T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Perdata dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik di Kota Salatiga T2 BAB II

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI

1. Teori Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Konsep Negara Kesejahteraan (welvaartsstaat, Welfare State) mulai
pertama kali dimunculkan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Konsep
ini erat kaitannya dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat
yang mengalami masa suram akibat gagalnya sistem politik dan ekonomi
kapitalis yang bebas dengan bertumpu pada konsep negara hukum liberal.
Utrecht mengemukakan bahwa suatu negara semacam itu, yang umum
dikenal sebagai tipe negara liberal, di mana negara berperan dan
bertindak sebagai “negara penjaga malam” (nachtwakerstaat).1
Welfare State sendiri merupakan respon terhadap konsep “negara

penjaga malam”. Pada negara penjaga malam, karakter dasarnya adalah
kebebasan ( libera lism), yang berkembang pada abad pertengahan hingga
abad ke-18, terutama karena dorongan paham tentang Invisible
Hands yang termuat dalam buku Adam Smith dan David Ricardo

berjudul The Wealth of Nations: An Inquiry into the Nature and Causes.

1

Aminuddin Ilmar, Ha k Mengua sa i Nega ra Da la m Priva tisa si BUMN, Kencana,
Jakarta, 2012, h. 14.

19

20

Dalam sistem liberal ini, peran negara sangat minim, sehingga sering
dikatakan juga sebagai minimum state atau minarchism, yakni sebuah
pandangan yang meyakini bahwa pemerintah tidak memiliki hak untuk
menggunakan monopoli memaksakan atau mengatur hubungan atau
transaksi antar warga negara. Dengan kata lain, pemerintah lebih
mengedepankan

pendekatan la issez

faire


dalam

menciptakan

kesejahteraan. Sebagai gantinya, mekanisme pasar mendapat porsi besar
dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. 2
Adapun

negara/pemerintah

hanya

mempunyai

fungsi/peran

perlindungan warga negara dari penyerangan, pencurian, pelanggaran
kontrak, penipuan, dan gangguan keamanan lainnya. Maka tidaklah aneh
jika institusi negara yang dibentuk dalam sistem liberalism juga hanya
institusi yang berhubungan dengan aspek keamanan, yakni militer,

kepolisian, peradilan, pemadam kebakaran, termasuk penjara. 3
Dengan dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang semakin memprihatinkan, khususnya kegagalan sistem ekonomi
kapitalis yang mengandalkan pada berlakunya sistem ekonomi pasar yang
bebas tanpa campur tangan negara, telah mengakibatkan krisis ekonomi

Tri Widodo W Utomo, “Memahami Konsep Negara Kesejahteraan ( Welfa re
Sta te )”,http://triwidodowutomo.b logspot.nl/2013/ 07/ memahami-konsep-negarakesejahteraan.html, dikunjungi pada tanggal 10 November 2016 pukul 07.04.
2

3

Ibid

21

pada masyarakat. Kebebasan dan persamaan (vrijheid en gelijkheid) yang
melandasi perhubungan masyarakat dengan negara dirasakan sudah tidak
memadai lagi. Peranan negara yang dahulunya dirasakan terbatas pada
penjagaan ketertiban semata, diupayakan untuk diperluas dengan

memberikan kewenangan yang lebih besar pada negara untuk mengatur
perekonomian masyarakat. 4
Kepentingan umum sebagai asas hukum publik tidak lagi diartikan
sebagai kepentingan negara sebagai kekuasaan yang menjaga ketertiban
atau kepentingan kaum borjuis sebagai basis masyarakat dari negara
hukum liberal, tetapi kepentingan umum adalah kepentingan dari
“gedemocratiseerde nationale staat, waarvan het hele volk in al zijn
geledin gen deel uitmaakt” berubahnya pandangan tentang konsep negara
liberal tersebut, melahirkan suatu konsep baru tentang tipe negara
kesejahteraan yang lebih dikenal dengan konsep welfare state
(welvaarstaat), yang pada akhir abad ke – 19 dan memasuki paruh awal

abad ke – 20 berkembang pesat di eropa barat. 5
Negara Kesejahteraan atau welfare state disebut juga “negara
hukum modern.” Tujuan pokoknya tidak saja terletak pada pelaksanaan
hukum

semata,

tetapi


juga

mencapai

keadilan

sosial

(social

gerechtigheid) bagi seluruh rakyat. Konsepsi negara hukum modern
4

5

A minuddin Ilmar, Op. Cit., h. 15.
Ibid .

22


menempatkan eksistensi dan peranan negara pada posisi kuat dan besar.
Kemudian konsepsi negara demikian ini dalam berbagai literatur disebut
dengan bermacam- macam istilah, antara lain: negara kesejahteraan
(welfare state) atau negara memberi pelayanan kepada masyarakat (social
service state) atau negara melakukan tugas servis publik. Dengan

demikian

negara

pembangunan

kesejahteraan

yang

difokuskan

merujuk

pada

pada

sebuah

peningkatan

model

kesejahteraan

masyarakat melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara
dalam memberikan pelayanan sosial kepada warganya.
Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang mengupayakan
kesejahteraan umum sebagaimana termaktub dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah negara yang menganut paham kesejahteraan. Hal itu
tercermin dari Tujuan Negara yaitu “...melindungi segenap bangsa
Indonesia


dan

kesejahteraan

seluruh
umum,

tumpah

darah

mencerdaskan

Indonesia,

kehidupan

memajukan


bangsa

serta

mewujudkan keadilan sosial...”

Ciri utama dari negara ini adalah munculnya kewajiban pemerintah
untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata
lain, ajaran welfare state merupakan bentuk konkret dari peralihan prinsip
staatsonthouding, yang membatasi peran negara dan pemerintah untuk

23

mencampuri kehidupan ekonomi dan social masyarakat, menjadi
staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan pemerintah aktif dalam

kehidupan ekonomi dan social masyarakat, sebagai langkah untuk
mewujudkan kesejahteraan umum, di samping menjaga ketertiban dan
keamanan (rust en orde). 6
Dalam negara hukum modern yang menganut paham welfare state/

negara kesejahteraan, tugas alat administrasi negara sangat luas sekali
karena mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Ideologi welfare state mengajarkan tentang peranan negara yang
lebih luas ketimbang sekedar sebagai penjaga malam, yang oleh Utrecht
dikatakan bahwa lapangan pekerjaan pemerintah suatu negara hukum
modern sangat luas,yaitu bertugas menjaga keamanan dalam arti kata
yang seluas- luasnya,

yakni keamanan sosial di segala

bidang

kemasyarakatan dalam suatu welfare state. Sehingga ketika itu, para
pemikir kenegaraan menyatakan bahwa masa ekonomi liberal telah
ditinggalkan, sistem ekonomi liberal klasik diganti dengan sistem
ekonomi yang dipimpin oleh pusat (central geleide economie),

6

14-15.


S. F. Marbun, Hukum Administra si Nega ra I, FH UII Press, Yogyakarta, 2012, h.

24

Staatssonthouding telah digantikan oleh Staatsbemoeenis, pemisahan

antara negara dengan masyarakatnya telah ditinggalkan. 7
Ideologi negara kesejahteraan (welfare state) menjadi landasan
kedudukan dan fungsi pemerintah (bestuursfunctie) oleh negara-negara
modern. Konsep negara kesejahteraan lahir atas dasar pemikiran untuk
melakukan pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan
negara, khususnya eksekutif yang pada masa monarki absolut telah
terbukti banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Konsep negara
kesejahteraan inilah yang mengilhami sekaligus menjadi obsesi para
aktivis pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya “Bung
Hatta” selaku pejuang dan pendiri Negara Republik Indonesia, bahkan
menjadi figur sentralnya. 8
Dilatarbelakangi

pemikiran-pemikiran

para

pendiri

negara,

utamanya “Bung Hatta”, maka Undang-Undang Dasar Negara 1945
mengandung semangat ke arah pembentukan model negara kesejahteraan
dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya; yaitu:
1. Mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk
kepentingan publik;
2. Menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata;
7

E. Ut recht, Penga nta r Hukum Administra si Nega ra , Ichtiar baru, Jakarta, 1985, h.

3-4.
8

W. Riawan Tjandra, Hukum Administra si Nega ra , Universita s Atma Ja ya,
Yogyaka rta , 2008, h. 1.

25

3. Mengurangi kemiskinan;
4. Menyediakan asuransi sosial (pendidikan dan kesehatan) bagi
masyarakat miskin;
5. Menyediakan subsidi untuk layanan sosial dasar bagi disadvantage
people;

6. Memberi proteksi sosial bagi setiap warga negara. 9
Polarisasi tujuan-tujuan pokok negara kesejahteraan tersebut
dirumuskan, pada hakiktnya dimaksudkan untuk menetapkan indikatorindikator sebagai alat ukur dalam menilai apakah masyarakat sudah
sejahtera atau belum. Selain

fungsinya sebagai indikator juga

dimaksudkan untuk memberi kemudahan bagi negara (pemerintah) dalam
mengambil

langkah- langkah strategis dalam

upaya

mewujudkan

kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, tujuan-tujuan pokok
tersebut pada hakikatnya hanyalah merupakan bagian-bagian dari tujuan
akhir dari welfare state yaitu sebesar-besar kemakmuran rakyat. 10
Tujuan tersebut tidak dibatasi secara limitatif pada bidang material
saja, melainkan meliputi semua aspek kehidupan karena kesejahteraan
berkaitan langsung dengan harkat dan martabat manusia. Dengan

Marilang, “Nila i Kea dilan Sosia l Da la m Perta mba nga n ”, Diserta si , di dalam
Marilang, Ideologi Welfa re Sta te Konstitusi: Hak Menguasai Negara Atas Barang Tambang,
Jurnal Konstitusi, Volu me 9, No mor 2, Juni 2012, h . 267.
9

10

Marilang, Ideologi Welfa re Sta te Konstitusi: Hak Menguasai Negara Atas Barang
Tambang, Jurnal Konstitusi, Vo lu me 9, No mor 2, Juni 2012, h. 267.

26

demikian, dalam suatu negara yang menganut paham welfare state
biasanya mencantumkan bentuk-bentuk kesejahteraan dalam pasal-pasal
konstitusi atau undang-undang dasar negaranya. Salah satu sarana
penting dalam upaya mewujudkan kesejahteraan adalah mewujudkankan
“keadilan sosial” sebagaimana ditegaskan dalam sila ke-5 Pancasila yang
kemudian dijabarkan secara eksplisit di dalam alinea IV Pembukaan
UUD 1945 yang pada hakikatnya menghendaki agar kekayaan atau
pendapatan yang diperoleh dari hasil kerjasama oleh suatu komunitas
(negara) didistribusikan secara merata dan seimbang (proporsional)
kepada seluruh warga negara, bahkan kekayaan atau pendapatan yang
diperoleh merupakan kewajiban bagi negara yang menjadi tugas pokok
pemerintah untuk menyisihkan anggaran bagi kalangan atau rakyat yang
tidak mampu yang sering diklaim sebagai kalangan ekonomi lemah (fakir
miskin) dan anak-anak terlantar sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 34
(1) UUD 1945. 11
Dalam mewujudkan tujuan-tujuan pokok tersebut menurut konsep
negara berideologi welfare state, diperlukan keterlibatan dan intervensi
negara (pemerintah) dalam bentuk regulasi sehingga tujuan-tujuan
tersebut dapat terwujud dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat,
khususnya melalui sektor pertambangan yang menguasai hajat hidup
11

Ibid .

27

orang banyak sebagaimana telah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal
33 UUD 1945 ayat (3) bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Kesemuanya itu demi mewujudkan kewajiban
pemerintah

untuk

mengupayakan

kesejahteraan

umum

atau

bestuurszorg. 12

2. Teori Hak Menguasai Oleh Negara
Secara umum hak menguasai negara dapat dikatakan sebagai suatu
kewenangan atau wewenang formal yang ada pada negara dan
memberikan hak kepada negara untuk bertindak baik secara aktif maupun
pasif dalam bidang pemerintahan negara, dengan kata lain wewenang
negara tidak hanya berkaitan dengan wewenang pemerintahan semata,
akan tetapi meliputi pula semua wewenang dalam rangka melaksanakan
tugasnya. 13
Namun terdapat banyak silang pendapat mengenai maksud dan
tujuan dari hak menguasai negara, itu, apakah dapat diartikan negara
secara langsung menyelenggarakan cabang-cabang produksi tersebut
ataukah hanya sebatas pada pengaturan saja. Oleh karena itu menjadi hal

12

13

Ibid . h. 268.

Aminuddin Ilmar, Ha k Mengua sa i Nega ra Da la m Priva tisa si BUMN , Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2012, h. 24.

28

penting untuk memperjelas pengertian tentang arti penguasaan negara
itu. 14
Dari penelusuran secara

historis terhadap perumusan dan

penyusunan UUD NRI 1945, maka akan kita ketemukan secara jelas
nama Muhammad Hatta sebagai salah seorang tim perumus UUD NRI
1945 khususnya ketentuan pasal 33 UUD NRI 1945. Mohammad Hatta
secara tegas mengemukakan, bahwa lembaga usaha yang seharusnya
mendapat tempat sentral dalam sistem ekonomi Indonesia adalah
koperasi. Mohammad Hatta beranggapan, bahwa bangsa Indonesia lemah
kedudukan ekonominya hanya pada pengadaan pelayanan umum, seperti
listrik, air dan gas, atau apa yang disebut public utilities yang merupakan
cabang produksi yang penting bagi negara lainnya seperti industri pokok
dan tambah, sehingga perlu dikuasai oleh negara. Menurut beliau
pengertian “dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh
negara atau pemerintah akan tetapi dapat menyerahkan kepada pihak
swasta, asalkan dengan pengawasan pemerintah. 15
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tampak jelas komitmen dan
pandangan Mohammad Hatta terhadap arah perekonomian nasional yang
dikehendaki. Mohammad Hatta dengan berpangkal tolak dari ketentuan
Pasal 33 UUD NRI 1945, kemudian membagi bidang ekonomi itu ke
14

15

Ibid . h. 51-52.

Soehino, Il mu Nega ra , Liberty, Yogyakarta, 1996, h. 17.

29

dalam tiga sektor usaha, yakni koperasi, usaha negara, dan usaha swasta.
Dalam kaitan dengan usaha negara, maka ia berpendapat bahwa tidak
perlu negara menjadi pengusaha atau ondernemer, akan tetapi cukup
dengan pengawasan dari pemerintah. 16
Berdasarkan pandangan Mohammad

Hatta

tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pengertian kalimat “harus dikuasai oleh negara”
dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945, menurut Mohammad
Hatta negara tidak harus secara langsung ikut mengelola atau
menyelenggarakan cabang produksi akan tetapi hal itu dapat diserahkan
kepada usaha koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat
peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran ekonomi demi
untuk menjamin terciptanya kesejahteraan rakyat. Tidak ada keharusan
bagi negara untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi tersebut
memberikan peluang kepada swasta untuk menyelenggarakan cabang –
cabang produksi yang terpenting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak. 17
Sehubungan dengan hal itu, maka penguasaan negara dalam
cabang-cabang produksi tersebut yang terpenting adalah bagaimana

16

Miriam Budiarjo, Da sa r -da sa r Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Cetakan Ketujuh Belas, 1996, h. 45.
17

Aminuddin Ilmar, Op. Cit., h. 55.

30

bentuk penguasaan negara itu dapat menjamin terselenggaranya
kesejahteraan masyarakat. 18
Hal tersebut di atas sejalan dengan pandangan yang dikemukakan
oleh Ace Partadiredja. Beliau mengemukakan, bahwa penguasaan oleh
negara

adalah

suatu

iklim

atau kebijaksanaan ekonomi

yang

memungkinkan negara untuk ikut serta berusaha dan/atau menentukan
dalam proses produksi. Ikut menentukan tidak selalu berarti bahwa
memiliki sendiri suatu cabang produksi dapat saja dimiliki oleh swasta,
akan tetapi negara c.q. pemerintah mempunyai kekuasaan atau wewenang
untuk ikut menentukan atau bahkan sepenuhnya menentukan jalannya
produksi tersebut. 19
Selain itu, Mubyarto mengemukakan bahwa penguasaan oleh
negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk
menguasai cabang-cabang produksi tertentu yang menguasai hajat hidup
orang banyak adalah bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat
secara maksimal. Lebih tegas lagi Sri Edi Swasono menguraikan bahwa
perkataan dikuasai tidak harus diartikan sebagai dimiliki. Pemerintah
negara bisa menguasai melalui peraturan dan kebijaksanaan ekonomi
tanpa harus memiliki. Dikuasai oleh negara memberikan petunjuk

18

Ibid . h. 55-56.

19

Ibid . h. 56-57.

31

langsung, bahwa mekanisme pasar atau mekanisme harga bebas tidak
boleh berlaku dalam perekonomian, yang terpenting dan menjadi tujuan
utama adalah pengamanan kepentingan negara dan kepentingan rakyat
banyak. 20
Dari berbagai uraian dan pendapat yang telah dikemukakan
berkaitan dengan makna atau pengertian kalimat “harus dikuasai oleh
negara”, maka dapat disimpulkan bahwa hak menguasai (penguasaan)
negara

itu

tidak

harus

negara

ikut

serta

secara

langsung

menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang bersangkutan dengan
membentuk usaha negara, akan tetapi bisa dengan jalan membuat
peraturan atau kebijaksanaan ekonomi yang tujuan utamanya adalah
untuk pengamanan kepentingan negara dan kepentingan rakyat banyak.
Dengan kata lain, hak menguasaai (penguasaan) negara itu bukanlah
dalam arti memiliki cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Namun demikian hak
menguasai (penguasaan) negara itu hanya terbatas sebagai kuasa usaha
penyelenggaraan cabang-cabang produksi tersebut untuk kesejahteraan
rakyat banyak. 21

20

Ibid .

21

Ibid . h. 58.

32

Seperti

yang telah dikemukakan di

atas

bahwa

secara

konstitusional Hak Penguasaan Negara diatur secara eksplisit pada Pasal
33 UUD 1945, sehingga pasal ini menjadi landasan konstitusional
dibenarkannya Negara memiliki hak menguasai kekayaan alam yang
terkandung di dalam perut bumi. Namun batasan hak menguasai negara
tersebut tidak terdefinisikan lagi secara otentik dalam konstitusi, karena
penjelasan UUD 1945 telah ditiadakan (dihapus). Dengan demikian
konsep dan batasan hak menguasai negara diserahkan kepada ilmu
pengetahuan hukum dan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya
Lembaga Peradilan Negara yang diberi kompetensi untuk menafsirkan
konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Penafsiran mengenai konsep penguasaan negara terhadap Pasal 33
UUD 1945 dapat kita cermati dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumber
daya alam. Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara UU
Migas, UU Ketenagalistrikan, dan UU Sumber Daya Air (UU SDA)
menafsirkan mengenai Hak Menguasai Negara (HMN) bukan dalam
makna negara memilki tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya
merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad),

33

melakukan

pengurusan

(bestuursdaad),

melakukan

pengelolaan

(beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad). 22

Dengan demikian makna HMN terhadap cabang-cabang produksi
yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap
sumber daya alam, tidak menafikkan kemungkinan perorangan atau
swasta berperan, asalkan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana
tersebut di atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah serta
pemerintah daerah memang tidak atau belum mampu melaksanakannya. 23

3. Tanggungjawab Hukum Dan Kepastian Hukum
Tanggung jawab hukum Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang

akibat

Kelalaian dalam Pengendalian dan pengawasan

pelaksanaan pemanfaatan pemasangan jaringan kabel fiber optik di Kota
Salatiga adalah sebagai jaminan dan kepastian dalam penyelenggaraan
jalan kota. Bagi masyarakat bahwa keluarnya rekomendasi izin
diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bahwa hak- hak
pengguna jalan beserta bangunan pelengkap akan terpenuhi dan

22

J. Ronald Mawuntu, Konsep Pengua saa n Nega ra Berda sa rka n Pa sa l 33 UUD
1945 da n Putusa n Ma hka ma h Konstitusi, Jurnal Vol. XX/No.3/April-Juni/ 2012, d iunduh
pada situs http: // repo.unsrat.ac.id/ 273 / 1/ KONSEP_PENGUASAAN_ NEGA RA_
BERDASARKAN__ PASA L_ 33_ UUD_ 1945__ DAN_PUTUSAN_ MAHKAMAH_
KONSTITUSI.pdf, pada tanggal 20 November 2016 pukul 07.29.
23

Ibid.

34

terlindungi dari kemungkinan wanprestasi yang dilakukan oleh
pemegang izin.
Hanya saja instrument rekomendasi kurang menjadi jaminan hakhak pelayanan pemanfaatan fasum oleh masyarakat bilamana si
pemegang izin melakukan wanprestasi. Terlebih pertanggungjawaban
apabila negara mengalami kerugian akibat kelalaian yang dilakukan oleh
aparat dinas teknis terkait dalam memberikan rekomendasi izin selama
ini terbaikan. Dikarenakan di dalam rekomendasi izin tersebut belum
terdapat ketentuan kepada aparat apabila mengalami kerugian akibat
kesengajaan maupun kelalaian dalam pengawasan pelaksanaan perizinan.
a) Tanggung Jawab Perdata
Dilihat dari aspek lingkup bidang hukum, maka secara umum
konsep tanggung jawab hukum (liability) akan merujuk pada tanggung
jawab hukum dalam ranah hukum publik dan tanggung jawab hukum
dalam ranah hukum privat. Tanggung jawab hukum dalam ranah
hukum publik misalkan tanggung jawab administrasi Negara dan
tanggung jawab hukum pidana. Sedangkan tanggung jawab dalam
ranah hukum privat, yaitu tanggung jawab hukum dalam hukum
perdata dapat berupa tanggung jawab berdasarkan wanprestasi dan

35

tanggung jawab berdasarkan perbuatan melawan hukum (PMH) atau
dalam bahasa belanda dikenal dengan sebutan onrechtmatige daad.24
Tanggung jawab perdata berdasarkan wanprestasi lahir dengan
adanya perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak.
Perjanjian diawali dengan adanya janji (prestasi). Apabila dalam
hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak

yang

melanggar kewajiban (debitur) tidak melaksanakan atau melanggar
kewajiban yang dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai
(wanprestasi) dan atas dasar itu ia dapat diminta pertanggungjawaban
hukum berdasarkan wanprestasi.
Sementara

tanggungjawab

hukum

perdata

berdasarkan

perbuatan melawan hukum didasarkan pada adanya hubungan
hukum hak dan kewajiban yang bersumber pada hukum. 25
Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan
perbuatan melanggar hukum adalah Tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian

24

Kiki Nitalia Hasibuan, Mis-selling Perba nka n Perbuata n Mela wa n Hukum, Tesis,
Magister Ilmu Huku m Un iversitas Indonesia, Depok, 2011, h. 35.
25

Ristiani Gani Mendrofa, Sistem Perta nggungja waba n Kopera si Simpa n Pinja m
Berba da n Hukum, Tesis, Magister Ilmu Hu ku m Un iversitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,
2014, h. 28.

36

tersebut. Dalam ilmu hukum dikenal 3 katagori dari perbuatan melawan
hukum, yaitu sebagai berikut:


Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan



Perbuatan

melawan

hukum

tanpa

kesalahan (tanpa

unsur

kesengajaan maupun kelalaian)


Perbuatan melawan hukum karena kelalaian
Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:





Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan
kelalaian) sebagaimanapun terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata,
yaitu: “tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian
sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata yaitu:
“setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”



Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat
dalam pasal 1367 KUHPerdata yaitu:
“Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya sendir i, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan oleh orang-orang yang berada di
bawah pengawasannya . . .”

37

Perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau
kealpaan , yang atau bertentangan dengan hak orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku sendiri atau
bertentangan baik dengan kesusilaan baik, maupun dengan sikap hatihati yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain
atau benda. 26
Rosa Agustina 27 menjelaskan bahwa PMH dapat dijumpai baik
dalam ranah hukum pidana (publik) maupun dalam ranah hukum
perdata (privat). Sehingga dapat ditemui istilah melawan hukum pidana
begitupun melawan hukum perdata. Dalam konteks
dibandingkan

maka

kedua

konsep

melawan

hukum

itu jika
tersebut

memperlihatkan adanya persamaan dan perbedaan.
Persamaan pokok kedua konsep melawan hukum itu adalah untuk
dikatakan melawan hukum keduanya mensyaratkan adanya ketentuan
hukum yang dilanggar. Persamaan berikutnya adalah kedua melawan
hukum tersebut pada prinsipnya sama-sama melindungi kepentingan
(interest ) hukum. Perbedaan pokok antara kedua melawan hukum
tersebut,

apabila

melawan

hukum

pidana

lebih

memberikan

26

M.A. Moegni Djojodird jo,SH, Perbua ta n Mela wa n Hukum, Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta, 1982. H 57-58.
27

Rosa Agustina. 2003. Pe rbua ta n Mela wa n Hukum. Penerbit Pasca Sarjana FH
Universitas Indonesia.

38

perlindungan kepada kepentingan umum (public interest), hak obyektif
dan sanksinya adalah pemidanaan. Sementara melawan hukum perdata
lebih memberikan perlindungan kepada private interest, hak subyektif
dan sanksi yang diberikan adalah ganti kerugian (remedies). 28

i.

Tanggung Jawab Hukum Berdasarkan Wanprestasi
Tanggung jawab hukum dengan dasar wanprestasi didasari

adanya hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual timbul baik
karena perjanjian atau karena undang-undang. 29 Kontrak pada
dasarnya merupakan perikatan antar manusia/subyek hukum yang
berwujud hak dan kewajiban hukum dan yang terbit secara
bertimbal-balik sebagai konsekuensi dari kesepakatan/persetujuan
yang terbentuk di antara dan atas kehendak pihak-pihak
pembuatnya 30 . Aturan mengenai hukum perjanjian di Indonesia
diatur dalam KUHPerdata buku ketiga tentang perikatan.
Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata definisi persetujuan adalah
suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih

28

Kiki Nitalia Hasibuan, Op. Cit., h. 36.

29

Lihat Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Huku m Perdata.

30

Badan Pemb inaan Huku m Nasional Kementerian Hu ku m Dan HAM RI, Na ska h
Akademik Ranca nga n Undang Unda ng Hukum Kontrak , 2013, h. 16.

39

mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.31
Menurut KUHPerdata suatu perjanjian valid dan mempunyai
kekuatan mengikat apabila telah memenuhi empat syarat sahnya
perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata), yaitu:
a) kesepakatan (the mutual consent of the parties);
Sepakat artinya kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian harus setuju atau seia sekata mengenai hal yang
diperjanjikan, sehingga apa yang dikehendaki pihak yang
satu, juga dikehendaki pihak yang lain. Adanya sepakat itu
terjadi apabila kedua belah pihak itu dapat menyatakan
secara bebas dan adanya kebebasan itu dapat dilihat dalam
pasal 1321 KUHPerdata.
Pasal 1321 KUHPerdata :
“tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan
karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau
penipuan”.32

b) kecakapan (a capacity to contract);
orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut
hukum. pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau
31

32

Ibid . Pasal 1313.

Dyah Hapsari Prananingru m, Hukum Da ga ng, Fakultas Hukum Universitas Kristen
Satya Wacana, 2014, h. 10.

40

akil balik yang sehat pikirannya dianggap cakap menurut
hukum. Orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian
menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah :
1. orang-orang yang belum dewasa
2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3. orang-orang perempuan dalam hal- hal yang ditetapkan
oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian tertentu. 33
c) hal tertentu (a subject certain); dan
obyek dalam perjanjian paling tidak harus ditentukan
jenisnya, namun barang yang menjadi obyek dalam
perjanjian juga diisyaratkan harus barang tertentu yang
diperjanjikan dalam suatu perjanjian. Syarat untuk dapat
menentukan hak dan kewajiban masing- masing pihak jika
terjadi perselisihan bahwa barang yang diperjanjian harus
ada atau sudah ada di tangan salah satu pihak pada waktu
perjanjian dibuat tidak diharuskan dalam undang-undang.
Tetapi hal ini perlu dinyatakan secara tegas dengan diberikan
beberapa penjelasan agar jumlah dan jenis barang tidak
33

Ibid . h. 11.

41

berbeda jauh antara jumlah dan jenis yang diperjanjikan
dengan kenyataan sesungguhnya. 34
d) sebab yang halal (a legal cause). 35
maksud sebab di sini adalah isi perjanjian itu sendiri. obyek
perjanjian

itu

dapat

dikatakan

bertentangan dengan

halal

undang- undang,

apabila
kesusilaan,

tidak
dan

ketertiban umum. 36

Dengan adanya perikatan yang melahirkan hak dan
kewajiban maka jika salah satu pihak tidak melaksanakan hal-hal
yang telah disepakati, maka akan berakibat pada dilanggarnya
kepentingan

salah

satu

pihak,

dan

hukum

memberikan

perlindungan atas kepentingan dari pihak yang dilanggar tersebut.
Pihak yang melanggar perjanjian tersebut bertanggung jawab
terhadap tindakannya tersebut.
Dalam hukum perikatan, apabila salah satu pihak tidak
melaksanakan prestasinya maka dikatakan wanprestasi. Kata

34

Ibid.

35

Keempat syarat tersebut dibedakan menjad i syarat subyektif (kesepakatan dan
kecakapan) dan syarat obyektif (hal tertentu dan sebab yang halal). Pengolongan tersebut
memiliki art i, apabila syarat subyektif tidak terpenuhi maka akibatnya perjanjian tersebut
“dapat dibatalkan”. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut “batal
demi huku m.”
36

Ibid.

42

wanprestasi diresap dari kata wanprestasie (Belanda) dan dalam
bahasa Inggris dikenal dengan sebutan non-performance of
contract atau breach of contract. Wanprestasi adalah keadaan di

mana seorang debitur (berhutang) tidak memenuhi

atau

melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu
perjanjian. 37
Wanprestasi dapat berupa suatu keadaan dimana pihak yang
berkewajiban untuk melaksanakan prestasi:
a) Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan;
b) Melaksanakan apa yang dijanjikan, namun tidak tepat seperti
apa yang dijanjikan;
c) Melaksanakan apa yang dijanjikan tapi terlambat;
d) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.
Konsekuensi keadaan wanprestasi adalah pihak yang
dirugikan dapat menuntut pihak yang melakukan wanprestasi
berupa penggantian kerugian dengan perhitungan-perhitungan
tertentu berupa biaya, rugi dan bunga dan/atau pengakhiran
kontrak. Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap pengeluaran
dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan sebagai akibat
37

P.N.H, Siman juntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia , Jembatan, Jakarta,
1999, h. 339.

43

adanya wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian
adalah berkurangnya nilai kekayaan debitur sebagai akibat adanya
wanprestasi dari pihak debitur. Selanjutnya yang dimaksud dengan
bunga adalah kehilangan keuntungan yang seharusnya diperoleh
tetapi tidak jadi diperoleh oleh kreditur karena tindakan
wanprestasi dari debitur. 38
Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat
dituntut untuk:
a) pemenuhan perjanjian;
b) pemenuhan perjanian ditambah ganti rugi;
c) ganti rugi
d) pembatalan perjanjian timbal balik;
e) pembatalan dengan ganti rugi.
Kewajiban membayar ganti rugi (schade vergoeding)
tersebut tidak timbul seketika terjadi kelalaian, melainkan baru
efektif setelah debitur dinyatakan lalai (ingebrekestelling) dan tetap
tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam Pasal 1243
KUHPerdata. Sedangkan bentuk pernyataan lalai diatur dalam
Pasal 1238 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan:

38

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Da ri Sudut Pa nda ng Hukum Bisnis) Cetakan ke-II,
PT. Citra Aditya Bekt i, Bandung, 2001, h. 138.

44

1) Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau
akta lain yang sejenis, yaitu suatu sa linan dar ipada tulisan
yang telah dibuat lebih dahulu oleh juru sita dan diberikan
kepada yang bersangkutan.
2) Berdasa rkan kekuatan perjanjian itu sendiri.
3) Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul
peringatan atau aanmaning yang biasa disebut sommasi.

Pada

prinsipnya

debitur

memiliki

kewajiban

untuk

mememuhi prestasi sebagaimana diperjanjikan, dan apabila debitur
tidak

memenuhinya

maka

ia

dapat

dimintakan

pertanggungjawaban dalam bentuk membayar ganti rugi kepada
kreditur. Namun KUHPerdata memberikan pengecualiannya.
KUHPerdata memberikan tiga alasan yang dapat digunakan oleh
debitur yang dituduh lalai, yaitu:
1)

Force Majeure yaitu keadaan dimana seorang debitur

terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau
peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Hal
ini diatur dalam pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.
2)

Kreditur

sendiri

telah

lalai

(exceptio

contractrus) dan

3)

39

Kreditur telah melepaskan haknya. 39

Ibid h. 40-41.

non

adimpleti

45

ii.

Tanggungjawab Hukum Berdasarkan Perbuatan Melawan
Hukum
Perkara Lindenbaum vs Cohen adalah suatu tonggak penting

yang

memperluas

pengertian

perbuatan

melawan

hukum

(onrechtmatige daad ). Perkara tersebut melibatkan dua kantor
percetakan yang saling bersaing, satu milik Lindenbaum dan satu
lagi milik Cohen. 40
Suatu hari, pegawai yang bekerja di kantor Lindenbaum
dibujuk

oleh

Cohen

agar

memberitahukan

nama-nama

pelanggannya berikut penawaran yang diberikan kepada mereka.
Dengan data itu, Cohen bisa memanfaatkan data-data tersebut
untuk membuat suatu penawaran baru yang akan membuat ora ngorang akan memilih kantor percetakannya dari pada kantor
Lindenbaum. Untungnya, perbuatan Cohen cepat diketahui oleh
Lindenbaum. Akibatnya, Lindenbaum langsung mengajukan
gugatan terhadap Cohen di muka pengadilan Amsterdam. Selain
mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Cohen,

40

http://www.huku monline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan -melawan-huku mdan-wanprestasi-sebagai-dasar-gugatan, dikunjungi pada tanggal 20 januari 2017 pada pukul
11.48.

46

Lindenbaum juga meminta ganti rugi atas perbuatan Cohen
tersebut. 41
Di tingkat pertama Cohen kalah, tetapi sebaliknya di tingkat
banding justru Lindenbaum yang kalah. Di tingkat banding,
dikatakan bahwa tindakan Cohen tidak dianggap sebagai suatu
perbuatan melawan hukum karena tidak dapat ditunjukkan suatu
pasal dari Undang-Undang yang telah dilanggar oleh Cohen. 42
Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-nya
Belanda) tanggal 31 Januari 1919, Lindenbaum lah yang
dinyatakan sebagai pemenang. Hoge Raad menyatakan bahwa
pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW, termasuk
pula suatu perbuatan yang melanggar hak- hak orang lain,
bertentangan

dengan

kewajiban

hukum

si

pelaku,

atau

bertentangan dengan kesusilaan. 43 Sejak Arrest tanggal 31 Januari
1919, suatu perbuatan melawan hukum, apabila :
a. Melanggar hak orang lain, atau
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau
c. Bertentangan dengan kesusilaan yang baik, atau

41

Ibid .

42

Ibid .

43

Ibid .

47

d. Bertentangan dengan kepatuhan

yang terdapat

dalam

masyarakat terhadap diri atau barang orang lain 44
Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu
merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan
Melawan Hukum lahir karena adanya prinsip bahwa barang siapa
melakukan perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain
mewajibkan orang yang karena salahnya mengganti kerugian
tersebut (Pasal 1365 KUHPerdata).
Dalam hal tanggung jawab hukum, terdapat beberapa prinsip
tentang tanggung jawab hukum sangat penting. Dalam hukum,
setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu
hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung
jawab, sehingga diperlukan kehati- hatian dalam menganalisis siapa
yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab
yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
Secara umum, terdapat beberapa prinsip tanggung jawab
hukum antara lain :

1) Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (liability based
on fault)

44

Rach mat Set iawan, Tinja ua n Elementer Perbua tan Mela wa n Hukum, Alu mni,
Bandung, 1982, h. 17.

48

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability
based on fault) adalah prinsip yang cukup aman berlaku dalam

hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya
Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya

secara

hukum jika ada

unsur

kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang
dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,
mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:
a) adanya perbuatan;
Perbuatan melanggar hukum dapat berupa melanggar hak
orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si
pembuat, berlawanan dengan kesusilaan dan berlawanan
dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam
pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.
b) adanya unsur kesalahan;
Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan
hukum. Pengertian hukum, tidak hanya bertentangan

49

dengan undang- undang, tetapi juga bertentangan dengan
kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. 45
Kesalahan ini mempunyai tiga unsur yaitu:
1) perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;
2) perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya:
dalam arti objektif: sebagai manusia normal dapat
menduga akibatnya;
dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat
menduga akibatnya.
3) dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam keadaan
cakap.46
c) adanya kerugian yang diderita;
Pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya
harta kekayaan pihak yang satu yang disebabkan oleh
perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar
norma oleh pihak lain. 47 Kerugian yang diderita seseorang
secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu
45

https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1116051198-3-Bab%202.pdf,
tanggal 20 januari 2017 pada pukul 12.30.

dikunjungi

pada

46

Purwahid Patrick, Da sa r-Da sa r Hukum Perikata n (Perikata n ya ng Lahir dari
Perja njia n da n Unda ng-Undang) , Mandar Maju, Bandung, 1994, H. 10-11.
47

Nieuwenhuis, Pokok-pokok Hukum Perika ta n (terjemahan Djasadin Saragih),
Universitas Airlangga, Surabaya, 1985, h. 57.

50

kerugian yang menimpa diri dan kerugian yang menimpa
harta benda seseorang, sedangkan kerugian harta benda
sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta
kehilangan yang diharapkan.
d) adanya

hubungan kausalitas antara kesalahan dan

kerugian.
Prinsip ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang
yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak
korban. Artinya tidak jika orang yang tidak bersalah harus
mengganti kerugian yang diderita orang lain. Dan beban
pembuktiannya

ada

pada

pihak

yang

mengakui

mempunyai suatu hak, dalam hal ini adalah penggugat. 48

2) Tanggung

Jawab

Berdasarkan

Praduga

Selalu

Bertanggung Jawab (presumption of liability)
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung
jawab sampai ia dapat membuktikan kalau ia tidak bersalah.
Beban pembuktian ada pada si tergugat. Ini dikenal dengan
istilah beban pembuktian terbalik. Dalam prinsip beban

48

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35723/5/ Chapter%20III -V.pdf,
dikunjungi pada tanggal 20 januari 2017 pada pukul 12.42.

51

pembuktian terbalik, seseorang dianggap bersalah sampai yang
bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. 49
3) Tanggung Jawab Hukum Tidak Selalu Bertanggung
Jawab (presumption of nonliabiity)
Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya
dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat
terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common
sense dapat dibenarkan. Contohnya dapat kita lihat dalam

hukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi
kabin/tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh
penumpang

(konsumen)

adalah

tanggung

jawab

dari

penumpang, dalam hal ini pelaku usaha tidak dapt diminta
pertanggungjawabannya.45 Sekalipun demikian, dalam Pasal
44 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang
Angkatan Udara, ada penegasan,”prinsip praduga untuk tidak
selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara
mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan
pembatasan uang ganti rugi, artinya bagasi kabin/ tangan tetap
dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjang bukti

49

Ibid .

52

kesalahan pihak pelaku usaha dapat ditunjukkan, beban
pembuktian ada pada si penumpang. 50

4) Tanggung Jawab Mutlak (absolute liability)
Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan
prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability) kendati
demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua
terminology diatas. Ada pendapat yang mengatakan, strict
liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan

kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada
pengecualian-pengecualian

yang

memungkinkan

untuk

dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force
majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung

jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain
itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan
perbedaan keduanya pada, ada atau tidak adanya hubungan
kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan
kesalahannya. Pada strict liability hubungan itu harus ada,
sementara pada absolute liability hubungan itu tidak selalu
ada. Maksudnya, pada absolute liability dapat saja si tergugat
50

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35723/5/ Chapter%20III -V.pdf,
dikunjungi pada tanggal 20 januari 2017 pada pukul 13.08.

53

yang dimintai pertanggung jawaban itu bukan si pelaku
langsung kesalahan tersebut (misalnya dalam kasus bencana
alam). 51
Pertanggungjawaban hukum strict liability dikenal dan
digunakan dalam hukum lingkungan dan hukum penerbangan.
Diterapkannya konsep pertanggungjawaban tersebut dapat
dilihat dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 88 menyatakan
“setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak
atas kerugian yang terjadi tanpa perlu membuktikan unsur
kesalahan.”
Di dalam penjelasan pasal 88, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan “bertanggungjawab mutlak” atau strict
liability ada lah unsur kesalahan yang tidak per lu dibuktikan
oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.

Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan
tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. 52

51

Ristiani Gani Mendrofa, Op. Cit., h. 41-42.

52

Ibid . h. 44-45.

54

5) Tanggung Jawab Dengan Pe mbatasan (limitation of
liability)

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of
liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk

dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian
standar yang dibuatnya. Seperti dalam perjanjian cuci cetak
film misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicuci/dicetak
itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas),
maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar
sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip tanggung jawab
ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak
oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, seharusnya pelaku
usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang
merugikan

konsumen,

termasuk

membatasi

maksimal

tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. 53

b) Kepastian Hukum
53

https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1116051198-3-Bab%202.pdf, d ikunjungi pada
tanggal 20 januari 2017 pada pukul 13.24.

55

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat
dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk
nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum
terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan.
Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan
apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu.
Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan
hukum tanpa diskriminasi. 54
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari
hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan
sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut
sebagai salah satu tujuan dari hukum. 55
Kata ”kepastian” berkaitan erat dengan asas kebenaran, yaitu
sesuatu yang secara ketat dapat disilogismekan secara legal- formal.
Melalui logika deduktif, aturan-aturan hukum positif ditempatkan
sebagai premis mayor, sedangkan peristiwa konkret menjadi premis
54

Moh. Mahfud MD, Penegaka n Hukum Da nTa ta Kelola Pemerinta han Ya ng Baik,
Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan
oleh DPP Partai HANURA. Mahkamah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009.
55

Jaka Mulyata, Kea dilan, Kepa stia n, Da n Akiba t Hukum Putusa n Ma hka mah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 100/Puu -X/2012 Tenta ng Judicia l Review Pa sa l 96
Unda ng-Unda ng Nomor : 13 Ta hun 2003 Tentang Ketena gakerja a n, Tesis, Program
Magister Ilmu Huku m Fakultas Huku m Un iversitas Sebelas Maret Surakarta, 2015, h. 24-25.

56

minor. Melalui sistem logika tertutup akan serta merta dapat diperoleh
konklusinya. Konklusi itu harus sesuatu yang dapat diprediksi,
sehingga semua orang wajib berpegang kepadanya. Dengan pegangan
inilah masyarakat menjadi tertib. Oleh sebab itu, kepastian akan
mengarahkan masyarakat kepada ketertiban. 56
Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada
kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam
menjalankan perilaku. Dengan demikian, tidak salah apabila Gustav
Radbruch mengemukakan kepastian sebagai salah satu tujuan dari
hukum. Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan
kepastian dalam hukum. Kepastian hukum merupakan sesuai yang
bersifat normatif baik ketentuan maupun keputusan hakim. Kepastian
hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam
pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan konsekuen serta tidak
dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif dalam
kehidupan masyarakat. 57
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari
hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai

56

Ibid . h. 25.

57

Ibid .

57

kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan
sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut
sebagai salah satu tujuan dari hukum. 58
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah
jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum
dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.
Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun
hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat
setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat
subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan. Kepastian hukum
merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya sehingga
masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam
memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah
bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum
yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada
hukum positif. Kepastian hukum menghendaki adanya

upaya

pengaturan hukum dalam perundang- undangan yang dibuat oleh pihak
yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki

58

Ibid .

58

aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum
berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati. 59
Dari uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka
kepastian dapat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan,
tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan
dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat,
mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna
atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak
boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian
hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang mengandung
kejelasan,

tidak

menimbulkan

multitafsir,

tidak

menimbulkan

kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan
kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang
ada.60

B.

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENGATURAN
PERIZINAN
FIBER OPTIK

59

Ibid. h. 28-29.

60

Ibid . h. 30-31.

PEMASANGAN

JARINGAN

KABEL

59

Secara umum terdapat berbagai peraturan perundang- undangan yang
mengatur tentang ruang manfaat jalan untuk penempatan bangunan utilitas
serta perizinannya. Utilitas itu sendiri ialah fasilitas yang menyangkut
kepentingan umum meliputi listrik, telekomunikasi, informasi, air, minyak,
gas dan bahan bakar lainnya, sanitasi dan sejenisnya. 61 Berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang perizinan pemasangan bangunan
utilitas dalam hal ini Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Pada Pasal 12 menyatakan bahwa :
1.

Dalam rangka
pembangunan, pengopera sian,
dan atau
pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi
dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan
yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah
2. Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap sungai,
danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar
3. Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemer intah yang
bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundangundangan yang berlaku

Penjelasan Pada Pasal 12 ayat (3) diatas dikatakan bahwa

61

Pasal 1 ayat (13) Peraturan Menteri Pekerjaan Umu m No mor: 20/ Prt/M/2010
tentang Pedoman Pemanfaatan dan Penggunaan Bagian -Bagian Jalan

60

“Yang dimaksud dengan instansi pemerintah adalah instansi yang
secara langsung menguasai, memiliki, dan atau menggunakan tanah dan
atau bangunan.”
Pasal

tersebut

menunjukan

telekomunikasi/operator

seluler

jelas
wajib

bahwa

Penyelenggaran

memperoleh

izin

dalam

pembangunan jaringan telekomunikasi, dan salah satunya yaitu wajib
memperoleh izin dalam pemasangan jaringan kabel fiber optik.

2. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
Pada Pasal 1 ayat (4) dikatakan bahwa :
“Jalan adalah prasa rana transportasi da rat yang meliputi segala bagian
jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
dip