Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB IV

BAB IV
TINJAUAN TERHADAP PERAN IDENTITAS AGAMA
DALAM PEREBUTAN KEKUASAAN DI SEKTOR-SEKTOR
PUBLIK DALAM PEMERINTAHAN

4.1 Konstruksi Politik Belanda dalam membentuk Identitas antara dua komunitas
Agama:
Peran identitas melihat penguasa mempunyai pengaruh dalam mengatur struktur yang
dilakukan mealui simbol-simbol dan juga nilai, contohnya seperti pengistimewaan
pemerintah kolonial Belanda terhadap komunitas Kristen, kemudian juga mempengaruhi
kepentingan politis oleh kedua kelompok agama di Ambon. Hubungan antar agama
berkembang sesuai dengan struktur kekuasaan yang dibentuk oleh Belanda untuk mengatur
interaksi antar kelompok agama di Ambon secara politis. Jika satu komunitas agama
berkompetisi dengan komunitas agama lain yang berbeda dan kepentingannya juga maka
dapat terjadi konflik kekerasan karena dipahami dalam hubungan relasi-relas kekuasaan.
Proses perjumpaan kedua komunitas agama islam-kristen di Ambon dapat membentuk
identitas yang merupakan arti dari salah satu komunitas yang mendapat suport kekuasaan
karena legitimasi dari penguasa pemerintah kolonial dan kelompok islam yang termarginal
dapat memicu munculnya identitas perlawanan dalam bentuk kompetisi yang tidak sehat bisa
berujung terjadinya konflik komunal. Dalam hubungan dengan itu Castells berpendapat
identitas selalu dibangun berdasarkan dalam pengertin yang positif di mana satu kelompok

dapat membedakan kelompoknya dengan kelompok lain, tetapi jika identitas itu dipahami
dalam hubungan dengan relasi-reasi kekuasaan maka akan muncul perlawanan atas dasar
dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain. Dalam konteks seperti ini pembentukan
identitas selalu berhubungan dengan hubungan kekuasaan (power relationships). Karena
pembentukan identitas selalu berada dalam relasi kekuasaan maka ada tiga kemungkinan
67

pihak yang mengkonstruksi identitas tersebut: pertama adalah disokong oleh institusi
dominan di dalam masyarakat. Kedua, dikonstruksi oleh kelompok-kelompok perlawanan.
Ketiga adalah oleh kelompok-kelompok yang ingin meredefinisikan posisinya terhadap
masyarakat.
Dalam situasi yang demikian komunitas Islam dan Kristen dapat mendefinisi situasi
yang berbentuk kolektif dan interaksi yang dibuat mempunyai hubungan-hubungan sosial
dengan individu lain. Hubugan sosial dalam masyarakat juga bisa timbul sikap streotype
kelompok-kelompok sosial yang berawal dari komunitas muslim yang berada dalam kondisi
termarginal karena struktur yang diatur oleh pemerintah Belanda dianggap tidak adil.
Perbedaan dan pertentangan dapat juga terjadi karena munculnya dominasi oleh kelompok
Kristen yang mendapat legitimasi dari pemerintah kolonial sehingga komunitas Kristen
merasa berkuasa dan secara tidak sadar telah menimbulkan benih-benih konflik yang
kemudian hari terjadi di awal tahun 1999.

Bila dipahami dalam sejarah dalam konteks di Ambon, komunitas Kristen pada
mulanya mempunyai posisi yang lebih baik dari pada komunitas Islam karena proses
segregasi yang diberlakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda pada waktu itu. Pemerintahan
Kolonial Belanda dilihat sebagai sebagai penguasa yang memberikan pengaruhnya dalam
mengatur relasi antara Kristen yang dilihat sangat unggul dipakai sebagai komunitas yang
sangat berkuasa dan Islam dilihat sebagai komunitas termarginal karena struktur yang diatur
oleh Belanda. Dari interaksi yang telah terjadi, komunitas Muslim menjadi sangat termarginal
dalam setaipa struktur masyarakat di Ambon periode yang lalu akibatnya persoalan tersebut
menimbulkan rasa kompetisi politiki maupun ekonomi dengan komuntas Kristen.
Belanda sebagai penguasa dalam membentuk struktur masyarakat Ambon dalam
kategori kaum terdidik dan kaum terpinggirkan. Struktur kelompok masyarakat yang semula
dikonstruksi oleh pemerintahan kolonial menimbulkan stigma negatif dari komunitas Islam

68

yang berada dalam posisi tidak diuntungkan. Kondisi sosial ekonomi yang berbeda dapat
menyebabkan interpretasi dan definisi situasi pada satu kelompok bahwa telah terjadi
kesenjangan dan ketidakadilan dalam pendistribusian kekuasaan yang dirasa tidak adil antara
dua komunitas agama. Struktur yang tidak adil ini yang kemudian menjadikan konflik
mengeskalasi dengan menggunakan identitas agama secara berhadap-hadapan dalam konteks

perebutan kekuasaan.
Penulis menarik kesimpulan bahwa dengan analisa teori identitas mengenai hubungan
antar agama dalam berbagai perbedaan-perbedaan yang terjadi antara dua komunitas agama
yaitu Kristen dan Islam di Kota Ambon pada mulanya merupakan hasil konstruksi
pemerintahan kolonial Beanda dan pada waktu pemerintahan Orde Baru. Dalam hal ini,
pemerintah memainkan struktur yang ada dalam masyarakat di kota Ambon sehingga
mengakibatkan ketimpangan yang selalu dirasakan dengan komunitas agama yang berbedabeda.

4.2 Resisitensi komunitas Islam bagian dari Penguatan Identitas
Menurut pendapat penulis, kebijakan Akib Latuconsina mungkin saja benar, sebab
dengan kebanjiran tenaga-tenaga produktif yang mengisi sektor industri dan sektor informal,
maka Maluku bisa dibangun dengan cepat. Untuk mengkselerasi pembangunan mungkin
dibutuhkan para masyarakat mayoritas beragama Islam, bukan berarti terdapat alasan yang
cukup untuk secara langsung mengatakan bahwa faktor agama islamlah yang menjadi alasan
terpinggirkan sejumlah orang dalam masyarakat, bahkan mengatakan Belanda dan Kristen
dianggap sebagai orang kafir oleh umat islam.
Perimbanagan penduduk ternyata juga memberikan implikasi politik terhadap upaya
perebutan kekuasaan di Maluku. Perebutan kekuasaan dapat dilakukan dengan memanfaatkan
banyak faktor, di antaranya karena salah satu pihak (misalnya komunitas umat beragama


69

tertentu) mersa menjadi mayoritas. Dengan demikian basis politik mejadi lebih kuat.
Akibatnya kelompok mayoritas baru (yang direncanakan secara sistematis) merasa yang
paling berhak memegang kendali kekuasaan, apalagi jika diduga ada motif “balas dendam”
akibat dari marginalisasi politik yang pernah dialami sebelumnya oleh Pemerintah Kolonial
Belanda.
Konflik yang terjadi selama ini adalah faktor ketidaksukaan atas pencapaian ekonomipolitik kelompok Kristen pada zaman kolonial Belanda sehingga mengakibatkan
kecemburuan sosial dari komunitas Muslim. Maka pada akhirnya, negara hanya menuruti
suara mayoritas sebagai aktor dalam memicu konflik dan mengerdilkan suara minoritas
sebagai korban. Artinya negara masih setengah hati dalam penyelesaian konflik komunal di
Maluku dan hanya memandangnya sebagai konflik yang disebabkan perbedaan mahzab
teologis tertentu yang kemudian dianggap sesat seperti menganggap orang-orang Kristen
sebagai kafir. Pola pikir sektarian inilah yang kemudian menyebabkan anarkisme agama
selalu berlanjut dari hari ke hari dan negara membiarkan hal tersebut sebagai masalah intern
umat.
Kaum terdidik dari kalangan pendatang (komunitas agama Islam) berdatangan dan
mulai ikut dalam bersaing dan menantang para elit Kristen dalam memperebutkan posisiposisi strategis di birokrasi. Dalam situasi inilah menurut penulis mulai terjadi sentimensentimen keagamaan, komunitas Kristen yang semula mendominasi mulai diperhadapkan
dalam bentuk persaingan baru dari kalangan Islam. Kekuatan rezim Orde Baru juga menjadi
bom waktu yang ikut andil menjadi faktor penyebab terjadinya konflik komunal di Ambon.

Terjadinya marginalisasi politik oleh rezim orde baru dengan pendistribusian kekuasaan yang
penulis anggap kurang adil bagi kelompok Kristen di Maluku.
Penulis berpendapat seiring berjalannya waktu bangkitnya kader-kader Muslim
Maluku pada masa Orde Baru, dianggap sebagai perlawanan balik karena sudah sekian lama

70

dikuasai oleh komunitas Kristen. Dalam Birokrasi pemerintahan terutama dalam
Pemerintahan di Maluku di mana semua Bupati pada waktu itu di wilayah muslim maupun
non-muslim diganti oleh Akib Latuconsina sebagai Gubernur Maluku. Dalam pandangan
penulis hal ini dilihat sebagai identitas perlawanan yang selalu mendominasi yang
kemukakan menurut teori identitas Manuel Castells1, Pemahaman identitas ini digunakan
oleh aktor yang selalu berda dalam keadaan dan posisi yang dan selalu dicap rendah dengan
logika yang selalu mendominasi, untuk itu dalam membangun kemampuan dalam bentuk
resistensi atas dasar suatu prinsip yang berbeda dengan yang dipaksakan oleh aktor
masyarakat. Dalam pandangan Manuel Castells, konsep identitas ini selalu di bangun dalam
bentuk resistensi yang sangat kolektif dalam suatu model kebijaksanaan dalam memberikan
bermacam-macam tekanan yang sudah tidak dapat di tahan,

yang menjadi dasar dari


pembentukan identitas ini di bentuk juga oleh sejarah, karena perasaan teralienasi atau dilain
pihak hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, dalam bidang ekonomi dan
sosial.

4.3 Persoalan Perimbangan antara dua Komunitas Agama
Dalam konteks Unpatti Penulis melihat hal ini sebagai

Resistance identity atau

Identitas Perlawanan yang dijelaskan dalam Teori Manuel Castells2, identitas ini
dimunculkan oleh komunitas muslim yang mersa berda dalam posisi atau kondisi yang
tertindas dicap rendah oleh logika dominasi komunitas krsten bertahun-tahun lamanya di
lembaga tersebut, karena itu komunitas muslim di lembaga tersebut membangun kekuatan
penolakan dan survival atas dasar prinsip yang berbeda atau bertentangan dengan yang
dipaksakan oleh masyarakat. Menurut Castells, identitas ini di bangun atas dasar suatu bentuk
perlawanan kolektif terhadap suatu bentuk kebijaksanaan yang memberikan sebuah tekanan
1
2


Op Cit Manuel Castells hlm 12
Op Cit Manuel Castells hlm 12

71

yang tidak dapat di tahan, yang menjadi dasar dari pembentukan identitas ini di bentuk juga
oleh sejarah, karena perasaan teralenasi atau dilain pihak hadir sebagai bentuk perlawanan
terhadap ketidakadilan, dalam jabatan struktural maupun dalam penerimaan mahasiswa.
Dalam konteks konflik di Unpatti kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan
menghilangnya solidaritas mereka sebagai anak negeri Maluku dalam konsep pela gandong
menjadi terkikis habis karena melihat perwakilan agama dan etnis mereka tidak terwakili
dalam jabatan-jabatan struktural maupun dalam penerimaan mahasiswa baru dan
mengakiatkan munculnya solidaritas dalam bentuk identitas agama maupun etnis yang tidak
tewakili, memmunculkan rasa emosional dan dilmapiaskan melalui mobilisasi massa
sehingga menimbulakn konflik. Menurut Michael Hogg, dalam

the social identity

menjelaskan Kategorisasi, yaitu upaya untuk mengelompokkan dan memeberi pemaknaan
terhadap sesuatu. Dalam konteks pembahasan tentang identias, maka kategorisasi merupakan

upaya manusia untuk mengelompokkan dan memberi pemaknaan terhadap kelompokkelompok sosial dan peran sosial yang menjadi bagian dari dirinya. Di sini penulis meilhat
kelompok atau komunitas muslim di Maluku merasa keterwakilan kelompok mereka tidak
terwakili dalam struktur pegawai, dosen, dan dalam penerimaaan mahasisiwa baru dianggap
kurang berimbang, akhirnya memobilisasi massa dari kelompok mereka untuk melakukan
suatu bentuk perlawanan.
Dalam konteks ini pengaruh identitas sosial dalam melihat perilaku individu, Identitas
sosial juga sangat berhubungan dengan interpertasi, karena proses pembentukan identitas
sosial juga peran pembentukan makna sangatlah penting. Hubungan kelompok individu
dalam suatu masyarakat tidak secara langsung membuat persepsinya pada komunitas sendiri
dan komunitas lain akan dikenal. Menurut Henry Tajfel kelompok sosial juga membuat
kecenderungan dalam membuat kategori sosial dalam mengklasifikasikan individu dan
kelompok-kelompok dalam bentuk kategori atau kelompok-kelompok sosial tertentu.

72

Biasanya kelompok-kelompok identitas membagi ruang sosial di dalam dua bentuk kategori
yang berbeda-beda yaitu “kita” dan “mereka”, “kita” yaitu kelompok Kristen sebagai in
group sedangkan out group adalah kelompok muslim di Unpatti yang selama ini mersa tersisi
dalam konteks persaingan yang berujung pada rasa ketidakadilan. Ketika klasifikasi dalam
gruop-group sosial terjadi dapat dilihat kompetisi antara dua kelompok dan maka kelompok

Islam sebagai out-group dikategorikan sebagai musuh karena melakukan perlawnan terhadap
kelompok Kristen di lembaga tersebut.
Penulis melihat dalam konteks tersebut, kata Perjanjian Malino II perlu diapresiasi
sebagai hasil torehan sejarah anak negeri Maluku lewat tokoh-tokoh agama, akademisi,
masyarakat, pemuda, media masa dan lainnya. Namun sering dengan berjalannya waktu, dan
disetting sosial serta realitas yang cenderung menunjukan pergeseran spirit perjanjian
tersebut harus senantiasa dilihat oleh semua komponen sehingga tidak menjadi komoditi
politik transaksional oleh kelompok tertentu yang pragmatis di Unpatti. “Penulis
mengapresiasi momentum sejarah tersebut secara kritis, rasional dan tidak mengutakatik
momentum sejarah, tetapi apresiasi di tengah determinasi penggiringan isu perimbangan
sebagai komoditas politik dan mengatasnamakan agama teretentu yang terdiskriminasi yang
katanya oleh struktur yang tidak adil. Penulis melihat pertama Mengembalikan spirit
perjanjian Malino II pada lokusnya, dan menghimbau kepada semua komponen di lembaga
untuk tidak mengkooptasikan sprit perjanjian tersebut dengan kepentingan-kepentingan elit
dan kelompok tertentu serta memberikan ruang kritik dan diskursus mengenai relevansi
perjanjian Malino II dalam konteks sosial kekinian.
Konteks kompetisi dan persaingan di Unpatti Penulis dapat berbagai masukan yang
berhubungan juga dengan konsep manggurebe maju. Dalam konteks di Maluku muncul
berbagai wacana yang bermunculan dalam konteks tersebut juga dalam pandangan Prof
Ajawaila menjelaskan bahwa istilah “manggurebe” merujuk pada konteks persaingan yang


73

berlangsung negatif yang sesuai juga dengan kata manggurebe sendiri juga dapat
menyiratkan bentuk perlombaan yang kurang terstruktur dan kacau ketika yang kuat akan
menindas yang berada dalam posisi lemah. Manggurebe maju dalam konteks persaingan
sebetulnya sangat bisa diterima karena proses persaingan juga merupakan model dari upaya
dalam menciptakan proses perubahan sosial.3 Dengan cara tersebut suatu perlombaan yang
terus melahirkan suatu konflik yang bersifat fungsional masih dapat dibenarkan karena
persoalan demikian masih berada pada jalan transformasi sosial. Konflik bisa terjadi secara
fungsional yang dikarenakan oleh persaingan yang dapat terjadi sewaktu-waktu dapat
menjadi bagian dari proses dialektika dalam realita kehidupan. Yang juga perlu dihindari iaah
konflik kekerasan yang mengarah pada tindakan-tindakan anarkis dan destruktif.
Dalam kaitan dengan kondisi ini muncul perlombaan antara Kristen-Islam dengan
alasan atas nama agama. Agama akan dimunculkan sebagai bentuk identitas kolektif dalam
domain sosial politik seputar persoalan pemerataan di Unpatti antara dua komunitas agama
di lembaga ini. Mereka yang mengaspirasikan kepada pihak Rekorat supaya harus
mengakomodir tuntutan mereka dengan melihat presentase perekrutan mahasiswa dan dosen
yang tidak berimbang antara kedua agama maupun etnis. Persoalan ini sangat kuat ketika
dilam hubungan Kristen-Islam di Maluku. Tensi persaingan kekuasaan yang kurang sportif

sangat terasa kuat ketika Kristen-Islam telah beusaha terlepas dari ikatan budayanya dan
masuk di dalam birokrasi pendidikan di Unpatti. Tentu saja persepktif ini memperlihatkan
bahwa katub yang selalu melestarikan kultur budaya tidak begitu cukup efektif bekerja
dakam wilayah birokrasi.
Kompetisi dan persaingan ketika agama dipakai sebagai identitas Kristen dan Islam
masih sangat kuat sampai saat ini. Dapat dilihat ketika rekrutmen-rekrutmen lembaga
pendidikan di Unpatti dilihat sangat “beraroma” agama bagi kaum muslim di lembaga

3

Loekman Soetrisno, Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003), h. 14-16.

74

tersebut. Contoh saja kamunitas pelajaar muslim di Unpatti menganggap pemilihan Dekan
fakultas Ekonomi juga harus representase dari komunitas muslim supaya ada perimbangan
sesuai dengan perjanjian Malino II.

75