BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN KREDIT A. Pengertian Jaminan - Deposito Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank Sumut Cabang Binjai

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN KREDIT A. Pengertian Jaminan Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan, tidak disebutkan secara

  tegas mengenai kewajiban atau keharusan tersedianya jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh calon debitur atau debitur, seperti yang diatur dalam Undang – Undang Perbankan sebelumnya.

  Selengkapnya dibandingkan bunyi Pasal dalam Undang-Undang Perbankan yang mengatur mengenai masalah jaminan tersebut, yaitu : 1.

  Bunyi Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 : “Bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”.

  2. Bunyi Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 : “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

  Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, secara tersirat jelas ditekankan keharusan adanya jaminan atas setiap pemberian kredit kepada siapapun. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, keharusan adanya jaminan terkandung secara tersirat dalam kalimat : “…keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur…” dan sekaligus mencerminkan apa yang

   disebut dengan jaminan yang harus disediakan oleh debitur.

  Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur.

  Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsure jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsure-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredityang bersangkutan.

  Apalagi apabila kita melihat ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang menentukan bahwa segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

  Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan.

  Dari pengertian tersebut lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa : 1.

  Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaanmaupun hak perorangan.

19 Hasanudin Rahman, 1998, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia , P.T. CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, hlm. 161.

  2. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung.

  3. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut ialah untuk keamanan dan kepentingan kreditur yang harus diadakan dengan suatu perjanjian khusus, perikatan mana bersifat acesoir dari perjanjian kredit atau pengakuan utang yang diadakan antara kreditur dengan debitur.

  Mengenai pentingnya suatu jaminan oleh kreditur atas suatu pemberian kredit, tidak lain adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit tersebut.

B. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan

  Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-

  

  ketentuan KUH Perdata adalah sebagai berikut ;

  1. Kedudukan harta para pihak peminjam

  Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta para pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan atas utangnya. Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik yang berupa harta bergerak, baik yang sudah ada maupu yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.

  47 M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 9.

  Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengtur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, Termasuk senua harta yang akan dimilikinya dikemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam dikemudian hari.

  Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sering pula dicantumkan sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan.

  Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang dicantumkan sebagai klausul dalam perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian, disebut sebagai isi naturalia.

  Klausul perjanjian yang tergolong sebagai isi naturalia merupakan klausul fakultatif, artinya bila dicantumkan sebagai isi perjanjian akan lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan, tidak menjadi masalah kecacatan perjanjian karena hal (klausul) yang seperti demikian sudah diatur oleh ketentuan hukum yang berlaku.

  Dengan memperhatikan kedudukan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata Bila dikaitkan dengan suatu perjanjian pinjaman uang, akan lebih baik ketentuan tersebut dimasukkan sebagai klausul dalam perjanjian pinjaman uang, termasuk dalam perjanjian kredit.

2. Kedudukan pihak pemberi pinjaman

  Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu : a.

  Yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing.

  b.

  Yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak peberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang- undangan.

  Pasal 1132 KUH Perdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara pihak pemberi pinjaman itu mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan.

  

3. Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh

pihak pemberi pinjaman

  Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji atau wanperstasi. Larangan bagi pihak pemberi pinjaman utnuk memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan lembaga jaminan tersebut tentunya akan melindungi kepentingan pihak peminjam dan pihak pemberi pinjaman lainnya, terutama bila nilai objek jaminan melebihi besarnya utang yang dijamin.

  Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai hak berdasarkan ketentuan lembaga jaminan dilarang serta-merta menjadi pemilik objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji. Ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas tentunya akan dapat mencegah tidakan sewenang-wenang pihak pemberi pinjaman yang akan merugikan pihak peminjam.

C. Jenis-Jenis Jaminan

  Oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya jenis-jenis jaminan kredit adalah sebagai berikut :

  1. Jaminan Perorangan

  Jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seseorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur yang

   bersangkutan wanprestasi.

  Jaminan semacam ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 (termasuk Pasal 1316).

  2. Jaminan Kebendaan

  Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda 48 maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian Ibid., hlm. 164. dari harta kekayaan baik dari sidebitur maupun dari pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur,

   apabila debitur yang bersangkutan wanprestasi.

  Menurut sifatnya, jaminan kebendaan ini terbagi 2, yaitu : a.

  Jaminan dengan benda berwujud (material) Dapat berupa benda atau barang bergerak dan barang tidak bergerak.

  Sedangkan benda tak berwujud yang lazim diterima oleh bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih.

  Barang bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank, antara lain dapat berupa :

  1. Kendaraan Bermotor.

  Yang dimaksud dengan kendaraan bermotor disini adalah mobil dengan berbagai jenis, tipe dan merek serta sepeda motor dan skuter.

  Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yaitu pada

  Pasal 1 ayat (7) disebutkan bahwa “kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan, oleh peralatan teknik yang berada di atas atau pada kendaraan itu”. Untuk kepentingan pengikatan jaminan, maka yang harus diminta oleh bank adalah buku Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).

  2. Stok Barang.

  49 Ibid., hlm. 167.

  Yang dimaksud dengan stok barang disini adalah barang dagangan, baik yang sudah ada maupun yang akan ada yang dapat dinilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

  3. Deposito.

  Apabila deposito akan dijadikan jaminan kredit, maka yang harus diminta dan disimpan oleh bank adalah bilyet deposito tersebut, baik untuk deposito berjangka maupun untuk sertifikat deposito. Kemudian atas deposito ini, harus diperiksa keaslian, legalitasnya serta kebenaran daripada isi bilyet tersebut. Ada beberapa cara untuk mengetahui dan mengamankan suatu deposito yang akan dijadikan

  

  jaminan, antara lain adalah : a.

  Apabila bank penerbit deposito tersebut berbeda dengan bank pemberi kredit, maka :

  1. Pemilik deposito memberikan surat kuasa kepada bank pemberi kredit untuk memblokirkan atau mencairkan deposito pada bank penerbit deposito tersebut.

  2. Atas dasar surat kuasa tersebut bank pemberi kredit memebuat surat permintaan pemblokiran atas deposito yang bersangkutan, dimana sebagai tanda sepengetahuan dan pesetujuannya, maka bank penerbit deposito tersebut membubuhkan tanda tangannya pada surat permintaan pemblokiran deposito tadi.

  50 Ibid., hlm. 180. b.

  Apabila bank penerbit deposito tersebut dan bank pemberi kredit adalah bank yang sama, maka :

  1. Pemilik deposito memberikan surat kuasa kepada bank pemberi kredit untuk memblokirkan atau mencairkan deposito yang dijaminkan tersebut.

  2. Atas dasar surat kuasa tersebut bank yang bersangkutan melakukan pengecekan keaslian dan kebenaran serta pemblokiran atas deposito tersebut. Sedangkan barang tidak bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank, dapat berupa ;

1. Tanah dan Bangunan.

  Sehubungan dengan kenyataan yang ada saat ini bahwa tanah-tanah dan benda-benda khususnya bangunan yang ada di atasnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka apabila bank bank akan menerima tanah sebagai jaminan kredit, maka benda-benda yang berada di atas tanah tersebut harus diminta pula sebagai jaminan atas kredit tersebut.

  2. Kapal Untuk kepentingan pembebanan hak tanggungan atau perikatan jaminan kapal, maka secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : a.

  Kapal yang berukuran kurang dari 20 meter kubik.

  b.

  Kapal yang berukuran 20 meter kubik atau lebih.

D. Fungsi Jaminan Dalam Pemberian Kredit

  Sebagaimana telah dikemukakan pemberian kredit adalah salah satu bentuk pinjaman uang. Dalam suatu pinjaman uang sering dipersyaratkan adanya jaminan utang yang dapat terdiri dari berbagai bentuk dan jenisnya. Mengenai penjaminan utang, dalam hukum positif di Indonesia terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan jaminan utang yang sering disebut dengan sebutan hukum jaminan. Ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang berlaku memberikan pengaturan yang akan melindungi pihak-pihak yang berkepentingan dengan pinjaman uang dan jaminan utang tersebut.

  Dari uraian di atas terlihat bahwa jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Jaminan kredit sebagai pengamanan pelunasan kredit

  Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada debitur wajib melaksanakan upaya pengamanan agar kredit tersebut dapat dilunasi debitur yang bersangkutan. Kredit yang tidak dilunasi oleh debitur baik sebagian maupun seluruhnya akan merupakan kerugian bagi bank.

  Kerugian yang menunjukkan jumlah yang relatif besar akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank dan kelanjutan usaha bank.

  Oleh karena itu, sekecil apapun nilai uang dari kredit yang telah diberikan kepada debitur harus tetap diamankan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara umum pengamanan kredit dapat dilakukan melalui tahap analisis kredit dan melalui penerapan ketentuan hukum yang berlaku. Khusus mengenai jaminan kredit, untuk pengamanannya dapat ditemukan baik pada tahap analisis kredit maupun melalui penerapan ketentuan hukum.

  Keterkaitan jaminan kredit dengan pengamanan kredit dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sehingga merupakan upaya lain atau alternatif yang dapat digunakan bank untuk memperoleh pelunasan kredit pada waktu debitur ingkar janji pada bank.

  Bila di kemudian hari debitur ingkar janji, yaitu tidak melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit, akan dilakukan pencairan (penjualan) atas objek jaminan kredit yang bersangkutan. Hasil pencairan kredit tersebut selanjutnya akan diperhitungkan oleh bank untuk pelunasan kredit debitur yang telah dinyatakan sebagai kredit macet.

  Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit baru akan muncul pada saat kredit dinyatakan sebagai kredit macet. Selama kredit telah dilunasi oleh debitur, tidak akan terjadi pencairan jaminan kreditnya. Dalam hal ini jaminan kredit akan dikembalikan kepada debitur yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan hukum dan perjanjian kredit.

  Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit sangat berkaitan dengan kepentingan bank yang menyalurkan dananya kepada debitur yang sering dikatakan mengandung risiko. Dengan adanya jaminan kredit yang dikuasai dan diikat bank sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, pelaksanaan fungsi tersebut akan terlaksana pada saat debitur

   ingkar janji atau wanprestasi.

  2. Jaminan kredit sebagai pendorong motivasi debitur

  Pengikatan jaminan kredit yang berupa harta milik debitur yang dilakukan oleh pihak bank, tentunya debitur yang bersangkutan takut akan kehilangan harta tersebut. Hal ini akan mendorong debitur berupaya untuk melunasi kreditnya kepada bank agar hartanya yang dijadikan jaminan kredit tersebut tidak hilang karena harus dicairkan oleh bank.

  Umumnya sesuai dengan ketentuan peraturan internal masing-masing bank, nilai jaminan kredit yang diserahkan debitur kepada bank lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kredit yang diberikan bank kepada debitur yang bersangkutan.

  Hal ini memberikan motivasi kepada debitur untuk menggunakan kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usahanya secara baik, mengelola kondisi keuangan secara hati-hati sehingga dapat segera melunasi kreditnya agar dapat menguasai kembali hartanya. Tidak dapat dipungkiri siapapun juga pasti tidak ingin kehilangan hartanya karena merupakan sesuatu yang dibutuhkan, mempunyai nilai-nilai tertentu, atau

   disayangi.

  3. Motivasi pemenuhan perjanjian

  Dengan adanya jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur, maka 51 debitur akan merasa termotivasi untuk memenuhi isi perjanjian. Ini 52 M. Bahsan, op.cit., hlm 102.

  Ibid. disebabkan karena jaminan yang diberikan kepada kreditur lebih besar nilainya dari jumlah uang yang dipinjam debitur. Dengan pengertian lain, secara sepintas adanya kewajiban bagi debitur untuk melunasi utangnya disebabkan karena keinginan menebus benda yang dijadikan jaminan.

   Sehubungan dengan adanya persyaratan administrative yang ditetapkan

E. Pengikatan Atas Jaminan Kredit

  dalam peraturan internal bank, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan hendaknya bank tidak menyetujui permohonan penarikan kredit yang diajukan debitur sebelum seluruh persyaratan administratif diselesaikan oleh debitur, termasuk mengenai pengikatan dan penguasaan jaminan kreditnya.

  Terhadap setiap objek jaminan kredit yang diserahkan debitur dan disetujui bank, harus segera diikat sebagai jaminan utang. Bank seharusnya mengikat objek jaminan kredit secara sempurna, yaitu dengan mengikut i ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan utang.

  Pengikatan atau penguasaan jaminan kredit seharusnya dilakukan sebelum diizinkannya dibitur menarik dana kredit. Keharusan pengikatan dan penguasaan jaminan kredit merupakan bagian dari persyaratan adminstratif yang sudah diselesaikan sebelum kredit disalurkan dananya kepada debitur.

  

  53 T. Darwini, op.cit., hlm. 55. 54 M. Bahsan, op.cit., hlm. 132.

BAB IV DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT PADA BANK SUMUT CABANG BINJAI A. Hubungan Antara Pihak Bank Dengan Nasabah Hubungan antara pihak bank dengan nasabah adalah suatu perjanjian yang

  berarti para pihak dalam hal ini bank dengan nasabah mempunyai hak dan kewajiban. Apabila diperhatikan secara seksama UUP, tidak ditemui ketentuan yang mengatur secara tegas perihal hubungan hukum antara pihak bank dengan nasabahnya.

  Namun dari beberapa ketentuan dapat disimpulkan, bahwa hubungan antara bank dengan nasabah diatur oleh suatu perjanjian. Hal ini disimpulkan dari ayat 1 ayat (5) UUP, “ Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanandan dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan/atau untuk lainnya yang dipersamakan

   dengan itu “.

  Masalah hukum perjanjian, ketentuan umumnya dapat dilihat dalam buku KUH Perdata yang menganut sistem terbuka dalam arti hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

  Hal ini berarti bahwa pasal-pasal itu boleh dikesampingkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum

   perjanjian.

  55 56 Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 60.

  R. Soebekti, 1976, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 13. Akibat hukum ditandatanganinya suatu perjanjian ialah perjanjian tersebut mengikat para pihak. Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Asas ini tersimpul dari pasa 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengemukakan, bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan persyaratan sahnya suatu perjanjian dapat dilihat dala pasal 1320 KUH Perdatayang dikenal dengan asasnya yaitu asas konsensualitas atau asas kesepakatan.

  Kedua asas di atas dapat diterapkan apabila posisi tawar menawar para pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang dikehendaki masing-masing. Dalam praktik, pada umumnya bank telah membuat formulir tersendiri. Dalam formulir tersebut, telah tertera segala persyaratan yang harus ditentukan oleh bank. Disebut demikian, karena persyaratan antara satu bank dengan bank lainnya berbeda satu sama lain. Tampaknya jenis simpanan yang cukup berkembang pesat adalah simpanan dalam bentuk deposito.

  Namun demikian sebagai gambaran umum kiranya dapat diungkap di sini, bahwa bank mempunyai kewajiban untuk :

  1. Menjamin kerahasiaan identitas nasabah beserta dengan dana yang disimpan pada bank, kecuali jika peraturan perundang-undangan menentukan lain.

  2. Menyerahkan dana kepada nasabah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

  3. Membayar bunga simpanan sesuai dengan perjanjian.

  4. Mengganti kedudukan debitur dalam hal nasabah tidak mampu melaksanakan kewajibannya kepada pihak ketiga.

  5. Melakukan pembayaran kepada eksportir dalam hal digunakan fasilitas L/C, sepanjang persyaratan untuk itu telah dipenuhi.

  6. Memberikan laporan kepada nasabah terhadap perkembangan simpanan dananya di bank.

  7. Mengembalikan agunan dalam hal kredit telah lunas. Sebaliknya bank berhak untuk : 1.

  Mendapatkan provisi terhadap layanan jasa yang diberikan kepada nasabah.

  2. Menolak pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama.

  3. Melelang agunan dalam hal nasabah tidak mampu melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah ditandatangani kedua belah pihak.

  4. Pemutusan rekening nasabah.

  5. Mendapatkan buku cek, bilyet giro, buku tabungan, kartu kredit dalam hal terjadi penutupan rekening.

  Kewajiban nasabah : 1.

  Mengisi dan menandatangani formulir yang telah disediakan oleh bank, sesuai dengan layanan jasa yang diinginkan oleh calon nasabah.

  2. Melengkapi persayaratan yang ditentukan oleh bank.

  3. Menyetor dana awal yang ditentukan oleh bank ( dalam hal ini dana awal tersebut cukup bervariasi tergantung dari jenis layanan jasa yang diinginkan).

  4. Membayar provisi yang ditentukan oleh bank.

  5. Menyerahkan buku cek/giro bilyet tabungan. Nasabah berhak untuk : 1.

  Mendapatkan layanan jasa yang diberikan oleh bank, seperti fasilitas kartu ATM.

  2. Mendapatkan laporan atas transaksi yang dilakukan melalui bank.

  3. Menuntut bank dalam hal terjadi pembocoran rahasia bank.

  4. Mendapatkan agunan kembali, bila kredit yang dipinjam telah lunas.

  5. Mendapat sisa uang pelengkap dalam hal agunan dijual untuk melunasi kredit yang tidak terbayar.

B. Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Deposito

  Pengertian yang umum tentang wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Dengan demikian seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jangka waktu yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan

   prestasi tidak menurut yang sepatutnya atau selayaknya.

  Banyak perikatan yang tidak dengan ketentuan waktu pemenuhan prestasinya memang dapat segera ditagih, tetapi debitur juga tidak dapat menuntut pengganti kerugian apabila kreditur tidak segera mengirim barangnya ke rumah debitur. Hal ini diperlukan tenggang waktu yang layak dan ini diperbolehkan

57 T. Darwini, op.cit., hlm. 22.

  dalam praktik. Tenggang waktu dapat beberapa jam, dapat pula satu hari, bahkan lebih.

58 Maka dari itu perjanjian-perjanjian yang tidak ditentukan waktunya

  wanprestasi tidak terjadi demi hukum, karena tidak ada kepastian kapan betul- betul wanprestasi. Kalau perikatan itu dengan ketentuan waktu, kadang-kadang ketentuan waktu mempunyai arti yang lain yaitu : “bahwa debitur tidak boleh berprestasi sebelum waktu itu tiba”.

59 Adapun bentuk wanprestasi adalah sebagai berikut :

   1.

  Debitur tidak memenuhi perikatan atau sama sekali tidak melaksanakan prestasi.

  2. Debitur terlambat memenuhi prestasi atau perikatan.

  3. Debitur melaksanakan prestasi tetapi tidak baik atau debitur keliru atau tidak pantas dalam memenuhi perikatan.

  Wanprestasi itu tidak terjadi dengan sendirinya maka untuk menentukan seseorang itu wanprestasi tergantung pada waktu yang diperjanjikan. Yang mudah untuk menentukan saat debitur wanprestasi yaitu mulai saat orang itu melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian atau dikatakan tidak lagi memenuhi perikatan, maka ia dikatakan wanprestasi.

  Oleh karenanya, akibat yang timbul dari wanprestasi adalah keharusan debitur untuk membayar ganti rugi atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian. Kerugian 58 Ibid. 59 Ibid. 60 Dikutip T. Darwini dalam diktatnya, 2008, Hukum Perdata, hlm. 103. tersebut oleh kreditur dapat menimbulkan salah satu dari 5 kemungkinan yang terjadi, yaitu sebagai berikut :

   1.

  Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian.

  2. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.

  3. Dapat menuntut pengganti kerugian.

  4. Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian.

  5. Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian. Dengan demikian, dalam hal wanprestasi yang terjadi pada perjanjian kredit dengan jaminan deposito ialah sama halnya dengan wanprestasi pada umumnya hanya saja objek yang dijadikan dalam perjanjian kredit ini ialah simpanan deposito dimana pihak debitur tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan waktu yang ditentukan atas kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak kreditur dan pihak debitur berkenaan dengan perjanjian yang telah dibuat atau pihak debitur terlambat memenuhi prestasinya.

C. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Hukum

  Penyelesaian terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih banyak ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian lembaga hukum, diantaranya :

   2.

  Melalui badan peradilan.

  1. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN).

  3. Melalui arbitrase atau Badan Alternative Penyelesaian Sengketa. 61 T. Darwini. op.cit., hlm. 23. 62 Muhammad Djumhana. Op.cit., hlm. 561.

4. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

  Selain melalui lembaga sebagaimana tersebut di atas, penanganan kredit macet dalam kondisi penyehatan perbankan, yaitu pada saat ini masih ada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Demikian juga halnya dengan penanganan kredit macet yang dimiliki oleh bank dalam penyehatan ditangani langsung oleh lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

  Penanganan kredit macet oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional, diantaranya, melalui penyertaan modal sementara, sebagaimana ditetapkan dalam

  Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yaitu bahwa dalam rangka penyehatan perbankan dan/atau pengelolaan kekayaan yang berbentuk portofolio kredit, Badan Penyehatan Perbankan Nasional dapat melakukan penyertaan modal sementara. Penyertaan modal sementara dilakukan secara langsung atau melalui pengonversian tagihan Badan Penyehatan Perbankan Nasional menjadi penyertaan modal.

  Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam menangani kredit bank dalam penyehatan sesuai dengan ketentuan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor

  27 Tahun 1999 dilakukan melalui, antara lain, tindakan pemantauan kredit; peninjauan ulang, pengubahan, pembatalan, pengakhiran, dan/atau penyempurnaan dokumen kredit dan jaminan; resrukturisasi kredit; penagihan piutang; penyertaan modal pada debitur; memberikan jaminan atau penanggungan; pemberian atau penambahan fasilitas pembiayaan; dan/atau penghapusbukuan piutang.

  Adapun tata cara dalam penanganan melalui tindakan seperti di atas begitu pula dengan syarat-syaratnya, terlebih dahulu harus ditetapkan oleh Badan

   Penyehatan Perbankan Nasional dengan persetujuan Menteri Keuangan.

  1. Penyelesaian kredit bermasalah melalui PUPN/BUPN

  Kredit bernasalah terutamanya golongan kredit macet pada bank milik Negara merupakan salah satu bentuk yang dikategorikan sebagai piutang negara karena bank milik negara merupakan salah satu badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara. Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, penyelesaian kredit bank milik negara dapat diusahakan melalui Panitia Urusan Piutang Negara. Panitia ini merupakan suatu panitia interdepartemental, yang anggotanya terdiri atas wakil Departemen Keuangan; Departemen Hankam; Kejaksaan Agung; dan dari Bank Indonesia. Sedangkan struktur organisasinya terdiri atas PUPN pusat, wilayah, dan cabang.

  Dalam menjalankan tugasnya, Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) berpedomanpada ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara. Di dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa PUPN

  

  mempunyai tugas :

  63 64 Ibid., hlm.562.

  Ibid. a.

  Membahas pengurusan piutang Negara, yaitu utang kepada negara yang harus dibayar kepada negara, yakni instansi- instansi pemerintah atau badan-badan usaha negara yang modal atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya milik negara, baik di pusat maupun di daerah.

  b.

  Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang, kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah atau badan-badan usaha negara baik di pusat maupun di daerah. Pengurusan piutang negara oleh PUPN dimaksudkan untuk menyelamatkan keuangan negara secara cepat, efektif, dan efesien.

  Mekanisme penanganan piutang negara oleh PUPN, yaitu apabila piutang negara tersebut telah diserahkan pengurusannya kepada pemerintah atau bank milik negara tersebut. Piutang yang diserahkan adalah piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, tetapi yang penanggung utangnya tidak melunasi sebagaimana mestinya. Apabila kita mengacu pada mekanisme penyelesaian pengurusan piutang negara secara khusus, pada dasarnya pengurusan piutang negara dari kredit macet tersebut

  

  juga tidak jauh berbeda, yaitu paling tidak melalui tahapan : 1.

  Setelah dirundingkan oleh panitia dengan penanggung utang dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah utangnya yang 65 masih harus dibayar, termasuk bunga uang, denda, serta biaya- Ibid., hlm. 563. biaya yang bersangkutan dengan piutang ini, oleh ketua panitia dan penanggung utang/penjamin utang dibuat pernyataan bersama yang memuat jumlah dan kewajiban penanggung utang untuk melunasinya.

  2. Pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan,

  seperti suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum pasti. Dengan demikian, PUPN mempunyai kewenangan

  parate executie.

  3. Pelaksanaannya dilakukan oleh ketua panitia dengan suatu

  surat paksa melalui cara penyitaan, pelelangan barang-barang kekayaan penanggung utang/penjamin utang dan penyanderaan terhadap penanggung utang/penjamin utang, dan pernyataan lunas piutang negara.

  Dalam hal penyitaan khususnya terhadap kekayaan yang tersimpan di lembaga perbankan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.09/1995, maka PUPN dapat melakukannya tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Adapun hasil dari penyitaan tersebut untuk digunakan pembayaran atau pelunasan utang penanggung utang/penjamin utang. Meskipun PUPN tidak memerlukan izin untuk penyitaan tersebut, PUPN tetap harus memperhatikan ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan.

  Dalam penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada PUPN, maka kerahasiaan bank tersebut dikecualikan. Maksudnya, bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada PUPN, pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat PUPN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur.

  Izin tersebut diberikan secara tertulis berdasarkan permintaan tertulis dari ketua PUPN. Pelaksanaan pemberian izin atas permohonan pembukaan kerahasiaan bank menyangkut PUPN telah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/82/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Persyaratan dan Tata cara Pemberian Izin atau Perintah Membuka Rahasia Bank. Dalam masalah piutang negara ini selain penanganan secara interdepartemental oleh PUPN, juga dilakukan oleh suatu badan yang khusus di bawah Departemen Keuangan, yaitu Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara.

  Adapun tugasnya adalah sebagai pelaksana teknis, operasianal dari keputusan-keputusan yang diambil oleh PUPN sebagaimana ditentukan oleh Pasal 2 ayat (5) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294/KMK.09/1993 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. BUPLN sebagai badan yang dipimpin oleh seorang kepala yang mempunyai kedudukan setingkat dengan Direktur Jenderal.

  Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara menurut Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991, suatu badan yang mempunyai tugas penyelenggaran pengurusan piutang negara dan lelang, baik yang berasal dari penyelenggaraan pelaksanaan tugas Panitia Urusan Piutang Negara maupun pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Dengan tugas pokoknya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 di atas,

  

  maka BUPLN mempunyai fungsi sebagai berikut : a.

  Perumusan kebijaksanaan teknis dan pembinaan di bidang pengurusan piutang negara dan lelang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  b.

  Perumusan rencana dan pelaksanaan registrasi, verifikasi, pembukuan, penetapan, penagihan, dan/atau eksekusi terhadap pengurusan piutang negara.

  c.

  Perumusan rencana dan pelaksanaan pelelangan serta penggalian potensi lelang.

  d.

  Memberikan pertimbangan mengenai usul penghapusan piutang negara berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

66 Ibid., hlm. 564.

  e.

  Pengamanan teknis yuridis dan operasional atas pelaksanaan tugas Badan Piutang dan Lelang Negara sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Fungsi tersebut di atas tidaklah jauh berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976. Pelimpahan pengurusan penyelesaian kredit macet kepada BUPLN selambat-lambatnya tiga bulan setelah jatuh tempo yang tercantum dalam dokumen-dokumen perpanjangan jangka waktu pelunasan kredit.

  Pengurusan penyelesaian kredit ini dapat juga karena inisiatif BUPLN sendiri, jadi tidak menunggu pelimpahan dari pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara saja. Pengurusan atas inisiatif sendiri tersebut atas dasar pemikiran bahwa sifat pengurusan dan penagihan piutang macet adalah untuk maksud mengamankan keuangan atau kekayaan negara, maka BUPLN wajar untuk mengurus dan menagih piutang tersebut.

  Setalah pengurusan kredit ditangan BUPLN, bukan lagi pemerintah (Bank atau Badan Usaha Milik Negara) yang menjadi pihak yang berpiutang, melainkan negaralah yang menjadi pihak yang berpiutang.

  Sebagai akibat dari pola pemikiran tersebut, maka dalam menghadapi debitur, BUPLN bertindak sebagai penguasa yang melaksanakan wewenang yang bersifat hukum publik. Oleh karena itu, kedudukan debitur dan BUPLN tidak dalam posisi yang sejajar serta tidak bersifat hukum perdata.

  Dalam hal si penanggung utang mempunyai kekayaan yang tersimpan pada bank, maka BUPLN berwenang untuk melakukan pemblokiran atas kekayaan tersebut. Dalam pelaksanaan pemblokiran BUPLN harus membuat berita acara pemblokiran yang disaksikan oleh pimpinan bank atau pejabat bank yang berwenang dan tindakan dari berita acara dimaksud disampaikan pula kepada pimpinan bank yang bersangkutan.

  Pemblokiran dapat dicabut dan untuk itu perlu dituangkan pula dalam berita acara.

  BUPLN dalam menjalankan kewenangan untuk pemblokiran ini tetap harus memperhatikan kerahasiaan bank. Namun, untuk pelaksanaan kewenangannya diberikan pengecualian, yaitu bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN, kerahasiaan bank tersebut dikecualikan. Maksudnya, bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN, pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat BUPLN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur. Izin tersebut diberikan secara tertulis berdasarkan permintaan tertulis dari kepala BUPLN.

2. Penyelesaian kredit bermasalah melalui badan peradilan

  Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, setiap kreditur dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh keputusan pengadilan.

  Peradilan yang dapat menyelesaikan dan menangani kredit bermasalah, yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata dan peradilan niaga melalui gugatan kepailitan. Penyelesaian melalui gugatan perdata biasa telah sering dilakukan sejak dahulu. Namun, untuk penyelesaian melalui gugatan kepailitan, baru dikembangkan kembali setelah dibentuknya peradilan khusus yang disebut peradilan niaga.

  Apabila sudah ditetapkan keputusan pengadilan yang kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan, tetapi debitur tetap tidak melunasi utangnya, pelaksanaan keputusan tersebut dilaksanakan atas dasar perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa gugatannya pada tingkat pertama, menurut ketentuan- ketentuan HIR Pasal 195, dan selanjutnya. Atas perintah ketua pengadilan tersebut dilakukanlah penyitaan harta kekayaan debitur, untuk kemudian dilelang dengan perantaraan kantor lelang. Dari hasil pelelangan itu kreditur memperoleh pelunasan piutangnya. Prosedur ini memakan waktu yang relatif lama karena debitur yang dikalahkan biasanya mengulur waktu dengan memepergunakan upaya banding dan kasasi. Selain itu, jika pengadilan tetap memenangkan gugatan kreditur, terkadang eksekusinya belum tentu membawa hasil yang memuaskan. Dalam hal gugatan perdata bagi bank milik Negara, selain bias dilakukan dengan personal dari biro hukum bank yang bersangkutan, juga dimungkinkan melalui penggunaan jasa kejaksaan. Penggunaan jasa ini pada dasarnya terbatas hanya dapat digunakan oleh bank-bank pemerintah, tetapi bank swasta lain yang sebagian sahamnya dimiliki pemerintah juga dapat menggunakan jasa kejaksaan tersebut.

  Hal ini tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, terutama Pasal 27. Ketentuan Pasal 27 ayat (2), mengatur bahwa kejaksaan dapat bertindak dibidang perdata dan tata usaha negara atau pemerintah.Membela kepentingan negara inilah yang merupakan kekuatan dapatnya kejaksaan untuk membela kepentingan perusahaan negara atau perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki perusahaan negara. Peran kejaksaan dalam menangani kredit macet dari bank pemerintah ini adalah sebagai konsultan hukum atau pengacara pemerintah dalam hubungan kasus keperdataan. Dalam penggunaan jasa kejaksaan ini,

   bank tersebut tidak perlu meminta izin siapapun.

  Dari uraian di atas dilihat segi ekonomi maka penyelesaian melalui peradilan ini mengandung suatu kelemahan. Kelemahan tersebut terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakefesienan sistem peradilan yang ada sebab harus mengikuti sistem yang formal dan teknis sekali sehingga penyelesaian tersebut kurang efektif karena memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal.

67 Ibid., hlm. 567.

  Penyelesaian seperti itu dipandang dari segi kegiatan usaha yang selalu berpedoman cepat dan berbiaya murah kondisinya bertentangan dengan kedua asas tersebut. Dengan demikian, dikembangkan suatu penyelesaian yang bersifat informal dengan memenuhi kecepatan yang diharapkan serta berbiaya murah. Atas tuntutan seperti itu maka dikembangkanlah penyelesaian melalui arbitrase.

3. Penyelesaian kredit bermasalah melalui arbitrase

  Dasar penyelesaian sengketa melalui arbitrase sekarang telah mempunyai landasan yang kuat, yaitu berupa peraturan perundang- undangan mengenai arbitrase, sebagaimana dimuat dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

  Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor

  30 Tahun 1999, yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian melalui arbitrase ini dapat dijalankan apabila dalam perjanjian kredit sebelum timbul sengketa (sebelum timbulnya kredit bermasalah) telah dimuat klausul arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya kredit bermasalah tersebut. Cara penyelesaian melalui lembaga arbitrase ini dilakukan melalui lembaga arbitrase, yaitu suatu badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Penggunaan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa perdagangan termasuk dalam menyelesaikan sengketa perkreditan didasarkan pada beberapa keuntungan tertentu yang tidak diperoleh dari penyelesaian selain arbitrase.

  Diantara keuntungan tersebut, yaitu penyelesaiannya relatif tidak memerlukan waktu yang lama dan dengan sifatnya yang tertutup (ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999) maka diharapkan nama baik para pihak terjaga.

  Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan beberapa kelebihan dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yaitu para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; para pihak dapat menetukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; serta putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

  Namun, penyelesaian melalui arbitrase ini pun ada kelemahannya, yaitu tidak adanya kemungkinan untuk meminta sita jaminan konservatoir, seperti halnya pada gugatan perdata biasa.

  Hal-hal yang berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa arbitrase, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

   Alternatif Penyelesaian Sengketa, diantaranya : a.

  Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak dan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga tersebut, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak (Pasal 34).

  b.

  Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara tertulis, tetapi dapat juga secara lisan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 36).

  c.

  Arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (1) ).

  d.

  Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis abitrase terbentuk, tetapi dapat diperpanjang apabila diperlukan dan disetujui para pihak (Pasal 48).

  e.

  Putusan arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “; nama singkat sengketa; uraian singkat 68 sengketa; pendirian para pihak; nama lengkap dan alamat

  Ibid., hlm.571 arbiter; pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase; amar putusan; tempat dan tanggal putusan; dan tanda tangan arbitrase atau majelis arbitrase (Pasal 54 ayat (1) ).

  f.

  Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus dilaksanakan (Pasal 54 ayat (4) ).

  g.

  Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase (Pasal 55) dan diucapkan dalam waktu paling lama tiga puluh hari setelah pemeriksaan ditutup (Pasal 57).

  h.

  Dalam waktu paling lama empat belas hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan/atau menambah dan/atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan (Pasal 58). Ketentuan-ketentuan prosedur di atas dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut sehingga dalam arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali.

  

  4. Penyelesaian kredit bermasalah melalui BPPN

  69 Penyelesaian melalui BPPN hanya berlangsung saat lembaga tersebut masih ada, yaitu sampai tahun 2004. kini perjalanannya merupakan bagian sejarah perbankan Indonesia.

  Penanganan piutang negara oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional terbatas pada piutang yang terjadi karena proses penyehatan perbankan. Hal demikian karena Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu sendiri sebagai lembaga yang bersifat sementara didirikan untuk penyehatan perbankan. Dengan demikian, piutang negara yang ditanganinya hanya menyangkut piutang negara yang berasal dari kredit yang ada pada bank dalam penyehatan.

  Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam menangani piutang negara dapat melakukan penagihan piutang yang sudah pasti berasal dari bank dalam penyehatan. Yang dimaksud piutang bank dalam penyehatan termasuk juga piutang yang sudah dialihkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

   Pelaksanaan penagihan melalui cara-cara sebagai berikut :

  a. Penerbitan surat paksa Penerbitan surat paksa secara formal sekurang-kurangnya harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999. Dengan memenuhi formalitas yang ada, maka surat paksa tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

  Penerbitan surat paksa dilakukan apabila debitur melalaikan 70 kewajiban membayar atau kewajiban lainnya berdasarkan Ibid., hlm. 571. dokumen kredit, dokumen pemberian hak jaminan, pernyataan yang telah dibuat sebelumnya, dan/atau dokumen lainnya; dan kepada debitur dan/atau penanggung utang telah disampaikan surat pemberitahuan atau peringatan melalui surat tercatat untuk membayar atau dokumen lain yang dipersamakn dengan itu oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Dokumen yang terkait

Deposito Pihak Ketiga Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank Sumut Cabang Utama, Medan

3 63 90

Aspek Hukum Deposito Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank (Studi Pada Pt Bank Danamon Indonesia Tbk)

3 45 85

Deposito Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank Sumut Cabang Binjai

1 42 69

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Perjanjian - Perlindungan Hukum Perjanjian Kredit dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan (Studi Bank Sumut Pusat)

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN HUKUM JAMINAN PADA UMUMNYA A. Pengertian dan Jenis-Jenis Perjanjian Kredit - Tinjauan Yuridis Tentang Pemberian Kredit Oleh Bank Dengan Deposito Berjangka Sebagai Jaminan/Back To Back (Studi Pada Bank Bri

0 0 38

BAB II DEPOSITO SEBAGAI SALAH SATU SURAT BERHARGA A. Pengertian Deposito - Deposito Pihak Ketiga Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank Sumut Cabang Utama, Medan

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Aspek Hukum Deposito Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank (Studi Pada Pt Bank Danamon Indonesia Tbk)

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kebendaan Sebagai Jaminan Hak Tanggungan Pada Perjanjian Kredit Yang Bermasalah Di PT. Bank Sumut Cabang Utama

0 0 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA A. Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank

0 2 55

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA A. Pengertian Jaminan Fidusia - Kedudukan Benda Jaminan Yang Di Bebani Jaminan Fidusia Jika Terdapat Eksekusi Dalam Hal Debitur Pailit (Studi Bank CIMB Niaga Cabang Ir. H. Juanda Medan)

1 2 38