Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)

(1)

Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007.

USU Repository © 2009

IMPLEMENTASI SURAT KETETAPAN

PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA

(SKPPP/SKP3)

( Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan )

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

JINOKO SIMBOLON

NIM. 030200113

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007.

USU Repository © 2009

IMPLEMENTASI SURAT KETETAPAN

PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA

(SKPPP/SKP3)

( Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan )

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara OLEH:

JINOKO SIMBOLON

NIM. 030200113

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh:

Ketua Bagian Hukum Pidana

Abul Khair, S.H., M. Hum

NIP. 131842854

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr. Syafruddin Kalo, S.H.,M.Hum Abul Khair, S.H., M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

NIP. 1310809557 NIP. 131842854


(3)

Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007.

USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian penelitian ... 14

F. Tinjauan Kepustakaan 1. KUHAP Sebagai Hukum Nasional a. Asas-asas atau Prinsip-prinsip Hukum dalam KUHAP ... 14

b. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP ... 26

2. Pengertian Penuntut Umum dan Penuntutan ... 31

3. Pengertian Praperadilan ... 33

G. Metode Penelitian ... 38

H. Sistematika Penulisan ... 41

BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, ALASAN DAN PROSEDUR HUKUM PENGELUARAN SURAT KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKPPP/SKP3) A. Wewenang Penuntut Umum dan Hubungan Penyidik dengan Penuntut Umum ... 44


(4)

Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007.

USU Repository © 2009

B. Pengaturan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3) Menurut KUHAP

a. Penghentian Penuntutan ... 51 b. Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum

(Deponering/Deponeer) ... 67 C. Pengaturan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara

(SKPPP/SKP3) Menurut KUHP

a. Dasar Peniadaan Penuntutan ... 71 b. Hapusnya Hak Menuntut ... 72 BAB III AKIBAT ATAU KEKUATAN HUKUM SURAT

KETETAPAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKPPP/SKP3)

1. Akibat Ditinjau dari Sudut Juridis ... 76 2. Akibat Ditinjau dari Sudut Sosiologis ... 80 3. Akibat Terhadap Status Hukum Terdakwa, Benda Sitaan/

Barang Bukti dan Terhadap Kerugian Negara serta Pihak

Ketiga ... 82 BAB IV IMPLEMENTASI UPAYA HUKUM PRAPERADILAN DAN

BANDING TERHADAP SURAT KETETAPAN

PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKPPP/SKP3) A. Wewenang Hakim dan Pihak Ketiga Dalam Upaya

Praperadilan atas Penerbitan SKP3 Berdasarkan KUHAP ... 88 B. Latar Belakang dan Alasan Hukum Penghentian

Penuntutan Perkara Soeharto Oleh Kejaksaan Agung Cq. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ... 92


(5)

Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007.

USU Repository © 2009

C. Prosedur dan Pelakasanaan Praperadilan atas Penghentian

Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) ... 109 D. Alasan Tidak Sahnya Menurut Hukum dan Akibat Juridisnya

SKPPP/SKP3 Soeharto Setelah Adanya Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ... 127 E. Dasar Hukum dan Alasan-alasan Diterimanya Permintaan

Banding dari Termohon yang Membatalkan Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas

SKPPP/SKP3 Soeharto... 131 F. Konsekuensi Yuridis dari Putusan pengadilan Tingkat

Banding (PT DKI Jakarta) terhadap SKPPP/SKP3

H.M Soeharto ... 139 BAB V KASUS DAN ANALISA KASUS

A. Kasus ... 141 B. Analisa Kasus... 150

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 156 B. Saran ... 162


(6)

Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007.

USU Repository © 2009

ABSTRAK

*Prof.Dr. Syafruddin Kalo S.H., M.Hum *Abul Khair S.H., M.Hum

*Jinoko Simbolon

Di dalam skripsi yang berjudul “ Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana ( SKPPP/ SKP3 ) ( Studi Kasus Perkara Soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) ini mengetengahkan suatu permasalahan yang terjadi yakni bagaimana peraturan perundang-Undangan dan alasan serta prosedur hukum pengeluaran surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) pidana ditinjau dari KUHAP dan KUHP dan bagaimana akibat-akibat hukum atau kekuatan mengikat surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP) pidana dan bagaimana implementasi upaya hukum Praperadilan dan banding terhadap penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) kasus penghentian penuntutan perkara Soeharto.

Setiap perkara yang sudah dilimpahkan ke pengadilan atau berada dalam tahap penuntutan perlu mendapat proses penyelesaian demi adanya kepastian hukum dan terhadap perkara yang proses penyelesaiannya masih menggantung karena tidak ditemukannya fakta/bukti baru atau tidak terpenuhinya bukti-bukti serta dengan alasan perkara ditutup demi hukum maka perkara tersebut dihentikan penuntutannya sampai ditemukannya bukti/fakta baru, maka penuntut umum menuangkannya dalam surat ketetapan yang disebut SKPPP/SKP3 yang pengaturannya terdapat dalam Hukum Acara Pidana Pasal 140 ayat 2a.

Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum sosiologis yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-Undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan SKPPP/SKP3. Pendekatan sosiologis artinya melakukan penelitian langsung ke Pengadilan Negeri jakarta Selatan. Metode pendekatan yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis atau

social-legal approach. Data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa

dokumen-dokumen rsmi, peraturan Perundang-Undangan, buku-buku karya ilmiah, majalah, pendapat para sarjana, surat kabar, artikel dan data-data dari internet dan sebagainya, kemudian data diolah secara kualitatip.

Dengan keluarnya SKPPP/SKP3 maka akan membawa konekuensi atau akibat hukum baik ditinjau dari sudut juridis yaitu dapat kembali dilakukan penuntutan apabila dikemudian hari ditemukan bukti-bukti baru dan dinyatakan tidak sah secara hukum sehingga menimbulkan keberatan yaitu akan membawa pro dan kontra di masyarakat sehingga masyarakat tidak mendapat kepastian hukum. Dan akibat terhadap status terdakwa yaitu statusnya otomatis gugur sebagai terdakwa dan segala benda sitaan dikembalikan sementara terhadap kerugian negara menjadi sulit untuk dikembalikan.

Adapun tujuan dasar dari upaya hukum praperadilan dan banding terhadap surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP) adalah merupakan satu


(7)

Jinoko Simbolon : Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Sudi Kasus Perkara soeharto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), 2007.

USU Repository © 2009

cermin pelaksanaan dari asas Presumption of Innocence (asas praduga tak bersalah) sehingga setiap orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang baik dan benar dan mendapatkan perlindungan harkat dan martabat manusianya. Dengan adanya lembaga praperadilan ini maka setiap tindakan kesewenang-wenangan trhadap hak asasi manusia tersebut dapat diuji apakah prose peradilan terhadap adanya penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) yang dilaksanakan oleh kejaksaan telah sah menurut Undang-Undang.

Disamping pihak keluarga, kuasa hukum maupun tersangka sendiri yang mengajukan permohonan praperadilan pihak ketiga yang merasa berkepentingan juga memiliki hak dan kewajiban untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran demi kepentingan umum/masyarakat. Peran pihak ketiga yang berkepentingan tersebut dapat dilihat perannya pada penghentian penuntutan perkara Soeharto sebagai terdakwa dugaan tindak pidana korupsi menyalahgunakan kekuasaan menghimpun dana bagi yayasan yang dipimpinnya.

Dalam skripsi ini penulis mencoba menganalisa suatu kasus perkara korupsi H.M. Soeharto yang dihentikan penuntutannya oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dengan mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) dan penyelesaiannya melalui upaya hukum praperadilan dan banding terhadap SKP3 Soeharto

* Guru Besar Fakultas Hukum Universitar Sumatera Utara * Dosen Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara * Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(8)

1 A. Latar Belakang Permasalahan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang lebih populer dengan KUHAP telah diberlakukan dalam rentang waktu yang relatif panjang/lama, yakni sejak tanggal 31 Desember 1981. Namun demikian Martin Basiang menyatakan bahwa dalam pelaksanaannya khususnya yang berkenaan dengan penuntutan masih cukup banyak hal yang belum sinkrone dengan maksud dan tujuan pembentuk Undang-Undang tersebut.39

Timbul keraguan di kalangan penegak hukum bagaimana menegakkan hukum sesuai dengan due process of law. Di tengah keraguan ini tiba-tiba saja

Salah satu ciri hukum adalah ketidakpastiannya, sehingga manakala kita menghadapi suatu kejadian, kita harus secara tegar dan pasti menjawabnya. Itu tuntutan hukum, ini adalah hukum, itu adalah melawan hukum, kita menarik garis pemisah yang tajam dan kita kemudian ragu.

Ketika kontroversi terjadi pada kasus mantan Presiden Soeharto, hukum positif yang bertugas menjawab ketidakpastian menyatakan Soeharto harus di adili, kenyataan menunjukkan lain ketika tim dokter menyatakan Soeharto menderita brain damage permanen sehingga tidak fit untuk diadili dan dibawa kepengadilan. Hukum positif c.q. KUHAP hanya mengatur 3 hal di mana seorang terdakwa tidak dapat dituntut ke pengadilan, yaitu meninggal dunia (mati), menjadi gila (sakit ingatan), dan dinyatakan di bawah pangampuan (onder

curatele).

39


(9)

Kejaksaan Agung mengeluarkan SKPPP (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara) yang menghebohkan dunia hukum. Apa latar belakang dikeluarkannya SKPPP? Politis atau hukum? Memang Soeharto sakit tidak bisa dipaksa dibawa dan diadili ke pengadilan. Tetapi apakah pengeluaran SKPPP ini dapat dibenarkan secara hukum? Itu menjadi masalah yang pelik. Uniknya, alasan dikeluarkannya SKPPP untuk kepastian hukum agar perkara Soeharto tidak digantung terus-menerus. Sebaliknya, Jaksa Agung juga menyatakan kalau ternyata nanti Soeharto sembuh, tidak tertutup kemungkinan dituntut lagi. Kembali lagi terjadi ketidakpastian huku m.

Dalam pemikiran hukum (rechtsdenken), masyarakat minta jawaban tentang keadilan. Apakah adil kalau proses pengadilan Soeharto dihentikan begitu saja dengan SKPPP? Tetapi apakah juga adil kalau Soeharto yang sakit dipaksa untuk diadili? Di sinilah otoritas hukum (rechtsgezag) dipertanyakan. Sampai di manakah hukum mempunyai otoritas? 40

Kekurangserasian praktek pelaksanaan KUHAP dimaksud antara lain disebabkan memang antara KUHP dan KUHAP latar belakang pembentukannya berbeda secara mencolok. KUHP sebagai hukum materiil yang pelaksanaan dan penegakannya dilakukan melalui ketentuan-ketentuan KUHP sebagai hukum formal adalah produk hukum warisan kolonial sedang KUHAP itu sendiri adalah produk hukum nasional. Sebagai produk hukum kolonial, sudah tentu ia mengandung ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan

40

Frans H Winarta, Sorotan Hukum, Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia, Jakarta, 2006.


(10)

kolonial, sedang KUHAP sebagai produk hukum nasional adalah perangkat yang bertujuan mengabdi pada kepentingan nasionaL.41

Ruslan Saleh mengatakan dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah penuntutan yang ditetapkan dalam KUHAP masih terdapat adanya ketentuan yang menimbulkan keragu-raguan yang pada akhirnya memancing timbulnya penafsir yang beraneka ragam. Timbulnya penafsiran demikian disebabkan pembentuk Undang-Undang sendiri tidak memberikan penjelasan resminya, bahkan ketentuan yang kurang jelas tersebut dalam penjelasan resminya dinyatakan sebagai “ cukup jelas”.

Disamping itu, peralihan dari Hukum Acara Pidana yang lama (Het Herziene Inlandsch reglement- staatsblad Tahun 1941 Nomor 44), sedikit banyaknya masih “membekas” dalam praktek, sehingga dalam praktek peradilan kini” Nafas” HIR tersebut masih nampak.

42

Perbedaan-perbedaan persepsi tersebut perlu diatasi, guna memberikan kepastian dan ketertiban dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan. Untuk itu dalam upaya penegakan hukum tersebut maka Kejaksaan Republik

Guna mengatasi hal tersebut telah ditempuh berbagai langkah kebijaksanaan antara lain : diterbitkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01 – PW 07.03 tahun 1982 tanggal 4 Februari 1982 tentang pedoman pelaksanaan KUHAP, Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP, penataran gabungan antar aparat penegak hukum, Makehjapol I dan II, Rapat-Rapat Koordinasi dan Rapat teknis dan sebagainya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa dalam praktek masih cukup banyak perbedaan persepsi antar aparat penegak hukum dilapangan.

41

H. HAMurat HAMid, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan dan

Penuntutan Dalam Bentuk Tanya Jawab,1991, Tanpa Penerbit. 42

Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Penerbit Aksara Baru, 1981.


(11)

Indonesia telah mempersiapkan hal-hal yang menyangkut proses penanganan perkara pidana umum dimulai dari penerimaan Surat Pemberitahuan Dimualinya Penyidikan (SPDP) dari penyidik Polri hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut Sukarton Marmo Sudjono menyatakan bahwa:

“Penanganan suatu proses pidana tahap demi tahap berhubungan erat, dimana tahap yang satu meletakkan dasar-dasar bagi tahap yang lain dan setiap tahap berhubungan erat dan saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu proses penanganan perkara pidana dikatakan suatu integrated ceiminal justice

system adalah sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya

terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara secara keseluruhan dan kesatuan (administration of criminal justice

system)”. 43

a. Seksi pra penuntutan

Sebagai landasan dalam meningkatkan kinerja Kejaksaan dalam penegakan hukum khususnya penyelesaian perkara pidana sesuai asas sederhana dan cepat, selain mengacu pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga berkewajiban mempedomani Keppres No. 86/1999 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep.-115/J.A/10/1999 tentang Susunan Organisasi Tata Kerja Kejaksaan RI (khususnya mengatur susunan organisasi Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri), petunjuk-petunjuk teknis, surat edaran, serta instruksi-instruksi Jaksa Agung lainnya.

Untuk meningkatkan kinerja lembaga penuntutan di Kejaksaan Tinggi maka pada Pasal 546 Kep-115/J.A/ 10/1999 tanggal 20 oktober 1999, telah mengatur bahwa Asisten Tindak Pidana umm terdiri dari:

b. Seksi penuntutan

c. Seksi upaya hukum, eksekusi dan eksaminasi.

43

Sukarton Marmo Sudjono, 1989, Pengakuan Hukum di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, Jakarta, hal.30.


(12)

Sesuai Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP. 115/ J.A/10/1999, tanggal 20 Oktober 1999 Pasal 551, seksi penuntutan mempunyai tugas melakukan penuntutan, terhadap perkara Tindak Pidana umum hasil penyidikan penyidik serta pengadministarsian dan pendokumentasian. Sedangkan Pasal 552 seksi penuntutan melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 551, Seksi penuntutan menyelenggarakan fungsi:

a. Penerimaan hasil penyidikan, tanggung jawab tersangka dan barang bukti/ sitaan dari seksi Pra penuntutan untuk selanjutnya diteliti dan ditentukan apakah telah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan melalui Kejaksaan Negeri setempat.

b. Pengendalian penuntutan, penghentian penuntutan dan upaya hukum

c. Pelaksanaan eksaminasi dan persiapan usul, saran serta pendapat yang berhubungan dengan penuntutan, penghentian penuntutan dan upaya hukum sebagai bahan kebijaksanaan tindakan penuntutan.

d. Penyelenggaraan administrasi penerimaan hasil penyidikan tersangka tahanan dan barang bukti/ sitaan dan pelaksanaan upaya hukum serta eksaminasi.

Pasal 553 keputusan Jaksa Agung RI Nomor: kep. 115/J.A/10/1999, tanggal 20 Oktober 1999 menyebutkan seksi penuntutan terdiri dari:

a. Subseksi orang dan harta benda

b. Subseksi keamanan negara, ketertiban umum dan Tindak Pidana umum lainnya.

Sesuai Pasal 554 Keputusan Jaksa Agung Ri nomor : KEP.115/J.A/10/1999, tanggal 20 Oktober 1999 bahwa:


(13)

(1). Subseksi orang dan harta benda mempunyai tugas melakukan administrasi penuntutan, pengendalian penuntutan dan pengolahan data, penuntutan terhadap orang dan harta benda.

(2). Subseksi keamanan Negara, ketertiban umum dan Tindak Pidana umum lainnya mempunyai tugas melakukan administrasi penuntutan, pengendalian penuntutan dan pengolahan data, penuntutan terhadap Tindak Pidana yang menyangkut keamanan Negara, ketertiban umum dan Tindak Pidana umum lainnya.

Sehingga lembaga penuntutan dalam hal ini adalah sebagai proses acara pidana penuntut umum dalam melaksanakan penuntutan sesuai dengan Pasal 137 KUHAP berbunyi: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim sidang pengadilan”

Dalam menjalankan fungsi penuntutan Jaksa Penuntut Umum terlebih dahulu mempersiapkan tindakan pra penuntutan yaitu menentukan berkas hasil penyidikan tersebut sudah memenuhi persyaratan yuridis untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan, artinya penuntut umum melimpahkan wewenang dan tanggung jawab suatu perkara yang telah diterima dari penyidik kepada pengadilan untuk menetapkan hari persidangan untuk mengadili perkara dan menetapkan panggilan terdakwa dan para saksi. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.


(14)

Untuk mempercepat penanganan berkas perkara tersebut maka menurut Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa:

Koordinasi kerja antara kepolisian dan kejaksaan menurut KUHAP (yang merupakan hukum positip acara pidana di Indonesia dapat diselenggarakan melalui lembaga “ pra penuntutan”. Lembaga ini merupakan “daerah perbatasan” antara wewenang penuntutan, sebaiknya dapat dimanfaatkan untuk menyusun suatu kebijakan criminal dalam bidang penyidikan dan penuntutan yang terpadu. Dalam KUHAP Lemabaga pra penuntutan (mungkin dianggap sebagai “tahap” dalam proses peradilan pidana yang merupakan rangkaian kesatuan) ini kurang dijelaskan dan dalam praktekpun rupanya hanya melihanya sebagai “kotak pos” pemindahan dokumen-dokumen antara penyidik dan penuntut. Apabila lembaga pra penuntutan ini ingin dikembangkan, maka harus diusahakan tahap penyidikan dan tahap penuntutan sejauh mungkin harus diselaraskan (tune up).44

44

Mardjono reksodiputro, Hak Aasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan ( d/h lembaga Kriminologi ) Universitas Indonesia, Jakarta, 1997, hal.96.

Yang menjadi kendala dalam pelaksanaan KUHAP yaitu menempatkan posisi penyidikan terpisah dari penuntutan. Menurut ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP menyebutkan Polri berwenang dalam penanganan proses penyidikan sehingga jaksa tidak dapat ikut bersana-sama dalam proses penyidikan yang akhirnya menimbulkan kerancuan karena posisi suatu perkara terkadang dapat menjadi tidak jelas. Seringkali berkas perkara yang telah dikembalikan dengan petunjuk untuk dilengkapi penyidik tidak kembali atau sangat lama baru dapat dipenuhi oleh penyidik.

Demi terlaksananya kepentingan pemeriksaan Tindak Pidana Undang-Undang memberi kewenangan kepada pihak penyidik dan penuntut umum untuk melaksanakan berbagai tindakan upaya paksa berupa penangkapan , penahanan, penyitaan, termasuk penghentian penyidikan dan penuntutan oleh pihak penyidik dan penuntut umum atau Polisi dan Jaksa Penuntut Umum. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakekatnya merupakan perlakuan yang bersipat :


(15)

a. Tindakan paksa yang dibenarkan oleh Undang-Undang demi kepentingan pemeriksaan tindal pidana yang disangkakan kepada tersangka.

b. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan oleh hukum dan Undang-Undang. Setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.

Sesuai dengan kebijakan penuntutan, penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan, apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk diadili. Hal ini diatur dalam Pasal 139 KUHAP. Jika menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke pengadilan ataukah perkara tersebut bukan merupakan suatu delik maka penuntut umum membuat suatu ketetapan mengenai hal itu diatur dalam Pasal 140 ayat 2 butir a KUHAP. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib dibebaskan (Pasal !40 ayat 2 butir b).

Mengenai wewenang penuntut umum untuk menutup perkara demi hukum seperti tersebut dalam Pasal 140 ayat 2 butir a, pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “perkara ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab VIII buku I tentang hapusnya hak menuntut tersebut diatur dalam Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 82 KUHP

Menurut Van Bemmelen bahwa keadaan-keadaan yang membuat penuntut umum tidak boleh melakukan penuntutan terhadap terdakwa disebut peniadaan penuntutan (Vernolggingsuitsluitingsrounden), sedangkan keadaan yang membuat hakim tidak dapat mengadili seseorang sehingga tidak dapat menjatuhkan pidana


(16)

terhadap terdakwa disebut dasar-dasar yang meniadakan pidana. Sehingga sering kali sukar dibedakan antara keduanya, karena pembuat Undang-Undang di dalam rumusannya tidak terlalu jelas. Suatu rumusan Undang-Undang kadang-kadang dapat diartikan sebagai ketentuan pidana yang tidak dapat diberlakukan dalam keadaan-keadaan yang telah disebutkan dalam rumusan tersebut , dalam arti bahwa penuntut umum tidak dapat melakukan penuntutan terhadap orang terdakwa berdasarkan bahwa terdakwa telah melanggar ketentuan pidana tertulis, padahal yang dimaksud ialah pembuat Undang-Undang sebenarnya adalah untuk memberitahukan kepada hakim, Bahwa ia tidak boleh menjatuhkan pidana.

Sementarra dalam kasus perkara Soeharto meski Kejaksaan Agung telah menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara atau SKPPP 11 Mei 2006, polemik status dan peradilan kasus Soeharto tetap meninggalkan perdebatan pro-kontra yang tidak lagi membawa karakteristik dari pemaknaan due

process of law. Sehingga politisasi hukum kasus Soeharto menjadi rutinitas dalam

kehidupan hukum, maka sah tidaknya validitas penerbitan SKPPP dipertanyakan.

Kehendak pengusutan mantan Presiden Soeharto melalui Pasal 4 TAP MPR No XI/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 yang menyatakan, upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus tegas dilakukan terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroni, swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto dengan memperhatikan prinsip praduga tidak bersalah dan hak asasi manusia. Politisasi hukum Soeharto akan selalu menentukan kredibilitas kekuasaan sehingga pelaksanaan Pasal 4 TAP MPR No XI inilah yang dijadikan barometer politik berhasil-tidaknya kekuasaan dalam menjalankan roda perputaran pemerintahan. Ada dua persoalan yang


(17)

menjadi atensi penerbitan SKPPP, yaitu apakah penerbitan SKPPP menjadi kompetensi Kejagung dan SKPPP tidak menghendaki implementasi TAP MPR No XI.

Dalam pemahaman hukum, Pasal 4 TAP MPR No XI terhadap Soeharto telah dilaksanakan, artinya peradilan atas Soeharto telah berakhir. Pada proses pra-ajudikasi, implementasi prosedural yuridis kasus Soeharto dilaksanakan sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, bahkan telah ada finalisasi melalui proses ajudikasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi Jakarta, dan Mahkamah Agung melalui putusan final Nomor 1846 K/Pid/2000, 2 Februari 2001. Bahkan, Ketua MA, melalui surat No KMA/865/12/2001, 11 Desember 2001, memberi pendapat hukum karena Tim Dokter menyatakan, terdakwa tidak dapat disembuhkan, maka terdakwa (Soeharto) tidak dapat diajukan ke persidangan. Hal ini dapat diartikan, amanat Pasal 4 TAP MPR No XI memiliki daya jangkau aplikatif yang telah dilaksanakan oleh kekuasaan Negara.45

Dengan keluarnya SKPPP Soeharto yang dianggap bertentangan dengan hukum tersebut dan banyaknya yang pro kontra atas keteatapan tersebut maka pemohon atau pihak ketiga mengajukan permohonan Praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya SKPPP tersebut yang dilimpahkan kewenangannya kepada Praperadilan yang merupakan suatu lembaga yang di bentuk khusus untuk menguji satu proses sebelum sampai pada tahap beracara di Peradilan. Praperadilan bukanlah merupakan hal yang baru dalam dunia Para Peradilan

45


(18)

Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP ditengah-tengah kehidupan penegakan hukum.

Adapun tujuan dasar dari Praperadilan ini adalah merupakan satu cerminan dari asas presumption of innocence (praduga tidak bersalah) sehingga tiap orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang wajarmdan mendapatkan perlindungan harakat dan martabat manusianya.

Eksistensi dan kehadiran Praperadilan, bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri tetapi hanya merupakan wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang fungsi dan tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini. Sebab wewenang fungsi Pengadilan Negeri bukan hanya saja mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata saja sebagai tugas pokok tetapi disamping tugas pokok tersebut Pengadilan Negeri diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, pengahentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum, yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan.46

46

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

Sidang Pengadilan,Bbanding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Edisi Kedua, Cetakan Kelima,

Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.1 B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian dan latar belakang diatas dapatlah dirumuskan permasalahan yang menjadi pokok bahasan berkenaan dengan SKPPP sebagai berikut:


(19)

1. Bagaimana Peraturan Perundang-Undangan dan alasan serta prosedur hukum pengeluaran Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) Pidana ditinjau dari KUHAP dan KUHP ?

2. Bagaimana akibat-akibat hukum atau kekuatan mengikat Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) Pidana.?

3. Bagaimana Implementasi upaya hukum Praperadilan dan Banding terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP / SKP3 ) Kasus Penghentian Penuntutan Perkara Soeharto?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui mekanisme Peraturan Perundang-Undangan dan alasan serta prosedur hukum pengeluaran Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) ditinjau dari KUHAP dan KUHP.

2. Untuk mengetahui akibat-akibat hukum atau kekuatan mengikat Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP)

3. Untuk mengetahui implementasi upaya hukum Praperadilan dan Banding terhadap Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP) Kasus Penghentian Penuntutan Perkara Soeharto serta untuk mengetahui analisa kasusnya.

D. Manfaat Penelitian

Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk:


(20)

a. Yaitu untuk memberikan suatu pengembangan wawasan dan pemikiran sekaligus urgensi pengetahuan baik untuk kalangan mahasiswa sendiri atau para akademis sebagai bibit unggul yang pada saatnya akan menjadi kalangan yang berguna dan menjadi generasi penerus bangsa di masa yang akan datang maupun masyarakat umum yang masih belajar untuk memahami, menyerap dan serta ingin tahu apakah sebenarnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan perkara (SKPPP) tersebut.

b. Untuk dapat memberikan suatu khasanah pengetahuan mengenai prosedur hukum SKPPP yang terdapat dalam ketentuan Acara Pidana Indonesia yaitu KUHAP maupun KUHP

c. Serta memberikan pengetahuan mengenai upaya hukum Praperadilan atas SKPPP serta perkembangan Perkara kasus Soeharto yang menjadi bahan Informasi.

2. Manfaat secara Praktis

Untuk dapat mengetahui secara jelas mekanisme Perundang-Undangan dan alasan hukum terbitnya SKPP dan pihak-pihak mana yang mengajukan permohonan Praperadilan dan apa saja yang menjadi landasan atau alasan-alasan diajukannya permohonan Praperadilan atas SKPPP tersebut. Disamping itu dapat juga bermanfaat bagi para penegak hukum untuk dapat mengkaji ulang bagaimana dalam prosedur penerbitan SKPPP. Dan Kasus Soeharto yang semula dinyatakan ditutup demi hukum yang kemudian di Praperadilankan sehingga kembali dibuka yang sampai sekarang belum selesai karena alasan tidak laik atau sakit dan lain-lain.


(21)

Oleh karena itu maka penulisan skripsi ini kiranya dapat bermanfaat dalam hal penyelesaian kasus yang serupa baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Sepanjang penelusuran di perpustakaan yang dilakukan belum terdapat judul dan permasalahan yang sama dengan tulisan ini. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada Penulis yakin substansi pembahasannya berbeda. Sehingga skripsi ini benar-benar merupakan tulisan yang beda dengan tulisan yang lain. Dengan demikian keaslian Penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. KUHAP Sebagai Hukum Nasional

A. Asas-asas atau Prinsip-prinsip Hukum dalam KUHAP

Landasan asas atau prinsip, kita artikan sebagai dasar patokan hukum yang melandasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penerapan penegakan hukum. Asas-asas atau prinsip hukum inilah tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan Pasal-Pasal KUHAP. Bukan saja hanya kepada aparat penegak hukum saja asas atau prinsip hukum dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP. Menyimpang dari prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada KUHAP, berarti orang yang bersangkutan telah sengaja


(22)

mengabaikan hakekat kemurnian yang dicita-citakan KUHAP. Dan cara penyimpangan yang seperti itu nyata-nyata mengingkari dan meyelewengkan KUHAP kearah tindakan yang berlawanan dan melanggar hukum.

Bagi mereka yang terpanggil jiwanya untuk melaksanakan KUHAP secara utuh dan konsekwen, mereka harus terlebih dahulu sungguh-sungguh dan seksama menyimak dan memahami makna yang terkandung dalam asas-asas atau prnsip-prinsip hukum yang terdapat dalam KUHAP. Tanpa memiliki pengertian yang senapas dengan jiwa yang terkandung dalam prinsip-prinsip hukum yang digariskan KUHAP, Pasal-Pasal KUHAP hanya akan menjadi rumusan-rumusan mati dan kering, dan takkan mampu mengemban penegakan hukum yang sejajar dengan jiwa dan semangat landasan filosofisnya serta landasan konstitusinya. Perangkat-Undang-Undang yang tidak memiliki asas atau prinsip-prinsip hukum, tidak dapat dikatakan hukum yang efektif serta tidak dapat dikatakan sebagai hukum yang mampu berdiri menantang kehendak itikad buruk dari pelaksanaannya.47

a. Asas/ Prinsip Legalitas

Asas-asas atau Prinsip-prinsip yang terdapat dalam KUHAP meliputi:

Asas atau prinsip legalitas ini dengan tegas disebutkan dalam konsiderans KUHAP seperti yang dapat dibaca pada huruf a, yang berbunyi: “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjungjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

47


(23)

dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dari bunyi kalimat di atas dapat kita simak:

1. Negara Republik Indonesia adalah “Negara hukum” berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2. Negara menjamin setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

3. Setiap warga Negara” tanpa kecuali” wajib menjungjung hukum dan pemerintahan.

Jelaslah KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah Undang-Undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak “ the Rule of Law semua tindakan penegakan hukum harus:

1. berdasarkan ketentuan hukum dan Undang-Undang

2. menempatkan kepentingan hukum dan Perundang-Undangan di atas segala-segalanya.48

Legalitas berasal dari kata Legal (latin), aslinya legalis, artinya sah menurut Undang-Undang. Asas legalitas ini dikenal sebagai berikut: 49

1. Dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali bedasarkan ketentuan Perundang-Undangan pidana yang telah ada (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege Poenali). Asas ini tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

48

Ibid. Hal 34.

49

Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana (Dalam Teori dan


(24)

2. Asas dalam hukum acara pidana, bahwa setiap perkara pidana harus diajukan ke depan hakim. Dalam KUHAP, konsideran huruf a mengatakan, “Bahwa Negara Republik Insonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 yang menjungjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

b. Perlakuan Yang Sama Atas Diri Setiap Orang Di Muka Hukum (Equality

Before the Law)

Asas ini terdapat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pokok kekuasaan kehakiman berbunyi; pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan-bedakan orang. Dan penjelasan umum butir 3 a KUHAP berbunyi; perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.50

1. perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan c. Prinsip Keseimbangan

Asas ini dijumpai dalam konsiderans huruf c yang menegaskan bahwa dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara:

2. perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat.

Maka aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum, tidak boleh berorientasi kepada kekuasaan semata-mata dan

50


(25)

harus menempatkan diri dalam suatu acuan pelaksanaan penegakan hukum yang berlandaskan keseimbangan yang serasi antara orientasi penegakan dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan orientasi kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi kemanusiaan.51

a) Adalah subyek; bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri.

d. Asas Praduga Tak bersalah ( Presumption Of Innocent)

Asas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Asas ini juga telah dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 tahun 1970 yang berbunyi: “Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”

Menurut M. Yahya Harahap, asas Praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “ Prinsip Akusator” Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka /tersangka dalam setiap tingkat pemeriksaan:

b) Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip Akusator adalah kesalahan (Tindak Pidana ) yang dilakukan oleh tersangka / terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan.52

e. Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan Dilakukan Berdasarkan Perintah Tertulis Pejabat Yang Berwenang.

51

M. Yahya Harahap, op.cit., Hal 36.

52


(26)

Asas ini terdapat dalam penjelasan KUHAP butir 3 b. secara rinci dalam hal penangkapan diatur dalam Pasal 15 sampai dengan 19 KUHAP. Sedangkan dalam Peradilan militer diatur dalam Pasal 75 sampai dengan 77 UU No. 31 Tahun 1997. Penahanan diatur dalam Pasal 20 sampai dengan 31 KUHAP. Dalam peradilan militer diatur dalam Pasal 78 sampai dengan 80, dan Pasal 137 dan 138 UU No. 31 tahun 1997. Selain perintah penahanan dilakukan secara tertulis , yang lebih prinsip lagi dalam KUHAP dan peradilan militer diatur pembatasan penahanan.

Penggeledahan diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP. Dalam peradilan militer diatur dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 86 UU No. 31 Tahun 1997. Sedangkan penyitaan diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 KUHAP. Dalam peradilan militer diatur dalam Pasal 87 sampai dengan Pasal 95 UU No. 31 Tahun 1997.53

Mengenai batas waktu penahanan dapat dirinci sebagai berikut: f. Prinsip Pembatasan Penahanan

54

1) Penyidik paling lama hanya dapat menahan seseorang selama 20 hari dan perpanjangan 40 hari

2) Penuntut umum melakukan penahanan selama 20 hari atas perintah penuntut umum sendiri dan perpanjangan 30 hari

3) Hakim Pengadilan Negeri atas perintah hakim sendiri selam 30 hari dan perpanjangan selama 60 hari.

4) Hakim pengadilan tinggi atau majelis yang bersangkutan selama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 60 hari.

53

Mohammad Taufik Makarao & Suhasril, op.cit, Hal 6.

54


(27)

5) Mahkamah Agung atas perintah hakim Agung atau Majelis selama 50 hari dan perpanjangan selama 60 hari. Jadi mulai dari penyidik sampai ke Mahkamah Agung paling lama 400 hari.

g. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi

Asas ini terdapat dalam penjelasan umum KUHAP butir 3d. Pasal 9 UU Pokok kekuasaan kehakiman No. 14/ 1970 yang juga mengatur ketentuan ganti rugi. Secara rinci Pasal yang mengatur tentang ganti kerugian dan rehabilitasi adalah Pasal 95 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Kepada siapa ditujukan ganti rugi ? untuk hal ini tidak diatur secara tegas dalam Pasal-Pasal KUHAP. Akan tetapi pada tanggal 1 agustus 1983 telah dikeluarkan peraturan pelaksanaannya pada bab IV PP No. 27/ 1983 dengan peraturan ini maka ganti kerugian dibebankan kepada Negara c.q. Departemen keuangan.55

1. pembaharuan kodifikasi

h. Asas Penggabungan Pidana Dengan Ganti Rugi

KUHAP memberikan prosedur hukum bagi seorang “korban” Tindak Pidana, untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung.

i. Asas Unifikasi.

Asas unifikasi hukum acara pidana KUHAP ditegaskan dalam konsideran huruf b: bahwa demi pembangunan di bidang hukum sebagaimana termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara ( Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV (MPR/1978), perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan mengadakan:

55


(28)

2. serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata wawasan nusantara.

Dari bunyi konsideran huruf b diatas, kodifikasi KUHAP di samping bertujuan: 1. mengungkapkan usaha penyempurnaan hukum nasional

2. pembaharuan hukum nasional

3. juga dimaksudkan sebagai langkah pemantapan” unifikasi hukum” dalam rangka mengutuhkan kesatuan dan persatuan nasional dibidang hukum dan penegakan hukum, guna tercapainya cita-cita wawasan nusantara di bidang hukum, serta hukum yang mengabdi kepada kepentingan wawasan nusantara.56

j. Frinsip Differensial Fungsional

Prinsip ini merupakan penjelasan penegasan pembahagian tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. Dengan demikian KUHAP meletakkan suatu asas “ Penjernihan” (Clarification) dan “modifikasi” (modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Akan tetapi penjernihan dan pengelompokan tersebut, diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang salaing berkaitan dan berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi yang lain, sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi mulai dari tahap permulaan penyidikan oleh kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan oleh kejaksaan , selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan, yang akan menciptakan suatu mekanisme saling cekking di antara sesama aparat penegak hukum.57

56

M.Yahya Harahap, op. cit, Hal 45.

57


(29)

k. Prinsip Saling Koordinasi

Prinsip ini dapat kita lihat dengan adanya saling hubungan koordinasi fungsional antara aparat penegak hukum:

1. Hubungan penyidik dengan penuntut umum

a. kewajiban penyidik untuk memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat 1).

b. Pemberitahuan penghentian penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum (Pasal 109 ayat ) dalam hal ini penuntut umum dapat berpendapat lain bila mengangap penghentian penyidikan tadi tidak sah penuntut umum berhak mengajukan permohonan praperadilan.

2. Hubungan Penyidik dengan Hakim/Pengadilan.

Ketua Pengadilan Negeri memberi perpanjangan penahanan yang diminta oleh penyidik dengan surat penetapan atas dasar ketentuan yang disebut oleh Pasal 29

3.Hubungan atau pengawasan antara aparat penegak hukum dengan tersangka/terdakwa, penasehat hukum, keluarga dan pihak ketiga yang berkepentingan antara lain:

a. Keberatan atas penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat diajukan oleh pihal ketioga yang berkepentingan dan memintakan kepada praperadilan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan (Pasal 30)

b. Tersangka , penasehat hukumnya dan keluarganya berhak meminta kepada persidangan praperadilan tentang sah tidaknya penangkapan, penahanan,


(30)

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (Pasal 77 dan Pasal 80).

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat adanya penghentian penyidikan atau penuntutan yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya (Pasal 81).58

l. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat 2 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman N0. 14/1970. Yang menghendaki agar setiap pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas : cepat, tepat , sederhana dan biaya ringan. Dalam KUHAP ketentuan dari asas peradilan cepat diatur dalam Pasal 50: tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan penyidik, segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik, segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, segera diadili oleh pengadilan. Pasal-Pasal lain yang berkaitan adalah Pasal 102 ayat 1, Pasal 106, Pasal 107 ayat 3, dan Pasal 140 ayat1. Sementara asas sederhana dan biaya ringan dijabarkan dalam KUHAP Pasal 98.59

Dalam KUHAP Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 diatur Bantuan Hukum dimana tersangka atau terdakwa mendapat kebebasan yang sangat luas. Asas bantuan hukum bagi tersangka atau terdakawa ini menjadi ketentuan universal di Negara-negara demokrasi dan beradab. Dalam” International Covenant on Civil and

m. Tersangka/ Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

58

Ibid., Hal 51-52.

59


(31)

Political Rights article 14 sub 3d kepada tersangka/terdakwa diberikan jaminan.

Diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannya sendiri, diberitahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia, jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu dan jika tidak mampu membayar penasihat hukum, ia dibebaskan dari pembayaran.60

“ Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perlara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak” tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.

n. Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Hadirnya terdakwa.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 154, 155, dan seterusnya dalam KUHAP yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan Verstek atau in absentia. Tetapi ini merupakan hanya pengecualian yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.

o. Prinsip Peradilan Terbuka Untuk Umum

Pasal yang mengatur tentang asas ini adalah Pasal 153 ayat (3 )dan (4)KUHAP yang berbunyi:

61

Dalam hukum acara pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut p. Asas Oportunitas

60

Ibid., Hal 8-9.

61

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi Revisi). Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hal 17.


(32)

penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa (Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 dan seterusnya KUHAP).

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum. A.Z. Abidin Farid memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut:62

Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Ini disebut dalam Undang-Undang Pokok kekuasaan Kehakiman Pasal 31.

“ Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”

q. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap.

63

62

A.Z. Abidin, Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia, Hal 12.

63

Andi Hamzah, op.cit, Hal 19.

r. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisatoir)

kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu, ini berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Dan asas inkisitor itu berarti terasangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR.


(33)

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Ketentuan tentang hal ini diatur dalam Pasal-Pasal 154, 155 KUHAP dan seterusnya.

B. Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP

Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah mengandung tentang perlindungan Hak asasi tersangka atau terdakwa dan dalam hal ini merupakan batas-batas bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Walaupun batas-batas wewenang telah digariskan di dalam KUHAP, namun penerapannya dalam praktek sering menyimpang, baik tahap penyidikan hingga putusan pengadilan. Hal ini menimbulkan reaksi dan kritikan keras dari tersangka, terdakwa maupun dari masyarakat terhadap perilaku negative aparatur penegak hukum.

Perserikatan bangsa-bangsa mengakui 25 dokumen tentang hak Asasi manusia, namun dari jumlah tersebut terdapat dokumen tentang Hak Asasi Manusia dipergunakan dibidang administrasi peradilan Pidana. Dari 19 dokumen itu terdapat tiga hal yang relevan dengan administrasi peradilan pidana yang bertujuan mengatur tindakan atau perlakuan aparat penegak hukum terutama pejabat POLRI sehingga tidak terjadi pelanggaran atas HAM tersangka atau terdakwa. Yang dimaksud dengan hak asasi adalah hak dasar didalam kehidupan manusia yang pada hakekatnya harus dipunyai oleh setiap orang tanpa terkecuali


(34)

siapapun dia orangngnya. Mahadi membagi hak asasi manusia itu atas dua bagian yaitu:

1) Hak aktif, suatu hak baru berati bagi pendukungnya apabila ada kebebasan untuk menjalankan hak itu , artinya si pendukung itu adalah sipemilik hak bertindak secara aktif, dia beraktifitas, dengan aktivitasnya itulah dia menjalankan haknya. Misalnya hak mengeluarkan pendapat, hak melakukan ibadah.

2) Hak pasif, si pemilik hak itu tidak perlu beraktivitas, dia bersifat pasif belaka. Hak pasif baru berarti apabila orang lain tidak mempunyai kebebasan untuk menanggungnya. Misalnya hak untuk tidak ditangkap dengan cara sewenang-wenang, hak unutk tidak dianinya dalam pemeriksaan tingkat pendahuluan, hak dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang tetap.64

Didalam penjelasan dari UUD 1945, dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka ( machtstaat). Hal ini berarti Negara Indonesia adalah Negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD 1945, yang menjamin dan menjungjung tinggi hak-hak asasi manusia dan menjamin setiap warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Dengan demikian jelaslah bahwa pelaksanaan hak asasi manusia maupun hak dan kewajiban warga Negara untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggikan oleh setiap warga Negara, setiap penyelenggara pemerintahan, setiap

64

Purnadi Purbacaraka & Ridwan Halim. Filsafat Hukum Pidana dalam Tanya Jawab, Rajawali, 1982, Hal 22.


(35)

lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah, yang perlu terwujud pula dalam dan dengan adanya hukum acara pidana yang bersifat nasional.

Di dalam Hukum Acara Pidana nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, yang pada penjelasan umum angka 2 disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan pancasila dan UUD 1945, yang menjungjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya, agar terciptanya situasi yang aman dan terciptanya ketertiban ditengah-tengah masyarakat itu.

Dalam hal ini sesuai dengan tujuan dari Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana adalah memberikan perlindungan hukum kepada hak-hak asasi manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum yaitu yang mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa.

Tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 dan Pasal-Pasal lainnya. Hak-hak tersangka atau terdakwa meliputi:65

a. Hak untuk segera diperiksa, diajukan kepengadilan dan diadili (Pasal 50 ayat (1), (2), (3) KUHAP).

b. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan b KUHAP).

65


(36)

c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim (Pasal 52). Dalam hal ini sebagai perwujudan dari pada asas praduga tidak bersalah bahwa tersangka atau terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban dalam hal pembuktian ( Pasal 66 KUHAP).

d. Hak untuk mendapat juru bahasa (Pasal 53 ayat 1).

e. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP). Bahkan bantuan hukum dapat diberikan sejak saat ditangkap ataupun ditahan, hal ini diatur dalam Pasal 69 KUHAP. Ini berarti bahwa oleh karenanya hanya merupakan hak, mendapatkan bantuan hukum masih tergantung kepada kemauan tersangka atau terdakwa dalam arti dapat mempergunakan hak tersebut dan dapat juga tidak mempergunakan hak tersebut. Hubungan antara tersangka atau terdakwa dengan penasehat hukumnya adalah bebas dalam hal mengutarakan segala sesuatunya dalam rangka persiapan pembelaannya tanpa didengarkan oleh petugas.

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk memilih sendiri penasihat hukumnya.

g. Hak untuk wajib mendapatkan bantuan hukum yang ditunjuk oleh pejabat bagi yang diancam hukuman mati, atau lima belas tahun, atau bagi yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri dan dengan biaya Cuma-Cuma (Pasal 56).


(37)

h. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat 2).

i. Hak menghubungi dokter bagi yang ditahan (Pasal 58)

j. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau oran lain yang serumah (Pasal 59 dan 60).

k. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga, untuk kepentingan pekerjaan atau keluarga (Pasal 61).

l. Hak untuk berhubungan surat menyurat dengan penasihat hukumnya (Pasal 62).

m. Hak untuk menghubungi atau menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63).

n. Hak untuk mengajukan saksi dan ahli yang menguntungkan (a de charge) Pasal 65.

o. Hak untuk menempuh upaya hukum (Pasal 67). Yang dimaksud dengan upaya hukum adalah hak tersangka atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Upaya hukum tersebut dapat berupa banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam hal serta menurut cara-cara yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.

p. Hak untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68). Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian atas penangkapan atau penahanan yang secara melawan hukum telah dilakukan atas dirinya, apabila penangkapan, penahanan itu dilakukan untuk kepentingan atau tujuan yang tidak dapat


(38)

dipertanggungjawabkan menurut hukum, demikian juga terhadap penggeledahan, penyitaan yang tidak sah menurut hukum dan menimbulkan kerugian. Tuntutan ganti kerugian atau rehabilitasi dapat diajukan baik terhadap perkara yang telah diajukan ke pengadilan maupun yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Rehabilitasi diberikan dalam hal seseorang diputus dengan putusan bebas atau putusan yang berupa pelepasan dari segala tuntutan, dan putusan yang demikian itu telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

q. Hak untuk ingkar terhadap hakim yang mengadili (Pasal 27 (1) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman).

r. Hak keberatan atas penahanan atau jenis penahanan. (Pasal 18 & 19 KUHAP). Apabila seseorang dikenakan penangkapan atau penahanan yang dilakukan secara tidak sah, yaitu tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang maka tersangka atau tersakwa atau keluarganya atau pihak lain yang dikuasakan misalnya penasehat hukumnya dapat mengajukan Praperadilan.

s. Hak keberatan atas perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat 7).

2. Pengertian Penuntut Umum Dan Penuntutan

Sebelum berlakunya KUHAP, tidak dibedakan dengan tegas antara pengertian jaksa dan penuntut umum, seolah-lah kedua pengertian itu adalah sinonim. Tetapi sebenarnya meskipun jabatan jaksa dan penuntut umum diemban oleh personil yang sama namun dari segi fungsi dan kewenangannya berbeda satu


(39)

sama lain. Di Indonesia (jawa) dahulu dikenal Pejabat Negara yang disebut

Adhyaksa tetapi fungsinya sama dengan hakim.66

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 KUHAP yang dimaksud dengan jaksa dan Penuntut umum adalah:67

1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sesuai dengan pengertian diatas maka yang menjadi wewenang seorang jaka ialah untuk bertindak sebagai penuntut umum dan bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan

(eksekutor).

2. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini umtuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Dari perumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntut umum adalah Jaksa, tetapi sebaliknya jaksa belum tentu berarti penuntut umum atau dengan kata lain tidak semua jaksa adalah penuntut umum, tetapi semua penuntut umum adalah jaksa.

Melihat perumusan Undang-Undang tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian “Jaksa” adalah menyangkut jabatan, sedangkan “Penuntut umum” menyangkut fungsi.

Pengertian Penuntutan

Pengertian penuntutan dapat dibedakan atas 2 bagian yaitu:68

66

R. Tresna, Peradilan Di Indonesia Dari Abad ke Abad, W. Versluys NV, 1957, Hal 143.

67

Pasal I Angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

68

Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, Hal 54.


(40)

a. Pengertian secara gramatikal

Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, terbitan balai Pustaka cetakan kedua dikemukakan bahwa penuntutan berasal dari kata tuntut yang berarti meminta dengan keras ( setengah mengharuskan supaya dipenuhi), menagih, menggugat (untuk dijadikan perkara), membawa atau mengadu ke pengadilan, berusaha keras untuk mendapat (tujuan atas sesuatu), berusaha atau berdaya upaya mencapai (mendapat dan sebagainya) sesuatu (tujuan dan sebagainya).

b. Pengertian secara Yurudis

Dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan

Dengan menghubung-hubungkan Pasal 1 angka 7, Pasal 14 huruf e dan huruf g, dan Pasal 137 KUHAP, maka dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud penuntutan dalam arti luas adalah tindakan penuntut umum sejak ia melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang sampai diperiksa dan diputusnya perkara tersebut oleh hakim di sidang pengadilan. Jadi tindakan melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dengan permintaan agar hakim memeriksa dan memutuskan perkara tersebut, adalah bagian daripada proses penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum dalam suatu perkara.


(41)

Banyak masalah-masalah Praperadilan yang mendapat perhatian dari berbagai kalangan dalam masyarakat, terutama bagi para pencari keadilan dan para penegak hukum merupakan sendi yang utama untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi setiap orang atau juga sering disebut hak dan kewajiban warga Negara sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 Pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:69

Kita mengetahui bahwa salah satu asas yang terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak bersalah ( Presumption of innocence). Dan jelas-jelas telah diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang pokok Kehakiman No. 4 tahun 2004 yang berbunyi sebagai berikut bahwa:

“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

70

Berdasarkan asas praduga tak bersalah (Pressumption of innocence) maka jelas-jelas bahwa sewajarnyalah bila tersangka atau terdakwa dalam proses peardilan pidana wajib mendapatkan seluruh haknya. Ini berarti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan didepan “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, ditumtut dan atau dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada pututsan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

69

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Amandemennya, Penerbit Fokus Media, Cetakan Pertama, Bandung, 2004, Hal 18.

70

Undang-Undang Pokok Kehakiman No. 4 Tahun 2004, Perubahan Undang-Undang No.14 Tahun 1970, Penerbit Pustaka Pergaulan, Jakarta, 2004, op.cit, Hal 6.


(42)

pengadilan wajib dianggap tidak beralah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap .

Untuk menghindari kesewenang-wenangan para aparat penegak hukum terutama dalam menjungjung tinggi hak asasi dari setiap rakyat dan hukum Negara, maka kitab Undang-Undang hukum acara pidana kita telah menganut suatu lembaga baru yang dinamakan dengan Lembaga Praperadilan. Pada lembaga inilah tiap-tiap warga Negara pada umumnya dan para tersangka atau terdakwa pada khususnya serta pihak ketiga dapat mengadukan setiap pelanggaran atas hak-hak asasi kemanusiaannya apabila para penegak hukum keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Andi Hamzah, mengemukakan sebagai berikut: 71

M. Yahya harahap, mengemukakan pendapatnya:

“Praperadilan dapat dipandang sebagai suatu tiruan lembaga hakim komisaris (Rechter Commissaris) dinegeri Belanda dan juga d’instruction di Prancis, namun walaupun HAMper bersamaan tugas Praperadilan di Indonesia berbeda dengan hakim komisaris di Eropa itu. Tugas hakim komisaris dinegeri belanda lebih luas daripada Praperadilan di Indonesia”.

72

a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebgai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri. “Bila ditinjau dar segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan merupakan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana..Praperadilan meupakan lembaga baru yang mempunyai ciri dan eksistensi:

71

Andi Hamzah, op. cit Hal 188.

72

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Cemerlang, Jakarta, Cetakan Pertama, 2004, op.cit, Hal 1.


(43)

b. Dengan demikian, Praperadilan bukan berada diluar ata disampingmaupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri.

c. Administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri dan berada dibawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua Pengadilan Negeri.

d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri.

Praperadilan berdasarkan ketentuan KUHAP

Praperadilan dalam KUHAP ditempatkan secara khusus dalam Bab X bagian kesatu sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Dari berbagai penjelasan diatas pengertian Praperadilan itu dapat kita lihat dalam KUHAP Bab I yaitu dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 10 menyatakan bahwa:

“ Praperadilan dalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus memurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini , tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.


(44)

Dengan demikian Praperadilan merupakan bagian dari Pengadilan Negeri. Untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam peradilan pidana diperlukan adanya suatu pengawasan, yang dilaksanakan oleh hakim hal ini sejalan dengan tuntutan zaman yang menghendaki hakim mempunyai peran aktif dalam peradilan pidana. Demi tegaknya hukum dan keadilan diharapkan hakim dapat menjalankan tugas seadil-adilnya dan tidak memihak serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, terutama bagi mereka yang tersangkut dalam peradilan pidana.

Apabila penyidik dan penuntut umum dalam menjalankan tugasnya dibidang peradilan pidana telah melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penuntutan dan sebagainya dengan tidak menjungjung tinggi hukum dan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan serta kesusilaan berdasarkan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang , maka oleh Pengadilan mengambil tindakan seperti yang diatur didalam KUHAP:

Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa:

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang;

a. Sah atau tidaknya penagkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Sebab-sebab dilaksanakannnya Praperadilan didasarkan atas: Pasal 79 KUHAP :

“ Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebitkan alasannya”.

Pasal 80 KUHAP:

“permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut


(45)

umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”.

Pasal 81 KUHAP:

“ permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan aatau akibat sahnya pehentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebur alasannya”.

Praperadilan lahir sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 14 tahun 1970, sekarang telah direvisi menjadi Undang-Undang No. 4 tahun 2004, dimana Undang-Undang ini menganut asas “ Praduga tidak bersalah” , yang pada intinya menganjurkan bahwa seseprang dianggap tidak bersalah sebelum ada suatu putusan hakim yang berkekuatan tetap yang menyatakan kesalahannya.73

Tegasnya Praperadilan dilahirkan dengan misi dan tujuan untuk menegakkan hukum dan memberikan perlindungan terhadap tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Dengan kata lain, tujuan Praperadilan adalah untuk menempatkan pelaksanaan hukum pada proporsi yang sebenarnya demi terlindunginya hak azasi manusia.

Dari azas yang dianut maka lahirlah Praperadilan sebagai pengawasan horizontal oleh hakim Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan tugas penyidik dan penuntut umum, terutama menyangkut upaya paksa.

74

73

S. Tanusubroto. Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana. Penerbit Alumni, Bandung, 1983.

74

Ratna Sari, Penyidikan dan Penuntutan dalam Hukum Acara Pidana, Penerbit Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 1995, Hal 73.

Fungsi kontrol yang menjadi bagian wewenang Pengadilan Negeri atas Praperadilan akan mengkaji ulang , apakah tindakan atau peristiwa yang telah dilakukan pejabat penegak hukum itu telah sesuai dan proporsional, dalam kaitan tindakan atau peristiwa hukum yang telah ditempuh oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang telah sesuai dengan prosedur menurut ketentuan Perundang-Undangan ataukah tidak.


(46)

G. Metode Penelitian

Metode diartikan sebagi suatu jalan atau cara untuk mencapai sesuatu. Sebagaimana tentang tatacara penelitian harus dilakukan, maka metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis mencakup antara lain:

1. Jenis penelitian/ Spesifikasi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian Hukum Normatif dan metode penelitian Hukum Sosiologis.dalam hal penelitian Hukum Normatif,penulis melakukan penelitian terhadap peraturan Perundang-Undangan, asas-asas hukum, sejarah hukum dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul dari skripsi ini yaitu “Implementasi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Studi Kasus Perkara Soeharto Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) sedangkan pendekatan secara sosiologis yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengenai Kasus Perkara Soeharto dengan melihat akibat-akibat yang ditimbulkannya di kalangan masyarakat.

2. Metode Pendekatan

Untuk penyelesaian penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis atau social-legal approach dalam hal ini karena permasalahan yang diteliti adalah mengenai hubungan faktor sosiologis dengan faktor yuridis serta bagaimna implementasinya dalam dunia peradilan. Yang menjadi faktor sosiologis dalam skripsi ini adalah mengenai akibat-akibat yang ditimbulkan dimasyarakat atau reaksi dari


(47)

masyarkat dari penerbitan SKP3 dengan melakukan penelitian terhadap data-dat yang didapat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sedangkan faktor yuridisnya adalah mengenai mekanisme hukum atau Peraturan Perundang-Undangan dan prosedur hukum yang mengatur penerbitan SKP3 bagaimana akibat hukumnya serta implementasinya dalam Proses Peradila.

3. Lokasi Penelitian.

Penelitian ini dilakukan di Kota Jakarta Selatan tepatnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam hal ini terdapat Kasus Perkara Soeharto dengan Praperadilan dan banding atas penghentian penuntutan dugaan kasus korupsi di 7 yayasan.

4. Alat Pengumpulan Data.

Dalam penulisan skripsi ini pengumpulan data-data yang diperlukan ditempuh melalui cara sebagai berikut:

1) Library research (Penelitian Kepustakaan), yaitu dengan melakukan

penelitian terhadap berbagai literature-literatur untuk memperoleh bahanteoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Adapaun tujuanpenelitian kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan Perundang-Undangan, buku-buku, majalah, pendapat para sarjana, surat kabar, artikel dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.

2) Field research (Penelitian Lapangan ) , yaitu dengan melakukan


(48)

mengadakan penelitian ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan tujuan untuk mendapatkan data-data yang berkaitan dengan Kasus Perkara Soeharto.

H. Sistematika Penulisan

Dengan maksud memudahkan dalam menelaah penulisan skripsi yang berjudul: “Implementasi Surat ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana (SKPPP/SKP3) (Studi Kasus Perkara Soeharto Di Pengadilan negeri Jakarta Selatan), maka penulis terlebih dahulu menguraikan sistematika yang merupakan gambaran isi dari skripsi ini yaitu sebagai berikut :

I. Pendahuluan

Dalam bab ini penulis pertama-tama menguraikan tentang Latar Belakang; kemudian Perumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Keaslian Penulisan; Tinjauan Kepustakaan; yang meliputi KUHAP Sebagai Hukum nasional yang membahas tentang Asas-Asas Hukum dalam KUHAP dan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP, kemudian pengertian penuntut umum dan penuntutan, pengertian Praperadilan selanjutnya Metode Penelitian dan Sistematika penulisan .

II. Peraturan Perundang-Undangan, Alasan Dan Prosedur Hukum Pengeluaran Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3)

Pada bab ini penulis menguraikan tentang wewenag Penuntut Umum dan hubungan penyidik dengan Penuntut Umum kemudian Pengaturan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) menurut KUHAP yaitu yang membahas mengenai penghentian penuntutan, dan penyampingan


(49)

perkara demi kepentingan hukum, selanjutnya Pengaturan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara (SKPPP/SKP3) menurut KUHP yaitu yang membahas dasar peniadaan penuntutan dan hapusnya hak menuntut.

III. Akibat atau Kekuatan Hukum dari Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3).

Pada bab ini penulis menguraikan tentang Akibat ditinjau dari dari sudut juridis, akibat ditinjau dari sudut sosiologis, kemudian akibat terhadap status hukum terdakwa, benda sitaan, barang bukti dan terhadap kerugian Negara serta Pihak Ketiga.

IV. Implementasi Upaya Hukum Praperadilan dan Banding terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKPPP/SKP3)

Dalam bab ini Penulis menguraikan tentang Wewenang hakim dan Pihak- ketiga dalam upaya Praperadilan atas penerbitan SKP3 berdasarkan KUHAP, latar belakang dan alasan hukum penghentian penuntutan perkara Soeharto oleh Kejaksaan Agung Cq. Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, kemudian prosedur dan pelaksanaan Praperadilan atas penghentian penuntutan perkara pidana (SKPPP/SKP3), alasan tidak sahnya menurut hukum dan akibat juridisnya SKPPP/SKP3 Soeharto setelah adanya putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemudian dasar hukum dan alasan-alasan diterimanya permintaan banding dari termohon yang membatalkan putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas SKPPP/SKP3 Soeharto dan konsekuensi yuridis dari putusan pengadilan tingkat banding (PT DKI Jakarta) terhadap SKPPP/SKP3 Soeharto


(50)

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang masalah yang timbul dalam kasus mulai dari latar belakang dibuatnya dakwaan sampai pada Praperadilan di tingkat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan sampai pada status perkaranya terakhir, kemudian membahas dan menganalisa permasalahan pada kasus penghentian Penuntutan perkara Soeharto.

VI. Kesimpulan dan Saran-saran

Penulisan skripsi ini penulis akhiri dengan menyimpulkan butir-butir yang dianggap penting, kemudian penulis memberikan beberapa saran sehubungan dengan pembahasan yang telah dilakukan, semoga kiranya dapat berguna bagi yang berkepentingan.

Demikianlah sitematika penulisan skripsi ini yang memberikan suatu batasan dalam ruang lingkup pembahasannya.


(51)

44

PROSEDUR HUKUM PENGELUARAN SURAT KETETAPAN

PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA (SKPPP)

A. Wewenang Penuntut Umum dan Hubungan Penyidik dengan Penuntut Umum

Dengan sistem peradilan perkara pidana terpadu meskipun fungsi dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum terdapat pembedaan fungsi dan wewenang secara tegas, tapi hal itu bukanlah merupakan pemisahan fungsi dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum itu. Meskipun fungsi dan wewenang mereka masing-masing dipisahkan secara tegas, tetapi mereka tetap terikat pada hubungan instansional dan fungsional yang saling koordinasi dan saling mengawasi.

Dalam hubungannya dengan sistem peradilan perkara pidana terpadu tersebut, untuk menangani hasil-hasil penyidikan yang telah dilaksanakan oleh penyidik maka pada tahap penuntutan kepada penuntut umum diberikan wewenang penanganan lebih lanjut atas hasil penyidikan tersebut

Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 KUHAP, Penuntut umum mempunyai wewenang:37

1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik

Menurut sistem penyerahan berkas perkara yang diatur dalam KUHAP sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3), Pasal 110 dan Pasal 138, mengenal sistem penyerahan berkas perkara dalam dua tahap.

37


(52)

Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan:

a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara

b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

Menurut Pasal 110 KUHAP dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan , penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi, dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum, sementara penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik seperti diatur dalam Pasal 138, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan ( Pasal 139 KUHAP)

3. Memberikan penahanan, perpanjangan penahanan, dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik


(1)

1.1 Diangkatnya kasus penghentian Perkara Korupsi Soeharto merupakan suatu jalan didalam membuka wacana dan membenahi tentang mekanisme hukum yang mengatur penghentian penuntutan dan didalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana Korupsi lainnya sehingga nantinya dapat terwujud suatu keadaan pemerintahan Negara yang bersih dan bebas dari KKN sesuai dengan amanat yang dituangkan di dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi dan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sehingga dalam hal Perkara Tindak Pidana yang penyelesaiannya menggantung maka Keadaan Afasia Nonfluent Campuran yang mengahambat komunikasi secara verbal dan tulisan merupakan alasan Penghentian Penuntutan Perkara Pidana sehingga untuk mengembalikan kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana sebaiknya dilakukan melalui gugatan perdata.

2. Dengan dihentikannya penuntutan terhadap suatu perkara maka akan menimbulkan akibat hukum baik dari juridis, sosiologis mapun terhadap terdakwa serta terhadap kerugian Negara dan pihak ketiga maka kepastian hukumnya harus segera diberikan sehingga perkara tidak menggantug oleh karena itu pengadilan yang memeriksa dan pihak Kejaksaan yang memeriksa dan menangani perkara perlulah memberikan batas waktu atau limitated untuk dapat dituntut kembali apabila ditemukan alasan atau bukti-bukti baru.


(2)

3. Adanya upaya hukum Praperadilan sampai ketingkat banding maka Majelis Hakim yang memeriksa ditingkat Pengadilan Negeri haruslah benar-benar memeriksa dan memutus permohonan praperadilan tersebut sehingga ada keputusan yang menunjukkan adanya kebenaran materil dan formil. Dan terhadap suatu perkara yang dilanjutkan penuntutannya maka kepada Termohon haruslah betul-betul dengan segala daya upaya mengumpulkan fakta-fakta, bukti-bukti serta mendatangkan saksi-saksi yang netral dan saksi ahli sehingga penyelesaian perkara dapat diselesaikan dan Majelis hakim tingkat banding didalam memutus keberatan praperadilan haruslah benar-benar demi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan tetap bersarkan pancasila sebagai sumber dari segala hukum.

3.1 Dalam rangkaian Kasus Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi Soeharto ini sehingga sahnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Yang diterbitkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan setelah diputus oleh Majelis Hakim Tingkat Banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan menggunakan alasan Perkara ditutup demi hukum maka menurut Penulis penggunaan istilah Perkara ditutup demi hukum kurang tepat karena penghentian penuntutan dengan alasan Perkara ditutup demi hukum sebenarnya tidak mempunyai kemungkinan untuk dapat dibuka dan dilanjutkan kembali karena alasan demi hukum tetapi seharusnya dengan menggunakan istilah Penghentian Penuntutan Karena Kepentingan Hukum atau Dihentikan Penuntutannya Demi Kepentingan Hukum. Pihak aparat penegak hukum hendaknya lebih memahami akan


(3)

asas “ Lex specialis de rogat lex generalis” dalam rangka penerapan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara Pidana Korupsi bukan malah sebaliknya menutup jalan terhadap upaya penerapan UU No.21/2001 dengan menggunakan Pasal-Pasal yang terdapat dalam KUHP, sehingga sebaiknya tetap menerapkan Pasal-Pasal dalam KUHP dan UU No. 21 Tahun 2001. dalam rangkaian kasus ini menurut saya hakim bersifat netral di dalam memberikan keputusan baik pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan tetap berpegang teguh pada keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan alasan kemanusiaan dan untuk kasus-kasus lainnya hakim harus tetap berpegang teguh pada sifat kenetralannya sehingga rasa keadilan itu dapat mencerminkan rasa keailan bagi bangsa dan Negara sehingga Perkara Korupsi Soeharto walapun dalam bidang pidana belum dapat di selesaikan maka kepada Kejaksaan Agung dan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta selatan segera menyelesaikan Kasus Korupsi Yang dilakukan oleh Soeharto melalui Jalur Perdata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 38 C Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sehingga pengembalian keuangan Negara atau harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana Korupsi dapat dikembalikan kembali.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, A. Z, Sejarah Dan Perkembangan Asas Oportunitas Di Indonesia, Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi), Sinar Grafika,

Jakarta, 2005.

Hamid, H. Hamurat, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan Dan Penuntutan (dalam bentuk Tanya jawab), 1991.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993.

---, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (bagian penyidikan dan penuntutan) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

---, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (pemeriksaan sidang pengadilan, banding kasasi, dan peninjauan kembali) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

---, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (pemeriksaan sidang pengadilan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali, Penerbit Cemerlang, Jakarta, 2004.

Husein, Harun M, Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Kaligis, O.C., Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, P.T. Alumni, Bandung, 2006.

Kuffal, H.M.A., Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2004.

Makarao, Mohammad Taufik & Suhasril, Hukum Acara Pidana (dalam teori dan praktek), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.

Purbacaraka, Purnadi & Halim, Ridwan, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Rajawali, 1982.

Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1997.


(5)

Salam, Moch Faisal, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001.

Sari, Ratna, Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Hukum Acara Pidana, Penerbit Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1995.

Saleh, Ruslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Piadana, Penerbit Aksara Baru, 1981.

Simanjuntak. Osman, Teknik Penuntutan Dan Upaya Hukum, P.T. Gramedia Widia Sarana Indonesia, Jakarta, 1995.

Sudjono, Sukarton Marno, Pengakuan Hukum Di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, Jakarta, 1989.

Salinan Putusan Permohonan Praperadilan Dari Para Pemohon.

Salinan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Atas Permohonan Praperadilan Terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi Soeharto. (SKPPP Soeharto).

Salinan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Atas Permohonan Banding Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara Korupsi Soeharto (SKPPP Soeharto

Tanusubroto, S, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.

Tresna, R, Peradilan Di Indonesia Dari Abad Ke Abad, W. Versluys NV, 1957. Usfa, A. Fuad & Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Penerbit UMM Press,

Malang, 2004.

Wiyono, R, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Lase, Yunus, Peranan Hakim Dalam melaksanakan Praperadilan Terhadap Penghentian Penyidikan Kasus Korupsi, Kolusi, Nepotisme Bupati Nias, Fakultas Hukum USU, Medan, 2005.

Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945 Dan Amandemennya, Penerbit Fokusmedia, Bandung, 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi Aksara, Jakarta, 2001.


(6)

Undang-Undang N0. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Penerbit Karya Anda, Surabaya.

Undang- undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Sebagai Perubahan dari Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang N0. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Undang-Undang No. 14 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Agung.

Media Massa

Hidayat, Gunadi, Rehabilitasi Buat Pemimpin Bangsa, Majalah Gatra, Jakarta 2006.

Harian Kompas, Presiden Mestinya Tegas Soal Soeharto dan Jaksa Agung Pelajari Jalur Perdata, Senin, 15 Mei 2006.

---, KPK Minta Soeharto Tetap Diproses Hukum, Rabu, 17 Mei 2006.

---, Soeharto Lemah Pro Kontra Berlanjut, Kamis, 18 Mei 2006. ---, Soeharto Akan Digugat Kejaksaan Mulai Mengumpulkan

Aset, Sabtu, 20 Mei 2006.

---, Hakim Tunggal Pimpin Sidang Praperadilan Soehart, Selasa, 30 Mei 2006.

Internet

http://www.wikipedia.org/wiki/kasus dugaan korupsi Soeharto.