Deposito Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank Sumut Cabang Binjai

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007.

Darwini, T. Diktat Hukum Pembiayaan Perbankan. 2008.

Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2006.

Fahmi. Irham. Analisis Kredit dan Fraud. Alumni. Bandung. 2008.

Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1999.

Jusuf, Jopie. Analisis Kredit Untuk Account Officer. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1995.

Kasmir. Dasar-Dasar Perbankan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2002. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1991.

Rahman, Hasanuddin. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1997.

Satrio, J. Hukum Jaminan dan Hak-Hak Jaminan Kebendaan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1991.

Sembiring, Sentosa. Huku Perbankan. Mandar Maju. Bandung. 2000. Soebekti, R. Hukum Perjanjian. Intermasa. Jakarta. 2001.

Soedewi, Sri Marjchoen. Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum

Jaminan dan Jaminan Perorangan. Liberty Offset. Yogyakarta. 2001.

Suhardi, Gunarto. Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum. Kanisius. Yogyakarta. 2003.


(2)

Suharnoko. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Kencana. Jakarta. 2004.

Sutan, Benny Syahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang

Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Bank Di Indonesia. IBI.

Jakarta. 1993.

Suyatno, Thomas. Dasar-Dasar Perkreditan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1991.

Tjiptoadinugroho, R. Perbankan Masalah Perkreditan. Pradnya Paramita. Jakarta. 1993.

Wijanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia. Grafiti. Jakarta. 1993. Yasabari, Nasroen dan Nina Kurnia Dewi. Penjaminan Kredit. Alumni . Bandung.

2007.

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang –Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.


(3)

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN KREDIT

A. Pengertian Jaminan

Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 mengenai Perbankan, tidak disebutkan secara tegas mengenai kewajiban atau keharusan tersedianya jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh calon debitur atau debitur, seperti yang diatur dalam Undang – Undang Perbankan sebelumnya.

Selengkapnya dibandingkan bunyi Pasal dalam Undang-Undang Perbankan yang mengatur mengenai masalah jaminan tersebut, yaitu :

1. Bunyi Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 : “Bank umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga”. 2. Bunyi Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 : “Dalam

memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967, secara tersirat jelas ditekankan keharusan adanya jaminan atas setiap pemberian kredit kepada siapapun. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, keharusan adanya jaminan terkandung secara tersirat dalam kalimat : “…keyakinan atas


(4)

kemampuan dan kesanggupan debitur…” dan sekaligus mencerminkan apa yang disebut dengan jaminan yang harus disediakan oleh debitur.46

1. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, baik berupa hak kebendaanmaupun hak perorangan.

Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur.

Mengingat bahwa agunan menjadi salah satu unsure jaminan pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsure-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredityang bersangkutan.

Apalagi apabila kita melihat ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang menentukan bahwa segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Yang dimaksud dengan jaminan itu sendiri adalah tanggungan yang diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan.

Dari pengertian tersebut lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa :

19

Hasanudin Rahman, 1998, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia, P.T. CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, hlm. 161.


(5)

2. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut, dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung.

3. Jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut ialah untuk keamanan dan kepentingan kreditur yang harus diadakan dengan suatu perjanjian khusus, perikatan mana bersifat acesoir dari perjanjian kredit atau pengakuan utang yang diadakan antara kreditur dengan debitur.

Mengenai pentingnya suatu jaminan oleh kreditur atas suatu pemberian kredit, tidak lain adalah salah satu upaya untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara pelepasan dan pelunasan kredit tersebut.

B. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan

Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata adalah sebagai berikut ;47

1. Kedudukan harta para pihak peminjam

Pasal 1131 KUH Perdata mengatur tentang kedudukan harta pihak peminjam, yaitu bahwa harta para pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan jaminan atas utangnya. Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa semua harta pihak peminjam, baik yang berupa harta bergerak, baik yang sudah ada maupu yang akan ada di kemudian hari merupakan jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.

47

M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 9.


(6)

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata merupakan salah satu ketentuan pokok dalam hukum jaminan, yaitu mengtur tentang kedudukan harta pihak yang berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, Termasuk senua harta yang akan dimilikinya dikemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak peminjam dikemudian hari.

Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sering pula dicantumkan sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan. Ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang dicantumkan sebagai klausul dalam perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian, disebut sebagai isi naturalia.

Klausul perjanjian yang tergolong sebagai isi naturalia merupakan klausul fakultatif, artinya bila dicantumkan sebagai isi perjanjian akan lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan, tidak menjadi masalah kecacatan perjanjian karena hal (klausul) yang seperti demikian sudah diatur oleh ketentuan hukum yang berlaku.

Dengan memperhatikan kedudukan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata Bila dikaitkan dengan suatu perjanjian pinjaman uang, akan lebih baik ketentuan tersebut dimasukkan sebagai klausul dalam perjanjian pinjaman uang, termasuk dalam perjanjian kredit.


(7)

2. Kedudukan pihak pemberi pinjaman

Berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu :

a. Yang mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing.

b. Yang mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak peberi pinjaman yang lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.

Pasal 1132 KUH Perdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil penjualan harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara pihak pemberi pinjaman itu mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan.

3. Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi pinjaman

Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji atau wanperstasi. Larangan bagi pihak pemberi pinjaman utnuk memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan-ketentuan lembaga jaminan tersebut tentunya akan melindungi kepentingan pihak peminjam dan pihak


(8)

pemberi pinjaman lainnya, terutama bila nilai objek jaminan melebihi besarnya utang yang dijamin.

Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai hak berdasarkan ketentuan lembaga jaminan dilarang serta-merta menjadi pemilik objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji. Ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas tentunya akan dapat mencegah tidakan sewenang-wenang pihak pemberi pinjaman yang akan merugikan pihak peminjam.

C. Jenis-Jenis Jaminan

Oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya jenis-jenis jaminan kredit adalah sebagai berikut :

1. Jaminan Perorangan

Jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seseorang pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur yang bersangkutan wanprestasi.48

Jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan, baik benda maupun hak kebendaan, yang diberikan dengan cara pemisahan bagian Jaminan semacam ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 (termasuk Pasal 1316).

2. Jaminan Kebendaan

48


(9)

dari harta kekayaan baik dari sidebitur maupun dari pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada pihak kreditur, apabila debitur yang bersangkutan wanprestasi.49

a. Jaminan dengan benda berwujud (material)

Menurut sifatnya, jaminan kebendaan ini terbagi 2, yaitu :

Dapat berupa benda atau barang bergerak dan barang tidak bergerak. Sedangkan benda tak berwujud yang lazim diterima oleh bank sebagai jaminan kredit adalah berupa hak tagih.

Barang bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank, antara lain dapat berupa :

1. Kendaraan Bermotor.

Yang dimaksud dengan kendaraan bermotor disini adalah mobil dengan berbagai jenis, tipe dan merek serta sepeda motor dan skuter.

Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, yaitu pada Pasal 1 ayat (7) disebutkan bahwa “kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan, oleh peralatan teknik yang berada di atas atau pada kendaraan itu”.

Untuk kepentingan pengikatan jaminan, maka yang harus diminta oleh bank adalah buku Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).

2. Stok Barang.

49


(10)

Yang dimaksud dengan stok barang disini adalah barang dagangan, baik yang sudah ada maupun yang akan ada yang dapat dinilai baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

3. Deposito.

Apabila deposito akan dijadikan jaminan kredit, maka yang harus diminta dan disimpan oleh bank adalah bilyet deposito tersebut, baik untuk deposito berjangka maupun untuk sertifikat deposito.

Kemudian atas deposito ini, harus diperiksa keaslian, legalitasnya serta kebenaran daripada isi bilyet tersebut. Ada beberapa cara untuk mengetahui dan mengamankan suatu deposito yang akan dijadikan jaminan, antara lain adalah :50

a. Apabila bank penerbit deposito tersebut berbeda dengan bank pemberi kredit, maka :

1. Pemilik deposito memberikan surat kuasa kepada bank pemberi kredit untuk memblokirkan atau mencairkan deposito pada bank penerbit deposito tersebut.

2. Atas dasar surat kuasa tersebut bank pemberi kredit memebuat surat permintaan pemblokiran atas deposito yang bersangkutan, dimana sebagai tanda sepengetahuan dan pesetujuannya, maka bank penerbit deposito tersebut membubuhkan tanda tangannya pada surat permintaan pemblokiran deposito tadi.

50


(11)

b. Apabila bank penerbit deposito tersebut dan bank pemberi kredit adalah bank yang sama, maka :

1. Pemilik deposito memberikan surat kuasa kepada bank pemberi kredit untuk memblokirkan atau mencairkan deposito yang dijaminkan tersebut.

2. Atas dasar surat kuasa tersebut bank yang bersangkutan melakukan pengecekan keaslian dan kebenaran serta pemblokiran atas deposito tersebut.

Sedangkan barang tidak bergerak yang lazim diterima sebagai jaminan kredit oleh bank, dapat berupa ;

1. Tanah dan Bangunan.

Sehubungan dengan kenyataan yang ada saat ini bahwa tanah-tanah dan benda-benda khususnya bangunan yang ada di atasnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, maka apabila bank bank akan menerima tanah sebagai jaminan kredit, maka benda-benda yang berada di atas tanah tersebut harus diminta pula sebagai jaminan atas kredit tersebut. 2. Kapal

Untuk kepentingan pembebanan hak tanggungan atau perikatan jaminan kapal, maka secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : a. Kapal yang berukuran kurang dari 20 meter kubik.

b. Kapal yang berukuran 20 meter kubik atau lebih. D. Fungsi Jaminan Dalam Pemberian Kredit


(12)

Sebagaimana telah dikemukakan pemberian kredit adalah salah satu bentuk pinjaman uang. Dalam suatu pinjaman uang sering dipersyaratkan adanya jaminan utang yang dapat terdiri dari berbagai bentuk dan jenisnya. Mengenai penjaminan utang, dalam hukum positif di Indonesia terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan jaminan utang yang sering disebut dengan sebutan hukum jaminan. Ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang berlaku memberikan pengaturan yang akan melindungi pihak-pihak yang berkepentingan dengan pinjaman uang dan jaminan utang tersebut.

Dari uraian di atas terlihat bahwa jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Jaminan kredit sebagai pengamanan pelunasan kredit

Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada debitur wajib melaksanakan upaya pengamanan agar kredit tersebut dapat dilunasi debitur yang bersangkutan. Kredit yang tidak dilunasi oleh debitur baik sebagian maupun seluruhnya akan merupakan kerugian bagi bank. Kerugian yang menunjukkan jumlah yang relatif besar akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank dan kelanjutan usaha bank.

Oleh karena itu, sekecil apapun nilai uang dari kredit yang telah diberikan kepada debitur harus tetap diamankan sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara umum pengamanan kredit dapat dilakukan melalui tahap analisis kredit dan melalui penerapan ketentuan hukum yang berlaku. Khusus mengenai jaminan kredit, untuk pengamanannya dapat


(13)

ditemukan baik pada tahap analisis kredit maupun melalui penerapan ketentuan hukum.

Keterkaitan jaminan kredit dengan pengamanan kredit dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata sehingga merupakan upaya lain atau alternatif yang dapat digunakan bank untuk memperoleh pelunasan kredit pada waktu debitur ingkar janji pada bank.

Bila di kemudian hari debitur ingkar janji, yaitu tidak melunasi utangnya kepada bank sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit, akan dilakukan pencairan (penjualan) atas objek jaminan kredit yang bersangkutan. Hasil pencairan kredit tersebut selanjutnya akan diperhitungkan oleh bank untuk pelunasan kredit debitur yang telah dinyatakan sebagai kredit macet.

Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit baru akan muncul pada saat kredit dinyatakan sebagai kredit macet. Selama kredit telah dilunasi oleh debitur, tidak akan terjadi pencairan jaminan kreditnya. Dalam hal ini jaminan kredit akan dikembalikan kepada debitur yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan hukum dan perjanjian kredit.

Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit sangat berkaitan dengan kepentingan bank yang menyalurkan dananya kepada debitur yang sering dikatakan mengandung risiko. Dengan adanya jaminan kredit yang dikuasai dan diikat bank sesuai dengan ketentuan hukum yang


(14)

berlaku, pelaksanaan fungsi tersebut akan terlaksana pada saat debitur ingkar janji atau wanprestasi.51

2. Jaminan kredit sebagai pendorong motivasi debitur

Pengikatan jaminan kredit yang berupa harta milik debitur yang dilakukan oleh pihak bank, tentunya debitur yang bersangkutan takut akan kehilangan harta tersebut. Hal ini akan mendorong debitur berupaya untuk melunasi kreditnya kepada bank agar hartanya yang dijadikan jaminan kredit tersebut tidak hilang karena harus dicairkan oleh bank.

Umumnya sesuai dengan ketentuan peraturan internal masing-masing bank, nilai jaminan kredit yang diserahkan debitur kepada bank lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kredit yang diberikan bank kepada debitur yang bersangkutan.

Hal ini memberikan motivasi kepada debitur untuk menggunakan kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usahanya secara baik, mengelola kondisi keuangan secara hati-hati sehingga dapat segera melunasi kreditnya agar dapat menguasai kembali hartanya. Tidak dapat dipungkiri siapapun juga pasti tidak ingin kehilangan hartanya karena merupakan sesuatu yang dibutuhkan, mempunyai nilai-nilai tertentu, atau disayangi.52

3. Motivasi pemenuhan perjanjian

Dengan adanya jaminan yang diberikan debitur kepada kreditur, maka debitur akan merasa termotivasi untuk memenuhi isi perjanjian. Ini

51

M. Bahsan, op.cit., hlm 102.

52


(15)

disebabkan karena jaminan yang diberikan kepada kreditur lebih besar nilainya dari jumlah uang yang dipinjam debitur. Dengan pengertian lain, secara sepintas adanya kewajiban bagi debitur untuk melunasi utangnya disebabkan karena keinginan menebus benda yang dijadikan jaminan.53

Sehubungan dengan adanya persyaratan administrative yang ditetapkan dalam peraturan internal bank, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan hendaknya bank tidak menyetujui permohonan penarikan kredit yang diajukan debitur sebelum seluruh persyaratan administratif diselesaikan oleh debitur, termasuk mengenai pengikatan dan penguasaan jaminan kreditnya.

E. Pengikatan Atas Jaminan Kredit

Terhadap setiap objek jaminan kredit yang diserahkan debitur dan disetujui bank, harus segera diikat sebagai jaminan utang. Bank seharusnya mengikat objek jaminan kredit secara sempurna, yaitu dengan mengikut i ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan utang.

Pengikatan atau penguasaan jaminan kredit seharusnya dilakukan sebelum diizinkannya dibitur menarik dana kredit. Keharusan pengikatan dan penguasaan jaminan kredit merupakan bagian dari persyaratan adminstratif yang sudah diselesaikan sebelum kredit disalurkan dananya kepada debitur.

54

53

T. Darwini, op.cit., hlm. 55.

54


(16)

BAB IV

DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT PADA BANK SUMUT CABANG BINJAI A. Hubungan Antara Pihak Bank Dengan Nasabah

Hubungan antara pihak bank dengan nasabah adalah suatu perjanjian yang berarti para pihak dalam hal ini bank dengan nasabah mempunyai hak dan kewajiban. Apabila diperhatikan secara seksama UUP, tidak ditemui ketentuan yang mengatur secara tegas perihal hubungan hukum antara pihak bank dengan nasabahnya.

Namun dari beberapa ketentuan dapat disimpulkan, bahwa hubungan antara bank dengan nasabah diatur oleh suatu perjanjian. Hal ini disimpulkan dari ayat 1 ayat (5) UUP, “ Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanandan dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan/atau untuk lainnya yang dipersamakan dengan itu “.55

Hal ini berarti bahwa pasal-pasal itu boleh dikesampingkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka diperbolehkan membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian.

Masalah hukum perjanjian, ketentuan umumnya dapat dilihat dalam buku KUH Perdata yang menganut sistem terbuka dalam arti hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

56

55

Sentosa Sembiring, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung, hlm. 60.

56


(17)

Akibat hukum ditandatanganinya suatu perjanjian ialah perjanjian tersebut mengikat para pihak. Asas ini dalam hukum perjanjian dikenal dengan asas kebebasan berkontrak. Asas ini tersimpul dari pasa 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengemukakan, bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan persyaratan sahnya suatu perjanjian dapat dilihat dala pasal 1320 KUH Perdatayang dikenal dengan asasnya yaitu asas konsensualitas atau asas kesepakatan.

Kedua asas di atas dapat diterapkan apabila posisi tawar menawar para pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang dikehendaki masing-masing. Dalam praktik, pada umumnya bank telah membuat formulir tersendiri. Dalam formulir tersebut, telah tertera segala persyaratan yang harus ditentukan oleh bank. Disebut demikian, karena persyaratan antara satu bank dengan bank lainnya berbeda satu sama lain. Tampaknya jenis simpanan yang cukup berkembang pesat adalah simpanan dalam bentuk deposito.

Namun demikian sebagai gambaran umum kiranya dapat diungkap di sini, bahwa bank mempunyai kewajiban untuk :

1. Menjamin kerahasiaan identitas nasabah beserta dengan dana yang disimpan pada bank, kecuali jika peraturan perundang-undangan menentukan lain.

2. Menyerahkan dana kepada nasabah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.


(18)

4. Mengganti kedudukan debitur dalam hal nasabah tidak mampu melaksanakan kewajibannya kepada pihak ketiga.

5. Melakukan pembayaran kepada eksportir dalam hal digunakan fasilitas L/C, sepanjang persyaratan untuk itu telah dipenuhi.

6. Memberikan laporan kepada nasabah terhadap perkembangan simpanan dananya di bank.

7. Mengembalikan agunan dalam hal kredit telah lunas. Sebaliknya bank berhak untuk :

1. Mendapatkan provisi terhadap layanan jasa yang diberikan kepada nasabah.

2. Menolak pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama.

3. Melelang agunan dalam hal nasabah tidak mampu melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah ditandatangani kedua belah pihak.

4. Pemutusan rekening nasabah.

5. Mendapatkan buku cek, bilyet giro, buku tabungan, kartu kredit dalam hal terjadi penutupan rekening.

Kewajiban nasabah :

1. Mengisi dan menandatangani formulir yang telah disediakan oleh bank, sesuai dengan layanan jasa yang diinginkan oleh calon nasabah. 2. Melengkapi persayaratan yang ditentukan oleh bank.


(19)

3. Menyetor dana awal yang ditentukan oleh bank ( dalam hal ini dana awal tersebut cukup bervariasi tergantung dari jenis layanan jasa yang diinginkan).

4. Membayar provisi yang ditentukan oleh bank. 5. Menyerahkan buku cek/giro bilyet tabungan. Nasabah berhak untuk :

1. Mendapatkan layanan jasa yang diberikan oleh bank, seperti fasilitas kartu ATM.

2. Mendapatkan laporan atas transaksi yang dilakukan melalui bank. 3. Menuntut bank dalam hal terjadi pembocoran rahasia bank.

4. Mendapatkan agunan kembali, bila kredit yang dipinjam telah lunas. 5. Mendapat sisa uang pelengkap dalam hal agunan dijual untuk melunasi

kredit yang tidak terbayar.

B. Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Deposito Pengertian yang umum tentang wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Dengan demikian seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jangka waktu yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut yang sepatutnya atau selayaknya.57

Banyak perikatan yang tidak dengan ketentuan waktu pemenuhan prestasinya memang dapat segera ditagih, tetapi debitur juga tidak dapat menuntut pengganti kerugian apabila kreditur tidak segera mengirim barangnya ke rumah debitur. Hal ini diperlukan tenggang waktu yang layak dan ini diperbolehkan

57


(20)

dalam praktik. Tenggang waktu dapat beberapa jam, dapat pula satu hari, bahkan lebih.58

Maka dari itu perjanjian-perjanjian yang tidak ditentukan waktunya wanprestasi tidak terjadi demi hukum, karena tidak ada kepastian kapan betul-betul wanprestasi. Kalau perikatan itu dengan ketentuan waktu, kadang-kadang ketentuan waktu mempunyai arti yang lain yaitu : “bahwa debitur tidak boleh berprestasi sebelum waktu itu tiba”.59

Adapun bentuk wanprestasi adalah sebagai berikut :60

1. Debitur tidak memenuhi perikatan atau sama sekali tidak melaksanakan prestasi.

2. Debitur terlambat memenuhi prestasi atau perikatan.

3. Debitur melaksanakan prestasi tetapi tidak baik atau debitur keliru atau tidak pantas dalam memenuhi perikatan.

Wanprestasi itu tidak terjadi dengan sendirinya maka untuk menentukan seseorang itu wanprestasi tergantung pada waktu yang diperjanjikan. Yang mudah untuk menentukan saat debitur wanprestasi yaitu mulai saat orang itu melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian atau dikatakan tidak lagi memenuhi perikatan, maka ia dikatakan wanprestasi.

Oleh karenanya, akibat yang timbul dari wanprestasi adalah keharusan debitur untuk membayar ganti rugi atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian. Kerugian

58

Ibid.

59

Ibid.

60


(21)

tersebut oleh kreditur dapat menimbulkan salah satu dari 5 kemungkinan yang terjadi, yaitu sebagai berikut :61

1. Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian. 2. Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.

3. Dapat menuntut pengganti kerugian.

4. Dapat menuntut pembatalan dan pengganti kerugian. 5. Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.

Dengan demikian, dalam hal wanprestasi yang terjadi pada perjanjian kredit dengan jaminan deposito ialah sama halnya dengan wanprestasi pada umumnya hanya saja objek yang dijadikan dalam perjanjian kredit ini ialah simpanan deposito dimana pihak debitur tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan waktu yang ditentukan atas kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak kreditur dan pihak debitur berkenaan dengan perjanjian yang telah dibuat atau pihak debitur terlambat memenuhi prestasinya.

C. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Hukum

Penyelesaian terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih banyak ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian lembaga hukum, diantaranya :62

2. Melalui badan peradilan.

1. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN).

3. Melalui arbitrase atau Badan Alternative Penyelesaian Sengketa.

61

T. Darwini. op.cit., hlm. 23.

62


(22)

4. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Selain melalui lembaga sebagaimana tersebut di atas, penanganan kredit macet dalam kondisi penyehatan perbankan, yaitu pada saat ini masih ada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Demikian juga halnya dengan penanganan kredit macet yang dimiliki oleh bank dalam penyehatan ditangani langsung oleh lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Penanganan kredit macet oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional, diantaranya, melalui penyertaan modal sementara, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yaitu bahwa dalam rangka penyehatan perbankan dan/atau pengelolaan kekayaan yang berbentuk portofolio kredit, Badan Penyehatan Perbankan Nasional dapat melakukan penyertaan modal sementara. Penyertaan modal sementara dilakukan secara langsung atau melalui pengonversian tagihan Badan Penyehatan Perbankan Nasional menjadi penyertaan modal.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam menangani kredit bank dalam penyehatan sesuai dengan ketentuan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 dilakukan melalui, antara lain, tindakan pemantauan kredit; peninjauan ulang, pengubahan, pembatalan, pengakhiran, dan/atau penyempurnaan dokumen kredit dan jaminan; resrukturisasi kredit; penagihan piutang; penyertaan modal pada debitur; memberikan jaminan atau penanggungan; pemberian atau penambahan fasilitas pembiayaan; dan/atau penghapusbukuan piutang.


(23)

Adapun tata cara dalam penanganan melalui tindakan seperti di atas begitu pula dengan syarat-syaratnya, terlebih dahulu harus ditetapkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional dengan persetujuan Menteri Keuangan.63

1. Penyelesaian kredit bermasalah melalui PUPN/BUPN

Kredit bernasalah terutamanya golongan kredit macet pada bank milik Negara merupakan salah satu bentuk yang dikategorikan sebagai piutang negara karena bank milik negara merupakan salah satu badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara.

Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, penyelesaian kredit bank milik negara dapat diusahakan melalui Panitia Urusan Piutang Negara. Panitia ini merupakan suatu panitia interdepartemental, yang anggotanya terdiri atas wakil Departemen Keuangan; Departemen Hankam; Kejaksaan Agung; dan dari Bank Indonesia. Sedangkan struktur organisasinya terdiri atas PUPN pusat, wilayah, dan cabang.

Dalam menjalankan tugasnya, Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) berpedomanpada ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara. Di dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa PUPN mempunyai tugas :64

63

Ibid., hlm.562.

64


(24)

a. Membahas pengurusan piutang Negara, yaitu utang kepada negara yang harus dibayar kepada negara, yakni instansi-instansi pemerintah atau badan-badan usaha negara yang modal atau kekayaannya sebagian atau seluruhnya milik negara, baik di pusat maupun di daerah.

b. Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang, kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah atau badan-badan usaha negara baik di pusat maupun di daerah.

Pengurusan piutang negara oleh PUPN dimaksudkan untuk menyelamatkan keuangan negara secara cepat, efektif, dan efesien. Mekanisme penanganan piutang negara oleh PUPN, yaitu apabila piutang negara tersebut telah diserahkan pengurusannya kepada pemerintah atau bank milik negara tersebut.

Piutang yang diserahkan adalah piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum, tetapi yang penanggung utangnya tidak melunasi sebagaimana mestinya. Apabila kita mengacu pada mekanisme penyelesaian pengurusan piutang negara secara khusus, pada dasarnya pengurusan piutang negara dari kredit macet tersebut juga tidak jauh berbeda, yaitu paling tidak melalui tahapan :65

1. Setelah dirundingkan oleh panitia dengan penanggung utang dan diperoleh kata sepakat tentang jumlah utangnya yang masih harus dibayar, termasuk bunga uang, denda, serta

biaya-65


(25)

biaya yang bersangkutan dengan piutang ini, oleh ketua panitia dan penanggung utang/penjamin utang dibuat pernyataan bersama yang memuat jumlah dan kewajiban penanggung utang untuk melunasinya.

2. Pernyataan bersama ini mempunyai kekuatan pelaksanaan, seperti suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum pasti. Dengan demikian, PUPN mempunyai kewenangan

parate executie.

3. Pelaksanaannya dilakukan oleh ketua panitia dengan suatu surat paksa melalui cara penyitaan, pelelangan barang-barang kekayaan penanggung utang/penjamin utang dan penyanderaan terhadap penanggung utang/penjamin utang, dan pernyataan lunas piutang negara.

Dalam hal penyitaan khususnya terhadap kekayaan yang tersimpan di lembaga perbankan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.09/1995, maka PUPN dapat melakukannya tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan.

Adapun hasil dari penyitaan tersebut untuk digunakan pembayaran atau pelunasan utang penanggung utang/penjamin utang. Meskipun PUPN tidak memerlukan izin untuk penyitaan tersebut, PUPN tetap harus memperhatikan ketentuan mengenai rahasia bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan.


(26)

Dalam penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada PUPN, maka kerahasiaan bank tersebut dikecualikan. Maksudnya, bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada PUPN, pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat PUPN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur.

Izin tersebut diberikan secara tertulis berdasarkan permintaan tertulis dari ketua PUPN. Pelaksanaan pemberian izin atas permohonan pembukaan kerahasiaan bank menyangkut PUPN telah diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/82/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Persyaratan dan Tata cara Pemberian Izin atau Perintah Membuka Rahasia Bank.

Dalam masalah piutang negara ini selain penanganan secara interdepartemental oleh PUPN, juga dilakukan oleh suatu badan yang khusus di bawah Departemen Keuangan, yaitu Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 tentang Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara.

Adapun tugasnya adalah sebagai pelaksana teknis, operasianal dari keputusan-keputusan yang diambil oleh PUPN sebagaimana ditentukan oleh Pasal 2 ayat (5) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 294/KMK.09/1993 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. BUPLN


(27)

sebagai badan yang dipimpin oleh seorang kepala yang mempunyai kedudukan setingkat dengan Direktur Jenderal.

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara menurut Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991, suatu badan yang mempunyai tugas penyelenggaran pengurusan piutang negara dan lelang, baik yang berasal dari penyelenggaraan pelaksanaan tugas Panitia Urusan Piutang Negara maupun pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan tugas pokoknya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 di atas, maka BUPLN mempunyai fungsi sebagai berikut :66

a. Perumusan kebijaksanaan teknis dan pembinaan di bidang pengurusan piutang negara dan lelang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Perumusan rencana dan pelaksanaan registrasi, verifikasi, pembukuan, penetapan, penagihan, dan/atau eksekusi terhadap pengurusan piutang negara.

c. Perumusan rencana dan pelaksanaan pelelangan serta penggalian potensi lelang.

d. Memberikan pertimbangan mengenai usul penghapusan piutang negara berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

66


(28)

e. Pengamanan teknis yuridis dan operasional atas pelaksanaan tugas Badan Piutang dan Lelang Negara sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Fungsi tersebut di atas tidaklah jauh berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976. Pelimpahan pengurusan penyelesaian kredit macet kepada BUPLN selambat-lambatnya tiga bulan setelah jatuh tempo yang tercantum dalam dokumen-dokumen perpanjangan jangka waktu pelunasan kredit.

Pengurusan penyelesaian kredit ini dapat juga karena inisiatif BUPLN sendiri, jadi tidak menunggu pelimpahan dari pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara saja. Pengurusan atas inisiatif sendiri tersebut atas dasar pemikiran bahwa sifat pengurusan dan penagihan piutang macet adalah untuk maksud mengamankan keuangan atau kekayaan negara, maka BUPLN wajar untuk mengurus dan menagih piutang tersebut. Setalah pengurusan kredit ditangan BUPLN, bukan lagi pemerintah (Bank atau Badan Usaha Milik Negara) yang menjadi pihak yang berpiutang, melainkan negaralah yang menjadi pihak yang berpiutang. Sebagai akibat dari pola pemikiran tersebut, maka dalam menghadapi debitur, BUPLN bertindak sebagai penguasa yang melaksanakan wewenang yang bersifat hukum publik. Oleh karena itu, kedudukan


(29)

debitur dan BUPLN tidak dalam posisi yang sejajar serta tidak bersifat hukum perdata.

Dalam hal si penanggung utang mempunyai kekayaan yang tersimpan pada bank, maka BUPLN berwenang untuk melakukan pemblokiran atas kekayaan tersebut. Dalam pelaksanaan pemblokiran BUPLN harus membuat berita acara pemblokiran yang disaksikan oleh pimpinan bank atau pejabat bank yang berwenang dan tindakan dari berita acara dimaksud disampaikan pula kepada pimpinan bank yang bersangkutan. Pemblokiran dapat dicabut dan untuk itu perlu dituangkan pula dalam berita acara.

BUPLN dalam menjalankan kewenangan untuk pemblokiran ini tetap harus memperhatikan kerahasiaan bank. Namun, untuk pelaksanaan kewenangannya diberikan pengecualian, yaitu bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN, kerahasiaan bank tersebut dikecualikan. Maksudnya, bahwa untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN, pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat BUPLN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah debitur. Izin tersebut diberikan secara tertulis berdasarkan permintaan tertulis dari kepala BUPLN.

2. Penyelesaian kredit bermasalah melalui badan peradilan

Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya, setiap kreditur dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh keputusan pengadilan.


(30)

Peradilan yang dapat menyelesaikan dan menangani kredit bermasalah, yaitu peradilan umum melalui gugatan perdata dan peradilan niaga melalui gugatan kepailitan.

Penyelesaian melalui gugatan perdata biasa telah sering dilakukan sejak dahulu. Namun, untuk penyelesaian melalui gugatan kepailitan, baru dikembangkan kembali setelah dibentuknya peradilan khusus yang disebut peradilan niaga.

Apabila sudah ditetapkan keputusan pengadilan yang kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk dilaksanakan, tetapi debitur tetap tidak melunasi utangnya, pelaksanaan keputusan tersebut dilaksanakan atas dasar perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang memeriksa gugatannya pada tingkat pertama, menurut ketentuan-ketentuan HIR Pasal 195, dan selanjutnya. Atas perintah ketua pengadilan tersebut dilakukanlah penyitaan harta kekayaan debitur, untuk kemudian dilelang dengan perantaraan kantor lelang. Dari hasil pelelangan itu kreditur memperoleh pelunasan piutangnya.

Prosedur ini memakan waktu yang relatif lama karena debitur yang dikalahkan biasanya mengulur waktu dengan memepergunakan upaya banding dan kasasi. Selain itu, jika pengadilan tetap memenangkan gugatan kreditur, terkadang eksekusinya belum tentu membawa hasil yang memuaskan.

Dalam hal gugatan perdata bagi bank milik Negara, selain bias dilakukan dengan personal dari biro hukum bank yang bersangkutan,


(31)

juga dimungkinkan melalui penggunaan jasa kejaksaan. Penggunaan jasa ini pada dasarnya terbatas hanya dapat digunakan oleh bank-bank pemerintah, tetapi bank swasta lain yang sebagian sahamnya dimiliki pemerintah juga dapat menggunakan jasa kejaksaan tersebut.

Hal ini tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, terutama Pasal 27. Ketentuan Pasal 27 ayat (2), mengatur bahwa kejaksaan dapat bertindak dibidang perdata dan tata usaha negara atau pemerintah.Membela kepentingan negara inilah yang merupakan kekuatan dapatnya kejaksaan untuk membela kepentingan perusahaan negara atau perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki perusahaan negara.

Peran kejaksaan dalam menangani kredit macet dari bank pemerintah ini adalah sebagai konsultan hukum atau pengacara pemerintah dalam hubungan kasus keperdataan. Dalam penggunaan jasa kejaksaan ini, bank tersebut tidak perlu meminta izin siapapun.67

67

Ibid., hlm. 567.

Dari uraian di atas dilihat segi ekonomi maka penyelesaian melalui peradilan ini mengandung suatu kelemahan. Kelemahan tersebut terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakefesienan sistem peradilan yang ada sebab harus mengikuti sistem yang formal dan teknis sekali sehingga penyelesaian tersebut kurang efektif karena memerlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal.


(32)

Penyelesaian seperti itu dipandang dari segi kegiatan usaha yang selalu berpedoman cepat dan berbiaya murah kondisinya bertentangan dengan kedua asas tersebut. Dengan demikian, dikembangkan suatu penyelesaian yang bersifat informal dengan memenuhi kecepatan yang diharapkan serta berbiaya murah. Atas tuntutan seperti itu maka dikembangkanlah penyelesaian melalui arbitrase.

3. Penyelesaian kredit bermasalah melalui arbitrase

Dasar penyelesaian sengketa melalui arbitrase sekarang telah mempunyai landasan yang kuat, yaitu berupa peraturan perundang-undangan mengenai arbitrase, sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Pengertian arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian melalui arbitrase ini dapat dijalankan apabila dalam perjanjian kredit sebelum timbul sengketa (sebelum timbulnya kredit bermasalah) telah dimuat klausul arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya kredit bermasalah tersebut.

Cara penyelesaian melalui lembaga arbitrase ini dilakukan melalui lembaga arbitrase, yaitu suatu badan yang dipilih oleh para pihak yang


(33)

bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Penggunaan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa perdagangan termasuk dalam menyelesaikan sengketa perkreditan didasarkan pada beberapa keuntungan tertentu yang tidak diperoleh dari penyelesaian selain arbitrase.

Diantara keuntungan tersebut, yaitu penyelesaiannya relatif tidak memerlukan waktu yang lama dan dengan sifatnya yang tertutup (ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999) maka diharapkan nama baik para pihak terjaga.

Di dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan beberapa kelebihan dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yaitu para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; para pihak dapat menetukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; serta putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Namun, penyelesaian melalui arbitrase ini pun ada kelemahannya, yaitu tidak adanya kemungkinan untuk meminta sita jaminan konservatoir, seperti halnya pada gugatan perdata biasa.


(34)

Hal-hal yang berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa arbitrase, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, diantaranya :68

a. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak dan dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga tersebut, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak (Pasal 34).

b. Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara tertulis, tetapi dapat juga secara lisan apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 36).

c. Arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak yang bersengketa (Pasal 45 ayat (1) ). d. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu

paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis abitrase terbentuk, tetapi dapat diperpanjang apabila diperlukan dan disetujui para pihak (Pasal 48).

e. Putusan arbitrase harus memuat kepala putusan yang berbunyi “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “; nama singkat sengketa; uraian singkat sengketa; pendirian para pihak; nama lengkap dan alamat

68


(35)

arbiter; pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase; amar putusan; tempat dan tanggal putusan; dan tanda tangan arbitrase atau majelis arbitrase (Pasal 54 ayat (1) ). f. Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut

harus dilaksanakan (Pasal 54 ayat (4) ).

g. Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase (Pasal 55) dan diucapkan dalam waktu paling lama tiga puluh hari setelah pemeriksaan ditutup (Pasal 57). h. Dalam waktu paling lama empat belas hari setelah putusan

diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan/atau menambah dan/atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan (Pasal 58).

Ketentuan-ketentuan prosedur di atas dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut sehingga dalam arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali.

4. Penyelesaian kredit bermasalah melalui BPPN69

69

Penyelesaian melalui BPPN hanya berlangsung saat lembaga tersebut masih ada, yaitu sampai tahun 2004. kini perjalanannya merupakan bagian sejarah perbankan Indonesia.


(36)

Penanganan piutang negara oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional terbatas pada piutang yang terjadi karena proses penyehatan perbankan. Hal demikian karena Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu sendiri sebagai lembaga yang bersifat sementara didirikan untuk penyehatan perbankan. Dengan demikian, piutang negara yang ditanganinya hanya menyangkut piutang negara yang berasal dari kredit yang ada pada bank dalam penyehatan.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam menangani piutang negara dapat melakukan penagihan piutang yang sudah pasti berasal dari bank dalam penyehatan. Yang dimaksud piutang bank dalam penyehatan termasuk juga piutang yang sudah dialihkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Pelaksanaan penagihan melalui cara-cara sebagai berikut :70

Penerbitan surat paksa dilakukan apabila debitur melalaikan kewajiban membayar atau kewajiban lainnya berdasarkan a. Penerbitan surat paksa

Penerbitan surat paksa secara formal sekurang-kurangnya harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 56 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999. Dengan memenuhi formalitas yang ada, maka surat paksa tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

70


(37)

dokumen kredit, dokumen pemberian hak jaminan, pernyataan yang telah dibuat sebelumnya, dan/atau dokumen lainnya; dan kepada debitur dan/atau penanggung utang telah disampaikan surat pemberitahuan atau peringatan melalui surat tercatat untuk membayar atau dokumen lain yang dipersamakn dengan itu oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

b. Penyitaan

Dalam waktu satu hari setelah diterimanya surat paksa, Badan Penyehatan Perbankan Nasional berwenang melakukan eksekusi atas kekayan milik debitur. Penyitaan dapat dilakukan terhadap seluruh kekayaan milik debitur termasuk kekayaan milik debitur yang berada dalam penguasaan pihak ketiga dan dikecualikan kekayaan milik debitur yang berupa barang-barang bergerak yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya.

Surat penyitaan harus memenuhi ketentuan formal yang ditentukan pada Pasal 58 ayat (3) dan dilakukan oleh juru sita dengan dibantu dua orang saksi dan dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan yang ditandatangani oleh juru sita dan dua orang saksi tersebut.

Berita Acara Penyitaan tersebut harus didaftarkan pada kantor pendaftaran untuk dicatat oleh pejabat kantor pendaftaran yang berwenang pada buku pendaftaran yang terkait tentang adanya penyitaan tersebut.


(38)

Penjualan kekayaan milik debitur yang telah disita dilakukan melalui pelelangan. Pembagian hasil penjualan dilaksanakan berdasarkan ketentuan hak memperoleh pemenuhan pembayaran lebih dahulu yang berlaku atas piutang negara, sesuai prundang-undangan yang berlaku.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional mempunyai kewenangan yang besar karena upaya hukum apapun yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap tidak mencegah atau menunda pelaksanaan tindakan hukum yang dilakukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional dapat menerbitkan surat pencabutan sita atas barang yang dilakukan penyitaan, dalam hal utang debitur telah dibayar lunas yang dibuktikan dengan surat tanda lunas yang dikeluarkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau dalam hal telah tercapai kesepakatan lain dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Selanjutnya, kantor pendaftaran mencatat pencabutan blokir dan/atau pengangkatan sita eksekusi atas permintaan debitur yang disertai dengan surat pencabutan sitanya.

Kewenangan yang dimiliki oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional seperti dalam penanganan kredit bermasalah ini merupakan sesuatu yang bersifat lex specialis derogat lex generalis terhadap peraturan perundang-undangan lainya, maka


(39)

penerapannya perlu dilandasi dengan kehati-hatian serta menjunjung asas keterbukaan. Pemberian kewenangan khusus demikian karena besarnya jumlah uang negara yang harus dipulhkan.


(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian bab-bab terdahulu dalam penulisan skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Yang menyebabkan terjadinya hubungan antara pihak bank dengan nasabah ialah suatu perjanjian yang berarti para pihak dalam hal ini bank dan nasabah mempunyai hak dan kewajiban. Dengan demikian akibat dari suatu perjanjian tersebut ialah mengikat bagi para pihak yang membuatnya, yang dalam hal ini terkandung asas kebebasan berkontrak dimana semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

2. Wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian kredit dengan jaminan deposito ialah suatu bentuk pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Dalam hal ini wanprestasi itu terjadi ketika pihak debitur melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian atau dikatakan tidak lagi memenuhi perikatan, maka ia dikatakan wanprestasi. Berkenaan dengan itu perbedaannya terletak terhadap apa yang menjadi objek dari jaminan yang diberikan pada perjanjian kredit, dalam hal ini ialah simpanan deposito.


(41)

3. Dalam hal penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur hukum dilalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan hukum, diantaranya ialah :

a. Melalui Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara.

b. Melalui badan peradilan.

c. Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

d. Melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (Penyelesaian melalui BPPN hanya berlangsung saat lembaga tersebut masih ada, yaitu sampai tahun 2004. Kini perjalanannya merupakan bagian sejarah perbankan Indonesia).

B. Saran

Dari fakta-fakta yang diuraikan dalam bab-bab terdahulu dan kesimpulan seperti disebut di atas, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Dalam membuat perjanjian kredit dengan jaminan deposito, sebelumnya pihak debitur haruslah memiliki kemampuan yang cukup untuk mengembalikan pinjaman kredit kepada pihak kreditur agar tidak mengakibatkan terjadinya wanprestasi.

2. Terhadap pihak bank atas deposito yang dijadikan sebagai jaminan dalam pemberian kredit, haruslah diperiksa keasliannya, legalitasnya serta kebenaran dari pada isi bilyet deposito tersebut.


(42)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI SIMPANAN DEPOSITO

A. Pengertian Deposito

Deposito merupakan salah satu tempat bagi nasabah untuk melakukan investasi dalam bentuk surat-surat berharga. Pemilik deposito disebut dengan deposan. Kepada setiap deposan akan diberikan setiap imbalan bunga atas depositonya. Bagi bank, bunga yang diberikan kepada para deposan merupakan bunga yang tertinggi, jikan dibandingkan dengan simpanan giro atau tabungan, sehingga deposito oleh sebagian bank dianggap sebagai dana yang mahal.32

Penarikan hanya dapat dilakukan padawaktu tertentu maksudnya adalah jika nasabah deposan menyimpan uangnya untuk jangka waktu 3 bulan, maka uang tersebut baru dapat dicairkan setelah jangka waktu tersebut berakhir dan sering disebut tanggal jatuh tempo.

Keuntungan bagi bank dengan menghimpun dana lewat deposito adalah uang yang tersimpan relatif lama, mengingat deposito memiliki jangka waktu yang relatif panjang dan frekuensi penarikan yang juga jarang. Dengan demikian, bank dapat dengan leluasa untuk menggunakan kembali dana tersebut untuk keperluan penyaluran kredit.

Pengertian deposito menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 adalah “ simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank “.

33

Sarana atau alat untuk menarik uang yang disimpan di deposito sangat tergantung dari jenis depositonya. Artinya setiap jenis deposito mengandung

32

Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 93.

33


(43)

beberapa perbedaan sehingga diperlukan sarana yang berbeda pula. Sebagai contoh untuk deposito berjangka, penarikannya menggunakan bilyet giro, sedangkan untuk sertifikat deposito menggunakan sertifikat deposito.

Sekarang ini sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 22/65/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 22/135/UPG tertanggal 1 Desember 1989, yang merupakan salah satu kebijaksanaan dari paket Desember 1989, maka semua bank dibebaskan untuk mengatur sendiri ketentuan dan suku bunga bagi deposito masing-masing sesuai dengan kebutuhan.

B. Jenis-Jenis Simpanan Deposito

Dalam praktiknya deposito yang ditawarkan terdiri dari beragam jenis, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Masing-masing jenis deposito memiliki keunggulan tersendiri, sehingga deposan dapat memilih sesuai dengan selera mereka. Saat ini jenis-jenis deposito yang ditawarkan oleh bank dan ada dimasyarakat adalah sebagai berikut :

1. Deposito Berjangka

Deposito berjangka merupakan deposito yang diterbitkan menurut jangka waktu tertentu. Dalam hal ini deposito berjangka mempunyai tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan, dibuktikan secara tertulis, dan menghasilkan bunga yang etap bagi nasabah selama usia kontrak.34

34

Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, P.T Cira Adiya Bakti, Bandung, hlm. 357.


(44)

Deposito berjangka diterbitkan atas nama baik perorangan maupun lembaga. Artinya di dalam bilyet deposito tercantum nama seseorang atau lembaga.

Kepada setiap deposan diberikan bunga yang besarnya sesuai dengan berlakunya bunga pada saat deposito berjangka dibuka. Pencairan bunga deposito dapat dilakukan setiap bulan atau setelah jatuh tempo (jangka waktu) sesuai jangka waktunya.

Penarikan dapat dilakukan secara tunai maupun non tunai (pemindahbukuan). Kepada setiap deposan dikenakan pajak terhadap bunga yang diterimanya. Penarkan deposito sebelum jatuh tempo untuk bank tertentu dikenakan penalty rate (denda).35

Untuk menarik minat para deposan biasanya bank menyediakan berbagai insentif atau bonus. Bonus diberikan untuk jumlah nominal tertentu biasanya dalam jumlah yang besar. Bonus dapat berupa,

special rate (bunga lebih tinggi dari bunga yang berlaku umum)

maupun bonus lainnya seperti, hadiah atau cenderamata lainnya.

Jumlah nominal deposito berjangka yang diinginkan biasanya dalam bentuk bulat misalnya Rp. 5000.000,- (lima juta rupiah). Deposito berjangka juga memiliki batas-batas minimal yang harus disetor yang besarnya tergantung bank yang mengeluarkannya.

35


(45)

Bonus juga dapat diberikan kepada nasabah yang loyal terhadap bank tersebut.36

Perhitungan penerbitan, pencairan dan bunga dilakukan menggunakan kurs devisa umum. Penerbitan deposito berjangka dalam valuta asing biasanya diterbitkan dalam valuta asing yang kuat seperti US Dollar, Yen Jepang atau DM Jerman.

Disamping diterbitkna dalam mata uang rupiah deposito berjangka juga diterbitkan dalam mata uang asing. Deposito berjangka yang diterbitkan dalam valuta asing (vallas), biasanya diterbitkan oleh bank devisa. Disamping diterbitkna dalam mata uang rupiah deposito berjangka juga diterbitkan dalam mata uang asing. Deposito berjangka yang diterbitkan dalam valuta asing (vallas), biasanya diterbitkan oleh bank devisa.

37

2. Sertifikat Deposito

Pengertian menurut Pasal 1 ayat (8) Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, “sertifikat deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan’.

Maksud dipindahtangankan, yaitu dapat diperdagangkan karena berbentuk atas tunjuk sehingga lebih likuid, berbeda dengan deposito berjangka yang diterbitkan atas nama sehingga tidak mudah dialihkan.

36

Ibid., hlm. 95.

37


(46)

Dari pengertian di atas maka dapat diperbandingkan bentuk deposito berjangka dengan sertifikat deposito tersebut, diantaranya adanya kelebihan-kelebihan sertifikat deposito , yaitu bunga diberikan secara diskonto atau dibayarkan di muka oleh bank bank penerbitnya dan dapat diperdagangkan.

Adapun di Indonesia sertifikat deposito tersebut semula diatur penerbitannya harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/2/UPUM dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 17/44/KEP/DIR tertanggal 22 Oktober 1984. Namun, sejak dikeluarkannya Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/27/UPG dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 21/27/KEP/DIR tertanggal 27 Oktober 1988 tentang penerbitan sertifikat deposito oleh bank dan lembaga keuangan bukan bank, maka persetujuan tersebut tidak diperlukan lagi.

3. Deposit On Call

Merupakan deposito yang berjangka waktu minimal 7 hari dan paling lama kurang dari 1 bulan. Diterbitkan atas nama dan biasanya dalam jumlah yang besar misalnya 50 juta rupiah (tergantung bank yang bersangkutan).38

Pencairan bunga dilaukan pada saat pencairan deposit on call dan sebelum deposit on call dicairkan terlebih dahulu 3 hari sebelumnya

38


(47)

nasabah sudah memberitahukan bank penerbit. Besarnya bunga biasanya dihitung per bulan dan biasanya untuk menentukan bunga dilakukan negosiasi antara nasabah dengan pihak bank.

C. Peranan Lembaga Penjamin Simpanan Terhadap Simpanan Deposito

Dengan ditutupnya kegiatan usaha bank telah memberikan dampak kurang kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan. Salah satu upaya untuk tetap mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, yaitu melalui asuransi deposito yang dalam pengertia Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 disebut sebagai Lembaga Penjamin Simpanan.

Lembaga ini merupakan suatu badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan, melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya. Melihat tujuannya maka lembaga tersebut sangat diperlukan dalam rangka melidungi kepentingan nasabah serta usaha untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan.

Di Indonesia Lembaga Penjamin Simpanan ini baru dikenal pada tahun 1973 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1973 tentang Jaminan Simpanan Uang pada bank. Latar belakang dikeluarkannya peraturan tersebut, yaitu :39

1. Untuk meningkatkan minat masyarakat berhubungan dengan lembaga perbankan.

2. Memperluas lalu lintas pembayaran giral.

39


(48)

3. Juga untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga perbankan.

Adapun jumlah yang dijamin terbatas, setinggi-tingginya Rp. 1000.000,-, tetapi dewan moneter dapat mengubah jumlah besarnya yang dijamin tersebut, sedangkan premi jaminan ditentukan sebesar 5 per mil/tahun dengan diperhitungkan terhadap seluruh jumlah simpanan pada bank terjamin. Namun, sayangnya ketentuan mengenai jaminan simpanan (asuransi deposito) belum pernah dilaksanakan.40

1. Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.

Sejalan dengan program perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan dilandasi kesadaran begitu pentingnya sandaran hukum mengenai Lembaga Penjamin Simpanan (asuransi deposito), maka pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diatur adanya kewajiban setiap bank untuk menjamin dana masyarakat.

Ketentuan Pasal 37 B mengatur :

2. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan.

3. Mekanisme penjaminan dana masyarakat dan kelembagaannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Sedangkan yang menjadi fungsi dari Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Dengan fungsi seperti itu Lebaga Penjamin Simpanan mempunyai tugas, yaitu merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik, serta melaksanakan pananganan bank gagal yang berdampak sistemik.41

40

Ibid.

41


(49)

Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana di atas, Lembaga Penjamin Simpanan mempunyai wewenang :42

1. Menetapkan dan memungut premi penjaminan.

2. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.

3. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.

4. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.

5. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank dan laporan hasil pemeriksaan bank.

6. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.

7. Menunjuk. Menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.

8. Melakukam penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.

9. Menjatuhkan sanksi administratif.

Dengan demikian Lembaga Penjamin Simpanan mempunyai peran dalam menjamin simpanan nasabah yang dalam hal ini termasuk di dalamnya yakni simpanan deposito sebagaimana dari fungsi Lembaga Penjamin Simpanan.

42

Lihat ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.


(50)

D. Deposito Merupakan Suatu Bentuk Perjanjian Simpanan

Definisi dari suatu perjanjian menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH ialah, “ Perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan, antara dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu, sedang pihak lain menuntut pelaksanaan janji itu “.43

Sedangkan Prof. R. Soebekti mengemukakan bahwa, “ Suatu persetujuan adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang lain saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal ”.44

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.

Pada Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan, “ Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih “.

Dikatakan bahwa suatu deposito merupakan suatu bentuk perjanjian simpanan karena dalam deposito adanya persyaratan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak bank dengan nasabah, sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Adanya suatu hal tertentu.

4. Adanya suatu sebab yang halal.

Selain itu, dalam perjanjian yang dibuat terdapat prinsip-prinsip hukum perjanjian. Prinsip-prinsip yang dimaksud ialah :

1. Asas Kebebasan Berkontrak

43

Dikutip T. Darwini dalam diktatnya, 2008, Hukum Pembiayaan Perbankan, hlm.14.

44


(51)

Dimana bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja dan dengan siapa saja.

Ketentuan tentang asas ini disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “Semua perjanjian yang sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya “.

2. Asas Konsensualitas

Ketentuan ini disebut pada Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi, “ Jual beli ini dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar “.

Maksudnya adalah, bahwa perjanjian itu ada sejak tercapainya kata sepakat, antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Maka perjanjian tersebut telah dinyatakan sah jika dalam perjanjian tersebut selain telah memenuhi tiga syarat, tetapi yang paling utama dan pertama adalah telah terpenuhi kata sepakat dari mereka yang membuatnya.

3. Asas Kelengkapan

Maksud dari asas ini adalah apabila para pihak yang mengadakan perjanjian, berkeinginan lain, mereka dapat menyingkirkan Pasal-Pasal yang ada dalam Undang-Undang. Akan tetapi, jika tidak secara tegas ditentukan dalam suatu perjanjian, maka ketentuan yang ada dalam Undang-Undanglah yang dinyatakan berlaku.

Contoh mengenai ketentuan ini adalah terdapat pada Pasal 1477 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “ Penyerahan harus terjadi ditempat


(52)

dimana barang yang terjual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah diadakan persetujuan lain “.

Setiap pihak yang membuat perjanjian, terutama pihak kreditur sangat menghendaki agar pelaksanaan perjanjian diusahakan dengan sempurna secara “suka rela” sesuai dengan isi ketentuan perjanjian. Akan tetapi, tentu tidak semua berjalan sebagaimana mestinya. Boleh jadi debitur ingkar secara “suka rela” menepati pelaksanaanya. Keingkaran inilah yang memberi hak kepada kreditur untuk memaksa debitur melaksanakan prestasi.45

45

Ibid., hlm. 21.


(53)

BAB I PENDAHULUAN

Kesejahteraan masyarakat yang kian meningkat tampaknya akan dapat memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masyarakat tersebut untuk menyisihkan sebagian daripada penghasilannya dalam bentuk tabungan dan lain sebagainya. Namun demikian kita juga mengetahui bahwa tidak semua masyarakat mempunyai uang yang berlebih dalam kesehariannya, selain itu banyak pula masyarakat yang memiliki uang yang berlebih, akan tetapi kurang produktif.

Namun bila dilihat bahwa suatu keberhasilan dari suatu individu yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat ialah dengan adanya kemampuannya dalam memanfaatkan uang yang dimilikinya sebagai suatu modal. Dalam hal ini kita harus melihat situasi dan kondisi suatu sistem perekonomian.yang sedang berlangsung. Penyimpanan dapat pula berupa investasi yang sifatnya lebih menguntungkan.

Sehubungan dengan itu, kita harus melihat tingkat suku bunga dalam lingkungan perbankan, yakni apakah tingkat suku bunga tersebut tinggi atau tingkat suku bunga itu sendiri rendah atau turun. Pada umumnya ketika tingkat suku bunga tersebut mengalami peningkatan, biasanya masyarakat lebih banyak melakukan investasi terhadap uang yang dimiliki yang dirasa akan lebih menguntungkan baginya.


(54)

Oleh karenanya, akan lebih baik jika uang yang dimilikinya dimanfaatkan sebaik-baiknya sehingga lebih produktif. Salah satu upaya sebagai suatu bentuk dari investasi yang sifatnya produktif ialah dengan melakukan penyimpanan uang di bank sebagai suatu tabungan. Dalam hal ini, bentuk tabungan yang dilakukan akan memperoleh keuntungan selain unsur keamanan yang diperoleh unsur keuntungan lainnya ialah bunga. Berkaitan dengan hal tersebut tabungan dapat ditarik sewaktu-waktu atau pada waktu tertentu pula tabungan dapat diambil.

Sebagaimana kita ketahui bentuk-bentuk simpanan pada bank antara lain ialah giro, deposito, sertifikat, dan lain sebagainya yang sipersamakan dengan tabungan. Deposito merupakan salah satu kegiatan perbankan dalam mengumpulkan dana dari masyarakat. Deposito sebagai salah satu sumber dana bagi bank ialah salah satu hal yang merupakan pilihan bagi para pemilik dana (nasabah), dikarenakan bahwa dengan suatu deposito tidak membawa resiko apapun, bahkan akan membawa keuntungan tersendiri bagi sinasabah dengan memperoleh bunga dari simpanan deposito tersebut.

A. Latar Belakang

Deposito sudah dikenal oleh kalangan perbankan dan masyarakat, karena merupakan sarana bagi anggota masyarakat untuk menyimpan kelebihan dana yang dimilikinya (uang yang belum dimanfaatkan). Selain faktor tingkat suku bunga yang ditawarkan, alasan bagi para nasabah ialah untuk pengamanan dan fasilitas kredit. Hal inilah yang melatarbelakangi dan menjadi alasan bagi penulis untuk membahas masalah pelaksanaan deposito pada bank. Faktor lainnya adalah


(55)

kemungkinan bahwa setiap manusia akan menghadapi suatu risiko akibat suatu pristiwa yang tidak terduga, dan dalam hal ini dapat berlaku pada suatu deposito seperti, bilyet deposito yang hilang, tidak ditariknya deposito sesudah jatuh tempo, ditariknya deposito sebelum jatuh tempo, dan masalah perubahan suku bunga dan meningkatnya nilai tukar rupiah, serta keadaan-keadaan lainnya yang timbul akibat pelaksanaan deposito. Seperti dalam hal perpanjangan deposito oleh pihak bank tanpa sepengetahuan atau izin dari sinasabah, lalainya bank untuk membayar kembali deposito nasabah yang telah jatuh tempo.

Suatu deposito juga dapat dijadikan sebagai jaminan ke bank untuk memperoleh kredit dari suatu bank. Deposito sebagai jaminan ini bersifat Liquid (mudah dicairkan) dan prosedur penerimaan kreditnyak tidak melalui tahap-tahap yang berbelit-belit dibandingkan jaminan lainnya seperti tanah dan bangunan maka bank dalam waktu yang singkat akan menyetujui kredit tersebut dengan jaminan deposito. Dengan kata lain bahwa deposito tersebut tetap mendapatkan pembayaran bunga dan dapat dicairkan guna pemenuhan prestasi kredit.

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahannya yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut :

1. Apakah yang menyebabkan terjadinya hubungan antara pihak bank dengan nasabah ?

2. Bagaimana suatu wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian kredit dengan jaminan deposito ?


(56)

3. Bagaimana penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur hukum ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Secara umum tujuan penulis melakukan pembahasan dan menguraikannya dalam skripsi ini adalah untuk menjawab permasalahan yang timbul dari skripsi ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui apakah yang menyebabkan terjadinya hubungan antara pihak bank dengan nasabah.

2. Untuk mengetahui bagaimana suatu wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian kredit dengan jaminan deposito.

3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur hukum.

2. Manfaat Penulisan

Secara teoritis, dari hasil pembahasan ini penulis mengharapkan dapat memperoleh penjelasan mengenai hak dan kewajiban para pihak, dalam hal ini yang dimaksud ialah pihak bank dengan nasabah (deposan).

Selain itu, pembahasan ini bermanfaat untuk menambah wawasan penulis dalam bidang ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum perdata BW, dimana penulis berusaha melakukan pembahasan tentang deposito yang dijadikan sebagai suatu jaminan untuk memperoleh kredit pada lembaga yang bergerak di bidang keuangan yang dalam hal ini ialah bank.


(57)

Secara praktis, manfaat dari pembahasan yang penulis lakukan selain menambah pengetahuan penulis sendiri tentang hak dan kewajiban para pihak (pihak bank dengan nasabah), pembahasan yang penulis lakukan juga dapat bermanfaat sebagai bahan acuan ataupun literatur bagi masyarakat pada umumnya dan juga mahasiswa yang khusus ingin membahas dan menganalisis masalah-masalah perkreditan di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di kepustakaan lingkungan Universitas Sumatera Utara, belum ada penulisan skripsi yang membahas tentang “Deposito Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank (Riset Pada Bank Sumut Cabang Binjai)” sampai dengan penulisan ini dilakukan. Hal ini juga didasarkan pada penelitian yang dilakukan pada kepustakaan keperdataan khususnya perdata BW, sehingga dapat dikatakan isi penulisan ini adalah asli, dan dapat dipertanggungjawabkan. Skripsi ini disusun berdasarkan referensi buku-buku, media cetak dan elektronik, serta bantuan dari berbagai pihak.

E. Tinjauan Kepustakaan

Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis. Dalam praktek perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan.


(58)

Dalam hal ini yang dimaksud dengan deposito adalah “simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank”.28

Sedangkan pengertian jaminan adalah “tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam suatu perikatan”.29

Pengertian kredit adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.30

Serta yang dimaksud dengan bank adalah “badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.31

1. Library Research (Studi Kepustakaan)

F. Metode Penulisan

Adapun yang menjadi metode penulisan untuk skripsi ini adalah :

1

Lihat UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pada Pasal 1 (Ketentuan Umum) butir 7.

29

Hasanuddin Rahman, 1997, Aspek- Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia, P.T. CITRA ADITYA BAKTI, Bandung, hlm. 162.

30

UU No. 10 Tahun 1998, op. cit., butir 12.

31


(59)

Yaitu dengan cara melakukan penelitian atas sumber bacaan tertulis dari pendapat para sarjana, bahan kuliah dari dosen, perundang-undangan serta bahan-bahan yang diperoleh dari buku-buku yang berhubungan dengan pembahasan dalam tulisan ini.

2. Field Research ( Studi Lapangan)

Yaitu dengan melakukan penelitian lapangan untuk memperoleh data-data ini digunakan sistem wawancara dan memberikan daftar pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur dan terbagi dalam bab perbab yang saling berangkaian satu sama lain.

Adapun yang merupakan sistematika skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab pertama ini diuraikan tentang hal-hal yang bersifat umum dan dibagi dalam beberapa sub bab, antara lain : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.


(60)

Dalam bab yang kedua ini akan diuraikan tentang : Pengertian Deposito, Jenis-Jenis Simpanan Deposito, Peranan Lembaga Penjamin Simpanan Terhadap Simpanan Deposito dan Deposito Merupakan Suatu Bentuk Perjanjian Simpanan.

BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN KREDIT Dalam bab yang ketiga ini akan diuraikan tentang : Pengertian Jaminan, Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan, Jenis-Jenis Jaminan, Fungsi Jaminan Dalam Pemberian Kredit dan Pengikatan Atas Jaminan Kredit.

BAB IV : DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT PADA BANK SUMUT CABANG BINJAI

Dalam bab yang keempat ini diuraikan tentang : Hubungan Antara Pihak Bank Dengan Nasabah, Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Deposito dan Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Hukum.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab terakhir ini penulis akan memuat kesimpulan penulis tentang apa yang dibahas dalam bab-bab terdahulu dan sumbangan pikiran serta saran-saran atas permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan skripsi ini.


(61)

ABSTRAKSI

Deposito merupakan istilah yang dipakai pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang pengertiannya adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Dalam praktik kita mengenal adanya deposito berjangka, sertifikat deposito, dan deposit on call. Dalam hal ini berdasarkan judul dari tulisan ini mengenai “Deposito Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank Sumut Cabang Binjai”, apabila deposito akan dijadikan sebagai jaminan kredit, maka yang harus diminta dan disimpan oleh bank adalah bilyet deposito tersebut, baik untuk deposito berjangka maupun jenis deposito lainnya.

Sehubungan dengan itu, penulis dalam penulisan skripsi ini ingin memaparkan mengenai penggunaan deposito yang dijadikan sebagai jaminan kredit pada bank, dimana seiring berkembangnya era globalisasi yang akan mempengaruhi tingkat perekonomian masyarakat. Oleh karenanya, simpanan deposito yang pada umumnya digunakan masyarakat yang dalam hal ini bunga yang diperoleh dari deposito tersebut tidaklah dapat menjadi keuntungan yang besar bagi masyarakat jika hanya mengharapkan tingkat suku bunga dari deposito itu sendiri. Dengan demikian, pemanfaatan deposito tersebut akan menjadi efektif apabila dengan deposito itu diperoleh keuntungan selain tingkat suku bunga dari simpanan yang dilakukan yakni dengan menjadikan deposito itu sebagai jaminan kredit untuk melaksanakan suatu peningkatan usaha dari masyarakat, dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa simpanan yang didepositokan memiliki tingkat nominal yang seimbang dengan apa yang akan dilakukan, sehingga menghindari terjadinya suatu wanprestasi akibat perjanjian kredit atas objek dari jaminan yang dalam hal ini ialah deposito.

Adapun dalam penulisan ini, metode penelitian yang digunakan penulis dalam pengumpulan data dari penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research) yang dilakukan dengan pendekatan langsung dengan sumbernya untuk mengumpulkan data dengan wawancara langsung kepada pihak Bank Sumut Cabang Binjai.


(62)

DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT

PADA BANK SUMUT CABANG BINJAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh :

050200227

MUHLIS FAHDIAR SEMBIRING

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009


(63)

DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT

BANK SUMUT CABANG BINJAI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi

Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh :

050200227

MUHLIS FAHDIAR SEMBIRING

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP : 131764556

Prof. Dr. Tan Kamello SH., MS.

Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello SH., MS.

NIP : 131764556

NIP : 131757012

Zulkarnaen SH., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(64)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan rahmat Allah SWT, penulis telah dapat menyusun skripsi yang sederhana ini guna melengkapi persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk memenuhi kewajiban tersebut maka disusunlah skripsi ini yang berjudul “DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT PADA BANK SUMUT CABANG BINJAI”.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello SH., MS., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis.


(1)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan rahmat Allah SWT, penulis telah dapat menyusun skripsi yang sederhana ini guna melengkapi persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk memenuhi kewajiban tersebut maka disusunlah skripsi ini yang berjudul “DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT PADA BANK SUMUT CABANG BINJAI”.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello SH., MS., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis.


(2)

3. Prof. Chainur Arrasyid SH., yang merupakan paman kandung dari penulis yang telah memberikan bimbingan tambahan kepada penulis.

4. Bapak Zulkarnaen SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak memberikan masukan dan arahan bagi penulis.

5. Bapak dan Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik. 6. Bapak M. Husni SH., M.Hum., selaku Dosen Wali.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staf di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Teristimewa persembahan penulis untuk ayahanda Muslim Sembiring dan Ibunda Ulfah Hanum Arrasyid yang merupakan orang tua dari penulis serta kedua adik penulis, Muhsin Fahreza Sembiring dan Muhammad Ramadhan Sembiring yang telah memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis dari awal sampai akhir.

9. Rekan-rekan stambuk 2005 yang telah memberikan dukungan moril khususnya Doli Hanafi Siregar, Sadli Azhari, Syamsul Haq, Denny Hernawan, Roki Antariksa, dan rekan-rekan lainnya sesama jurusan hukum perdata BW yang tidak akan habis-habis untuk disebut satu per satu.


(3)

Akhir kata penulis ingin memohon maaf apabila ada kesalahan ataupun kesilapan yang pernah dibuat penulis dahulu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Mei 2009 Penulis,

050200227


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ……… ii

ABSTRAKSI ……… iv

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 2

B. Perumusan Masalah ……… 3

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……… 4

D. Keaslian Penulisan ……… 5

E. Tinjauan Kepustakaan ……… 5

F. Metode Penulisan ……… 6

G. Sistematika Penulisan ……… 7

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SIMPANAN DEPOSITO ……… 9

A. Pengertian Deposito ……… 9

B. Jenis-Jenis Simpanan Deposito ……… 10

C. Peranan Lembaga Penjamin Simpanan Terhadap Simpanan Deposito ……… 14


(5)

A. Pengertian Jaminan ……….. 20

B. Prinsip-Prinsip Hukum Jaminan ……….. 22

C. Jenis-Jenis Jaminan ……….. 25

D. Fungsi Jaminan Dalam Pemberian Kredit ….. 28

E. Pengikatan Atas Jaminan Kredit ……….. 32

BAB IV DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KRDEIT PADA BANK SUMUT CABANG BINJAI ……….. 33

A. Hubungan Antara Pihak Bank Dengan Nasabah ….. 33

B. Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Deposito ……….. 36

C. Penyelesaian Kredit Bermasalah Melalui Jalur Hukum ……….. 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 57

A. Kesimpulan ……….. 57

B. Saran ……….. 58

DAFTAR PUSTAKA ……….. 59 LAMPIRAN


(6)

ABSTRAKSI

Deposito merupakan istilah yang dipakai pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang pengertiannya adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Dalam praktik kita mengenal adanya deposito berjangka, sertifikat deposito, dan deposit on call. Dalam hal ini berdasarkan judul dari tulisan ini mengenai “Deposito Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank Sumut Cabang Binjai”, apabila deposito akan dijadikan sebagai jaminan kredit, maka yang harus diminta dan disimpan oleh bank adalah bilyet deposito tersebut, baik untuk deposito berjangka maupun jenis deposito lainnya.

Sehubungan dengan itu, penulis dalam penulisan skripsi ini ingin memaparkan mengenai penggunaan deposito yang dijadikan sebagai jaminan kredit pada bank, dimana seiring berkembangnya era globalisasi yang akan mempengaruhi tingkat perekonomian masyarakat. Oleh karenanya, simpanan deposito yang pada umumnya digunakan masyarakat yang dalam hal ini bunga yang diperoleh dari deposito tersebut tidaklah dapat menjadi keuntungan yang besar bagi masyarakat jika hanya mengharapkan tingkat suku bunga dari deposito itu sendiri. Dengan demikian, pemanfaatan deposito tersebut akan menjadi efektif apabila dengan deposito itu diperoleh keuntungan selain tingkat suku bunga dari simpanan yang dilakukan yakni dengan menjadikan deposito itu sebagai jaminan kredit untuk melaksanakan suatu peningkatan usaha dari masyarakat, dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa simpanan yang didepositokan memiliki tingkat nominal yang seimbang dengan apa yang akan dilakukan, sehingga menghindari terjadinya suatu wanprestasi akibat perjanjian kredit atas objek dari jaminan yang dalam hal ini ialah deposito.

Adapun dalam penulisan ini, metode penelitian yang digunakan penulis dalam pengumpulan data dari penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research) yang dilakukan dengan pendekatan langsung dengan sumbernya untuk mengumpulkan data dengan wawancara langsung kepada pihak Bank Sumut Cabang Binjai.