Pemberitaan Kemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng) Dalam Hasil Hitung Cepat Pemilukada Sumatera Utara 2013 Pada Harian Analisa Dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis

(1)

PEMBERITAAN KEMENANGAN PASANGAN GATOT PUJO

NUGROHO – TENGKU ERRY NURADI (GANTENG) DALAM

HASIL HITUNG CEPAT PEMILUKADA SUMATERA UTARA

2013 PADA HARIAN ANALISA DALAM PERSPEKTIF

ANALISIS WACANA KRITIS

SKRIPSI

ABUL MUAMAR

110922034

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

(EKSTENSI) 2013


(2)

PEMBERITAAN KEMENANGAN PASANGAN GATOT PUJO

NUGROHO – TENGKU ERRY NURADI (GANTENG) DALAM

HASIL HITUNG CEPAT PEMILUKADA SUMATERA UTARA

2013 PADA HARIAN ANALISA DALAM PERSPEKTIF

ANALISIS WACANA KRITIS

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

ABUL MUAMAR

110922034

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI (EKSTENSI)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Lembar Persetujuan

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Abul Muamar

NIM : 110922034

Departemen : Ilmu Komunikasi (Ekstensi)

Judul : Pemberitaan Kemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng) Dalam Hasil Hitung Cepat Pemilukada Sumatera Utara 2013 Pada Harian Analisa Dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis.

Medan, 13 Juni 2013

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D Fatma Wardy Lubis, M.A NIP. 195812051989031002 NIP. 196208281987012001

Dekan FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin, M.si NIP. 196805251992031002


(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : ABUL MUAMAR NIM : 110922034

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Pemberitaan Kemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng) Dalam Hasil Hitung Cepat Pemilukada Sumatera Utara 2013 Pada Harian Analisa Dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji :

Penguji :

Penguji Utama :

Ditetapkan di : Tanggal :


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terperikan saya panjatkan ke haribaan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Atas ridho dan berkahNya, saya bisa menyelesaikan skripsi ini dalam keadaan yang baik. Adapun skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumtera Utara.

Bagi saya, secara emosional, seluruh proses penyelesaian studi ini—dan terutama penulisan skripsi ini—menyisakan banyak kenangan manis yang tak akan terulang. Secara pribadi, penulisan skripsi ini adalah pekerjaan yang meresahkan—walau juga menyenangkan tentu saja. Proses penemuan ide dan perumusan masalah hanyalah satu tahap. Proses selanjutnya mencakup urusan berjam-jam di depan layar komputer, membesut kata dan kalimat, hingga pengeditan setelah koreksi dari sang Pembimbing yang baik hati. Maka dari itu semua, pada secarik kertas yang sempit ini, saya sungguh-sungguh ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Nenek dan Bulik Marliah, selaku orang tua yang telah membesarkan saya sejak kecil dengan kasih sayang yang melimpah ruah.

2. Bapak Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D yang telah dengan sangat baik hati meluangkan waktunya membimbing saya dalam penulisan skripsi ini. Semoga beliau diberi berkah kesehatan dan kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Esa,

3. Ibu Fatma Wardy Lubis, M.A, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU,

4. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU,

5. Semua saudara yang saya cintai: Adik Nurul, Abang Abdi, Yani, Uwak Ribut, Bulik Hartini, dan yang lain yang akan sangat panjang jika saya sebutkan satu per satu.


(6)

6. Semua staf administrasi di Departemen Ilmu Komunikasi: Kak Maya, Kak Cut, dan yang lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

7. Juga, yang terakhir tapi tak kalah berarti, saya tujukan kepada semua teman-teman yang telah meyakinkan saya untuk melanjutkan studi ini dan mengilhami saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Dan secara spiritual yang, skripsi ini ingin saya persembahkan kepada Almarhum sahabat saya terkasih, Khairul Akhyar Nasution. Tak dapat dipungkiri, hari-hari indah persahabatan itu hingga kini masih tersimpan rapi dalam memori ingatan yang tak kekal ini.


(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : ABUL MUAMAR NIM : 110922034

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (

Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Pemberitaan Kemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng) Dalam Hasil Hitung Cepat Pemilukada Sumatera Utara 2013 Pada Harian Analisa Dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan


(8)

mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Pada tanggal: Yang Menyatakan


(9)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : ABUL MUAMAR NIM : 110922034

Tanda Tangan: Tanggal :


(10)

ABSTRAK

Hasil pemilukada Sumatera Utara merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Sumut. Sebab itu, hasil hitung cepat pemilukada Sumut yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei laris dijadikan sebagai bahan pemberitaan di berbagai media. Oleh Harian Analisa, hasil hitung cepat pemilukada kemudian dibentuk menjadi sebuah wacana yang bermuatan ideologi tertentu. Penelitian ini berisi analisis wacana kritis yang bersifat kualitatif. Penelitian ini membongkar bagaimana praktik pembuatan wacana dilakukan oleh media. Di sini, wacana dianalisis melalui tiga tahapan, yaitu teks, discourse practice, dan sociocultural

practice. Masing-masing tahapan saling berkaitan antara satu sama lain.

Kata kunci: Harian Analisa, Pemilukada Sumatera Utara, Hitung Cepat, Wacana.

ABSTRACT

The results of North Sumatera’s election was something that is always awaited by its society. Therefore, the announcement of the quick count results of the regional election conducted by surveillance institutions has become a good materials for news in some medias. By Analisa Daily, the results of the regional election was created to be a discourse that contained certain ideology. This research contains a qualitative critical discourse analysis. It unveiled how the discourse practice was created by the medias. The discourse is analized through three levels, which are text, discourse practice, and sociocultural practice. The three levels is related to each other.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... vii

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1Konteks Masalah ... 1

1.2Fokus Masalah ... 8

1.3Tujuan Penelitian ... 9

1.4Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1Kerangka Teoritis 2.1.a. Pers, Jurnalistik, dan Surat Kabar ... 10

2.1.b. Quick Count ... 14

2.1.c. Analisis Wacana Kritis ... 17

2.1.d. Analisis Wacana Norman Fairclough ... 21

2.2Model Teoretis ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1.1Metode Penelitian ... 30

1.2Objek Penelitian ... 30

1.3Subjek Penelitian ... 30

1.4Kerangka Analisis ... 31

1.5Teknik Pengumpulan Data ... 31

1.6Teknik Analisis Data ... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 38


(12)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 80 5.2 Saran ... 81 5.3 Implikasi

5.3.a. Implikasi Teoretis ... 82 5.3.b. Implikasi Praktis ... 82 DAFTAR REFERENSI

DAFTAR LAMPIRAN Scan Teks Berita Yang Diteliti Transkrip Wawancara

Biodata Peneliti


(13)

ABSTRAK

Hasil pemilukada Sumatera Utara merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Sumut. Sebab itu, hasil hitung cepat pemilukada Sumut yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei laris dijadikan sebagai bahan pemberitaan di berbagai media. Oleh Harian Analisa, hasil hitung cepat pemilukada kemudian dibentuk menjadi sebuah wacana yang bermuatan ideologi tertentu. Penelitian ini berisi analisis wacana kritis yang bersifat kualitatif. Penelitian ini membongkar bagaimana praktik pembuatan wacana dilakukan oleh media. Di sini, wacana dianalisis melalui tiga tahapan, yaitu teks, discourse practice, dan sociocultural

practice. Masing-masing tahapan saling berkaitan antara satu sama lain.

Kata kunci: Harian Analisa, Pemilukada Sumatera Utara, Hitung Cepat, Wacana.

ABSTRACT

The results of North Sumatera’s election was something that is always awaited by its society. Therefore, the announcement of the quick count results of the regional election conducted by surveillance institutions has become a good materials for news in some medias. By Analisa Daily, the results of the regional election was created to be a discourse that contained certain ideology. This research contains a qualitative critical discourse analysis. It unveiled how the discourse practice was created by the medias. The discourse is analized through three levels, which are text, discourse practice, and sociocultural practice. The three levels is related to each other.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Konteks Masalah

Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara (Pemilukada Sumut) 2013 telah berakhir dengan keunggulan pasangan nomor urut lima, yakni Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng). Seperti diketahui, pemilukada Sumatera Utara dilaksanakan pada 7 Maret 2012 di seluruh wilayah yang ada di Sumatera Utara yang terdiri dari 25 kabupaten dan 8 kota, 422 kecamatan, dan 5.800 desa/kelurahan, serta 26.444 tempat pemungutan suara (TPS). Dalam hasil hitung cepat yang dirilis oleh beberapa lembaga survei yang ada beberapa jam setelah pencoblosan, pasangan Gatot-T Erry tercatat unggul di atas angka 30 persen. Keunggulan pasangan ini terjadi di hampir seluruh kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara.

Hasil hitung cepat yang dirilis oleh lembaga survei Indo Barometer, pasangan Gatot-T Erry (Ganteng) meraih suara 32,7 persen, disusul pasangan Effendi Simbolon-Jumiran Abdi (ESJA) 24,17 persen, Gus Irawan-Soekirman (GusMan) 21,8 persen, Amri Tambunan-RE Nainggolan (Amri-RE) 12,02 persen dan Chairuman Harahap-Fadly (Charly) 9,33 persen. Hasil yang hampir serupa juga terlihat dari hitung cepat oleh Pusat Kajian Kebijakan Pembangunan Strategis (Puskaptis), pasangan Ganteng meraih suara 33,57 persen, ESJA 25,69 persen, GusMan 20,35 persen, Amri-RE 12,04 persen dan Charly peroleh 8,35 persen. Demikian pula hasil hitung cepat yang dikeluarkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang menempatkan pasangan Ganteng dengan raihan suara 32,05 persen, menyusul pasangan ESJA 26,87 persen, pasangan GusMan 19,48 persen, Amri-RE 12,46 persen, dan Charly 9,15 persen.

Dalam hasil hitung cepat, tercatat pasangan Gatot-T Erry yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hanura, Patriot, dan PKNU ini juga unggul di Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Kota Tebing Tinggi, Asahan,


(15)

Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu, Labuhan Batu Selatan, Kota Binjai dan Kabupaten Langkat. Kabar ini langsung menjadi berita utama di beberapa media elektronik dan online beberapa jam pasca pencoblosan. Sementara di media cetak, termasuk surat kabar harian, kabar ini langsung menjadi headline (berita utama) pada keesokan harinya, yakni 8 Maret 2013.

Hasil hitung cepat (quick count) pada pemilukada Sumatera Utara 2013 menghadirkan beragam komentar di masyarakat. Sebagian besar masyarakat menduga bahwa hasil hitung cepat akan sama dengan hasil akhir yang akan ditetapkan oleh KPU Provinsi Sumatera Utara. Hal ini dilandasi oleh hasil-hasil hitung cepat pada pemilu-pemilu sebelumnya, dimana hasil hitung cepat hampir selalu tepat dengan hasil hitung manual oleh KPU.

Metode ini semakin mendapat perhatian masyarakat akhir-akhir ini. Quick

count adalah metode penghitungan hasil pemilihan umum secara cepat dimana

datanya diambil langsung dari lapangan (TPS). Dalam metode quick count TPS yang yang diambil datanya untuk dijadikan sampel tidaklah seluruhnya, melainkan hanya beberapa TPS di suatu daerah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan matang.

Pemilu merupakan pesta demokrasi bagi masyarakat. Di samping itu, pemilu juga merupakan bentuk aktivitas yang menyangkut banyak urusan dalam suatu tatanan pemerintahan yang demokratis. Di Sumatera Utara dimana terdiri dari beragam suku, pemilu menjadi arena tempat dimana demokrasi dijunjung tinggi. Sebab itu, hasil pemilu yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Atas dasar itu pula pada akhirnya semakin banyak lembaga survei bermunculan.

Berita mengenai hasil hitung cepat selalu menarik perhatian masyarakat. Tak ayal, larisnya berita mengenai hitung cepat suatu pemilu membuat tren hitung cepat semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas dari kinerja lembaga-lembaga survei yang semakin akurat dalam melakukan penghitungan. Bagi masyarakat awam, hadirnya lembaga survei ini sangat membantu dalam memberikan jawaban


(16)

atas rasa penasaran atas hasil pemilu selama hasil akhir belum ditetapkan oleh pihak KPU.

Di berbagai media, termasuk surat kabar harian yang ada di Sumatera Utara, kabar mengenai hasil hitung cepat pemilukada Sumatera Utara hadir sebagai headline di halaman paling depan dengan berbagai judul. Hadirnya berita-berita seputar hasil hitung cepat pemilukada Sumatera Utara dengan judul yang berbeda-beda itu membuat persepsi yang timbul di masyarakat turut berbeda pula. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini tidak terlepas dari peran media massa dalam menyajikan setiap informasi tentang situasi dan kondisi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini bersinggungan dengan keharusan media menampilkan fakta dari peristiwa yang terjadi. Penyajian berita mengenai keunggulan pasangan Gatot-T Erry dalam hasil hitung cepat pemilukada Sumatera Utara pada akhirnya juga mengandung pandangan dan/atau aktivitas tokoh-tokoh lainnya yang berkaitan dengan kabar tersebut.

Di dalam media massa, pihak utama yang terkait dalam berita kemenangan pasangan Ganteng, yakni Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi, ditampilkan untuk saling menyajikan perspektif masing-masing untuk memberi pemaknaan pada peristiwa tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendukung legitimasi kelompok yang ingin ditonjolkan dan menyembunyikan sosok kelompok yang menjadi lawannya. Dalam hal ini, media massa menjadi “senjata” perang bagi kelompok-kelompok tersebut.

Oleh sebab itu, media bukanlah saluran yang bebas, tempat dimana seluruh domain sosial saling berinteraksi. Di sisi lain, media menjadi sebuah sarana kepentingan kelompok tertentu sehingga mereka dapat memberi pemaknaan terhadap suatu peristiwa atau keadaan dan dan menyebarkannya dengan maksud agar dapat mempengaruhi khalayak berdasarkan pandangan dan keinginan mereka. Media merupakan sarana bagi kelompok dominan untuk memantapkan posisi mereka serta untuk memarjinalkan kelompok yang lain yang tidak dominan. Media dipandang sebagai agen yang bertugas mengkonstruksi realitas sosial berdasarkan definisi dan pandangan kelompok dominan yang menjadi kliennya. Media juga dipandang sebagai instrumen ideologi, melalui


(17)

mana suatu kelompok menyebarkan pengaruh dominasinya kepada kelompok lain.

Adanya kekuatan ideologi yang dianut media tersebut membuat media memaknai dan memposisikan dirinya atas realitas yang ada. Oleh karenanya, berita yang tersaji di media massa, tidak selalu menggambarkan realitas apa adanya, melainkan mengandung suatu unsur sudut pandang dari makna dan maksud tertentu yang media coba ingin sajikan. Terkait hasil hitung cepat pemilukada Sumatera Utara 2013 yang menunjukkan kemenangan pasangan Gatot-T Erry, berita yang disajikan juga demikian. Pihak-pihak yang terkait, dalam hal ini Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi, ditampilkan sedemikian rupa sehingga publik diharapkan akan “mengamini” apa yang disajikan media yang bersangkutan.

Dalam penelitian ini, peneliti menjadikan berita mengenai keunggulan pasangan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi (Ganteng) dalam hasil hitung cepat pemilukada Sumatera Utara yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei yang terbit di surat kabar Harian Analisa edisi Jumat, 8 Maret 2013 atau sehari setelah hari pencoblosan. Pada edisi itu, tertampang jelas berita headline mengenai kemenangan pasangan Gatot-T Erry dalam hasil hitung cepat dengan judul “Hitungan Cepat, Gatot–T Erry Unggul dalam Satu Putaran”. Pemilihan Harian

Analisa sebagai sasaran penelitian ini dikarenakan surat kabar ini merupakan

salah surat kabar terbesar di Sumatera Utara yang selalu konsisten memberitakan kabar seputar Sumatera Uatara secara komprehensif. Harian Analisa juga merupakan surat kabar yang tersebar luas di seluruh wilayah Sumatera Utara sehingga memungkinkan banyak khalayak yang membacanya. Di sisi lain, pertimbangan yang penulis ambil juga menyangkut faktor-faktor yang dapat memudahkan penulis untuk melakukan penelitian ini, yang pada dasarnya berkaitan dengan daya jangkau peneliti.

Harian Analisa merupakan sebua

Harian Analisa terbit sejakHarian Analisa mempunyai

format broadsheet dan merupakan salah satu surat kabar terbesar di Medan. Pada awalnya Analisa diterbitkan seminggu sekali sebelum menjadi surat kabar harian.


(18)

Salah satu fitur Harian Analisa yang paling terkenal adala yang muncul di halaman lima setiap harinya (kecuali Minggu) sejak 23 Maret 1973.

Saat ini, Harian Analisa dipimpin oleh Pemimpin Umum dan Pemimpin Perusahaan Sujito Sukirman. Redaksional dipimpin wartawan kawakan eks-LKBN Wakil Pemimpin Redaksi H.Ali Soekardi dan dibantu Sekretaris Redaksi H.War Djamil. Harian Analisa beralamat di Jl. Jend. A. Yani No. 35 - 49 Medan

Penelitian ini berangkat dari realitas yang peneliti tangkap dimana saat ini metode quick count (hitung cepat) semakin mengalami peningkatan tren. Hal ini lalu peneliti coba kaitkan dengan cara menganalisis teks berita yang menyangkut hasil hitung cepat. Sementara itu, berita tentang pemilukada Sumatera Utara merupakan bagian penting dari dinamika perpolitikan di Indonesia, khususnya di Provinsi Sumatera Utara. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini menjadi penting untuk diteliti sebab Sumatera Utara merupakan tempat dimana peneliti berada. Di samping itu, yang juga tak kalah penting, peneliti ingin mencoba membuka praktik kekuasaan yang terjadi lewat teks-teks berita yang dihadirkan.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode analisis wacana kritis demi menggapai tujuan yang dikehendaki. Adapun penelitian ini nanti akan membongkar perihal tentang bagaimana wacana itu tidak hanya studi soal bahasa. Walaupun wacana memang menggunakan bahasa sebagai teks yang akan dianalisis, tetapi wacana juga terbentuk oleh adanya konteks di luar teks itu sendiri. Di sini, konteks sangat menentukan bagaimana teks akhirnya diproduksi.

Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana – penggunaan bahasa dalam bentuk tuturan dan tulisan – sebagai bentuk dari praktik sosial. Memandang wacana sebagai bentuk praktik sosial akan menjelaskan bagaimana suatu kegiatan diskursus memiliki hubungan dialektis terhadap situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya (Eriyanto, 2001:7).


(19)

Terdapat beberapa ciri khas dari analisis wacana kritis yang diungkapkan oleh Teun A. Van Dijk, Norman Fairclough, dan Wodak. Pertama, wacana dilihat sebagai bentuk tindakan. Lewat cara pandang ini, akan terlihat adanya asosiasi antara wacana dengan interaksi yang dihadirkannya. Dengan pemahaman ini, akan terlihat adanya implikasi tentang bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana akan dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan tertentu, apakah untuk mempengaruhi, membujuk, menyangkal, dan sebagainya. Kedua, wacana akan dipandang sebagai sesuatu yang dibentuk secara sadar dan dalam suatu kendali.

Kedua, analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, peristiwa dan kondisi (Eriyanto, 2001:8). Wacana di sini dilihat sebagai sesuatu yang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis oleh suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook, pengertian wacana mengandung tiga unsur yang sangat penting, yakni teks, konteks, dan wacana. Teks merupakan seluruh perangkat bahasa yang meliputi kata-kata, ucapan, musik, gambar, efek, dan sebagainya. Konteks mencakup semua situasi yang berada di luar teks dimana teks tersebut diproduksi. Sedangkan wacana dipandang sebagai teks dan konteks yang berjalan bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.

Ketiga, wacana ditempatkan dalam konteks sosial tertentu. Ini berarti bahwa wacana tidak dapat dipisahkan dari konteks yang melatarbelakanginya. Salah satu bagian terpenting dari sebuah konteks sosial adalah aspek historis yang melekat di dalamnya. Misalnya, berita mengenai Barack Obama oleh media-media di Indonesia akan berbeda seandainya dia dulu tidak pernah tinggal dan sekolah di Indonesia.

Keempat, analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya (Eriyanto, 2001:9). Di sini, wacana dipandang bukan sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai, melainkan merupakan hasil dari bentuk pertarungan kekuasaan. Dari teropong ini, wacana akan diketahui sebagai alat untuk melakukan kontrol. Pihak yang memiliki kekuasaan atau dominan akan mencoba mengontrol pihak yang tidak dominan lewat wacana yang dibuat.


(20)

Kelima, analisis wacana kritis juga mencakup ideologi sebagai sesuatu yang sentral. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa teks, percakapan, dan sebagainya merupakan bentuk praktik ideologi tertentu. Pendapat terdahulu mengatakan bahwa ideologi merupakan perangkat yang dimiliki oleh suatu kelompok yang berkuasa atau dominan untuk digunakan sebagai penguat atau legitimator kekuasaan mereka.

Pada penelitian ini berita mengenai keunggulan pasangan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi (Ganteng) dalam hasil hitung cepat pemilukada Sumatera Utara yang dimuat dalam Harian Analisa akan diteliti dengan metode analisis wacana kritis ini. Analisis wacana kritis bertitik tumpu pada paradigma kritis. Paradigma kritis memandang bahwa realitas kehidupan sosial bukanlah sesuatu yang netral, melainkan dipengaruhi oleh kekuatan politik, ekonomi, dan sosial tertentu. Dalam penelitian yang menggunakan paradigma kritis, sasaran diamati secara mendalam. Sebab itu, semakin dekat jarak peneliti dengan hal yang diteliti, maka hasilnya akan semakin baik. Dalam pandangan paradigma kritis, posisi media tidaklah netral, melainkan merupakan alat yang digunakan oleh kelompok yang dominan untuk menegaskan dominasinya.

Analisis wacana yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis wacana model Norman Fairclough. Peneliti berpedoman pada model yang dikemukakan oleh Norman Fairclough karena dengan model ini akan ditemukan adanya hubungan antara teks yang sifatnya mikro dengan konteks masyarakat yang bersifat makro. Terdapat tiga unsur yang akan dilihat melalui analisis wacana model ini, yaitu: teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model ini, teks akan dianalisis secara linguistik kritis melalui pilihan kata atau diksi, semantik, dan susunan kalimat yang dipakai. Selanjutnya di dalam konteks antarkata dan antarkalimat akan terdapat koherensi dan kohesivitas sehingga membuat suatu pengertian tertentu. Terdapat tiga elemen masalah yang akan dilihat melalui analisis teks. Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, yang biasanya membawa muatan ideologi tertentu. Kedua, relasi, merujuk pada bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, apakah teks disampaikan secara


(21)

formal atau informal, terbuka atau tertutup. Dan ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan atau penulis dan pembaca, serta bagaimana kepribadian atau identitas ini hendak ditampilkan.

Di samping itu, masih dalam tahap analisis teks, penelitian ini juga akan melihat teks lewat kajian intertekstual. Intertekstualitas adalah sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya. Setiap ungkapan dihubungkan dengan rantai komunikasi. Semua pernyataan didasarkan oleh pernyataan yang lain, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam hal ini, kata-kata yang pernah diungkapkan sebelumnya dievaluasi, diasimilasi, dan diekspresikan kembali dalam bentuk ungkapan yang lain. Setiap teks, diungkapkan berdasarkan atas dan mendasari teks yang lain.

Sementara itu, discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks berita, khususnya yang dihasilkan oleh suatu media, pada dasarnya dihasilkan melewati suatu proses yang meliputi pola kerja, bagan kerja, serta rutinitas dalam struktur pengorganisasian media tersebut. Sebuah hasil liputan berupa teks oleh wartawan, akan diolah kembali oleh editor di ruangan redaksi. Adapun proses konsumsi teks juga dapat ditentukan oleh konteks sosial yang menyertainya.

Sedangkan sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, yang mencakup konteks situasi, konteks dari praktik institusi dari media yang bersangkutan dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya atau politik tertentu. Sebagai contoh situasi politik media, budaya media, ekonomi media tertentu yang mempengaruhi pembuatan berita.

I. 2. Fokus Masalah

Dari uraian dalam konteks masalah yang telah dipaparkan, fokus masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana berita mengenai kemenangan pasangan


(22)

Gatot Pujo Nugroho–Tengku Erry Nuradi (Ganteng) dalam hasil quick count (hitung cepat) pemilukada Sumatera Utara 2013 ditampilkan dalam pemberitaan di Harian Analisa?”

Sebagai pembatasan masalah, penelitian ini hanya akan meneliti satu berita saja dari edisi Jumat, 8 Maret 2013 sebagai objek atau data penelitian. Adapun berita yang dimaksud merupakan berita headline pada edisi tersebut dengan judul “Hitungan Cepat, Gatot- T Erry Unggul dalam Satu Putaran”.

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana Harian Analisa mewacanakan pasangan

Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng)

2. Untuk mengetahui bagaimana Harian Analisa memproduksi dan mereproduksi wacana kemenangan pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng)

3. Untuk mengetahui bagaimana ideologi Harian Analisa dalam memandang pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng)

I.4 Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang akan didapat dari penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah pengetahuan dalam bidang Ilmu Komunikasi, terutama bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi wawasan dan merangsang kepedulian peneliti dan mahasiswa lainnya tentang politik dalam negeri yang akan sangat menentukan bagi kehidupan di Indonesia. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menggugah minat untuk


(23)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Kerangka Teoritis

Setiap penelitian perlu untuk menjelaskan gambaran tentang landasan teoritis atau paradigma yang berkaitan dengan masalah yang hendak diteliti. Kerangka teoritis adalah suatu kumpulan teori dan model dari berbagai sumber yang memberikan penjelasan mengenai keterkaitannya dengan masalah yang akan diteliti. Dalam penelitian ini, teori-teori yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti adalah teori Pers, Jurnalistik, dan Surat Kabar, teori Quick Count, teori Analisis Wacana Kritis, dan Analisis Wacana Norman Fairclough.

2.1.a. Pers, Jurnalistik, dan Surat Kabar

Pers memiliki keterkaitan yang luas dengan dunia media dan pemberitaan. Pers tidak hanya merujuk pada wartawan sebagai pihak yang mengolah berita, tetapi seluruh kegiatan yang dilakukan oleh sebuah media beserta unsur-unsur yang ada di dalamnya, mulai dari proses mengumpulkan bahan berita sampai menyebarkannya. Unsur-unsur di dalamnya meliputi wartawan, editor, anggota redaksi, sampai kepada pemimpin redaksi.

Secara umum, pers memiliki dua pengertian. Dalam arti sempit, pers merujuk kepada media cetak periodik, seperti majalah, surat kabar, tabloid, dan sebagainya. Sedangkan dalam arti luas, pers mencakup seluruh media yang ada, mulai dari media cetak sampai elektronik. Selain itu, pers juga dapat berarti media massa (Sumadiria, 2005:31).

Pers merupakan suatu kegiatan yang tidak pernah terlepas dari hubungan dengan media dan masyarakat luas. Kegiatan tersebut mengarah kepada kegiatan jurnalistik yang meliputi pencarian, penggalian, pengumpulan, pemilahan, pengolahan bahan, pengecekan kembali, melakukan verifikasi kebenaran bahan


(24)

sampai menerbitkannya kepada khalayak luas. Dalam menjalankan perannya, pers merupakan institusi pencerah masyarakat, sebagai lembaga edukasi. Selain itu, pers juga berperan sebagai media informasi. Pers, sebagai media massa, juga merupakan media informasi yang senantiasa menyampaikan informasi kepada khalayak.

Pers juga dapat dikatakan sebagai pilar ke-empat negara setelah Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Menurut Wilbur Schramm dkk dalam buku Four

Theories of the Press (Empat Teori Pers), pers berarti the authoritarian, the

libertarian, the social responsibility, and the soviet communist theory. Keempat

teori tersebut merujuk pada suatu interpretasi pers sebagai pemerhati, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya mengenai hal-hal yang mengemuka di tengah masyarakat.

Sementara itu, Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media, menyebut pers sebagai perpanjangan “tangan” manusia, yakni yang menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain di suatu tempat dengan di tempat lain pada saat yang bersamaan. Sedangkan menurut Raden Mas Djokomono, pers adalah kegiatan membentuk opini umum melalui tulisan dalam surat kabar.

Pers di Indonesia, sebagai lembaga media komunikasi massa dan alat sosial, telah diatur dalam Undang-Undang nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Undang-Undang ini merupakan bentuk revisi dari Undang-Undang sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967. Dalam sistem kenegaraan, sistem pers Indonesia merupakan subsistem dari sistem komunikasi Indonesia.

Pers, sebagai lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan, memiliki sifat-sifat kelembagaan. Dalam hal ini, pers menyelenggarakan dan menyampaikan informasi secara teratur di dalam nuansa kelembagaan kepada khalayak yang heterogen dan anonim. Informasi yang disebarluaskan oleh pers kepada khalayak diolah dalam sebuah organisasi atau lembaga yang membutuhkan biaya yang besar.


(25)

Dari adanya faktor ini, selanjutnya pers berkembang menjadi sebuah lembaga yang bersifat industrial. Dalam pengertian ini, pers berarti melayani kepentingan bisnis, seperti iklan, promosi, dan sebagainya, untuk menjaga keberlangsungan lembaganya. Di samping itu, pers juga melayani kepentingan yang bersifat politis dalam hal penyebarluasan kekuasaan. Dalam hal melayani jenis kepentingan yang berbeda-beda itu, pers menjalankan fungsinya sebagai lembaga sosial yang juga mencakup politik. Hal ini bergantung kepada bagaimana sistem komunikasi massa yang berlangsung di sebuah negara tempat dimana pers tersebut berada. Dengan demikian, sistem pers merupakan manifestasi dari sistem politik dari negara yang bersangkutan.

Bentuk pers yang tertua adalah media cetak. Media cetak adalah media yang bersifat visual dan hanya bisa dipahami atau diterima dengan cara dibaca. Pers jenis ini memiliki kelemahan karena tidak bisa dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak bisa membaca. Akan tetapi, pers tertua ini dapat disimpan dan dibaca berulang-ulang di lain kesempatan dengan mudah.

Pers, selanjutnya, tidak dapat dipisahkan dari dunia jurnalistik. Jurnalistik merupakan bagian penting dari pers sebab jurnalistik merupakan kegiatan atau proses yang menghasilkan berita-berita yang akan disajikan. Jurnalistik dapat berarti kegiatan mengumpulkan, mengelola, sampai menulis berita untuk disebarluaskan kepada khalayak, baik dalam bentuk tulisan, gambar, suara, data, grafik, sketsa, atau dalam bentuk lainnya melalui media massa, baik itu media cetak, media elektronik, maupun media online atau internet

Pada mulanya, kegiatan jurnalistik hanya menggunakan media cetak sebagai media penyalurnya—pers dalam arti sempit. Sekarang, kegiatan jurnalistik tidak hanya menggunakan media cetak, tetapi juga media elektronik yang dapat berbentuk video dan suara (televisi) ataupun suara saja (radio). Dan terakhir, kegiatan jurnalistik telah semakin berkembang lewat kehadiran internet, sehingga dapat dilakukan dengan lebih mudah dan cepat.

Bentuk jurnalistik sekaligus media massa yang paling tua adalah berupa tulisan, yakni yang kita kenal sebagai surat kabar. Surat kabar merupakan media


(26)

massa cetak yang dapat dibaca oleh orang banyak di berbagai tempat. Di samping itu, surat kabar juga merupakan media massa cetak yang mudah dibaca kembali setiap saat. Namun, surat kabar hanya dapat dinikmati oleh pihak yang dapat membaca saja.

Surat kabar atau lebih sering dikenal dengan sebutan koran, senantiasa diperuntukkan untuk kepentingan umum. Surat kabar perlu untuk secara konsisten memuat berita mengenai kejadian di seluruh dunia dengan berbagai aspek kehidupan. Seperti halnya media massa lainnya, di dalam pemberitaannya, surat kabar juga selalu menjunjung aktualitas. Artinya, surat kabar perlu untuk menyampaikan sebuah kejadian secepat mungkin. Selain itu, surat kabar juga bersifat periodik, dimana biasanya terbit secara harian.

Dalam menjalankan kegiatannya, surat kabar juga tidak dapat terlepas dari pemasang iklan dan kepentingan-kepentingan politik. Hal ini menjadikan surat kabar menjadi suatu media untuk melancarkan pertarungan bisnis dan politik. Adanya pemasang iklan membuat surat kabar mendapat penghasilan finansial yang akan menjaga keberlangsungan perusahaannya. Sedangkan adanya unsur kepentingan politis di dalam surat kabar selalu berkaitan dengan sistem ideologi dan kepentingan yang dianut oleh surat kabar yang bersangkutan. Selanjutnya kepentingan politis ini sangat berhubungan dengan para khalayak yang menjadi pembacanya, khususnya para pembaca tetap.

Surat kabar, dari sudut pandang tertentu juga merupakan bisnis spekulatif, yang tergantung pada pertumbuhan dunia perdagangan dan secara khusus juga pada sirkulasi yang tidak didasarkan atas kontrak mati dengan pembacanya. Kontrak sebuah surat kabar dengan pembacanya tidaklah terikat. Oleh sebab itu, sasaran setiap penerbit ialah sirkulasi direkayasa oleh citra tertentu sehingga muncullah kelompok pembaca yang setia (Lippmann, 1998:311).

Surat kabar yang dapat menarik loyalitas pembacanya, merupakan ciri dari jurnalistik modern. Sekelompok pembaca yang setia pada sebuah surat kabar dalam keadaan apapun merupakan kekuatan yang sangat kuat bagi surat kabar yang bersangkutan. Kekuatan ini bahkan dapat lebih berarti daripada yang


(27)

diperoleh dari pemasang iklan. Di sini, kekuatan kesetiaan pembaca mengalahkan kekuatan finansial dari pemasang iklan.

Loyalitas pembaca yang setia pada sebuah surat kabar tidak ditetapkan dalam suatu ikatan apapun. Loyalitas pembaca, pada umumnya, tergantung pada bagaimana pembaca kebetulan merasa cocok dengan pikirannya atau karena kebiasaan saja. Ada unsur-unsur tertentu yang tersembunyi di dalam hubungan sambil lalu antara pembaca dengan surat kabar yang bersangkutan. Kebanyakan hal ini disebabkan karena pembaca tidak tahu menahu tentang bagaimana surat kabar yang dibacanya memperlakukan berita yang ia baca.

Surat kabar menyodorkan banyak berita tentang kejadian yang sering belum pernah dialami banyak orang. Ada juga surat kabar yang beritanya sering disunting atas prinsip pembaca ingin membaca berita tentang diri mereka. Bahwa pembaca akan merasa senang jika berita yang ia baca memiliki nilai kedekatan yang kuat dengan dirinya. Surat kabar yang menjalankan prinsip ini, biasanya akan mengalami peningkatan oplah. Rumus klasik untuk surat kabar seperti ini dimuat dalam surat Horace Greeley tanggal 3 April tahun 1860, kepada “Friend Fletcher” yang akan memulai surat kabar daerah (Lippmann, 1998:315).

2.1.b. Quick Count

Quick count adalah metode penghitungan hasil pemilihan umum secara

cepat dimana datanya diambil langsung dari lapangan (TPS). Dalam metode quick

count, tidak semua TPS akan diambil datanya untuk dijadikan sampel, melainkan

hanya beberapa TPS di tiap-tiap daerah dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Beberapa TPS akan yang dipilih secara acak biasanya ditentukan berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, jumlah pemilih terbaru, dan penyebaran pemilih.

Sejarah munculnya pengumpulan data dengan penghitungan cepat (quick

count) berawal dari rentetan peristiwa berupa pemberdayaan suara rakyat melalui


(28)

dimana publik menyampaikan pendapat umum berdasarkan perdebatan dalam mengajukan gagasan-gagasannya. Quik count pertama kali digunakan oleh NAMFREL (National Citizens Movements For Free Election) yang memantau pelaksanaan Pemilu 1986 di Filipina dimana ada dua kandidat yang bersaing ketat yakni Ferdinand Marcos dan Corazon Aquino. NAMFREL berhasil menemukan berbagai kecurangan dan manipulasi suara serta secara meyakinkan dapat menunjukkan kemenangan Cory Aquino, sekaligus menggagalkan klaim kemenangan Marcos. Kebijakan Marcos yang menganulir kemenangan Cory selanjutnya menjadi dasar pembangkangan sipil dan perlawanan rakyat Filipina dalam bentuk people power yang berhasil menggulingkan rezim otoriter Marcos.

Sehingga secara tidak langsung quick count sebagai bagian dari kontrol terhadap pemilu dan bagian dari upaya untuk menegakkan demokrasi dengan mendorong berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil. Quick count telah diterapkan di Indonesia sejak 1997 oleh LP3ES (Lembaga Pelatihan, Penelitian, Penerangan, Ekonomi dan Sosial) pada pemilu terakhir rezim Soeharto yang dilakukan secara diam-diam bekerjasama dengan salah satu kekuatan politik.

Quick count ini cukup berhasil, dengan satu hari setelah pelaksanaan pemilu

LP3ES mampu memprediksi hasil pemilu persis sebagaimana hasil perhitungan suara oleh LPU (Lembaga Pemilihan Umum).

Seringkali pelaksanaan quick count pada pemilu disertai oleh exit poll, kedua metode pengumpulan data ini dilakukan setelah pemilu. Exit poll merupakan metode mengetahui opini publik yang dilakukan sesaat setelah seseorang keluar dari bilik suara (TPS). Pertanyaan dalam exit poll umumnya juga sedikit (kurang dari 10 pertanyaan). Salah satu informasi yang digali dalam exit

poll adalah alasan memilih sehingga distribusi suara pemilih dapat diketahui lebih

dalam.

Quick count dilakukan berdasarkan pada pengamatan langsung di Tempat

Pemungutan Suara (TPS) yang telah dipilih secara acak. Unit analisis quick count ini adalah TPS, dengan demikian penarikan sampel tidak dapat dilakukan sebelum daftar TPS atau desa yang akan dipantau tersedia. Kekuatan data quick count sebenarnya bergantung pada bagaimana sampel itu ditarik. Sampel tersebutlah


(29)

yang akan menentukan suara pemilih yang akan dipakai sebagai dasar prediksi hasil pemilu. Sampel yang ditarik secara benar akan memberikan landasan kuat untuk mewakili karakteristik populasi.

Penentuan besaran sampel pada quick count didasarkan oleh derajat keragaman (variability), margin of error (MoE) dan tingkat kepercayaan

(confidence interval). Istilah MoE sering disamaartikan dengan pengertian

sampling error (SE), dimana sebenarnya SE dihitung setelah survei selesai

dilakukan sesuai dengan teknik sampling yang digunakan. Setelah menentukan metode penarikan sampel dan margin of error, langkah selanjutnya adalah menetapkan jumlah sampel pemilih dan jumlah sampel TPS.

Jika suatu daerah memiliki angka pemilih yang tinggi, maka TPS yang akan dijadikan sampel juga akan diperbanyak. Karakteristik pemilih di suatu lokasi juga menjadi pertimbangan khusus apakah sebuah TPS akan dijadikan sampel atau tidak. Selain itu keadaan lokasi (apakah di dataran tinggi, sulit dijangkau atau tidak) juga menjadi pertimbangan tersendiri.

Secara umum, metode perhitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei adalah sebagai berikut:

1. Mempersiapkan alat dan perangkat pendukung yang berfungsi untuk menyampaikan data secara cepat ke pusat pengolahan data dari lembaga survei yang bersangkutan. Alat-alat yang disiapkan biasanya meliputi komputer, telepon seluler, dan perangkat internet.

2. Menentukan tempat pemungutan suara (TPS) yang akan dijadikan sampel data. TPS yang akan menjadi perwakilan tempat pengambilan sampel data biasanya dipilih berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, jumlah pemilih terbaru, serta penyebaran pemilih.

3. Mempersiapkan relawan yang akan bertugas mengumpulkan sampel dan mengirimkannya ke sistem data. Jumlah relawan ini banyak dan tersebar di setiap daerah.


(30)

4. Data yang telah terkumpul akan diolah di pusat sistem dengan menggunakan metode statistika. Dari olahan data inilah lembaga survei bisa menghitung secara cepat hasil sebuah pemilu.

2.1.c. Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis merupakan bentuk analisis wacana yang menggunakan paradigma kritis dalam melihat fenomena yang ada. Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana – penggunaan bahasa dalam bentuk tuturan dan tulisan – sebagai bentuk dari praktik sosial (Eriyanto, 2001:7). Memandang wacana sebagai bentuk praktik sosial akan menjelaskan bagaimana suatu kegiatan diskursus memiliki hubungan dialektis terhadap situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Sedangkan menurut Tarigan, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi (Sobur, 2004:48). Analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi bahasa. Tanpa adanya konteks, hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan supra kalimat, maka kita akan sulit berkomunikasi satu sama lain.

Terdapat beberapa ciri khas dari analisis wacana kritis yang diungkapkan oleh Teun A. Van Dijk, Norman Fairclough, dan Wodak. Pertama, wacana dilihat sebagai bentuk tindakan. Lewat cara pandang ini, akan terlihat adanya asosiasi antara wacana dengan interaksi yang dihadirkannya. Dengan pemahaman ini, akan terdapat implikasi tentang bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana akan dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan tertentu, apakah untuk mempengaruhi, membujuk, menyangkal, dan sebagainya. Kedua, wacana akan dipandang sebagai sesuatu yang dibentuk secara sadar dan dalam suatu kendali.

Kedua, analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, peristiwa dan kondisi (Eriyanto, 2001:8). Wacana di sini dilihat sebagai sesuatu yang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis oleh suatu konteks tertentu. Menurut Guy Cook, pengertian wacana mengandung tiga unsur yang sangat penting, yakni teks, konteks, dan wacana. Teks merupakan seluruh


(31)

perangkat bahasa yang meliputi kata-kata, ucapan, musik, gambar, efek, dan sebagainya. Konteks mencakup semua situasi yang berada di luar teks dimana teks tersebut diproduksi. Sedangkan wacana dipandang sebagai teks dan konteks yang berjalan bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.

Ketiga, wacana ditempatkan dalam konteks sosial tertentu. Ini berarti bahwa wacana tidak dapat dipisahkan dari konteks yang melatarbelakanginya. Salah satu bagian terpenting dari sebuah konteks sosial adalah aspek historis yang melekat di dalamnya. Misalnya, berita mengenai Barack Obama oleh media-media di Indonesia akan berbeda seandainya dia dulu tidak pernah tinggal dan sekolah di Indonesia.

Keempat, analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya (Eriyanto, 2001:9). Di sini, wacana dipandang bukan sebagai sesuatu yang netral dan bebas nilai, melainkan merupakan hasil dari bentuk pertarungan kekuasaan. Dari teropong ini, wacana akan diketahui sebagai alat untuk melakukan kontrol. Pihak yang memiliki kekuasaan atau dominan akan mencoba mengontrol pihak yang tidak dominan lewat wacana yang dibuat.

Kelima, analisis wacana kritis juga mencakup ideologi sebagai sesuatu yang sentral. Hal ini didasari oleh pandangan bahwa teks, percakapan, dan sebagainya merupakan bentuk praktik ideologi tertentu. Pendapat terdahulu mengatakan bahwa ideologi merupakan perangkat yang dimiliki oleh suatu kelompok yang berkuasa atau dominan untuk digunakan sebagai penguat atau legitimator kekuasaan mereka.

Di samping ciri-ciri yang telah disebut di atas, analisi wacana kritis juga memiliki beberapa pendekatan utama. Yang pertama adalah analisis bahasa kritis (critical linguistics). Analisis bahasa kritis ini memusatkan perhatian pada aspek bahasa dan menghubungkannya dengan ideologi. Analisis bahasa kritis secara tegas menganalisis aspek gramatika – bagaimana gramatika bahasa menghadirkan posisi dan makna ideologi tertentu. Aspek ideologi dianalisis dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai. Bahasa di sini mencakup pemilihan diksi, istilah, dan sebagainya. Sedangkan struktur tata bahasa meliputi


(32)

susunan antarkata dan antarkalimat. Bahasa dan juga struktur tata bahasa dipilih dan diolah sedemikan rupa untuk dapat membawa pesan dari makna ideologi tertentu. Penyampaian makna ideologi lewat penggunaan bahasa dan struktur tata bahasa tertentu ini menunjukkan bahwa suatu kelompok berusaha mendapatkan legitimasinya lewat dukungan publik serta berusaha memarjinalkan kelompok lain.

Pendekatan kedua adalah analisis wacana pendekan Prancis (French Discourse Analysis) atau sering disebut dengan pendekatan Pecheux. Pendekatan ini melihat bahwa bahasa dan ideologi merupakan dua hal yang menyatu dalam bahasa yang dipakai. Kata atau diksi maupun makna dari kata yang digunakan akan menjelaskan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui mana berbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkan keyakinan dan pemahamannya (Eriyanto, 2001:16). Pendekatan Pecheux menganalisis efek ideologi dari formasi wacana yang memposisikan seseorang atau kelompok tertentu sebagai subjek dalam situasi sosial tertentu. Lebih lanjut, formasi diskursif seseorang ditempatkan dalam keseluruhan praktik dominasi dalam masyarakat.

Ketiga adalah pendekatan kognisi sosial yang dikembangkan seorang pengajar di Universitas Amsterdam, Teun A. van Dijk. Pendekatan ini lahir dari hasil penelitian van Dijk selama bertahun-tahun pada berita-berita yang muncul di surat kabar di Eropa terutama yang menyangkut bagaimana kelompok minoritas ditampilkan. Pendekatan ini memandang bahwa kognisi sosial sangat mempengaruhi bagaimana sebuah wacana diproduksi. Wacana dilihat bukan hanya sebagai sebuah struktur bahasa, melainkan juga merupakan sebuah manifesto dari proses yang dihasilkan oleh kognisi sosial tertentu. Dari pengamatan terhadap sebuah teks misalnya, dapat diketahui bahwa wacana memiliki kecenderungan untuk memarjinalkan kelompok bawah. Dalam pandangan ini, teks semacam itu hanya akan dihasilkan dari sebuah kognisi sosial yang memang memiliki pandangan yang memarjinalkan kelompok lemah.

Pendekatan keempat yang dirangkum adalah pendekatan perubahan sosial budaya. Dalam pandangan pendekatan ini, wacana merupakan hasil dari sebuah


(33)

praktik sosial. Wacana yang dibentuk akan mengikuti bagaimana perubahan sosial yang terjadi. Wacana juga tidak terlepas dari situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu.

Dan pendekatan yang terakhir adalah pendekatan wacana historis. Pendekatan ini dikembangkan oleh Ruth Wodak dan koleganya di Vienna, Austria. Dalam penelitiannya, Wodak terutama mengamati tentang bagaimana wacana mengenai seksisme, antisemit, dan rasialisme ditampilkan dalam media dan masyarakat kontemporer. Menurut pendekatan ini, sebuah wacana memiliki faktor keterkaitan yang kuat dengan sejarah yang melatarbelakanginya. Sejarah sangat berpengaruh terhadap bagaimana pada akhirnya sebuah wacana diproduksi. Misalnya, wacana mengenai rasisme yang terjadi pada suatu kelompok terjadi karena proses historis yang panjang, yang meliputi prasangka, bias, dan kesalahan representasi.

Analisis wacana kritis berpedoman pada paradigma kritis dalam membedah isi media. Teks berita, sebagai sebuah produk media, dipandang memiliki suatu representrasi atas suatu kekuatan kelompok tertentu. Oleh sebab itu, teks berita tidak dapat terlepas dari relasi-relasi kuasa yang melekat di dalamnya. Dalam lingkup studi analisis tekstual, analisis wacana kritis melihat pesan, baik tekstual maupun lisan, sebagai bentuk pertarungan kekuasaan sehingga teks berita dilihat sebagai bentuk manifestasi dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain.

Wacana, dengan demikian adalah suatu alat representasi di mana satu kelompok yang dominan memarjinalkan posisi kelompok yang tidak dominan. Dalam banyak kasus, pemberitaan media terutama yang berhubungan dengan peristiwa yang melibatkan pihak dominan dan pihak yang kurang dominan, selalu disertai dengan penggambaran yang buruk mengenai pihak yang kurang dominan tersebut. Penggambaran teks berita semacam inilah yang menjadi perhatian dan minat utama dari analisis wacana kritis (Eriyanto, 2001:18-19).


(34)

2.1.d. Analisis Wacana Norman Fairclough

Model analisis wacana Norman Fairclough memusatkan perhatian pada tiga aspek, yaitu pertama, analisis teks; kedua, analisis praktik diskursus atau kognisi sosial dari pembuat teks; dan ketiga, analisis mengenai praktik sosiokultural tempat dimana teks tersebut dibuat. Analisis wacana model Norman Fairclough akan memaparkan teks dan konteks secara mendalam.

Fairclough berusaha membangun suatu model analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual - yang selalu melihat bahasa dalam ruang tertutup - dengan konteks masyarakat yang lebih luas (Eriyanto, 2001:285). Pusat perhatian dari analisis wacana model ini adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Lewat cara pandang ini, akan diketahui bagaimana bahasa yang dipakai membawa muatan ideologis tertentu.

Model analisis wacana Fairclough sering juga disebut sebagai model perubahan sosial. Model ini memandang wacana sebagai representasi dari suatu praktik sosial. Sebagai implikasinya, wacana dipandang sebagai bentuk tindakan seseorang terhadap realitas yang ada lewat bahasa sebagai wahananya. Di samping itu, model ini juga melihat bahwa terdapat hubungan yang timbal balik antara wacana dan struktur sosial.

Peneliti berpedoman pada model yang dikemukakan oleh Norman Fairclough ini karena dengan model ini akan ditemukan adanya hubungan antara teks yang sifatnya mikro dengan konteks masyarakat yang bersifat makro. Terdapat tiga unsur yang akan dilihat melalui analisis wacana model ini, yaitu:

teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model ini, teks akan

dianalisis secara linguistik melalui pilihan kata, semantik, dan susunan kalimat yang dipakai. Selanjutnya di dalam konteks antarkata dan antarkalimat akan terdapat koherensi dan kohesivitas sehingga membuat suatu pengertian tertentu.

Terdapat tiga elemen dasar yang merupakan masalah yang akan dilihat melalui analisis teks. Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, yang biasanya membawa muatan ideologis


(35)

tertentu. Kedua, relasi, merujuk pada bagaimana kontruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, apakah teks disampaikan secara formal atau informal, terbuka atau tertutup. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan atau penulis dan pembaca, serta bagaimana kepribadian atau identitas ini hendak ditampilkan.

Di samping itu, masih dalam tahap analisis teks, penelitian ini juga akan melihat teks lewat teori intertekstualitas. Intertekstualitas adalah sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya. Setiap ungkapan dihubungkan dengan rantai komunikasi. Semua pernyataan didasarkan oleh pernyataan yang lain, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam hal ini, kata-kata yang pernah diungkapkan sebelumnya dievaluasi, diasimilasi, dan diekspresikan kembali dalam bentuk ungkapan yang lain. Setiap teks, diungkapkan berdasarkan atas dan mendasari teks yang lain.

Sementara itu, discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks berita, khususnya yang dihasilkan oleh suatu media, pada dasarnya dihasilkan melewati suatu proses yang meliputi pola kerja, bagan kerja, serta rutinitas dalam struktur media tersebut. Setiap media sangat mungkin memiliki pola kerja dan kebisaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sebuah hasil liputan berupa teks oleh wartawan, akan diolah kembali oleh editor di ruangan redaksi. Proses produksi teks oleh seorang individu sangat mungkin dimaknai secara berbeda dari sebuah teks yang diproduksi oleh sebuah lembaga seperti surat kabar, majalah, dan sebagainya. Adapun proses konsumsi teks juga dapat ditentukan oleh konteks sosial yang menyertainya.

Sedangkan sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di sisni memasukkan banyak hal, yang mencakup konteks situasi, konteks dari praktik institusi dari media yang bersangkutan dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya atau politik tertentu. Sebagai contoh situasi politik media, budaya media, ekonomi media tertentu yang mempengaruhi pembuatan berita.


(36)

II.2. Model Teoretik

Kerangka pemikiran merupakan suatu orientasi kausal terhadap studi yang dilakukan. Kerangka pemikiran menggambarkan bagaimana suatu permasalahan penelitian dijabarkan. Berdasarkan kerangkan teori yang telah dijabarkan sebelumnya, kerangka pemikiran yang dibentuk adalah berdasarkan Analisis Wacana Norman Fairclough, yakni:

Critical linguistics critical linguistics

Wawancara mendalam

Studi pustaka dan penelusuran

Sumber: Eriyanto ( Analisis Wacana, 2001:288)

Analisis wacana kritis model ini memiliki tiga level analisis, yaitu teks,

discourse practice, dan sociocultural practice. Model ini akan berusaha

menghubungkan analisis teks pada level mikro dengan konteks sosial yaitu

sociocultural practice pada level makro. Pada tahap analisis, ketiga level tersebut

dilakukan secara bersama-sama. Analisis teks bertujuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam teks, dan dilakukan dengan menganalisis bahasa secara kritis. Sedangkan discourse practice menjembatani hubungan antara teks dan sosiobudaya yang ada. Pada tahap ini, peneliti melakukan wawancara

SOCIOCULTURAL PRACTICE

Produksi Teks

Konsumsi Teks

DISCOURSE PRACTICE


(37)

mendalam dengan awak redaksi serta melakukan penelitian ruang kerja redaksi untuk mengamati proses produksi berita.

Sebelum dimensi tersebut dianalisis, terlebih dahulu akan dilakukan penguraian terhadap praktik diskursif sebagai order of discourse. Order of

discourse adalah hubungan di antara tipe yang berbeda, seperti tipe diskursif,

ruang kelas, dan kerja, semuanya memberikan batas-batas bagaimana teks diproduksi dan dikonsumsi. Selanjutnya akan dilihat apakah teks berita yang akan dianalisis tersebut berupa hardnews, feature, atau sebuah editorial. Ini akan membantu peneliti untuk memaknai teks, proses produksi dari teks, dan konteks sosial dari teks yang dihasilkan.

Dalam analisis model Norman Fairclough, seluruh tahap analisis dijabarkan sebagai berikut.

A.Teks

Teks terdiri dari beberapa tingkatan. Setiap teks, pada dasarnya dianalisis berdasarkan tiga unsur utama, yaitu representasi, relasi, dan identitas.

1. Representasi

Representasi pada dasarnya ingin melihat bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, atau kegiatan ditampilkan dalam teks. Representasi menampilkan bagaimana seseorang, kelompok, tindakan, atau kegiatan ditampilkan dalam anak kalimat dan gabungan atau rangkaian antaranak kalimat.

• Representasi dalam anak kalimat

Representasi dalam anak kalimat berhubungan dengan bahasa yang dipakai untuk menampilkan seseorang, kelompok, tindakan, atau kegiatan dalam sebuah teks. Pemakai bahasa dihadapkan pada dua hal. Yang pertama adalah pada tingkat kosakata, yaitu kata apa yang hendak dipilih untuk menampilkan atau menggambarkan sesuatu, yang menunjukkan bagaimana sesuatu tersebut dimasukkan dalam satu set kategori.


(38)

Yang kedua adalah pada tingkat tata bahasa. Pertama adalah bagaimana perbedaan penampilan sebuah peristiwa atau tindakan dimana aktor ditampilkan sebagai subjek atau peristiwa yang ditampilkan tanpa subjek atau aktor. Pemakai bahasa, dalam hal ini, dapat memilih, apakah sebuah berita hendak ditampilkan sebagai sebuah hasil tindakan (yang dilakukan oleh seorang aktor) atau sebagai sebuah peristiwa (tanpa menyebutkan aktor). Sebagai contoh, kata “pembunuhan” adalah sebuah peristiwa yang dapat ditampilkan tanpa menyebut aktor, sedangkan kata “membunuh” merupakan tindakan yang sudah pasti membutuhkan aktor untuk disebutkan.

• Representasi dalam kombinasi anak kalimat

Antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat digabungkan sehingga dapat membentuk suatu pengertian yang dapat dimaknai. Misalnya, ada peristiwa tentang kelangkaan BBM di suatu tempat, dan ada fakta lain dimana lalu lintas lancar. Kedua fakta tersebut dapat digabung sehingga membentuk suatu pemaknaan tertentu. Misalnya keadaan lalu lintas di sebuah kota lancar disebabkan sedikitnya kendaraan yang tidak dapat keluar rumah akibat kelangkaan BBM.

• Representasi dalam rangkaian antarkalimat

Representasi ini menjelaskan bagaimana dua atau lebih kalimat dirangkai sehingga membentuk suatu pengertian tertentu. Di dalam susunan beberapa kalimat yang dirangkai, akan tampak sebuah bagian yang paling menonjol dari bagian-bagian yang lain. Salah satu tujuannya adalah untuk menjelaskan apakah partisipan dianggap mandiri ataukah ditampilkan memberi reaksi dalam teks berita. Misalnya Menteri Jero Wacik mengusulkan agar menaikkan harga BBM bersubsidi untuk pengguna mobil pribadi sebesar dua ribu rupiah. Usul Jero Wacik mendapatkan tanggapan dari kalangan pengusaha yang mengatakan bahwa kenaikan harga BBM akan menyebabkan terjadinya inflasi.


(39)

2. Relasi

Relasi merujuk pada bagaimana kontruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, apakah teks disampaikan secara formal atau informal, terbuka atau tertutup. Media di sini dipandang sebagai suatu arena sosial, tempat di mana kelompok, kelas, atau golongan masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan pendapatnya masing-masing. Sedikitnya, ada tiga kategori kelompok utama yang terlibat dalam sebuah relasi di media, yaitu wartawan (termasuk di dalamnya redaktur, reporter, dan penyampai berita di radio dan televisi), khalayak media, dan partisipan publik (seperti politisi, pengusaha, tokoh masyarakat, selebriti, budayawan, dan sebagainya). Fokus perhatian dalam analisis relasi ini adalah pada bagaimana pola hubungan di antara partisipan tadi ditampilkan di dalam teks: antara wartawan dengan khalayak, antara politisi, tokoh, atau pengusaha dengan khalayak, dan antara wartawan dengan partisipan publik.

3. Identitas

Identitas merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan atau penulis dan pembaca, serta bagaimana kepribadian atau identitas ini hendak ditampilkan. Dalam analisis identititas ini, akan diketahui bagaimana wartawan menempatkan dan mengidentifikasi dirinya pada suatu permasalahan atau kelompok sosial yang terlibat. Misalnya, dalam pemberitaan mengenai kontroversi kemenangan Borussia Dortmund atas Malaga di perempat final liga Champions Eropa. Apakah wartawan mengidentifikasi dirinya sebagai pihak yang setuju dengan kemenangan Dortmund atau sebaliknya, ataupun mandiri.

4. Intertekstualitas

Intertekstualitas adalah sebuah istilah dimana teks dan ungkapan dibentuk oleh teks yang datang sebelumnya, saling menanggapi dan salah satu bagian dari teks tersebut mengantisipasi lainnya. Setiap ungkapan dihubungkan dengan rantai komunikasi. Semua pernyataan didasarkan oleh pernyataan yang lain, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam hal ini, kata-kata yang pernah diungkapkan sebelumnya dievaluasi, diasimilasi, dan diekspresikan kembali dalam bentuk


(40)

ungkapan yang lain. Setiap teks, diungkapkan berdasarkan atas dan mendasari teks yang lain.

Masalah intertekstualitas dalam berita di antaranya dapat diketahui melalui pengutipan sumber berita atau narasumber dalam berita. Suara narasumber yang menjadi sumber berita bisa ditampilkan secara langsung melalui kutipan langsung atau bisa juga secara tidak langsung. Pemilihan yang digunakan antara kutipan langsung dengan kutipan tidak langsung bukanlah persoalan jurnalistik semata, melainkan sebetulnya pilihan yang digunakan adalah bagian dari strategi pembentukan wacana yang dilakukan.

Secara umum, intertekstualitas dibagi ke dalam dua bagian besar; manifest

intertectuality dan interdiscursivity. Manifest intertectuality adalah

intertekstualitas dimana teks atau suara yang lain muncul secara eksplisit di dalam teks. Teks yang muncul tersebut biasanya berupa kutipan. Sebuah teks dapat saja menggabungkan teks yang lain tanpa secara langsung mengutip teks yang lain. Intertekstualitas yang manifest biasanya dapat hadir dalam bentuk representasi wacana, kalimat pengandaian, kalimat negasi, ironi, dan metadiscourse.

Sementara itu, dalam interdiscursivity, teks-teks lain tersebut mendasari konfigurasi elemen yang berbeda dari order of discourse. Prinsip dari interdiskursif ini dijalankan pada berbagai level, yaitu pada tingkat societals, institusional, personal, dan sebagainya. Ada beberapa elemen dari intertekstualitas jenis ini, yaitu genre, tipe aktivitas, gaya (style), dan wacana.

b. Discourse Practice

Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses

produksi dan konsumsi teks. Sebuah teks berita, khususnya yang dihasilkan oleh suatu media, pada dasarnya dihasilkan melewati suatu proses yang meliputi pola kerja, bagan kerja, serta rutinitas dalam struktur media tersebut. Setiap media sangat mungkin memiliki pola kerja dan kebisaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sebuah hasil liputan berupa teks oleh wartawan, akan diolah


(41)

kembali oleh editor di ruangan redaksi. Proses produksi teks oleh seorang individu sangat mungkin dimaknai secara berbeda dari sebuah teks yang diproduksi oleh sebuah lembaga seperti surat kabar, majalah, dan sebagainya. Adapun proses konsumsi teks juga dapat ditentukan oleh konteks sosial yang menyertainya.

Di dalam media, proses produksi teks berita melibatkan praktik diskursus yang rumit dan kompleks. Praktik wacana inilah yang menentukan bagaimana sebuah teks dibentuk. Praktik wacana melibatkan dua komponen yaitu produksi teks (oleh pihak media) dan konsumsi teks (oleh khalayak). Kedua komponen tersebut berhubungan dalam suatu jaringan yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek praktik diskursif.

Dari jaringan hubungan yang kompleks tersebut, setidaknya terdapat tiga aspek penting yang perlu diperhatikan. Pertama, wartawan yang terlibat dalam produksi teks. Kedua, bagaimana hubungan antara wartawan dengan institusi media tempat ia bekerja. Dan ketiga, praktik rutinitas kerja dari produksi berita mulai dari pencarian, pengumpulan dan ppengolahan data sampai berita muncul dalam bentuk teks di media. Ketiga elemen tersebut merupakan keseluruhan praktik wacana dalam suatu media yang saling berkaitan satu sama lain dalam proses produksi wacana berita.

c. Sociocultural practice

Sociocultural practice adalah analisis yang berhubungan dengan konteks

di luar teks. Ruang redaksi maupun wartawan bukanlah sesuatu yang berangkat dari ruang hampa, melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor di luar dirinya.

Sociocultural practice memang tidak berhubungan langsung dengan produksi

teks, tetapi ia sangat menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Misalnya sebuah teks yang memarjinalkan posisi para pemain judi. Teks semacam ini merepresentasikan ideologi yang memarjinalkan para pemain judi dalam bentuk teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, yang mencakup konteks situasi, konteks dari praktik institusi dari media yang bersangkutan dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya atau politik tertentu. Fairclough


(42)

membuat tiga level analisis pada sociocultural practice: level situasional, institusional, dan sosial.

1. Situasional

Dalam produksi teks, aspek situasional akan menentukan pula bagaimana sebuah teks diproduksi. Teks yang dihasilkan pada suatu keadaan yang khas, unik, dan tidak biasa akan menghasilkan sebuah teks yang bisa jadi berbeda dengan teks yang dihasilkan dalam situasi yang berbeda pula. Kalau wacana dipandang sebagai suatu tindakan, maka tindakan itu merupakan upaya untuk merespons situasi atau konteks sosial tertentu.

2. Institusional

Level institusional melihat bagaimana pengaruh institusi dalam proses produksi teks wacana. Institusi yang dimaksud di sini bisa merupakan institusi media itu sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan yang ada di luar media yang ikut menentukan proses produksi berita. Kekuatan luar yang biasanya sangat menentukan adalah berkaitan dengan faktor ekonomi dari media yang bersangkutan, dalam hal ini pengiklan, oplah dan juga rating. Selain faktor ekonomi, faktor luar yang juga sangat menentukan adalah politik. Yang pertama adalah institusi politik yang mempengaruhi kebijakan yang berlaku di media. Misalnya institusi negara yang bisa menentukan ruang gerak ataupun kebijakan yang dilakukan media. Kedua, institusi politik dalam arti kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyarakat.

3. Sosial

Dalam level sosial, seluruh unsur yang ada, seperti budaya masyarakat, misalnya, turut menentukan perkembangan dari wacana media. Aspek sosial melihat pada struktur yang luas dari proses pembentukan wacana, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Seluruh sistem inilah yang menentukan siapa yang berkuasa dan nilai-nilai apa yang mendominasi di masyarakat.


(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian ini dikerjakan dengan menggunakan metode analisis wacana Norman Fairclough. Model analisis wacana ini memusatkan perhatian pada tiga level, yaitu pertama, analisis teks; kedua, analisis praktik diskursus atau kognisi sosial dari pembuat teks; dan ketiga, analisis mengenai praktik sosiokultural tempat dimana teks tersebut dibuat. Penelitian ini dilakukan mulai awal April hingga pertengahan Juni 2013.

III.2. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah karakteristik tertentu yang memiliki ukuran yang berbeda untuk individu yang berbeda. Dalam penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah teks-teks berita mengenai hasil pemilukada Sumatera Utara pada surat kabar Harian Analisa yang terbit pada Jumat, 8 Maret 2013 (satu hari setelah pencoblosan).

III.3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah oknum yang memiliki kriteria yang memenuhi ukuran yang dibutuhkan dan sesuai dengan penelitian. Dalam penelitian berbasis analisis wacana teks, sudah diketahui bahwa subjek penelitian akan mengarah pada penulis teks yang bersangkutan. Dalam penelitian ini, wartawan dan/atau pihak-pihak yang terlibat dalam produksi berita akan menjadi subjek penelitian.


(44)

III.4. Kerangka Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini meliputi seluruh isi teks berita yang memuat pemberitaan mengenai hasil pemilukada Sumatera Utara dalam surat kabar Harian Analisa. Adapun tingkat analisisnya adalah wacana yang dipakai dalam mengkonstruksi berita mengenai hasil pemilukada Sumatera Utara sampai kepada pengaruhnya terhadap perspektif masyarakat di Sumatera Utara.

III.5. Teknik Pengumpulan Data

III.5.a. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan tiga cara, yaitu: a.1 Studi Kepustakaan

Sebelum dan sembari mendapatkan informasi dari informan, peneliti akan membaca banyak literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian. Hal ini akan membantu peneliti dalam mempelajari isi teks berita yang menjadi objek penelitian dan memahami konteks sosial yang ada. Selain itu, pengumpulan data melalui studi kepustakaan sangatlah dibutuhkan untuk mendukung penelitian dalam hal kekayaan literasi.

Adapun data tertulis yang utama dari penelitian ini adalah berita Headline mengenai kemenangan pasangan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi (Ganteng) pada Harian Analisa edisi Jumat, 8 Maret 2013 dengan judul “Hitungan Cepat, Gatot-T Erry Unggul dalam Satu Putaran”. Teks berita tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1 skripsi ini.

a.2 Wawancara Mendalam

Dalam analisis wacana Norman Fairclough, terdapat tiga tahap yang akan menjadi bahan analisis, yakni analisis teks; kedua, analisis praktik diskursus atau kognisi sosial dari pembuat teks; dan ketiga, analisis mengenai praktik sosiokultural tempat dimana teks tersebut dibuat. Dalam tahap kedua, peneliti


(45)

akan menganalisis bagaimana wacana dibangun dalam pandangan wartawan yang menulis teks tersebut.

Untuk itu, peneliti akan melakukan wawancara mendalam dengan wartawan yang terkait guna memperoleh data yang dibutuhkan. Wawancara akan dilakukan layaknya percapakan sehari-hari demi menjaga keaslian data yang peneliti butuhkan. Namun, peneliti akan tetap membatasi percakapan seputar topik penelitian. Selain itu, wawancara juga tidak akan selalu dilakukan dengan perjanjian yang ditetapkan.

a.3 Observasi

Selain membaca literatur dan wawancara, peneliti juga akan melakukan observasi untuk menguatkan sekaligus memverifikasi data yang didapatkan sebelumnya. Selain itu, obvervasi juga akan berguna untuk memahami konteks sosial dimana teks tersebut dibuat.

III.5.b. Penentuan Informan

Penentuan informan dilakukan tanpa menggunakan teknik sampling apapun karena penelitian ini merupakan penelitian analisis wacana. Dalam analisis wacana, diketahui dengan jelas bahwa informan atau subjek penelitian adalah pihak yang terlibat dalam pembuatan teks atau wacana yang diteliti. Dikarenakan penelitian ini mengambil berita pada Harian Analisa sebagai objek penelitian, maka sudah ditentukan dari awal bahwa kemungkinan terbesar yang akan menjadi informan adalah wartawan yang membuat berita itu sendiri.

Selain itu, mengingat dalam suatu media, teks berita tidak serta-merta disampaikan kepada pembaca, maka penelitian ini memungkinkan pula untuk mewawancarai siapa saja yang terlibat dalam produksi berita yang menjadi objek penelitian, seperti editor/redaktur, pemimpin redaktur, sampai pada pihak yang paling bertanggung jawab dalam struktur media yang bersangkutan.


(46)

III.6. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang akan mempelajari unit-unit isi berita secara keseluruhan yang membentuk sebuah wacana serta konteks sosial masyarakatnya. Seluruh hasil penelitian dalam bab ini dijabarkan dengan menggunakan pendekatan analisis wacana Norman Fairclough. Model analisis wacana ini memusatkan perhatian pada tiga level, yaitu pertama, analisis teks; kedua, analisis praktik diskursus atau kognisi sosial dari pembuat teks; dan ketiga, analisis mengenai praktik sosiokultural tempat dimana teks tersebut dibuat. Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan teori intertekstualitas yang juga merupakan sub-bagian dari teori analisis wacana Norman Fairclough. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan bagaimana data ditelaah beserta metodenya.

TEKS METODE

Teks Kajian linguistik kritis Praktik diskursus

(discourse practice)

Wawancara mendalam dan observasi di ruang kerja

Praktik sosiokultural Studi Kepustakaan; Penelusuran di masyarakat

a. Teks

Analisis teks bertujuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam teks, dan dilakukan dengan menganalisis bahasa secara kritis. Teks di sini dipandang sebagai hasil praktik penggunaan bahasa yang melibatkan unsur semantik, pemilihan kosakata, dan tata bahasa. Pada tahap analisis teks, terdapat tiga aspek utama yang akan ditelaah, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Berikut tabulasi yang menjelaskan bagian-bagian dari analisis teks.

Selanjutnya pada bagian representasi, terdapat tiga pengelompokkan uraian yang diteliti, yaitu representasi dalam anak kalimat, representasi dalam kombinasi anak kalimat, dan representasi dalam rangkaian antarkalimat. Representasi dalam anak kalimat menjelaskan bagaimana seorang penulis atau pemakai bahasa dihadapkan pada dua aspek, yaitu kosakata (vocabulary) dan tata bahasa (grammar). Pemakaian kosakata tertentu akan menunjukkan bagaimana


(47)

suatu keadaan, peristiwa, atau seseorang dipandang. Sedangkan tata bahasa menentukan apakah suatu keadaan, seseorang, kelompok, atau kegiatan ditampilkan sebagai sebuah proses atau partisipan. Proses yang dimaksud adalah apakah seseorang, kelompok, atau kegiatan dipandang sebagai tindakan, peristiwa, atau keadaan. Sebaliknya partisipan menjelaskan bagaimana aktor ditampilkan di dalam teks; apakah sebagai pelaku (subjek) atau korban (objek).

Sementara itu, di dalam representasi yang melibatkan kombinasi antar anak kalimat, akan diketahui bahwa antara satu anak kalimat dengan anak kalimat yang lain dapat digabungkan sehingga dapat membentuk suatu pengertian tertentu yang dapat dimaknai. Misalnya, ada peristiwa tentang kelangkaan BBM di suatu tempat, dan ada fakta lain dimana lalu lintas lancar. Kedua fakta tersebut dapat digabung sehingga membentuk suatu pemaknaan tertentu. Misalnya, keadaan lalu lintas di sebuah kota lancar disebabkan sedikitnya kendaraan yang tidak dapat keluar rumah akibat langkanya BBM.

Dan dalam representasi dalam rangkaian antarkalimat, akan tampak bagaimana dua atau lebih kalimat dirangkai sehingga membentuk suatu pengertian tertentu. Di dalam susunan beberapa kalimat yang dirangkai, akan tampak sebuah bagian yang paling menonjol dari bagian-bagian yang lain. Salah satu tujuannya adalah untuk menjelaskan apakah partisipan dianggap mandiri ataukah ditampilkan memberi reaksi dalam teks berita. Misalnya Menteri Jero Wacik mengusulkan agar menaikkan harga BBM bersubsidi untuk pengguna mobil pribadi sebesar dua ribu rupiah. Usul Jero Wacik mendapatkan tanggapan dari kalangan pengusaha yang mengatakan bahwa kenaikan harga BBM akan menyebabkan terjadinya inflasi.

Adapun relasi merujuk pada bagaimana kontruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, apakah teks disampaikan secara formal atau informal, terbuka atau tertutup. Media di sini dipandang sebagai suatu arena sosial, tempat di mana kelompok, kelas, atau golongan masyarakat saling berhubungan dan menyampaikan pendapatnya masing-masing. Titik perhatian utama dalam analisis relasi ini adalah pada bagaimana pola hubungan di antara partisipan yang terlibat ditampilkan di dalam teks: seperti antara wartawan dengan khalayak, antara


(1)

J: “Yang pertama saya sampaikan bahwa bukan masyarakat yang mempengaruhi media, tapi medialah yang bisa mempengaruhi masyarakat. Kalau di tengah-tengah masyarakat ada gerakan patrialisme tadi, ya kan, ada gerakan kesetaraan gender, kita juga dukung. Kita juga mendukung. Kita akan menyampaikan apa visi misinya. Kita akan dukung. Mendukungnya dengan berita dan berita juga yang bisa mempengaruhi masyarakat. Bukan kita yang terpengaruh dengan kondisi masyarakat. Itu terbalik ya. Yang kedua masalah pemberitaan pemerkosaan. Kalau korbannya perempuan. Kita akan terbitkan. Tetap. Kita akan memilah. Seperti hari ini ada pemberitaan tentang pemerkosaan. Tapi kita tidak tonjolkan proses pemerkosaan itu. Siapa korban pemerkosaan itu. Yang kita tonjolkan adalah ketidakkonsekuensinya polisi untuk mengungkap kasus pemerkosaan itu. Jadi kan tidak ada yang dirugikan. Yang kita tonjolkan adalah proses hukumnya. Korban tidak kita singgung. Kalau kita angkat lagi korbannya itu namanya penzaliman kedua kalinya bagi si korban. Nah, kita tidak tonjolkan itu. Korban tidak kita singgung-singgung. Yang kita tonjolkan itu proses hukumnya, bukan proses terjadinya pemerkosaan itu.”

T: “Iya soalnya kalau di media-media lain kan ada yang seperti itu. Kayak media X misalnya ada yang seperti itu.”

J: “Iya. Seolah-seolah mereka tahu jalan ceritanya. Dibukain bajunya. Segala macam. Padahal saksi mata tidak ada.”

T: “Iya, ideologinya masih patriarkal. Dari tulisannya pun kelihatan. Ideologinya masih patriarkal. Jadi ee..si subjek disembunyikan, si objek ditampakkan.”

J: “Jadi malah terbalik ya.”

T: “Kalau misalnya..bukan paham ya..semacam efek historis itu, sedikit banyak kan ada mempengaruhi tulisan. Misalnya Sumut ini pernah dulu pernah dijajah Belanda, Jepang. Jadi sampai sekarang pun kalau ada tulisan yang berbau Belanda Jepang, itu pasti berbeda kalau seandainya mereka tidak pernah ke Indonesia. Misalnya seperti Obama. Tulisan tentang Obama pasti berbeda kalau seandainya dulu Obama tidak pernah di sini. Analisa apakah terpengaruh dengan hal yang semacam itu Bang?”

J: “Kita kan mengangkat bukan sejarah penjajahnya ya. Tapi peninggalannya yang ada. Itu yang kita angkat. Misalnya mesjid al-Maksum yang sudah ada pada masa Belanda. Ini kantor sekitaran Analisa ini juga peninggalan Belanda kan. Ini yang kita angkat. Tujuannya untuk mencari perhatian, wisatawan asing. Kan Orang-orang Belanda ada aja ni. Orang bule. Ada setiap hari mereka menikamti kopi di warung-warung kopi peninggalan masa Belanda itu. Sejarah sih bisa kita ulas kembali sebagai mengingat generasi-generasi penerus. Misalnya meriam puntung. Kenapa sih meriam puntung ini, apa sih perannya. Jadi sejarah itu tetap tidak pernah kita lupakan. Tetap melekat.”

T: “Oke. Itu aja mungkin sudah mewakili semua. Kalau ada kata-kata saya yang kurang berkenan, saya mohon maaf ya Bang.”


(2)

T: “Saya pun sebelum hari H ini, saya ragu-ragu mau nanya ini sebenarnya. Takut iya, ragu-ragu iya. Sampai ini nanya sampai dosen dulu. Karena saya ini tidak sopan. Semacam interogasi. Kalau menurut saya ini kayak menginterogasi.” J: “Oh bukan. Ini gantian. Kalau biasa saya wartawan yang wawancara, ini saya yang diwawancarai.”

T: “Kalau saya perasaan nggak sopan.” J: “Oh nggak. Biasa itu.”

T: “Oke bang. Terima kasih bang Sugi.” J: “Iya. Sukses ya.”

T: “Iya. Sama-sama Bang.”

Medan, 1 Juni 2013 Telah diketahui dan disetujui

( Sugiatmo, M.A )


(3)

LAMPIRAN 3

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PEMBACA HARIAN ANALISA

Nama : Abdi Gunawan, AmD

Pekerjaan : Karyawan Gerai Halo Telkomsel

Tanggal/waktu wawancara : Minggu, 26 Mei 2013, pukul 15.30 WIB

Tempat : Ruang Tamu Rumah Saudara Abdi Gunawan, Jl. Cendrawasih No. 45, Citaman Jernih, Perbaungan, Serdang Bedagai.

Tanya (T): “Saudara Abdi ini benar sudah langganan Analisa?”

Jawab (J): “Kalau langganan enggak. Cuman di kantor ada. Ya kadang baca kalau sempat, kadang enggak.”

T: “Terkait berita pemilukada kemarin, saudara Abdi baca enggak yang tanggal 8 kemarin, yang headline-nya itu?”

J: “Headline apa ini?” T: Ha...yang ini?

J: “Hitungan cepat ini?” T: “Iya.”

J: “Kalau baca ya gak sempat lah. Paling cuma nengok judulnya aja.” T: “Gak baca sikit-sikit isinya?”

J: “Gak baca. Tengok judulnya Gatot ni unggul ya unggul lah dia.” T: “Baca Analisa udah berapa lama?”

J: “Berapa lama ya? Enggak tau lah berapa lama bacanya.” T: “Maksudnya sejak kapan mulai pernah baca Analisa?” J: “Gak tau lah kapan. Kuliah mungkin.”

T: “Yang dibaca apa aja dari Analisa?”

J: “Yang dibaca biasanya paling lowongan kerja. Iklan-iklan itulah yang jual-jual HP itu aja paling. Seputar Sumut aja lah paling.”

T: “Kalau baca Analisa Ada gak hal-hal yang berseberangan dengan pemikiran dengan saudara Abdi?”


(4)

J: “Berseberangan kayak mana ya?”

T: “Kadang gak yang gak setuju. Ada berita. Kok berita kayak gini?”

J: “Gak ada sih. Ya diikuti aja. Karena kan gak tau faktanya itu kayak mana.” T: “Kalau seandainya ada berita yang kebetulan saudara tau bagaimana faktanya tetapi ketika diberitakan saudara Abdi merasa beritanya gak sesuai dengan fakta. Pernah gak terjadi yang seperti itu?”

J: “Kayaknya gak pernah lah. Karena kan beritanya lain dari yang apa kita, jauh kali lah kadang. Orang ini kadang beritanya macam-macam.”

T: “Ini waktu edisi tanggal 8 maret waktu itu, judulnya itu kelihatan tidak judulnya yang kalimat “Hitungan cepat”-nya? Waktu itu.”

J: “Lihat. Tapi yang lebih nampak yang tulisan ininya aja.” T: “Yang Gatot itu?”

J: “Iya. Ini aja kan. Kalau udah unggul ya berarti unggul lah dia kan.” T: “Gak ada baca dalamnya? Dalamnya gak ada dibaca?”

J: “Kebanyakan angka. Payah. Peninglah. Sekian persen sekian persen.”

T: “Waktu itu waktu di...ya mungkin di kantor. Rekan-rekan kantor, ada gak pada ngomongin soal pilkada. Hasilnya gimana?”

J: “Ya sempatlah...namanya kan...di Sumut. kan gak mungkin gak cerita tentang daerah sendiri. Ya pasti sedikit enggaknya dari koran dari TV kan itu-itu aja.” T: “Mereka pada cerita apa aja waktu itu?”

J: “Ya Gatot menang lagi. Karena kan setidaknya dia udah punya nama lah untuk yang sebelumnya. Walau kemarin itu dia bermasalah sama gubernurnya kan dia jadi naik. Jadi punya nama. Ya otomatis dah kenal semua orang ya banyaklah yang milih dia. Sementara yang lain-lainnya kan banyak yang kurang inilah sama orang. Banyak yang gak tau ini siapa, ini siapa.”

T: “Kalau saudara Abdi waktu milih siapa?” J: “Kalau untuk apa ya...”

T: “Nyoblos waktu itu?” J: “Gak nyoblos.”

T: “Jadi Golput waktu itu.” J: “Golput”

T: “Golput. Nah, saudara Abdi ini kan golput, ada berita bahwa Gatot itu menang, itu gimana perasaannya?”


(5)

J: “Ya, kalau Gatot menang ya biasa ajalah. Kayak mana lagi, orang sebelumnya pun memang dia yang megang.”

T: “Kira-kira ada ah mungkin ini gak pantes menang. Ada gak perasaan kayak gitu? Ada mungkin ada perasaan, walaupun saudara Abdi nggak milih, ada perasaan salah satu pasangan yang lain yang lebih layak menang?”

J: “Kayaknya gak ada lah. Karena pun aku kurang ini sebenarnya. Karena mungkin kurang tau ya di masyarakat calon-calon itu seperti apa. Yang kita tau kan dulu kan Gatot itu kan wakil gubernur, udah tau kita..oh gini, ya gitu aja. Kalau memang apa ya berarti dialah.”

T: “Kira-kira golput itu kenapa? Alasannya apa waktu itu?” J: “Apanya...”

T: “Udah gak percaya lagi atau gimana?”

J: “Kayaknya sama aja sih gitu-gitu aja. Makanya mau dipilih pun sama aja.” T: “Gak berpengaruh ya?”

J: “Iya.”

T: “Gak merubah kehidupan?” J: “hee..Enggak.”

T: “Jadi itu alasannya ya?” J: “Iya.”

T: “Tapi saudara Abdi ini berlangganan Analisa ya, sementara Analisa ini memberitakan Gatot menang gitu. Nah, gimana ini, apakah menurut saudara Abdi ini hendak menampilkan kemenangan Gatot ini secara terang-terangan atau gimana ini? Kalau melihat dari beritanya.”

J: “Melihat dari beritanya. Ya gak cuma di koran kan. Di TV pun kadang karena dia pasangan yang udah unggul ya dia ditampilkan. Ditonjolkan dia menang. Artinya dia banyak dipilih. Ya kalau si koran itu memberitakan itu gk tau lah kita kayak mana. Setidaknya kan mungkin yang kalah dibilang.”

T: “Dari konten Analisa, biasanya saudara Abdi sering baca rubrik bagian mana?” J: “Ya kayak yang saya bilang tadilah. Lowongan kerja...iklan..”

T: “Kurang tertarik dengan berita-berita politiknya ya?”

J: “Olahraga paling. Kalau yang lain kurang. Kalau ada peristiwa apa gitu. Kayak mana berita di TV kan kita pingin tahu kayak mana detailnya.”

T: “Tapi berita politiknya kurang tertarik ya?” J: “Pening mikiran politik ini.”


(6)

T: “Malas ya.” J: “Malas”

T: “Nah, ini ada beberapa pertanyaan lagi. Ini dengan keadaan menangnya Gatot, kira-kira kondisinya gimana waktu itu? apakah kondisinya saat itu memang aman?”

J: “Aman gimana ini?”

T: “Maksudnya kondisi...mungkin lalu lintas..” J: “Biasa aja.”

T: “Atau obrolan di tempat kerja, warung-warung..”

J: “Biasa aja. Kayak memang gak ada pengaruhnya. Sama aja.”

T: “Sama aja ya. Jadi kalau menurut saudara Abdi lah ini, yang seharusnya lebih pantas untuk diangkat jadi berita dari gambaran di hari H waktu itu, kira-kira apa yang lebih pantas untuk diangkat?”

J: “Pantas apa ini? Pas pemilunya?”

T: “Iya, waktu di hari H waktu itu, di samping fakta bahwa Gatot itu menang. Kira-kira apa yang lebih pantas diangkat?”

J: “Kayaknya lebih banyak golputnya daripada ini..”

T: “Seharusnya itu jadi lebih ditonjolkan gitu ya, lebih jadi perhatian gitu ya.” J: “Iya lah. Artinya kan orang Medan banyak yang udah gak percaya lagi. Mau dipilih pun sama aja. Ntah pun orang itu gak ada waktunya. Gak tau juga kita. Setidaknya kan orang memang banyak yang golput kan. Ya itu aja.”

T: “Seharusnya itu diangkat ya.” J: “Iya.”

T: “Okelah itu aja saudara Abdi, terima kasih banyak. Selamat sore.” J: “Sore.”

Medan, 1 Juni 2013 Telah diketahui dan disetujui


Dokumen yang terkait

Peran Juru Kampanye PKS Di Kecamatan Kotapinang Kabupaten Labuhanbatu Selatan Dalam Proses Pemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi Pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2013

1 54 120

FAKTOR PENENTU KEMENANGAN PASANGAN ABAH ANTON-SUTIAJI DALAM PEMILUKADA 2013 DI KOTA MALANG

3 27 35

Strategi kemenangan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi (ganteng) dalam Pilkada Sumut 2013: pendekatan Marketing Politik

2 12 108

PEMBERITAAN PILGUB JABAR 2013 DALAM HARIAN UMUM PIKIRAN RAKYAT DAN INILAH KORAN: Suatu Analisis Wacana Kritis.

2 4 24

WACANA PEMBERITAAN PARTAI DEMOKRAT DALAM MEDIA INDONESIA : Analisis Wacana Kritis.

0 3 26

Wacana Kemenangan Jokowi berdasarkan Hasil Hitung Cepat Pilpres 2014 di Majalah Berita Mingguan Tempo.

0 0 2

ANALISA WACANA KRITIS PEMBERITAAN PEREMPUAN DALAM KASUS KORUPSI DI DETIK.COM

0 0 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Kerangka Teoritis Setiap penelitian perlu untuk menjelaskan gambaran tentang landasan - Pemberitaan Kemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng) Dalam Hasil Hitung Cepat Pemilukada Sumatera Utara 2013 Pa

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Konteks Masalah Pemilihan Umum Kepala Daerah Sumatera Utara (Pemilukada Sumut) - Pemberitaan Kemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng) Dalam Hasil Hitung Cepat Pemilukada Sumatera Utara 2013 Pada Harian

0 0 9

Pemberitaan Kemenangan Pasangan Gatot Pujo Nugroho – Tengku Erry Nuradi (Ganteng) Dalam Hasil Hitung Cepat Pemilukada Sumatera Utara 2013 Pada Harian Analisa Dalam Perspektif Analisis Wacana Kritis

0 0 12