Untuk  membahas  kandungan  kritik  sosial  di  dalam  cerpen  ini  digunakan  teori  sosiologi sastra dan didukung oleh teori  lain  yang  relevan, seperti teori  psikologi.  Teori  sosiologi  sastra
dipakai  untuk  mengungkapkan  keadaan  sosial  masyarakat  yang  tergambar  di  dalam  cerpen “YWK”. Hal ini sesuai dengan pandangan Junus 1986:7 yang mengatakan bahwa karya sastra
sebagai  refleksi  dari  realitas.  Cerpen  ini  merefleksikan  keadaan  sosial  masyarakat  Indonesia terutama  di  bidang  hukum  yang  sifatnya  aktual  sampai  sekarang.  Karya  sastra  yang  seperti
inilah oleh Endraswara 2008:77 disebut sebagai karya sastra yang berhasil karena karya sastra tersebut mampu merefleksikan zamannya.
Keadaan  sosial  masyarakat  Indonesia  terutama  yang  memiliki  kekuasaan,  sering mengabaikan keadilan karena kepentingan-kepentingan tertentu. Keadaan ini membuat penegak
hukum seperti hakim yang idealis mengalami tekanan psikis dalam memutuskan suatu perkara, terutama  menyangkut  pihak-pihak  yang  memiliki  kekuasaan.  Terjadi  pertarungan  antara
idealisme dengan pragmatisme di  dalam diri penegak hukum.  Untuk mengungkapkan keadaan ini,  maka  teori  psikologi  sastra  menjadi  penting  kehadirannya.  Psikologi  sastra  adalah  analisis
terhadap  karya  sastra  dengan  mempertimbangkan  relevansi  aspek-aspek  psikologis,  kejiwaan yang terkandung di dalamnya. Psikologi sastra banyak berkaitan dengan unsur-unsur penokohan
dalam  karya  sastra,  di  samping  psikolgi  pengarang  dan  pembaca  Kutha  Ratna,  2013:382. Dalam konteks tulisan ini dilihat keadaan psikologis tokoh cerita di dalam cerpen “YWK”.
2. Pembahasan
Cerpen  “YWK”  mengisahkan  tentang  konplik  batin  seorang  hakim  bernama  Tubagus Negara di dalam menyusun keputusan akhir dalam kasus pembunuhan seorang pelacur bernama
Nurma   yang dilakukan  oleh anak seorang Wali Kota Ribu  yang bernama  Rony Ribu.  Konplik batin yang dialami oleh Tubagus Negara disebabkan oleh beberapa hal, seperti: 1 sebelumnya,
ia  pernah  melakukan  tindakan  yang  salah  ketika  memutuskan  suatu  perkara  yang  sama.  Ia dianggap  ceroboh  oleh  masyarakat  dalam  memutuskan  sesuatu;  2  tuntutan  dari  masyarakat
yang  berupa  tulisan  di  surat  kabar  dan  surat  kaleng  agar  Tubagus  Negara  berani  menghukum Rony  Ribu  dengan  hukuman  yang  berat,  walaupun  ia  anak  Wali  Kota  Ribu;  3  desakan  dari
keluarga  korban,  terutama  dari  ibu  kandung  Rony  Ribu  agar  anaknya  dibebaskan  dengan  janji sebuah jabatan penting sebagai Wali Kota yang baru. Terjadinya konflik batin Tubagus Negara
digambarkan  oleh  pengarang  melalui  berbagai  teknik  cerita,  seperti:  teknik  flashback,
pembayangan,  surat,  dan  reportase.  Dengan  bebagai  teknik  cerita  ini,  membuat  cerpen  ini semakin  menarik  untuk  dibaca  dan  diapresiasi  secara  terus  menerus  dengan  berbagai  tafsir
pemaknaannya. Cerpen  ini  dibuka  oleh  Putu  Wijaya  dengan  gaya  bahasa  perbandingan.  Gaya  bahasa  ini
terkesan  membuka  suatu  kejutan  yang  akan  terjadi  di  dalam  cerita  selanjutnya.  Perhatikanlah gaya Putu Wijaya membuka ceritanya sebagai berikut.
Bagaikan anjing mengorek tong sampah hakim tua itu meneliti berkas perkara di depannya. Seorang pelacur dari daerah yang paling eceran telah terbunuh pada tanggal 10
Nopember, tahun yang lalu dengan peluru pistol yang mengenai dada dan rahimnya Wijaya, 1992:22
Kutipan di atas menggambarkan keadaan psikis seorang hakim tua Tubagsu Negara untuk
memutuskan perkara pembunuhan yang dialami oleh seorang pelacur rendahan eceran. Hakim sangat  serius  dan  berhati-hati  menangani  kasus  ini.  Walaupun  Nurma  tidak  memiliki  kerabat
tetapi  ia  dibela  dan  didukung  oleh  masyarakat  dan  wartawan  pers  yang  selalu  menyoroti peristiwa ini. Dengan gaya bahasa perbandingan yang kuat, pengarang berhasil menggambarkan
nasib sangat tragis  yang dialami oleh seorang pelacur  eceran dan sekaligus mamapu “meneror”
pembaca untuk mengikuti cerita selanjutnya. Peristiwa meninggalnya Nurma mendapat perhatian yang besar dari masyarakat. Masyarakat
mengikuti  kelanjutan kasus ini melalui media massa, bahkan berita ini mengalahkan berita lain yang sesungguhnya lebih besar karena menyangkut keadaan ekonomi masyarakat. Perhatikanlah
Kutipan berikut. Seluruh kota bergelora. Kenaikan harga gula dan pengumuman dari Mentri Keuangan
tentang penambahan uang seri baru kurang mendapat sorotan. Setiap orang yang bertemu di jalan sibuk dengan soal keadilan Wijaya, 1992:23
Keadaan  dalam  kutipan  di  atas  terjadi  karena  kasus  terbunuhnya  Nurma  melibatkan  anak
seorang pejabat  Wali Kota Ribu.  Apabila tidak melibatkan anak seorang pejabat,  kemungkinan besar  kasus  Nurma  tidak  mendapat  perhatian  dari  masyarakat.  Dalam  konteks  ini,  peran  pers
menjadi sangat besar dalam membentuk opini publik. Hakim  yang  akan  memutuskan  pembunuhan  Nurma,  yakni  Tubagus  Negara  mendapat
perhatian  khusus  masyarakat.  Masyarakat  menginginkan  dan  mendesak  agar  hakim  tidak  takut untuk mengkuhum secara berat pembunuh walaupun anak seorang Wali Kota Ribu. Masyarakat
menanti dengan was-was keputusan hakim. Dalam suasana seperti ini, pengarang menggunakan teknik  reportase  dan  sudut  pandang  orang
pertana  jamak  “kita”  dalam  mengajak  masyarakat menanti keuputusan hakim. Putu Wijaya menulis:
“Marilah kita ikuti terus bagaimana besok pagi jawaban  dari  tertuduh  sendiri  atas  Jaksa  yang  tetap  pada  tuntutannya:  Membunuh  dengan
sengaja” 1992:24.. Masyarakat  meyakini  bahwa  keadilan  akan  ditegakkan  oleh  hakim  dan  menaruh  harapan
yang  besar  kepada  Tubagus  Negara  agar  berani  dan  adil  dalam  memutuskan  pembunuhan Nurma. Dengan sudut pandang pertama jamak pengarang menulis sebagai berikut.
Kita tidak menyangsikan keadilan yang kini kita percayakan kepada penegak-penegak hukum kita. Kita tidak mungkin tidak percaya kepada Hakim Ketua Tubagus Negara yang
telah puluhan tahun menduduki jabatannya. Marilah kita menjadi saksi bahwa keadilan akan ditegakkan di atas warga kota. Nurma, seorang yang menjadi korban kesesastan
pemimpin-pemimpin kita sendiri Wijaya, 1992:25-25 Sehari sebelumnya atau sehari sebelum Tubagus Negara menyusun keputusan akhir kasus
pembunuhan  Nurma,  telah  diadakan  sidang  dengan  acara  mendengarkan  pembelaan  pledoi terdakwa.  Pengarang  mengetengahkan  peristiwa  ini  dengan  teknik  flashback  untuk
mengeksploitasi  perilaku  anak  pejabat  dalam  menghadapi  tuduhan  pembunuhan.  Pengarang menggambarkan suasana sidang sebagai berikut.
Tertuduh Rony Ribu berumur 22 tahun mahasiswa Fakultas Ekonomi menangis dalam sidang ketika memberikan jawabannya atas tuduhan jaksa. Ia semula bagaikan arjuna yang
mulus dengan tubuh yang kerempeng rambut beatles dan muka yang cakap duduk di kursinya dan memberikan keterangan-keterangan dengan singkat dan tenang. Pada
permulaan jawabannya ia kelihatan seperti seorang dewa yang tak bersalah. Dengan
kesombongan seorang pemuda yang percaya kepada kebersihannya ia berkata: “Hakim yang mulia. Jaksa yang terhormat dengan ini saya menerangkan bahwa memang benar saya
memperlihatkan kepadanya bagaimana bohongnya adegan dalam film-film cowboy Itali. Memang malam itu juga saya mengajak Tapa Sudana untuk jalan-jalan tapi ia menolak.
Dan memang benar malam itu saya bertemu di pinggir jalan dengan Nurma ketika saya memarkir mobil untuk membeli rokok. Tetapi, tetapi lalu saya pergi. Saya pergi. Ya pergi
dari situ dengan mobil sa
ya sendirian. Saya bersumpah….” Wijaya:1992:26 Dengan  teknik  cerita  flashback  dan  gaya  bahasa  perbandingan
“bagaikan”,  “seperti” pengarang  berusaha  menggambarkan  penampilan  dan  perilaku  Rony  Ribu  sebagai  anak  Wali
Kota  Ribu  di  dalam  sidang  pengadailan.  Pengarang  juga  menggambarkan  kegugupan  dan ketidaktenangan Rony Ribu dalam sidang dengan menggunakan mengulang kata-
kata: “ tetapi” dan ”saya pergi”.
Akhirnya  Tubagus  Negara  berhasil  menyusun  redaksi  keputusan  tentang  kasus pembunuhan Nurma. Perhatikanlah kutipan berikut.
Tubagus Negara sebagai seorang hakim yang bertugas menjalankan undang-undang telah selesai membuat redaksi dari keputusan. Rony dijatuhi hukuman 12 tahun, terbukti
membunuh serta menyangkal segala tuduhan dalam sidang. Bahwa tertuduh selama hidupnya baru sekali melakukan kejahatan merupakan hal yang meringankan. Biaya
perkara ditanggung oleh tertuduh Wijaya, 1992:28
Rony  Ribu  dihukum  12  tahun    oleh  hakim  dengan  melihat  berbagai  pertimbangan  yang meringankan  dan  yang  memberatkan.  Dalam  konteks  ini,  hakim  berani  menjatuhkan  hukuman
seperti  itu.  Keputusannya  itu  justru  membuat  Tugabus  Negara  menjadi  hanyut  ke  dalam impiannya  dan  angan-angannya.  Di  dalam  pengembaraan  angan-angannya,  ia  kembali  melihat
beberapa  surat  kaleng  yang  pernah  diterimanya  yang  pada  umumnya  berisi  dukungan  agar Tubagus  Negara  berani  menengakkan  keadilan  dengan  menghukum  terdakwa  seberat-beratnya.
Ia  juga  membaca  kembali  surat  dari  ibu  kandung  Rony  Ribu  istri  Wali  Kota  Ribu  yang  isi suratnya  berusaha  mempengaruhi  Tubagus  Negara  agar  membebaskan  anaknya  dari  hukuman
dengan janji dukungan untuk jabatan yang lebih tinggi. Pengarang menggambarkan isi surat istri Wali Kota dalam mempengaruhi hakim sebagai berikut.
“Saya Ibu Rony tak hendak mencampuri kebijaksanaan Bapak sebagai hakim yang terpandang. Saya percaya. Tetapi saya bersumpah bahwa Rony adalah anak yang baik,
anak yang pandai  dan tahu membawa diri. Ia memang seorang anak muda biasa yang kadang-kadang juga nakal. Tapi saya tak percaya ia melakukan kekejaman begitu. Saya
ibunya, saya tahu bagaimana sikapnya……..Maaf, saya pun paham bahwa Bapak sebagai orang yang terpandang adalah calon utama yang akan bisa menggantikan kedudukan suami
saya. Percayalah bahwa kami sekeluarga setuju sekali dengan itu. Suami saya secara pribadi malah menyokong pencalonan bapak….”
Tangan Tubagus Negara gemetar membaca surat itu. Wanita yang terhormat itu telah kehilangan akal. Ia berdaya dengan segala apa saja untuk menyelamatkan putranya.
Tubagus dapat memaklumi kerendahan budinya dalam surat itu Wijaya, 1992:30
Kutipan  di  atas  menunjukkan  bahwa  perilaku  keluarga  pejabat  senantiasa  menggunakan kekuasaan yang dimilikinya dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan peribadinya. Keadaan
ini  secara  faktual  terjadi  dalam  kehidupan  masyaraka.  Makna  di  balik  kutipan  di  atas sesungguhnya  pengarang  menyampaikan  kritik  sosial  terhadap  perilaku  keluarga  pejabat  yang
seperti itu. Bahkan, pengarang menggambarkan perilaku hakim yang “gemetar” membaca surat istri Wali Kota Ribu.
Di  sisi  lain,  Tubagus  Negara  juga  mendapat  tekanan  dari  masyarakat  dan  pers  agar  berani menghukum Rony Ribu dengan hukuman yang berat agar di kemudian hari pejabat atau keluarga
pejabat  tidak  berbuat  sewenang-wenang  kepada  rakyat  kecil.  Tekanan  yang  diterima  hakim berupa surat kaleng dan ancaman secara pisik. Dengan teknik surat, pengarang menggambarkan
tekanan yang diterima melalui surat kaleng seperti berikut. “ Kami berdoa dan berseru agar Bapak tetap berpegang kepada hukum. Janganlah takut
kepada Walikota. Beliau memang seorang yang baik. Tetapi siapa tahu di balik kebaikannya itu tersembunyi kejahatan yang tidak kita ketahui. Mengenai Rony terang ia
bersalah. Hukumlah anak itu seberat-beratnya agar menjadi contoh bagi para pemuda kita di kemuadian hari agar jangan bergaul dengan pelacur dan agar jangan main koboi-koboian
mentang-mentang anak pembesar. Sekian. Terima kasih. Merdeka. Tertanda. Semangat
empat lima” Wijaya, 1992:29. Di  samping  melalui  surat  kaleng,  Tubagus  Negara  juga  mendapat  tekanan  secara  pisik.
Dengan gaya personifikasi, pengarang menulis sebagai berikut. Malam melenggok dengan sepi. Hakim tua itu meneguk kopi tanpa merasa mengantuk
sedikit pun. Ia teringat kepada seorang yang ugal-ugalan yang memaksa bertemu tiga hari yang lalu. Tubuhnya kekar mukanya kasar jelas otaknya tak seberapa bagus. Bersama
dengan empat orang kawannya ia mengaku wartawan. Mereka ingin mengadakan wawancara. Namun pada kenyataannya kemudian mereka sendiri yang lebih banyak
bicara. Mereka berbicara tentang keadilan. Pada pokoknya hanya ingin agar Rony dihukum.
“Seandainya Bapak berani menghukum Rony kami akan menjadi penyokong Bapak dalam pencalonan Walikota yang akan datang. Bukan kami saja tapi seluruh kota. Kita
harus tumbangkan mitos dan omong kosong politik yang banci itu,” kata mereka sambil menjabat tangannya dengan semangat Wijaya, 1992:30-31
Tubagus  Negara  menghadapi  dua  tekanan  dari  sisi  yang  berlawanan.  Di  sisi  lain, sebelumnya  ia  pernah  membuat  keputusan  yang  salah  tentang  kasus  Lan  Fa  juga  ikut
memperkuat konplik batin pada dirinya. Akan tetapi, sebagai hakim yang sudah berpengalaman, semuanya tidak banyak berpengaruh kepada keputusannya. Pengarang menggambarkan keadaan
tersebut seperti tampak pada kutipan berikut. Tubagus sedikit pun tak tergerak oleh semua itu. Di atas hatinya yang jujur ia berani
bersumpah bahwa keputusannya tanpa semuanya itu akan sama. Ia tidak terdorong, tidak takut, tidak berani dan tidak terpengaruh. Ia menjalankan hukum, bukan kebijaksanaan,
politik, atau lainnya. Bahkan kegagalannya, yang menjadi penyesalan abadi dalam peristiwa Lan Fa dahulu, tidak ikut membayanginya dalam peristiwa itu. Ia seorang hakim yang jujur.
Tetapi kejujuran itulah  yang membuatnya melamun setiap selesai menyusun keputusan Wijaya, 1992:31
Konplik  batin  Tubagus  Negara  membuatnya  ia  membayangkan  kembali  menurut bayangannya pikirannya sendiri peristiwa yang dialami oleh Nurma. Secara psikologis perilaku
Tubagus  Nagara  seperti  itu  masuk  akal  karena  berhadapan  dengan  dilema  yang  sangat  berat. Dengan teknik cerita pembayangan, pengarang menggambarkan sebagai berikut.
Orang tua itu memejamkan matanya. Tangannya terkepal. Ia melihat Rony dengan pistolnya menghentikan mobil di pinggir jalan. Ia melihat Rony terkejut melihat wanita itu
mengecerkan dirinya kembali dengan rendah. Ia melihat betapa tiba-tiba keruntuhan melanda semangat pemuda itu. Ia melihat pemuda itu menyeret Nurma ke mobilnya. Ia
melihat Nurma menjadi galak karena diperlakukan begitu di depan orang lain. Hakim tua itu seakan-akan mendengar pertengkaran mereka yang seru. Ia melihat pula pemuda itu
menunggui di mobilnya sampai Nurma mau  diajaknya pergi. Jelas sekali ia melihat bagaimana Rony kemudian karena tak sabar meluap marah menyeret wanita itu  ke
mobilnya dan melarikan ke luar kota. Lantas di dalam gubuk di luar kota, ia mendengar perdebatan mereka. Ia mendengar kemarahan Rony. Tangannya gemetaran. Ia mendengar
pula wanita itu dengan angkuhnya mempersetan  segala harapan Rony yang jujur. Ia begitu angkuh. Ia tidak mau diikat. Ia adalah seorang yang sombong. Seorang yang tinggi hati.
Seorang yang mempunyai kehormatan. Rony terpukul bagaikan kaca yang pecah. Seorang pelacur sudah tidak membutuhkannya lagi. Ia merasa dirinya sangat tak berharga. Ia
menjadi kalap. Pistol itu diangkat. Ditembaknya wanita itu. Ditembaknya.
Ditembaknya…… Wijaya, 1992:33 Kutipan  di  atas  menunjukkan  keadaan  psikis  Tubagus  Negara  dalam  memutuskan  suatu
perkara.  Konplik  batin  yang  begitu  besar  dan  kuat  membuat  ia  seakan-akan  melihat  dalam bayangan  peristiwa  pembunuhan  yang  dilakukan  oleh  Rony  terhadap  Nurma.  Keperibadian
seperti  ini,  menurut  teori  psikoanalisa  dari  Sigmund  Freud  adalah  keperibadian  orang bersangkutan dikuasai oleh das Es the Id, yakni aspek biologis manusia yang bertujuan untuk
mengejar  kenikmatan  kenyamanan  Freud,  1984:xxxix;  Suryabrata,  1993:143.  Konplik  batin Tubagus  Negara  semakin  memuncak  dan  digambarkan  oleh  pengarang  dengan  menggunakan
gaya  bahasa  perbandingan  dan  mengulang  berkali- kali kata “Ia melihat” seolah olah peristiwa
akan  menuju  klimaks. Pengarang  tampak  “meneror”  psikologis  pembaca  untuk  mengikuti
kehendaknya melanjutkan cerita menuju klimaks. Pada saat Tubagus Negara membayangkan peristiwa pembunuhan Nurma seperti tergambar
di  dalam kutipan di atas, sesungguhnya ia sedang duduk santai membaca  surat  kabar dan surat kaleng  sambil  minum  kopi.  Konplik  batin  yang  kuat  dan  besar  yang  dialami  oleh  Tubagus
Negara menyebabkan perilakunya tidak terkontrol seperti tampak di dalam kutipan berikut. Hakim Tubagus Negara tidak lagi loyo di atas kursi rotannya. Ia berdiri dengan tegap
di depan meja. Di tangannya gelas kopi dipegang erat-erat. Ia menyentak-nyentekkan
bagai seorang yang sedang menembak, sehingga isinya bertumpahan. Ia galak sekali. Ia lakukan itu dengan bersemangat, jauh lebih bersemangat daripada kalau ia memukulkan
palunya di pengadilan. “Tor Tor” teriaknya dengan suara bernafsu sekali.
Imah terbangun dari tidurnya  mendengar suara gaduh. Ia bergegas ke ruang tengah. Ia mengusap matanya tak peraya ketika melihat perangai Tubagus. Tapi ia seorang yang
tabah. Ia tidak menjerit atau pinsan. Ia mendekati orang tua yang sedang main koboi itu. “Tuan, tuan…. Tegurnya menyadarkan orang tua itu.
Tubagus Negara cepat tersadar. Mula-mula ia heran melihat keadaan dirinya. Ketika ia dapat melihat Imah gelas itu terjatuh dari tangannya. Ia merasa sesuatu terjadi  dengan
jantungnya. Kepalanya pening dan tubuhnya berlumuran keringat. Ia hampir terjatuh kalau tidak dipapah oleh Imah. Wanita itu mendudukkannya lalu memijit punggungnya  dengan
balsem Wijaya, 1992:33-34
Di  dalam  keadaan  yang  lemah  karena  mengalami  konplik  batin  yang  hebat,  Tubagus Negara  ingin  menuliskan  sesuatu  di  atas  kertas.  Imah  pembantunya  berusaha  melarangnya.
Akan tetapi, Tubagus berusaha untuk menulis tetapi tidak berhasil. Perhatikanlah cara pengarang menyelesaikan cerita ini dalam kutipan berikut.
“Biar, biarkan aku,” katanya dengan suara yang pelan dan capek, “Jantungku. Barangkali aku akan mati…..” Ia hendak menulis tapi tenaganya tak ada. Ia memberi
isyarat Imah menuliskan kata-katanya. Imah pun menulis. “Yang terhormat warga kota. Saya jalankan undang-undang untuk saudara-saudara.
Tetapi saya tidak rela atas nama pribadi saya….karena saya kenal siapa wanita itu…..Baginya sudah adil….Kenapa…..”
Orang tua itu terkulai. Imah cepat-cepat memijit pundaknya kembali. Air matanya bercucuran Wijaya, 1992:35
Kutipan di atas menunjukkan konplik batin yang begitu hebat dalam diri Tubagus Negara menyebabkan  ia  menjadi  korban  karena  idelaismenya  sendiri.  Pengarang  tidak  eksplisit
menyelesaikan cerita ini, tetapi mengambang. Akan tetapi, dari kalimat penutup dapat ditafsirkan bahwa  hakim  Tubagus  Negara  meninggal  dunia.  Seorang  hakim  menjadi  korban  karena
idealismenya sendiri.
3. Penutup