Hubungan Hemodialisis dan Skor Pruritus pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Haji Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit ginjal kronik
2.1.1 Pendahuluan
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif yang ditandai dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal.1 Sedangkan gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dpengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada stadium
5, yang membutuhkan penatalaksanaan penggantian ginjal tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal.1,2
Penyakit ginjal stadium akhir didefinisikan sebagai “gangguan ginjal
yang membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal untuk dapat bertahan
hidup”.16 Istilah penyakit ginjal stadium akhir menunjukkan suatu stadium
dari penyakit ginjal kronik dimana terjadi akumulasi toksin-toksin, cairan dan
elektrolit yang secara normal diekskresikan oleh ginjal yang menyebabkan
terjadinya sindrom uremikum. Sindrom ini dapat menyebabkan kematian jika
toksin-toksin tersebut tidak dikeluarkan dengan terapi penggantian ginjal,
dengan menggunakan dialisis atau transplantasi ginjal. Penyakit ginjal
stadium akhir adalah istilah untuk penyakit ginjal kronik stadium 5.2

Penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan
risiko penyakit ginjal kronik, bahkan pada individu yang memiliki LFG
normal. Faktor-faktor risiko mencakup hipertensi, diabetes melitus, penyakit

Universitas Sumatera Utara

autoimun, usia yang lebih tua, keturunan Afrika, riwayat keluarga menderita
penyakit ginjal, episode gagal ginjal akut sebelumnya, dan adanya
proteinuria, sedimen urin yang tidak normal atau abnormalitas traktus
urinarius.2

2.1.2 Epidemiologi
Insidensi PGK di Amerika Serikat pada tahun 1995-1999 diperkirakan
100 kasus per 1 juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat 8% setiap
tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800
kasus baru gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya
insidensi ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per 1 juta penduduk per tahun.1
Prevalensi penyakit ginjal stadium akhir pada tahun 2003, didapatkan
lebih dari 320.000 pasien yang menderita penyakit ginjal stadium akhir di
Amerika Serikat, dan prevalensinya diperkirakan meningkat menjadi 650.000

pada tahun 2010 dan 2 juta pada tahun 2030.3
Dari survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia
pada tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia adalah sekitar
12,5%.4 Sedangkan data di Kota Medan adalah berdasarkan penelitian pada
tahun 2010 didapatkan 265 orang penderita PGK di RSUD dr. Pirngadi
Medan dan penelitian pada tahun 2011 terdapat 633 orang penderita PGK di
RSUP H. Adam Malik Medan.26,27

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
Etiologi PGK sangat bervariasi pada berbagai negara. Di Amerika
Serikat (tahun 1995-1999) disebutkan penyebabnya diantaranya adalah
diabetes melitus, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit sistemik lain seperti
lupus dan vaskulitis, neoplasma dan penyakit lainnya. Di Indonesia (tahun
2000), penyebab PGK pada pasien yang menjalani hemodialisis antara lain
adalah glomerulonefritis, diabetes melitus, obstruksi dan infeksi, hipertensi
dan sebab-sebab lain.1
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses

yang terjadi kurang lebih sama. Patofisiologi penyakit ginjal kronik
melibatkan dua rangkaian mekanisme kerusakan, yaitu: (1) mekanisme awal
yang spesifik terhadap etiologi yang mendasarinya (misalnya kompleks imun
dan mediator-mediator inflamasi dalam jenis tertentu dari glomerulonefritis,
atau pajanan toksin pada penyakit-penyakit tertentu dari tubulus renal dan
interstisium); dan (2) suatu rangkaian dari mekanisme progresif, yang
melibatkan hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron-nefron yang tersisa, yang
merupakan konsekuensi umum dari etiologi yang mendasarinya tersebut.2
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa, sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih

Universitas Sumatera Utara

tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan


aktivitas

aksis

renin-angiotensin-aldosteron,

sebagian

diperantarai oleh berbagai growth factor. Beberapa hal yang juga dianggap
berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variasi antara individu untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial.
Penelitian yang menggunakan micro-puncture menunjukkan bahwa tekanan
intra glomerulus meningkat pada pasien DM bahkan sebelum tekanan darah
sistemik meningkat. Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait dengan
aktivitas berbagai hormon vasoaktif, seperti angiotensin-II dan endotelin.1,2
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal, pada keadaan LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai

dengan peningkatan urea dan kreatinin serum. Sampai LFG 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimtomatik). Sampai LFG 30% mulai
terjadi keluhan misalnya seperti nokturia, badan lemah dan sebagainya.
Sampai LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme kalsium dan fosfor, mual, muntah dan sebagainya. Pada LFG
dibawah 15% akan terjadi komplikasi yang lebih serius dan memerlukan
terapi penggantian ginjal antara lain dialisis atau transplantasi. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.1

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Pendekatan diagnostik
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: (a) sesuai
dengan penyakit yang mendasari, (b) sindrom uremia, yang terdiri dari lemah,
letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan,
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai
koma, (c) gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).1

Kriteria dan klasifikasi
Kriteria PGK meliputi1:
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural dan fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG
dengan manifestasi kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal,
termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam
tes pencitraan (imaging tests).
2. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
Klasifikasi PGK dapat ditentukan berdasarkan stadium penyakit, yaitu: 1,2
1. Stadium 1: Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat, yaitu >
90 ml/menit/1,73 m2
2. Stadium 2: Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan, yaitu 60-90
ml/menit/1,73 m2
3. Stadium 3: Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang, yaitu 30-59
ml/menit/1,73 m2

Universitas Sumatera Utara

4. Stadium 4: Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat, yaitu 15-29

ml/menit/1,73 m2
5. Stadium 5: Gagal ginjal dengan LFG < 15 (atau dialisis).

Gambaran laboratorium PGK meliputi: (a) sesuai penyakit yang
mendasarinya, (b) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum, dan penurunan LFG, (c) kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper
atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia dan asidosis metabolik, dan (d) kelainan urinalisis meliputi
proteinuria, hematuri, leukosuria, cast dan isostenuria. Pemeriksaan
radiologis dan histopatologi juga membantu untuk mengetahui kerusakan
ginjal yang terjadi, mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan
mengevaluasi hasil terapi yang diberikan.1

2.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PGK meliputi terapi spesifik terhadap penyakit
dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat
pemburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskuler, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti
ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Pada gagal ginjal kronik, tanpa

terapi penggantian ginjal, kematian akibat kelainan metabolik dapat terjadi
dengan cepat.5 Terapi pengganti ginjal dilakukan pada pasien dengan LFG <
15 ml/menit/1,73 m2.2

Universitas Sumatera Utara

2.2 Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu sistem penggantian ginjal modern yang
menggunakan dialisis melalui difusi dan hemofiltrasi untuk mengeluarkan air,
yang membawa serta zat terlarut yang tidak diinginkan, yang dilakukan pada
pasien-pasien gagal ginjal kronik.5
Hemodialisis memiliki prinsip adanya difusi zat-zat terlarut melewati
membran semipermeabel. Perpindahan dari produk-produk sisa metabolisme
berpindah sesuai dengan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dialisat. Laju
transportasi difus meningkat sebagai respons terhadap berbagai faktor, termasuk
besarnya gradien konsentrasi, daerah permukaan membran dan koefisien transfer
massa dari membran tersebut. Yang terakhir merupakan fungsi dari porositas dan
ketebalan membran, ukuran molekul terlarut dan keadaan aliran dari kedua sisi
membran. Modalitas ini dilakukan kira-kira selama 3-4 jam dengan sesi dialisis
intermiten.2

Pada hemodialisis, darah dipompa melewati satu sisi membran
semipermeabel sementara cairan dialisat dipompa melewati dari sisi lain dengan
arah gerakan yang berlawanan. Membran biasanya diletakkan di dalam wadah
sebagai lembaran yang memiliki lubang ditengahnya. Jumlah cairan yang
dikeluarkan melalui ultrafiltrasi dikontrol dengan mengubah tekanan hidrostatik
darah dibandingkan dengan cairan dialisat. Cairan dialisat terbuat dari konstituen
esensial plasma yaitu natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, dan glukosa,
dan suatu bufer seperti bikarbonat, asetat, atau laktat. Darah dan dialisat mencapai
kesetimbangan di kedua sisi membran. Dengan demikian, komposisi plasma dapat
dikontrol dengan mengubah komposisi dialisat. Konsentrasi kalium dalam dialisat

Universitas Sumatera Utara

biasanya lebih rendah daripada dalam plasma sehingga memacu pergerakan
kalium keluar dari darah. Heparin digunakan dalam sirkuit dialisis untuk
mencegah penggumpalan darah.5
Berdasarkan asas difusi, semakin besar molekul, semakin lambat laju
perpindahannya melewati membran. Sebuah molekul yang kecil, seperti ureum
(60 Da), dapat melalui klirens substansial, sementara sebuah molekul yang lebih
besar, seperti kreatinin (113 Da), lebih sedikit yang dibersihkan secara efisien.

Selain proses pembersihan yang difus, perpindahan produk-produk sisa dari
sirkulasi ke dialisat dapat terjadi sebagai hasil dari ultrafiltrasi. Proses
pembersihan konvektif terjadi oleh sebab tarikan dari pelarut, dengan zat-zat
terlarut ikut terbuang bersama dengan air melewati membran dialisis
semipermeabel.2
Durasi

hemodialisis

dilaporkan

dari

lamanya

pasien

menjalani

hemodialisis, yaitu dari awal pasien mengikuti hemodialisis yang rutin sampai

pada saat pemeriksaan. Sebuah penelitian di Iran mengelompokkan durasi
hemodialisis menjadi 5 tahun.12 Sementara penelitian
lain menghitung durasi hemodialisis dengan memakai satuan bulan.9,21

2.3 Pruritus Uremikum
2.3.1 Pendahuluan
Pruritus, biasanya dikenal sebagai rasa gatal, adalah suatu sensasi
yang secara khusus ditemukan pada kulit, yang dapat didefinisikan sebagai
suatu sensasi yang tidak menyenangkan yang menyebabkan keinginan untuk

Universitas Sumatera Utara

menggaruk.28

Pruritus

dapat

disebabkan

oleh

penyebab-penyebab

dermatologis maupun non dermatologis.14,28
Pruritus dengan penyebab dermatologis adalah puritus karena
kelainan-kelainan kulit seperti eksema atopi, psoriasis, xerosis, skabies,
dermatitis kontak, insect bite, liken planus, dermatofitosis, pedikulosis,
folikulitis, urtikaria dan liken simpleks kronis. Pruritus nondermatologis
dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit sistemik, seperti penyakit ginjal
kronik, kolestasis, limfoma Hodgkin, polisitemia vera, infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan hipertiroidisme; penyakit-penyakit
neuropati, seperti pruritus brakioradial, parestetika notalgia dan gatal pada
pasca herpetika; dan penyakit-penyakit psikogenik, seperti gangguan obsesif
kompulsif, delusi parasitosis dan penyalahgunaan obat. Pada penyakitpenyakit psikogenik ini dapat ditemukan gambaran ekskoriasi neurotik
berupa garis-garis linier berkrusta yang tersebar. Gambaran ini dapat terjadi
dibagian tubuh yang dapat dijangkau oleh pasien, walaupun paling sering
ditemukan pada daerah ekstremitas.29,30
Pruritus uremikum adalah istilah yang dipakai untuk pruritus yang
dialami oleh pasien-pasien yang menderita penyakit ginjal kronik atau
penyakit ginjal stadium akhir,3 dengan tidak disertai oleh penyakit-penyakit
lain yang dapat menyebabkan gatal.23

2.3.2 Epidemiologi
Pruritus uremikum adalah satu dari gambaran prevalensi uremia yang
paling sering ditemukan dan terjadi pada 10-85% pasien-pasien yang

Universitas Sumatera Utara

menjalani hemodialisis. Rentang yang begitu lebar mungkin disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya kesulitan dalam menentukan gejala yang sangat
subjektif, terbatasnya jumlah pasien pada kebanyakan penelitian, dan sifatsifat retrospektif dari beberapa informasi.11 Menurut yang dilaporkan oleh
Dialysis Outcomes and Practice Pattern Study (DOPPS) pruritus mengenai
42% pasien-pasien yang sedang menjalani hemodialisis.8 Selama 20 tahun
terakhir insidensi pruritus menurun dari 85% pada awal tahun 1970-an
menjadi 30% pada akhir tahun 1990-an.16 Prevalensi pruritus uremikum telah
menurun sebagai hasil dari kemajuan teknik-teknik dialisis dan manajemen
pasien.3,9
Razeghi et al tidak mendapatkan perbedaan yang signifikan antara
kelompok yang menderita pruritus dan yang tidak pruritus terhadap durasi
dari dialisisnya.31 Narita et al menyebutkan tidak didapatkan adanya
hubungan antara penyakit ginjal yang mendasarinya dengan pruritus.9

2.3.3 Etiologi dan Patogenesis
Etiologi pruritus uremikum bersifat multifaktor dan faktor-faktor
metabolik terlibat dalam patogenesisnya. Faktor-faktor metabolik tersebut
diantaranya adalah hiperkalsemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme
sekunder, dan hipermagnesemia. Keithi-Reddy et al membagi penyebab
terjadinya gatal pada pasien-pasien penyakit ginjal stadium akhir atau EndStage Renal Disease (ESRD) berdasarkan penyebab yang berkaitan dengan
uremia dan yang tidak berhubungan dengan uremia.32

Universitas Sumatera Utara

Terdapat beberapa mekanisme yang diajukan untuk menjelaskan
tentang patogenesis pruritus pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal
stadium akhir. Lima teori yang berlaku pada literatur-literatur tentang ginjal
adalah33:
2.3.3.1 Xerosis (kulit kering)
Walaupun xerosis tidak berkaitan dengan pruritus secara
konsisten, terdapat bukti bahwa kira-kira 50% pasien-pasien dialisis
dengan pruritus melaporkan kulit kering dan mengartikannya sebagai
penyebab sensasi gatal. Xerosis pada penyakit ginjal kronik terutama
terjadi berkaitan dengan tiga hal seperti dehidrasi kulit, fungsi barier
yang mengalami perubahan dan iritasi yang jelas terhadap substansisubstansi eksternal seperti surfaktan.

Atrofi kelenjar sebasea dan

sekresi dan porsi duktus dari kelenjar ekrin, menyebabkan kadar lipid
permukaan kulit yang lebih rendah dan hilangnya integritas dari
kandungan air pada stratum korneum kulit oleh karena disfungsi
barier kulit, penting juga dalam patogenesis xerosis uremikum.

2.3.3.2 Substansi-substansi pruritogenik
Akumulasi dari substansi-substansi yang tidak dikeluarkan
secara adekuat dengan dialisis yang dapat menginduksi pruritus,
disebut substansi pruritogenik. Beberapa dari substansi ini adalah
vitamin A, histamin, dan ion-ion divalen seperti kalsium, fosfor, dan
magnesium. Substansi-substansi ini dapat berperan secara lokal pada

Universitas Sumatera Utara

reseptor-reseptor yang memediasi sensasi gatal, atau secara sentral
dengan memodulasi jalur yang menyebabkan persepsi gatal.9
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ion-ion divalen
mengendap pada lapisan epidermis kulit dan menghasilkan efek yang
mensensitisasi pruritus. Kadar histamin serum telah ditemukan
meningkat pada sebagian besar pasien dengan pruritus. Selain itu,
peningkatan hormon paratiroid telah memiliki korelasi terhadap gejala
pruritus. Namun hormon paratiroid sendiri tampaknya bukan
merupakan zat pruritogenik.10
Toksin-toksin uremikum sendiri, baik yang berupa senyawa
kecil yang larut dalam air (berat molekul < 500 Dalton), molekulmolekul menengah (> 500 Dalton) dan molekul-molekul yang terikat
protein (sebagian besar memiliki berat molekul < 500 Dalton, juga
berperan untuk terjadinya pruritus uremikum. Senyawa-senyawa kecil
mudah dibersihkan melalui proses hemodialisis, molekul-molekul
menengah hanya dapat dipindahkan dengan strategi tertentu,
sedangkan molekul-molekul yang terikat protein terhambat pola
pemindahannya karena ikatannya dengan protein tersebut.34

2.3.3.3 Etiologi neuropatik
Mekanisme potensial terhadap pruritus yang berkaitan dengan
PGK adalah proliferasi yang abnormal dari serat-serat saraf sensoris
yang menyebabkan sensasi gatal. Dengan kata lain, pruritus
merupakan tanda dari neuropati yang mendasari.9 Hipotesis ini

Universitas Sumatera Utara

didukung oleh penemuan bahwa gabapentin, suatu agen yang
digunakan untuk nyeri neuropatik, telah terbukti efektif dalam
mengobati pruritus yang berkaitan dengan PGK.3

2.3.3.4 Ketidakseimbangan peptida opioid
Beberapa reseptor opioid terlibat dalam jalur pruritus, seperti
yang sudah dikonfirmasi dengan observasi bahwa morfin, suatu
agonis opioid, dapat menginduksi gatal.10 Sebaliknya, agen-agen yang
menstimulasi reseptor κ-opioid dapat mengurangi rasa gatal. Pada
pruritus yang berkaitan dengan PGK, diyakini bahwa terdapat
ketidakseimbangan antara peptida opioid endogen yang menstimulasi
dan yang menghambat jalur pruritus.3

2.3.3.5 Keadaan proinflamasi
Dianggap bahwa PGK menyebabkan abnormalitas sistem imun
yang menyebabkan keadaan pro inflamasi, yang bermanifestasi
sebagai pruritus. Hal ini didukung oleh studi-studi yang menunjukkan
penurunan pruritus sebagai respons dari terapi-terapi imunosupresan
termasuk sinar ultraviolet B (UVB), takrolimus, dan talidomid.3

2.3.4 Pendekatan diagnostik
Pruritus uremikum bersifat simetris dan daerah yang paling sering
terlibat adalah punggung, lengan, dada dan kepala, namun pruritus yang
bersifat generalisata jarang dijumpai. Panas dari eksternal, keringat, stres dan

Universitas Sumatera Utara

kulit kering dapat mengeksaserbasi pruritus uremikum, sementara mandi
dengan air hangat atau dingin, suhu yang dingin dan aktivitas dapat
mengurangi pruritus. Manifestasi yang terlihat pada kulit adalah berupa
ekskoriasi akibat garukan, dengan atau tanpa adanya lesi impetigo, prurigo
maupun likenifikasi yang timbul sebagai suatu fenomena sekunder. Separuh
pasien mengalami agitasi atau depresi. Durasi, derajat keparahan dan
karakteristik pruritus bervariasi, dapat berubah sepanjang waktu dan berbedabeda pada tiap pasien. Sebagian pasien mengalami pruritus dalam jangka
waktu yang singkat sementara sebagian lainnya merasakannya sepanjang hari
dan sepanjang malam. Pruritus biasanya lebih berat dirasakan pada malam
hari sehingga sering menyebabkan gangguan tidur.10,20
Diagnosis pruritus uremikum ditegakkan dari anamnesis adanya suatu
rasa gatal yang terjadi pada individu yang menderita penyakit ginjal kronik,
yang ditetapkan dengan anamnesis. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang juga dapat membantu menegakkan diagnosis pruritus uremikum.
Diagnosis dengan penamaan pruritus uremikum sering dianggap suatu
kesalahan dalam penamaan oleh karena beberapa alasan berikut ini:3
1. Pruritus pada pasien-pasien penyakit ginjal stadium akhir tidak universal
2. Pruritus ini tidak memiliki korelasi dengan tingkat keparahan uremia
3. Bahkan dialisis dengan aliran tinggi tidak meringankan masalah
4. Pruritus tidak didapati pada pasien-pasien gagal ginjal akut
Walaupun istilah “pruritus yang terkait uremia” telah diajukan, namun
“pruritus yang berkaitan dengan penyakit ginjal kronik” atau “gatal karena

Universitas Sumatera Utara

penyakit ginjal kronik” adalah nomenklatur yang lebih tepat untuk kondisi
ini.
Untuk kepentingan epidemiologi, kriteria spesifik yang digunakan
untuk mendiagnosis pruritus uremikum adalah apabila didapatkan salah satu
dari gejala-gejala yang berikut ini:32
1. Pruritus timbul segera sebelum dialisis, atau kapan saja, tanpa adanya
bukti penyakit aktif lainnya yang dapat menjelaskan terjadinya pruritus.
2. Lebih dari atau sama dengan tiga episode gatal selama suatu periode 2
minggu, dengan gejala yang timbul beberapa kali sehari, terjadi paling
tidak beberapa menit, dan mengganggu pasien.
3. Timbulnya suatu keadaan gatal dalam pola yang teratur selama periode 6
bulan, tetapi frekuensinya lebih sedikit daripada yang disebutkan diatas.

2.3.5 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan yang
digunakan untuk membantu mengarahkan diagnosis pruritus uremikum.
Pemeriksaan laboratorium yang biasanya dibutuhkan pada pruritus yag
generalisata meliputi pemeriksaan darah lengkap, profil kimia darah meliputi
ureum dan kreatinin serta pemeriksaan urin lengkap. Untuk pruritus
uremikum dapat juga dilakukan pemeriksaan elemen-elemen darah lain yang
terkait seperti kalsium, fosfor, magnesium, aluminium, fosfatase alkali dan
hormon paratiroid.10,14,20,35

Universitas Sumatera Utara

2.3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk pruritus uremikum meliputi penatalaksanaan
nonfarmakologis, farmakologis dan dengan mengatasi penyakit yang
mendasarinya. Penatalaksanaan nonfarmakologis meliputi pengobatan secara
fisik, seperti fototerapi, akupunktur dan sauna, sampai dengan tindakan
paratiroidektomi. Penatalaksanaan farmakologis meliputi penatalaksanaan
topikal dan sistemik. Emolien, kapsaisin dan steroid topikal adalah
penatalaksanaan topikal yang dilaporkan. Obat-obatan sistemik meliputi
pemberian diet rendah protein, minyak primrose, lidokain dan metiksilin,
antagonis opioid, charcoal aktif, kolestiramin, antagonis serotonin, talidomid,
nicergoline dan nalfurafine. Pruritus uremikum juga dapat diatasi jika
penyakit yang mendasarinya dapat diatasi, yaitu dengan transplantasi ginjal,
dialisis yang efisien maupun eritropoietin.32,36

2.4 Derajat keparahan pruritus
Penilaian pruritus adalah problematik, sebab sifat-sifat alaminya dan
lokalisasinya yang tidak jelas. Secara umum, penilaian pruritus dapat dibagi
menjadi 2 kelompok utama: evaluasi subyektif dari rasa gatal dan penilaian
garukan. Kelompok pertama mencakup penilaian sederhana terhadap derajat
keparahan rasa gatal [seperti VAS, numeric rating scale (NRS), verbal rating
scale (VRS)], kuesioner gatal yang menyediakan data kualitas gatal, sistem
analisis terkomputerisasi, dan penilaian ambang persepsi pruritus. Kelompok
kedua adalah penilaian garukan, yaitu dengan bantuan pengamatan adanya
ekskoriasi dan derajat likenifikasi, rekaman video infrared, limb meter (monitor

Universitas Sumatera Utara

aktivitas pergelangan tangan, sensor tekanan), transduser vibrasi kuku jari-jari
tangan (sensor piezo film, pruritometer) dan sistem evaluasi akustik dari garukan.
Selain itu, teknik-teknik pencitraan fungsional (functional magnetic resonance,
positron emission tomography) telah digunakan untuk menganalisis aktivitas otak
selama episode gatal).24
Pada studi klinis terhadap pruritus biasanya direkomendasikan untuk
menggunakan kombinasi paling sedikit dua metode penilaian rasa gatal yang
independen. Namun, rekomendasi ini dapat terlalu menghabiskan waktu pada
pengunaan klinis sehari-hari, dan karenanya dibutuhkan suatu metode yang
sederhana dan dapat dipercaya untuk penilaian intensitas gatal.24,37

2.4.1 Visual analogue scale (VAS)
VAS merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan untk
penilaian pruritus, oleh sebab VAS memberikan estimasi rasa gatal yang
mudah dan cepat.24 VAS dinilai dengan meminta pasien menandai skala 1-10
pada kertas baik horizontal maupun vertikal, untuk menunjukkan derajat
keparahan pruritus yang dirasakan pasien.10,18,23,24 Hal yang perlu diingat
adalah VAS memiliki keterbatasan pada pasien-pasien yang berusia tua. Pada
usia ini pasien dapat memiliki penurunan kognitif, sehingga sulit untuk
mengerti skala yang dimaksud atau membutuhkan waktu untuk mengubah
suatu hasil grafik menjadi metrik, maupun dalam hal motorik, sehingga sulit
untuk menandai garis dengan pena.24

Universitas Sumatera Utara

2.4.2

Penilaian pruritus modifikasi Duo dan Mettang
Derajat keparahan pruritus dapat dinilai dengan suatu metode yang

didasarkan pada metode yang diusulkan oleh Duo (1987) dan dimodifikasi
oleh Mettang et al. Skor dinilai oleh peneliti yang sama terhadap semua
pasien. Metode ini didasarkan pada kriteria yang mencakup scratching,
keparahan, frekuensi dan distribusi pruritus, dan gangguan tidur yang
berkaitan dengan pruritus, yaitu sebagai berikut8,12:
1. Scratching: Pruritus yang dilaporkan dengan periode waktu: pagi, sore,
dan malam, dan masing-masing memiliki 1 skor.
2. Keparahan:
1 skor

: sensasi gatal ringan tanpa perlu menggaruk

2 skor

: beberapa kali menggaruk

3 skor

: sering menggaruk

4 skor

: menggaruk tanpa ada rasa berkurang

5 skor

: pruritus yang dirasakan terus menerus.

3. Distribusi: Setiap lokasi misalnya lengan, tungkai bawah, dan batang
tubuh mendapatkan masing-masing 1 skor.
1 skor

: 1 lokasi

2 skor

: 2 lokasi

3 skor

: 3 lokasi

4 skor

: 4 lokasi

5 skor

: pruritus generalisata.

4. Frekuensi: Jumlah episode pruritus dan durasinya. Yang dimaksud dengan
episode singkat adalah 10 menit.

Universitas Sumatera Utara

1 skor

: 1 episode panjang atau 2 episode singkat

2 skor

: 2 episode panjang atau 4 episode singkat, atau
1 episode panjang dan 2 episode singkat

3 skor

: 3 episode panjang atau 6 episode singkat, atau
2 episode panjang dan 2 episode singkat, atau
1 episode panjang dan 4 episode singkat

4 skor

: 4 episode panjang, atau
3 episode panjang dan 2 episode singkat, atau
2 episode panjang dan 4 episode singkat, atau
1 episode panjang dan 6 episode singkat, atau
8 episode singkat

5 skor (maksimal):
> 5 episode panjang, atau
4 episode panjang dan 2 episode singkat, atau
3 episode panjang dan 4 episode singkat, atau
2 episode panjang dan 6 episode singkat, atau
1 episode panjang dan 8 episode singkat, atau
> 10 episode singkat.
5. Gangguan tidur: Keadaan yang dinilai adalah jumlah jam tidur dan
frekuensi gangguan tidur oleh karena rasa gatal. Skor 0 jika memiliki > 7
jam tidur pada malam hari dan skor 10 jika tidak dapat tidur sama sekali.
Gangguan tidur juga dinilai dari jumlah berapa kali pasien terbangun pada
malam hari oleh karena rasa gatal.
1 skor

: untuk 1 kali terbangun

Universitas Sumatera Utara

2 skor

: untuk 2 kali terbangun

3 skor

: untuk 3 kali terbangun

4 skor

: untuk 4 kali terbangun

5 skor

: untuk > 5 kali terbangun.

Untuk keparahan, distribusi dan frekuensi, penilaian skor dilakukan pagi dan
siang. Sehingga skor paling tinggi selama 24 jam adalah 48.12,25 Penelitian
yang menggunakan penilaian derajat pruritus pernah dilakukan dengan
menentukan skor pruritus yang dievaluasi dalam 4 minggu terakhir.8,38
Gradasi derajat keparahan pruritus adalah sebagai berikut: 1-16
dikelompokkan menjadi pruritus ringan, 17-32 pruritus sedang, dan 33-48 pruritus
berat.12 Pada penelitian DOPPS I 45% pasien dilaporkan mengalami pruritus
sedang ke berat dan dan DOPPS II melaporkan 42% pasien yang mengalami
pruritus sedang ke berat.8 Mirnezami et al melaporkan bahwa pruritus ringan jauh
lebih banyak didapatkan, yaitu dari 100 pasien, didapatkan 55,6% mengalami
pruritus ringan, 33,3% pruritus sedang dan 11,1% pruritus berat.12

2.5 Hubungan hemodialisis dengan kejadian pruritus
Hemodialisis memiliki efikasi dengan mengeluarkan zat terlarut yang tidak
diinginkan dengan cara difusi melalui membran semipermeabel. Molekul-molekul
kecil dan sebagian molekul yang lebih besar dapat dibersihkan, dimana substansi
pruritogenik juga termasuk di dalam molekul-molekul tersebut.2,5 Penghitungan
pembersihan urea disebutkan berkaitan dengan patogenesis pruritus uremikum.10
Optimalisasi efikasi dialisis merupakan pendekatan dasar dalam pengobatan

Universitas Sumatera Utara

pruritus uremikum, yaitu dengan mengeluarkan substansi-substansi pruritogenik
dari dalam tubuh.10,13
Namun dialisis juga dilaporkan sebagai suatu pemicu penting dari pruritus.
Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh deposit atau akumulasi yang lambat
dari pruritogen alami yang belum jelas diketahui.22 Walaupun xerosis juga dapat
ditemukan pada penderita penyakit ginjal kronik sebelum dialisis, peningkatan
yang signifikan dari frekuensi xerosis diamati pada pasien-pasien yang memulai
dialisis. Deplesi air pada dermis, yang disebabkan oleh pergantian cairan selama
satu sesi dialisis, telah diajukan sebagai suatu penjelasan terjadinya xerosis
uremikum. Perfusi kulit juga telah terbukti terganggu pada pasien-pasien yang
menjalani dialisis, dapat berkontribusi terhadap proses dehidrasi kulit.39
Sementara beberapa laporan menyebutkan adanya penurunan pruritus
uremikum setelah adanya hemodialisis,10 beberapa penelitian melaporkan
perburukan pruritus dengan meningkatnya durasi hemodialisis,13,22 beberapa
penelitian lain melaporkan tidak ditemukannya hubungan antara durasi
hemodialisis dengan derajat keparahan pruritus.8,12

Universitas Sumatera Utara

2.6 Kerangka Teori

Penyebab
sistemik

Penyebab
dermatologis

Penyebab sistemik lain:
- Kolestasis
- Limfoma Hodgkin
- Polisitemia Vera
- Infeksi HIV
- Hipertiroidisme

Penyakit
Ginjal
Kronik

Xerosis

Substansi
pruritogenik

Etiologi
neuropatik

Ketidakse
-imbangan
peptida
opioid

Keadaan
pro
inflamasi

Hemodialisis
↗ Durasi

Reseptor
lokal/
Jalur
sentral

Penyebab
psikogenik

Penyebab
neuropatik

Deposit/
Akumulasi
yang
lambat

Deplesi
air pada
dermis

Deposit/
Akumulasi
Pruritogen

Pruritus
Uremikum

Terapi

Transplantasi
Eritropoietin

Perfusi
kulit
terganggu

Xerosis

Pruritus
Lainnya

Gambar 2.1 Kerangka teori
Universitas Sumatera Utara

2.7 Kerangka Konsep
Dari landasan teori yang telah diuraikan dapat disusun kerangka konsep
penelitian sebagai berikut:

Lama menjalani
Hemodialisis

Skor Pruritus
(Pruritus Uremikum)

Gambar 2.2 Kerangka konsep

2.8 Hipotesis
Terdapat hubungan lama menjalani hemodialisis dan skor pruritus pada
pasien-pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUP Haji
Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara