Analisis Semiotik pada Bangunan Kelenteng Leng Chun Keng di Kota Jambi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, kemajemukan itu ditandai
denganadanya berbagai macam suku, etnik, budaya yang masing–masing
mempunyai cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku
bangsanya sendiri–sendiri. Sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan
pemisahan antara suku bangsa dengan yang lainnya, tetapi secara bersama–sama
hidup dalam suatu wadah masyarakat Indonesia yangberada di bawah naungan
sistem nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, terdapat kategori etnisitas tersendiri
yang awalnya dibagi dalam kategori pribumi dan nonpribumi. Namun belakangan
kategori ini diperdebatkan, karena bersuasana etnosentris. Namun dalam realitasnya
bangsa Indonesia yang heterogen tersebut terdiri dari etnik-etnik natif (suku bangsa
setempat): etnik pendatang Nusantara, dan etnik pendatang dunia. Dalam realitas
etnik di Sumatera Utara misalnya, kategori pertama yaitu etnik natif terdiri dari:
Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir,
dan Nias. Ditambah dengan etnik Lubu dan Siladang. Kemudian kategori kedua,
yakni etnik pendatang Nusantara yaitu: Simeulue, Aceh Rayeuk, Tamiang, Alas,
Gayo, Aneuk Jamee, Minangkabau, Banjar, Sunda, Jawa, Bugis, Makasar, dan lainlainnya. Kategori ketiga yaitu etnik-etnik pendatang dunia, seperti: Tamil, Benggali,


1
Universitas Sumatera Utara

Hindustani, Hokkian, Khek, Hakka, Kwong Fu, Fukkien, Arab, Pasthun, dan lainlainnya. Di antara etnik-etnik ini ada juga yang mengkategorikan kelompokkelompoknya sebagai masyarakat, misalnya etnik Tamil, Benggali, Hindustani selalu
disebut dengan masyarakat Indonesia di Sumatera Utara keturunan India. Seterusnya
etnik-etnik Hokkian, Khek, Hakka, Kwong Fu, Fukkien dan lainnya selalu
menyebutkan dirinya sebagai masyarakat Indonesia di Sumatera Utara keturuan Cina
(Afrilliani, 2016:10).
Terdapatnya suku bangsa dan kebudayaan yang beraneka warna pada bangsa
Indonesia, adalah salah satu sifat dari bangsa Indonesia yang patut dibanggakan,
karena dengan keanekaragaman tersebut tidak banyak negara di dunia yang bisa
menyamai apalagi melebihinya. Beberapa negara yang memiliki lebih dari satu suku
bangsa pada masyarakatnya justru menimbulkan permasalahan dalam perjalanan
kehidupan bangsa tersebut. Disinilah kelebihan bangsa Indonesia, aneka warna
warga masyarakatnya tidak menimbulkan keresahan yang berarti dalam proses
pembauran sehari-hari. Hubungan yang selaras antara suku bangsa dan golongan
yang berbeda tetap bisa terjaga dengan baik, sehingga kekayaan sosial budaya yang
dimiliki dapat mendatangkan manfaat bagi seluruh masyarakat(Nikmah, 2012:56).
Salah satu masyarakat yang ada di Indonesia adalah masyarakat

Tionghoa,orang Tionghoa sudah mengenal Nusantara sejak abad ke 5 Masehi.
Selama beberapa abad orang-orang Tionghoa terus bertambah jumlahnya. Namun
demikian tidak ada catatan yang jelas berapa jumlahnya diseluruh Nusantara. Catatan
tentang angka didapat dari cacah jiwa yang diadakan pada masa pemerintahan

2
Universitas Sumatera Utara

Inggris di Jawa (Tahun. 1811-1816). Dari bukuHistory of Java karya Raffles tercatat
bahwa orang Tionghoa sudah banyak yang menyebar ke pedalaman Jawa. Jumlahnya
pada tahun 1815 di Jawa ada 94.441 orang. Sedang penduduk Jawa secara
keseluruhan waktu itu berjumlah 4.615.270, berarti 2,04% dari jumlah penduduk
secara keseluruhan. Sebagian besar penduduk Tionghoa hidup secara berkelompok di
kota-kota pesisir Jawa. Sampai tahun 2005 orang Tionghoa di Indonesia berjumlah
kurang lebih 6 juta orang berarti berkisar 3% dari seluruh jumlah orang Indonesia
yang waktu itu berjumlah lebih dari 200 juta orang (Handinoto, 2009:84).
Masyarakat Tionghoa di Indonesia juga memiliki ciri bangunan khas yang
berbeda–beda baik arsitektur bangunan kuno maupun arsitektur bangunan modern.
Arsitektur bangunan dapat berupa rumah, kantor, gedung maupun tempat ibadah.
Arsitektur adalah bagian dari kebudayaan yang berkaitan dengan berbagai segi

kehidupan seperti seni, teknik, tata ruang, geografi dan sejarah. Oleh karena itu ada
beberapa pengertian tentang arsitektur baik bila ditinjau dari beberapa sudut pandang.
Cina adalah bangsa yang kaya akan seni dan budayanya salah satu khas dari
kebesaran kebudayaan bangsa Cina yang diakui dunia adalah arsitektur bangunannya.
Arsitektur Cina adalah salah satu sistem arsitektur di dunia yang
mengutamakan bagunan struktur kayu. Struktur ini merupakan manifestasi
mendalam persepsi bangsa Cina tentang etika, estetika, nilai, dan alam. Ciri utama
seni bangunan Cina yang didasarkan pada tradisi budaya yang tebal dan
mendalammenonjolkan ide tentang kekuasaan raja merupakan segalanya dan hierarki
yang ketat.Istana, Kuil atau Kelenteng, Gerbang (Pai Lou), Tembok Raksasa sekitar

3
Universitas Sumatera Utara

3000 kilometer, Kuburan, Pagoda (5–7 tingkat) adalah contoh bangunan arsitektur
utama Bangsa Cina.
Bangunan asli orang Tionghoa merupakan bangunan yang tergolong berbeda
dengan bangunan yang ada pada umumnya. Menurut David G. Khol (dalam
Handinoto, 2009:87) dalam buku Chinese Architecture in The Straits Settlements
and Western Malaya menuliskan beberapa ciri-ciri arsitektur Tionghoa yang ada

terutama di Asia Tenggara. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
a. Courtyard
Courtyard merupakan ruang terbuka pada rumah Tionghoa. Ruang terbuka
ini sifatnya lebih privat. Biasanya digabung dengan kebun atau taman. Rumah-rumah
orang Tionghoa Indonesia yang ada di daerah Pecinan jarang mempunyai courtyard.
Walaupun ada ini lebih berfungsi untuk memasukkan cahaya alami siang hari atau
untuk ventilasi saja. Courtyard pada arsitektur Tionghoa di Indonesia biasanya
diganti dengan teras-teras yang cukup lebar.
b. Penekanan pada bentuk atap yang khas
Semua orang tahu bahwa bentuk atap arsitektur Tionghoa yang paling mudah
ditengarai. Diantara semua bentuk atap, hanya ada beberapa yang paling banyak
dipakai di Indonesia. Diantaranya jenis atap pelana dengan ujung yang melengkung
keatas yang disebut sebagai model Ngang Shan (Gambar c) .

4
Universitas Sumatera Utara

(a)

(b)


(c)

(d)

(e)
Gambar 1.1 : Dari tipe-tipe bangunan Cina di atas Kelenteng Leng Chen di
Jambi menggunakan tipe bagunan Gambar (b). Atap model Hsuan Shan,
jarang di pakai di indonesia.
(sumber:Handinoto, 1990)
c. Elemen-elemen struktural yang terbuka (yang kadang-kadang disertai dengan
ornamen ragam hias)
Keahlian orang Tionghoa terhadap kerajinan ragam hias dan konstruksi kayu,
tidak dapat diragukan lagi. Ukir-ukiran serta konstruksi kayu sebagai bagian dari

5
Universitas Sumatera Utara

struktur bangunan pada arsitektur Tionghoa, dapat dilihat sebagai ciri khas pada
bangunan Tionghoa. Warna pada arsitektur Tionghoa mempunyai makna simbolik.

Warna tertentu pada umumnya diberikan pada elemen yang spesifik pada bangunan.
Meskipun banyak warna-warna yang digunakan pada bangunan, tetapi warna merah
dan kuning keemasan paling banyak dipakai dalam arsitektur Tionghoa di Indonesia.
Merah menyimbolkan warna api dan darah, yang dihubungkan dengan kemakmuran
dan keberuntungan. Merah juga simbol kebajikan,kebenaran dan ketulusan.
Salah satu bangunan berarsitektur Cina yang sangat menarik adalah
kelenteng.Kelenteng tidak sekedar tempat kehidupan keagamaan berlangsung, tetapi
juga merupakan ungkapan lahiriah masyarakat yang mendukungnya. Itulah sebabnya
penelitian mengenai sebuah kelenteng dapat memberikan sumbangan sangat
berharga untuk memahami sejarah sosial masyarakat Tionghoa setempat. Seperti
diketahui bahwa pada masa penjajahan Belanda masyarakat Tionghoa yang
digolongkan sebagai Vreemde Oosterligen (Timur Asing), dikepalai oleh pemimpin
kelompok yang ditunjuk oleh pemerintahan kolonial. Pemimpin ini biasanya diberi
pangkat seperti letnan, kapten ataupun jumlah penduduk Tionghoa cukup banyak
terdapat seorang mayor. Lalu apa hubungan antara para perwira Tionghoa ini dengan
kelenteng? Tugas perwira Tionghoa selain mengawasi masyarakatnya, juga
bertanggung jawab atas pemungutan pajak, mengatur monopoli terhadap barang
tertentu dibidang ekonomi, mengurus kelenteng-kelenteng, serta membiayai upacaraupacara keagamaan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah mengurus pemakaman.

6

Universitas Sumatera Utara

Sulit untuk menggeneralisasi bentuk sebuah kelenteng. Karena kelenteng sendiri
selain bermacam-macam jenisnya, juga besar kecilnya sangat bervariasi. Dewa-dewa
yang ada di setiap kelentengpun berbeda satu sama lain. Meskipun sebagian besar
dewa yang terdapat di kelenteng Asia Tenggara pada umumnya adalah Mak Co atau
Mazu atau Thiansan Seng Bo. Tetapi secara fisik bangunan kelenteng pada
umumnya terdiri dari empat bagian, yaitu: Halaman Depan, Ruang Suci Utama,
Bangunan Samping, dan Bangunan Tambahan. Yang pertama adalah Halaman
Depan yang cukup luas. Halaman ini digunakan untuk upacara keagamaan
berlangsung. Tatacara peribadahan di kelenteng memang tidak dilakukan bersamasama pada waktu tertentu, seperti di gereja atau mesjid. Cara peribadahan di
kelenteng dilakukan secara pribadi, sehingga di dalam kelenteng tidak terdapat ruang
yang luas untuk menampung umat.
Halaman depan ini berfungsi untuk upacara dan pertunjukan seperti perayaan
keagamaan Cap Gomeh atau sembahyang rebutan (pesta Tionghoa pada pertengahan
bulan ke-7, biasa disebut juga ‘rebutan’ atau cioko), dan tidak jarang halaman depan
ini juga dipakai untuk tempat bermain barongsai. Di halaman depan ini biasanya juga
terletak tempat pembakaran kertas (jin-lu), pagoda atau tidak jarang juga sepasang
singa batu. Kedua, adalah Ruang Suci Utama,merupakan bagian utama dari sebuah
kelenteng. Bangunan kelenteng biasanya mempunyai ragam hias yang indah dan

detail sekali. Atapnya berbentuk perisai dengan atap melengkung ditengah serta
ujungnya melengkung keatas. Di atas atap tersebut biasanya terdapat sepasang naga
yang memperebutkan ‘mutiara surgawi’. Ukuran besar dan kecilnya ruang suci

7
Universitas Sumatera Utara

utama ini berbeda pada setiap kelenteng, tetapi pada umumnya berbentuk segi empat.
Di kelenteng Leng Chun Keng Jambi terdapat empat dewa dan satu dewi yaitu,
Dewa Tua Pe Kong, Hien Thien Siong Tee, Che Liong Kong, Kong Tek Cun Ong,
danDewi Kwan Im Pho Sat. Di depan meja altar terdapat beberapa batang hio (dupa)
yang selalu mengepulkan asap. Di meja altar depan sering terdapat sesajen-sesajen
tertentu berupa bauh-buahan. Seperti, pisang, jeruk, pir, nanas, apel, jeruk dan jeruk
bali. Ketiga, adalah ruang-ruang tambahan,ruang ini sering dibangun kemudian
setelah ‘ruang suci utama berdiri’. Bahkan tidak jarang dibangun setelah kelenteng
berdiri selama bertahun-tahun. Hal Ini disebabkan karena adanya kebutuhan yang
terus meningkat dari kelenteng yang bersangkutan.Keempat adalah bangunan
samping.Bangunan ini biasanya dipakai untuk menyimpan peralatan yang sering
digunakan pada upacara atau perayaankeagamaan. Misalnya untuk menyimpan Kio
(joli), yang berupa tandu, yang digunakan untuk memuat arca dewa yang diarak pada

perayaan keagamaan tertentu.
Bangunan kelenteng bisa ditemui di berbagai negara, khususnya negara yang
masyarakatnya yang menganut ajaran agama Konghuchu, bangunan kelenteng setiap
negara juga berbeda–beda dan mengalami perkembangan. Perkembangan arsitektur
bangunan kelenteng di setiap negara tergantung dari perkembangan sejarah dan
budaya bangsa tersebut.
Salah satu bangunan kelenteng yang menarik adalah kelenteng Leng Chun
Keng yang berada di kota Jambi. Bangunan kelenteng di Indonesia kebanyakan
meniru arsitektur bangunan kelenteng Cina. Kelenteng Leng Chun Keng terbilang

8
Universitas Sumatera Utara

Kelenteng yang megah di kota Jambi. Pembangunan kelenteng Leng Chun Keng 90 %
material pembangunan kelenteng yang didatangkan dari Tiongkok. Kelenteng yang
dibangun atas donasi dari umat Konghucu. Kelenteng Leng Chun Keng merupakan
sebuah tempat ibadah penganut umat Konghucu yang

bentuk bangunan dan


ornamennya terlihat cantik dan anggun.
Kelenteng Leng Chun Keng kelenteng yang baru dirampungkan dan
diresmikan pada tanggal (22/11/2015) lalu. Pada awalnya kelenteng ini telah berdiri
sebelumnya, karena kelenteng lama yang di bangun semi permanen pada tahun 1986
itu sudah tidak layak dipakai lagi sebagai tempat sembahyang umat Khonghucu
pasalnya atap sudah bocor. Maka dari itu umat Khonghucu berinisiatif membangun
kelenteng Leng Chun Keng yang baru. Pengurus kelenteng Leng Chun Keng sengaja
mendatangkan arsitektur, ornamen, seniman ukir dan lain lainya dari negeri tirai
bambu. Supaya benar–benar dapat nuansa Tiongkoknya dan umat yang sembahyang
bisa khusuk.
Untuk menentukan letak Kelenteng Leng Chun Keng yang akan dibangun,
para masyarakat Tionghoa menggunakan fengshui sebagai alat untuk menentukan
tata letak yang tepat. Karena

fengshui mempunyai arti yan cukup besar bagi

masyarakat Tionghoa. Fengshui dapat menjamin hidup manusia dalam keharmonisan
dan membantu memperbaiki hidup dengan menerima Qi positif. Maka tidak heran
fengshui yang tepat di percaya dapat memberikan nasib baik dan pembawa rezeki
itulah penyebabnya kenapa dalam setiap pembangunan rumah atau gedung baru

orang Tionghoa selalu menggunakan fengshui .

9
Universitas Sumatera Utara

Fengshui adalah pengetahuan arsitektural yang berasal dari budaya Tiongkok dan
telah dikembangkan sejak 4.700 tahun lalu. Fengshui ditulis pada periode kekaisaran
Huang Di (Kaisar Kuning, abad ke 27 SM ), (Depari, 2012 :1).
Bangunan kelenteng Leng Chun Keng berbeda dengan bangunan kelenteng
lainnya, Karena rancangan yang ada di kelenteng ini dibangun dengan rancangan
khusus agar menghadirkan nuansa etnis Tionghoa. Terlihat pada tiang penyangga
yang dihiasi ornamen naga melingkar yang dipahat.

Gambar 1.2 : Tiang Penyangga yang di hiasi
naga melingkar yang di pahat
(Dokumentasi : Siti Asiyah Lubis, 2017)
Bagian dinding yang dihiasi dengan berbagai lukisan khas gambar dewa hingga shio
tahun dengan latar belakang awan putih.

Gambar 1.3: Lukisan khas gambar dewa hingga
shio tahun dengan latar belakang awan putih
(Sumber : www.google.com )

10
Universitas Sumatera Utara

Bangunan tembok pagar di dominasi warna merah bata, dengan gambar naga, di
bagian atas tampak berjejer lampion merah yang membuat bangunan ini kian
semarak.

Gambar1.4: Tembok pagar yang di dominasi
warna merah bata
(dokumentasi: Siti Asiyah Lubis, 2017)
Di bagian depan pintu masuk ruangan sembahyang tampak terpasang meja altar,
disertai perlengkapan ibadah. Di sisi kiri dan kananya tampak berjejer lilin-lilin
besar warna merah disertai gambar naga.Di depan pintu masuk terdapat ukiran dua
dewa penjaga pintu yang ditutupi kaca, yaitu Dewa Cin Siok Poo dan Oei Tie
Kiongsaat masuk keruang ibadah disajikan ruangan yang penuh ukiran didominasi
warna merah. Tepat di atas altar yang paling tinggi tampak patung dewa perang Che
Liong Kong, dengan warna keemasan yang memancarkan wibawa.

11
Universitas Sumatera Utara

Gambar 1.5: Lima dewa yang terdapat dalam kelenteng
Leng Chun Keng
(Dokumentasi: Siti Asiyah Lubis, 2017)
Disisi kanan terdapat patung dewa Hien Thien Siong Teedan Dewa bumi (Tua Pe
Kong).Disisi kanan ada dua patung dewa yakni dewa Kong Tek Cun Ongserta dewi
Kwan Im Pho Sat.Di bagian dinding hingga langit-langit terdapat gambar naga serta
lukisan khas para dewa.

Gambar 1.6: Klenteng Leng Chun Keng
(sumber: www.google.com)
Kelenteng ini mampu memfasilitasi 3000 umat untuk melaksanakan ibadah di
hari

imlek.

Untuk

merampungkan

Kelenteng

Leng

Chun

Keng

proses

pembangunannya memang terbilang cukup lama, sekitar 3 tahun. Karena sempat
terkendala ketika ornamennya mau diimpor. Kelenteng ini tidak hanya menjadi

12
Universitas Sumatera Utara

wadah bagi umat Khonghucu untuk mendekatkan diri pada pada sang penciptanya.
Bahkan tidak hanya untuk kegiatan ibadah, Kelenteng ini juga dibuka untuk umum
sebagai wisata religi.
Berdasarkan uraian di atas keunikan bangunan Kelenteng Leng Chun keng,
peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam dan peneliti berniat untuk melakukan
suatu penelitian yang memfokuskan pada makna yang terkadung padabangunan
kelenteng Leng Chun Keng yang terletak di lorong koni I, RT 03. No 04 Kelurahan
Talangjauh, Kec. Jelutung Kota Jambi.

1.2 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini peneliti akan membatasi masalah yang akan di teliti agar
tidak meluas kepada hal–hal yang tidak di rencanakan dan tetap fokus pada
penelitiannya. Peneliti hanya akan meneliti makna yang terdapat pada bangunan
Kelenteng Leng Chun Keng di kota Jambi, yaitu maknaornamen, naga, burung
merak, singa, warna, lampion, lilin, lukisan, altar, pagoda, atap, pintu dan pilar (tiang
penyangga).

13
Universitas Sumatera Utara

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan dan diuraikan di atas,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Bagaimana bentuk setiap bagian pada bangunan kelenteng Leng Chun
Keng dalam budayamasyarakat Tionghoa Khonghucu di Jambi?

2. Apakah makna-makna semiotik yang terdapat pada bangunan Kelenteng
Leng Chun Keng?

1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk setiap bagian pada bangunan kelenteng
Leng Chun Keng bagi masyarakat TionghoaKhonghucu di Jambi
2. Untuk mengetahui makna–makna semiotik yang terdapat pada bangunan
kelenteng Leng Chun Keng

1.5 Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat dari penelitian ini dapat di bagi menjadi dua yaitu:
1.5.1

Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini berguna untuk menambah pengetahuan peneliti
mengenai bentuk dan makna bangunan yang bergaya Tiongkok, dan penelitian ini
juga dapat memberi informasikan lebih terperinci kepada masyarakat mengenai
makna yang terdapat pada bangunan kelenteng Leng Chun Keng di Kota Jambi.

14
Universitas Sumatera Utara

1.5.2

Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

mahasiswa khusunya mahasiswa sastra cina yang ingin mengkaji lebih lanjut
mengenai bangunan kelenteng maupun bangunan–bangunan ibadah umat lainya yang
bergaya Tiongkok. Dan dapat memberikan informasi kepada khalayak umum dan
masyarakat Tionghoa tentang makna dan fungsi pada bangunan kelenteng Leng
Chun Keng di Kota Jambi.

15
Universitas Sumatera Utara