Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Cagar Budaya di Kota Salatiga T2 322013008 BAB II

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1.

Negara Hukum Indonesia
Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut diatur
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Negara Indonesia menganut desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahannya.1 Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaraan
urusan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum yang berlaku
(wetmatigheid van bestuur). Desentralisasi dimaknai bahwa urusan
pemerintahan yang ada terdiri atas urusan pemerintahan pusat dan
urusan pemerintahan daerah. Dengan demikian, terdapat perangkat
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang masing-masing diberi
otonomi, yaitu kebebasan dan kemandirian untuk mengatur dan
mengurus urusan rumah tangga daerah.
Mengacu pada rumusan tujuan negara yang tercantum dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945 khususnya dalam uraian
“memajukan kesejahteraan umum”, kemudian muncul pandangan
bahwa Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (welfare

state).2 Menurut Hamid S.Attamimi,3 negara Indonesia memang sejak
didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai negara yang berdasar
atas hukum atau rechtsstaat. Hal tersebut senada dengan pendapat

1

Diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang.”
2
Pandangan tersebut dikemukakan oleh Azhary dan Hamid S.Attamimi.
3
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Rajawali Pers, 2014, Ed.Revisi), hlm. 18

22

Philipus M. Hadjon bahwa ide dasar negara hukum Indonesia
tidaklah terlepas dari ide dasar tentang rechtsstaat.4
Burkens, et al., mengemukakan pengertian rechtsstaat secara

sederhana seperti yang telah dikutip Hamid S.Attamimi, yaitu negara
yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya
dilakukan di bawah kekuasaan hukum.5 Dengan kata lain, kekuasaan
pemerintahan dalam suatu negara bersumber pada hukum dan
sebaliknya untuk melaksanakan hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan suatu negara harus berdasarkan kekuasaan. Dalam
rechtsstaat fungsi peraturan perundang-undangan bukan hanya
memberi bentuk kepada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku
dan hidup dalam masyarakat, dan undang-undang bukan hanya
sekedar produk fungsi negara di bidang pengaturan.
A. Hamid S Attamimi berpendapat bahwa pengaturan
perundang-undangan adalah salah satu metode dan instrumen ampuh
yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan
masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.6 Adapun syarat-syarat
dasar rechtsstaat7 yang dikemukakan oleh Brukens, et al., yang
dikutip oleh Philipus M. Hadjon antara lain:
1. Asas

legalitas:


setiap

tindak

pemerintahan

harus

didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan
(wetterlike grondslag). Dengan landasan ini, undangundang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan

4

Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan pada Pemerintahan Daerah.
(Yogyakarta: UII Press), hlm.15.
5
Ibid., hlm.15.
6
Ibid., hlm. 17.

7
Ibid., hlm. 17-18.

23

tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini
pembentuk undang-undang merupakan bagian penting
negara hukum;
2. Pembagian kekuasaan: syarat ini mengandung makna
bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu
pada satu tangan;
3. Hak-hak dasar (grondrechten): hak-hak dasar merupakan
sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus
membatasi kekuasaan pembentukan undang-undang;
4. Pengawasan pengadilan: bagi rakyat tersedia saluran
melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan
tindak pemerintahan (rechmatigheids toetsing).
Negara hukum pada prinsipnya mengandung unsur-unsur
yang bersifat universal, yaitu:8
1. Pemerintah dilakukan berdasarkan undang-undang (asas

legalitas) di mana kekuasaan dan wewenang yang
dimiliki pemerintah hanya semata-mata ditentukan oleh
undang-undang dasar atau undang-undang;
2. Dalam negara itu hak-hak dasar manusia diakui dan
dihormati oleh penguasa yang bersangkutan;
3. Kekuasaan pemerintah dalam negara itu tidak dipusatkan
dalam satu tangan, tetapi harus diberi kepada lembagalembaga kenegaraan di mana yang satu melakukan
pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu
keseimbangan

kekuasaan

kenegaraan tersebut;

8

Ibid., hlm.20.

24


antara

lembaga-lembaga

4. Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh aparatur
kekuasaan

pemerintah

dimungkinkan

untuk

dapat

diajukan kepada pengadilan yang tidak memihak yang
diberi wewenang menilai apakah perbuatan pemerintahan
tersebut bersifat melawan hukum atau tidak.
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
sebagaimana yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 dan

dipertegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI
1945:9
1. Negara Indonesia adalah negara hukum;
2. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat),
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat);
3. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum
dasar), tidak berdasarkan absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas).
Hukum dapat dikatakan sebagai instrumen utama dalam
penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Sebagai negara hukum,
menurut Philipus M. Hadjon, Indonesia memiliki karakteristik
tersendiri yang disebut sebagai “Negara Hukum Pancasila” yang
bercirikan:10
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
berdasarkan atas kerukunan;
2. Hubungan

fungsional

yang


proporsional

antara

kekuasaan-kekuasaan negara;
3. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah
dan peradilan merupakan sarana terakhir;
9

Ibid., hlm.21.
Ibid., hlm.21.

10

25

4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Adapun pengertian dari hukum (law) menurut Black’s Law
Dictionary adalah “Law. That which is laid down, ordained, or

established. A rule or method according to which phenomena or
actions co-exist or follow each other. That which must be obeyed and
followed by citizens, subject to sanctions or legal consequences, is a
‘law’.” [Hukum adalah sesuatu yang telah diletakkan, ditahbiskan,
atau didirikan. Sebuah aturan atau metode menurut fenomena atau
tindakan hidup secara berdampingan atau mengikuti satu sama lain.
Sesuatu yang harus ditaati dan diikuti oleh warga negara, yang di
dalamnya juga terdapat sanksi atau konsekuensi hukum, itulah yang
disebut "hukum"].
1.2.

Konsepsi Perlindungan Hukum
Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak terjadi hubunganhubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakantindakan dari subyek hukum. Subyek hukum sebagai pemikul hakhak dan kewajiban-kewajiban tentu dapat melakukan tindakantindakan hukum berdasarkan kemampuan atau kewenangan yang
dimiliki. Guna terwujudnya hubungan hukum yang harmonis,
seimbang, dan adil, maka hukum tampil sebagai aturan main dalam
mengatur hubungan hukum yang ada. Dengan kata lain, hukum
diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hakhak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum serta sebagai instrumen
perlindungan bagi subyek hukum.

26


Hukum diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi
warga negara. Menurut F.H. van Der Burg dan kawan-kawan11,
kemungkinan untuk memberikan perlindungan hukum adalah penting
ketika pemerintah bermaksud untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu terhadap sesuatu, yang oleh karena tindakan atau
kelalaiannya itu melanggar (hak) orang-orang atau kelompok
tertentu. Perlindungan hukum bagi rakyat12 merupakan konsep
universal, dalam arti dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang
mengedepankan prinsip negara hukum.
Terdapat

dua

(2)

jenis

perlindungan


hukum,

yaitu

perlindungan hukum secara preventif dan perlindungan hukum secara
represif13. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa. Dengan adanya peraturan
perundang-undangan

dimaksudkan

dapat

mencegah

suatu

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan
dalam melakukan suatu kewajiban. Sedangkan perlindungan hukum
yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Dengan kata
lain merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda,
penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi
sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Berikut adalah pendapat para ahli hukum terkait definisi
perlindungan hukum:
11

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. (Yogyakarta: UII Press, 2003, Cet.kedua), hlm.
211.
12
Ibid.,hlm.211.
13
Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, op.cit., hlm.2.

27

1. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah
tindakan memberikan pengayoman kepada hak asasi
manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan
tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum;14
2. Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah
perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan
terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh
subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari
kesewenangan atau dengan kata lain sebagai kumpulan
peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu
hal dari hal lainnya.15 Terdapat dua sarana perlindungan
hukum, yaitu perlindungan hukum secara preventif dan
perlindungan hukum secara represif.
3. Menurut CST Kansil, perlindungan hukum adalah
berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat
penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik
secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai
ancaman dari pihak manapun.16
4. Menurut Muktie A. Fadjar, perlindungan hukum adalah
penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya
perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang
diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak
dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia
sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama
14

http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ diunduh
pada tanggal 25 Oktober 2015, pukul 17.26WIB.
15
Ibid.
16
Ibid.

28

manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum
manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan
suatu tindakan hukum.17
5. Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan
atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan
sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai
dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk
menikmati martabatnya sebagai manusia.18
6. Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan
kegiatan untuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan
nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap
dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam
pergaulan hidup antar sesama manusia.19
7. Menurut Black’s Law Dictionary, perlindungan hukum
adalah kondisi dimana orang-orang berada dalam
yurisdiksi yang sama dalam satu persyaratan konstitusi
yang sama, yang di dalamnya pengadilan terbuka untuk
semua kondisi yang sama, baik aturan, prosedur, untuk
kepentingan keamanan masing-masing orang dan hak
kepemilikannya, upaya pencegahan dan penebusan
kesalahan, serta mengenai pelaksanaan kontrak. Kondisi
dimana orang-orang tidak dibatasi haknya, berhak
17

Ibid.
Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta; Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana
Universitas
Sebelas
Maret,
2004)
hal.
3.
dalam
repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/28784/4/Chapter%20I.pdf diunduh pada
tanggal 25 Oktober 2015, pukul 17.38WIB.
19
Ibid.
18

29

menikmati kebebasan individu dan berhak memperoleh
kebahagiaan, tidak membebani atau merugikan orang
lain.

Sementara

jika

terjadi

pelanggaran

akan

diberlakukan hukuman berdasarkan peraturan yang
berlaku. Dengan kata lain, perlindungan hukum yang
sama (setara) berarti bahwa diberikannya perlindungan
dan jaminan keamanan yang sama pada semua orang
dalam seluruh aspek kehidupannya, guna memperoleh
kesejahteraan, kebahagiaan, serta hak-hak yang sama
dalam keadaan masing-masing.
[Equal Protection of the Laws. The equal protection of the laws of a
state is extended to persons within its jurisdiction, within the meaning
of the constitutional requirement, when its courts are open to them on
the same conditions as to others, with like rules of evidence and
modes of procedure, for the security of their persons and property,
the prevention and redress of wrongs, and the enforcement of
contracts; when they are subjected to no restrictions in the
acquisition of property, the -enjoyment of personal liberty, and the
pursuit -of happiness, which do not generally affect others; when they
are liable to no other or greater burdens and charges than such as
are laid upon others; and when no different or greater punishment is
enforced against them for a violation of the laws. "Equal protection
of the law" means that equal protection and security shall be given to
all under like circumstances in his life, his liberty, and his property,
and in the pursuit of happiness, and in the exemption from any
greater burdens and charges than are equally imposed upon all
others under like circumstances.]

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas tentang definisi
perlindungan

hukum,

maka

dapat

peneliti

maknai

bahwa

perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pengakuan hak asasi
manusia yang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, dimana
30

hak dan kewajiban individu harus terpenuhi secara adil untuk
menciptakan rasa aman, sejahtera, dan bahagia baik lahir maupun
batin. Sementara jika terjadi pelanggaran di dalam prakteknya akan
dikenakan sanksi atau hukuman sesuai aturan hukum yang berlaku.
Prinsip perlindungan hukum bersumber dari konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Usaha
untuk mengkonversikan hak-hak individu yang sifatnya kodrat
menjadi hak-hak hukum (from natural human rights into positive
legal rights) terealisasi dengan dirumuskannya standar universal
tentang hak-hak asasi manusia dalam deklarasi “The Universal
Declaration of Human Rights”20, yang juga mencakup hak-hak sosial
ekonomi, hak untuk mendapat sesuatu, serta hak-hak kultural.
Sebagaimana rumusan UUD 1945 yang mengandung pikiran
asli tentang hak-hak asasi manusia, di mana pikiran tersebut
didasarkan pada latar belakang tradisi budaya kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam riwayat perumusannya dan penempatan sila-silanya
di dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila merupakan dasar negara
dalam arti ideologi dan filsafat hidup, yang dengan kata lain
Pancasila adalah ideologi negara atau falsafah hidup negara yang
dengan sendirinya menjadi pedoman tingkah laku hidup kenegaraan
dan hidup bernegara.21
Sementara itu jika memperhatikan UU Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya, perlindungan terhadap eksistensi cagar
budaya dipahami sebagai upaya mencegah dan menanggulangi dari
kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan,
pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran cagar budaya.
20
21

Ibid., hlm.45
Ibid., hlm.63

31

Pengertian tersebut senada dengan konsep perlindungan yang
terdapat dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2015
tentang Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya Daerah.
Dengan demikian, konsep perlindungan cagar budaya yang
dapat dipahami dalam penelitian ini adalah mengarah pada upayaupaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan
eksistensi cagar budaya dengan beberapa cara yang tujuannya adalah
supaya cagar budaya yang ada berada dalam kondisi aman (tidak
terganggu), lestari (terjaga dan terjamin), dan berkelanjutan, sehingga
keberadaannya dapat dinikmati dan dilindungi oleh semua generasi.
Adapun upaya-upaya perlindungan yang dilakukan adalah dengan
memberikan jaminan perlindungan hukum yang di dalamnya memuat
aturan dan sanksi. Selain itu, adanya kelembagaan yang diberikan
wewenang secara khusus untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
berkaitan dengan cagar budaya. Upaya lain yang penting untuk
dilakukan adalah upaya

preventif berupa tahapan registrasi

(pendaftaran) cagar budaya agar statusnya jelas dan sah secara
hukum.
1.3.

Ruang Lingkup Perlindungan Hukum terhadap Cagar Budaya
Mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, sangat penting untuk dipahami beberapa pengertian berikut
ini:
a. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan
berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,
Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan
Kawasan Cagar Budaya di darat dan/ atau di air yang
32

perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan,
agama, dan/ atau kebudayaan melalui proses penetapan;
b. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/ atau benda
buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak,
berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya,
atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan
kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia;
c. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang
terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/ atau tidak
berdinding, dan beratap;
d. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang
terbuat dari benda alam dan/ atau benda buatan manusia
untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu
dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung
kebutuhan manusia;
e. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat
dan/ atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya,
Bangunan Cagar Budaya, dan/ atau Struktur Cagar
Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti
kejadian pada masa lalu;
f. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis
yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang
letaknya berdekatan dan/ atau memperlihatkan ciri tata
ruang yang khas.

33

Sementara itu, upaya-upaya pelestarian yang dapat dilakukan
terhadap cagar budaya antara lain:22
a. Preservasi : pelestarian suatu benda, bangunan, situs, dan
kawasan cagar budaya dengan cara mempertahankan
keadaan aslinya tanpa ada perubahan, termasuk upaya
mencegah penghancuran.
b. Restorasi

:

serangkaian

kegiatan

yang

bertujuan

mengembalikan keaslian bentuk bangunan cagar budaya
dan

struktur

cagar

budaya

yang

dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
c. Rekonstruksi : upaya mengembalikan bangunan cagar
budaya dan struktur cagar budaya sebatas kondisi yang
diketahui dengan tetap mengutamakan prinsip keaslian
bahan, teknik pengerjaan, dan tata letak, termasuk dalam
menggunakan bahan baru sebagai pengganti bahan asli.
d. Revitalisasi : kegiatan pengembangan yang ditujukan
untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting cagar
budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak
bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya
masyarakat.
e. Adaptasi : upaya pengembangan cagar budaya untuk
kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini
dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan
mengakibatkan

kemerosotan

nilai

pentingnya

atau

kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.

22

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan
dan Pelestarian Cagar Budaya Daerah

34

f. Demolisi : upaya pembongkaran atau perombakan suatu
bangunan cagar budaya yang sudah dianggap rusak dan
membahayakan

dengan

pertimbangan

dari

aspek

keselamatan dan keamanan dengan melalui penelitian
terlebih dahulu dengan dokumentasi yang lengkap.
g. Pemugaran : upaya pengembalian kondisi fisik benda
cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan struktur cagar
budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk,
tata

letak,

dan/atau

teknik

pengerjaan

untuk

memperpanjang usianya.
Pada penelitian ini peneliti akan lebih berfokus pada obyek
penelitian berupa bangunan bersejarah yang ada di Kota Salatiga.
Namun demikian penting untuk dipahami bahwa pendayagunaan
cagar budaya adalah untuk kepentingan kesejahteraan rakyat yaitu
dengan tetap mempertahankan kelestarian cagar budaya itu sendiri,
baik yang berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya,
struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya.
Berdasarkan

kajian

dan

identifikasi

yang

dilakukan

BAPPEDA bersama dengan BPCB Jawa Tengah, Kota Salatiga
tercatat memiliki setidaknya 144 obyek bangunan bersejarah yang
diidentifikasi sebagai bangunan cagar budaya. Dalam kenyataannya,
sejumlah bangunan bersejarah yang ada dalam kondisi yang masih
terawat dengan baik, dalam kondisi alih fungsi, dan bahkan ada yang
mangkrak tidak terawat. Berdasarkan kondisi tersebut dan mengacu
dari UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, setidaknya
harus ada beberapa upaya atau tindakan yang ditempuh, yaitu
pengelolaan, pelestarian, dan perlindungan (mencakup penyelamatan,
pengamanan, pemeliharaan, pengembangan, serta pemugaran).
35

Adapun penjelasan dari masing-masing tindakan tersebut menurut
UU Nomor 11 Tahun 2010, yaitu:
a. Pengelolaan

adalah

upaya

terpadu

untuk

melindungi,

mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui
kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat;
b. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan
keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkannya;
c. Perlindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari
kerusakan,

kehancuran,

penyelamatan,

atau

pengamanan,

kemusnahan
zonasi,

dengan

cara

pemeliharaan,

dan

pemugaran.
c.1. Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau
menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran,
atau kemusnahan.
c.2. Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar
Budaya dari ancaman dan/ atau gangguan.
c.3. Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan situs Cagar
Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan
kebutuhan.
c.4. Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar
kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari.
c.5. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda
Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan Struktur
Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan,
bentuk, tata letak, dan/ atau teknik pengerjaan untuk
memperpanjang usianya.
36

Cagar Budaya penting untuk dijaga dan dilestarikan
keberadaannya oleh karena merupakan warisan budaya bangsa yang
dapat memperkuat kepribadian bangsa. Oleh karena itu, peran serta
dan dukungan masyarakat juga diperlukan untuk upaya pelestarian
dan perlindungan cagar budaya. Pasal 63, UU Nomor 11 Tahun 2010
tentang Cagar Budaya menegaskan bahwa masyarakat dapat berperan
serta melakukan pengamanan cagar budaya. Selain itu ditegaskan
juga bahwa setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/
atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya
pelestarian cagar budaya yang dimiliki dan/ atau yang dikuasai dan
setiap orang dapat berperan serta melakukan perlindungan cagar
budaya, beserta pengawasan pelestarian cagar budaya yang ada. Pasal
75 UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya secara tegas
juga menyatakan bahwa setiap orang wajib memelihara cagar budaya
yang dimiliki dan/ atau dikuasainya. Sementara cagar budaya yang
ditelantarkan oleh pemilik dan/ atau yang menguasainya dapat
dikuasai oleh Negara.
Adapun tugas dan wewenang pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah terhadap eksistensi cagar budaya, secara jelas tertuang dalam
Bab VIII, UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yaitu:
Tugas :
1. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempunyai tugas
melakukan

perlindungan,

pengembangan,

dan

pemanfaatan cagar budaya
2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
tingkatannya mempunyai tugas :
a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan
37

hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan
cagar budaya;
b. Mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang
dapat menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya
cagar budaya;
c. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan
cagar budaya;
d. Menyediakan

informasi

cagar

budaya

untuk

masyarakat;
e. Menyelenggarakan promosi cagar budaya;
f. Memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan
pemanfaatan dan promosi cagar budaya;
g. Menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam
keadaan darurat untuk benda, bangunan, struktur,
situs, dan kawasan yang telah dinyatakan sebagai
cagar budaya serta memberikan dukungan terhadap
daerah yang mengalami bencana;
h. Melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi
terhadap pelestarian warisan budaya; dan
i. Mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian
cagar budaya
Wewenang :
a. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
tingkatannya mempunyai wewenang:
a. Menetapkan etika pelestarian cagar budaya;
b. Mengoordinasikan pelestarian cagar budaya secara
lintas sektor dan wilayah;
c. Menghimpun data cagar budaya;
38

d. Menetapkan peringkat cagar budaya;
e. Menetapkan dan mencabut status cagar budaya;
f. Membuat peraturan pengelolaan cagar budaya;
g. Menyelenggarakan kerja sama pelestarian cagar
budaya;
h. Melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;
i. Mengelola kawasan cagar budaya;
j. Mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis
bidang pelestarian, penelitian, dan museum;
k. Mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di
bidang kepurbakalaan;
l. Memberikan penghargaan kepada setiap orang yang
telah melakukan pelestarian cagar budaya;
m. Memindahkan dan/atau menyimpan cagar budaya
untuk kepentingan pengamanan;
n. Melakukan pengelompokan cagar budaya berdasarkan
kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat
provinsi, dan peringkat kabupaten/ kota;
o. Menetapkan batas situs dan kawasan; dan
p. Menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses
pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang,
atau musnahnya cagar budaya, baik seluruh maupun
bagian-bagiannya.
b. Selain wewenang tersebut di atas, pemerintah berwenang:
a. Menyusun dan menetapkan rencana induk pelestarian
cagar budaya;

39

b. Melakukan pelestarian cagar budaya yang ada di
daerah perbatasan dengan negara tetangga atau yang
berada di luar negeri;
c. Menetapkan benda cagar budaya, bangunan cagar
budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya,
dan/atau kawasan cagar budaya sebagai cagar budaya
nasional;
d. Mengusulkan cagar budaya nasional sebagai warisan
dunia atau cagar budaya bersifat internasional; dan
e. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
pelestarian cagar budaya.
Otonomi daerah berimplikasi terhadap diaturnya kewenangan
yang bukan kewenangan pemerintah pusat menjadi kewenangan
pemerintah daerah. UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, dalam Pasal 95 mengatur bahwa, pemerintah dan atau
pemerintah daerah mempunyai tugas melakukan perlindungan,
pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Tegas dinyatakan
bahwa perlindungan, pengembangan, serta pemanfaatan cagar budaya
menjadi tugas pemerintah (pusat) dan atau pemerintah daerah.
Prinsip otonomi daerah menggunakan otonomi seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur
semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Menurut Marsono23, dikatakan bahwa daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Pelestarian Cagar Budaya
23

Marsono, Kepala Daerah Pilihan Rakyat. (Jakarta: Eko Jaya, 2005), hlm. 71.

40

merupakan bagian dari urusan pemerintah bidang pariwisata.
Menurut Abdul Latief,24 urusan pemerintahan yang diserahkan itu
telah menjadi urusan rumah tangga daerah, oleh karena meskipun
urusan yang diserahkan tidak tegas memberikan wewenang mengatur
kepada daerah yang bersangkutan tetapi Pemerintah Daerah tetap
mempunyai prakarsa atau inisiatif untuk mengatur dalam rangka
melaksanakan dan mengurus urusan bidang pariwisata tersebut.
Desentralisasi25 mengandung makna bahwa wewenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-mata
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, melainkan dilakukan juga oleh
satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk
satuan territorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan
yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus
sendiri sebagian urusan pemerintahan. Kaitannya dengan Cagar
Budaya sebagai aset budaya dan sejarah, Pemda Kota Salatiga
seharusnya dengan melihat kondisi serta permasalahan mengenai
kondisi bangunan bersejarah di Kota Salatiga segera mengambil
langkah tegas untuk memberikan perlindungan dan melakukan
pelestarian melalui peraturan hukum terkait.
Jika menilik pada UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, secara jelas pada Pasal 9 tertuang mengenai
klasifikasi urusan pemerintahan, yaitu urusan pemerintahan yang
bersifat absolut, konkuren, dan umum. Urusan pemerintahan absolut
yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat; Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan
pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Dearah
24
25

Abdul Latief, op.cit, hlm. 207.
Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, op.cit., hlm.112.

41

Provinsi

dan

Daerah

Kabupaten/

Kota;

sementara

urusan

pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Dengan
demikian, eksistensi cagar budaya di Kota Salatiga yang mana
termasuk dalam sektor pariwisata dan kebudayaan, termasuk dalam
urusan pemerintahan yang bersifat konkuren. Hal tersebut secara
jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini yang mana dapat
diperhatikan bahwa, baik Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota,
Pemerintah Daerah Provinsi, serta Pemerintah Pusat memiliki peran
dan tanggungjawabnya masing-masing dalam pengelolaan cagar
budaya.
Tabel 2.1. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang
Kebudayaan26
Sub
Urusan
Cagar
Budaya

Warisan
Budaya

Pemerintah Pusat
a. Registrasi nasional
cagar budaya
b. Penetapan cagar
budaya peringkat
nasional
c. Pengelolaan cagar
budaya peringkat
nasional
d. Penerbitan izin
membawa cagar
budaya ke luar
negeri
Pengelolaan warisan
budaya nasional dan
dunia

Daerah
Kabupaten/Kota
a. Penetapan cagar
a. Penetapan cagar
budaya peringkat
budaya peringkat
provinsi
kabupaten/kota
b. Pengelolaan cagar b. Pengelolaan
cagar budaya
budaya peringkat
peringkat
provinsi
kabupaten/kota
c. Penerbitan izin
c. Penerbitan izin
membawa cagar
membawa cagar
budaya ke luar
budaya ke luar
Daerah provinsi
Daerah
kabupaten/kota
dalam 1 (satu)
Daerah provinsi
Daerah Provinsi

26

Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, yaitu mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.

42

Berdasarkan tabel di atas, dapat diperhatikan kewenangan
masing-masing aras pemerintahan, baik oleh Pemerintah Kota/
Kabupaten, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat. Terkait
bangunan bersejarah yang ada di Kota Salatiga, nantinya jika sudah
ditetapkan sebagai cagar budaya peringkat kota, Pemerintah Kota
Salatiga memiliki wewenang dalam penetapan, pengelolaan, dan
penerbitan ijin jika nanti cagar budaya tersebut akan dibawa ke luar
daerah Kota Salatiga.
Dalam lingkup Kota Salatiga, Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) terkait yang menangani urusan cagar budaya adalah Dinas
Perhubungan,

Komunikasi,

(DISHUBKOMBUDPAR).
Kebudayaan,

dan

Kebudayaan,
Dinas

Pariwisata27

dan

Perhubungan,
mempunyai

Pariwisata
Komunikasi,

tugas

pokok

melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah dibidang perhubungan,
komunikasi, kebudayaan, dan pariwisata berdasarkan asas otonomi
dan tugas pembantuan. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut,
Dinas Perhubungan, Komunikasi, Kebudayaan, dan Pariwisata,
diantaranya menyelenggarakan fungsi (a) perumusan kebijakan teknis
dibidang perhubungan, komunikasi, kebudayaan dan pariwisata; (b)
pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pelayanan umum dibidang perhubungan, komunikasi, kebudayaan,
dan pariwisata.28
Adapun Bidang Kebudayaan dan Pariwisata mempunyai tugas
pokok menyusun rencana kegiatan teknis, memberikan pertimbangan,

27

Sumber: Himpunan Peraturan Walikota Salatiga tentang Tugas Pokok Fungsi dan Uraian
Tugas Pejabat (TUPOKSI) tahun 2011, dihimpun oleh Bagian Hukum Setda Kota Salatiga,
(Pasal 160 ayat 1)
28
Lihat Himpunan Peraturan Walikota Salatiga tentang Tugas Pokok Fungsi dan Uraian
Tugas Pejabat (TUPOKSI) tahun 2011 pasal 160 ayat 2.

43

rekomendasi,

dan

melaksanakan

pengembangan

dibidang

kebudayaan dan pariwisata serta melakukan pengendalian, penilaian,
monitoring, dan evaluasi atas pelaksanaan tugas.

29

Lebih lanjut

untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Bidang Kebudayaan dan
Pariwisata menyelenggarakan fungsi (Pasal 182 ayat 1):
a.

Perumusan kebijakan teknis pembinaan terhadap
kegiatan dan pengembangan kebudayaan dan
pariwisata;
b. Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan kegiatan dan
pengembangan kebudayaan dan pariwisata;
c. Pemberian pertimbangan rekomendasi, perizinan dan
pengawasan kegiatan/usaha dibidang kebudayaan dan
pariwisata;
d. Pelaksanaan perintisan obyek wisata dan kegiatan
wisata serta kegiatan kebudayaan;
e. Pelaksanaan sertifikasi dan pemberian pertimbangan
izin operasi pramuwisata;
f. Penyelenggaran kampanye sadar wisata “Sapta Pesona”;
g. Pengoordinasian pengembangan wisata dengan pihak
lain;
h. Pengelolaan tenaga pramuwisata khusus;
i. Penyiapan dan penyusunan bahan fasilitasi penulisan
sejarah dan kepurbakalaan;
j. Penginventarisasian potensi sejarah kepurbakalaan dan
nilai-nilai tradisional sebagai data agar dilestarikan
sebagai benda cagar budaya;
k. Pengaturan dan pengelolaan objek dan daya tarik
wisata;
l. Pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana
wisata;
m. Pengumpulan, pendataan pengolahan dan penyajian data
Bidang Kebudayaan dan Pariwisata;
29

Sumber: Himpunan Peraturan Walikota Salatiga tentang Tugas Pokok Fungsi dan Uraian
Tugas Pejabat (TUPOKSI) tahun 2011 pasal 182 ayat 1.

44

n.
o.
p.
q.
r.

Penyusunan prosedur kerja Bidang Kebudayaan dan
Pariwisata;
Pembinaan dan pengarahan pada bawahan untuk
kelancaran pelaksanaan tugas;
Pelaksanaan monitoring evaluasi serta pelaporan Bidang
Kebudayaan dan Pariwisata;
Penilaian prestasi kerja bawahan; dan
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan atasan.

Bidang Kebudayaan dan Pariwisata (Pasal 183) terdiri dari (a)
Seksi Kebudayaan dan (b) Seksi Pariwisata. Seksi Kebudayaan (Pasal
184 ayat 1) mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan rencana
kegiatan dan melaksanakan pembinaan, pengembangan, pengawasan,
bimbingan dan pemantauan pemberian rekomendasi dan perizinan,
fasilitas budaya serta menyajikan data sebagai bahan evaluasi.
Sementara untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Kepala Seksi
Kebudayaan mempunyai uraian tugas sebagai berikut (Pasal 184 ayat
2):
a. Menyusun rencana kerja Seksi Kebudayaan sesuai
ketentuan yang berlaku sebagai pedoman pelaksanaan
tugas;
b. Menyusun bahan perumusan kebijakan teknis operasional
dan prosedur kerja Seksi Kebudayaan sebagai pedoman
pelaksanaan tugas;
c. Menyiapkan bahan koordinasi dengan bidang terkait
dalam rangka sinkronisasi dan kelancaran pelaksanaan
tugas;
d. Menyusun dan menyiapkan bahan rekomendasi perizinan
kegiatan Seksi Kebudayaan sesuai ketentuan yang
berlaku;
e. Melaksanakan pemantauan, pembinaan bagi petugas
pengelola benda-benda sejarah dan kepurbakalaan;

45

f. Melaksanakan pendataan dan pencatatan benda-benda
purbakala di wilayah daerah dengan unit kerja terkait agar
data terhimpun;
g. Melakukan inventarisasi dan mendokumentasikan bendabenda cagar budaya yang ada di daerah dan sekitarnya;
h. Menyusun bahan rekomendasi dan perizinan berkaitan
dengan penyelamatan benda-benda bersejarah;
i. Memfasilitasi perlindungan benda peninggalan bersejarah
dan kepurbakalaan dengan Balai Kajian Sejarah
Kepurbakalaan di Yogyakarta;
j. Melaksanakan kegiatan budaya bersama unit kerja terkait
dan stakeholder untuk kelancaran pelaksanaan tugas;
k. Menyiapkan data sebagai bahan evaluasi atas pelaksanaan
tugas dalam rangka meningkatkan kinerja yang akan
datang;
l. Melaksanakan evaluasi dan monitoring kegiatan di bidang
kebudayaan untuk penilaian pelaksanaan tugas secara
rutin;
m. Menyusun laporan pelaksanaan tugas pada atasan sebagai
bahan evaluasi dan penyusunan program kerja Bidang;
n. Membagi tugas dan memberi petunjuk kepada bawahan
agar diperoleh hasil kerja yang optimal;
o. Membina dan mengawasi pelaksanaan tugas bawahan
untuk kelancaran pelaksanaan tugas;
p. Menilai prestasi kerja bawahan sebagai cerminan kinerja
bawahan; dan
q. Melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan.
Upaya

pengelolaan

dan

pelestarian

cagar

budaya

dimaksudkan untuk menjaga keaslian, mempertahankan nilai-nilai
sejarah yang bermanfaat untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, serta pariwisata. Perkembangan pembangunan fisik di
Daerah, selain telah menghasilkan banyak kemajuan dalam
kehidupan masyarakat, pada kenyataannya dapat menimbulkan
46

dampak negatif terhadap usaha pelestarian cagar budaya. Dalam
kondisi tersebut, pada tahun 2015, Pemerintah Kota Salatiga telah
mengambil kebijakan dengan mengeluarkan Peraturan Daerah
(PERDA) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pengelolaan dan Pelestarian
Cagar Budaya Daerah. Di dalam PERDA tersebut secara tegas sudah
mengatur ketentuan-ketentuan terkait pengelolaan dan pelestarian
cagar budaya daerah Kota Salatiga. Termasuk di dalamnya diatur
tentang pemberian insentif dan disinsentif dalam pengelolaan dan
pelestarian cagar budaya daerah.30
Pemberian insentif dapat berupa (a) pemberian kompensasi,
keringanan pajak, imbalan, dan urun saham; (b) pembangunan serta
pengadaan infrastruktur; (c) kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
(d) pemberian penghargaan. Sementara disinsentif dapat berupa (a)
pengenaan pajak tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan ruang; (b) pembatasan penyediaan sarana dan prasarana
dalam suatu kawasan; (c) kewajiban pengembang untuk menanggung
biaya dampak pembangunan; dan/atau (d) pengenaan denda pada
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan.
Tugas dan wewenang Pemerintah Daerah juga diatur di dalam
Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya Daerah tersebut.31
Ruang lingkup pengelolaan dan pelestarian cagar budaya
daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Peraturan Daerah
30

Lihat Bab X, Pasal 50, Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2015 Tentang
Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya Daerah.
31
Lihat Bab VIII, Pasal 45 dan Pasal 46, Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 2 Tahun
2015 Tentang Pengelolaan dan Pelestarian Cagar Budaya Daerah.

47

Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pengelolaan dan
Pelestarian Cagar Budaya Daerah meliputi beberapa aspek, yaitu: (a)
kriteria dan penggolongan; (b) pemilikan dan penguasaan; (c)
penemuan dan pencarian; (d) pengelolaan register nasional cagar
budaya di daerah; (e) pelestarian; (f) pengembangan, pemanfaatan,
dan pemulihan; (g) tugas dan wewenang Pemerintah Daerah; (h) hak,
kewajiban, dan larangan; (i) insentif dan disinsentif; (j) pendanaan;
(k) pembinaan dan pengawasan.
1.4.

Model Perlindungan Hukum terhadap Cagar Budaya
Terciptanya kehidupan yang kondusif, nyaman, dan tentram
dalam berbangsa dan bernegara merupakan suatu momentum yang
menjadi

cita-cita

bersama.

Demikian

halnya

dengan

upaya

perlindungan terhadap warisan budaya bangsa tentunya menjadi
tugas generasi sekarang dan generasi mendatang untuk dapat
melestarikan keberadaan bangunan-bangunan bersejarah, terkhusus
dalam penelitian ini adalah bangunan bersejarah yang ada di Kota
Salatiga. Adapun untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah dengan
cara memperbaiki beberapa hal yang memiliki pengaruh signifikan
terhadap kehidupan masyarakat di negara ini, salah satunya adalah
masalah penegakan hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya
merupakan interaksi antara berbagai perilaku

manusia

yang

mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai
aturan yang telah disepakati bersama. Mengacu pada pandangan
Soerjono Soekanto, hakikat penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidahkaidah yang mengejawantah perilaku sebagai rangkaian penjabaran
nilai

tahap

akhir,

untuk
48

menciptakan,

memelihara,

dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu32:
a. Faktor hukumnya sendiri
b. Faktor penegak hukum
c. Faktor sarana atau fasilitas
d. Faktor masyarakat
e. Faktor kebudayaan
Soerjono Soekanto dalam pidato pengukuhannya sebagai guru
besar tetap dalam Sosiologi Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia tanggal 14 Desember 1983, membuat perincian
faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagai berikut:
a.

Faktor hukumnya sendiri
Secara umum dapat dikatakan bahwa peraturan hukum yang

baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis,
dan filosofis. Peraturan hukum berlaku secara yuridis, yaitu apabila
peraturan hukum tersebut penentuannya berdasarkan kaidah yang
lebih tinggi tingkatannya. Dalam teori Stufenbau dari Hans Kelsen,
dipahami bahwa setiap peraturan hukum yang berlaku haruslah
bersumber pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan
demikian, setiap peraturan hukum yang berlaku tidak boleh
bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya.
Peraturan hukum berlaku secara sosiologis apabila peraturan hukum
tersebut diakui atau diterima oleh masyarakat kepada siapa peraturan
hukum tersebut ditujukan atau diberlakukan. Kemudian, peraturan
hukum berlaku secara filosofis apabila peraturan hukum tersebut
sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Di
32

Soerjono, Soekanto. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.5

49

Indonesia, cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi adalah
terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Adapun masalah yang terjadi atau gangguan terhadap
penegakan hukum yang berasal dari undang-undang yang disebabkan
karena:
a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang;
b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat
dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang;
c. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang
yang

mengakibatkan

kesimpangsiuran

di

dalam

penafsiran serta penerapannya.
b.

Faktor penegak hukum
Pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam proses

penegakan

hukum,

yaitu

kepolisian,

kejaksaan,

kehakiman,

kepengacaraan, dan pemasyarakatan. Penegak hukum merupakan
golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Secara sosiologis, setiap penegak hukum mempunyai kedudukan
“status” dan peranan “role”. Masalah peranan dianggap penting oleh
karena pembahasan mengenai penegak hukum sebenarnya lebih
banyak tertuju pada diskresi. Diskresi menyangkut pengambilan
keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, di mana penilaian
pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakan hukum,
diskresi sangat penting oleh karena:
a. Tidak

ada

perundang-undangan

yang

sedemikian

lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku
manusia.
50

b. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan
perundang-undangan
perkembangan

di

dengan
dalam

perkembangan-

masyarakat,

sehingga

menimbulkan ketidakpastian hukum.
c. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan
sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undangundang.
d. Adanya

kasus-kasus

individual

yang

memerlukan

penanganan secara khusus.
c.

Faktor sarana dan fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak

mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana
atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Jika hal-hal tersebut
tidak dipenuhi, mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya.
d.

Faktor masyarakat
Masyarakat di mana peraturan hukum berlaku atau diterapkan

juga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan
penegakan hukum. Sebab, penegakan hukum berasal dari masyarakat
dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Hal
terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum
adalah kesadaran hukum masyarakat. Artinya, semakin tinggi tingkat
kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan
penegakan hukum yang baik.
e.

Faktor kebudayaan
Mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,

nilai-nilai mana merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa
51

yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk
(sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut merupakan pasangan nilainilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus
diserasikan. Artinya, semakin banyak persesuaian antara peraturan
perundang-undangan dan kebudayaan masyarakat, maka akan
semakin mudahlah menegakkannya. Sebaliknya, apabila suatu
perundang-undangan

tidak

sesuai

atau

bertentangan

dengan

kebudayaan masyarakat, akan semakin sukar untuk melaksanakan
atau menegakkan peraturan hukum dimaksud. Pasangan nilai yang
berperan dalam hukum :
a. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman
b. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan
c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa
keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya
semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan
Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur
hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal
substance) dan komponen budaya hukum (legal culture).33
Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh,
kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Kelembagaan yang
diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsinya
dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut, yakni yang
memungkinkan pelayanan dan penegakan hukum. Atau merupakan
pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan
33

Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. (Bandung: Nusa Media,
2009), hlm.17

52

menurut ketentuan-ketentuan formalnya.

Substansi hukum (legal

substance) aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan
oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku
yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum
(legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinankeyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum atau
merupakan elemen sikap dan nilai sosial.
1.5.

Culture Heritage Theory
United
Organization

Nations

Educational,

(UNESCO)

sebagai

Scientific

and

satu-satunya

Cultural
organisasi

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memiliki mandat khusus
untuk melindungi dan melestarikan warisan (alam dan budaya, benda
dan tak benda, bergerak, dan tidak bergerak) merupakan pelopor dari
upaya

internasional

untuk

melindungi

kreativitas

dan

keanekaragaman budaya di seluruh dunia.
[The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) has served as a driving force in the development of cultural
heritage as a powerful concept within international discourse concerning
the role nation states play in determining significant components of
human history and who gets to do what with the physical and narrative
evidence that history has left behind. However, as an intergovernmental
body with little power to enforce its international treaties and
recommendations, commonly called Conventions, UNESCO has had
varying degrees of success in protecting that which it deems the “cultural
heritage of humankind.”]

34

UNESCO sebagai organisasi yang memiliki kekuatan atau
sebagai pendorong dalam pengembangan warisan budaya dalam
34

http://sustainableheritagetourism.com/heritage/essay-producing-and-protecting-mythof-heritage/ diunduh pada tanggal 8 September 2015, Pukul. 00.38 WIB.

53

wacana internasional tentang peran negara dalam menentukan
komponen penting dari sejarah manusia dan siapa yang akan
melakukan, disertai dengan bukti fisik dan narasi sejarah itu
ditinggalkan. Namun demikian, sebagai sebuah badan antar
pemerintah dengan sedikit kekuatan untuk menegakan perjanjian
internasional beserta rekomendasi, atau disebut konvensi, UNESCO
memiliki keberhasilan dalam melindungi apa yang dianggap sebagai
‘warisan budaya manusia’.
Konsep ‘warisan’ sangat erat kaitannya dengan konsep
identitas, yakni hubungan antara orang-orang yang hidup di masa kini
dan orang-orang, kelompok, ide-ide, benda atau materi, praktek atau
tindakan, serta peristiwa atau tempat dari masa lalu. Artinya, terdapat
link antara masa lalu dengan masa sekarang.
Menurut Derek Gillman35, yang menjabat sebagai President
of the International Cultural Property Society 2010, ‘warisan’ (atau
budaya) adalah cara berpikir dan berbicara tentang komunitas orangorang dalam ruang dan waktu, terkait dengan praktek-praktek
bersama, konvensi dan norma-norma.
Selain sebagai bukti terdapatnya hubungan atau link antara
masa lalu dan masa kini, ‘heritage’ warisan (atau budaya) juga
berfungsi sebagai alat untuk menciptakan identitas sejarah kelompok
dari semua afiliasi dalam lingkup waktu dan ruang sejarah manusia.
Identitas yang dimaksudkan tidak hanya tentang penyertaan
‘inclusion’, tetapi juga tentang pengecualian ‘exclusion’. Pada
prakteknya, banyak bentuk dan proses kreatif yang terlibat dalam
perkembangan pembangunan hubungan untuk menjaga eksistensi
warisan budaya, dimana terdapat persamaan dan perbedaan antara
35

Ibid

54

kelompok-kelompok orang, terutama ketika muncul argumenargumen untuk membenarkan berbagai kebijakan terkait manajemen
atau pengaturan warisan budaya. Terlebih manakala muncul
perdebatan serius mengenai siapa

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Cagar Budaya di Kota Salatiga T2 322013008 BAB I

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Cagar Budaya di Kota Salatiga T2 322013008 BAB IV

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Cagar Budaya di Kota Salatiga

0 2 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Cagar Budaya di Kota Salatiga

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Program Pendidikan Homeschooling Destiny Institute di Kota Salatiga T2 942012033 BAB II

1 3 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Hukum terhadap Parkir Liar di Kota Salatiga T1 312010601 BAB II

0 4 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi di Kota Salatiga T2 942015024 BAB II

1 3 64

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Perdata dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik di Kota Salatiga T2 BAB II

0 1 48

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Kinerja Supervisi Akademik Kepala Sekolah SMP di Kota Salatiga Tahun Pelajaran 20142015 T2 BAB II

0 1 28

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Implementasi Program Pendidikan Karakter Di SMA Kristen 1 Salatiga T2 BAB II

0 0 36