Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara

56

BAB II
PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG
LARANGAN TERHADAP PERJUDIAN

A. Pengertian Tindak Pidana Judi
Perjudian pada hakikatnya bertentangan dengan norma agama, kesusilaan dan
moral Pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa dan negara dan ditinjau
dari kepentingan nasional. Perjudian mempunyai dampak yang negatif merugikan
moral dan mental masyarakat. 80 Masalah judi merupakan problem sosial yang sulit
ditanggulangi karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia.
Judi atau perjudian menurut Kamus besar Bahasa Indonesia adalah permainan
dengan memakai uang sebagai taruhan. 81 Perjudian adalah permainan yang
menggunakan uang dan/atau barang berharga sebagai taruhan seperti permainan
dadu, kartu, dan lain-lain. 82 Berjudi berarti mempertaruhkan sejumlah uang atau harta
dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan atau untung-untungan dengan tujuan
mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau
harta semula. 83
Pengertian ini mirip dengan yang dirumuskan dalam Pasal 303 KUH Pidana
menentukan tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat


80

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian.
81
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 419.
82
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: balai Pustaka,
2005), hal. 479.
83
Ibid.

41
Universitas Sumatera Utara

57

untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih
atau lebih mahir. Dalam rumusan itu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan

perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang
turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.
Pengertian judi atau perjudian dalam Pasal 303 ayat (3) KUH Pidana
merupakan pengertian yang setelah perubahan yaitu diubah melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian yang menentukan sebagai
berikut:
Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, di mana pada
umumnya kemungkinan mendapatkan untung tergantung pada peruntungan
belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ
termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan
lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau
bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.
Unsur yang paling penting diperhatikan berdasarkan rumusan KUH Pidana
mengenai judi adalah terdapat unsur keuntungan (untung) yang bergantung pada
peruntungan (untung-untungan) atau kemahiran/kepintaran pemain. Selain itu dalam
permainan judi juga melibatkan adanya pertaruhan. 84 Pengertian judi yang
dirumuskan dalam Pasal 303 KUH Pidana menurut R. Soesilo sama dengan istilah
hazardspel artinya permainan judi. 85

84


http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fc475308e6a0/judi, diakses tanggal 8 Januari
2016. Artikel yang ditulis oleh Iman Hadi, berjudul “Permainan Yang Memenuhi Unsur Pidana Judi”,
dipublikasikan di website hukumoniline, Tanggal 9 Juni 2012.
85
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1988), hal. 222.

Universitas Sumatera Utara

58

Pengertian permainan judi dalam istilah hazardspel (Belanda) menurut
referensi lain menyebutnya juga sebagai kansspel yaitu permainan untung-untungan
yang dapat dihukum berdasarkan peraturan yang ada. 86 Judi menurut Henry Campbell
Black dalam bahasa Inggris disebut gamble yang artinya play cards or other games
for money; to risk money on a future event or possible happening, dan yang terlibat
dalam permainan disebut a gamester atau a gambler yaitu, one who plays cards or
other games for money.87
Judi atau perjudian menurut Kartini Kartono adalah pertaruhan dengan

sengaja mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan
menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa,
permainan pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti
hasilnya. 88 Hasil yang tidak pasti dalam permainan itulah yang membuat judi dilarang
karena didasarkan pada untung-untungan belaka.
Dali Mutiara menyebut permainan judi harus diartikan secara luas juga
termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau lainlain pertandingan, atau segala pertaruhan dalam perlombaan-perlombaan yang
diadakan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam perlombaan-perlombaan

86

N.E. algra dan RR.W. Gokkel, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, diterjemahkan
oleh Saleh Adiwinata dkk, (Jakarta: Bina Cipta, 1983), hal. 186. Lihat juga H. Van Der Tas, Kamus
Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Timun Mas, 1961), hal. 132 dan hal. 168.
87
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul : West Publishing. Co, 1991),
hal. 679.
88
Kartini Kartono, Op. cit, hal. 56.


Universitas Sumatera Utara

59

itu. 89 Contoh permianan judi yang disebutkan dalam penjelasan R. Soesilo terhadap
Pasal 303 KUH Pidana tersebut harus diartikan lebih luas lagi, yakni segala
permainan yang memenuhi unsur rumusan tindak pidana judi. Bahkan permainan
yang legal sekalipun bisa menjadi illegal seperti pertandingan sepak bola dan lain-lain
bisa mengarah kepada tindak pidana judi.
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian
menjelaskan beberapa contoh permainan yang termasuk ke dalam perjudian yaitu:
1. Perjudian di Kasino, antara lain terdiri dari: roulette, blackjack, baccarat,
creps, keno, tombola, super ping-pong, lotto fair, satan, paykyu, slot machine
(jackpot), ji si kie, big six wheel, chuc a luck, lempar paser/bulu ayam pada
sasaran atau papan yang berputar (paseran), pachinko, poker, twenty one,
hwa-hwe, dan kiu-kiu.
2. Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain terdiri dari perjudian yang
dilakukan dengan cara: lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran
yang tidak bergerak, lempar gelang, lempar uang (coin), kim, pancingan,

menembak sasaran yang tidak berputar, lempar bola, adu ayam, adu sapi, adu
kerbau, adu domba/kambing, pacu kuda, karapan sapi, pacu anjing, hailai,
mayong/macak, dan erek-erek.
3. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain perjudian yang
dikaitkan dengan kebiasaan seperti: adu ayam, adu sapi, adu kerbau, pacu
kuda, karapan sapi, dan adu domba/kambing.
Menurut penjelasan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1981 ini tidak termasuk dalam perngertian penjelasan Pasal 1 huruf c di atas yaitu
perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain atau yang dikaitkan dengan
kebiasaan apabila kebiasaan yang bersangkutan berkaitan dengan upacara
keagamaan, dan sepanjang hal itu tidak merupakan perjudian. Undang-undang
89

Dali Mutiara, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1962), hal. 220.

Universitas Sumatera Utara

60


menentukan syarat suatu perbuatan masuk dalam kategori tindak pidana judi adalah
sepanjang permainan apapun jenisnya maupun kebiasaan-kebiasaan ritual, dan lainlain tidak digunakan untuk pertaruhan untung-untungan, tidak termasuk tindak pidana
judi. Sebaliknya jika permainan maupun kebiasaan-kebiasaan itu digunakan untuk
pertaruhan untung-untungan, maka perbuatan itu termasuk ke dalam tindak pidana
judi sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang.
Adami Chazawi menjelaskan bahwa suatu permainan yang kemungkinan
memperoleh untung bergantung pada peruntungan atau nasib belaka. Menang atau
kalah dalam arti memperoleh untung atau rugi hanyalah bergantung pada
keberuntungan saja atau secara kebetulan saja. Permainan yang kemungkinan
mendapatkan untung atau kemenangan tersebut sedikit banyaknya bergantung pada
kepandaian dan kemahiran pemainnya. 90
Perbuatan-perbuatan dari permainan biasa menjadi perbuatan yang dilarang
oleh hukum pidana (delik) harus dimaknai secara luas yaitu segala bentuk pertaruhan
tentang keputusan perlombaan lainnya yang tidak diadakan oleh mereka untuk turut
berlomba atau bermain. Misalnya dua orang bertaruh dalam suatu pertandingan sepak
bola antara dua kesebelasan, dimana yang satu bertaruh dengan menebak satu
kesebelasan sebagai pemenangnya dan yang satu pada kesebelasan lainnya. 91
Selain itu juga termasuk segala bentuk pertaruhan lainnya yang tidak
ditentukan atau dengan kata lain tidak ditentukan bentuk pertaruhan itu secara
90


Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2005), hal. 167.
91
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

61

limitatif. Segala bentuk pertaruhan demikian ini dan dengan cara bagaimanapun serta
dalam segala bentuk apapun adalah termasuk perjudian bila dilakukan secara
pertaruhan dan untung-untungan. 92 Seperti permainan kuis untuk mendapatkan
hadiah yang ditayangkan melalui televisi termasuk ke dalam perjudian dalam pasal
ini. Akan tetapi oleh karena penyelenggaraan kuis tersebut telah memperoleh izin dari
pihak yang berwajib, maka kuis tersebut tidak termasuk permainan judi yang dilarang
karena bersifat hiburan dan telah memperoleh izin dari pihak yang berwenang. 93
Pendapat demikian bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun
1974 Tentang Penertiban Perjudian. Pasal 1 ayat (1) PP ini menentukan bahwa

pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik
perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang
dikaitkan dengan alasan-alasan lain.
Ketentuan rumusan dalam Pasal 303 KUH Pidana junto Pasal 303 bis KUH
Pidana dengan Pasal 1 ayat (1) PP dan penjelasan PP ini tidak konsisten, karena
antara rumusan unsur-unsurnya berbeda dengan penjelasannya. Dalam rumusan
unsur-unsurnya dirumuskan secara luas, tetapi contoh-contohnya dalam penjelasan
Pasal 1 ayat (1) PP ini dibatasi secara limitatif. Sangat disayangkan PP ini hanya
menentukan contoh-contoh perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempattempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain sebagaimana di

92
93

Yulia Christy Shintara Aruan, Op. Cit., hal. 17.
Adami Chazawi, Loc. cit.

Universitas Sumatera Utara

62


atas. Sedangkan bila dijabarkan lebih luas makna dari rumusan Pasal 1 ayat (1) PP ini
seharusnya segala bentuk kegiatan apapun yang sifatnya bertaruh untuk memperoleh
untung-untungan harus dilarang.
Pengertian perjudian menurut Pasal 303 ayat (1) KUH Pidana meliputi orang
yang sengaja menyediakan sarana atau memberi kesempatan untuk berbuat judi dan
termasuk bagi orang yang memanfaatkan atau menggunakan sarana itu atau turut
campur berbuat judi. Sedangkan dalam Pasal 27 ayat (2) UUITE terdapat kejanggalan
mendefenisikan pengertian perjudian karena yang dilarang menurut pasal ini adalah
setiap orang atau korporasi yang menyediakan sarana maupun prasarana dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan perjudian. Bila dipahami maksud Pasal 27 ayat (2) UUITE ini berarti tidak
mencakup bagi orang yang mengakses sarana itu untuk bermain judi.

B. Tindak Pidana Judi Merupakan Kejahatan
Pembahasan tentang tindak pidana judi sebagai kejahatan sehubungan dengan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, yang
menyatakan: ”semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan”. Oleh karena itu
dalam bentuk apapun dan dalam kondisi bagaimanapun, judi tetap sebagai kejahatan
dan orang-orang yang terlibat didalamnya, baik langsung maupun tidak langsung

termasuk sebagai penjahat. Tidak boleh ada pengecualian, sebagaimana dibolehkan
bila ada izin yang dimuat dalam Pasal 303 KUH Pidana.

Universitas Sumatera Utara

63

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian
mempertimbangkan tindak pidana judi sebagai kejahatan dengan alasan-alasan antara
lain karena pada hakekatnya perjudian adalah bertentangan dengan agama,
kesusilaan, dan moral pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Ditinjau dari kepentingan nasional,
dampak perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan
mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan juga
menunjukkan, bahwa hasil perjudian yang diperoleh Pemerintah, baik Pusat maupun
Daerah, dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, namun ekses negatifnya
lebih besar daripada ekses positifnya.
Penjudian merupakan salah satu penyakit masyarakat yang manunggal dengan
kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi ke generasi ternyata tidak mudah
diberantas. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban
Perjudian perlu diusahakan agar masyarakat menjauhi melakukan perjudian,
perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya, dan terhindarnya ekses-ekses
negatif yang lebih parah untuk akhirnya dapat berhenti melakukan perjudian.
Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian perlu mengklasifikasikan segala macam bentuk tindak pidana
perjudian sebagai kejahatan, dan memberatkan ancaman hukumannya, karena
ancaman hukuman yang sekarang berlaku ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak
membuat pelakunya jera. Sehingga sangat tidak dapat diterima secara rasional bila
kejahatan diperbolehkan berdasarkan izin. Lagi pula memberikan izin berarti sama

Universitas Sumatera Utara

64

saja melegalkan judi, atau setidak-tidaknya izin dimaksud berdampak pada anggapan
masyarakat kepada Pemerintah berfikir setengah-setangah (tidak serius) dalam
memberantas judi oleh karena diperbolehkannya bila ada izin.
Bambang poernomo memberikan ukuran atas perbedaan kejahatan dan
pelanggaran yaitu kejahatan adalah criminal onrecht dan pelanggaran adalah politie
onrecht. Criminal onrecht itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
kepentingan hukum. Politie onrecht itu merupakan perbuatan yang tidak menaati
larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara. Ada pula
kemungkinan pendapat lain yang memberikan arti criminal onrecht sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan norma-norma menurut kebudayaan atau keadilan yang
ditentukan oleh Tuhan atau membahayakan kepentingan hukum, sedangkan arti
politie onrecht sebagai perbuatan yang pada umumnya menitikberatkan pada
peraturan penguasa atau negara. 94
Kejahatan menurut Bambang poernomo merupakan pemerkosaan terhadap
kepentingan hukum (krengkings delicten) seperti pembunuhan, pencurian dan
sebagainya atau juga membahayakan suatu kepentingan hukum dalam pengertian
yang konkrit (concrete gavaarzettingsdelicten). Sedangkan pelanggaran adalah hanya
membahayakan

kepentingan

hukum

dalam

arti

yang

abstrak

abstracte

fevaarzettingsdelicten). 95

94

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal.

95

Ibid., hal. 97.

96-98.

Universitas Sumatera Utara

65

Kejahatan dan pelanggaran itu dibedakan oleh Bambang poernomo karena
sifat dan hakekatnya berbeda, seperti ukuran perbedaan yang telah diuraikan
terdahulu, akan tetapi ada pula perbedaan kejahatan dan pelanggaran didasarkan atas
ukuran pelanggaran dipandang dari sudut kriminologi tidak begitu berat dibanding
dengan kejahatan. Perbedaan yang demikian itu disebut perbedaan secara kualitatif
dan kuantitatif. 96
Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, maknanya berarti sangat tidak baik,
sangat buruk, sangat jelek yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. B.
Simandjutak menyebut kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan,
tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, dapat menimbulkan kegoncangan dalam
masyarakat. Van Bammelen menyebut kejahatan adalah setiap kelakuan yang bersifat
tercela yang merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam
suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan
menyatakan menolak atas kelakuan itu. J. E. Sahetapy dan Mardjono Reksodipuro
menyebut kejahatan dilekati sifat jahat.97
Sedangkan pelanggaran dalam buku III KUH Pidana juga merupakan tindak
pidana tetapi ancaman sanksinya lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Jika
seseorang melanggar atau tidak patuh terhadap ketentuan ini disebut dengan
pelanggaran. Misalnya melanggar rambu-rambu lalu lintas, tidak tepat disebut

96
97

Ibid., hal. 98.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipa, 2002), hal. 71-72.

Universitas Sumatera Utara

66

sebagai kejahatan rambu-rambu lalu lintas, karena tidak patuh terhadap rambu-rambu
lalu lintas bukan sebagai kejahatan tetapi pelanggaran.
Pelanggaran hukum adalah perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai
suatu tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai suatu delik yang
berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang
diperintahkan atau yang diharuskan oleh undang-undang. Contoh lain dari
pelanggaran adalah jika seseorang tidak mau menolong orang yang membutuhkan
pertolongan sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUH Pidana, maka ia disebut
melakukan pelanggaran, bukan melakukan kejahatan.
KUH Pidana telah menentukan tindak pidana yang masuk dalam kelompok
pelanggaran dalam buku III KUH Pidana yaitu pelanggaran tentang keamanan umum
bagi orang dan barang serta kesehatan umum, pelanggaran terhadap ketertiban umum,
pelanggaran terhadap kekuasaan umum, pelanggaran terhadap kedudukan warga,
pelanggaran terhadap orang yang perlu ditolong, pelanggaran terhadap kesopanan,
pelanggaran tentang polisi daerah, pelanggaran dalam jabatan, pelanggaran dalam
pelayaran. 98

C. Pengaturan Hukum Pidana Tentang Larangan Terhadap Perjudian
Pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian dapat
ditemukan dalam perundang-undangan yaitu dalam KUH Pidana, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, Peraturan Pemerintah Nomor 9
98

R. Soesilo, Op. cit, hal. 9.

Universitas Sumatera Utara

67

Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UUITE).
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana)
Pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian berdasarkan
Pasal 303 KUH Pidana menentukan sebagai berikut:
(1) Dengan penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyakbanyaknya dua puluh lima juta rupiah dihukum barang siapa dengan tidak
berhak:
1e Menuntut pencaharian dengan jalan sengaja mengadakan atau memberi
kesempatan untuk main judi, atau sengaja turut campur dalam perusahaan
main judi.
2e Sengaja mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi, atau
sengaja turut campur dalam perusahaan untuk itu, biarpun ada atau tidak
ada perjanjiannya atau caranya apa jugapun untuk memakai kesempatan
itu.
(2) Kalau si tersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya, dapat ia dipecat
dari jabatannya itu.
(3) Yang dikatakan main judi yaitu tiap-tiap permainan, yang mendasarkan
pengharapan buat menang pada umumnya bergantung pada untung-untungan
saja, dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena kepintaran
dan kebiasaan pemain. Yang juga terhitung masuk main judi ialah pertaruhan
tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh
mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian juga segala
pertaruhan yang lain-lain.
Objek larangan dalam Pasal 303 KUH Pidana ini adalah permainan judi yang
dalam bahasa asing disebut juga dengan hazardspel. Menurut R. Soesilo hazardspel
diartikan adalah tiap-tiap permainan yang mendasarkan pengharapan untuk menang
dan pada umumnya bergantung kepada untung-untungan saja, serta juga
pengharapannya menjadi bertambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain.

Universitas Sumatera Utara

68

Hazardspel ini juga diartikan sebagai pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau
permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain. 99
Perlu diketahui bahwa tidak semua permainan masuk ke dalam kategori judi
(hazardspel), akan tetapi sesuai rumusan di dalam Pasal 303 ayat (3) KUH Pidana di
atas menentukan bahwa yang diartikan hazardspel adalah setiap permainan yang
mendasarkan pada pengharapan untuk menang dan bergantung pada untunguntungan, serta pengharapan membuat penghasilan, dan tidak perlu harus pintar dan
terbiasa, dan termasuk membuat penghasilan menjadi berkurang atau rugi akibat
permainan tersebut.
Permainan judi (hazardspel) juga termasuk pertaruhan tentang keputusan
perlombaan atau permainan lainnya yang tidak diadakan oleh mereka yang turut
berlomba atau bermain atau termasuk segala bentuk pertaruhan dalam bentuk lainlain. Orang yang tidak ikut melakukan judi tetapi jika turut berada dan menyediakan
kesempatan kepada orang lain untuk berbuat judi menurut ketentuan Pasal 303 ayat
(1) huruf b KUH Pidana juga termasuk dalam pasal ini. Dengan kata lain tidak peduli
apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya
sesuatu tata-cara atau tidak, yang penting turut serta terlibat dalam menyediakan
praktik perjudian tersebut.
Bentuk-bentuk permainan yang bisa disebut hazardspel menurut penafsiran R.
Soesilo terhadap pasal ini adalah misalnya main dadu, main selikuren, main jemeh,
kodok ulo, roulette, bakarat, kemping keles, kocok, keplek, tombola, dan juga
99

R. Soesilo, Op. cit, hal. 222.

Universitas Sumatera Utara

69

termasuk pada pacuan kuda, pertandingan sepak bola, dan sebagainya. Sedangkan
bentuk-bentuk yang tidak termasuk hazardspel antara lain adalah domino, bridge,
ceki, koah, pei dan sebagainya, yang intinya dipergunakan untuk hiburan semata. 100
Praktik judi dalam perkembangannya saat ini bervariasi dalam berbagai ragam
bentuk dan jenisnya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Bentuk-bentuk
permainan judi saat ini yang dilakukan beraneka ragam antara lain perjudian dadu,
sabung ayam, permianan ketangkasan, tebak angka seperti toto gelap (togel), sampai
penggunaan telepon genggam seperti judi melalui telepon seluler atau melalui
intrenet, bahkan olah raga seperti sepak bola dan pertandingan lainnya sekalipun juga
tidak ketinggalan dijadikan sebagai ajang perjudian. 101
Menurut penjelasan Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana perbuatan yang
mengadakan atau memberi kesempatan main judi sebagai pencarian termasuk dalam
pasal ini. Misalnya seorang bandar atau orang lain yang dapat pula berupa perusahaan
membuka perjudian. Orang yang turut campur dalam hal ini juga dihukum. Menurut
Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana ini bila ditafsirkan lebih cermat maka dalam ini tidak
perlu perjudian itu di tempat umum atau untuk umum. Meskipun perjudian itu
dilakukan di tempat yang tertutup atau kalangan yang tertutup saja, sudah cukup
menjadikannya sebagai orang yang turut melakukan judi menurut pasal ini, asal
perjudian itu belum memperoleh izin dari pihak yang berwajib. 102

100

Ibid.
Yulia Christy Shintara Aruan, Loc. cit.
102
Ibid., hal. 60.
101

Universitas Sumatera Utara

70

Pasal 303 ayat (2) KUH Pidana ini juga berlaku untuk perbuatan yang sengaja
mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi kepada umum. Dalam hal ini
juga berlaku dalam hal jika pelaku tidak membuatnya sebagai pencarian, tetapi
dilakukan di tempat umum, atau yang dapat dikunjungi oleh umum. Singkatnya
apabila telah ada izin dari pihak yang berwajib, tidak dihukum, menurut Pasal 303
ayat (2) KUH Pidana. 103
Berdasarkan penafsiran R. Soesilo terhadap rumusan Pasal 303 KUH Pidana
ini berarti KUH Pidana sendiri masih memberikan kelonggaran kepada masyarakat
untuk bisa melakukan praktik perjudian. Sebab ketentuan ini menentukan apabila ada
izin dari aparat keamanan. Ketentuan syarat demikian bertentangan dengan normanorma agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Sekalipun judi
dibolehkan dalam hal-hal tertentu karena tidak berhubungan langsung dengan kondisi
ekonomi masyarakat kecil, namun dibolehkannya judi berdasarkan izin dari aparat
akan terbentur pada bentuk pelanggaran terhadap norma-norma agama dan nilai-nilai
dalam masyarakat.
Alasan demikian juga ditegaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian yang menegaskan bahwa
perjudian bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan moral pancasila, serta
membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Bahkan bila ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian
mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental
103

R. Soesilo, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

71

masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan dari hasil
perjudian yang diperoleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat digunakan
untuk usaha-usaha pembangunan, namun ekses negatifnya lebih besar daripada ekses
positifnya. 104
Berdasarkan norma-norma agama, tidak satupun agama yang membolehkan
perbuatan judi oleh karena unsurnya didasarkan pada untung-untungan. Berdasarkan
nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi kesopanan, kepatutan,
dan beradab sangat bertentangan bilamana judi dilegalkan dengan memberi izin pada
hal-hal tertentu. Seolah-olah judi dibedakan dengan tindak pidana lainnya karena
dibolehkannya judi melalui izin. Dengan demikian penanganan judi di Indonesia
tidak menimbulkan efek penjeraan bilamana ada pengecualian dalam hal ini.
Bukankah perbuatan judi telah disepakati sebagai kejahatan? Hal itu
ditegaskan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian, yang menyatakan: ”semua tindak pidana perjudian sebagai
kejahatan”. Oleh karena itu dalam bentuk apapun dan dalam kondisi bagaimanapun,
judi tetap sebagai kejahatan dan orang-orang yang terlibat didalamnya, baik langsung
maupun tidak langsung termasuk sebagai penjahat. Tidak boleh ada pengecualian,
sebagaimana dibolehkan bila ada izin yang dimuat dalam Pasal 303 KUH Pidana.
Penjelasan Pasal 303 ayat (3) KUH Pidana menjelaskan bahwa orang yang
mengadakan main judi dihukum menurut pasal ini dan hukuman bagi orang-orang

104

Paragraf III Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban

Perjudian.

Universitas Sumatera Utara

72

yang ikut pada permainan itu dikenakan hukuman menurut Pasal 303 bis KUH
Pidana. Pasal 303 bis KUH Pidana menentukan:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah):
a. Barang siapa menggunakan kesempatan main judi yang diadakan dengan
melanggar ketentuan Pasal 303.
b. Barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan
umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin
dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk
mengadakan perjudian itu.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada
pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat
dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling
banyak lima belas juta rupiah.
Penjelasan Pasal 303 bis KUH Pidana menentukan pada masa dulu seorang
yang berasal dan berbentuk sebuah perusahaan membuka perjudian dicancam pidana
dalam Pasal 303 bis KUH Pidana sedangkan orang-orang yang mempergunakan
kesempatan main judi dalam hal ini melanggar Pasal 303 dikenakan Pasal 542 KUH
Pidana. Kemudian setelah diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian, maka Pasal 542 KUH Pidana tersebut diganti dengan Pasal 303
bis KUH Pidana. 105
Ketentuan hukum pidana dalam Pasal 303 bis KUH Pidana juga menentukan
pengecualian judi berdasarkan izin. Ketentuan demikian sekaligus sebagai kelemahan
dalam regulasi judi. Sebab dengan adanya pengecualian ini menimbulkan efek kepada
masyarakat untuk memperoleh kesempatan bermain judi bila ada izin dari pihak yang

105

Pasal 542 KUH Pidana menentukan: “Dengan Undang-Undang Penertiban Perjudian
Tanggal 6 Novemver 1974 Nomor 7 pasal ini dihapuskan dan diganti dengan Pasal 303 bis KUH
Pidana”.

Universitas Sumatera Utara

73

berwajib. Sangat tidak dapat diterima secara rasional bila kejahatan diperbolehkan
berdasarkan izin. Lagi pula memberikan izin berarti sama saja melegalkan judi, atau
setidak-tidaknya izin dimaksud berdampak pada anggapan masyarakat kepada
Pemerintah berfikir setengah-setangah (tidak serius) dalam memberantas judi oleh
karena diperbolehkannya bila ada izin.
Kenyataan dewasa ini menunjukkan perjudian dengan segala macam
bentuknya masih banyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuanketentuan perundang-undangan baik dalam KUH Pidana maupun dalam UU Nomor 7
Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dengan segala perubahan dan
tambahannya, tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, terutama mengenai
pengecualian larangan perjudian dan termasuk ancaman pidana maupun denda. Sekali
lagi ditegaskan bahwa sangat tidak dapat diterima secara rasional bila Pemerintah
masih membuka izin bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan praktik judi.
Syarat-syarat agar hukum lebih efektif dalam penerapannya menurut CG.
Howard dan RS. Mumner, antara lain: 106
a. Undang-undang harus dirancang baik.
b. Undang-undang seyogianya bersifat melarang bukan mengatur.
c. Sanksi yang dicantumkan harus sepadan dengan sifat-sifat undang-undang
yang dilanggar.
d. Berat sanksi yang diancamkan kepada si pelanggar tidak boleh keterlaluan.
e. Kemungkinan untuk mengamati dan menyelidiki atau menyidik perbuatan
yang dilanggar undang-undang harus ada.
f. Hukum yang mengandung larangan-larangan moral akan lebih efektif dari
pada hukum yang tidak selaras dengan kaidah moral, atau yang netral.
106

Soetandyo Wignyosoebroto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Hukum
Dalam Melaksanakan Fungsinya Sebagai Sarana Kontrol Sosial, terjemahan dari C.G. Howard dan
R.S. Mumner, Law is Nature and Limits, (New Jersey Hall, 1975), hal. 46-47.

Universitas Sumatera Utara

74

g. Mereka yang bekerja sebagai pelaksana-pelaksana hukum harus menunaikan
tugasnya dengan baik.
Syarat-syarat dari segi perumusan unsur dalam pasal-pasal peraturan
perundang-undangan harus dirumuskan secara jelas dan terinci mengatur dan
memberi sanksi agar tidak menimbulkan keraguan dalam penerapannya agar tercipta
suatu keadilan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berperkara.107
Sebagaimana Lawrence Milton Friedman juga telah menegaskan tiga elemen dalam
sistem hukum yang sangat menentukan penegakan hukum yaitu substansi hukum,
struktur hukum, dan budaya hukum. Khusus untuk substansi hukum menurutnya
adalah mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan yang bersifat
mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan. 108
Berdasarkan segi ancaman pidana mapun denda dalam Pasal 303 KUH Pidana
juga masih mengandung kelemehan secara substantif. Ancaman pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.25.000.000,- (dua puluh
lima juta rupiah) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 303 KUH Pidana
mengandung kelemahan dari sisi pidana denda karena masih tergolong sangat rendah
yaitu Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).
Ancaman pidana maupun denda dalam Pasal 303 KUH Pidana pada masa
dulu adalah ditentukan selama-lamanya (maksimal) 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan
atau denda sebanyak-banyaknya (maksimal) Rp.90.000,- (sembilan puluh ribu
107
108

Sugeng Tiyarto, Op. Cit., hal. 82-83.
Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali, Loc. cit.

Universitas Sumatera Utara

75

rupiah), yang diubah menjadi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)
berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian. 109 Namun
ancaman pidana denda ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan dampak
dari judi itu sendiri. Seharusnya untuk dapat memberikan efek penjeraan kepada
pelaku, undang-undang harus menentukan pidana denda harus lebih besar daripada
pidana penjara, hingga dapat memaksa masyarakat agar tidak mau melakukan judi
karena denda yang ditentukan itu di luar daripada kemampuannya.
Ancaman pidana penjara maksimal masih dapat dijalani oleh narapidana judi
selama di penjara, namun bila dikenakan kepadanya ancaman pidana denda di luar
kemampuannya dan ditentukan dalam undang-undang dapat memberikan efek jera
kepada pelaku. Hal ini didasarkan pada logika berfikir untuk mengadopsi dari prinsip
debt collection yang dikenal dalam hukum kepailitan. Manifestasi penerapan debt
collection kepada para pelaku judi adalah membereskan harta atau aset para pelaku
untuk didirampas oleh negara. Sehingga dengan demikian akan menimbulkan efek
penjeraan kepada para pelaku judi. Bukan tidak mungkin undang-undang dapat
mengatur perampasan aset terhadap para pelaku judi sebagai salah satu upaya untuk
memberikan efek penjeraan kepada para pelaku.

109

Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, merubah
ancaman hukuman dalam Pasal 303 ayat (1) KUH Pidana dari hukuman penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman
penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.

Universitas Sumatera Utara

76

Ancaman pidana penjara dan denda juga tidak sebanding dengan dampak dari
judi itu sendiri sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 303 bis KUH Pidana adalah
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Sebelumnya berdasarkan Pasal 542 ayat (1)
KUH Pidana diancam dengan kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah). 110 Ini juga masih
tergolong rendah untuk memberikan efek penjeraan kepada para pelaku judi.
Analisisnya sama dengan ketentuan Pasal 303 KUH Pidana di atas.
Sistem sanksi yang terdapat dalam KUH Pidana mengenal sistem tunggal
dimana terhadap suatu kejahatan judi hanya bisa dijatuhkan satu hukuman pokok
saja, tidak ada sanksi pidana tambahan untuk delik perjudian. Pada prinsipnya
undang-undang membedakan 2 (dua) macam hukuman (pidana) yaitu pidana pokok
dan pidana tambahan. Terhadap satu kejahatan atau pelanggaran hanya boleh
dijatuhkan satu pidana pokok yang bisa dikumulasikan dengan pidana tambahan. 111
Perumusan jenis sanksi pidana terhadap tindak pidana perjudian hanya
menggunakan pidana penjara atau pidana denda. Artinya denda yang diancamkan
dalam perumusan delik judi adalah suatu jumlah denda tertentu. Perumusan bentuk
sanksi pidana terhadap tindak pidana perjudian juga bersifat alternatif. Dalam

110

Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, merubah
ancaman hukuman dalam Pasal 542 ayat (1) KUH Pidana dari hukuman kurungan selama-lamanya
satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.
111
Sugeng Tiyarto, Op. Cit., hal. 128.

Universitas Sumatera Utara

77

penerapannya jenis pidana denda jarang sekali dikenakan terhadap si pembuat,
melainkan berupa pidana penjara. 112
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, sifatnya hanya mengubah dan
melengkapi ketentuan di dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal 303 bis KUH
Pidana. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian ini
hanya terdiri dari 5 (lima) pasal.
Pasal 1 UU Nomor 7 Tahun 1974 ini menentukan semua tindak pidana
perjudian sebagai kejahatan. Pasal 2 merubah ancaman hukuman dalam Pasal 303
ayat (1) KUH Pidana, dari hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan
atau denda sebanyak banyaknya sembilan puluh ribu rupiah menjadi hukuman
penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh
lima juta rupiah. Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1974 juga merubah ancaman hukuman
dalam Pasal 542 ayat (1) KUH Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya satu
bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah, menjadi
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya
sepuluh juta rupiah.

112

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

78

Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 1974 juga merubah ancaman hukuman dalam
Pasal 542 ayat (2) KUH Pidana, dari hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan
atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah menjadi hukuman
penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta
rupiah. Merubah sebutan Pasal 542 menjadi Pasal 303 bis.
Pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 1974 menentukan pemerintah mengatur
penertiban perjudian harus sesuai dengan jiwa dan maksud undang-undang ini yang
diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 4 UU Nomor 7 Tahun
1974 menentukan bahwa terhitung mulai berlakunya peraturan perundang-undangan
dalam rangka penertiban perjudian dimaksud pada Pasal 3 Undang-undang ini,
mencabut Ordonansi tanggal 7 Maret 1912 (Staatsblad Tahun 1912 Nomor 230)
sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah, terakhir dengan Ordonansi
tanggal 31 Oktober 1935 (Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526). Pasal 5 UU Nomor 7
Tahun 1974 menentukan tentang aturan peralihan.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban
Perjudian tersebut di atas mengubah, mengganti, dan menambah ketentuan dalam
Pasal 303 KUH Pidana junto Pasal 303 bis KUH Pidana, yang pada intinya masih
banyak mengandung kelemahan antara lain: diaturnya pengecualian membuka praktik
judi, ancaman pidana maupun pidana denda masih rendah sehingga tidak mampu
memberikan efek penjeraan kepada para pelaku judi pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya.

Universitas Sumatera Utara

79

Pengecualian pemberian izin tersebut setelah Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian akhirnya
dihapuskan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 ini hanya terdiri dari 4
(empat) pasal. 113

Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal 303 bis
KUH Pidana bila dibandingkan dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian, terdapat rumusan yang tidak kuat untuk menjerat pelaku yang
memperoleh izin perjudian, karena larangannya dimuat dalam peraturan pemerintah
dan tidak mempunyai sanksi hukum. 114
Sesuai Pasal 303 KUH Pidana yang diubah dalam Pasal 303 bis KUH Pidana
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian
113

Pasal 1 menentukan:
(1) Pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik perjudian
yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan
alasan-alasan lain.
(2) Izin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku
lagi sejak tanggal 31 Maret 1981.
Pasal 2 menentukan: Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974
tentang Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3040), dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku lagi semua
peraturan perundang-undangan tentang Perjudian yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 3 menentukan: Hal-hal yang berhubungan dengan larangan pemberian izin penyelenggaraan
perjudian yang belum diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini akan diatur tersendiri. Pasal 4
menentukan: Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
114
Sugeng Tiyarto, Iop. Cit., hal. 93.

Universitas Sumatera Utara

80

masih terdapat ketentuan yang menentukan dibolehkannya izin untuk membuka
praktik judi, padahal munculnya Pasal 303 bis KUH Pidana sebagai wujud dari
diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban
Perjudian sementara tujuan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1981 adalah untuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian.
Izin untuk membuka praktik judi berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1981 dengan sangat tegas menentukan larangan terhadap pemberian
izin untuk penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian, baik perjudian yang
diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun dengan alasanalasan lain, dan izin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan dinyatakan
dicabut dan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Maret 1981, namun sangat
disayangkan PP ini tidak mengandung sanksi pidana maupun denda bagi orang atau
korporasi yang memperoleh izin praktik judi. 115
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan
Pasal 303, Pasal 303 bis KUH Pidana justru masih mengakui dilegalkannya
pemberian izin praktik judi. Ketentuan yang mengecualikan dalam KUH Pidana
demikian itu dapat menimbulkan polemik dalam ranah penegakan hukum karena
tidak mengandung ancaman pidana maupun denda bagi orang ataupun korporasi yang
memperoleh izin membuka praktik perjudian.

115

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hal. 51.

Universitas Sumatera Utara

81

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Sebagai bahan perbandingan antara KUH Pidana (lex generalis) dengan
undang-undang lainnya adalah ketentuan lex spesialis dalam Pasal 27 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UUITE). Perbuatan yang dilarang berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUITE salah
satunya adalah perbuatan judi. Pasal 27 ayat (2) UUITE menentukan: “Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan perjudian”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUITE tersebut di atas terdapat
rumusan unsur subjekti dan objektif116 tindak pidana perjudian yaitu:
a. Setiap orang (unsur subjektif);
b. Dengan sengaja dan tanpa hak (unsur subjektif);
c. Mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan

dan/atau

membuat

dapat

diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan perjudian (unsur objektif).
Unsur subjektif “setiap orang” dalam Pasal 27 ayat (2) UUITE tersebut berarti
hanya berupa orang saja, akan tetapi sesuai Pasal 52 ayat (4) UUITE, perbuatan
demikian berlaku pula kepada korporasi (badan hukum maupun non badan

116

Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal. 63.

Universitas Sumatera Utara

82

hukum). 117 Unsur subjektif menyangkut diri si pelaku sedangkan unsur objektif
menyangkut perbuatan si pelaku. 118 Unsur objektif dari ketentuan di atas
mengandung sepihak saja karena dalam rumusan unsur “mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian”, tidak terdapat unsur orang
yang turut bermain judi atau terlibat bermain judi.
UUITE berbeda dengan KUH Pidana yang sekarang ini masih berorientasi
kepada subyek tindak pidana berupa orang dan bukan korporasi. 119 Ketentuan Pasal
27 ayat (2) UUITE tersebut hanya menyangkut perbuatan yang dilarang bagi orang
atau korporasi yang menyediakan sarana maupun parasarana bermain judi, sedangkan
bagi orang yang bermain atau turut melakukan permainan judi tidak tercakup dalam
pasal ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa UUITE hanya melarang perbuatan
setiap orang atau korporasi yang menyediakan sarana dan prasarana bermain bermain
judi, sedangkan orang yang mengakses permainan judi tidak diatur dalam UUITE.
Termasuk subjek yang dilarang sesuai Pasal 34 ayat (1) huruf a UUITE adalah
setiap orang yang sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan,
atau memiliki perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau

117

Pasal 52 ayat (4) UUITE menentukan: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok
ditambah dua pertiga”.
118
Moeljatno, Op. cit., hal. 61-62.
119
Dwidja Priyatno, Op. cit, hal. 51-52.

Universitas Sumatera Utara

83

secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33.
Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) huruf a UUITE ini mempertegas bahwa subjek
yang dilarang dalam UUITE adalah orang atau korporasi yang menyediakan sarana
maupun prasarana saja, dan tidak termasuk bagi orang yang turut melakukan
permainan judi atau orang yang mengakses permainan judi tersebut. Berdasarkan
Pasal 52 ayat (4) UUITE semakin mempertegas pula bahwa bila perbuatan dalam
Pasal 27 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua
pertiga, berarti pidana pokok berupa pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun bisa
bertambah menjadi 12 (dua belas) tahun, sedangkan pidana denda dari
Rp.1.000.000.000, (satu miliar rupiah) bisa menjadi Rp.2.330.000.000,- (dua milyar
tiga ratus tiga puluh juta rupiah).
Analisis di atas sekaligus menunjukkan kelemahan pengaturan tentang
larangan perjudian dalam UUITE yaitu tidak mengatur larangan bagi setiap orang
yang turut bermain judi atau setiap orang yang mengakses permainan judi sekalipun
pidana denda bagi korporasi ditentukan cukup besar. Dari segi ancaman pidana denda
sesuai Pasal 45 ayat (1) UUITE sudah memenuhi syarat untuk memberikan efek
penjeraan kepada pelaku. Pasal 45 ayat (1) UUITE menentukan: “Setiap Orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3),
atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Universitas Sumatera Utara

84

Selanjutnya adalah mengenai ketentuan ancaman pidana dan denda. Mengenai
ketentuan pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 ayat (1) UUITE sangat
berbeda dengan ancaman pidana yang ditentukan dalam Pasal 303 KUH Pidana dan
Pasal 303 bis KUH Pidana. Perbedaan itu terlihat dari jumlah ancaman pidana penjara
dan pidana denda. Ketentuan ancaman pidana yang menjadi sorotan dalam pasal ini
adalah mengenai pidana denda. Pidana denda dalam Pasal 303 KUH Pidana dan Pasal
303 bis KUH Pidana lebih rendah daripada pidana denda di Pasal 45 ayat (1) UUITE.
Pasal 303 KUH Pidana menentukan ancaman pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.25.000.000,- (dua puluh lima
juta rupiah) terhadap barang siapa tanpa mendapat izin melakukan perjudian.
Kemudian dalam Pasal 303 bis KUH Pidana menentukan ancaman pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah).
Sedangkan Pasal 45 ayat (1) UUITE menentukan ancaman pidana denda
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sebagaimana telah dibahas
sebelumnya bahwa pidana denda sangat efektif memberikan efek penjeraan kepada
para pelaku atau setidak-tidaknya dengan pidana denda dapat mengembalikan dan
memperbaiki kerusakan ke arah yang lebih baik dan lebih bermanfaat dalam rangka
merampas aset-aset hasil kejahatan daripada memenjarakan fisik/badan pelaku.
Sangat disayangkan bahwa ketentuan ancaman pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tersebut hanya berlaku bagi setiap orang
dan/atau korporasi yang menyediakan sarana maupun prasarana perjudian, UUITE

Universitas Sumatera Utara

85

tidak mencakup bagi setiap orang yang turut bermain judi dan/atau mengakses
permainan judi melalui internet. Konsekuensi dari ketentuan ini bagi orang yang turut
bermain judi secara online berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUITE junto
Pasal 45 ayat (1) UUITE bisa bebas dari jeratan hukum oleh karena undang-undang
tidak mengatur demikian.

Universitas Sumatera Utara