Identifikasi Bakteri Pada Ulkus Kaki Pasien Diabetes Melitus

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ulkus Kaki Diabetes
2.1.1. Definisi
Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronis diabetes melitus,
yang paling ditakuti. Sering kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan
kematian (Waspadjl, 2009). Ulkus kaki diabetes didefinisikan sebagai daerah
diskontinuitas permukaan epitel yang terdapat pada bagian antara lutut dan
pergelangan kaki, pergelangan kaki lateral dan pada bagian plantar kaki atau jarijari kaki. Istilah kaki diabetik digunakan untuk kelainan kaki mulai dari ulkus
sampai gangren yang terjadi pada orang dengan diabetes akibat neuropati atau
iskemia perifer atau keduanya (Grace, 2007).
Gangren diabetikum adalah kematian jaringan yang disebabkan oleh
penyumbatan pembuluh darah (ischemic necrosis) karena adanya mikroemboli
aterotrombosis akibat penyakit vaskular perifir oklusi yang menyertai penderita
diabetes sebagai komplikasi menahun dari diabetes itu sendiri. Ulkus kaki
diabetes dapat diikuti oleh invasi bakteri sehingga terjadi infeksi dan pembusukan,
yang dapat terjadi di setiap bagian tubuh terutama di bagian distal tungkai bawah
(Yasa, 2012).


2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi ulkus kaki pada populasi diabetes umum adalah 4-10%,
terutama pada pasien yang lebih tua. Insiden tahunan ulkus kaki berkisar dari 1%
menjadi 3,6% di antara pasien dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2. Diperkirakan
bahwa sekitar 5% dari pasien dengan diabetes memiliki riwayat ulkus kaki,
sedangkan risiko seumur hidup untuk komplikasi ini adalah 15%. Ulkus kaki lebih
sering terjadi pada pasien Caucasions daripada pasien di Asia dari anak benua
India. Selain itu, 60-80% dari ulkus kaki akan sembuh, 10-15% akan tetap aktif,

5

6

dan 5-24% akan berakhir di amputasi dalam jangka waktu 6-18 bulan setelah
evaluasi pertama. Hal yang menarik adalah, 3,5-13% dari pasien dengan ulkus
aktif akan meninggal, akibat co = morbiditas, termasuk penyakit arteri koroner
dan nefropati pada pasien dengan ulkus kaki (Tentolouris, 2010).

2.1.3. Etiologi

Pada telapak kaki pasien mungkin dapat mengalami kerusakan oleh
kekuatan eksternal dalam satu atau lebih dalam tiga hal, seperti berikut :
Pertama adalah tekanan yang tak henti-henti, dan rendah, seperti dari
sepatu ketat yang dapat menyebabkan nekrosis iskemik atau nyeri tekan. Patologi
yang ini mirip dengan ulkus dekubitus. Kedua adalah tekanan yang lebih tinggi
dapat menyebabkan kerusakan mekanik langsung, ketika kaki terpijak pada batu
yang tajam, serpihan kaca, atau paku payung, dan ia menembus kulit atau
mengakibatkan kulit rusak. Ketiga adalah jika tekanan moderat terus berulang
dengan setiap langkah dapat menyebabkan peradangan pada titik-titik tekanan
tinggi, yang diikuti dengan pembentukan ulkus atau blister. Patologinya bukan
nekrosis iskemik, karena aliran darah tidak diblokir secara terus-menerus, tetapi ia
lebih konsisten dengan peradangan autolisis enzimatik. Ketiga-tiga faktor
patogenik ini diistilahkan sebagai iskemia, kerusakan mekanik dan peradangan
autolisis (Coleman, 2005).

2.1.3.1. Iskemia
Kaki neuropatik rentan terhadap cedera dari tekanan yang tak hentihenti.Tekanan eksternal berkelanjutan yang lebih besar daripada tekanan darah
kapiler atau lokal anteriolar akan menutupi pengaliran darah manapun jaringan
dikompresi antara sepatu dan mendasari struktur tulang.Lokal nekrosis kulit kaki
dapat terjadi dengan tekanan serendah 1 pound per inci persegi. Tingkat tekanan,

sering tanpa rasa sakit, dapat melebihi dengan ketat sepatu. Dengan mengirakan
ini, pasien diabetes tidak bisa memakai sepatu lebih dari lapan atau sepuluh jam
(Coleman, 2005).

7

2.1.3.2. Kerusakan mekanikal
Kerusakan langsung ke telapak kaki mungkin terjadi jika seluruh berat
144-lb seseorang beristirahat di area seluas 1/9 inci persegi. Dengan demikian,
tidak mungkin bahwa seseorang yang memakai sepatu bisa menderita kerusakan
langsung dari setiap kekuatan eksternal kecuali, jika benda tajam yang kecil
berada di bawah kaki di dalam sepatu. Penderita diabetes tidak boleh berjalan
tanpa alas kaki karena krusakan bisa terjadi akibat berjalan kaki dengan
menggunakan kaus kaki atau kaki telanjang di atas benda yang tajam. Selain
kerusakan langsung dari tekanan yang sangat tinggi, maka kerusakan langsung
dari panas, dingin, atau bahan kimia korosif juga harus dipertimbangkan. Semua
orang dengan neuropati perifer perlu waspada terhadap bahaya tersebut dan
mempertahankan batas keselamatannya (Coleman, 2005).

2.1.3.3. Peradangan autolisis

Peradangan autolisis adalah penyebab yang paling umum dari ulkus pada
kaki diabetes. Tekanan yang menyebabkan jarak antara 20 sampai 70 psi dan
sangat mirip dengan tekanan yang turut ditoleransi oleh individu norrmal yang
berolahraga atau berjalan cepat dengan menggunakan sepatu bersol. Tekanan
tersebut tidak membahayakan kaki yang normal atau kaki diabetes kecuali pada
mereka yang sering mengulanginya setiap hari pada area yang sama pada kakinya,
jaringan yang sudah mengalami peradangan sebagai akibat dari stres mekanik
yang berlebihan dan

struktur yang abnormal sebagai akibat dari ulkus

sebelumnya serta jaringan parut (Coleman, 2005).
Ulkus kaki diabetes dianggap terjadi apabila terdapat callus pada
permukaan kulit. Dikarenakan impaksi yang

berulang-ulang pada callus ini

sebagai akibat dari berjalan, terjadi kerusakan antara callus dan jaringan yang
lebih dalam. Pemecahan ini merupakan hasil dari akumulasi peradangan pada sel.
Sel-sel ini melepaskan enzim yang melisiskan jaringan dasar, sehingga terjadi

akumulasi cairan dalam saku. Peradangan dan kerusakan jaringan yang terkait
diperburuk oleh tekanan fluida hidrolik sebagai hasil dari tekanan di saku. Ini

8

akhirnya menghasilkan pembentukan blister berlawanan ke callus atau pemecahan
pada kulit (Coleman, 2005).

2.1.4. Faktor risiko
Selama tahun-tahun terakhir ini, beberapa penelitian telah dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap morbiditas dari kaki
diabetes. Dalam sebuah studi prospektif dari 740 pasien, Boyko dan rekan kerja
menemukan bahwa ulkus kaki diabetes berkembang sebagai hasil dari neuropati,
berkurang perfusi pembuluh darah, kelainan bentuk kaki, tekanan yang lebih
tinggi di bawah kaki, keparahan diabetes, dan komplikasi co-morbid dari diabetes.
Pasien diabetes dan neuropati adalah 1,7 kali lebih besar untuk berkembangnya
ulserasi kaki. Mereka dengan kelainan bentuk kaki (gerakan ibu jari yang terbatas,
bunion, atau jari kaki yang cacat) yang 12,1 kali lebih mungkin mengalami ulkus
kaki. Jika pasien diabetes memiliki amputasi ekstremitas bawah, maka risiko
ulserasi pada ekstremitas berlawanan atas meningkat 36,4 kali dari yang normal.

Dengan menyadari data ini, dokter dapat mulai mengkategorikan pasien menurut
risiko yang mengembangkan cedera kaki (Coleman, 2005).

9

Tabel 2.1: Klasifikasi pasien diabetes berdasarkan risiko yang
mengembangkan ulkus kaki (Bokyo)
Category Patient
of
risk characterist
for foot ics
injury

0

1

2

3


Education needs

-Co-morbidities
of
diabetes related to poor
glycemic control.
All patients -Signs
that
suggest
with
damage to the vasculature
diabetes
or nerves
-Need for properly fitting,
conservative footwear

Diabetes
and
peripheral

neuropathy

Diabetes,
neuropathy,
and
foot
deformity

Diabetes
and
neuropathy
foot

(Sumber: Coleman, 2005)

-Need for daily visual foot
inspection-Sensation
in
feet cannot be trusted as
an indication of the

presence or severity of foot
wound
-Contact physician for
assistance with wound
care

-Strict adherence to the
use of proper foot wear at
all times
–Custom footwear or shoe
inserts are often needed
Any lesion should be
treated immediately
-Must
always
wear
prescription footwear to
lower
weight-bearing
stress at previous site(s) of

ulcer
-Walking without shoes or
with
nonprescribed
footwear poses a threat to
the foot

Monitoring of feet

-Once-a-year
evaluation by a health
care professional for
signs
of
lower
neuropathy or extremity
arterial
occlusive
disease
-A quantitative test of

sensation conducted at
least annually
-Assessment of properly
fitting shoes by a
competent professional
-Toenails and calluses
should be maintained
by a trained medical
professional
-Feet
should
be
medically evaluated at
least once every 6
months
-See a foot specialist
every 3 months for nail
and callus care
-Feet
should
be
examined for changes
in shape or mobility
-Visit a foot clinic every
1-2 months
-Footwear needs to be
examined at every visit
for proper fit and
function

10

2.1.5. Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang
DM yang menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan
menyakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot (Waspadjl, 2009).
Neuropati sensorik biasanya derajatnya cukup dalam (>50%) sebelum
mengalami kehilangan sensasi proteksi yang berakibat pada kerentanan terhadap
trauma fisik dan termal sehingga meningkatkan resiko ulkus kaki. Tidak hanya
sensasi nyeri dan tekanan yang hilang, tetapi juga propriosepsi yaitu sensasi posisi
kaki juga menghilang. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot-otot di kaki,
mengakibatkan penonjolan tulang-tulang abnormal, arsitektur normal kaki
berubah, deformitas yang khas seperti hammer toe dan hallux rigidus. Sedangkan
neuropati autonom atau autosimpatektomi, ditandai dengan kulit kering, tidak
berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan
arteriovenous di kulit, hal ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit,
semuanya menjadikan kaki rentan terhadap trauma yang minimal. Kelainan pada
pembuluh darah adalah aterosklerosis. Hal ini karena penyakit vaskuler perifer
terutama mengenai pembuluh darah femoropoplitea dan pembuluh darah kecil
dibawah lutut. Risiko ulkus, dua kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibanding
dengan pasien non-diabetes (Yasa, 2012).
Seterusnya, kalainan pada neuropati akan menyebabkan terjadinya
perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan
mempermudah

terjadinya

ulkus.

Adanya

kerentanan

terhadap

infeksi

menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas.Faktor aliran
darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki
diabetes (Waspadjl, 2009).

2.1.6. Gejala Klinis
Gambaran klinis kaki diabetik terbagi kepada dua, yaitu gambaran
neuropatik dan gambaran iskemia. Gambaran neuropatik pada kaki diabetik
adalah adanya gangguan sensorik, terdapat perubahan trofik kulit, adanya ulkus

11

plantar, terdapat artropati degeneratif pada sendi charcot, terdapat pulsasi sering
teraba dan adanya sepsis akibat infeksi bakteri atau infeksi jamur. Seterusnya,
gambaran iskemia pada kaki diabetik adalah adanya nyeri saat istirahat, terdapat
ulkus yang nyeri di sekitar daerah yang tertekan, adanya riwayat klaudikasio
intermiten, pulsasi tidak teraba dan adanya sepsis karena infeksi bakteri atau
infeksi jamur (Grace, 2007).

2.1.7. Klasifikasi
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes, mulai dengan yang
sederhana seperti klasifikasi Edmonds dari Kings’s College Hospital London,
klasifikasi Liverpool yang sedikit lebih rewet, sampai klasifikasi Wagner yang
lebih terkait dengan pengelolaan kaki diabetes, dan juga klasifikasi Texas yang
lebih kompleks tetapi juga lebih mengacu kepada pengelolaan kaki diabetes
(Waspadjl, 2009).
Klasifikasi Liverpool terbagi kepada dua yaitu klasifikasi primer dan
klasifikasi sekunder. Kelainan vaskular, neuropati dan neuroiskemik digolongkan
di bawah klasifikasi primer. Seterusnya, ulkus sederhana, tanpa komplikasi dan
ulkus

dengan

komplikasi

digolongkan

di

bawah

klasifikasi

sekunder

(Waspadjl, 2009).
Klasifikasi Wages merupakan klasifikasi yang banyak dipakai saat ini.
Klasifikasi ini dibagi berdasarkan keenam gradenya. Mulai dengan grade 0 yaitu
kulit intak atau utuh. Seterusnya, grade 1 yaitu ulkus superficial, grade 2 yaitu
ulkus dalam, grade 3 yaitu ulkus dalam dengan infeksi, grade 4 yaitu ulkus
dengan gangren pada 1 hingga 2 jari kaki serta grade 5 yaitu ulkus dengan
gangren luas seluruh kaki (Waspadjl, 2009).

12

Tabel 2.2: Klasifikasi Texas (University of Texas)
STADIUM

0
1
2
3
tanpa tukak luka
luka sampai luka sampai
atau pasca superfisial,
tendon atau tulang/
tukak, kulit tidak sampai kapsul sendi sendi
intak/utuh
tendon
atau
tulang
kapsul sendi
A
B
--------------------DENGAN INFEKSI------------------C
--------------------DENGAN ISKEMIA-----------------D
---------DENGAN INFEKSI DAN ISKEMIA---------(Sumber: Waspadjl, 2009).
Selain itu, suatu klasifikasi muthakhir dianjurkan oleh International
Working Group on Diabetic Foot (klasifikasi PEDIS 2003).

Tabel 2.3: Klasifikasi PEDIS 2003 (International Working Group on Diabetic
Foot)
Classification
Impaired Perfusion

Size/Extent in mm^3
Tissue
Loss/Depth

Score
1
2
3
1
2

3
Infection

1
2
3

4

Impaired Sensation

1
2
(Sumber: Waspadjl, 2009).

Explanation for score
None
PAD + but not critical
Critical limb ischemia
Superficial fullthickness, not deeper than
dermis
Deep ulcer, below dermis, involving
subcutaneous structures, fascia, muscle or
tendon
All subsequent layers of the foot involved
including bone and joint
No symptoms or signs of infection
Infection of skin and subcutaneous tissue only
Erythema >2cm or infection involving
subcutaneous structure(s)
No systemic sign(s) of inflammatory response
Infection with systemic manifestation
Fever, leucocytosis, shift to the left Metabolic
instability
Hypotension, azotemia
Absent
Present

13

Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih
dominan, vaskular, infeksi, atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat
tertuju dengan lebih baik. Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan
sangat erat dengan pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan
alamiah kaki diabetes (Edmonds 2004-2005) seperti di bawah:
Klasifikasi yang berdasarkan pada perjalanan alamiah kaki diabetes,
terbagi kepada enam tahap. Tahap 1 adalah normal foot, tahap 2 adalah high risk
foot, tahap 3 adalah ulcerated foot, tahap 4 adalah infected foot, tahap 5 adalah
necrotic foot dan tahap 6 adalah unsalvable foot.
Untuk tahap 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya
dapat dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer. Untuk tahap 3 dan 4
kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan kesehatan yang
lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik. Untuk tahap
5, apalagi tahap 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali memerlukan
sesuatu suatu kerja sama tim yang sangat erat (Waspadjl, 2009).
Untuk optimalisasi pengelolaan kaki diabetes, pada setiap tahap harus
diingat berbagai faktor yang harus dikendalikan, yaitu mechanical controlpressure control, metabolic control, vascular control, educational control, wound
control, dan microbiological control-infection control. Pada tahap yang berbeda
diperlukan optimalisasi hal yang berbeda pula. Misalnya, stadium 1 dan 2 tentu
saja faktor wound control dan infection control belum diperlukan, sedangkan
untuk stadium 3 dan selanjutnya tentu semua faktor tersebut harus dikendalikan,
disertai keharusan adanya kerjasama multidisipliner yang baik (Waspadjl, 2009).

2.1.8. Penegakan diagnosa
Diagnosis pada dasarnya dibuat atas dasar klinis. Dari hasil anamesis,
didapati bahwa tidak ada nyeri relatif pada lesi neuropatik. Manakala, ispeksi
mengungkapkan bentuk dan tekstur kaki, posisi jari-jari kaki, warna kulit, ada
atau tidak adanya rambut, indeks yang dipercayai dari kelompok darah yang
memadai, dan kisaran gerakan di berbagai sendi. Palpasi meliputi pemeriksaan
suhu dan elastisitas kulit serta ada atau tidak adanya reflex dan denyut perifer.

14

Selain itu, ia juga menilai sifat dari setiap pembengkakan dan abses atau
arthropati. Getaran rasa mungkin tidak terdapat di neuropatik, lesi, tetapi temuan
ini bukan bukti yang dapat diandalkan neuropati pada usia lanjut (Catterall, 1968).

2.1.9. Penatalaksanaan
2.1.9.1. Wound control
Perawatan luka sejak pertama kali pasien datang merupakan hal yang
harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Debridement yang baik dan adekuat tentu
akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik yang harus dikeluarkan
tubuh, dengan demikian tentu akan sangat mengurangi produksi pus/cairan dari
ulkus/gangren. Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi
mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau iodine encer
dan senyawa silver sebagai bagian dari dressing (Waspadjl, 2009).

2.1.9.2. Microbiological control
Data mengenai pola kuman perlu diperbaiki secara berkala untuk setiap
daerah yang berbeda. Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan
hasil biakan kuman dan resistensinya. Pemberian antibiotik harus diberikan
antibiotik dengan spectrum luas, mencakup kuman gram positif dan negatif
(seperti misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang
bermanfaat

terhadap

kuman

anaerob

(seperti

misalnya

metronidazol)

(Waspadjl, 2009).

2.2. Bakteri Aerob yang Terdapat pada Ulkus Kaki Diabetes
Pada pasien diabetes dengan respon imun yang buruk bahkan komensal
kulit normal dapat menyebabkan infeksi yang signifikan. Komensal kulit yang
umum seperti Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Staphylococcus epidermidis
(S. epidermidis) dipandang sebagai patogen pada luka diabetes. Komensal hidung
lain seperti spesies Streptococcus juga telah dibiakkan dari spesimen klinis luka
diabetes. Spesies Streptococcus jarang menyebabkan infeksi tetapi bisa, dalam
kasus yang jarang menyebabkan selulitis terik parah dan kerusakan jaringan.

15

Bakteri aerob gram–negatif seperti Citrobacter sp, Escherichia coli (E. coli),
Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter dan Serratia sp., adalah contoh dari flora
normal yang sering dikulturkan dari luka diabetes (Dharod,2010).

2.2.1. Bakteri Staphylococcus sp.
Stafilokokus berasal dari perkataan staphyle yang berarti kelompok buah
anggur dan kokus yang berarti benih bulat. Kuman ini sering ditemukan sebagai
kuman flora normal pada kulit dan selaput lendir pada manusia. Kuman
staphylococcus aureus tidak bergerak, tidak berspora dan positif gram. Hanya
kadang-kadang yang gram negatif dapat ditemukan pada bagian tengah
gerombolan kuman, pada kuman yang telah difagositosis dan pada biakan tua
yang hampir mati (Warsa,1994).
Bahan untuk memeriksa kuman ini dapat diperoleh dengan cara swabbing,
atau langsung dari darah, pus, sputum atau likuor serebrospinalis. Biasanya
kuman dapat dilihat jelas, terutama jika bahan pemeriksaan berasal dari pus
sputum. Pada sediaan langsug dari nanah, kuman terlihat tersusun tersendiri,
berpasangan, bergerombol dan bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek.
Bahan yang ditanam pada lempeng agar darah akan menghasilkan koloni yang
khas setelah pengeraman selama 18 jam pada suhu 37 derajat celcius, tetapi
hemolisis dan pembentukan pigmen baru terlihat setelah beberapa hari dibiarkan
pada suhu kamar. Atas dasar pigmen yang dibuatnya, kuman ini dapat dibagi
dalam beberapa spesies. Yang berwarna

kuning keemasan dinamakan

Staphylococcus aureus, yang putih Staphylococcus albus dan yang kuning
dinamakan Staphylococcus citreus. Jika bahan pemeriksaan mengandung
bermacam-macam kuman, dapat dipakai suatu pembenihan yang mengandung
NaCl 10% (Warsa, 1994).
Seterusnya, adalah kuman Staphylococcus epidermidis. Kuman ini dapat
merupakan penyebab infeksi kulit yang ringan yang disertai pembentukan abses.
Kuman ini juga disebut sebagai Staphylococcus albus. Koloninya berwarna putih
atau kuning dan bersifat anaerob fakultatif. Kuman ini juga bersifat koagulasa
negatif, meragi glukosa, dalam keadaan anaerob tidak meragi manitol. Atas dasar

16

kemampuannya yang variable dalam pembentukan asam pada peragiaan
karbohidrat dalam suasana tertentu, kuman ini dapat dibagi lagi dalam 4 biotip.
Misalnya, Staphylococcus epidermidis biotip 1 dapat menyebabkan infeksi kulit
yang kronis pada manusia (Warsa, 1994). Berikut ini adalah gambar bakteri
Staphylokokkus sp.:

Gambar 2.1 : Bakteri Staphylokokkus sp. secara mikroskopik
dan kultur pada agar darah
Sumber: Kayser (2005)

2.2.2. Bakteri Streptococcus sp.
Sterptokokus terdiri dari kokus yang berdiameter 0.5-1 mikro meter.
Dalam bentuk rantai yang khas, kokus agak memanjang pada arah sumbu rantai.
Streptokokus patogen jika ditanam dalam perbenihan cair atau padat yang cocok
sering membentuk rantai panjang yang terdiri dari 8 buah kokus atau lebih.
Streptokokus yang menimbulkan infeksi pada manusia adalah positif gram, tetapi
varietas tertentu yang diasingkan dari tinja manusia dan jaringan binatang ada
yang gram negatif. Kuman ini dapat menyebabkan penyakit epidemik antara lain
scarlet fever, erisipelas, radang tenggorokan, febris puerpuralis, rheumatic fever,
dan bermacam-macam penyakit lainnya (Warsa,1994).
Bahan untuk pemeriksaan dapat diperoleh dengan cara swabbing dari
hidung atau tenggorokan, atau langsung dari darah, pus, sputum, likuor
serebrospinalis, eksudat dan urin. Pemeriksaan langsung dari sputum seringkali
hanya menemukan kokus tunggal atau berpasangan, jarang ditemukan dalam
bentuk rantai. Jika pada pemeriksaan langsung terlihat adanya Streptokokus tetapi

17

tidak tumbuh dalam suatu pembenihan, harus dipikirkan kemungkinan kumannya
bersifat anaerob. Pemeriksaan langsung dari usap tenggorokan kurang begitu
bernilai, karena normal selalu ditemukan adanya Streptococcus viridans di tempat
ini. Sediaan ini dibuat dari perbenihan kaldu yang berumur 2-3 jam dapat diberi
pewarnaan khusus untuk pemeriksaan imunofluoresensi. Dengan cara ini dapat
ditentukan adanya Streptokokus grup A secara cepat baik pada penderita ataupun
pada carrier. Umumnya, Streptokokus bersifat anaerob fakultatif, hanya beberapa
jenis yang bersifat anaerob obligat.Kuman ini tumbuh baik pada pH 7.4-7.6, suhu
optimum untuk pertumbuhan 37 derajat celcius, pertumbuhannya cepat berkurang
pada 40 derajat celcius (Warsa,1994).
Kuman ini juga mudah tumbuh dalam semua enriched media. Untuk
isolasi primer harus dipakai media yang mengandung darah lengkap, serum atau
transudat misalnya cairan asites atau pleura.Bahan pemeriksaan ditanam pada
lempeng agar darah, jika diduga kumannya bersifat anaerob juga ditanam dalam
perbenihan tioglikolat. Untuk mendapatkan hemolisis yang jelas sehingga mudah
dibeda-bedakan maka dipergunakan darah kuda atau kelinci dan medis tidak boleh
mengandung glukosa.Streptokokus yang memberikan hemolisis tipe-alfa juga
disebut Streptococcus viridians. Yang memberikan hemolisis tipe beta disebut
Streptococcus hemolyticus dan dari tipe gamma sering disebut sebagai
Streptococcus anhemolyticus (Warsa,1994). Berikut ini adalah gambar bakteri
Streptokokkus sp.:

Gambar 2.2 : Bakteri Streptokokkus sp. secara mikroskopik
Sumber: Kayser (2005)

18

Gambar 2.3 : Kultur Bakteri Streptokokus sp. pada agar darah
Sumber: Kayser (2005)

2.2.3. Bakteri Enterococci
Enterococci memiliki substansi-kelompok yang tertentu yaitu kelompok D
dan sebelumnya diklasifikasikan sebagai kelompok D streptokokus. Karena
antigen spesifik pada dinding sel kelompok D adalah asam teikoik, itu bukan
penanda antigen yang baik; enterococci biasanya diidentifikasi oleh karakteristik
selain daripada reaksi imunologi dengan-kelompok tertentu antisera. Mereka
adalah bagian dari flora normal usus. Mereka biasanya nonhemolitik, tapi kadangkadang alfa-hemolitik.Enterococci adalah PYR-positif. Mereka tumbuh dengan
adanya empedu dan menghidrolisis esculin (bile esculin-positive). Mereka tumbuh
di 6,5% NaCl. Mereka tumbuh dengan baik di antara suhu 10 derajat celcius dan
45 derajat celcius. Setidaknya ada 12 spesies enterococci.Enterococcus faecalis
adalah yang paling umum dan menyebabkan 85-90% infeksi enterococcal,
sementara Enterococcus faecium menyebabkan 5-10%.Enterococci sesekali
ditransmisikan pada perangkat medis. Pada pasien, situs yang paling umum
terkena

infeksi

adalah

saluran

kemih,

luka,

saluran

empedu,

dan

darah.Enterococci dapat menyebabkan meningitis dan bakteremia pada neonates
menyebabkan endokarditis pada orang dewasa. Namun, dalam intra-abdomen,
luka, urine, dan infeksi lainnya, enterococci yang biasanya dikultur bersama
bakteri spesies lain, dan sulit untuk menentukan peran patogenik dari enterococci
tersebut (Brooks, 2007).

19

2.2.4. Bakteri Acinetobacter sp.
Bakteri genus Acinetobacter adalah bakteri aerob, kokobasil Gram negatif,
dan banyak terdapat pada tanah dan air. Acinetobacter dapat juga diisolasi dari
kuit, mukosa atau cairan tubuh. Bakteri tersebut tumbuh pada banyak media
perbenihan yang biasanya digunakan untuk mengisolasi mikroba pathogen,
sehingga seringkali dikelirukan dengan bakteri yang patogen. Namun demikian
Acinetobacter bersifat komensal dan dapat menyebabkan infeksi nosokomial yang
sukar diobati karena resisten terhadap banyak golongan obat antimikroba
(Dzen, 2003).
Spesies di dalam genus Acinetobacter baumannii (dahulu disebut
Acinetobacter

calcoaceticus

varanitratus),

Acinetobacter

lwoffii,

dan

Acinetobacter haemolyticus (Dzen, 2003). Acinetobacter baumannii telah
diisolasi dari darah, dahak, kulit, cairan pleura, dan urin, biasanya pada infeksi
perangkat terkait. Acinetobacter johnsonii yang merupakan patogen nosokomial
dari virulensi rendah dan telah ditemukan di kultur darah pasien dengan kateter
intravena plastic (Brooks, 2007).

2.2.5. Bakteri Pseudomonas Aeruginosa
Genus Pseudomonas mempunyai habitat normal di tanah dan air, di mana
bakteri-bakteri ini berperan dalam proses dekomposisi bahan-bahan organic.
Beberapa spesies Pseudomonas bersifat pathogen terhadap tumbuh-tumbuhan dan
binatang. Meskipun pada umumnya bakteri tersebut tidak menginfeksi manusia,
tetapi Pseudomonas merupakan patogen oportunistik penting yang sering
menginfeksi hospes yang mengalami gangguan status imunitas. Infeksi pada
manusia sering kali didapatkan di rumah sakit, dan biasanya cukup berat serta
sulit diobati (Dzen, 2003).
Pseudomonas aeruginosa merupakan salah satu spesies dari genus
Pseudomonas yang dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia.
Pseudomonas aeruginosa dalam jumlah kecil seringkali merupakan flora normal
pada intestin dan kulit manusia, di sampingdapat ditemukan pada tanah dan air.
Pseudomonas aeruginosa bergerak aktif dengan lagela polar dan mempunyai

20

ukuran lebar 0,5-1 mikrometer dan panjang 3-4 mikrometer, dan bersifat aerob.
Infeksi pada manusia biasanya bersifat oportunistik dan merupakan salah satu
penyebab infeksi nosokomial (Dzen, 2003).
Pseudomonas aeruginosa dapat tumbuh dengan baik pada media
perbenihan yang digunakan untuk membiakkan bakteri enterik, maupun pada
media perbenihan yang bersihat alkalis untuk isolasi Vibrio cholera. Bakteri
tersebut dapat menggunakan lebih dari 80 macam bahan organik untuk
pertumbuhannya, dan meskipun merupakan organisme aerob, tetapi karena dapat
menggunakan arginin dan nitrat sebagai elektron akseptor maka juga dapat
tumbuh secara anaerob. Pseudomonas aeruginosa dapat tumbuh pada suhu antara
35 derajat celcius hingga 42 derajat celcius, dan bila dibiakkan pada medium agar
darah akan memberikan hemolisa tipe beta.

Pseudomonas aeruginosa

menghasilkan pigmen khas berwarna kehijauan yang didistribusikan ke dalam
media perbenihan disebut piosianin, tetapi tidak semua galur menghasilkan
pigmen

piosianin.

Selain

piosianin,

juga

dihasilkan

beberapa

pigmen

berfluoresensi lainnya yang dapat dilihat pada dilihat pada jaringan penderita yang
mengalami infeksi dengan menggunakan sinar lampu woods. Beberapa galur
menghasilkan pigmen berwarna merah. Terhadap disinfektans dan antiseptika,
pseudomonas lebih tahan dibandingkan dengan bakteri batang Gram negatif
lainnya. Pada suasana lembab, bakteri Pseudomonas aeruginosa dapat tumbuh
dengan baik pada berbagai tempat dan alat (Dzen, 2003).
Bahan pemeriksaan untuk diagnosis etiologis disesuaikan dengan kelainan
klinis yang terjadi. Dari bahan pemeriksaan tersebut dilakukan pemeriksaan
langsung menggunakan pewarnaan Gram, pembiakan pada medium yang biasa
digunakan untuk bakteri enteric, selanjutnya dilakukan reaksi biokimia untuk
identifikasi (Dzen, 2003).

2.2.6. Bakteri Enterobacteriaceae
Enterobacteriaceae tumbuh pesat dalam kondisi aerobik atau anaerobik
dan aktif secara metabolik. Mereka sering terjadi penyebab infeksi saluran kemih
(ISK), dan sejumlah spesies juga menjadi agen etiologi penting diare.

21

Pertumbuhan enterobacteriaceae adalah cepat di bawah kedua kondisi aerobik
dan anaerobik, menghasilkan koloni 2mm sampai 5mm pada media agar dan
kekeruhan menyebar dalam kaldu setelah diinkubasi selama 12 sampai 18 jam.
Semua enterobacteriaceae merupkan fermentasi glukosa, nitrat berubah menjadi
nitrit, dan negatif oksidase. Antigen O, K, dan H yang digunakan untuk membagi
beberapa spesies menjadi beberapa serotipe. Spesies yang paling berbahaya bagi
manusia adalah Scherichia, Shigella, Salmonella, Klebsiella dan Yersinia. Genera
medis lain yang kurang umum dan penting adalah Enterobacter, Serratia,
Proteus, Morganella dan Providencia (Ryan, 2004).
E. coli dan sebagian besar bakteri enterik lainnya membentuk lingkaran,
cembung, koloni halus dengan tepi yang berbeda. Koloni Enterobacter serupa
tetapi agak lebih berlendir. Koloni Klebsiella besar dan sangat berlendir serta
cenderung menyatu dengan inkubasi berkepanjangan. Salmonella sp. dan Shigella
sp. menghasilkan koloni yang mirip dengan E. coli tetapi tidak memfermentasi
laktosa. Beberapa strain E. coli menghasilkan hemolisis pada agar darah. E. coli
biasanya menghasilkan tes yang positif untuk indole, lisin dekarboksilase, dan
fermentasi manitol dan menghasilkan gas dari glukosa. Spesies Klebsiella
menunjukkan pertumbuhan berlendir, kapsul polisakarida besar, dan kurangnya
motilitas, dan mereka biasanya memberikan tes positif untuk lisin dekarboksilase
dan sitrat. Serratia biasanya menghasilkan DNase, lipase, dan gelatinase.
Klebsiella, Enterobacter, dan Serratia biasanya memberikan reaksi positif untuk
tes Voges-Proskauer. Spesies Proteus dan Morganella morganii yang member
hasil positif bagi tes urease, sementara spesies Providencia biasanya memberikan
hasil negatif untuk tes urease. Citrobacter biasanya adalah sitrat-positif dan
berbeda dari Salmonella, dimana mereka tidak mengalami dekarboksilasi lisin.
Shigella sp. yang nonmotile dan biasanya tidak memfermentasi laktosa tetapi ia
fermentasi karbohidrat yang lain, menghasilkan asam tetapi bukan gas. Empat
spesies Shigella berhubungan erat dengan E coli. Salmonella sp. adalah batang
motil yang khas fermentasi glukosa dan manosa tanpa menghasilkan gas tetapi
tidak memfermentasi laktosa atau sukrosa (Brooks, 2007). Berikut ini adalah
gambar E.coli:

22

Gambar 2.4 : Bakteri E.coli secara mikroskopik
dan kultur pada endo agar
Sumber: Kayser (2005)