Hubungan Faktor Eksternal Dengan Kadar Enzim Kolinesterase Pada Penyemprot Pestisida Di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau PTPN II Tahun 2017

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Pestisida

2.1.1

Pengertian Pestisida

Pestisida adalah subtansi yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan
berbagai hama. Pestisida berasal dari kata pest, yang berarti hama dan sida yang
berasal dari kata caedo berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara
sederhana sebagai pembunuh hama. USEPA dalam Soemirat menyatakan
pestisida sebagai zat atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah
memusnahkan, menolak, atau memusuhi hama dalam bentuk hewan, tanaman,
dan mikroorganisme pengganggu. Pestisida adalah racun yang sengaja dibuat
oleh manusia untuk membunuh organisme pengganggu tanaman dan insekta
penyebar penyakit (Soemirat, 2003).
2.1.2


Formulasi Pestisida

Bahan terpenting dalam pestisida yang bekerja aktif terhadap hama sasaran
disebut bahan aktif. Produk jadi yang merupakan campuran fisik antara bahan
aktif dan bahan tambahan yang tidak aktif dinamakan formulasi. Formulasi
sangat menentukan bagaimana pestisida dengan bentuk dan komposisi tertentu
harus digunakan, berapa dosis atau takaran yang harus digunakan, berapa
frekuensi dan interval penggunaan, serta terhadap jasad sasaran apa pestisida
dengan formulasi tersebut dapat digunakan secara efektif. Selain itu, formulasi
pestisida juga menentukan aspek keamanan penggunaan pestisida dibuat dan
diedarkan dalam banyak macam formulasi, sebagai berikut (Djojosumarto, 2008)

Universitas Sumatera Utara

Formulasi Padat
a.

Wettable Powder (WP), merupakan sediaan bentuk tepung (ukuran

partikel beberapa mikron) dengan aktivitas bahan aktif relatif tinggi (50 – 80%),

yang jika dicampur dengan air akan membentuk suspensi. Pengaplikasian WP
dengan cara disemprotkan.
b.

Soluble Powder (SP), merupakan formulasi berbentuk tepung yang jika

dicampur air akan membentuk larutan homogen. Digunakan dengan cara
disemprotkan.
c.

Butiran, umumnya merupakan sediaan siap pakai dengan konsentrasi

bahan aktif rendah (sekitar 2%). Ukuran butiran bervariasi antara 0,7 – 1 mm.
Pestisida butiran umumnya digunakan dengan cara ditaburkan di lapangan (baik
secara manual maupun dengan mesin penabur).
d.

Water Dispersible Granule (WG atau WDG), berbentuk butiran tetapi

penggunaannya sangat berbeda. Formulasi WDG harus diencerkan terlebih dahulu

dengan air dan digunakan dengan cara disemprotkan.
e.

Soluble Granule (SG), mirip dengan WDG yang juga harus diencerkan

dalam air dan digunakan dengan cara disemprotkan bedanya, jika dicampur
dengan air, SG akan membentuk larutan sempurna.
f.

Tepung hembus, merupakan sediaan siap pakai (tidak perlu dicampur

dengan air) berbentuk tepung (ukuran partikel 10 – 30 mikron) dengan
konsentrasi bahan aktif rendah (2%) digunakan dengan cara dihembuskan
(dusting).

Universitas Sumatera Utara

1.

Formulasi Cair


a.

Emulsifiable Concentrate atau Emulsible Concentrate (EC), merupakan

sediaan berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan kandungan bahan aktif yang
cukup tinggi. Oleh karena menggunakan solvent berbasis minyak, konsentrat ini
jika dicampur dengan air akan membentuk emulsi (butiran benda cair yang
melayang dalam media cair lainnya). Bersama formulasi WP, formulasi EC
merupakan formulasi klasik yang paling banyak digunakan saat ini.
b.

Water Soluble Concentrate (WCS), merupakan formulasi yang mirip

dengan EC, tetapi karena menggunakan sistem solvent berbasis air maka
konsentrat ini jika dicampur air tidak membentuk emulsi, melainkan akan
membentuk larutan homogen. Umumnya formulasi ini digunakan dengan cara
disemprotkan.
c.


Aquaeous Solution (AS), merupakan pekatan yang bisa dilarutkan dalam

air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk AS umumnya berupa pestisida yang
memiliki kelarutan tinggi dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk ini
digunakan dengan cara disemprotkan.
d.

Soluble Liquid (SL), merupakan pekatan cair. Jika dicampur air, pekatan

cair ini akan membentuk larutan. Pestisida ini juga digunakan dengan cara
disemprotkan.
e.

Ultra

Low

Volume

(ULV),


merupakan

sediaan

khusus

untuk

penyemprotan dengan volume ultra rendah, yaitu volume semprot antara 1 – 5
liter/hektar.

Formulasi

ULV

umumnya

berbasis


minyak

karena

untuk

Universitas Sumatera Utara

penyemprotan dengan volume ultra rendah digunakan butiran semprot yang
sangat halus.
2.

Kode Formulasi pada Nama Dagang
Bentuk formulasi dan kandungan bahan aktif pestisida dicantumkan di

belakang nama dagangnya. Adapun prinsip pemberian nama dagang yaitu:
a.

Jika diformulasi dalam bentuk padat, angka di belakang nama dagang


menunjukkan kandungan bahan aktif dalam persen. Sebagai contoh herbisida
Karmex 80 WP mengandung 80% bahan aktif. Pestisida Furadan 3G berarti
mengandung bahan aktif 3%.
b.

Jika diformulasi dalam bentuk cair, angka di belakang nama dagang

menunjukkan jumlah gram atau mililiter (ml) bahan aktif untuk setiap liter
produk. Sebagai contoh, fungisida Score 250 EC mengandung 250 ml bahan aktif
dalam setiap liter produk Score 250 EC.
c.

Jika produk tersebut mengandung lebih dari satu macam bahan aktif maka

kandungan bahan-bahan aktifnya dicantumkan semua dan dipisahkan dengan
garis miring. Sebagai contoh, fungisida Ridomil Gold MZ 4/64 WP mengandung
bahan bahan aktif Metalaksil-M 4% dan Mankozeb 64% dan diformulasikan
dalam bentuk WP.
2.1.3


Klasifikasi Pestisida

Pestisida dapat diklasifikasikan berdasarkan organisme target dan cara kerjanya,
yaitu:
a.

Insektisida

Universitas Sumatera Utara

Inseksida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang
bisa mematikan semua jenis serangga. Menurut Djojosumarto (2008), insektisida
dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan ―cara kerja‖ atau gerakannya pada
tanaman setelah diaplikasikan, yaitu:
1.

Insektisida sistemik

Insektisida sistemik diserap oleh organ-organ tanaman, baik lewat akar, batang
atau daun.

2.

Insektisida nonsistemik

Insektisida nonsistemik setelah diaplikasikan (misalnya disemprotkan) pada
tanaman sasaran tidak diserap oleh jaringan tanaman, tetapi hanya menempel di
bagian luar tanaman.
3.

Insektisida sistemik lokal
Insektisida sistemik lokal adalah kelompok insektisida yang dapat diserap

oleh jaringan tanaman (umumnya daun), tetapi tidak ditranslokasikan ke bagian
tanaman lainnya. Cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga sasaran
dibedakan menjadi tiga kelompok insektisida sebagai berikut:
1.

Racun lambung (Stomach poison)
Racun lambung (stomach poison) adalah insektisida-insektisida yang


membunuh serangga sasaran bila insektisida tersebut masuk ke dalam organ
pencernaan serangga dan diserap oleh dinding saluran pencernaan.
2.

Racun kontak

Universitas Sumatera Utara

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga
lewat kulit (bersinggungan langsung). Serangga hama akan mati bila
bersinggungan (kontak langsung) dengan insektisida tersebut.
Racun pernapasan
Racun pernapasan adalah insektisida yang bekerja lewat saluran pernapasan.
Serangga hama akan mati bila menghirup insektisida dalam jumlah yang cukup.
a.

Fungisida

Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa
digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan. Cendawan ini
merusak tanaman dengan berbagai cara. Fungisida umumnya dibagi menurut cara
kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasikan, yakni fungisida non
sistemik, sistemik, sistemik lokal.
b.

Herbisida
Herbisida adalah pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma

atau tumbuhan pengganggu yang tidak di kehendaki. Karena herbisida aktif
terhadap tumbuhan, maka herbisida bersifat fitotoksik. Pergerakan herbisida
masuk ke dalam tubuh tanaman dengan dua cara kerja, yaitu:
1.

Herbisida selektif, walaupun diaplikasikan pada tumbuhan tetapi hanya

mematikan gulma dan relative tidak mengganggu tanaman yang dibudidayakan.
2.

Herbisida nonselektif ialah herbisida yang diberikan lewat tanah atau daun

yang dapat mematikan hampir semua jenis tumbuhan (termasuk tumbuhan
pokok),

misalnya

glifosat,

glufosinat,

dan

paraquat.Herbisida

juga

Universitas Sumatera Utara

dikelompokkan

menurut

bidang

sasarannya,

kemana

herbisida

tersebut

diaplikasikan, yakni sebagai berikut:
1.

Herbisida tanah (soil acting herbicides), yakni herbisida yang aktif di

tanah dan bekerja dengan menghambat perkecambahan gulma. Contoh herbisida
tanah adalah herbisida kelompok urea.
2.

Herbisida yang aktif pada gulma yang tumbuh. Herbisida jenis ini dapat

dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a.

Herbisida kontak, Herbisida yang membunuh jaringan gulma yang terkena

langsung oleh herbisida tersebut. Contoh herbisida kontak ini adalah propanil
paraquat, dan diquat.
b.

Herbisida yang ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma (sistemik) yang

disebut pula translocated herbicides. Karena sifatnya yang sistemik, herbisida ini
mampu membunuh jaringan gulma yang berada dibawah tanah (rimpang, umbi).
Contoh herbisida ini adalah metil metsulfuron, 2,4 D, dan glifosat.
c.

Bakterisida
Bakterisida mengandung bahan aktif yang bisa membunuh bakteri.

Bakterisida biasanya bekerja dengan cara sistemik karena bakteri melakukan
perusakan dalam tubuh inang.
d.

Nematisida
Nematoda yang berperan sebagai hama dibedakan menjadi:

1.

Nematoda semi-endoparasit yang memasukkan kepalanya dalam akar

tanaman tetapi bagian badannya di luar akar.

Universitas Sumatera Utara

2.

Nematoda ektoparasit yang hidup di luar akar tanaman namun dengan

stiletnya mampu menghisap cairan akar tanaman.
3.

Nematoda endoparasit merupakan nematoda yang hidup sepenuhnya di

dalam akar tanaman.
e.

Akarisida
Akarisida atau sering juga disebut dengan mitisida adalah bahan yang

mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk membunuh tungau,
caplak, dan laba-laba. Bagian tanaman yang diserang adalah daun, batang, dan
buah. Contoh akarisida yaitu Kelthene MF dan Trithion 4 E.
f.

Rodentisida
Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang

digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat misalnya tikus.
Contohnya Diphacin 110, Kleret RMB, Racumin, Ratikus RB, Ratilan, Ratak dan
Gisorin.
2.1.4

Klasifikasi Pestisida Menurut Rumus Kimia
Atas dasar rumus kimia pestisida dapat diklasifikasikan menjadi

(Soemirat, 2003):
a.

Pestisida Golongan Organoklorin
Pestisida ini sedikit digunakan di negara berkembang. Sifat dari pestisida

ini adalah senyawa yang tidak reaktif, memiliki sifat yang tahan atau persisten
baik dalam tubuh maupun lingkungan dan memiliki kelarutan yang sangat tinggi
dalam lemak dan memiliki kemampuan terdegradasi yang lambat. Organoklorin
dibagi dalam beberapa bagian yaitu diklorodifenil etan (DDT, DDD, portan,

Universitas Sumatera Utara

metoksiklor, metioklor), siklodin (aldrin, dieldrin, heptaklor, chlordane dan
endosulfan) dan sikloheksan benzene terklorinasi (HCB, HCH). Semua
organoklorin merupakan racun saraf. DDT disintesis oleh Othmar Zeidler pada
tahun 1873, namun efeknya baru ditemukan oleh Paul Muller pada tahun 1939.
Oleh karena efikasinya yang sangat baik, DDT menjadi sangat terkenal di bidang
pertanian dan kesehatan masyarakat. DDT sempat dijuluki the wonder chemical,
bahan kimia ajaib yang menyelamatkan ribuan hektar tanaman dari serangan
hama serangga. DDT juga menyelamatkan jutaan orang dari penyakit malaria dan
tifus dengan mengendalikan serangga penularnya (Sartono, 2002).
b.

Pestisida Golongan Piretroid
Pada tahun 1970-an, senyawa piretroid menjadi buruan para ahli kimia

perlindungan tanaman. Piretrum adalah pestisida alami yang merupakan ekstrak
dari bunga chrysanthemum, Phyretrum cinerariaefollium (Dalmantian insect
flower). Piretroid memiliki beberapa keunggulan diantaranya diaplikasikan
dengan takaran relatif sedikit, spectrum pengendaliannya luas, tidak persisten dan
memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik.
Tonggak penting lainnya dalam sejarah pengembangan piretroid adalah
diluncurkannya sipermetrin, deltametrin dan fenvalerat yang memiliki rantai
sianida dalam struktur molekulnya. Sipermetrin dan deltametrin dikembangkan
oleh Rothamsted Experiment Station, sedangkan fenvalerat oleh Sumitomo.
Ketiganya merupakan pestisida piretroid terkuat dan dipresentasikan secara
bersamaan

untuk

pertama

kalinya

pada

konferensi

pestisida

yang

diselenggarakan.

Universitas Sumatera Utara

IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) pada tahun 1974.
Piretroid merupakan racun saraf meskipun toksisitasnya jarang terlihat pada
manusia. Gejala keracunan akibat pestisida ini adalah parestesia (kebal,
kesemutan pada kulit), eksitasi saraf, tremor, konvulsi, paralisis dan kematian
(Raini, 2007).
c.

Pestisida Golongan Organofosfat
Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama

Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang.
Pada tahun 1937, Schrader menyusun struktur dasar organofosfat. Meskipun
organofosfat pertama telah disintesis pada 1944, struktur dasar organofosfat baru
dipublikasikan pada tahun 1948 (Djojosumarto, 2008).
Pestisida golongan organofosfat banyak digunakan karena sifat-sifatnya
yang menguntungkan. Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam
tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai racun
kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Dengan takaran yang rendah
sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah
terurai.
Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat
dengan gas syaraf. Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara
lain (Sastroutomo, 2002):
1.

Asefat, diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk

mengendalikan hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids,
thrips. larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng. LD50

Universitas Sumatera Utara

(tikus) sekitar 1.030 – 1.147 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) >10.000 mg/kg
menyebabkan iritasi ringan pada kulit (kelinci).
2.

Kadusafos, merupakan pestisida racun kontak dan racun perut. LD50

(tikus) sekitar 37,1 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak menyebabkan
iritasi kulit dan tidak menyebabkan iritasi pada mata.
3.

Klorfenvinfos, diumumkan pada tahun 1962. Pestisida ini bersifat

nonsistemik serta bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek
residu yang panjang. LD50 (tikus) sekitar 10 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 31 – 108
mg/kg.
4.

Klorpirifos, merupakan pestisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965,

serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi. LD50 oral (tikus)
sebesar 135 – 163 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg berat badan.
5.

Kumafos, ditemukan pada tahun 1952. Pestisida ini bersifat non-sistemik

untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 – 41
mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 860 mg/kg.
6.

Diazinon, pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan

pestisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek
inhalasi. Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed
treatment). LD50 oral (tikus) sebesar 1.250 mg/kg.
7.

Diklorvos, dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Pestisida ini

bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun
inhalasi. Diklorvos memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di

Universitas Sumatera Utara

bidang-bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta pestisida rumah tangga.
LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.
8.

Malation, diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pestisida

yang dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang
beracun bagi serangga. Pestisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun kontak
dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga
digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor
penyakit. LD50 oral (tikus) 1.375 – 2.800 mg/lg; LD50 dermal (kelinci) 4.100
mg/kg.
9.

Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan pestisida pertama

yang digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure
yang disarankan oleh Schrader. Paration merupakan pestisida memiliki mode of
action sebagai racun saraf yang menghambat kolinesterase, bersifat nonsistemik,
serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan racun inhalasi. Paration
termasuk pestisida yang sangat beracun, LD50 (tikus) sekitar 2 mg/kg; LD50
dermal (tikus) 71 mg/kg.
10.

Profenofos, ditemukan pada tahun 1975. Pestisida non-sistemik ini

memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk
mengendalikan berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50
(tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 472 mg/kg.
11.

Triazofos, ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan pestisida

berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Triazofos
bersifat non-sistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam jaringan tanaman

Universitas Sumatera Utara

(translaminar) dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat
dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 57– 59 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000
mg/kg.
d.

Pestisida Golongan Karbamat
Kongres Entomologi Internasional ke-9 (1951), diumumkan dua jenis

pestisida baru dari kelompok kimia yang baru pula. Kedua pestisida tersebut
adalah dimetan dan pirolan dari kelompok karbamat. Dengan demikian, era
karbamat mulai mendominasi pada tahun 1950-an, disamping organofosfat
(Djojosumarto, 2008).
Pestisida dari golongan karbamat adalah racun saraf yang bekerja dengan cara
menghambat kolinesterase. Pestisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai
di lingkungan dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Karbamat juga
merupakan pestisida yang banyak anggotanya. Beberapa jenis pestisida karbamat
antara lain (Sartono, 2002):
a.

Aldikarb, merupakan pestisida sistemik yang cepat diserap oleh akar dan

ditransportasikan secara akropetal. Aldikarb merupakan pestisida yang paling
toksik, dengan LD50 (tikus) sekitar 0,93 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 20 mg/kg.
b.

Benfurakarb, merupakan pestisida sistemik yang bekerja sebagai racun

kontak dan racun perut serta diaplikasikan terutama sebagai pestisida tanah. LD50
(tikus) 205,4 (jantan) – 222,6 (betina) mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000
mg/kg.
c.

Karbaril, merupakan karbamat pertama yang sukses di pasaran. Karbaril

bertindak sebagai racun perut dan racun kontak dengan sedikit sifat sistemik.

Universitas Sumatera Utara

Salah satu sifat unik karbaril yaitu efeknya sebagai zat pengatur tumbuh dan sifat
ini digunakan untuk menjarangkan buah pada apel. LD50 (tikus) sekitar 500 (b) –
850 (j) mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 4.000 mg/kg.
d.

Fenobukarb (BPMC), merupakan pestisida non-sistemik dengan kerja

sebagai racun kontak. Nama resmi pestisida ini adalah fenobukarb, tetapi di
Indonesia lebih dikenal dengan BPMC yang merupakan singkatan dari nama
kimianya, yaitu buthylphenylmethyl carbamate. LD50 (tikus) sekitar 623 (j) – 657
(b) mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 10.250 mg/kg.
e.

Metiokarb, nama umum lainya adalah merkaptodimetur. Pestisida ini

digunakan sebagai racun kontak dan racun perut. LD50 (tikus) sebesar 20 mg/kg;
LD50 dermal (tikus) > 5.000 mg/kg.
f.

Propoksur, digunakan sebagai pestisida rumah tangga (antara lain untuk

mengendalikan nyamuk dan kecoa), kesehatan masyarakat, dan kesehatan hewan.
LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 5.000 mg/kg.
2.1.5

Toksisitas Pestisida

Toksisitas adalah kemampuan suatu bahan kimia untuk merusak suatu jaringan,
organ, atau sistem tubuh. Dalam kondisi tertentu setiap zat kimia dapat menjadi
toksik terhadap makhluk hidup. Misalnya, zat kimia yang sangat toksik dengan
dosis yang sangat kecilpun akan menimbulkan kerusakan jaringan pada makhluk
hidup, sebaliknya, zat kimia yang kurang toksik tidak akan menimbulkan
gangguan walaupun makhluk hidup terpajan dengan dosis yang besar. (Harianto,
2009).

Universitas Sumatera Utara

Toksisitas (toxicity) atau daya racun pestisida adalah sifat bawaan pestisida yang
menggambarkan potensi pestisida untuk menimbulkan kematian langsung (atau
bahaya lainnya) pada hewan tingkat tinggi, termasuk manusia. Toksisitas
dibedakan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik dan toksisitas subkronik.
Toksisitas akut merupakan pengaruh yang merugikan yang timbul segera setelah
pemaparan dengan dosis tunggal suatu bahan kimia atau pemberian dosis ganda
dalam waktu kurang dari 24 jam. Toksisitas akut dinyatakan dalam angka LD50,
yaitu dosis yang bisa mematikan (lethal dose) 50% dari binatang uji (umumnya
tikus) yang dihitung dalam mg/kg. LD50 merupakan indikator daya racun yang
utama, di samping indikator lain. Dibedakan antara LD50 oral (lewat mulut) dan
LD50 dermal (lewat kulit). LD50 oral adalah potensi kematian yang terjadi pada
hewan uji jika senyawa kimia tersebut termakan, sedangkan LD50dermal adalah
potensi kematian jika hewan uji kontak langsung lewat kulit dengan racun
tersebut. Jika dinyatakan bahwa angka LD50 oral dari fenvalerat (suatu
insektisida) adalah 451 mg/kg berat badan, hal tersebut menunjukkan bahwa dari
sekelompok tikus yang masing-masing diberi makan 451 miligram fenvalerat
untuk setiap kg berat badan tikus, maka 50 % dari tikus-tikus tersebut akan mati.
Sementara angka LD50 oral kaptan (suatu fungisida) adalah 9.000 mg/kg berat
badan menunjukkan hewan uji mati jika masing-masing diberi 9.000 mg kaptan
per kg berat badan. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa fenvarelat lebih
beracun dibandingkan kaptan. Jadi, semakin kecil angka LD50 maka pestisida
akan semakin toksik atau beracun Toksisitas kronik adalah pengaruh merugikan
akibat pemberian takaran harian berulang dari pestisida, bahan kimia, atau bahan

Universitas Sumatera Utara

lainnya atau pemaparan dengan bahan-bahan tersebut yang berlangsung cukup
lama (biasanya lebih dari 50 % rentang hidup). Sementara toksisitas sukronik
mirip dengan toksisitas kronik, tetapi untuk rentang waktu yang lebih pendek,
sekitar 10% dari rentang hidupnya, atau untuk hewan percobaan dengan
pemaparan selama 3 bulan (Djojosumarto, 2008).
Tabel 2.1 Klasifikasi tingkat bahaya pestisida menurut WHO
Kelas Bahaya
LD50 untuk tikus (mg kg berat badan)
Melalui mulut (Oral)
Melalui
kulit
(dermal)
Padat
Cair
Padat
Cair
4000
(slightly hazardous)
WHO dalam Djojosumarto, 2008.
2.1.6

Metode Aplikasi Pestisida dan Petunjuk penggunaannya

2.1.6.1 Metode Aplikasi Pestisida
Pestisida diaplikasikan dengan berbagai cara. Cara-cara mengaplikasikan
pestisida diantaranya adalah sebagai berikut:
a.

Penyemprotan (Spraying)
Penyemprotan (Spraying) adalah penyemprotan pestisida yang paling

banyak dipakai oleh para penyemprot. Diperkirakan, 75% penggunaan pestisida
dilakukan dengan cara disemprotkan, baik penyemprotan di darat (ground
spraying)

maupun

penyemprotan

diudara

(aerial

spraying).

Dalam

penyemprotan, larutan pestisida (pestisida ditambah air) dipecah oleh noozle

Universitas Sumatera Utara

(cerat, sprayer) atau atomizer yang terdapat dalam bentuk penyemprot (sprayer)
menjadi butiran semprot atau droplet.
Menurut Wudianto (2007), alat yang digunakan dalam aplikasi pestisida
tergantung formulasi yang digunakan. Pestisida yang berbentuk butiran (granula)
untuk menyebarkan tidak membutuhkan alat khusus, cukup dengan ember atau
alat lainnya yang bisa digunakan untuk menampung pestisida tersebut dan sarung
tangan agar tangan tidak berhubungan langsung dengan pestisida. Pestisida
berwujud cairan Emulsible Concentrate (EC) atau bentuk tepung yang dilarutkan
Wettable Powder (WP) atau Soluble Powder (SP) dan Soluble Liquid (SL)
memerlukan alat penyemprot untuk menyebarkan. Sedangkan pestisida yang
berbentuk tepung hembus bisa digunakan alat penghembus. Pestisida berbentuk
fumigan dapat diaplikasikan dengan alat penyuntik pohon kelapa untuk jenis
insektisida yang digunakan memberantas penggerek batang.
Alat penyemprot yang biasa digunakan yaitu alat semprot gendong
(Knapsack Solo), pengabut bermotor tipe gendong (Power Mist Blower and
Duster), mesin penyemprot tekanan tinggi (High Pressure Power Sprayer), dan
jenis penyemprot lainnya. Penggunaan alat penyemprot ini disesuaikan dengan
kebutuhan terutama yang berkaitan dengan luas areal pertanian sehingga
pemakaian pestisida menjadi efektif.
Sewaktu mempersiapkan pestisida yang akan disemprotkan, pilihlah
tempat yang sirkulasi udaranya lancar. Di tempat tertutup, pestisida yang berdaya
racun tinggi terlebih yang mudah menguap, dapat mengakibatkan keracunan

Universitas Sumatera Utara

melalui pernapasan. Langkah-langkah dalam mempersiapkan pestisida adalah
sebagai berikut:
1.

Buka kemasan dengan hati-hati agar pestisida tidak berhamburan atau

memercik mengenai bagian tubuh.
2.

Tuang pestisida ke dalam gelas ukur, timbangan, atau alat ukur lainnya.

3.

Masukkan dalam ember khusus tempat pencampuran pestisida yang sudah

di isi air terlebih dahulu. Jumlah air disesuaikan dengan konsentrasi formulasi
yang dianjurkan. Usahakan jangan mencampur pestisida di dalam tangki
penyemprot, karena tidak dapat dipastikan apakah pestisida dan air telah
tercampur sempurna atau belum. Campuran yang tidak sempurna akan
mengurangi keefektifannya.
4.

Aduk dengan kayu sampai merata.

5.

Masukkan cairan ke dalam tangka penyemprot.

Waktu yang baik untuk penyemprotan adalah pada waktu terjadinya aliran udara
naik (thermik) yaitu pada pukul 08.00-11.00 WIB atau sore hari pada pukul
15.00-18.00 WIB. Penyemprotan terlalu pagi atau terlalu sore akan
mengakibatkan pestisida yang menempel pada bagian tanaman akan terlalu lama
mengering dan mengakibatkan tanaman yang disemprot keracunan. Selain itu,
penyemprotan yang terlalu pagi biasanya daun masih berembun sehingga
pestisida yang disemprotkan tidak bisa merata ke seluruh permukaan daun.
Sedangkan

penyemprotan

yang

dilakukan

saat

matahari

terik

akan

mengakibatkan pestisida mudah menguap dan mengurai oleh sinar matahari
(Djojosumarto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

b.

Pengasapan (Fogging)
Pengasapan (fogging) adalah penyemprotan pestisida dengan volume ultra

rendah dengan menggunakan ukuran droplet yang sangat halus. Perbedaan
dengan cara penyemprotan biasa adalah pada fogging (thermal fogging, hot fog)
campuran pestisida dan solvent (umumnya minyak) dipanaskan sehingga menjadi
semacam kabut asap (fog) yang sangat halus. Fogging banyak dilakukan untuk
mengendalikan hama gudang, hama tanaman perkebunan dan pengendalian
vector penyakit di lingkungan.
c.

Penghembusan (Dusting)
Penghembusan (dusting) adalah aplikasi produk pestisida yang di

formulasi sebagai tepung hembus dengan menggunakan alat penghembus
(duster).
d.

Penaburan Pestisida Butiran (Granule Distibution, Broadcasting)
Penaburan pestisida butiran (granule distribution, broadcasting) adalah

penaburan pestisida butiran yang merupakan khas untuk mengaplikasikan
pestisida berbentuk butiran. Penaburan dapat dilakukan dengan tangan atau
mesin penabur (granule broadcaster).
e.

Fumingasi (Fumingation)
Fumigasi (Fumigation) adalah aplikasi pestisida fumigant, baik berbentuk

padat, cair, maupun gas dalam ruangan tertutup. Fumigasi umumnya digunakan
untuk melindungi hasil panen (misalnya biji-bijian) dari kerusakan karena hama
atau penyakit di tempat penyiraman. Fumigant dimasukkan kedalam ruangan

Universitas Sumatera Utara

gudang yang selanjutnya akan membentuk gas (bagi fumigant cair atau padat)
beracun untuk membunuh OPT sasaran dalam ruangan tersebut.
f.

Injeksi (Injection)
Injeksi (injection) adalah penggunaan pestisida dengan cara dimasukkan

kedalam batang tanaman, baik dengan alat khusus maupun dengan member
batang tanaman tersebut. pestisida yang diinjeksikan diharapkan akan tersebar ke
seluruh bagian tanaman melalui aliran cairan tanaman, sehingga OPT sasaran
akan terkendali. Teknik injeksi juga digunakan untuk sterilisai tanah.
g.

Penyiraman (Drenching, Pouring On)
Penyiraman adalah penggunaan pestisida dengan cara dituangkan di

sekitar akar tanaman untuk mengendalikan hama atau penyakit di daerah
perakaran atau dituangkan pada sarang semut.
2.7.1.2 Petunjuk Penggunaan Pestisida
Untuk menggunakan pestisida harus diingat beberapa hal yang harus
diperhatikan (Sastroutomo, 2002):
1.

Sebaiknya makan dan minum secukupnya sebelum bekerja dengan

pestisida.
2.

Mengikuti petunjuk yang tercantum dalam label.

3.

Anak-anak tidak diperkenankan menggunakan pestisida, demikian pula

wanita hamil dan orang yang tidak baik kesehatannya.
4.

Apabila terjadi luka, tutuplah luka tersebut, karena pestisida dapat terserap

melalui luka.

Universitas Sumatera Utara

5.

Gunakan perlengkapan khusus, pakaian lengan panjang dan kaki, sarung

tangan, sepatu kebun, kacamata, penutup hidung dan rambut dan atribut lain yang
diperlukan.
6.

Jangan mencium pestisida, karena pestisida sangat berbahaya apabila

tercium.
7.

Sebaiknya pada waktu pengenceran atau pencampuran pestisida dilakukan

di tempat terbuka dengan menggunakan alat-alat yang bersih dan alat khusus.
8.

Dalam mencampur pestisida sesuaikan dengan takaran yang dianjurkan.

9.

Tidak diperkenankan mencampur pestisida lebih dari satu macam, kecuali

dianjurkan.
10.

Jangan menyemprot atau menabur pestisida pada waktu akan turun hujan,

cuaca panas, angin kencang dan arah semprotan atau sebaran berlawanan arah
angina.
11.

Wadah bekas pestisida harus dirusak, dibenamkan, dibakar.

12.

Pasanglah tanda peringatan di tempat yang baru diperlakukan dengan

pestisida.
13.

Setelah bekerja dengan pestisida, semua peralatan harus dibersihkan,

demikian pula pakaian-pakaian, dan mandilah dengan sabun.
2.2

Cara Masuk Pestisida Ke Tubuh Manusia

Pestisida dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai cara yakni:
kontaminasi memalui kulit (dermal Contamination), terhisap masuk kedalam
saluran pernafasan (inhalation), dan masuk melalui saluran pencernaan makanan
lewat mulut (oral).

Universitas Sumatera Utara

a.

Kontaminasi Melalui Kulit (dermal contamination)
Pestisida yang menempel di permukaan kulit bias meresap masuk ke

dalam tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian kontaminasi lewat kulit
merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi, meskipun tidak seluruhnya
berakhir dengan keracunan akut. Lebih dari 90% kasus keracunan diseluruh
dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Risiko bahaya karena
kontaminasi lewat kulit dipengaruhi oleh faktor sebagai berikut:
1.

Toksistas dermal (dermal LD 50) pestisida yang bersangkutan maka makin

rendah angka LD 50 makin berbahaya.
2.

Konsentrasi pestisida yang menempel pada kulit, yaitu semakin pekat

pestisida maka semakin besar bahayanya.
3.

Formulasi pestisida misalnya formulasi EC dan ULV atau formulasi cair

lebih mudah diserap kulit dari pada formulasi butiran.
4.

Jenis atau bagian kulit yang terpapar yaitu mata misalnya mudah sekali

meresapkan pestisida. Kulit punggung tangan lebih mudah meresapkan pestisida
dari pada kulit telapak tangan.
5.

Luas kulit yang terpapar pestisida yaitu makin luas kulit yang terpapar

makin besar risikonya.
6.

Kondisi fisik yang bersangkutan. Semakin lemah kondisi fisik seseorang,

maka semakin tinggi risiko keracunannya.
Dalam penggunaanya atau aplikasi pestisida, pekerjaan-pekerjaan yang
menimbulkan risiko kontaminasi lewat kulit adalah:

Universitas Sumatera Utara

a.

Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan langsung oleh

droplet atau drift pestisidanya dan menyeka wajah dengan tangan, lengan baju
atau sarung tangan yang terkontaminasi pestisida.
b.

Pencampuran pestisida.

c.

Mencuci alat-alat pestisida.

b.

Terhisap masuk ke dalam saluran pernapasan (inhalation)
Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung

merupakan yang terbanyak kedua sesudah kontaminasi kulit. Gas dan partikel
semprotan yang sangat halus (misalnya, kabut asap dari fogging) dapat masuk
kedalam paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar akan menempel di
selaput lendir hidung atau di kerongkongan. Bahaya penghirupan pestisida lewat
saluran pernapasan juga dipengaruhi oleh LD 50 pestisida yang terhirup dan
ukuran partikel dan bentuk fisik pestisida.Pestisida berbentuk gas yang masuk ke
dalam paru-paru dan sangat berbahaya. Partikel atau droplet yang berukuran
kurang dari 10 mikron dapat mencapai paru-paru, namun droplet yang berukuran
lebih dari 50 mikron mungkin tidak mencapai paru-paru, tetapi dapat
menimbulkan gangguan pada selaput lendir hidung dan kerongkongan. Gas
beracun yang terhisap ditentukan oleh:
1.

Konsentrasi gas di dalam ruangan atau di udara;

2.

Lamanya pemaparan;

3.

Kondisi fisik seseorang (pengguna).
Pekerjaan-pekerjaan yang menyebabkan terjadinya kontaminasi lewat

saluran pernapasan adalah:

Universitas Sumatera Utara

a.

Bekerja dengan pestisida (menimbang, mencampur dan sebagainya) di

ruangan tertutup atau yang ventilasinya buruk.
b.

Aplikasi pestisida berbentuk gas atau yang akan membentuk gas (misalnya

fumigasi), aerosol serta fogging, terutama aplikasi di dalam ruangan; aplikasi
pestisida berbentuk tepung (misalnya tepung hembus) mempunyai risiko tinggi.
c.

Mencampur pestisida berbentuk tepung (debu terhisap pernafasan).

c.

Masuk ke dalam saluran pencernaan makanan melalui mulut (oral)
Peristiwa keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi

dibandingkan dengan kontaminasi kulit. Karacunan lewat mulut dapat terjadi
karena beberapa hal sebagai berikut:
1.

Kasus bunuh diri;

2.

Makan, minum, dan merokok ketika bekerja dengan pestisida;

3.

Menyeka keringat di wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung

tangan yang terkontaminasi pestisida;
4.

Drift (butiran halus) pestisida terbawa angin masuk ke mulut;

5.

Meniup kepala penyembur (nozzle) yang tersumbat dengan mulut,

pembersihan nozzle dilakukan dengan bantuan pipa kecil;
6.

Makanan dan minuman terkontaminasi pestisida, misalnya diangkut atau

disimpan dekat pestisida yang bocor atau disimpan dalam bekas wadah atau
kemasan pestisida;
7.

Kecelakaan khusus, misalnya pestisida disimpan dalam bekas wadah

makanan atau disimpan tanpa label sehingga salah ambil.

Universitas Sumatera Utara

2.3

Keracunan Pestisida

Keracunan pestisida adalah masuknya bahan-bahan kimia kedalam tubuh
manusia melalui kontak langsung, inhalasi, ingesti dan absorpsi sehingga
menimbulkan dampak negatif bagi tubuh. pestisida adalah masuknya bahanbahan kimia kedalam tubuh manusia melalui kontak langsung, inhalasi, ingesti
dan absorpsi sehingga menimbulkan dampak negatif bagi tubuh. Penggunaan
pestisida

dapat

mengkontaminasi

pengguna

secara

langsung

sehingga

mengakibatkan keracunan. Dalam hal ini keracunan dikelompokkan menjadi 3
kelompok yaitu:
a.

Keracunan Akut ringan, menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit

ringan, badan terasa sakit dan diare.
b.

Keracunan akut berat, menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang perut,

sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil dan denyut nadi meningkat,
pingsan.
c.

Keracunan kronis, lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan

menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering
dihubungkan dengan penggunaan pestisida diantaranya: iritasi mata dan kulit,
kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta gangguan saraf, hati, ginjal dan
pernafasan.
Ada 4 macam pekerjaan yang dapat menimbulkan kontaminasi dalam
penggunaan pestisida yakni:
a.

Membawa, menyimpan, dan memindahkan konsentrat pestisida (Produk

pestisida yang belum diencerkan).

Universitas Sumatera Utara

b.

Mencampur pestisida sebelum diaplikasikan atau disemprotkan.

c.

Mengaplikasikan atau menyemprot pestisida.

d.

Mencuci alat-alat aplikasi sesudah aplikasi selesai.
Diantara keempat pekerjaan tersebut diatas yang paling sering

menimbulkan

kontaminasi

adalah

pekerjaan

mengaplikasikan,

terutama

menyemprotkan pestisida. Namun yang paling berbahaya adalah pekerjaan
mencampur pestisida. Saat mencampur, kita bekerja dengan konsentrat (pestisida
dengan kadar tinggi), sedang saat menyemprot kita bekerja dengan pestisida yang
sudah diencerkan.
2.4

Efek Paparan Pestisida terhadap Kesehatan

Semua pestisida mempunyai bahaya potensial terhadap kesehatan. Ada dua tipe
keracunan yaitu keracunan langsung (akut) dan keracunan jangka panjang
(kronis).
1.

Efek Akut
Keracunan akut terjadi bila efek-efek keracunan pestisida dirasakan

langsung. Beberapa gejala keracunan akut adalah sakit kepala, mual, sakit dada,
muntah-muntah, kudis, sakit otot, keringat berlebihan, diare, sulit bernapas,
pandangan kabur. Efek akut dapat dibagi dua yaitu efek local dan efek sistemik.
Efek akut lokal terjadi bila efeknya hanya mempengaruhi bagian tubuh yang
terkena kontak langsung dengan pestisida. Efek akut lokal biasanya berupa
iritasi, seperti rasa kering, kemerahan dan gatal-gatal di mata, hidung,
tenggorokan dan kulit; mata berair dan batuk atau berupa masalah-masalah kulit,
seperti kemerahan, gatal kudis. Gejala yang umum dari keracunan pestisida

Universitas Sumatera Utara

adalah bila kuku berubah warna menjadi hitam atau biru, pada kasus yang serius
kuku akan lepas (Peduto, 1996).
Efek sistemik muncul bila pestisida masuk ke dalam tubuh manusia dan
mempengaruhi seluruh sistem tubuh. Darah akan membawa pestisida ke seluruh
bagian dari tubuh dan mempengaruhi mata, jantung, paru-paru, perut, hati,
lambung, otot, usus, otak dan syaraf. Gejala-gejala keracunan dan berapa cepat
bekerjanya tergantung pada jenis bahan kimia, waktu dan kadar racun dalam
pestisida tersebut.
2.

Efek Kronis

Keracunan kronis terjadi bila efek-efek keracunan membutuhkan waktu untuk
muncul atau berkembang. Efek kronis dapat dibagi dalam beberapa sistem:
a.

Sistem Saraf
Banyak pestisida yang digunakan di bidang pertanian sangat berbahaya

bagi otak dan syaraf. Bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi sistem syaraf
disebut neurotoksin. Beberapa gejala dari penyakit pada otak yang disebabkan
oleh pestisida adalah masalah ingatan yang gawat, sulit berkonsentrasi,
perubahan kepribadian, kelumpuhan, kehilangan kesadaran dan koma.
b.

Hati
Karena hati adalah organ tubuh yang berfungsi menetralkan bahan-bahan

kimia beracun, maka hati itu sendiri sering kali dirusak oleh pestisida. Hal ini
dapat menyebabkan hepatitis.
c.

Sistem Pencernaan Muntah-muntah, sakit perut dan diare adalah gejala

umum dari keracunan pestisida. Banyak orang yang bekerja dengan pestisida

Universitas Sumatera Utara

selama bertahun-tahun mengalami masalah sulit makan. Orang-orang yang
menelan pestisida (baik sengaja atau tidak) efeknya sangat buruk pada perut dan
tubuh secara umum. Pestisida merusak langsung melalui dinding-dinding perut
(Djojosumarto, 2008).
d.

Sistem Kekebalan Tubuh

Reaksi alergi adalah gangguan sistem kekebalan tubuh manusia. Hal ini adalah
reaksi yang diberikan tubuh kita terhadap bahan-bahan asing. Pestisida bervariasi
dalam mengakibatkan reaksi alergi, setiap orang memberi reaksi berbeda untuk
derajat penggunaan pestisida yang berbeda pula. Beberapa jenis pestisida telah
diketahui dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh manusia dengan cara yang
lebih berbahaya. Beberapa jenis pestisida dapat melemahkan kemampuan tubuh
untuk menahan dan melawan infeksi. Ini berarti tubuh kita menjadi lebih mudah
terkena infeksi atau jika telah terjadi infeksi penyakit ini menjadi lebih serius dan
makin sulit untuk disembuhkan (Sutikno, 2002).
e.

Keseimbangan Hormon

Penelitian terhadap hewan menunjukan bahwa pestisida mempengaruhi produksi
hormon dalam tubuh. Hormon adalah bahan kimia yang diproduksi oleh organorgan seperti otak, tiroid, paratiroid, ginjal, adrenalin, testis dan ovarium untuk
mengontrol fungsi-fungsi tubuh yang penting. Beberapa pestisida mempengaruhi
hormon reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan produksi sperma pada
pria atau pertumbuhan telur yang tidak normal pada wanita. Beberapa pestisida
dapat menyebabkan pelebaran tiroid yang akhirnya dapat menyebabkan kanker
tiroid (Afriyanto, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia sampai berdampak buruk bagi
kesehatan dapat melalui berbagai cara seperti:
1.

Melalui Kulit

Hal ini dapat terjadi apabila pestisida terkena pada pakaian atau langsung pada
kulit seperti pada saat penyemprot memegang tanaman yang baru saja disemprot,
penyemprot mencampur pestisida tanpa sarung tangan atau ketika anggota
keluarga mencuci pakaian yang telah terkena pestisida. Untuk penyemprot atau
pekerja lapangan, cara keracunan yang paling sering terjadi adalah melalui kulit
(Rachmawati, 2001).
2.

Melalui Sistem Pernapasan
Hal ini paling sering terjadi pada penyemprot yang menyemprot pestisida

atau pada orang-orang yang ada di dekat tempat penyemprotan. Perlu diingat
bahwa beberapa pestisida yang beracun tidak berbau.
3.

Melalui Mulut
Hal ini terjadi bila seseorang meminum pestisida secara sengaja ataupun

tidak seperti pada saat makan atau minum air yang telah tercemar, makan dengan
tangan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu setelah menyemprot dengan
pestisida.
2.5

Enzim Kolinesterase

2.5.1

Pengertian Enzim Kolinesterase

Kolinesteraseadalah suatu enzim yang terdapat pada cairan seluller, yang
fungsinya menghentikan aksi dari pada achethilcholin dengan jalan menghidrolisa
menjadi cholin dan asam asetat. Achethilcholin (AchE) adalah penghantar saraf

Universitas Sumatera Utara

yang berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf otonom (simpatik dan
parasimpatik), dan sistem saraf somatik. Achethilcholin berperan sebagai
jembatan penyeberangan bagi mengalirnya getaran syaraf. Melalui sistem syaraf
inilah organorgan di dalam tubuh menerima informasi untuk mempergiat atau
mengurangi efektifitas sel. Pada sistem syaraf, stimulan yang diterima dijalankan
melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam betuk impuls. Setelah masuk dalam
tubuh, pestisida golongan organofosfat dan karbamat akan mengikat enzim
kolinesterase, sehingga kolinesterase menjadi tidak aktif dan terjadi akumulasi
achethilcholin. Keadaan tersebut akan menyebabkan gangguan sistem syaraf yang
berupa aktifitas kholinergik secara terus menerus akibat achethilcholin yang tidak
dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala
keracunan hal ini tidak hanya terjadi pada ujung syaraf tetapi juga dalam serabut
syaraf.

Gambar 2.1 Kadar enzim kolinesterase
2.6

Kadar enzim kolinesterase Darah
Kolinesterase adalah enzim (suatu bentuk dari katalis biologik) di dalam

jaringan tubuh yang berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjar dan
sel-sel saraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Asetilkolin merupakan
salah satu jenis neurotransmiter(zat kimia penghantar rangsangan saraf) yang

Universitas Sumatera Utara

paling umum dikenal. Senyawa neurotransmitter ini dapat ditemukan di dalam
sistem saraf organisme vetebrata.
Asetilkolin berperan dalam mentransmisikan sinyal atau rangsangan yang
diterima untuk diteruskan di antara sel-sel saraf yang berdekatan atau pada
sambungan neuromuscular. Ada dua tipe kolinesterasedalam darah yaitu dalam
sel darah merah dan plasma darah. Karena itu ada dua tipe tes kolinesterase.
Karena kedua tes ini memeriksa hal yang berbeda maka akan lebih baik jika
keduanya dilakukan, tetapi jika hanya dapat melakukan satu tes lebih baik
melakukan tes kadar kolinesterase yang ada dalam sel darah merah karena tes
jenis ini dapat memberikan petunjuk pada dokter perawatan yang paling efektif.
Jika kadar enzim kolinesterase jaringan tubuh secara cepat sampai pada tingkat
yang rendah akan berdampak pada bergeraknya serat-serat otot secara sadar
dengan gerakan halus maupun kasar. Penurunan kadar enzim kolinesterasedarah
seseorang itu berkurang karena adanya organofosfat dan karbamat dalam darah
yang akan membentuk senyawa phosphorilated kolinesterase sehingga enzim
kolinesterasetidak dapat berfungsi lagi yang mengakibatkan aktivitas aktif dari
enzim tersebut akan berkurang.
Penyemprot pestisida dapat mengeluarkan air mata yang teriritasi serta
mengalami gerakan otot yang lebih lambat dan lemah. Pestisida golongan
organofosfat dan karbamat adalah racun saraf yang memiliki cara kerja
menghambat kolinesterase. Pada golongan organofosfat hambatan tersebut
bersifat tidak dapat dipulihkan sedangkan pada karbamat hambatan tersebut
bersifat dapat dipulihkan. Jika terjadi keracunan yang disebabkan oleh pestisida

Universitas Sumatera Utara

golongan karbamat, gejalanya sama seperti pada keracunan golongan
organofosfat, tapi lebih mendadak dan tidak lama karena efeknya terhadap enzim
kolinesterase tidak persisten. Meskipun gejala keracunan cepat hilang, tetapi
karena munculnya mendadak dan menghebat dengan cepat maka dapat berakibat
fatal jika tidak segera mendapat pertolongan yang disebabkan oleh depresi
pernafasan. Depresi kadar enzim kolinesterase ini bertahan dalam 2 minggu.
Pemeriksaan ini bisa dilakukan di luar laboratorium dengan menggunakan
tintometer (Sastroutomo, 2002).
2.7

Pemeriksaan Enzim Kolinesterase

Pengukuran enzim ini merupakan petunjuk yang peka untuk melihat fungsi hati.
Jika terjadi penurunan aktivitas dalam serum (bukan kenaikan), hal ini
merupakan petunjuk akan adanya penurunan fungsi hati, terutama fungsi sintesis.
Ada beberpa cara atau metode dalam pemeriksaan kolinesterase, yaitu :
6.2.3.1 Pemeriksaan kolinesterase dengan tintometer kit
Prinsip kerja pengujian adalah darah yang mengandung enzim kolinesterase
membebaskan asam asetat dari acetylcholine sehingga akan merubah pH larutan
(mixture) darah dan indikator.
Kadar enzim kolinesterase dalam darah seseorang dinyatakan dalam
persentase dari kadar enzim kolinesterase dalam darah normal. Standar dari kadar
enzim kolinesterase dalam darah adalah sebagai berikut (Depkes RI, 1992):
1.

75% - 100% (Normal)
Pada tahap ini seseorang masih dianggap normal dan tidak perlu ada

tindakan apa-apa. Namun perlu diuji ulang dalam waktu dekat.

Universitas Sumatera Utara

2.

50% - 75% (Keracunan Ringan)
Pada tahap ini seseorang sudah dianggap keracunan ringan. Jika penderita

dalam keadaan lemah, disarankan untuk beristirahat dan tidak melakukan kontak
dengan pestisida selama 2 minggu. Kemudian perlu diuji ulang sampai kadar
kolinesterasenya normal.
3.

25% - 50% (Keracunan Sedang)
Pada tahap ini seseorang dianggap mengalami keracunan sedang (over

exposure yang sangat serius). Penderita harus beristirahat dan tidak boleh
melakukan kontak dengan pestisida. Penderita perlu melakukan pengujian ulang
untuk mengukur kadar enzim kolinesterasenya. Jika kadar enzim kolinesterasenya
masih belum membaik maka perlu dilakukan tindakan medis.
4.

0% - 25% (Keracunan Berat)
Pada tahap ini seseorang dianggap mengalami keracunan berat (over

exposure yang sangat serius dan berbahaya). Perlu dilakukan pengujian ulang dan
jauhkan dari semua pekerjaan yang berhubungan dengan pestisida. Selain itu
penderita juga perlu memeriksakan diri ke dokter untuk segera diambil tindakan
medis.
2.5.2 Mekanisme Kerja Organosfosfat dan Karbamat dalam Tubuh
Pestisida golongan organosfosfat merupakan jenis pestisida yang sering
digunakan, terutama pada petani sayuran. Selain itu, jenis pestisida organosfosfat
juga merupakan pestisida yang paling beracun jika dibandingkan dengan pestisida
golongan lainnya. Apabila pestisida golongan ini masuk ke dalam tubuh maka
akan

menghambat

aksi

pseudokolinesterase

dalam

plasma

dan

enzim

Universitas Sumatera Utara

kolinesterase dalam sel darah merah. Kolinesterase merupakan enzim yang
berfungsi untuk menghidrolisis acetylcholine menjadi asam asetat dan choline.
Reaksi antara organofosfat dan kolinesterase disebut fosforilase dengan
menghasilkan senyawa ―Phosphorylated Kolinesterase‖ pengikatan antara
organofosfat dan kolinesterase bersifat irreversible. Hal ini merupakan sebabsebab mengapa organofosfat sangat berbahaya. Oleh karena phosphorylated,
enzim ini tidak mampu lagi menghidrolisir asethilcholin, mengakibatkan
achethilcholin tetap dapat kesempatan tinggal dan tertimbun pada tempat-tempat
reseptor, selain itu achethilcholin akan meningkat dan berikatan dengan reseptor
dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal ini mengakibatkan impuls
saraf mengalir terus menerus menyebabkan suatu twitching yaitu bergeraknya
serat-serat otot secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar, mengeluarkan
air mata, pernafasan terhambat dan lemah yang akhirnya mengarah pada
kelumpuhan, tumor pada saat otot-otot sistem pernafasan tidak berfungsi yang
menyebabkan terjadinya kematian (Depkes RI, 1992).
Gejala keracunan yang ditimbulkan oleh organofosfat adalah munculnya
gerakan otot-otot tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak
berkeringat, air liur banyak keluar, mual, pusing, kejang-kejang, muntah-muntah,
detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak nafas, otot tidak bisa digerakkan dan
akhirnya pingsan. Organofosfat dapat terurai di lingkungan dalam waktu ± 2
minggu.

Universitas Sumatera Utara

6.2.3.2 Pemeriksaan kolinesterase dengan metode fotometer
a.

Metode

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan enzim kolinesterase adalah metode
fotometrik.
b.

Prinsip Fotometer

Fotometer

merupakan

alat

yang

digunakan

untuk

mengukur

tingkat

pengabsorpsian energi cahaya oleh suatu sistem kimia sebagai fungsi dari
panjang gelombang. Didalam alat terdapat program, panjang gelombang, dan
faktor untuk masing-masing jenis pemeriksaan, sehingga alat akan mengukur
sampel sesuai dengan jenis pemeriksaan. Sampel yang telah ditambahkan reagen
diaspirasikan oleh pipa khusus. Proses pengetesan dilakukan secara semi
otomatis dan hasil pembacaannya dikonversikan menjadi hasil akhir tes
kuantitatif.
Prinsip Cholinesterase (CHE) mengkatalisis hidrolisis dan butiriltiocolin
menjadi tiokolin menjadi asam butirik.Konsentrasi tiokolin dan asam butirik
ditentukan dari pengukuran jumlah heksasianoferat (III) pada panjang gelombang
405 nm.
a. Preparasi reagen
Work Reagen (WR) : masukkan reagen B kedalam reag

Dokumen yang terkait

Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Gejala Keracunan Pada Penyemprot Pestisida di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2015

7 108 119

Hubungan Faktor Eksternal Dengan Kadar Enzim Kolinesterase Pada Penyemprot Pestisida Di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau PTPN II Tahun 2017

0 0 17

Hubungan Faktor Eksternal Dengan Kadar Enzim Kolinesterase Pada Penyemprot Pestisida Di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau PTPN II Tahun 2017

1 4 3

Hubungan Faktor Eksternal Dengan Kadar Enzim Kolinesterase Pada Penyemprot Pestisida Di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau PTPN II Tahun 2017

0 0 8

Hubungan Faktor Eksternal Dengan Kadar Enzim Kolinesterase Pada Penyemprot Pestisida Di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau PTPN II Tahun 2017

0 0 2

Hubungan Faktor Eksternal Dengan Kadar Enzim Kolinesterase Pada Penyemprot Pestisida Di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau PTPN II Tahun 2017

0 0 16

I. Identitas Pekerja penyemprot - Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Gejala Keracunan Pada Penyemprot Pestisida di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2015

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida 2.1.1 Pengertian Pestisida - Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Gejala Keracunan Pada Penyemprot Pestisida di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2015

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri dengan Gejala Keracunan Pada Penyemprot Pestisida di Perkebunan Kelapa Sawit Tanjung Garbus Pagar Merbau Tahun 2015

0 1 7

HUBUNGAN PEMAKAIAN ALAT PELINDUNG DIRI DENGAN GEJALA KERACUNAN PADA PENYEMPROT PESTISIDA DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TANJUNG GARBUS PAGAR MERBAU PTPN II TAHUN 2015

0 2 16