Kritik Sosial dalam cerpen Yth, Warga Kota Karya Putu Wijaya.

(1)

KRITIK SOSIAL

DALAM CERPEN “TYH, WARGA KOTA” KARYA PUTU WIJAYA Oleh: I Ketut Sudewa

Prodi Sastra Indonesia

Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana Jl. Nias 13 Denpasar, telp. (0361) 224121 Email: sudewa.ketut@yahoo.co.id, Hp. 081338651955

ABSTRACT

The works Putu Wijaya (especially prose and drama) full of surprises and make the reader constantly reconstruct its interpretation every time I read. This situation makes his works contain multiple interpretations. In addition, the theme of the story is always the actual story technique that is usually dominated by engineering dreams, flashbacks, and stream of counsiousness. Short story "Yth, Warga Kota" is one of the works that have the theme Putu Wijaya actual flashback narrative technique, imagery, letters, and reports. All of the techniques used by the author of this story to express social criticism.

Seen from the point of sociological literature, short stories contain social criticism in the legal field and from the point of psychology literature describes the inner conflict characters in deciding a case. A judge was having mind conflict in preparing the final decision for the accused. The mind conflict arising from the experience of deciding a case that is not right before. In addition, because of pressure from the community or city residents to do justice to punish the perpetrators severely punished, even though the accused was the son of an official. On the other hand, the defendant's family also tried to free the defendant from punishment in various ways, including promises of certain positions for judges. Finally, although the final decision has been made by the judge to severely punish the accused as the demands of society, but the judge personal sadness and heavy with the decision taken.

Keywords: social criticism, multiple interpretations, mind conflict 1. Pendahuluan

Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan Indonesia yang terkenal tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar Indonesia. Karya-karya sangat kreatif dengan mengetangahkan persoalan-persoalan (tema) yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang sifatnya aktual. Persoalan masyarakat tersebut biasanya dikemas dalam suatu teknik cerita, seperti teknik mimpi, flashback, dan stream of counsiousness. Dari sudut pembaca atau penikmat, tema dan teknik cerita menjadi dua unsur cerita yang sangat menentukan menarik atau tidaknya karya bersangkutan. Walaupun temanya menarik dan aktual, tetapi disajikan dengan teknik cerita yang tidak menarik, maka karya sastra tersebut tidak akan menarik juga untuk dibaca. Dalam konteks ini kehadiran pembaca menjadi penting karena pembacalah yang akan menilai dan memberi


(2)

makna suatu karya sastra sebagai penyambut (Hawkes, 1978:156-157; Pradopo, 1995:106-107). Pembacalah yang akan menentukan perjalanan sejarah suatu karya sastra. Tanpa pembaca, maka karya sastra bersangkutan sesunggunnya tidak pernah ada dan sekaligus sastrawan juga tidak pernah lahir.

Tema yang sering diungkapkan oleh Putu Wijaya di dalam karya-karyanya adalah berupa kritik sosial. Tema ini memang sering menjadi perhatian para sastrawan mengingat tema ini memiliki peranan penting dalam menata kehidupan pemerintahan dan masyarakat kea rah yang lebih baik. Karya sastra menjadi salah satu sarana yang efektif untuk menyampaikan kritik sosial di samping pers dan gerakan pisik berupa demonstrasi. Ketika jurnalisme (media massa) sebagai salah satu lembaga yang berfungsi sebagai pengontrol sosial dalam masyarakat melalui fakta-fakta dibungkam fungsinya, maka Ajidarma menyarankan, sastra harus bicara karena sastra bicara tentang kebenaran (1977:1).

Walaupun penyampaian kritik sosial terutama melalui karya sastra membawa risiko yang besar, tetapi sastrawan tidak pernah surut menyuarakan kritik sosial itu melalui karya-karyanya. Keadaan ini kuat terjadi ketika berlangsungnya pemerintahan Orde Baru yang bersifat otoriter, seperti yang pernah dialami oleh WS. Rendra (Haryono, (ed)., 2009:65-66). Tampaknya, karya sastra akan terus dipakai untuk menyampaikan kritik sosial sepanjang masih terjadi persoalan-persoalan sosial dalam masyarakat.

Salah satu karya Putu Wijaya yang mengandung kritik sosial adalah cerpennya yang

berjudul “Yth, Warga Kota” (selanjutnya disingkat “YWK”). Cerpen ini merupakan salah satu

dari 17 cerpen yang ada di dalam antologi BOM (1992:22-35). Cerpen ini di tulis tahun 1970 dan petama kali dimuat di harian Kompas serta ditulis kembali dalam bentuk naskah sandiwara dengan judul Dor (Wijaya, 1983:149). Walaupun cerpen ini sudah cukup lama, tetapi selalu menarik untuk diapresiasi dan diinterpretasi karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan cerpennya yang lain. Di samping temanya yang aktual, juga teknik ceritanya yang menarik karena di dalam cerpen ini digunakan beberapa teknik cerita secara bersamaan. Hal inilah yang menyebabkan kritik sosial yang terkandung di dalam cerpen ini memiliki kekuatan yang besar dan tajam.


(3)

Untuk membahas kandungan kritik sosial di dalam cerpen ini digunakan teori sosiologi sastra dan didukung oleh teori lain yang relevan, seperti teori psikologi. Teori sosiologi sastra dipakai untuk mengungkapkan keadaan sosial masyarakat yang tergambar di dalam cerpen

“YWK”. Hal ini sesuai dengan pandangan Junus (1986:7) yang mengatakan bahwa karya sastra

sebagai refleksi dari realitas. Cerpen ini merefleksikan keadaan sosial masyarakat (Indonesia) terutama di bidang hukum yang sifatnya aktual sampai sekarang. Karya sastra yang seperti inilah oleh Endraswara (2008:77) disebut sebagai karya sastra yang berhasil karena karya sastra tersebut mampu merefleksikan zamannya.

Keadaan sosial masyarakat (Indonesia) terutama yang memiliki kekuasaan, sering mengabaikan keadilan karena kepentingan-kepentingan tertentu. Keadaan ini membuat penegak hukum seperti hakim yang idealis mengalami tekanan psikis dalam memutuskan suatu perkara, terutama menyangkut pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Terjadi pertarungan antara idealisme dengan pragmatisme di dalam diri penegak hukum. Untuk mengungkapkan keadaan ini, maka teori psikologi sastra menjadi penting kehadirannya. Psikologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan relevansi aspek-aspek psikologis, kejiwaan yang terkandung di dalamnya. Psikologi sastra banyak berkaitan dengan unsur-unsur penokohan dalam karya sastra, di samping psikolgi pengarang dan pembaca (Kutha Ratna, 2013:382). Dalam konteks tulisan ini dilihat keadaan psikologis tokoh cerita di dalam cerpen “YWK”.

2. Pembahasan

Cerpen “YWK” mengisahkan tentang konplik batin seorang hakim bernama Tubagus Negara di dalam menyusun keputusan akhir dalam kasus pembunuhan seorang pelacur bernama Nurma yang dilakukan oleh anak seorang Wali Kota Ribu yang bernama Rony Ribu. Konplik batin yang dialami oleh Tubagus Negara disebabkan oleh beberapa hal, seperti: (1) sebelumnya, ia pernah melakukan tindakan yang salah ketika memutuskan suatu perkara yang sama. Ia dianggap ceroboh oleh masyarakat dalam memutuskan sesuatu; (2) tuntutan dari masyarakat yang berupa tulisan di surat kabar dan surat kaleng agar Tubagus Negara berani menghukum Rony Ribu dengan hukuman yang berat, walaupun ia anak Wali Kota Ribu; (3) desakan dari keluarga korban, terutama dari ibu kandung Rony Ribu agar anaknya dibebaskan dengan janji sebuah jabatan penting (sebagai Wali Kota yang baru). Terjadinya konflik batin Tubagus Negara digambarkan oleh pengarang melalui berbagai teknik cerita, seperti: teknik flashback,


(4)

pembayangan, surat, dan reportase. Dengan bebagai teknik cerita ini, membuat cerpen ini semakin menarik untuk dibaca dan diapresiasi secara terus menerus dengan berbagai tafsir pemaknaannya.

Cerpen ini dibuka oleh Putu Wijaya dengan gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa ini terkesan membuka suatu kejutan yang akan terjadi di dalam cerita selanjutnya. Perhatikanlah gaya Putu Wijaya membuka ceritanya sebagai berikut.

Bagaikan anjing mengorek tong sampah hakim tua itu meneliti berkas perkara di depannya. Seorang pelacur dari daerah yang paling eceran telah terbunuh pada tanggal 10 Nopember, tahun yang lalu dengan peluru pistol yang mengenai dada dan rahimnya (Wijaya, 1992:22)

Kutipan di atas menggambarkan keadaan psikis seorang hakim tua (Tubagsu Negara) untuk memutuskan perkara pembunuhan yang dialami oleh seorang pelacur rendahan (eceran). Hakim sangat serius dan berhati-hati menangani kasus ini. Walaupun Nurma tidak memiliki kerabat tetapi ia dibela dan didukung oleh masyarakat dan wartawan (pers) yang selalu menyoroti peristiwa ini. Dengan gaya bahasa perbandingan yang kuat, pengarang berhasil menggambarkan nasib sangat tragis yang dialami oleh seorang pelacur eceran dan sekaligus mamapu “meneror” pembaca untuk mengikuti cerita selanjutnya.

Peristiwa meninggalnya Nurma mendapat perhatian yang besar dari masyarakat. Masyarakat mengikuti kelanjutan kasus ini melalui media massa, bahkan berita ini mengalahkan berita lain yang sesungguhnya lebih besar karena menyangkut keadaan ekonomi masyarakat. Perhatikanlah Kutipan berikut.

Seluruh kota bergelora. Kenaikan harga gula dan pengumuman dari Mentri Keuangan tentang penambahan uang seri baru kurang mendapat sorotan. Setiap orang yang bertemu di jalan sibuk dengan soal keadilan (Wijaya, 1992:23)

Keadaan dalam kutipan di atas terjadi karena kasus terbunuhnya Nurma melibatkan anak seorang pejabat Wali Kota Ribu. Apabila tidak melibatkan anak seorang pejabat, kemungkinan besar kasus Nurma tidak mendapat perhatian dari masyarakat. Dalam konteks ini, peran pers menjadi sangat besar dalam membentuk opini publik.

Hakim yang akan memutuskan pembunuhan Nurma, yakni Tubagus Negara mendapat perhatian khusus masyarakat. Masyarakat menginginkan dan mendesak agar hakim tidak takut untuk mengkuhum secara berat pembunuh walaupun anak seorang Wali Kota Ribu. Masyarakat


(5)

menanti dengan was-was keputusan hakim. Dalam suasana seperti ini, pengarang menggunakan teknik reportase dan sudut pandang orang pertana jamak “kita” dalam mengajak masyarakat menanti keuputusan hakim. Putu Wijaya menulis: “Marilah kita ikuti terus bagaimana besok pagi jawaban dari tertuduh sendiri atas Jaksa yang tetap pada tuntutannya: Membunuh dengan sengaja” (1992:24)..

Masyarakat meyakini bahwa keadilan akan ditegakkan oleh hakim dan menaruh harapan yang besar kepada Tubagus Negara agar berani dan adil dalam memutuskan pembunuhan Nurma. Dengan sudut pandang pertama jamak pengarang menulis sebagai berikut.

Kita tidak menyangsikan keadilan yang kini kita percayakan kepada penegak-penegak hukum kita. Kita tidak mungkin tidak percaya kepada Hakim Ketua Tubagus Negara yang telah puluhan tahun menduduki jabatannya. Marilah kita menjadi saksi bahwa keadilan akan ditegakkan di atas warga kota. Nurma, seorang yang menjadi korban kesesastan pemimpin-pemimpin kita sendiri (Wijaya, 1992:25-25)

Sehari sebelumnya atau sehari sebelum Tubagus Negara menyusun keputusan akhir kasus pembunuhan Nurma, telah diadakan sidang dengan acara mendengarkan pembelaan (pledoi) terdakwa. Pengarang mengetengahkan peristiwa ini dengan teknik flashback untuk mengeksploitasi perilaku anak pejabat dalam menghadapi tuduhan pembunuhan. Pengarang menggambarkan suasana sidang sebagai berikut.

Tertuduh Rony Ribu berumur 22 tahun mahasiswa Fakultas Ekonomi menangis dalam sidang ketika memberikan jawabannya atas tuduhan jaksa. Ia semula bagaikan arjuna yang mulus dengan tubuh yang kerempeng rambut beatles dan muka yang cakap duduk di kursinya dan memberikan keterangan-keterangan dengan singkat dan tenang. Pada permulaan jawabannya ia kelihatan seperti seorang dewa yang tak bersalah. Dengan kesombongan seorang pemuda yang percaya kepada kebersihannya ia berkata: “Hakim yang mulia. Jaksa yang terhormat dengan ini saya menerangkan bahwa memang benar saya memperlihatkan kepadanya bagaimana bohongnya adegan dalam film-film cowboy Itali. Memang malam itu juga saya mengajak Tapa Sudana untuk jalan-jalan tapi ia menolak. Dan memang benar malam itu saya bertemu di pinggir jalan dengan Nurma ketika saya memarkir mobil untuk membeli rokok. Tetapi, tetapi lalu saya pergi. Saya pergi. Ya pergi dari situ dengan mobil saya sendirian. Saya bersumpah….” (Wijaya:1992:26)

Dengan teknik cerita flashback dan gaya bahasa perbandingan (“bagaikan”, “seperti”) pengarang berusaha menggambarkan penampilan dan perilaku Rony Ribu sebagai anak Wali Kota Ribu di dalam sidang pengadailan. Pengarang juga menggambarkan kegugupan dan ketidaktenangan Rony Ribu dalam sidang dengan menggunakan mengulang kata-kata: “ tetapi” dan ”saya pergi”.


(6)

Akhirnya Tubagus Negara berhasil menyusun redaksi keputusan tentang kasus pembunuhan Nurma. Perhatikanlah kutipan berikut.

Tubagus Negara sebagai seorang hakim yang bertugas menjalankan undang-undang telah selesai membuat redaksi dari keputusan. Rony dijatuhi hukuman 12 tahun, terbukti membunuh serta menyangkal segala tuduhan dalam sidang. Bahwa tertuduh selama hidupnya baru sekali melakukan kejahatan merupakan hal yang meringankan. Biaya perkara ditanggung oleh tertuduh (Wijaya, 1992:28)

Rony Ribu dihukum 12 tahun oleh hakim dengan melihat berbagai pertimbangan yang meringankan dan yang memberatkan. Dalam konteks ini, hakim berani menjatuhkan hukuman seperti itu. Keputusannya itu justru membuat Tugabus Negara menjadi hanyut ke dalam impiannya dan angan-angannya. Di dalam pengembaraan angan-angannya, ia kembali melihat beberapa surat kaleng yang pernah diterimanya yang pada umumnya berisi dukungan agar Tubagus Negara berani menengakkan keadilan dengan menghukum terdakwa seberat-beratnya. Ia juga membaca kembali surat dari ibu kandung Rony Ribu (istri Wali Kota Ribu) yang isi suratnya berusaha mempengaruhi Tubagus Negara agar membebaskan anaknya dari hukuman dengan janji dukungan untuk jabatan yang lebih tinggi. Pengarang menggambarkan isi surat istri Wali Kota dalam mempengaruhi hakim sebagai berikut.

“Saya Ibu Rony tak hendak mencampuri kebijaksanaan Bapak sebagai hakim yang terpandang. Saya percaya. Tetapi saya bersumpah bahwa Rony adalah anak yang baik, anak yang pandai dan tahu membawa diri. Ia memang seorang anak muda biasa yang kadang-kadang juga nakal. Tapi saya tak percaya ia melakukan kekejaman begitu. Saya ibunya, saya tahu bagaimana sikapnya……..Maaf, saya pun paham bahwa Bapak sebagai orang yang terpandang adalah calon utama yang akan bisa menggantikan kedudukan suami saya. Percayalah bahwa kami sekeluarga setuju sekali dengan itu. Suami saya secara pribadi malah menyokong pencalonan bapak….”

Tangan Tubagus Negara gemetar membaca surat itu. Wanita yang terhormat itu telah kehilangan akal. Ia berdaya dengan segala apa saja untuk menyelamatkan putranya. Tubagus dapat memaklumi kerendahan budinya dalam surat itu (Wijaya, 1992:30)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa perilaku keluarga pejabat senantiasa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan peribadinya. Keadaan ini secara faktual terjadi dalam kehidupan masyaraka. Makna di balik kutipan di atas sesungguhnya pengarang menyampaikan kritik sosial terhadap perilaku keluarga pejabat yang seperti itu. Bahkan, pengarang menggambarkan perilaku hakim yang “gemetar” membaca surat istri Wali Kota Ribu.


(7)

Di sisi lain, Tubagus Negara juga mendapat tekanan dari masyarakat dan pers agar berani menghukum Rony Ribu dengan hukuman yang berat agar di kemudian hari pejabat atau keluarga pejabat tidak berbuat sewenang-wenang kepada rakyat kecil. Tekanan yang diterima hakim berupa surat kaleng dan ancaman secara pisik. Dengan teknik surat, pengarang menggambarkan tekanan yang diterima melalui surat kaleng seperti berikut.

“ Kami berdoa dan berseru agar Bapak tetap berpegang kepada hukum. Janganlah takut kepada Walikota. Beliau memang seorang yang baik. Tetapi siapa tahu di balik

kebaikannya itu tersembunyi kejahatan yang tidak kita ketahui. Mengenai Rony terang ia bersalah. Hukumlah anak itu seberat-beratnya agar menjadi contoh bagi para pemuda kita di kemuadian hari agar jangan bergaul dengan pelacur dan agar jangan main koboi-koboian mentang-mentang anak pembesar. Sekian. Terima kasih. Merdeka. Tertanda. Semangat empat lima” (Wijaya, 1992:29).

Di samping melalui surat kaleng, Tubagus Negara juga mendapat tekanan secara pisik. Dengan gaya personifikasi, pengarang menulis sebagai berikut.

Malam melenggok dengan sepi. Hakim tua itu meneguk kopi tanpa merasa mengantuk sedikit pun. Ia teringat kepada seorang yang ugal-ugalan yang memaksa bertemu tiga hari yang lalu. Tubuhnya kekar mukanya kasar jelas otaknya tak seberapa bagus. Bersama dengan empat orang kawannya ia mengaku wartawan. Mereka ingin mengadakan wawancara. Namun pada kenyataannya kemudian mereka sendiri yang lebih banyak bicara. Mereka berbicara tentang keadilan. Pada pokoknya hanya ingin agar Rony dihukum.

“Seandainya Bapak berani menghukum Rony kami akan menjadi penyokong Bapak dalam pencalonan Walikota yang akan datang. Bukan kami saja tapi seluruh kota. Kita harus tumbangkan mitos dan omong kosong politik yang banci itu,” kata mereka sambil menjabat tangannya dengan semangat (Wijaya, 1992:30-31)

Tubagus Negara menghadapi dua tekanan dari sisi yang berlawanan. Di sisi lain, sebelumnya ia pernah membuat keputusan yang salah tentang kasus Lan Fa juga ikut memperkuat konplik batin pada dirinya. Akan tetapi, sebagai hakim yang sudah berpengalaman, semuanya tidak banyak berpengaruh kepada keputusannya. Pengarang menggambarkan keadaan tersebut seperti tampak pada kutipan berikut.

Tubagus sedikit pun tak tergerak oleh semua itu. Di atas hatinya yang jujur ia berani bersumpah bahwa keputusannya tanpa semuanya itu akan sama. Ia tidak terdorong, tidak takut, tidak berani dan tidak terpengaruh. Ia menjalankan hukum, bukan kebijaksanaan, politik, atau lainnya. Bahkan kegagalannya, yang menjadi penyesalan abadi dalam peristiwa Lan Fa dahulu, tidak ikut membayanginya dalam peristiwa itu. Ia seorang hakim yang jujur. Tetapi kejujuran itulah yang membuatnya melamun setiap selesai menyusun keputusan (Wijaya, 1992:31)


(8)

Konplik batin Tubagus Negara membuatnya ia membayangkan kembali menurut bayangannya (pikirannya) sendiri peristiwa yang dialami oleh Nurma. Secara psikologis perilaku Tubagus Nagara seperti itu masuk akal karena berhadapan dengan dilema yang sangat berat. Dengan teknik cerita pembayangan, pengarang menggambarkan sebagai berikut.

Orang tua itu memejamkan matanya. Tangannya terkepal. Ia melihat Rony dengan pistolnya menghentikan mobil di pinggir jalan. Ia melihat Rony terkejut melihat wanita itu mengecerkan dirinya kembali dengan rendah. Ia melihat betapa tiba-tiba keruntuhan melanda semangat pemuda itu. Ia melihat pemuda itu menyeret Nurma ke mobilnya. Ia melihat Nurma menjadi galak karena diperlakukan begitu di depan orang lain. Hakim tua itu seakan-akan mendengar pertengkaran mereka yang seru. Ia melihat pula pemuda itu menunggui di mobilnya sampai Nurma mau diajaknya pergi. Jelas sekali ia melihat bagaimana Rony kemudian karena tak sabar meluap marah menyeret wanita itu ke mobilnya dan melarikan ke luar kota. Lantas di dalam gubuk di luar kota, ia mendengar perdebatan mereka. Ia mendengar kemarahan Rony. Tangannya gemetaran. Ia mendengar pula wanita itu dengan angkuhnya mempersetan segala harapan Rony yang jujur. Ia begitu angkuh. Ia tidak mau diikat. Ia adalah seorang yang sombong. Seorang yang tinggi hati. Seorang yang mempunyai kehormatan. Rony terpukul bagaikan kaca yang pecah. Seorang pelacur sudah tidak membutuhkannya lagi. Ia merasa dirinya sangat tak berharga. Ia menjadi kalap. Pistol itu diangkat. Ditembaknya wanita itu. Ditembaknya.

Ditembaknya…… (Wijaya, 1992:33)

Kutipan di atas menunjukkan keadaan psikis Tubagus Negara dalam memutuskan suatu perkara. Konplik batin yang begitu besar dan kuat membuat ia seakan-akan melihat (dalam bayangan) peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Rony terhadap Nurma. Keperibadian seperti ini, menurut teori psikoanalisa dari Sigmund Freud adalah keperibadian orang bersangkutan dikuasai oleh das Es (the Id), yakni aspek biologis manusia yang bertujuan untuk mengejar kenikmatan (kenyamanan) (Freud, 1984:xxxix; Suryabrata, 1993:143). Konplik batin Tubagus Negara semakin memuncak dan digambarkan oleh pengarang dengan menggunakan gaya bahasa perbandingan dan mengulang berkali-kali kata “Ia melihat” seolah olah peristiwa akan menuju klimaks. Pengarang tampak “meneror” psikologis pembaca untuk mengikuti kehendaknya melanjutkan cerita menuju klimaks.

Pada saat Tubagus Negara membayangkan peristiwa pembunuhan Nurma seperti tergambar di dalam kutipan di atas, sesungguhnya ia sedang duduk santai membaca surat kabar dan surat kaleng sambil minum kopi. Konplik batin yang kuat dan besar yang dialami oleh Tubagus Negara menyebabkan perilakunya tidak terkontrol seperti tampak di dalam kutipan berikut. Hakim Tubagus Negara tidak lagi loyo di atas kursi rotannya. Ia berdiri dengan tegap di depan meja. Di tangannya gelas kopi dipegang erat-erat. Ia menyentak-nyentekkan


(9)

bagai seorang yang sedang menembak, sehingga isinya bertumpahan. Ia galak sekali. Ia lakukan itu dengan bersemangat, jauh lebih bersemangat daripada kalau ia memukulkan palunya di pengadilan.

“Tor! Tor!” teriaknya dengan suara bernafsu sekali.

Imah terbangun dari tidurnya mendengar suara gaduh. Ia bergegas ke ruang tengah. Ia mengusap matanya tak peraya ketika melihat perangai Tubagus. Tapi ia seorang yang tabah. Ia tidak menjerit atau pinsan. Ia mendekati orang tua yang sedang main koboi itu. “Tuan, tuan….! Tegurnya menyadarkan orang tua itu.

Tubagus Negara cepat tersadar. Mula-mula ia heran melihat keadaan dirinya. Ketika ia dapat melihat Imah gelas itu terjatuh dari tangannya. Ia merasa sesuatu terjadi dengan jantungnya. Kepalanya pening dan tubuhnya berlumuran keringat. Ia hampir terjatuh kalau tidak dipapah oleh Imah. Wanita itu mendudukkannya lalu memijit punggungnya dengan balsem (Wijaya, 1992:33-34)

Di dalam keadaan yang lemah karena mengalami konplik batin yang hebat, Tubagus Negara ingin menuliskan sesuatu di atas kertas. Imah (pembantunya) berusaha melarangnya. Akan tetapi, Tubagus berusaha untuk menulis tetapi tidak berhasil. Perhatikanlah cara pengarang menyelesaikan cerita ini dalam kutipan berikut.

“Biar, biarkan aku,” katanya dengan suara yang pelan dan capek, “Jantungku. Barangkali aku akan mati…..” Ia hendak menulis tapi tenaganya tak ada. Ia memberi isyarat Imah menuliskan kata-katanya. Imah pun menulis.

“Yang terhormat warga kota. Saya jalankan undang-undang untuk saudara-saudara. Tetapi saya tidak rela atas nama pribadi saya….karena saya kenal siapa wanita

itu…..Baginya sudah adil….Kenapa…..”

Orang tua itu terkulai. Imah cepat-cepat memijit pundaknya kembali. Air matanya bercucuran (Wijaya, 1992:35)

Kutipan di atas menunjukkan konplik batin yang begitu hebat dalam diri Tubagus Negara menyebabkan ia menjadi korban karena idelaismenya sendiri. Pengarang tidak eksplisit menyelesaikan cerita ini, tetapi mengambang. Akan tetapi, dari kalimat penutup dapat ditafsirkan bahwa hakim Tubagus Negara meninggal dunia. Seorang hakim menjadi korban karena idealismenya sendiri.

3. Penutup

Dilihat dari sudut sosiologis sastra, cerpen ini mengandung kritik sosial di bidang hukum dan dari sudut psikologi sastra menggambarkan konplik batin tokoh cerita dalam memutuskan suatu perkara. Seorang hakim yang bernama Tubagus Negara sedang mengalami konplik batin yang hebat di dalam menyusun keputusan akhir bagi terdakwa pembunuhan. Pembunuhan dilakukan oleh anak pejabat Walikota terhadap seorang pelacur. Konplik batin muncul akibat


(10)

dari pengalaman memutuskan suatu perkara yang tidak tepat sebelumnya. Di samping itu, karena desakan dari masyarakat atau warga kota untuk berbuat adil yakni menghukum pelaku pembunuhan seberat-beratnya, walaupun terdakwa adalah anak seorang pejabat. Di sisi lain, keluarga terdakwa juga berusaha membebaskan terdakwa dari hukuman dengan berbagai cara termasuk janji-janji jabatan tertentu bagi hakim. Akhirnya, walaupun keputusan akhir sudah dibuat oleh hakim dengan menghukum secara berat terdakwa seperti tuntutan masyarakat, tetapi konlik batinnya semakin kuat dan memuncak. Akibatnya, hakim terkena serangan jantung dan meninggal dunia, walaupun pengarang tidak secara eksplisit menyatakan hakim meninggal dunia.


(11)

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 1997. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori Dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS

Freud, Sigmund. 1984. Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta: PT Gramedia Haryono, Edi (ed.). 2009. Ketika Rendra Baca Sajak. Jakarta: Burung Merak Press.

Hawkes, Terence, 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.Pradopo, Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia

Kutha Ratna, I Nyoman. 2013. Glosarium: 1.250 Entri Kajian Sastra, Seni, dan Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suryabrata. Sumadi. 1993. Psikologi Keperibadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Wijaya, Putu 1983. Proses Kreatif Mengapa dan Bagimana Saya Mengarang. Jakarta: PT Gramedia


(1)

Akhirnya Tubagus Negara berhasil menyusun redaksi keputusan tentang kasus pembunuhan Nurma. Perhatikanlah kutipan berikut.

Tubagus Negara sebagai seorang hakim yang bertugas menjalankan undang-undang telah selesai membuat redaksi dari keputusan. Rony dijatuhi hukuman 12 tahun, terbukti membunuh serta menyangkal segala tuduhan dalam sidang. Bahwa tertuduh selama hidupnya baru sekali melakukan kejahatan merupakan hal yang meringankan. Biaya perkara ditanggung oleh tertuduh (Wijaya, 1992:28)

Rony Ribu dihukum 12 tahun oleh hakim dengan melihat berbagai pertimbangan yang meringankan dan yang memberatkan. Dalam konteks ini, hakim berani menjatuhkan hukuman seperti itu. Keputusannya itu justru membuat Tugabus Negara menjadi hanyut ke dalam impiannya dan angan-angannya. Di dalam pengembaraan angan-angannya, ia kembali melihat beberapa surat kaleng yang pernah diterimanya yang pada umumnya berisi dukungan agar Tubagus Negara berani menengakkan keadilan dengan menghukum terdakwa seberat-beratnya. Ia juga membaca kembali surat dari ibu kandung Rony Ribu (istri Wali Kota Ribu) yang isi suratnya berusaha mempengaruhi Tubagus Negara agar membebaskan anaknya dari hukuman dengan janji dukungan untuk jabatan yang lebih tinggi. Pengarang menggambarkan isi surat istri Wali Kota dalam mempengaruhi hakim sebagai berikut.

“Saya Ibu Rony tak hendak mencampuri kebijaksanaan Bapak sebagai hakim yang terpandang. Saya percaya. Tetapi saya bersumpah bahwa Rony adalah anak yang baik, anak yang pandai dan tahu membawa diri. Ia memang seorang anak muda biasa yang kadang-kadang juga nakal. Tapi saya tak percaya ia melakukan kekejaman begitu. Saya ibunya, saya tahu bagaimana sikapnya……..Maaf, saya pun paham bahwa Bapak sebagai orang yang terpandang adalah calon utama yang akan bisa menggantikan kedudukan suami saya. Percayalah bahwa kami sekeluarga setuju sekali dengan itu. Suami saya secara pribadi malah menyokong pencalonan bapak….”

Tangan Tubagus Negara gemetar membaca surat itu. Wanita yang terhormat itu telah kehilangan akal. Ia berdaya dengan segala apa saja untuk menyelamatkan putranya. Tubagus dapat memaklumi kerendahan budinya dalam surat itu (Wijaya, 1992:30)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa perilaku keluarga pejabat senantiasa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan peribadinya. Keadaan ini secara faktual terjadi dalam kehidupan masyaraka. Makna di balik kutipan di atas sesungguhnya pengarang menyampaikan kritik sosial terhadap perilaku keluarga pejabat yang seperti itu. Bahkan, pengarang menggambarkan perilaku hakim yang “gemetar” membaca surat istri Wali Kota Ribu.


(2)

Di sisi lain, Tubagus Negara juga mendapat tekanan dari masyarakat dan pers agar berani menghukum Rony Ribu dengan hukuman yang berat agar di kemudian hari pejabat atau keluarga pejabat tidak berbuat sewenang-wenang kepada rakyat kecil. Tekanan yang diterima hakim berupa surat kaleng dan ancaman secara pisik. Dengan teknik surat, pengarang menggambarkan tekanan yang diterima melalui surat kaleng seperti berikut.

“ Kami berdoa dan berseru agar Bapak tetap berpegang kepada hukum. Janganlah takut kepada Walikota. Beliau memang seorang yang baik. Tetapi siapa tahu di balik

kebaikannya itu tersembunyi kejahatan yang tidak kita ketahui. Mengenai Rony terang ia bersalah. Hukumlah anak itu seberat-beratnya agar menjadi contoh bagi para pemuda kita di kemuadian hari agar jangan bergaul dengan pelacur dan agar jangan main koboi-koboian mentang-mentang anak pembesar. Sekian. Terima kasih. Merdeka. Tertanda. Semangat empat lima” (Wijaya, 1992:29).

Di samping melalui surat kaleng, Tubagus Negara juga mendapat tekanan secara pisik. Dengan gaya personifikasi, pengarang menulis sebagai berikut.

Malam melenggok dengan sepi. Hakim tua itu meneguk kopi tanpa merasa mengantuk sedikit pun. Ia teringat kepada seorang yang ugal-ugalan yang memaksa bertemu tiga hari yang lalu. Tubuhnya kekar mukanya kasar jelas otaknya tak seberapa bagus. Bersama dengan empat orang kawannya ia mengaku wartawan. Mereka ingin mengadakan wawancara. Namun pada kenyataannya kemudian mereka sendiri yang lebih banyak bicara. Mereka berbicara tentang keadilan. Pada pokoknya hanya ingin agar Rony dihukum.

“Seandainya Bapak berani menghukum Rony kami akan menjadi penyokong Bapak dalam pencalonan Walikota yang akan datang. Bukan kami saja tapi seluruh kota. Kita harus tumbangkan mitos dan omong kosong politik yang banci itu,” kata mereka sambil menjabat tangannya dengan semangat (Wijaya, 1992:30-31)

Tubagus Negara menghadapi dua tekanan dari sisi yang berlawanan. Di sisi lain, sebelumnya ia pernah membuat keputusan yang salah tentang kasus Lan Fa juga ikut memperkuat konplik batin pada dirinya. Akan tetapi, sebagai hakim yang sudah berpengalaman, semuanya tidak banyak berpengaruh kepada keputusannya. Pengarang menggambarkan keadaan tersebut seperti tampak pada kutipan berikut.

Tubagus sedikit pun tak tergerak oleh semua itu. Di atas hatinya yang jujur ia berani bersumpah bahwa keputusannya tanpa semuanya itu akan sama. Ia tidak terdorong, tidak takut, tidak berani dan tidak terpengaruh. Ia menjalankan hukum, bukan kebijaksanaan, politik, atau lainnya. Bahkan kegagalannya, yang menjadi penyesalan abadi dalam peristiwa Lan Fa dahulu, tidak ikut membayanginya dalam peristiwa itu. Ia seorang hakim yang jujur. Tetapi kejujuran itulah yang membuatnya melamun setiap selesai menyusun keputusan (Wijaya, 1992:31)


(3)

Konplik batin Tubagus Negara membuatnya ia membayangkan kembali menurut bayangannya (pikirannya) sendiri peristiwa yang dialami oleh Nurma. Secara psikologis perilaku Tubagus Nagara seperti itu masuk akal karena berhadapan dengan dilema yang sangat berat. Dengan teknik cerita pembayangan, pengarang menggambarkan sebagai berikut.

Orang tua itu memejamkan matanya. Tangannya terkepal. Ia melihat Rony dengan pistolnya menghentikan mobil di pinggir jalan. Ia melihat Rony terkejut melihat wanita itu mengecerkan dirinya kembali dengan rendah. Ia melihat betapa tiba-tiba keruntuhan melanda semangat pemuda itu. Ia melihat pemuda itu menyeret Nurma ke mobilnya. Ia melihat Nurma menjadi galak karena diperlakukan begitu di depan orang lain. Hakim tua itu seakan-akan mendengar pertengkaran mereka yang seru. Ia melihat pula pemuda itu menunggui di mobilnya sampai Nurma mau diajaknya pergi. Jelas sekali ia melihat bagaimana Rony kemudian karena tak sabar meluap marah menyeret wanita itu ke mobilnya dan melarikan ke luar kota. Lantas di dalam gubuk di luar kota, ia mendengar perdebatan mereka. Ia mendengar kemarahan Rony. Tangannya gemetaran. Ia mendengar pula wanita itu dengan angkuhnya mempersetan segala harapan Rony yang jujur. Ia begitu angkuh. Ia tidak mau diikat. Ia adalah seorang yang sombong. Seorang yang tinggi hati. Seorang yang mempunyai kehormatan. Rony terpukul bagaikan kaca yang pecah. Seorang pelacur sudah tidak membutuhkannya lagi. Ia merasa dirinya sangat tak berharga. Ia menjadi kalap. Pistol itu diangkat. Ditembaknya wanita itu. Ditembaknya.

Ditembaknya…… (Wijaya, 1992:33)

Kutipan di atas menunjukkan keadaan psikis Tubagus Negara dalam memutuskan suatu perkara. Konplik batin yang begitu besar dan kuat membuat ia seakan-akan melihat (dalam bayangan) peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Rony terhadap Nurma. Keperibadian seperti ini, menurut teori psikoanalisa dari Sigmund Freud adalah keperibadian orang bersangkutan dikuasai oleh das Es (the Id), yakni aspek biologis manusia yang bertujuan untuk mengejar kenikmatan (kenyamanan) (Freud, 1984:xxxix; Suryabrata, 1993:143). Konplik batin Tubagus Negara semakin memuncak dan digambarkan oleh pengarang dengan menggunakan gaya bahasa perbandingan dan mengulang berkali-kali kata “Ia melihat” seolah olah peristiwa akan menuju klimaks. Pengarang tampak “meneror” psikologis pembaca untuk mengikuti kehendaknya melanjutkan cerita menuju klimaks.

Pada saat Tubagus Negara membayangkan peristiwa pembunuhan Nurma seperti tergambar di dalam kutipan di atas, sesungguhnya ia sedang duduk santai membaca surat kabar dan surat kaleng sambil minum kopi. Konplik batin yang kuat dan besar yang dialami oleh Tubagus Negara menyebabkan perilakunya tidak terkontrol seperti tampak di dalam kutipan berikut. Hakim Tubagus Negara tidak lagi loyo di atas kursi rotannya. Ia berdiri dengan tegap di depan meja. Di tangannya gelas kopi dipegang erat-erat. Ia menyentak-nyentekkan


(4)

bagai seorang yang sedang menembak, sehingga isinya bertumpahan. Ia galak sekali. Ia lakukan itu dengan bersemangat, jauh lebih bersemangat daripada kalau ia memukulkan palunya di pengadilan.

“Tor! Tor!” teriaknya dengan suara bernafsu sekali.

Imah terbangun dari tidurnya mendengar suara gaduh. Ia bergegas ke ruang tengah. Ia mengusap matanya tak peraya ketika melihat perangai Tubagus. Tapi ia seorang yang tabah. Ia tidak menjerit atau pinsan. Ia mendekati orang tua yang sedang main koboi itu. “Tuan, tuan….! Tegurnya menyadarkan orang tua itu.

Tubagus Negara cepat tersadar. Mula-mula ia heran melihat keadaan dirinya. Ketika ia dapat melihat Imah gelas itu terjatuh dari tangannya. Ia merasa sesuatu terjadi dengan jantungnya. Kepalanya pening dan tubuhnya berlumuran keringat. Ia hampir terjatuh kalau tidak dipapah oleh Imah. Wanita itu mendudukkannya lalu memijit punggungnya dengan balsem (Wijaya, 1992:33-34)

Di dalam keadaan yang lemah karena mengalami konplik batin yang hebat, Tubagus Negara ingin menuliskan sesuatu di atas kertas. Imah (pembantunya) berusaha melarangnya. Akan tetapi, Tubagus berusaha untuk menulis tetapi tidak berhasil. Perhatikanlah cara pengarang menyelesaikan cerita ini dalam kutipan berikut.

“Biar, biarkan aku,” katanya dengan suara yang pelan dan capek, “Jantungku. Barangkali aku akan mati…..” Ia hendak menulis tapi tenaganya tak ada. Ia memberi isyarat Imah menuliskan kata-katanya. Imah pun menulis.

“Yang terhormat warga kota. Saya jalankan undang-undang untuk saudara-saudara. Tetapi saya tidak rela atas nama pribadi saya….karena saya kenal siapa wanita

itu…..Baginya sudah adil….Kenapa…..”

Orang tua itu terkulai. Imah cepat-cepat memijit pundaknya kembali. Air matanya bercucuran (Wijaya, 1992:35)

Kutipan di atas menunjukkan konplik batin yang begitu hebat dalam diri Tubagus Negara menyebabkan ia menjadi korban karena idelaismenya sendiri. Pengarang tidak eksplisit menyelesaikan cerita ini, tetapi mengambang. Akan tetapi, dari kalimat penutup dapat ditafsirkan bahwa hakim Tubagus Negara meninggal dunia. Seorang hakim menjadi korban karena idealismenya sendiri.

3. Penutup

Dilihat dari sudut sosiologis sastra, cerpen ini mengandung kritik sosial di bidang hukum dan dari sudut psikologi sastra menggambarkan konplik batin tokoh cerita dalam memutuskan suatu perkara. Seorang hakim yang bernama Tubagus Negara sedang mengalami konplik batin yang hebat di dalam menyusun keputusan akhir bagi terdakwa pembunuhan. Pembunuhan dilakukan oleh anak pejabat Walikota terhadap seorang pelacur. Konplik batin muncul akibat


(5)

dari pengalaman memutuskan suatu perkara yang tidak tepat sebelumnya. Di samping itu, karena desakan dari masyarakat atau warga kota untuk berbuat adil yakni menghukum pelaku pembunuhan seberat-beratnya, walaupun terdakwa adalah anak seorang pejabat. Di sisi lain, keluarga terdakwa juga berusaha membebaskan terdakwa dari hukuman dengan berbagai cara termasuk janji-janji jabatan tertentu bagi hakim. Akhirnya, walaupun keputusan akhir sudah dibuat oleh hakim dengan menghukum secara berat terdakwa seperti tuntutan masyarakat, tetapi konlik batinnya semakin kuat dan memuncak. Akibatnya, hakim terkena serangan jantung dan meninggal dunia, walaupun pengarang tidak secara eksplisit menyatakan hakim meninggal dunia.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 1997. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori Dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS

Freud, Sigmund. 1984. Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta: PT Gramedia Haryono, Edi (ed.). 2009. Ketika Rendra Baca Sajak. Jakarta: Burung Merak Press.

Hawkes, Terence, 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.Pradopo, Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia

Kutha Ratna, I Nyoman. 2013. Glosarium: 1.250 Entri Kajian Sastra, Seni, dan Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suryabrata. Sumadi. 1993. Psikologi Keperibadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Wijaya, Putu 1983. Proses Kreatif Mengapa dan Bagimana Saya Mengarang. Jakarta: PT Gramedia