Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelaksanaan Hukum Adat Pela Gandong antara Negri Latuhalat dan Negri Alang di Ambon, Maluku T1 312010031 BAB I

BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seperti diketahui bersama bahwa pada kenyataannya di Negara kita umumnya
warga masyarakat didaerah pedesaan masih tunduk dan taat pada aturan hukum adat
sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku serta berinteraksi dengan sesama.
Hukum adat menurut Prof Dr. Soerjono Soekanto adalah keseleruhan adat yang tidak
tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kebiasaan, kesusilaan, dan kelaziman yang
mempunyai akibat hukum. Menurut Ter Haar

hukum adat merupakan keseluruhan

peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para perangkat hukum yang
mempunyai wibawa serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara merta
dan dipatuhi dengan sepenuh hati.1
Hukum adat tumbuh dan dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata
tertib sosial dan tata tertib hukum diantara manusia yang bergaul didalam suatu komunitas
masyarakat, agar supaya dengan demikian dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya
yang mungkin atau telah mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh hukum adat itu
baik bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tidak kelihatan tetapi diyakini dan
dipercaya sejak lahir sampai meninggalnya seseorang. Dimana ada masyarakat hukum

adat yang senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara dan pandangan

1

Sri Harini Dwiyanti. Pengantar Hukum Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,
2005 hlm 31

hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu
berlaku.
Suparlan mengatakan pada saat yang sama, bahkan telah berlangsung jauh lebih
lama terdapat pelbagai sistem hukum dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan lain
(the other cultures) selain state law (hukum negara).2Masyarakatnya mempertahankan
sistem-sistem hukum tersebut secara dinamis sesuai dengan laju kebudayaannya. Dalam
kondisi yang demikian tidak jarang muncul kendala dimana terjadi benturan antara hukum
Negara dan hukum adat, walaupun hukum adat merupakan sumber hukum yang tidak
tertulis karena berasal dari adat kebiasaan masyarakat3.
Pada dasarnya hukum adat merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
suatu komunitas masyarakat dimana masyarakat itu sendiri yang menganut serta
menaatinya. Yang tidak kalah penting untuk mendapat perhatian secara seksama adalah
bahwa hukum adat itu telah dipraktekkan sejak lama sehingga menjadikan hukum adat

sebagai faktor penentu dalam mempersatukan seluruh anggota masyarakat, baik dari segi
lahiriah maupun non lahiriah dalam konteks hukum adat. Oleh karena itu maka dapat
diasumsikan bahwa sesungguhnya hukum adat adalah kebudayaan. Senada dengan
pandangan diatas, Soerjono Soekamto mengutip pendapat Hazseri yang mengatakan
bahwa: “Hukum adat adalah hukum yang dijumpai dalam adat sebagai bagian integralnya,

2

Djaka Soehendera, Paper untuk Seminar dan Pelatihan Pluralisme Hukum, yang diselenggarakan HuMA.
Depok & Bogor: 28 s.d 30 Agustus 2003
3

Suparlan (1980)

sebagai bagian kelengkapannya, Adat selengkapnya adalah seluruh kebudayaan yang
berkaidah sebagaimana tumbuh dan dikenal dalam masyarakat adat” 4.
Frank Cooley dalam Ambonese Adat : A General Description menyebutkan
pentingnya adat dalam kehidupan bermasyarakat di Ambon, antara lain ; Adat adalah
pemberian nenek moyang atau leluhur dan harus di patuhi, adat juga merupakan
representasi dari perintah leluhur sebagai pendiri komunitas. Adat adalah sebuah hukum

dalam mengatur kehidupan bermasyarakat didalam komunitas (1962: 2-4). Kedua dimensi
ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Dalam penjelasannya, Cooley menguraikan
bahwa Leluhur yang adalah pendiri dari komunitas, mendirikan Negri (baca:Desa) dan
menetapkan adat sebagai sebuah sistem yang mengatur hidup mereka dimasa kini maupun
mengatur hidup keturunan mereka di masa depan. Cooley menambahkan bahwa mereka
yang menjalankan adat mendapatkan berkat dari leluhur (baca: Tete Nene Moyang),
sedangkan mereka yang mengabaikan adat mendapat sebuah kutukan, seperti dalam
penulisannya berikut ini5 :
….., it becomes clear that adat is obligatory upon all members of the community precisely
because it is believed to have been established and handed down to them by the ancestors.
It represents the will of the ancestors. Observance of it is an expression of respect for the
ancestors. To ignore or neglect it is to flout the will of the ancestors, and this is
exceeedingly hazardous because of the power which they continue to hold. The sanctions
of adat are thus rooted primarily in this power attributed to the ancestors.

Kekuatan pemahaman ini masih ada sampai sekarang sehingga adat tetap menjadi
fenomena pertama dalam kehidupan masyarakat Ambon, walaupun masyarakat pulau
Ambon rata-rata memiliki identitas yang pada umumnya beragama Kristen dan Islam.

4


Agus Umbu Tauwa, Deskripsi Tentang Pelaksanaan Kawin Paksa Menurut Hukum Adat di Kecamatan Katiku
Tana Kabupaten Sumba Barat, FH UKAW. Hal. 2, 2000
5
http//etd.ugm.ac.id/index.php :Frank Cooley dalam Ambonese Adat : A General Description

Praktek-praktek percampuran antara adat dan agama terasa sangat nyata, sehingga
terkadang praktek-praktek yang dilakukan oleh orang Ambon terasa sangat kental dengan
agama, tetapi itu hanya menjadi sebuah bungkusan luar, isi dari semangat tersebut berasal
dari spiritualisme manusia adat Maluku atau Ambon pada khususnya untuk melaksanakan
adat6 .
Ini terlihat pada proses perkawinan masyarakat adat di Maluku dimana mengenal
perkawinan minta bini (masuk minta) yang sangat diharapkan setiap orang, karena
perkawinanan minta bini/ masuk minta ini selain direstui kedua belah pihak juga berakhir
pada sahnya nikah gereja. Negri Latuhalat dan Alang menganut agama Nasrani juga
mengenal perkawinan minta bini (masuk minta) seperti halnya, masyarakat ambon pada
umumnya, tetapi setiap tempat tentu memiliki aturan dan tata cara yang berbeda dalam
prosesi masuk minta. Dalam hal ini, keluarga laki-laki harus memeberikan harta kawin
kepada keluarga dari pihak perempuan yang hendak dilamar sebagai tanda bahwa mereka
hendak meminang anak gadis itu untuk dijadikan isteri oleh anak laki-laki mereka.

Pemberian harta kawin untuk pihak perempuan adalah suatu keharusan yang tidak bisa
diabaikan karena menurut kepercayaan masyarakat setempat jika menyalahi aturan adat
yang berlaku maka terjadi hal yang tidak diinginkan (pamali).
Masyarakat di Maluku pada umumnya merupakan masyarakat adat, dikenal
kesatuan masyarakat hukum adat dengan nama Negri yang diatur berdasarkan hukum adat
setempat, kesatuan-kesatuan masyarakat adat tersebut beserta perangkat pemerintahannya
telah lama ada, hidup dan berkembang serta dipertahankan dalam tata pergaulan hidup
masyarakat. Negri di Maluku sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, memiliki

6

http//etd.ugm.ac.id/index.php : Tesis UGM Download pdf 26 februari 2015

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
hak, asal usul Negeri, adat istiadat dan hukum adat yang diakui dalam Sistem Pemerintahan
Nasional.7
Latuhalat dan Alang adalah Negri atau desa yang berada di provinsi maluku
dengan ibukota Ambon, sebuah wilayah yang berada di daerah timur Indonesia. Kedua
Negri ini berada di satu daratan yaitu Pulau Ambon. Negri Latuhalat meliputi Tanjung
Nusaniwe seluruhnya yang dikelilingi oleh lautan dan hanya sebagian saja yang berbatasan

dengan daerah dataran lainnya, sedangkan Negri Alang adalah desa/negeri yang terletak di
kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa kedua Negri ini memegang prinsip adat yang diwariskan
nenek moyang zaman dahulu hingga sekarang ini. Salah satunya adat persaudaraan
sekandung yang dikenal masyarakat Maluku sebagai adat Pela Gandong8.
Pela adalah suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku,
berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negri (sebutan untuk kampung atau desa)
dengan negri lainnya, yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama
lain di Maluku (Bahasa Ambon: Tapele Tanjong). Biasanya satu negri memiliki paling
tidak satu atau dua Pela yang berbeda jenisnya. Sistem perjanjian pela ini diperkirakan
telah dikenal atau telah ada sebagai bagian kearifan lokal masyarakat Maluku sebelum
masa kedatangan bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda; dan digunakan

7
8

http://webcache.googleusercontent.com/:fhukum.unpatti.ac.id didownload pada 10 May 2016
http://dolfis.wordpress.com/budaya-maluku/pela-gandong: download 26 februari 2015

untuk memperkuat pertahanan terhadap penyerangan bangsa Eropa yang pada waktu itu

melakukan upaya monopoli rempah-rempah.9
Pela berasal dari kata “Pila” yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”.
Sedangkan jika ditambah dengan akhiran-tu, menjadi “pilatu”, artinya adalah menguatkan,
usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela
ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa
pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa Pela adalah suatu ikatan persaudaraan atau
kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong
satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang
dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ikatan pela ini diikat dengan
suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari tangan
yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang.10
Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua
kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain.
Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masing-masing
pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu
antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela.
Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman
bagi yang melanggaranya.


9

https://id.wikipedia.org/wiki/Pela di download 26 februari 2015
Pattiruhu.1997. Seri Budaya Pela- Gandong Dari Pulau Ambon. Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku Ambon.

10

Gandong, apakah ungkapan “ Gandong “ itu mempunyai daya perekat tersendiri
bagi angota-anggota masyarakat pela. Bahasa tanah (baca: bahasa Ambon) mengenal
semacam akar kata (yang berasal dari bahasa Indonesia), dalam pemakaiannya, maka kata
dasar ini sering ditambahi aksara pada bagian awal, sisipan, ataupun akhiran. Hal semacam
itu dapat kita bandingkan antara kandung (dalam bahasa Indonesia) dan gandong dalam
bahasa Ambon. Orang Ambon yang tadinya berasal antara lain. Dari kehidupan social di
Nunusaku, sebagaai manusia Timur, jelas mempunyai orentasi yang lain dalam
menentukan nama bagi suatu perserikatan antara negri-negri yang disebut pela gandong.
Jadi gandong adalah rahim atau pangku, suatu pusat dan awal dari pada segala suatu yang
hidup.
Awal terjadi hubungan pela antara Negri Latuhalat dan Negri Alang ini berasal dari
dimana seorang bangsawan Negri Alang menyukai seorang gadis dari Negri Latuhalat, dan
keluarga bangsawan dari Negri Alang datang ke Latuhalat untuk melamar gadis tersebut

setelah diterima keluarga pihak perempuan ternyata pimpinan adat di Negri Latuhalat
pada saaat itu tidak setuju dengan lamaran tersebut tapi karna keluarga takut malu,
pimpinan adat di Negri Latuhalat mempersiapkan penganten dari boneka yang akan
dikawinkan dengan bangsawan dari Negri Alang. Setelah terjadi arak-arakan penganten
boneka yang diketahui asli oleh bangsawan dan orang-orang di Negri Allang itu
menjatuhkan diri di Tanjung Hattu, orang-orang dari mengetahui gadis yang menjatuhkan
diri itu adalah penganten perempuan dari Negri Latuhalat. Namun setelah beberapa hari
penganten boneka ditemukan oleh Negri Leliboy dan menjadi cibiran bahwa Negri Alang
buta karena bangsawan mau mengawini boneka. Ini yang menjadi asal dimana para tua-tua

adat dan bangsawan Negri Alang datang mengikat janji sebagai saudara sekandung dengan
hubungan Pela.

Pada dasarnya ada 3 Pela yang ditetapkan, yakni 11:

1. Pela karas, Pela Karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua Negri (desa) atau
lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan biasanya
berhubungan dengan peperangan antara lain seperti pengorbanan, akhir perang
yang tidak menentu (tak ada yang menang atau kalah perang), atau adanya bantuanbantuan khusus dari satu Negri kepada Negri lain.
2. Pela gandong atau bungso didasarkan pada ikatan darah atau keturunan untuk

menjaga hubungan antara kerabat keluarga yang berada di Negri atau pulau yang
berbeda
3. Pela tempat sirih diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak begitu penting
berlangsung, seperti memulihkan damai kembali sehabis suatu insiden kecil atau
bila satu Negri telah berjasa kepada Negri lain. Jenis Pela ini juga biasanya
ditetapkan untuk memperlancar hubungan perdagangan

Pada umumnya Pela di Maluku mempunyai aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar oleh
kedua negri atau desa. Pela didasari atas empat ketentuan sebagai berikut12 :

11

Sahusilawane Ny,F.Sejarah Pela Dan Gandng Antara Negeri Negeri Di Pulau Ambon, Ambon:Balai Kajian
Sejarah Dan Nilai Tradisional,2004 Hal 14

12

http://dolfis.wordpress.com/budaya-maluku/pela-gandong

1. Negri yang berpela berkewajiban saling membantu disaat genting (bencana alam,

peperangan, dll)
2. Jika diminta, maka Negri yang satu wajib memberi bantuan kepada Negri yang
lain yang hendak melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan kesejahteraan
umum, seperti umumnya : (pembangunan rumah-rumah ibadah seperti gereja,
mesjid; atau bangunan bangunan umum)
3. Kalau seorang Pela datang berkunjung ke Negri yang berpela itu, maka orang
tersebut wajib memberi makan kepada saudara pelanya, tamu yang sepela tersebut
tidak usah meminta izin untuk membawa pulang apa-apa dari hasil tanah atau buahbuahan menurut kesukaannya.
4. Semua penduduk Negri-Negri yang yang berhubungan Pela itu dianggap sedarah,
sebab itu dua orang sepela tidak boleh kawin karena di pandang sumbang. Tiap
pelanggaran yang berkaitan dengan itu akan di hukum keras oleh nenek moyang
yang mengikrarkan Pela itu. Contoh-contoh penghukuman yaitu sakit, mati dan
kesusahan lain, biasa juga terjadi mengakibatkan ke anak-anaknya. Biasanya
mereka yang melanggar pantangan itu disuruh berjalan

mengelilingi negri-

negrinya yang hanya berpakian daun-daunan kelapa, sementara penghuni negri
mencaci makinya.

Pela gandong sendiri bagi masyarakat Maluku dapat diartikan sebagai perserikatan
beberapa Negri lain. Perserikatan yang berdasarkan hubungan persaudaraan sejati, dengan
isi dan tata laku yang diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, di mana para pihak

berjanji untuk tunduk pada perjanjian yang dimaksud sebagai dasar hukumnya dari waktu
ke waktu13.
Salah satu ketentuan Pela antara Negri Latuhalat dengan Negri Alang adalah
dilarang kawin yang ditulis dalam sebuah prasasti pela”diarak Negri Latuhalat dan Negri
Alang dilarang kawin”, yang dituliskan di atas sebuah tugu adat nya adalah laki-laki dan
perempuan dilarang kawin karena dianggap saudara kandung14. Menurut hukum adat
setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk
melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orang tua/kerabatnya.
Ini juga terjadi dalam budaya Pela Gandong yang terjadi di Maluku, Dimana NegriNegri adat di Maluku tidak dapat kawin/menikah dengan sesama Negri-Negri adat lainnya
seperti Negri Latuhalat dengan Negri Alang di mana kedua Negri-Negri adat ini tidak dapat
melangsungkan pernikahan/kawin karena kedua Negri ini Pela (saudara kandung). Adat
larangan kawin tersebut masih berlansung sampai sekarang ini, dan masyarakat Negri
Latuhalat dan Negri Alang masih memegang teguh hukum adat tersebut15 .
Ada sekitar 5 orang pasangan yang secara langsung juga menjadi responden dalam
penelitian skripsi ini yang berada dari dua Negri Latuhalat dan Negri Alang

yang

melakukan perkawinan dengan mengesampingkan larangan Pela tersebut, baik itu secara
sengaja atau tidak sengaja, dengan alasan tidak mengetahui adanya larangan perkawinan
Pela. Ketidakinginantahuan si pelaku dan kurangnya informasi berkaitan larangan

13

Sahusilawane F. Sejarah Pela Dan Gandng Antara Negeri Negeri Di Pulau Ambon,Ambon:Balai Kajian Sejarah
Dan NilaiTradisional,2004 , Hal 14
14

Dokumentasi Pengurus PAASA(Persatuan Anak-Anak Samasuru, ,Ameth) Ambon,Sejarah"Pela"Ameth-Ema
,(Maluku:Percetakan Daerah,1972),hlm4
15

J.E.Lokollo,BudayaPela-GandongdariPulauAmbon,cet.ke-1(Ambon:LembagaKebudayaanMaluku,1996),hlm.5

perkawinan Pela tersebut,

dan yang secara tidak langsung dengan demikian harus

diselesaikan dengan cara adat dengan berbagai cara tahapan adat untuk menyelesaikan
permasalahan perkawinan pela tersebut.
Dengan demikian berkaitan dengan ini dapat ditegaskan bahwa telah terjadi
pelanggaran terhadap larangan Kawin Pela antara Negri Latuhalat dan Negri Alang yang
dilakukan oleh 5 Responden, dimana seharusnya larangan tersebut yang adalah bagian dari
aturan-aturan adat yang berlaku atas kedua Negri yang telah melakukan perikatan
persaudaraan dapat ditaati oleh kedua pasangan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud untuk membahas masalah ini
lebih lanjut dengan tinjauan hukum adat dalam bentuk proposal skripsi dengan judul
“Pelaksanaan Hukum Adat Pela Gandong Negri Latuhalat Dan Negri Alang di Ambon
Propinsi Maluku". Ini sesuai dengan toeri yang digunakan dalam sistem hukum dari
Friedman dan turut dibahas dalam skripsi ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pelaksanaan hukum adat Pela Gandong di Negri Latuhalat dan Negri
Alang terhadap adanya pelanggaran perkawinan antara pasangan kawin pela?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Memperoleh pemahaman tentang pelaksanaan hukum adat Pela Gandong dan
tinjaun hukum adat dalam hubungan dengan larangan perkawinan antar pela.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan
solusi dalam bidang hukum adat terkait larangan perkawinan pela gandong di Ambon.
Dengan demikian pembaca atau calon peneliti lain akan semakin mengetahui tentang
hukum adat khususnya tenanting larangan perkawinan pela gandong di Ambon, ini Dapat
dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji secara mendalam
tentang hukum adat berkaitan dengan masalah yang penulis utarakan diatas.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam
rangka meningkatkan fungsi hukum adat khusunya pemerinta daerah/kota (Ambon) dalam
penegakan tentang hukum adat dan juga mayarakat terhadap manfaat larangan perkawinan
antar pela.

F. METODE PENELITIAN
Metode penelitian diartikan sebagai ajaran metode-metode, sedangkan pengertian
dari metode adalah suatu tehnik atau cara yang di rancang sedemikian rupa dan di pakai
dalam proses untuk memperoleh pengetahuan.

Dalam penelitian ini penulis memerlukan data-data agar hasil penelitian dapat di
pertanggung jawabkan. Untuk itu diperlukan suatu metode tertentu agar dapat diperoleh
data-data yang lengkap. Selanjutnya penulis menggunakan metode sebagai :

1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian sosio legal yaitu studi hukum yang dipelajari
sebagai variable akibat yang timbul sebagai hasil akhir dari berbagai kekuatan dalam proses
social. Langka-langkah dan desain teknis penelitian hukum mengikuti pola ilmu social dan
berakhir dengan penarikan kesimpulan.16 Dengan demikian berkaitan dengan skripsi ini
maka dapat telihat hasil penelitian bahwa kawin pela sebagai variable yang melanggar
aturan atau tatanan adat yang berlaku di Negri Latuhalat dan Negri Allang.

2. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis. Yuridis sosiologis, yaitu
pendekatan penelitian yang mengkaji persepsi dan perilaku hukum orang (manusia dan
badan hukum) dan masyarakat serta efektivitas berlakunya hukum positif di masyarakat.17
Adanya interaksi social dalam penyelesaian masalah perkawinan pela gandong menurut
hukum adat yang berlaku di masyarakat adat negri latuhalat dan negri alang adalah menjadi
fokus analisa penelitian skripsi ini.

3. Teknik Pengambilan Data
a. Data Primer
Data ini diperoleh dengan cara wawancara, terhadap:
1. Pelaku kawin antar Pela antara Negri Latuhalat dan Negri Alang

16
17

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta. 1984. Hal 13
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta. 1984. Hal 51

2. Kepala adat Negri Latuhalat dan Negri Alang, aparat Negri (Raja)
sebagai informen
3. Orang tua pasangan kawin antar Pela
4. Masyarakat Adat Negri Latuhalat yakni Latuputty dan Negri Alang
yakni Patty
5. Sekertaris Negri Alang Buce Patty

b. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder diperoleh dengan cara studi
kepustakaan melalui literatur dan dokumen-dokumen yang relevan dengan
pokok permasalahan.

4. Unit Amatan dan Unit Analisia
a. Unit Amatan
Unit amatan adalah para pihak yang mengetahui terkait bagaimana tinjauan
hukum adat terhadap larangan perkawinan karena asas pela gandong (
studi kasus di Negri Latuhalat dan Negri Alang, Ambon -Maluku ) yakni :
1. Pelaku kawin antar Pela antara Negri Latuhalat dan Negri Alang
2. Kepala adat Negri Latuhalat dan Negri Alang, aparat Negri (Raja)
sebagai informen
3. Orang tua pasangan kawin antar Pela

4. Masyarakat Adat Negri Latuhalat yakni Latuputty dan Negri Alang
yakni Patty
5. Sekertaris Negri Alang Buce Patty

b. Unit Analisa
Unit anaslisis dalam pendekatan ini adalah terletak pada pelaksanaan
hukum adat pela gandong di Negri Latuhalat dan Negri Alang terhadap
adanya pelanggaran perkawinan antara pasangan kawin pela
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis dan secara berurutan
sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas dan terarah. Adapun sistematika
penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II HASIL PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian data penelitian, sekaligus analisa peneliti terhadap data-data
atau bahan-bahan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji pada penelitian
ini.
BAB III PENUTUP
Bab ini berisi pernyataan tentang kesimpulan (jawaban atas permasalahan) dan
saran.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelaksanaan Hukum Adat Pela Gandong antara Negri Latuhalat dan Negri Alang di Ambon, Maluku T1 312010031 BAB II

2 19 41

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelaksanaan Hukum Adat Pela Gandong antara Negri Latuhalat dan Negri Alang di Ambon, Maluku

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB VI

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB V

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pela Gandong sebagai Konseling Orang Basudara dan Agen Perdamaian Konflik Islam-Kristen di Ambon T2 752012008 BAB I

0 0 12

BAB 4 IDENTITAS TERITORIAL DI NEGRI HATUNURU - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Identitas Teritorial: Studi tentang Identitas Teritorial di Negri Hatunuru

1 1 28

EKSISTENSI HUKUM ADAT PELA GANDONG TERHADAP PERKAWINAN ANTAR MARGA PADA MASYARAKAT MALUKU DI PULAU AMBON SKRIPSI

0 0 11

EKSISTENSI HUKUM ADAT PELA GANDONG TERHADAP PERKAWINAN ANTAR MARGA PADA MASYARAKAT MALUKU DI PULAU AMBON SKRIPSI

0 0 11