ANALISIS SEMIOTIK BUDAYA TERHADAP BANGUNAN MASJID JAMI’ TAN KOK LIONG DI BOGOR

MASJID JAMI’ TAN KOK LIONG DI BOGOR

SKRIPSI SARJANA

OLEH

Nama: ELYSA AFRILLIANI

NIM : 110710025

PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015

ANALISIS SEMIOTIK BUDAYA TERHADAP BANGUNAN MASJID JAMI’ TAN KOK LIONG DI BOGOR

PROPOSAL SKRIPSI SARJANA

Nama: ELYSA AFRILLIANI

NIM : 110710025

Disetujui oleh Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. T. Kasa Rullah, S.S., MTCSOL . NIP 196512211991031001

PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015

This bachelor thesis entitled “Cultural Semiotic Analysis to the Jami’ Tan Kok Liong Mosque Building in Bogor.” The purpose of this study was to

reveal two problems: (1) What are cultural meanings expressed on every element of the building at the Jami 'Tan Kok Liong Mosque? and (2) What are the cultural values contained in each building element Jami 'Tan Kok Liong Mosque. To study

the first problems the author uses semiotic theory of culture that is rooted in semiotic Pierce, and second problem with the theory of cultural value. The methods used are descriptive and qualitative, based on field research. The technique used as follows: observation, interviews, visual and audiovisual recordings. The working process do in field and laboratory work. Results obtained: (1) on the side of cultural meanings in this study it was found that any of the elements contained in the building Jami 'Tan Kok Liong Mosque have meanings as follows: (i) the mosque pagoda (klenteng) shaped and serves as a place of worship, (ii) literate of Allah implies 99 attributes of God which refers to the Qur'an; (iii) the meaning of the dome as the identity of the acculturative Islamic buildings; (iv) a meaningful symbol star moon state of Islam; (v) the roof is a symbol of the existence of the kingdoms of China, (vi) the eagle emblem of the sharpness of seeing, thinking, and acting; (vii) the head of dragon is a symbol of strength and helper; (viii) doves symbol of the state of the Muslim in the world today are like clustered but did not do; (ix) the second floor of a meaningful prayer luck; (x) the yellow symbol of power, the red color of the symbol of good luck, green symbol of health and harmony; (xi) the door zhong-shaped emblem of Chinese culture as the center of world civilization; (xii) shaped window ba gua is the epitome of cosmology (the sky, wind, water, mountains, earth, thunder, fire, and soil) can deflect negative desires and evil spirits; (xiii) the meaning of the pole building is a symbol of an antidote to the threat of evil; (xiv) the meaning of the lantern is symbolizing prosperity, unity, and sustenance; (xv) writing the name of the mosque Roman letters stylized kanji meaning referring to the founder of the mosque; dam (xvi) the meanings of the Quran used means of prayer a good life in this world and hereafter. (2) Cultural values contained in the building Jami 'Tan Kok Liong Mosque are: (i) the spiritual value, (ii) the value of the cosmological, (iii) social values, (iv) the value of cultural identity, and (v) universal human values. Cultural values that made way of life Anton Medan and the congregation was motivated by the Chinese culture, the archipelago, and the world in general in the frame of the teachings of Islam that syumul (universal).

Key words: cultural semiotic, mosque, cultural meanings, cultural values.

Skripsi sarjana ini bertajuk “Analisis Semiotik Budaya terhadap bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong di Kota Bogor.” Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengungkapkan dua masalah: (1) Apa saja makna-makna budaya yang diekspresikan pada setiap unsur bangunan pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong? dan (2) Apa saja nilai-nilai budaya yang terdapat pada setiap unsur bangunan Masjid

Jami’ Tan Kok Liong. Untuk mengkaji permasalahan pertama penulis menggunakan teori semiotik budaya yang berakar pada semiotik Pierce, permasalahan kedua dengan teori nilai budaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan metode kualitatif, berbasis pada penelitian lapangan. Teknik yang digunakan adalah berupa: pengamatan, wawancara, perekaman visual dan audiovisual. Proses kerja adalah kerja lapangan dan laboratorium. Hasil yang diperoleh: (1) dari sisi makna-makna budaya maka dalam penelitian ini ditemukan bahwa setiap unsur yang terdapat dalam bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong ini memiliki makna-makna sebagai berikut: (i) masjid yang berbentuk klenteng bermakna sebagai tempat ibadah, (ii) asma Allah mengandung makna 99 sifat-sifat Allah yang mengacu pada Al-Qur’an; (iii) makna kubah sebagai identitas bangunan Islam yang akulturatif; (iv) bulan bintang bermakna simbol daulah Islam; (v) atap adalah simbol eksistensi kerajaan-kerajaan Tiongkok, (vi) burung rajawali lambang dari ketajaman melihat, berpikir, dan bertindak; (vii) kepala naga simbol dari kekuatan dan penolong; (viii) burung perkutut simbol dari keadaan umat Islam dunia masa kini yang suka bergerombol tetapi tidak berbuat; (ix) lantai dua tempat salat bermakna keberuntungan; (x) warna kuning simbol kekuasaan, warna merah simbol dari keberuntungan, warna hijau symbol kesehatan dan harmoni; (xi) pintu berbentuk huruf zhong lambang kebudayaan Tiongkok sebagai pusat peradaban dunia; (xii) jendela berbentuk ba gua adalah lambang kosmologi (langit, angin, air, gunung, bumi, guntur, api, dan tanah) dapat menangkis hawa negatif dan roh jahat; (xiii) makna tiang bangunan adalah simbol penangkal ancaman jahat; (xiv) makna lampion adalah melambangkan kemakmuran, kesatuan, dan rezeki; (xv) tulisan nama masjid huruf Romawi bergaya kanji maknanya merujuk kepada pendiri masjid; dam (xvi) makna ayat Al-Quran yang digunakan sarana doa mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. (2) Nilai budaya yang terkandung di dalam bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong adalah: (i) nilai spiritual, (ii) nilai kosmologis, (iii) nilai sosial, (iv) nilai identitas budaya, dan (v) nilai kemanusiaan universal. Nilai budaya yang dijadikan pandangan hidup Anton Medan dan jamaahnya ini dilatarbelakangi oleh kebudayaan Tiongkok, Nusantara, dan dunia secara umum dalam bingkai ajaran- ajaran agama Islam yang syumul (universal).

Kata kunci: semiotik budaya, masjid, makna budaya, nilai budaya

Instrumen Pertanyaan Penelitian Masa Wawancara ......................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman suku bangsa terbesar di dunia. Terdapat setidaknya 1.340 kelompok etnik dalam wilayah negara ini (Badan Pusat Statistik Tahun 2010). Keanekaragaman bangsa

Indonesia dilatarbelakangi oleh jumlah suku-suku bangsa 1 di Indonesia yang sangat banyak, di mana setiap suku bangsa tersebut mempunyai ciri atau karakter

tersendiri, baik dalam aspek sosial maupun budaya. Hal ini dapat diartikan jika suku bangsa tersebut memiliki tradisi sosial budaya masing-masing, berarti di Indonesia terdapat berbagai macam budaya dengan ciri khas tersendiri.

Namun demikian, dalam konteks berbangsa dan bernegara, terdapat kategori etnisitas tersendiri, yang awalnya dibagi ke dalam kategori pribumi dan nonpribumi. Namun belakangan kategori ini diperdebatkan, karena bersuasana etnosentris. Namun dalam realitasnya bangsa Indonesia yang heterogen tersebut terdiri dari etnik-etnik natif (suku bangsa setempat); etnik-etnik pendatang Nusantara, dan etnik-etnik pendatang dunia. Dalam realitas etnik di Sumatera Utara misalnya, kategori pertama yaitu etnik natif terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias.

1 Etnik atau kelompok etnik dalam bahasa Indonesia selalu disebut suku atau suku bangsa, menurut Naroll adalah sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak

dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi (Narrol, 1965:32).

Ditambah dengan etnik Lubu dan Siladang. Kemudian kategori kedua, yakni etnik pendatang Nusantara yaitu: Simeulue, Aceh Rayeuk, Tamiang, Alas, Gayo, Aneuk Jamee, Minangkabau, Banjar, Sunda, Jawa, Bugis, Makasar, dan lain-lainnya. Kategori ketiga yaitu etnik-etnik pendatang dunia, seperti: Tamil, Benggali, Hindustani, Hokkian, Khek, Hakka, Kwong Fu, Fukkien, Arab, Pasthun, dan lain- lainnya. Di antara etnik-etnik ini ada juga yang mengkategorikan kelompok- kelompoknya sebagai masyarakat, misalnya etnik Tamil, Benggali, Hindustani selalu disebut dengan masyarakat Indonesia di Sumatera Utara keturunan India. Seterusnya etnik-etnik Hokkian, Khek, Hakka, Kwong Fu, Fukkien dan lainnya selalu menyebutkan dirinya sebagai masyarakat Indonesia di Sumatera Utara keturuan Cina.

Salah satu masyarakat 2 yang ada di Indonesia adalah masyarakat Tionghoa. Secara historis, orang Tionghoa sudah mengenal Nusantara sejak abad ke-5

Masehi. Selama beberapa abad orang-orang Tiongkok terus bertambah jumlahnya. Namun demikian, tidak ada catatan yang jelas berapa jumlahnya di seluruh Nusantara. Catatan tentang angka didapat dari cacah jiwa yang diadakan pada masa pemerintahan Inggris di Jawa (tahun 1811-1816). Dari buku History of Java karya Raffles tercatat bahwa orang Tionghoa sudah banyak yang menyebar ke pedalaman Jawa. Jumlahnya pada tahun 1815 di Jawa ada 94.441 orang, sedang

2 Pengertian masyarakat dalam konteks penelitian ini adalah mengacu kepada pendapat yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah: ... the largest gruping in which common

customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative ." Unsur gruping dalam definisi itu menyerupai unsur "kesatuan hidup" dalam definisi kita, unsur common customs, traditions, adalah unsur "adat-istiadat", dan unsur "kontinuitas" dalam definisi kita, serta unsur common

attitudes and feelings of unity adalah sama dengan unsur "identitas bersama.” Suatu tambahan dalam definisi Gillin adalah unsur the largest, yang "terbesar," yang memang tidak kita muat dalam definisi ini. Walaupun demikian konsep itu dapat diterapkan pada konsep masyarakat sesuatu bangsa atau negara, seperti misalnya konsep masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat Belanda, masyarakat Amerika (Lihat lebih lanjut J.L. dan J.P. Gilin, 1942).

Orang-orang Tionghoa yang datang dan menetap di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Dari dulu hingga sekarang, orang-orang Tionghoa sudah memiliki andil dalam perkembangan bangsa Indonesia, baik dari segi budaya, seni, maupun agama, dan lain-lain. Dalam kebudayaan Indonesia khususnya, unsur- unsur kebudayaan Tiongkok mempunyai pengaruh yang tergolong kuat (Handinoto, 2009). Dari segi agama, orang-orang Tionghoa di Indonesia mayoritas menganut agama Buddha. Namun demikian sebahagian orang Tionghoa ini ada juga yang menganut agama Kristen Protestan, Katholik, Konghucu, Islam, dan lainnya.

Setiap kelompok agama orang Tionghoa di Indonesia ini memiliki artefak berupa tempat ibadah, yaitu mereka yang beragama Buddha memiliki rumah ibadah yang disebut vihara, yang beragama Konghucu memiliki klenteng, yang beragama Kristen memiliki gereja, dan umat Islam memiliki masjid. Bentuk rumah-rumah ibadah ini mengekspresikan peradaban masyarakat Tionghoa. Umumnya vihara dan klenteng mengacu kepada bentuk-bentuk arsitektur tradisi dari Negeri Cina, sementara bentuk gereja menerapkan arsitektur Eropa, yang juga memiliki kekhususanya. Untuk agama Protestan, umumnya menerapkan arsitektur Eropa Barat secara umum, sedangkan untuk agama Katolik biasanya menerapkan

fenomena Masjid 3 Tan Kok Liong di Kota Bogor yang dibangun oleh Anton Medan. Masjid ini tidak sebagaimana lazimnya masjid-masjid di Indonesia

dengan bentuk seperti terurai di atas. Masjid ini menerapkan arsitektur gaya klenteng, dan memberikan ciri khusus sebagai ekspresi arsitektur kebudayaan Tiongkok. Untuk itulah dilakukan penelitian ini.

Menurut penjelasan para informan, masjid adalah bangunan yang menjadi tempat umat Islam beribadah, khususnya shalat, terutama yang dilakukan secara bersama-sama (berjamaah). Masjid adalag tempat ibadah, dan juga sebagai pusat peradaban Islam, seperti musyawarah, iktikaf (berzikir), tausiyah (ceramah agama), sampai juga tempat belajar agama, strategi perang di jalan Allah, dan lain-lainnya. Selain masjid, tempat umat Islam bersembahyang lainnya adalah musala (surau atau langgar). Perbedaan antara masjid dengan suaru terutama adalah dari segi jumlah jemaah yang dapat ditampung serta kepengurusannya. Masjid dapat memuat jemaah yang relatif besar sekitar 40 atau lebih, dan biasanya memikiki badan kepengurusan yang disbut dengan nazir, serta masjid digunakan setiap hari Jumat untk melaksanakan shalat Jumat. Di sisi lain, surau adalah

3 Di dalam skripsi ini, digunakan penulisan masjid seperti terurai di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang ditulis oleh tim penulis dan penerbit Balai Pustaka, Jakarta. Di

dalam kamus ini penulisan bisa dengan masjid dan bisa juga dengan mesjid. Kedua penulisan tersebut benar dan tidak salah. Kata ini adalah unsur serapan dan sekaligus transliterasi dari kata

masjid ( ) dalam bahasa Arab.

Dalam konteks peradaban Islam, masjid merupakan bangunan yang bukan sekedar tempat bersujud, persucian, tempat salat, dan bertayamum, namun masjid juga merupakan tempat melaksanakan segala aktivitas kaum muslim yang bersangkut paut dengan ketaatan terhadap Tuhan (Shihab, 1997). Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tersebar banyak masjid mulai dari pedesaan hingga kota-kota besar. Tuntutan kebutuhan pada masa sekarang ini menyebabkan semakin banyak terlihat bangunan masjid dengan segala kelengkapannya, dengan bentuk, gaya, corak, dan penampilannya berdasarkan kurun waktu, daerah, lingkungan kehidupan, adat istiadat dan kebiasaan, serta latar belakang dari yang membangun (Rochym, 1983).

Selain masjid tersebut, di lokasi ini juga dijumpai Pondok Pesantren Ataibin dan kantor pusat PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia). Orang- orang Tionghoa Indonesia yang menganut agama Islam memiliki persatuan komunitas yang dinamakan PITI, yaitu sebuah organisasi Tionghoa Muslim di Indonesia yang didirikan di Jakarta pada tanggal 14 April 1961. Program PITI

Tan Kok Liong adalah mantan penjahat terkenal, yang kini telah insyaf dan memeluk agama Islam sejak 1992. Anton Medan lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, pada 10 Oktober 1957 dengan nama Tan Kok Liong. Latar belakang kehidupannya sebagai seorang kriminal membuat Anton Medan ditolak tiga kali saat hendak menjadi mualaf (istilah orang yang baru masuk menjadi muslim). Setelah menjadi mualaf, Anton Medan mengganti namanya menjadi Muhammad Ramdhan Effendi. Kemudian keberadaan beliau dan Masjid Tan Kok Liong yang dibangunnya tersebut, yang terintegrasi dengan Kompleks Pondok Pesantren Attaibin, Pondok Rajeg, Cibinong, Bogor sangat berkait dengan kajian di dalam skripsi ini. Seterusnya, biografi beliau diurai di Bab IV skripsi sarjana ini.

Secara kultural bangunan-bangunan bergaya Tiongkok ini, baik di Daratan Tiongkok dan diasporanya di seluruh dunia, termasuk Indonesia, adalah berdasarkan kepada konsep kosmologi Tiongkok yang disebut feng sui (geomansi), dan Taoisme untuk mengatur konstruksi dan tata letak dari tempat tinggal umum untuk struktur kekaisaran dan religi. Penggunaan warna-warna khusus, angka, dan arah mata angin, dalam arsitektur tradisional Tiongkok mencerminkan kepercayaan dalam ciri khususnya, yang mencerminkan sifat dari suatu hal dapat

Material untuk bahan bangunan utama pada arsitektur tradisional Tiongkok berupa kayu, batu bata, dan batu alam. Bangunan pagoda tertua yang pernah ada dengan bahan kayu yang masih bertahan hingga kini berada di Ying County Shanxy. Di sisi lain, penggunaan batu alam dan batu bata sebagai bahan bangunan adat Tiongkok, dapat dilihat pada beberapa bangunan purba dari Tembok Besar Cina, sedangkan batu bata dan dinding besar yang ada sekarang adalah renovasi dan Dinasti Ming (1368-1644).

Kemudian fondasi yang digunakan dalam bangunan tradisional Cina umumnya adalah menggunakan umpak. Bangunan-bangunan ini penuh dengan hiasan-hiasan dekoratif yang memiliki makna-makna kebudayaan. Sambungan strukturalnya menggunakan lubang dan pen, dengan sambungan lurus berkait, sambungan ekor burung, dipasak tidak dengan paku.

15

Gambar 1.1: Tipe-tipe Bangunan Cina, Masjid Jami’ Tan Kok Liong di Bogor Mengikuti Tipe Bangunan Nomor Sembilan (Sumber: http://kontemporer2013.blogspot.com)

Dengan demikian, bangunan bersifat lentur, yang berfungsi menahan guncangan terutama pada saat gempa bumi. 4 Bagian atap bangunan Tiongkok ini

biasanya menggunakan sudut kemiringan yang cukup tinggi, yang dalam ilmu arsitektur disebut dengan model gabled, dengan atap tunggal atau atap bertumpuk. Bangunan-bangunan yang didiami orang kaya atau untuk kepentingan religius biasanya menggunakan atap dengan lengkungan yang besar. Puncak atapnya

4 Gempa bumi adalah guncangan dan gerakan bumi yang terjadi secara alamiah, yang ditimbulkan oleh tenaga dari dalam bumi, dalam proses menuju keadaan bumi yang stabil. Pada

prinsipnya dikenal dua jenis gempa bumi ini. Yang pertama adalah gempa tektonik yaitu gempa yang disebabkan oleh pergeseran tanah. Kemudian yang kedua adalah gempa vulkanik, yaitu gempa yang disebabkan oleh gunung berapi. Para pembuat bangunan, biasanya mempertimbangkan aspek gempa ini di dalam membuat bangunan. Selain itu juga memperhatikan keselamatan bangunan terhadap kondisi alam seperti pemasangan anti petir, anti salju, tahan cuaca panas atau dingin, dan lain-lainnya, yang menjadi bagian dari kearifan lokal dalam arsitektur.

Konsep-konsep dan terapan gaya bangunan atau arsitektural Tiongkok tersebut juga terdapat dalam bangunan-bangunan masjid, baik di negeri Tiongkok maupun di seluruh diasporanya di dunia, termasuk di Indonesia. Dalam konteks perkembanagn Islam di seluruh dunia dan arsitektur masjid di kalangan masyarakat Tionghoa Islam, salah satu bangunan masjid yang terkenal, yang menjadi indeksnya adalah Masjid Niujie, di Republik Rakyat Cina. Masjid ini adalah masjid bersejarah, yang terletak di Beijing. Masjid ini telah mengalami renovasi dan perluasan beberapa kali, merupakan pusat komunitas muslim Beijing yang jumlahnya pada masa sekarang mencapai lebih dari 200.000 jiwa. Arsitekturnya memperlihatkan akulturasi antara budaya Tiongkok dan peradaban Islam. Area masjid ini juga adalah titik awal masuknya Islam di Daratan Tiongkok. Masjid ini juga menjadi inspirasi gaya arsitektur berbagai bangunan masjid masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Selanjutnya, salah satu masjid yang terkenal di Indonesia adalah Masjid Mahmud Cheng Ho di Surabaya. Kemudian disusul pula oleh bangunan dengan gaya sejenis dan namanya juga Masjid Mahmud Cheng Ho di kota-kota: Palembang (Sumatera Selatan), Pasuruan (Jawa Timur), Selaganggang (Purbalingga), dan Batam (Kepulauan Riau). Bentuk bangunan masjid ini bertipe sama dengan Masjid Niujie di Republik Rakyat Cina.

Gambar 1.2: Masjid Niujie di Republik Rakyat Cina (sumber: http://www.wivrid.com)

Gambar 1.3: Masjid Mahmud Cheng Ho di Surabaya (Sumber: www.google.com)

Selain itu, di Nusantara ini, dibangun pula masjid-masjid bertipe budaya arsitektural Cina. Salah satu di antaranya adalah Masjid Jami’ Tan Kok Liong di Kota Bogor yang dibangun oleh Anton Medan. Masjid ini memiliki arsitektur

Masjid Jami’ Tan Kok Liong mulai dibangun pada tahun 2005. Tidak seperti bangunan masjid yang ada di Indonesia pada umumnya, masjid ini berbentuk mirip seperti klenteng karena masjid ini mengadopsi desain istana- istana raja-raja di Tiongkok zaman dahulu. Masjid ini terdiri dari 3 lantai. Lantai dasar digunakan sebagai kantor, lantai 1 digunakan sebagai ruang salat. Lantai 2 dan lantai 3 dibiarkan kosong karena di negara Tiongkok, beberapa lantai atas di istana sengaja dikosongkan.

Dinding masjid ini berwarna merah muda, sedangkan pilarnya didominasi merah marun, ada juga dua pilar yang berwarna emas. Sementara atapnya berwarna hijau. Ornamen naga khas arsitektur Tiongkok, menghiasi semua sudut atapnya. Tiga penanda menunjukkan bahwa bangunan itu merupakan sebuah masjid adalah terdapatnya lafadz Allah pada pucuk atapnya, lalu papan namanya bertuliskan “Masjid Jami’ Tan Kok Liong” dan terakhir, kubah di bagian atap kanopi.

19

Gambar 1.4: Bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong Dilihat dari Sudut Eksternal (Dokumentasi: Elysa Afrilliani, 2015)

Gambar 1.5: Kubah Masjid Jami’ Tan Kok Liong di Sisi Depan Lantai I

(Dokumentasi: Elysa Afrilliani, 2015)

Atap bangunan terdiri atas tiga undakan. Setiap jengkal atapnya berornamen Tiongkok, seperti lampion merah. Ujung gentingnya bulat berdiameter 7,5 cm bertuliskan dalam aksara Tiongkok berlafal hwang (raja) dan lafal “Allah.” Ornamen bertulisan “raja” diletakkan di bawah tulisan “Allah.”

Gambar 1.6: Artefak Berupa Gambar Naga, Burung Perkutut, Bulan Bintang, Allah, dan Wang (Raja) (Sumber: www.google.com)

Gambar 1.7: Lafaz Allah Berada pada Puncak Bangunan beserta Dua Burung Rajawali pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong (Sumber: www.google.com)

Di bahagian dalam masjid terdapat lafaz Allah dan Muhammad, serta beberapa ayat yang diambil dari Kitab Suci Al-Qur’an, yang diukir di dinding masjid. Terdapat pula beberapa penyangga berwarna merah khas budaya Tiongkok yang berada di tengah-tengah ruangannya.

Gambar 1.8: Bagian dalam Masjid Jami’ Tan Kok Liong Terdapat Tiang Penyangga yang Berfungsi untuk Kekuatan Bangunan

(Dokumentasi: Elysa Afrilliani, 2015)

22

Gambar 1.9: Ayat-ayat Qur’an. Lafaz Allah dan Muhammad terdapat di Dinding Masjid Jami’ Tan Kok Liong (Dokumentasi: Elysa Afrilliani, 2015)

Dengan latar belakang seperti terurai di atas, maka fenomena bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong ini akan penulis kaji aspek budaya. Bangunan ini tentu saja mencerminkan kebudayaan Tiongkok, terutama di Indonesia. Apa makna-makna dan nilai-nilai kebudayaan di balik bangunan religius umat Islam ini. Ilmu yang penulis gunakan dalam konteks ini adalah antropologi budaya.

Pada prinsipnya, antropologi ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia dan budaya yang dihasilkan oleh manusia tersebut. Antropologi budaya membantu kita memahami berbagai adat dan tingkah laku yang dianut oleh

Antropologi budaya adalah cabang antropologi yang mempelajari variasi budaya manusia. Antropologi budaya mempelajari fakta tentang pengaruh politik, ekonomi, dan faktor-faktor lain, dari budaya lokal yang terdapat di suatu daerah tertentu. Para ilmuwan yang bekerja di bidang ini, dikenal sebagai antropolog budaya. Fakta dan data budaya biasanya diperoleh melalui berbagai metode seperti survei, wawancara, observasi, perekaman data, pengamatan terlibat (partisipant observer), pendekatan emik dan etik, dan lainnya.

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, penelitian di bidang antropologi budaya dimulai pada abad ke-19. Antropologi budaya mulai berkembang dengan bantuan upaya yang dilakukan oleh ilmuwan antropologi Edward Tylor, J.G Frazen, dan Edward Tylor. Mereka menggunakan bahan-bahan etnografis yang dikumpulkan oleh para pedagang, penjelajah, dan misionaris untuk tujuan referensi. Dengan demikian, antropologi budaya adalah cabang ilmu antropologi yang khusus mempelajari berbagai variasi budaya manusia. Dalam kaitannya dengan penulis skripsi sarjana ini, ilmu antropologi budaya digunakan untuk mengkaji struktur,

Selain itu, sebagai mahasiswa Sastra Cina. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, penulis juga melakukan kajian terhadap aspek bahasa, yang mencakup peristilahan yang digunakan dalam setiap unsur bangunan mesjid ini, uraian verbal para informan, sampai juga interaksi berbahasa di kalangan jemaah mesjid ini. Oleh karena itu perlu dijelaskan pengertian bahasa dan ilmu bahasa.

Ilmu bahasa dinamakan linguistik. Kata linguistik berasal dari kata Latin lingua . Linguistik modern berasal dari sarjana Swiss Ferdinand de Saussure. De Saussure membedakan langue dan langage. Ia membedakan juga parole dari kedua istilah tersebut. Bagi de Saussure, langue adalah salah satu bahasa (misalnya bahasa Prancis, bahasa Inggris, atau bahasa Indonesia) sebagai suatu sistem. Sebaliknya, langage berarti bahasa sebagai sifat khas makhluk manusia, seperti dalam ucapan, "Manusia memiliki bahasa, binatang tidak memiliki bahasa." Parole (tuturan) adalah bahasa sebagaimana dipakai secara konkret. Ilmu linguistik sering disebut linguistik umum, artinya linguistik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja, tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada umumnya. Dengan memakai istilah de Saussure, dapat dirumuskan bahwa linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi juga langage, yaitu bahasa pada umumnya. Objek kajian linguistik adalah bahasa. Yang dimaksud bahasa di sini adalah bahasa dalam arti sebenarnya, yaitu bahasa yang digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi, bukan bahasa dalam arti kias.

Sebagai objek kajian linguistik, parole merupakan objek konkret karena parole itu berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat bahasa. Langue merupakan objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem suatu bahasa tertentu secara keseluruhan, sedangkan langage merupakan objek yang paling abstrak karena dia berwujud sistem bahasa secara universal. Yang dikaji linguistik secara langsung adalah parole itu, karena parole itulah yang berwujud konkret, nyata, yang dapat diamati atau diobservasi. Kajian terhadap parole dilakukan untuk mendapatkan kaidah-kaidah suatu langue dan dari kajian terhadap langue ini akan diperoleh kaidah-kaidah langage, kaidah bahasa secara universal.

Secara populer, orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau lebih tepat lagi telaah ilmiah mengenai bahasa manusia. Ilmu linguistik sering jugs disebut linguistik umum (general linguistics). Artinya, ilmu linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, seperti bahasa Mandailing atau bahasa Arab, melainkan mengkaji seluk-beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia, yang dalam peristilahan Prancis disebut langage. Untuk jelasnya perhatikan contoh berikut. Kata bahasa Indonesia perpanjang dapat dianalisis menjadi dua buah morfem, yaitu morfem per- dan panjang. Morfem per- disebut sebagai morfem kausatif karena memberi makna “sebabkan jadi,” perpanjang berarti “sebabkan sesuatu menjadi panjang.” Sekarang perhatikan bahasa Inggris (to) be friend yang berarti “menjadikan sahabat.” Di sini jelas ada morfem be- dan friend, dan morfem be- juga memberi makna kausatif.

Perhatikan pula kata bahasa Belanda vergroot “perbesar.” Jelas di situ ada morfem kausatif ver- dan morfem dasar groot yang berarti “besar.” Dengan membandingkan ketiga contoh itu, kita mengenali adanya morfem pembawa makna kausatif baik dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, maupun bahasa Belanda, ataupun dalam bahasa lain. Begitulah bahasa-bahasa di dunia ini meskipun banyak sekali perbedaannya, tetapi ada pula persamaannya. Ada ciri-ciri yang universal. Hal seperti itulah yang diteliti linguistik. Maka karena itulah linguistik sering dikatakan bersifat umum, dan karena itu pula nama ilmu ini, selain linguistik, biasa juga disebut linguistik umum.

Dalam konteks penelitian terhadap Masjid Jami’ Tan Kok Liong, ilmu linguistik ini penulis gunakan untuk mengkaji tiga aspek berikut: (1) ayat-ayat Al- Qur’an yang menjadi bagian dari Masjid Tan Kok Liong; (2) istilah-istilah setiap unsur bangunan masjid; (3) komunikasi sosioreligius di antara warga yang beraktivitas di masjid Jami’ Tan Kok Liong, dalam konteks ibadah. Ketiga aspek yang digunakan dan dipilih itu, tentu saja mengekspresikan konsep-konsep keagamaan Islam baik pendiri masjid maupun jemaah masjid. Itulah latar belakang yang menarik tentang fenomena masjid ini.

1.2 Batasan Masalah

Menghindari batasan masalah yang terlalu luas dan dapat mengaburkan penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian pada dua hal utama. Yang pertama adalah makna dan nilai budaya pada setiap unsur bangunan. Dalam hal ini penulis memfokuskan penelitian pada ornamen bangunan pada atap masjid

1.3 Rumusan Masalah

1. Apa saja makna-makna budaya yang terdapat pada setiap unsur bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong?

2. Apa saja nilai-nilai budaya yang diekspresikan pada setiap unsur bangunan pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong?

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis makna budaya khas Tiongkok yang terdapat pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong

2. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis nilai-nilai budaya yang terdapat pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis lebih menekankan kepada aspek-aspek

1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah menambah wawasan tentang makna- makna dan nilai-nilai budaya pada unsur bangunan Tiongkok pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong. Selain itu juga dapat memberi informasi lebih terperinci mengenai makna dan nilai budaya Tiongkok yang terdapat pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong. Kemudian membantu masyarakat untuk mengenal lebih jauh mengenai bangunan masjid khas Tiongkok yang biasanya terdapat pada beberapa bangunan yang menggunakan arsitektur bergaya khas negara Tiongkok.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada khalayak umum dan masyarakat Tiongkok tentang makna dan nilai budaya bangunan khas Tiongkok pada Masjid Jami’ Tan Kok Liong yang berada di Kabupaten Bogor. Skripsi sarjana ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber acuan bagi masyarakat Islam di Indonesia untuk membangun masjid-masjid di Indonesia dengan berbagai tipenya, terutama yang bergaya arsitektur Cina. Manfaat praktis lainnya adalah menumbuhkan kesadaran religius yang berbasis kepada keberadaan kebudayaan-kebudayaan yang begitu kaya di seluruh dunia, dalam konteks integrasi umat Islam di seluruh dunia.

Bagan 1.1:

Latar Belakang. Permasalahan, dan Pendekatan Keilmuan Terhadap Masjid Jami’ Tan Kok Liong

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Konsep

Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan objek secara abstrak. Menurut Soedjadi (2000) konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata. Sejalan dengan Soedjadi, Singarimbun (2006) mengemukakan bahwa konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.

Dalam skripsi sarjana yang bertajuk “Analisis Semiotik Budaya terhadap Bangunan Masjid Jami’ Tan Kok Liong di Kota Bogor” ini, maka perlu dijelaskan konsep-konsep berikut, yang bertujuan sebagai panduan dalam kajian ini. Konsep- konsep tersebut adalah: (1) analisis; (2) semiotik budaya; (3) budaya; (4) arsitektur; (5) bangunan; (6) masjid; (7) makna; dan (8) nilai budaya.

2.1.1 Analisis

Kata analisis yang penulis gunakan di awal kata pada judul penelitian ini artinya mengacu kepada Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) (1990). Kata analisis memiliki padanan dengan kata kajian dan analisa. Dijelaskan bahwa analisis memiliki lima pengertian. Pertama, adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang Kata analisis yang penulis gunakan di awal kata pada judul penelitian ini artinya mengacu kepada Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) (1990). Kata analisis memiliki padanan dengan kata kajian dan analisa. Dijelaskan bahwa analisis memiliki lima pengertian. Pertama, adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang

Dalam konteks penelitian ini, kata analisis yang penulis maksud adalah penyelidikan, penguraian, penjabaran setelah dikaji dengan sebaik-baiknya, terhadap Mesjid Jami’ Tan Kok Liong, baik dari sisi struktur bangunan itu sendiri, makna budaya, maupun nilai budayanya. Analisis yang penulis lakukan terhadap keberadaan mesjid ini, bukan hanya sekedar analisis bangunan saja, tetapi mencakup analisis terhadap orang-orang yang terlibat di dalam kerangka eksistensi mesjid ini, yaitu tokoh dan pendirinya Anton Medan, serta jemaah mesjid dan pondok pesantrennya.

2.1.2 Semiotik Budaya

Kata semiotika (semiotik) atau semiology berasal dari bahasa Yunani, semion yang berarti tanda. Semiotik adalah studi tentang petanda dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat mengkomunikasikan makna.

Secara etimologis, istilah semitotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda” (Ratna, 2010:97). Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Piliang (2009:30) menjelaskan bahwa semiotik mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda. Senada dengan pernyataan tersebut Pradopo (dalam Sumampouw, 2010:56) menjelaskan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda.

Ahli sastra Teeuw (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat manapun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.

Menurut Preminger (dalam Pradopo, 1999:76) tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal tanda itu, alam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis. Sedangkan petanda adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penada itu .Selanjutnya Yusuf menjelaskan tanda adalah sesuatu yang bersifat representatif, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu (Piliang, 2009:30).

Semiotik juga lazim digunakan dalam mengkaji fenomena kebudayaan. Semiotik yang khusus mengkaji kebudayaan ini biasa disebut dengan semiotic budaya. Yang dimaksud semiotik budaya di dalam tulisan ini mengacu kepada Semiotik juga lazim digunakan dalam mengkaji fenomena kebudayaan. Semiotik yang khusus mengkaji kebudayaan ini biasa disebut dengan semiotic budaya. Yang dimaksud semiotik budaya di dalam tulisan ini mengacu kepada

2.1.3 Budaya

Budaya atau kebudayaan dapat dikonsepkan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat-istiadat, dan lain-lain. Kebudayan juga memiliki pengertian sebagai keseluruhan

pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengelamannya, dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya (KBBI, 1990).

Dalam ilmu antropologi, konsep tentang kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990:180). Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Pendapat lain ada yang mengemukakan bahwa kata budaya sebagai satu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi (Zoetmulder, 1951). Karena ini mereka Dalam ilmu antropologi, konsep tentang kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990:180). Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Pendapat lain ada yang mengemukakan bahwa kata budaya sebagai satu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi (Zoetmulder, 1951). Karena ini mereka

Selain itu terdapat istilah kata yang merupakan padanan kata budaya, dalam bahasa Inggris culture, yang berasal dari bahasa Latin colere, yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan,dalam konteksnya adalah mengolah tanah atau berani. Kemudian berkembang menjadi culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam (Koentjaraningrat, 1990:182). Ada perbedaan konsep ada kebudayaan dengan peradaban. Peradaban adalah padanan kata dari civilization (sivilisasi), yang biasanya digunakan untuk menyebut bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang halus, maju, dan indah—seperti: kesenian, ilmu pengetahuan (sains), adat sopan-santun pergaulan, kemahiran menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya. Istilah peradaban sering dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan kompleks (Koentjaraningrat, 1990:182).

Kebudayaan memiliki dua dimensi, yaitu wujud dan isi. Wujud kebudayaan ada tiga yaitu: (a) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (b) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat; dan (c) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat 1990:187). Isi kebudayaan sering juga disebut unsur-unsur kebudayaan universal Kebudayaan memiliki dua dimensi, yaitu wujud dan isi. Wujud kebudayaan ada tiga yaitu: (a) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (b) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat; dan (c) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat 1990:187). Isi kebudayaan sering juga disebut unsur-unsur kebudayaan universal

Dalam rangka penelitian ini, kebudayaan yang dimaksud adalah sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Kaitannya deengan Masjid Jami’ Tan Kok Liong adalah masjid ini adalah sebagai wujud artefak dari gagasa, tindakan, dan hasil karya umat muslim Imdonesia (yang dipelopori oleh Anton medan), yang mengacu kepada nilai-nilai budaya Tionghoa, dalam rangka mengisi kehidupannya.

2.1.4 Arsitektur

Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaitu perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur lanskap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.

Banhart C.L. dan Jess Stein mengemukakan bahwa arsitektur adalah seni dalam mendirikan bangunan termasuk didalamnya segi perencanaan, konstruksi, dan penyelesaian dekorasinya; sifat atau bentuk bangunan; proses membangun; bangunan dan kumpulan bangunan

Claudil mengungkapkan arsitektur adalah sesuatu yang bersifat personal, menyenangkan dan memerlukan pengalaman. Arsitektur adalah hasil persepsi dan penghargaan manusia terhadap ruang dan bentuk. Ada tiga pengalaman arsitektur: aspek fisikal, emosional dan kebutuhan intelektual

2.1.5 Bangunan

Kita sering kesulitan membedakan antara bangunan dan arsitektur, karena memang arsitektur itu adalah bangunan. Namun kita harus tahu bahwa tidak semua bangunan adalah arsitektur dan dalam arsitektur tidak hanya menyangkut masalah bangunan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh tim pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1990, bangunan diartikan sebagai yang didirikan, yang dibangun (seperti rumah, gedung, jembatan) , sedangkan arsitektur diartikan sebagai 1. seni dan ilmu merancang serta membuat kontruksi bangunan ; 2. metode dan gaya rancangan suatu konstruksi .

Bangunan adalah suatu susunan elemen-elemen yang membentuk fungsi untuk mewadahi aktifitas manusia dengan segala komponen yang dibutuhkan dalam aktifitasnya. Ia memiliki bentuk dan dimensi yang dapat menaungi dengan memiliki kekakuan dan kekokohan yang dapat melindungi manusia dan segala aktifitas di dalamnya dari segala gangguan. Karena bangunan berfungsi untuk mewadahi aktifitas manusia maka ia harus mempunyai keadaan yang dibutuhkan oleh manusia yaitu kenyamanan, keamanan, dan efisiensi, serta kebutuhan- kebutuhan manusia yang lain.

Memang menurut kamus besar Bahasa Indonesia di atas, bangunan diartikan menurut arti katanya. Bangunan adalah kata benda, dengan kata kerjanya bangun atau membangun, sehingga bangunan dapat diartikan sebagai yang dibangun atau yang didirikan. Bangunan adalah segala sesuatu yang dibangun untuk suatu kepentingan tertentu. Dengan definisi demikian, hampir semua bentuk yang didirikan atau dibangun dapat disebut sebagai bangunan, seperti gedung, rumah, jembatan, jalan, tugu, kios, warung dan banyak lagi contoh yang dapat disebutkan. Sehingga kita dapat menyebut ada bangunan kapal, bangunan irigasi, bangunan permanen, bangunan tidak permanen dan seterusnya.

Namun dilihat dari arti yang lebih khusus, bangunan harus memenuhi syarat-syarat lebih khusus pula, sehingga ia benar-benar dapat disebut sebagai bangunan. Syarat-syarat itu meliputi fungsinya, ukuran dan bentuknya, serta sifatnya, yang antara lain telah disebutkan di atas. Dalam kenyataannya kita sering melihat yang telah dibangun oleh manusia lebih banyak bangunan dari pada arsitektur. Karena menurut ilmu arsitektur membuat bangunan itu lebih mudah dari pada membuat arsitektur, apalagi arsitektur yang benar-benar mempunyai nilai yang tinggi dan bermutu. Nilai itulah salah satu yang membedakan antara bangunan dan arsitektur. Bangunan ini lebih banyak menjurus pada sifat fungsional. Ia dibangun untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ia dimanfaatkan dari segi fungsi fisiknya saja.

Bangunan sering hanya digunakan untuk tempat-tempat produksi, meskipun tidak selalu demikian. Misalnya pabrik, galangan, bangsal, penjara, tenda, bengkel, gudang, serta masjid sering menggunakan yang disebut bangunan, walau ada juga Bangunan sering hanya digunakan untuk tempat-tempat produksi, meskipun tidak selalu demikian. Misalnya pabrik, galangan, bangsal, penjara, tenda, bengkel, gudang, serta masjid sering menggunakan yang disebut bangunan, walau ada juga

2.1.6 Masjid (Masjid)

Masjid (masjid) adalah rumah tempat ibadah umat Islam. Masjid artinya tempat sujud, dan masjid berukuran kecil juga disebut musholla, langgar atau surau. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim.

Di dalam KBBI (1990), yang dimaksud masjid (atau masjid) adalah: masjid (n) adalah rumah atau bangunan tempat bersembahyang orang Islam. Contoh dalam kalimat: Setiap Jumat dilakukan salat bersama di masjid. Masjid agung adalah masjid besar dengan bangunan megah, luas, dan dapat menampung ratusan jemaah. Masjid jami’ adalah masjid utama (untuk salat beramai-ramai pada hari Jumat dan lainnya. Permasjidan artinya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan masjid, seperti dalam kalimat: Satu lembaga yang menangani masalah permasjidan adalah Departemen Agama.

Lebih jauh lagi dalam KBBI, ditemui kata-kata sinonim (maknanya sama) dengan masjid, yaitu langgar dan musala. Kata langgar (n) masjid kecil tempat mengaji atau bersalat, tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat. Langgar maknanya dengan surau dan musala. Sementara musala sendiri artinya adalah: 1. (n) tempat salat, langgar, surau; 2. Tikar salat atau sajadah.

Di dalam kitab suci umat Islam, yaitu Al-Qur’an beberapa ayatnya mengandung kata masjid, yang juga memiliki makna-makna. Di antaranya adalah sebagai berikut.

(1) Surah At-taubah ayat 18

[Innamaa ya’muru masjidallahi min ‘amana billahi walyaumal akhiri waqaama shalata wa atazzakata walmyahsa ilalah, fa;asaa ulaaika anyakuunuu minal muhtadiin]

Artinya: Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

(2) Surah Annur ayat 36

[Fii buyuutin adzinallahu an turfa’a wayudzkaro fiihaa asmuhu, yusabbikhulah, fiihaa balkhoduwwi walasooli]

Artinya: Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk

dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.

(3) Surah Al-Baqarah ayat 114

[Wa man adzlamu mimman mana’a masjidallahi anyudzkaro fiihaa asmah, wasa’a fii kharabihaa ulaaika maa kaana lahum [Wa man adzlamu mimman mana’a masjidallahi anyudzkaro fiihaa asmah, wasa’a fii kharabihaa ulaaika maa kaana lahum

Artinya: Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.

Dalam surah Attaubah ayat 18 di atas, konsep mengenai masjid merujuk kepada masjid itu milik Allah, yang dimakmurkan oleh hamba-hamba Allah yang beriman kepada Allah dan hari kemudian (kiamat, dan masa di akhirat). Dimakmurkan ini artinya adalah dijadikan tempat beribadah, tausiyah, mengaji, strategi untuk memajukan kehidupan masyarakat, dan lainnya. Orang-orang yang memakmurkan masjid ini akan menjadi orang yang memiliki kesalehan sosial, yang dibuktikan dengan berzakat, infak, dan sedekah. Kemudian ia menjadi insane yang bertakwa (takut kepada Allah saja, menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah). Mereka ini akan mendapatkan petunjuk Allah.