BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Kerangka Teoritis Setiap penelitian perlu untuk menjelaskan gambaran tentang landasan - Pemberitaan Kemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng) Dalam Hasil Hitung Cepat Pemilukada Sumatera Utara 2013 Pa

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Kerangka Teoritis Setiap penelitian perlu untuk menjelaskan gambaran tentang landasan teoritis atau paradigma yang berkaitan dengan masalah yang hendak diteliti. Kerangka teoritis adalah suatu kumpulan teori dan model dari berbagai sumber

  yang memberikan penjelasan mengenai keterkaitannya dengan masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, teori-teori yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti adalah teori Pers, Jurnalistik, dan Surat Kabar, teori Quick Count, teori Analisis Wacana Kritis, dan Analisis Wacana Norman Fairclough.

  2.1.a. Pers, Jurnalistik, dan Surat Kabar Pers memiliki keterkaitan yang luas dengan dunia media dan pemberitaan.

  Pers tidak hanya merujuk pada wartawan sebagai pihak yang mengolah berita, tetapi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh sebuah media beserta unsur-unsur yang ada di dalamnya, mulai dari proses mengumpulkan bahan berita sampai menyebarkannya. Unsur-unsur di dalamnya meliputi wartawan, editor, anggota redaksi, sampai kepada pemimpin redaksi.

  Secara umum, pers memiliki dua pengertian. Dalam arti sempit, pers merujuk kepada media cetak periodik, seperti majalah, surat kabar, tabloid, dan sebagainya. Sedangkan dalam arti luas, pers mencakup seluruh media yang ada, mulai dari media cetak sampai elektronik. Selain itu, pers juga dapat berarti media massa (Sumadiria, 2005:31).

  Pers merupakan suatu kegiatan yang tidak pernah terlepas dari hubungan dengan media dan masyarakat luas. Kegiatan tersebut mengarah kepada kegiatan jurnalistik yang meliputi pencarian, penggalian, pengumpulan, pemilahan, pengolahan bahan, pengecekan kembali, melakukan verifikasi kebenaran bahan sampai menerbitkannya kepada khalayak luas. Dalam menjalankan perannya, pers merupakan institusi pencerah masyarakat, sebagai lembaga edukasi. Selain itu, pers juga berperan sebagai media informasi. Pers, sebagai media massa, juga merupakan media informasi yang senantiasa menyampaikan informasi kepada khalayak.

  Pers juga dapat dikatakan sebagai pilar ke-empat negara setelah Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Menurut Wilbur Schramm dkk dalam buku Four

  

Theories of the Press (Empat Teori Pers), pers berarti the authoritarian, the

libertarian, the social responsibility, and the soviet communist theory . Keempat

  teori tersebut merujuk pada suatu interpretasi pers sebagai pemerhati, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya mengenai hal-hal yang mengemuka di tengah masyarakat.

  Sementara itu, Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media, menyebut pers sebagai perpanjangan “tangan” manusia, yakni yang menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain di suatu tempat dengan di tempat lain pada saat yang bersamaan. Sedangkan menurut Raden Mas Djokomono, pers adalah kegiatan membentuk opini umum melalui tulisan dalam surat kabar.

  Pers di Indonesia, sebagai lembaga media komunikasi massa dan alat sosial, telah diatur dalam Undang-Undang nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Undang-Undang ini merupakan bentuk revisi dari Undang-Undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967. Dalam sistem kenegaraan, sistem pers Indonesia merupakan subsistem dari sistem komunikasi Indonesia.

  Pers, sebagai lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan, memiliki sifat- sifat kelembagaan. Dalam hal ini, pers menyelenggarakan dan menyampaikan informasi secara teratur di dalam nuansa kelembagaan kepada khalayak yang heterogen dan anonim. Informasi yang disebarluaskan oleh pers kepada khalayak diolah dalam sebuah organisasi atau lembaga yang membutuhkan biaya yang besar.

  Dari adanya faktor ini, selanjutnya pers berkembang menjadi sebuah lembaga yang bersifat industrial. Dalam pengertian ini, pers berarti melayani kepentingan bisnis, seperti iklan, promosi, dan sebagainya, untuk menjaga keberlangsungan lembaganya. Di samping itu, pers juga melayani kepentingan yang bersifat politis dalam hal penyebarluasan kekuasaan. Dalam hal melayani jenis kepentingan yang berbeda-beda itu, pers menjalankan fungsinya sebagai lembaga sosial yang juga mencakup politik. Hal ini bergantung kepada bagaimana sistem komunikasi massa yang berlangsung di sebuah negara tempat dimana pers tersebut berada. Dengan demikian, sistem pers merupakan manifestasi dari sistem politik dari negara yang bersangkutan.

  Bentuk pers yang tertua adalah media cetak. Media cetak adalah media yang bersifat visual dan hanya bisa dipahami atau diterima dengan cara dibaca. Pers jenis ini memiliki kelemahan karena tidak bisa dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak bisa membaca. Akan tetapi, pers tertua ini dapat disimpan dan dibaca berulang-ulang di lain kesempatan dengan mudah.

  Pers, selanjutnya, tidak dapat dipisahkan dari dunia jurnalistik. Jurnalistik merupakan bagian penting dari pers sebab jurnalistik merupakan kegiatan atau proses yang menghasilkan berita-berita yang akan disajikan. Jurnalistik dapat berarti kegiatan mengumpulkan, mengelola, sampai menulis berita untuk disebarluaskan kepada khalayak, baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, data, grafik, sketsa, atau dalam bentuk lainnya melalui media massa, baik itu media cetak, media elektronik, maupun media online atau internet

  Pada mulanya, kegiatan jurnalistik hanya menggunakan media cetak sebagai media penyalurnya—pers dalam arti sempit. Sekarang, kegiatan jurnalistik tidak hanya menggunakan media cetak, tetapi juga media elektronik yang dapat berbentuk video dan suara (televisi) ataupun suara saja (radio). Dan terakhir, kegiatan jurnalistik telah semakin berkembang lewat kehadiran internet, sehingga dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat.

  Bentuk jurnalistik sekaligus media massa yang paling tua adalah berupa tulisan, yakni yang kita kenal sebagai surat kabar. Surat kabar merupakan media massa cetak yang dapat dibaca oleh orang banyak di berbagai tempat. Di samping itu, surat kabar juga merupakan media massa cetak yang mudah dibaca kembali setiap saat. Namun, surat kabar hanya dapat dinikmati oleh pihak yang dapat membaca saja.

  Surat kabar atau lebih sering dikenal dengan sebutan koran, senantiasa diperuntukkan untuk kepentingan umum. Surat kabar perlu untuk secara konsisten memuat berita mengenai kejadian di seluruh dunia dengan berbagai aspek kehidupan. Seperti halnya media massa lainnya, di dalam pemberitaannya, surat kabar juga selalu menjunjung aktualitas. Artinya, surat kabar perlu untuk menyampaikan sebuah kejadian secepat mungkin. Selain itu, surat kabar juga bersifat periodik, dimana biasanya terbit secara harian.

  Dalam menjalankan kegiatannya, surat kabar juga tidak dapat terlepas dari pemasang iklan dan kepentingan-kepentingan politik. Hal ini menjadikan surat kabar menjadi suatu media untuk melancarkan pertarungan bisnis dan politik. Adanya pemasang iklan membuat surat kabar mendapat penghasilan finansial yang akan menjaga keberlangsungan perusahaannya. Sedangkan adanya unsur kepentingan politis di dalam surat kabar selalu berkaitan dengan sistem ideologi dan kepentingan yang dianut oleh surat kabar yang bersangkutan. Selanjutnya kepentingan politis ini sangat berhubungan dengan para khalayak yang menjadi pembacanya, khususnya para pembaca tetap.

  Surat kabar, dari sudut pandang tertentu juga merupakan bisnis spekulatif, yang tergantung pada pertumbuhan dunia perdagangan dan secara khusus juga pada sirkulasi yang tidak didasarkan atas kontrak mati dengan pembacanya. Kontrak sebuah surat kabar dengan pembacanya tidaklah terikat. Oleh sebab itu, sasaran setiap penerbit ialah sirkulasi direkayasa oleh citra tertentu sehingga muncullah kelompok pembaca yang setia (Lippmann, 1998:311).

  Surat kabar yang dapat menarik loyalitas pembacanya, merupakan ciri dari jurnalistik modern. Sekelompok pembaca yang setia pada sebuah surat kabar dalam keadaan apapun merupakan kekuatan yang sangat kuat bagi surat kabar yang bersangkutan. Kekuatan ini bahkan dapat lebih berarti daripada yang diperoleh dari pemasang iklan. Di sini, kekuatan kesetiaan pembaca mengalahkan kekuatan finansial dari pemasang iklan.

  Loyalitas pembaca yang setia pada sebuah surat kabar tidak ditetapkan dalam suatu ikatan apapun. Loyalitas pembaca, pada umumnya, tergantung pada bagaimana pembaca kebetulan merasa cocok dengan pikirannya atau karena kebiasaan saja. Ada unsur-unsur tertentu yang tersembunyi di dalam hubungan sambil lalu antara pembaca dengan surat kabar yang bersangkutan. Kebanyakan hal ini disebabkan karena pembaca tidak tahu menahu tentang bagaimana surat kabar yang dibacanya memperlakukan berita yang ia baca.

  Surat kabar menyodorkan banyak berita tentang kejadian yang sering belum pernah dialami banyak orang. Ada juga surat kabar yang beritanya sering disunting atas prinsip pembaca ingin membaca berita tentang diri mereka. Bahwa pembaca akan merasa senang jika berita yang ia baca memiliki nilai kedekatan yang kuat dengan dirinya. Surat kabar yang menjalankan prinsip ini, biasanya akan mengalami peningkatan oplah. Rumus klasik untuk surat kabar seperti ini dimuat dalam surat Horace Greeley tanggal 3 April tahun 1860, kepada “Friend Fletcher” yang akan memulai surat kabar daerah (Lippmann, 1998:315).

  2.1.b. Quick Count Quick count adalah metode penghitungan hasil pemilihan umum secara

  cepat dimana datanya diambil langsung dari lapangan (TPS). Dalam metode quick , tidak semua TPS akan diambil datanya untuk dijadikan sampel, melainkan

  count

  hanya beberapa TPS di tiap-tiap daerah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Beberapa TPS akan yang dipilih secara acak biasanya ditentukan berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, jumlah pemilih terbaru, dan penyebaran pemilih.

  Sejarah munculnya pengumpulan data dengan penghitungan cepat (quick

  

count ) berawal dari rentetan peristiwa berupa pemberdayaan suara rakyat melalui

polling . Sejarah polling dimulai dengan bentuk orator atau pidato di abad 5 SM, dimana publik menyampaikan pendapat umum berdasarkan perdebatan dalam mengajukan gagasan-gagasannya. Quik count pertama kali digunakan oleh NAMFREL (National Citizens Movements For Free Election) yang memantau pelaksanaan Pemilu 1986 di Filipina dimana ada dua kandidat yang bersaing ketat yakni Ferdinand Marcos dan Corazon Aquino. NAMFREL berhasil menemukan berbagai kecurangan dan manipulasi suara serta secara meyakinkan dapat menunjukkan kemenangan Cory Aquino, sekaligus menggagalkan klaim kemenangan Marcos. Kebijakan Marcos yang menganulir kemenangan Cory selanjutnya menjadi dasar pembangkangan sipil dan perlawanan rakyat Filipina dalam bentuk people power yang berhasil menggulingkan rezim otoriter Marcos.

  Sehingga secara tidak langsung quick count sebagai bagian dari kontrol terhadap pemilu dan bagian dari upaya untuk menegakkan demokrasi dengan mendorong berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil. Quick count telah diterapkan di Indonesia sejak 1997 oleh LP3ES (Lembaga Pelatihan, Penelitian, Penerangan, Ekonomi dan Sosial) pada pemilu terakhir rezim Soeharto yang dilakukan secara diam-diam bekerjasama dengan salah satu kekuatan politik.

  

Quick count ini cukup berhasil, dengan satu hari setelah pelaksanaan pemilu

  LP3ES mampu memprediksi hasil pemilu persis sebagaimana hasil perhitungan suara oleh LPU (Lembaga Pemilihan Umum).

  Seringkali pelaksanaan quick count pada pemilu disertai oleh exit poll, kedua metode pengumpulan data ini dilakukan setelah pemilu. Exit poll merupakan metode mengetahui opini publik yang dilakukan sesaat setelah seseorang keluar dari bilik suara (TPS). Pertanyaan dalam exit poll umumnya juga sedikit (kurang dari 10 pertanyaan). Salah satu informasi yang digali dalam exit

  poll adalah alasan memilih sehingga distribusi suara pemilih dapat diketahui lebih dalam.

  Quick count dilakukan berdasarkan pada pengamatan langsung di Tempat

  Pemungutan Suara (TPS) yang telah dipilih secara acak. Unit analisis quick count ini adalah TPS, dengan demikian penarikan sampel tidak dapat dilakukan sebelum daftar TPS atau desa yang akan dipantau tersedia. Kekuatan data quick count sebenarnya bergantung pada bagaimana sampel itu ditarik. Sampel tersebutlah yang akan menentukan suara pemilih yang akan dipakai sebagai dasar prediksi hasil pemilu. Sampel yang ditarik secara benar akan memberikan landasan kuat untuk mewakili karakteristik populasi.

  Penentuan besaran sampel pada quick count didasarkan oleh derajat keragaman (variability), margin of error (MoE) dan tingkat kepercayaan (confidence interval). Istilah MoE sering disamaartikan dengan pengertian

  

sampling error (SE), dimana sebenarnya SE dihitung setelah survei selesai

  dilakukan sesuai dengan teknik sampling yang digunakan. Setelah menentukan metode penarikan sampel dan margin of error, langkah selanjutnya adalah menetapkan jumlah sampel pemilih dan jumlah sampel TPS.

  Jika suatu daerah memiliki angka pemilih yang tinggi, maka TPS yang akan dijadikan sampel juga akan diperbanyak. Karakteristik pemilih di suatu lokasi juga menjadi pertimbangan khusus apakah sebuah TPS akan dijadikan sampel atau tidak. Selain itu keadaan lokasi (apakah di dataran tinggi, sulit dijangkau atau tidak) juga menjadi pertimbangan tersendiri.

  Secara umum, metode perhitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga- lembaga survei adalah sebagai berikut:

  1. Mempersiapkan alat dan perangkat pendukung yang berfungsi untuk menyampaikan data secara cepat ke pusat pengolahan data dari lembaga survei yang bersangkutan. Alat-alat yang disiapkan biasanya meliputi komputer, telepon seluler, dan perangkat internet.

  2. Menentukan tempat pemungutan suara (TPS) yang akan dijadikan sampel data. TPS yang akan menjadi perwakilan tempat pengambilan sampel data biasanya dipilih berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, jumlah pemilih terbaru, serta penyebaran pemilih.

  3. Mempersiapkan relawan yang akan bertugas mengumpulkan sampel dan mengirimkannya ke sistem data. Jumlah relawan ini banyak dan tersebar di setiap daerah.

  4. Data yang telah terkumpul akan diolah di pusat sistem dengan menggunakan metode statistika. Dari olahan data inilah lembaga survei bisa menghitung secara cepat hasil sebuah pemilu.

  2.1.c. Analisis Wacana Kritis

  Analisis wacana kritis merupakan bentuk analisis wacana yang menggunakan paradigma kritis dalam melihat fenomena yang ada. Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana – penggunaan bahasa dalam bentuk tuturan dan tulisan – sebagai bentuk dari praktik sosial (Eriyanto, 2001:7). Memandang wacana sebagai bentuk praktik sosial akan menjelaskan bagaimana suatu kegiatan diskursus memiliki hubungan dialektis terhadap situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Sedangkan menurut Tarigan, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi (Sobur, 2004:48). Analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi bahasa. Tanpa adanya konteks, hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan supra kalimat, maka kita akan sulit berkomunikasi satu sama lain.

  Terdapat beberapa ciri khas dari analisis wacana kritis yang diungkapkan oleh Teun A. Van Dijk, Norman Fairclough, dan Wodak. Pertama, wacana dilihat sebagai bentuk tindakan. Lewat cara pandang ini, akan terlihat adanya asosiasi antara wacana dengan interaksi yang dihadirkannya. Dengan pemahaman ini, akan terdapat implikasi tentang bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana akan dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan tertentu, apakah untuk mempengaruhi, membujuk, menyangkal, dan sebagainya. Kedua, wacana akan dipandang sebagai sesuatu yang dibentuk secara sadar dan dalam suatu kendali.

  Kedua, analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, peristiwa dan kondisi (Eriyanto, 2001:8). Wacana di sini dilihat sebagai sesuatu yang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis oleh suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook, pengertian wacana mengandung tiga unsur yang sangat penting, yakni teks, konteks, dan wacana. Teks merupakan seluruh perangkat bahasa yang meliputi kata-kata, ucapan, musik, gambar, efek, dan sebagainya. Konteks mencakup semua situasi yang berada di luar teks dimana teks tersebut diproduksi. Sedangkan wacana dipandang sebagai teks dan konteks yang berjalan bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.

  Ketiga, wacana ditempatkan dalam konteks sosial tertentu. Ini berarti bahwa wacana tidak dapat dipisahkan dari konteks yang melatarbelakanginya. Salah satu bagian terpenting dari sebuah konteks sosial adalah aspek historis yang melekat di dalamnya. Misalnya, berita mengenai Barack Obama oleh media- media di Indonesia akan berbeda seandainya dia dulu tidak pernah tinggal dan sekolah di Indonesia.

  Keempat, analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya (Eriyanto, 2001:9). Di sini, wacana dipandang bukan sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai, melainkan merupakan hasil dari bentuk pertarungan kekuasaan. Dari teropong ini, wacana akan diketahui sebagai alat untuk melakukan kontrol. Pihak yang memiliki kekuasaan atau dominan akan mencoba mengontrol pihak yang tidak dominan lewat wacana yang dibuat.

  Kelima, analisis wacana kritis juga mencakup ideologi sebagai sesuatu yang sentral. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa teks, percakapan, dan sebagainya merupakan bentuk praktik ideologi tertentu. Pendapat terdahulu mengatakan bahwa ideologi merupakan perangkat yang dimiliki oleh suatu kelompok yang berkuasa atau dominan untuk digunakan sebagai penguat atau legitimator kekuasaan mereka.

  Di samping ciri-ciri yang telah disebut di atas, analisi wacana kritis juga memiliki beberapa pendekatan utama. Yang pertama adalah analisis bahasa kritis (critical linguistics). Analisis bahasa kritis ini memusatkan perhatian pada aspek bahasa dan menghubungkannya dengan ideologi. Analisis bahasa kritis secara tegas menganalisis aspek gramatika – bagaimana gramatika bahasa menghadirkan posisi dan makna ideologi tertentu. Aspek ideologi dianalisis dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai. Bahasa di sini mencakup pemilihan diksi, istilah, dan sebagainya. Sedangkan struktur tata bahasa meliputi susunan antarkata dan antarkalimat. Bahasa dan juga struktur tata bahasa dipilih dan diolah sedemikan rupa untuk dapat membawa pesan dari makna ideologi tertentu. Penyampaian makna ideologi lewat penggunaan bahasa dan struktur tata bahasa tertentu ini menunjukkan bahwa suatu kelompok berusaha mendapatkan legitimasinya lewat dukungan publik serta berusaha memarjinalkan kelompok lain.

  Pendekatan kedua adalah analisis wacana pendekan Prancis (French Discourse Analysis) atau sering disebut dengan pendekatan Pecheux. Pendekatan ini melihat bahwa bahasa dan ideologi merupakan dua hal yang menyatu dalam bahasa yang dipakai. Kata atau diksi maupun makna dari kata yang digunakan akan menjelaskan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kelas tertentu.

  Bahasa adalah medan pertarungan melalui mana berbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya (Eriyanto, 2001:16). Pendekatan Pecheux menganalisis efek ideologi dari formasi wacana yang memposisikan seseorang atau kelompok tertentu sebagai subjek dalam situasi sosial tertentu. Lebih lanjut, formasi diskursif seseorang ditempatkan dalam keseluruhan praktik dominasi dalam masyarakat.

  Ketiga adalah pendekatan kognisi sosial yang dikembangkan seorang pengajar di Universitas Amsterdam, Teun A. van Dijk. Pendekatan ini lahir dari hasil penelitian van Dijk selama bertahun-tahun pada berita-berita yang muncul di surat kabar di Eropa terutama yang menyangkut bagaimana kelompok minoritas ditampilkan. Pendekatan ini memandang bahwa kognisi sosial sangat mempengaruhi bagaimana sebuah wacana diproduksi. Wacana dilihat bukan hanya sebagai sebuah struktur bahasa, melainkan juga merupakan sebuah manifesto dari proses yang dihasilkan oleh kognisi sosial tertentu. Dari pengamatan terhadap sebuah teks misalnya, dapat diketahui bahwa wacana memiliki kecenderungan untuk memarjinalkan kelompok bawah. Dalam pandangan ini, teks semacam itu hanya akan dihasilkan dari sebuah kognisi sosial yang memang memiliki pandangan yang memarjinalkan kelompok lemah.

  Pendekatan keempat yang dirangkum adalah pendekatan perubahan sosial budaya. Dalam pandangan pendekatan ini, wacana merupakan hasil dari sebuah praktik sosial. Wacana yang dibentuk akan mengikuti bagaimana perubahan sosial yang terjadi. Wacana juga tidak terlepas dari situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu.

  Dan pendekatan yang terakhir adalah pendekatan wacana historis. Pendekatan ini dikembangkan oleh Ruth Wodak dan koleganya di Vienna, Austria. Dalam penelitiannya, Wodak terutama mengamati tentang bagaimana wacana mengenai seksisme, antisemit, dan rasialisme ditampilkan dalam media dan masyarakat kontemporer. Menurut pendekatan ini, sebuah wacana memiliki faktor keterkaitan yang kuat dengan sejarah yang melatarbelakanginya. Sejarah sangat berpengaruh terhadap bagaimana pada akhirnya sebuah wacana diproduksi. Misalnya, wacana mengenai rasisme yang terjadi pada suatu kelompok terjadi karena proses historis yang panjang, yang meliputi prasangka, bias, dan kesalahan representasi.

  Analisis wacana kritis berpedoman pada paradigma kritis dalam membedah isi media. Teks berita, sebagai sebuah produk media, dipandang memiliki suatu representrasi atas suatu kekuatan kelompok tertentu. Oleh sebab itu, teks berita tidak dapat terlepas dari relasi-relasi kuasa yang melekat di dalamnya. Dalam lingkup studi analisis tekstual, analisis wacana kritis melihat pesan, baik tekstual maupun lisan, sebagai bentuk pertarungan kekuasaan sehingga teks berita dilihat sebagai bentuk manifestasi dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain.

  Wacana, dengan demikian adalah suatu alat representasi di mana satu kelompok yang dominan memarjinalkan posisi kelompok yang tidak dominan. Dalam banyak kasus, pemberitaan media terutama yang berhubungan dengan peristiwa yang melibatkan pihak dominan dan pihak yang kurang dominan, selalu disertai dengan penggambaran yang buruk mengenai pihak yang kurang dominan tersebut. Penggambaran teks berita semacam inilah yang menjadi perhatian dan minat utama dari analisis wacana kritis (Eriyanto, 2001:18-19).

  2.1.d. Analisis Wacana Norman Fairclough

  Model analisis wacana Norman Fairclough memusatkan perhatian pada tiga aspek, yaitu pertama, analisis teks; kedua, analisis praktik diskursus atau kognisi sosial dari pembuat teks; dan ketiga, analisis mengenai praktik sosiokultural tempat dimana teks tersebut dibuat. Analisis wacana model Norman Fairclough akan memaparkan teks dan konteks secara mendalam.

  Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual - yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup - dengan konteks masyarakat yang lebih luas (Eriyanto, 2001:285). Pusat perhatian dari analisis wacana model ini adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Lewat cara pandang ini, akan diketahui bagaimana bahasa yang dipakai membawa muatan ideologis tertentu.

  Model analisis wacana Fairclough sering juga disebut sebagai model perubahan sosial. Model ini memandang wacana sebagai representasi dari suatu praktik sosial. Sebagai implikasinya, wacana dipandang sebagai bentuk tindakan seseorang terhadap realitas yang ada lewat bahasa sebagai wahananya. Di samping itu, model ini juga melihat bahwa terdapat hubungan yang timbal balik antara wacana dan struktur sosial.

  Peneliti berpedoman pada model yang dikemukakan oleh Norman Fairclough ini karena dengan model ini akan ditemukan adanya hubungan antara teks yang sifatnya mikro dengan konteks masyarakat yang bersifat makro.

  Terdapat tiga unsur yang akan dilihat melalui analisis wacana model ini, yaitu: teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model ini, teks akan dianalisis secara linguistik melalui pilihan kata, semantik, dan susunan kalimat yang dipakai. Selanjutnya di dalam konteks antarkata dan antarkalimat akan terdapat koherensi dan kohesivitas sehingga membuat suatu pengertian tertentu.

  Terdapat tiga elemen dasar yang merupakan masalah yang akan dilihat melalui analisis teks. Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, yang biasanya membawa muatan ideologis tertentu. Kedua, relasi, merujuk pada bagaimana kontruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, apakah teks disampaikan secara formal atau informal, terbuka atau tertutup. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan atau penulis dan pembaca, serta bagaimana kepribadian atau identitas ini hendak ditampilkan.

  Di samping itu, masih dalam tahap analisis teks, penelitian ini juga akan melihat teks lewat teori intertekstualitas. Intertekstualitas adalah sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya. Setiap ungkapan dihubungkan dengan rantai komunikasi. Semua pernyataan didasarkan oleh pernyataan yang lain, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam hal ini, kata-kata yang pernah diungkapkan sebelumnya dievaluasi, diasimilasi, dan diekspresikan kembali dalam bentuk ungkapan yang lain. Setiap teks, diungkapkan berdasarkan atas dan mendasari teks yang lain.

  Sementara itu, discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks berita, khususnya yang dihasilkan oleh suatu media, pada dasarnya dihasilkan melewati suatu proses yang meliputi pola kerja, bagan kerja, serta rutinitas dalam struktur media tersebut. Setiap media sangat mungkin memiliki pola kerja dan kebisaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sebuah hasil liputan berupa teks oleh wartawan, akan diolah kembali oleh editor di ruangan redaksi. Proses produksi teks oleh seorang individu sangat mungkin dimaknai secara berbeda dari sebuah teks yang diproduksi oleh sebuah lembaga seperti surat kabar, majalah, dan sebagainya. Adapun proses konsumsi teks juga dapat ditentukan oleh konteks sosial yang menyertainya.

  Sedangkan sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di sisni memasukkan banyak hal, yang mencakup konteks situasi, konteks dari praktik institusi dari media yang bersangkutan dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya atau politik tertentu. Sebagai contoh situasi politik media, budaya media, ekonomi media tertentu yang mempengaruhi pembuatan berita.

II.2. Model Teoretik

  Kerangka pemikiran merupakan suatu orientasi kausal terhadap studi yang dilakukan. Kerangka pemikiran menggambarkan bagaimana suatu permasalahan penelitian dijabarkan. Berdasarkan kerangkan teori yang telah dijabarkan sebelumnya, kerangka pemikiran yang dibentuk adalah berdasarkan Analisis Wacana Norman Fairclough, yakni:

  Produksi Teks TEKS

  Critical linguistics Konsumsi Teks critical linguistics

  DISCOURSE PRACTICE SOCIOCULTURAL PRACTICE

  Wawancara mendalam Studi pustaka dan penelusuran

  Sumber: Eriyanto ( Analisis Wacana, 2001:288) Analisis wacana kritis model ini memiliki tiga level analisis, yaitu teks,

  

discourse practice , dan sociocultural practice. Model ini akan berusaha

  menghubungkan analisis teks pada level mikro dengan konteks sosial yaitu

  

sociocultural practice pada level makro. Pada tahap analisis, ketiga level tersebut

  dilakukan secara bersama-sama. Analisis teks bertujuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam teks, dan dilakukan dengan menganalisis bahasa secara kritis. Sedangkan discourse practice menjembatani hubungan antara teks dan sosiobudaya yang ada. Pada tahap ini, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan awak redaksi serta melakukan penelitian ruang kerja redaksi untuk mengamati proses produksi berita.

  Sebelum dimensi tersebut dianalisis, terlebih dahulu akan dilakukan penguraian terhadap praktik diskursif sebagai order of discourse. Order of

  

discourse adalah hubungan di antara tipe yang berbeda, seperti tipe diskursif,

  ruang kelas, dan kerja, semuanya memberikan batas-batas bagaimana teks diproduksi dan dikonsumsi. Selanjutnya akan dilihat apakah teks berita yang akan dianalisis tersebut berupa hardnews, feature, atau sebuah editorial. Ini akan membantu peneliti untuk memaknai teks, proses produksi dari teks, dan konteks sosial dari teks yang dihasilkan.

  Dalam analisis model Norman Fairclough, seluruh tahap analisis dijabarkan sebagai berikut.

A. Teks

  Teks terdiri dari beberapa tingkatan. Setiap teks, pada dasarnya dianalisis berdasarkan tiga unsur utama, yaitu representasi, relasi, dan identitas.

1. Representasi

  Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, atau kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi menampilkan bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, atau kegiatan ditampilkan dalam anak kalimat dan gabungan atau rangkaian antaranak kalimat.

  • Representasi dalam anak kalimat Representasi dalam anak kalimat berhubungan dengan bahasa yang dipakai untuk menampilkan seseorang, kelompok, tindakan, atau kegiatan dalam sebuah teks. Pemakai bahasa dihadapkan pada dua hal. Yang pertama adalah pada tingkat kosakata, yaitu kata apa yang hendak dipilih untuk menampilkan atau menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan bagaimana sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori.

  Yang kedua adalah pada tingkat tata bahasa. Pertama adalah bagaimana perbedaan penampilan sebuah peristiwa atau tindakan dimana aktor ditampilkan sebagai subjek atau peristiwa yang ditampilkan tanpa subjek atau aktor. Pemakai bahasa, dalam hal ini, dapat memilih, apakah sebuah berita hendak ditampilkan sebagai sebuah hasil tindakan (yang dilakukan oleh seorang aktor) atau sebagai sebuah peristiwa (tanpa menyebutkan aktor). Sebagai contoh, kata “pembunuhan” adalah sebuah peristiwa yang dapat ditampilkan tanpa menyebut aktor, sedangkan kata “membunuh” merupakan tindakan yang sudah pasti membutuhkan aktor untuk disebutkan.

  • Representasi dalam kombinasi anak kalimat Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat digabungkan sehingga dapat membentuk suatu pengertian yang dapat dimaknai. Misalnya, ada peristiwa tentang kelangkaan BBM di suatu tempat, dan ada fakta lain dimana lalu lintas lancar. Kedua fakta tersebut dapat digabung sehingga membentuk suatu pemaknaan tertentu. Misalnya keadaan lalu lintas di sebuah kota lancar disebabkan sedikitnya kendaraan yang tidak dapat keluar rumah akibat kelangkaan BBM.
  • Representasi dalam rangkaian antarkalimat Representasi ini menjelaskan bagaimana dua atau lebih kalimat dirangkai sehingga membentuk suatu pengertian tertentu. Di dalam susunan beberapa kalimat yang dirangkai, akan tampak sebuah bagian yang paling menonjol dari bagian-bagian yang lain. Salah satu tujuannya adalah untuk menjelaskan apakah partisipan dianggap mandiri ataukah ditampilkan memberi reaksi dalam teks berita. Misalnya Menteri Jero Wacik mengusulkan agar menaikkan harga BBM bersubsidi untuk pengguna mobil pribadi sebesar dua ribu rupiah. Usul Jero Wacik mendapatkan tanggapan dari kalangan pengusaha yang mengatakan bahwa kenaikan harga BBM akan menyebabkan terjadinya inflasi.

  2. Relasi

  Relasi merujuk pada bagaimana kontruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, apakah teks disampaikan secara formal atau informal, terbuka atau tertutup. Media di sini dipandang sebagai suatu arena sosial, tempat di mana kelompok, kelas, atau golongan masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan pendapatnya masing-masing. Sedikitnya, ada tiga kategori kelompok utama yang terlibat dalam sebuah relasi di media, yaitu wartawan (termasuk di dalamnya redaktur, reporter, dan penyampai berita di radio dan televisi), khalayak media, dan partisipan publik (seperti politisi, pengusaha, tokoh masyarakat, selebriti, budayawan, dan sebagainya). Fokus perhatian dalam analisis relasi ini adalah pada bagaimana pola hubungan di antara partisipan tadi ditampilkan di dalam teks: antara wartawan dengan khalayak, antara politisi, tokoh, atau pengusaha dengan khalayak, dan antara wartawan dengan partisipan publik.

  3. Identitas

  Identitas merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan atau penulis dan pembaca, serta bagaimana kepribadian atau identitas ini hendak ditampilkan. Dalam analisis identititas ini, akan diketahui bagaimana wartawan menempatkan dan mengidentifikasi dirinya pada suatu permasalahan atau kelompok sosial yang terlibat. Misalnya, dalam pemberitaan mengenai kontroversi kemenangan Borussia Dortmund atas Malaga di perempat final liga Champions Eropa. Apakah wartawan mengidentifikasi dirinya sebagai pihak yang setuju dengan kemenangan Dortmund atau sebaliknya, ataupun mandiri.

  4. Intertekstualitas

  Intertekstualitas adalah sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya. Setiap ungkapan dihubungkan dengan rantai komunikasi. Semua pernyataan didasarkan oleh pernyataan yang lain, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam hal ini, kata-kata yang pernah diungkapkan sebelumnya dievaluasi, diasimilasi, dan diekspresikan kembali dalam bentuk ungkapan yang lain. Setiap teks, diungkapkan berdasarkan atas dan mendasari teks yang lain.

  Masalah intertekstualitas dalam berita di antaranya dapat diketahui melalui pengutipan sumber berita atau narasumber dalam berita. Suara narasumber yang menjadi sumber berita bisa ditampilkan secara langsung melalui kutipan langsung atau bisa juga secara tidak langsung. Pemilihan yang digunakan antara kutipan langsung dengan kutipan tidak langsung bukanlah persoalan jurnalistik semata, melainkan sebetulnya pilihan yang digunakan adalah bagian dari strategi pembentukan wacana yang dilakukan.

  Secara umum, intertekstualitas dibagi ke dalam dua bagian besar; manifest

  intertectuality dan interdiscursivity. Manifest intertectuality adalah

  intertekstualitas dimana teks atau suara yang lain muncul secara eksplisit di dalam teks. Teks yang muncul tersebut biasanya berupa kutipan. Sebuah teks dapat saja menggabungkan teks yang lain tanpa secara langsung mengutip teks yang lain. Intertekstualitas yang manifest biasanya dapat hadir dalam bentuk representasi wacana, kalimat pengandaian, kalimat negasi, ironi, dan metadiscourse.

  Sementara itu, dalam interdiscursivity, teks-teks lain tersebut mendasari konfigurasi elemen yang berbeda dari order of discourse. Prinsip dari interdiskursif ini dijalankan pada berbagai level, yaitu pada tingkat societals, institusional, personal, dan sebagainya. Ada beberapa elemen dari intertekstualitas jenis ini, yaitu genre, tipe aktivitas, gaya (style), dan wacana.

b. Discourse Practice

  Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses

  produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks berita, khususnya yang dihasilkan oleh suatu media, pada dasarnya dihasilkan melewati suatu proses yang meliputi pola kerja, bagan kerja, serta rutinitas dalam struktur media tersebut. Setiap media sangat mungkin memiliki pola kerja dan kebisaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sebuah hasil liputan berupa teks oleh wartawan, akan diolah kembali oleh editor di ruangan redaksi. Proses produksi teks oleh seorang individu sangat mungkin dimaknai secara berbeda dari sebuah teks yang diproduksi oleh sebuah lembaga seperti surat kabar, majalah, dan sebagainya. Adapun proses konsumsi teks juga dapat ditentukan oleh konteks sosial yang menyertainya.

  Di dalam media, proses produksi teks berita melibatkan praktik diskursus yang rumit dan kompleks. Praktik wacana inilah yang menentukan bagaimana sebuah teks dibentuk. Praktik wacana melibatkan dua komponen yaitu produksi teks (oleh pihak media) dan konsumsi teks (oleh khalayak). Kedua komponen tersebut berhubungan dalam suatu jaringan yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek praktik diskursif.

  Dari jaringan hubungan yang kompleks tersebut, setidaknya terdapat tiga aspek penting yang perlu diperhatikan. Pertama, wartawan yang terlibat dalam produksi teks. Kedua, bagaimana hubungan antara wartawan dengan institusi media tempat ia bekerja. Dan ketiga, praktik rutinitas kerja dari produksi berita mulai dari pencarian, pengumpulan dan ppengolahan data sampai berita muncul dalam bentuk teks di media. Ketiga elemen tersebut merupakan keseluruhan praktik wacana dalam suatu media yang saling berkaitan satu sama lain dalam proses produksi wacana berita.

c. Sociocultural practice

  Sociocultural practice adalah analisis yang berhubungan dengan konteks

  di luar teks. Ruang redaksi maupun wartawan bukanlah sesuatu yang berangkat dari ruang hampa, melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor di luar dirinya.

  

Sociocultural practice memang tidak berhubungan langsung dengan produksi

teks, tetapi ia sangat menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami.

  Misalnya sebuah teks yang memarjinalkan posisi para pemain judi. Teks semacam ini merepresentasikan ideologi yang memarjinalkan para pemain judi dalam bentuk teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, yang mencakup konteks situasi, konteks dari praktik institusi dari media yang bersangkutan dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya atau politik tertentu. Fairclough membuat tiga level analisis pada sociocultural practice: level situasional, institusional, dan sosial.

  1. Situasional

  Dalam produksi teks, aspek situasional akan menentukan pula bagaimana sebuah teks diproduksi. Teks yang dihasilkan pada suatu keadaan yang khas, unik, dan tidak biasa akan menghasilkan sebuah teks yang bisa jadi berbeda dengan teks yang dihasilkan dalam situasi yang berbeda pula. Kalau wacana dipandang sebagai suatu tindakan, maka tindakan itu merupakan upaya untuk merespons situasi atau konteks sosial tertentu.

  2. Institusional

  Level institusional melihat bagaimana pengaruh institusi dalam proses produksi teks wacana. Institusi yang dimaksud di sini bisa merupakan institusi media itu sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan yang ada di luar media yang ikut menentukan proses produksi berita. Kekuatan luar yang biasanya sangat menentukan adalah berkaitan dengan faktor ekonomi dari media yang bersangkutan, dalam hal ini pengiklan, oplah dan juga rating. Selain faktor ekonomi, faktor luar yang juga sangat menentukan adalah politik. Yang pertama adalah institusi politik yang mempengaruhi kebijakan yang berlaku di media. Misalnya institusi negara yang bisa menentukan ruang gerak ataupun kebijakan yang dilakukan media. Kedua, institusi politik dalam arti kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyarakat.

  3. Sosial

  Dalam level sosial, seluruh unsur yang ada, seperti budaya masyarakat, misalnya, turut menentukan perkembangan dari wacana media. Aspek sosial melihat pada struktur yang luas dari proses pembentukan wacana, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Seluruh sistem inilah yang menentukan siapa yang berkuasa dan nilai-nilai apa yang mendominasi di masyarakat.

Dokumen yang terkait

Peran Juru Kampanye PKS Di Kecamatan Kotapinang Kabupaten Labuhanbatu Selatan Dalam Proses Pemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi Pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2013

1 54 120

Pemberitaan Kemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng) Dalam Hasil Hitung Cepat Pemilukada Sumatera Utara 2013 Pada Harian Analisa Dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis

0 65 111

BAB II KAJIAN PUSTAKA - BAB II

0 4 26

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Teori - Kerangka Teori Pengertian Sistem Informasi

0 5 26

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari

0 2 38

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Berita - Konstruksi Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur diKesultananLangkat dalam Surat Kabar(Analisis Framing tentang KonstruksiMelayu saat Revolusi SosialSumateraTimur di Kesultanan Langkat dalam SuratKabar PandjiRa’jat

0 0 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kerangka Teoritis II.1.1 Definisi - Gambaran Penderita Radius Distal Fraktur di RSUP H. Adam Malik Periode 1 Januari 2012 -31 Desember 2013

0 0 12

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN II.1 Provinsi Aceh II.1.1 Demografi Provinsi Aceh - Analisis Startegi Partai Aceh Terhadap Pemenangan Pasangan dr. Zaini Abdullah – Muzakkir Manaf Pada Pemilukada Aceh 2012

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Sistem - Peranan Sistem Informasi Manajemen Dalam Meningkatkan Efektivitas Komunikasi Pada PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara

0 0 38

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kritis - Pertarungan Wacana Dalam Pemberitaan Anas Urbaningrum vs Susilo Bambang Yudhoyono di Harian Kompas

0 1 17