, suara atau kesan yang membawa makna adalah tanda (Hermawan, 2011: 234).

Bahasa berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam pikiran kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, agar dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu.


(52)

Isi media bukan hanya pemberitaan tetapi juga iklan dan hal-hal lain di luar pemberitaan. Intinya bahwa sama dengan berita, iklan juga merepresentasikan orang-orang, kelompok atau gagasan tertentu. John Fiske merumuskan tiga proses yang terjadi dalam representasi melalui tabel berikut:

Tabel 2

Tabel Proses Representasi Fiske

PERTAMA REALITAS

(Dalam bahasa tulis, seperti dokumen wawancara transkrip dan sebagainya. Dalam televisi seperti perilaku, make up, pakaian, ucapan, gerak-gerik dan sebagainya

KEDUA REPRESENTASI

Elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposis, kalimat, foto, caption, grafik dan sebagainya. Dalam TV seperti kamera, musik, tata cahaya dan lain-lain).

Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek digambarkan (karakter, narasi setting, dialog dan lain-lain)

KETIGA IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi, seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, dan sebagainya.

Sumber: Wibowo, Semiotika Komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi

(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hal: 123

Pertama, realitas, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media dalam bentuk bahasa gambar ini umumnya berhubungan


(53)

dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Di sini realitas selalu siap ditandakan.

Kedua, representasi, dalam proses ini realitas digambarkan dalam perangkat perangkat teknis, seperti bahasa tulis, gambar, grafik, animasi dan lain-lain. Ketiga, tahap ideologis, dalam proses ini peristiwa-peristiwa dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat.

Konsep representasi digunakan untuk menggambarkan ekspresi hubungan antara teks iklan (media) dengan realitas. Representasi merupakan proses dimana para anggota sebuah budaya menggunakan bahasa untuk memproduksi makna. Bahasa dalam hal ini didefinisikan secara lebih luas, yaitu sebagai sistem apapun yang menggunakan tanda-tanda. Tanda di sini dapat berbentuk verbal maupun non verbal.

Representasi bukanlah suatu kegiatan atau proses yang statis tapi merupakan proses dinamis yang terus berkembang seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia sendiri yang juga terus bergerak dan berubah. Representasi merupakan suatu bentuk usaha konstruksi. Karena pandangan-pandangan baru yang menghasilkan pemaknaan baru juga merupakan hasil pertumbuhan konstruksi pemikiran manusia. Melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. Ini terjadi melalui proses penandaan, praktik yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu (Wibowo, 2011: 124).


(54)

II.6 Feminisme

Feminitas adalah stereotype yang didasarkan atas perbedaan biologis yang tidak melekat sejak lahir tetapi dibuat oleh masyarakat. Feminitas menunjuk pada perbedaan gender, bukan seks, yaitu keadaan di mana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki atau perempuan yang mendapat pencirian psikologis sebagai laki-laki atau perempuan.

Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Dalam Sugihastuti (2000: 37) terdapat dua penjelasan mengenai feminisme. Pertama adalah penjelasan dari Moeliono, yang menjelaskan bahwa feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Yang kedua, Goefe mendefinisikan feminisme sbagai teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.

Dalam media massa, sering dijumpai iklan produk yang menampilkan perempuan dalam iklan tersebut. Perempuan dianggap mampu menampilkan citra yang tepat agar pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan, dapat sampai kepada para penonton.

Dalam banyak iklan terjadi penekanan terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis, seperti memiliki waktu menstruasi (iklan pembalut wanita), memiliki rambut panjang (iklan sampo) dan lainnya. Beberapa citra perempuan yang


(55)

digambarkan dalam iklan televisi seperti citra pigura, citra pilar, citra pinggan dan citra pergaulan.

Keindahan perempuan menjadi stereotip perempuan dan membawa pada sifat-sifat di sekitar keindahan itu, seperti perempuan harus tampil menawan, pandai mengurus rumah tangga, memasak, tampil prima untuk menyenangkan suami dan pantas diajak ke berbagai acara. Stereotip perempuan tersebut menjadi wacana dalam rancangan iklan televisi, sekaligus menempatkan stereotip itu dalam konteks sentral iklan televisi serta pula menempatkan posisi perempuan dalam iklan televisi. Beberapa iklan yang ditampilkan dalam iklan televisi tersebut dianggap mengeksploitasi perempuan.

Kasiyan (dalam Sugihastuti, 2007: 96) berpendapat feminisme sebagai gerakan perempuan muncul dalam karakteristik yang berbeda-beda yang disebabkan perbedaan asumsi dasar yang memandang persoalan-persoalan yang menyebabkan ketimpangan gender. Ada empat aliran utama dalam gerakan feminisme, antara lain adalah (Fakih, 2004: 81):

1. Feminisme Liberal

Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Asumsi dasar feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.

Kerangka kerja feminisme liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada kesempatan yang sama dan hak yang sama bagi setiap


(56)

individu, termasuk di dalamnya kesempatan dan hak perempuan. Feminisme liberal tidak pernah mempertanyakan diskriminasi akibat ideologi patriarki, sebagaimana dipersoalkan oleh feminisme radikal maupun analisis atas struktur kelas, politik, ekonomi serta gender.

2. Feminisme Radikal

Feminisme radikal muncul sebagai reaksi atas kultur sexism atau diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat tahun 60-an. Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual atau biologis. Sehingga, dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya.

3. Feminisme Marxis

Kelompok feminisme marxis menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Penganut feminisme marxis tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya.

4. Feminisme Sosialis

Feminisme sosialis menganggap bahwa penindasan perempuan bisa melahirkan kesadaran revolusi, tapi bukan revolusi model perempuan sebagai jenis kelamin (women as sex). Bagi feminisme sosialis, ketidakadilan bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan, tetapi lebih karena


(57)

penilaian dan anggapan terhadap perbedaan itu. Oleh karena itu, yang diperangi dalam gerakan feminisme sosialis adalah konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender.

Dalam kajian feminisme, kategori yang sesuai dengan penelitian ini adalah feminisme liberal. Dalam feminisme liberal, perempuan mendapatkan pendidikan yang setara, hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara. Feminis liberal berkeinginan berkeinginan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif yaitu, dari peran-peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat sama sekali, bagi perempuan, baik dalam akademi, forum, maupun pasar (Rosemarie, 2010: 48). Seperti yang ditampilkan dalam iklan WRP Diet To Go bahwa perempuan dapat melakukan aktivitas seperti yang dilakukan oleh banyak kaum pria.


(58)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, proses penelitian dan ilmu pengetahuan tidak sesederhana apa yang terjadi pada penelitian kuantitatif. Pada penelitian kualitatif, peneliti harus dapat berpikir secara kritis, di mana peneliti mampu menangkap fenomena-fenomena sosial di masyarakat dan melakukan pengamatan mendalam terhadap fenomena tersebut. Metode dalam penelitian kualitatif bersifat interpretatif.

Semiotika, merupakan salah satu bagian dari bentuk penelitian kualitatif. Penelitian ini, menggunakan analisis semiotika dalam mengkaji lebih dalam tentang makna yang terkandung di dalam tanda. Analisis semiotika menganalisis tidak sekedar realitas media massa akan tetapi konteks realitas pada umumnya. Melalui analisis semiotika, sejumlah besar sistem tanda yang terdapat pada kajian media mampu dianalisis dalam mencari makna di balik tanda.

Metode semiotika merupakan metode yang bersifat interpretatif, di mana dalam metode semiotika peneliti menganalisis dan mengungkapkan serta menguraikan makna dalam bentuk teks. Dalam penelitian ini, sangat bersifat subjektif yang berarti setiap pemaknaan yang terdapat di balik tanda melibatkan daya pikir, pengalaman, budaya serta emosi tiap manusia.

Selanjutnya, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan semiotika model Roland Barthes. Dalam semiotika Roland Barthes, menggunakan signifikasi dua tahap di mana tahap pertama merupakan tataran denotasi yang


(1)

Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Nasi memiliki kandungan karbohidrat yang banyak sehingga apabila mengkonsumsi terlalu berlebihan dapat menyebabkan kegemukan pada tubuh. Begitu juga bagi masyarakat luar negeri seperti Eropa atau Amerika yang ingin serba cepat dalam segala hal termasuk dalam hal makanan misalnya sering mengkonsumsi fast food bahkan junk food yang mampu mendatangkan berbagai penyakit salah satunya seperti obesitas yang menjadi ketakutan terbesar bagi perempuan. WHO (World Health Organization) sebuah lembaga terkemuka di dunia menemukan fakta ilmiah mengenai obesitas yaitu 64% penduduk USA adalah penderita obesitas, di Eropa 50 %, Jepang 35%, Korea 33% dan di Indonesia adalah 27% mengkhawatirkan sehingga dewasa ini banyak orang mencari cara dalam usaha mengurangi berat badan. Salah satu cara dalam mengontrol berat badan yaitu dengan mengkonsumsi susu WRP Diet To Go secara rutin. WRP Diet To Go menawarkan susu yang memiliki asupan gizi yang baik untuk dikonsumsi perempuan yang berada di seluruh penjuru dunia.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V. 1 Kesimpulan

1. Iklan WRP Diet To Go merupakan iklan yang memiliki konsep tentang perempuan modern yang memiliki kehidupan yang mewah dan glamour. Kesan mewah yang sangat terasa tampak jelas sejak gambar pertama yang menampilkan kota megah dan metropolitan. Iklan ini menampilkan perempuan masa kini yang menjadi andalan bagi diri sendiri, keluarga serta lingkungan sosialnya. Yang menjadi segmentasi pasar dalam iklan ini adalah semua perempuan dewasa yang berada di seluruh dunia dan memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas. Pesan yang lebih luas dalam iklan ini adalah wanita wajib menjaga keindahan tubuh agar tetap ideal dan mampu memelihara penampilan yang indah.

2. Iklan merupakan salah satu bagaimana cara untuk menyampaikan pesan kepada khalayak. Pesan yang ditampilkan lebih mendalam sehingga menimbulkan citra atas iklan tersebut. Dalam iklan WRP versi Diet To Go, sangat terasa kental citra perempuan. Antara lain citra sosial, citra pergaulan, citra keibuan, citra pigura dan lain sebagainya. Pesan inilah yang ingin disampaikan kepada para khalayak bagaimana sebaiknya citra perempuan dan citra inilah yang ingin ditanamkan kepada para perempuan di dunia.


(3)

V. 2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang telah diperoleh peneliti selama melakukan penelitian, ada beberapa saran yang peneliti anggap perlu, yaitu:

1. Diharapkan agar ke depannya iklan WRP versi Diet To Go lebih menampilkan ide-ide segar serta kreativitas dalam menyajikan iklan sehingga dapat menunjukkan wanita di mata dunia serta memberikan dampak positif bagi setiap khalayak wanita.

2. Iklan tidak hanya berfokus pada keuntungan komersial semata, tapi pesan yang terkandung di dalamnya hendaknya memberi nilai moral yang lebih kepada masyarakat.

3. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti makna dalam iklan televisi dan sejenisnya. Penelitian ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan para peneliti lain dapat menutupi kekurangan tersebut di masa depan.


(4)

Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bungin, Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

_____________. 2011. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana. Christomy, T dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat

Kemasyarakatan dan Budaya UI.

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Fakih, Mansour. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gandhi, Mahatma. 2002. Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar .

Hermawan, Anang. 2011. Mix Methodology Dalam Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Kriyantono, Rakhmat. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Mahfoedz, Mahmud. 2010. Komunikasi Pemasaran Modern. Yogyakarta: Cakra

Ilmu.

McQuail, Denis. 1996. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga. Morrisan, M. A. 2009. Teori Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nurudin. 2004. Pengantar Komunikasi Massa. Malang: Cespur.

Rivers, William L. 2008. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana

Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi Perspektif. Jakarta: Rineka Cipta. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(5)

Sucipto, Toto. 1998. Peranan Media Massa Lokal bagi Pembinaan dan Pengembangan Daerah. Depdikbud RI

Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita. Bandung: Nuansa.

_________. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tong, Rosemarie Putnam. 2010. Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra

Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2011. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Sumber lain:

Haris Wijaya dalam Tulisan Feminist Film Theory.

Skripsi: Reza, Muhammad. 2011. Representasi Citra Budaya Dalam Iklan. Medan: Universitas Sumatera Utara.

2011


(6)

BIODATA PENELITI

Nama/ NIM : FRADINA DWI SAFITRI / 080904022 Tempat/ Tanggal Lahir : Sibolga / 23 Juli 1991

Departemen : Ilmu Komunikasi FISIP USU

Alamat : Jl. Sei Mencirim Komp. Lalang Green Land 1 B

Email : fradina_dwi@yahoo.com

Anak ke : 2 dari 3 bersaudara Orangtua

Ayah : H. Farhan S.H

Ibu : Hj. Ellisa Fitri Tanjung S.Pd.I, MA

Pendidikan : 1996 – 2002

SD Negeri 085115 2002-2005

SLTP Swasta Al-Muslimin Pandan 2005-2008

SMA Negeri 1 Matauli Pandan 2008-2012


Dokumen yang terkait

REPRESENTASI PEREMPUAN DEWASA YANG TERBELENGGU DALAM TAYANGAN IKLAN TELEVISI REPRESENTASI PEREMPUAN DEWASA YANG TERBELENGGU DALAM TAYANGAN IKLAN TELEVISI Analisis Semiotika John Fiske pada Tayangan TVC Tri Always On versi Perempuan.

0 2 10

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN PADA IKLAN POMPA AIR SHIMIZU DI TELEVISI (Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Pada Iklan Pompa Air Shimizu di Televisi).

2 14 115

Representasi Pencitraan Perempuan Dalam Iklan “Permen Sukoka” di Televisi ( Studi Semiotik Tentang Representasi Pencitraan Perempuan Dalam Iklan “ Permen Sukoka” di Televisi ).

20 124 102

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN PRODUK LAKI-LAKI (Studi Semiotik Mengenai Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Axe Deodorant Bodyspray versi ”Harga Minim” di Media Televisi).

2 8 86

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN URAIAN TEORITIS - Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan

2 5 28

BAB I PENDAHULUAN - Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan

1 6 19

Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan

1 3 9

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN PRODUK LAKI-LAKI (Studi Semiotik Mengenai Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Axe Deodorant Bodyspray versi ”Harga Minim” di Media Televisi)

0 0 19

Representasi Pencitraan Perempuan Dalam Iklan “Permen Sukoka” di Televisi ( Studi Semiotik Tentang Representasi Pencitraan Perempuan Dalam Iklan “ Permen Sukoka” di Televisi ).

0 0 19

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN PADA IKLAN POMPA AIR SHIMIZU DI TELEVISI (Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Pada Iklan Pompa Air Shimizu di Televisi)

0 1 99