Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara Chapter III V
86
BAB III
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI
WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA
A. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Memperhatikan berbagai macam modus operandi dan kuantitas kejahatan
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, maka sangat
perlu diadakan reformasi hukum pidana dari yang bersifat konvensional ke arah yang
lebih bersifat modern, 120 yang dalam bahasa lain disebut kebijakan hukum pidana.
Ada dua upaya dalam rangka menanggulangi kejahatan (kebijakan hukum pidana)
yaitu upaya melalui kebijakan penal (penal policy) dan non penal (non penal policy).
Berbicara mengenai kedua upaya ini tidak terlepas dari kebijakan kriminal (criminal
policy) yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels mengatakan sebagai “criminal
policy is the rational organization of the social reaction to crime”. 121 Kebijakan
kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan
dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan itu sendiri.
Kebijakan hukum pidana merupakan kebijakan yang tidak terpisahkan dengan
penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy). 122 Perbedaan pandangan antara G. Peter Hoefnagels
dan Barda Nawawi Arief terkait kebijakan tersebut di atas adalah terletak pada
120
Fransiska Novita Eleanora, Loc. cit.
G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of
Crime, (Holland: Kluwer Deventer, 1973), hal. 57.
122
Pranggi Siagian, Alvi Syahrin, Mahmud Mulyadi, dan Marlina, “Penjatuhan Sanksi Pidana
Terhadap Anak Pelaku Kejahatan”, USU Law Journal, Vol. 3, No. 2, Tahun 2015, hal. 171.
121
71
Universitas Sumatera Utara
87
level/tingkatan masing-masing elemen. Menurut G. Peter Hoefnagels ketiga elemen
itu harus disejajarkan, sedangkan menurut Barda Nawawi Arief elemen kedua
(prevention without punishment) dan elemen ketiga (influencing view of society on
crime and punishment) harus dimasukkan dalam kebijakan non penal. Sedangkan
prevention without punishment inilah yang diartikan sebagai kebijakan non penal.
Pencegahan menurut G. Peter Hofnagel sebagai bagian tolok ukur
mengemukakan
pencegahan
itu
merupakan
upaya
yang
rasional
dalam
memanggulangi kejahatan dengan mempergunakan sarana penal dan non penal. 123
Penanggulangan kejahatan secara non penal lebih mampu melakukan penangan
terhadap faktor-faktor penyebab, mencegah terjadinya kejahatan yang berpusat pada
masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menumbuhkan dan menyuburkan. 124 Upaya non penal dapat
dilakukan sebelum terjadinya kejahatan (pencegahan kejahatan atau cirme
prevention), dan juga dapat dilakukan setelah kejahatan itu terjadi misalnya
melakukan upaya perlindungan sosial (social defence), reintegrasi, rehabilitasi sosial,
dan lain-lain. 125
Hukum pidana mempunyai keterbatasan. Bukti keterbatasan hukum pidana
dalam menanggulangi kejahatan 126 adalah tidak efektif menimbulkan efek penjeraan
kepada para pelaku, bahkan kuantitas kejahatan semakin meningkat seiring dengan
123
Rina Melati Sitompul, dkk., Op. cit., hal. 197.
Muhammad Natsir, KoesnoAdi, PrijaDjatmika, dan Rodliyah, Op. cit., hal. 3.
125
Rina Melati Sitompul, dkk., Op. cit., hal. 191.
126
E.Z. Leasa, “Penerapan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (Double Track System) Dalam
Kebijakan Legislasi”, Jurnal Sasi, Vol. 16, No. 4, Tahun 2010, hal. 51.
124
Universitas Sumatera Utara
88
meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sering dengan
perkembangan teknologi menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional dengan
modus operandi yang semakin canggih dan berteknologi tinggi. 127 Perlunya kebijakan
kriminal diperluas hingga meliputi upaya non penal sebagaimana dimaksud oleh
Barda Nawawi Areif karena kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana
penal (penal policy) mempunyai keterbatasan. 128
Keterbatasan hukum pidana harus pula diimbangi dengan kebijakan lain di
luar hukum pidana. Hal itu sejalan dengan doktrin kebijakan pananggulangan
kejahatan melalui politik kriminal yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels
meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Sebagaimana G. Peter Hoefnagels
mendiferensialkan ruang lingkup “criminal policy” itu meliputi: 129
1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (influencing view of society on crime and punishment).
Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut Hoefnagels
dapat memadukan upaya criminal law aplication, upaya prevention without
punishment, dan upaya influencing views of society on crime and punishment mass
127
Krisnawati., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006),
hal. 3.
128
Barda Nawawi Arief (II), Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010), hal. 174.
129
G. Peter Hoefnagels, Op. cit., hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
89
media. 130 Salah satu pendekatan dalam menanggulangi kejahatan yang dikemukakan
dalam teori G. Peter Hoefnagels adalah prevention without punishment yaitu
pencegahan kejahatan tanpa menggunakan pidana. Kebijakan selain hukum pidana
berarti tidak hanya meliputi kebijakan sosial, akan tetapi juga mencakup kebijakan
hukum yaitu hukum perdata, dan hukum administrasi negara. Dari lingkup prevention
without punishment inilah dapat ditarik suatu istilah yaitu kebijakan non penal
(kebijakan selain hukum pidana).
Kondisi-kondisi sosial seperti masalah kejahatan, masalah perselisihan antar
suku, agama, dan ras (sara), serta konflik lainnya sulit dipecahkan jika hanya
mengandalkan pendekatan kebijakan penal semata dengan cara refresif. 131 Akan
tetapi penanggulangannya harus diperlukan pendekatan lain yakni berupa pendekatan
non penal. 132 Pendekatan secara non penal berupaya melibatkan kebijakan-kebijakan
sosial dan juga di luar kebijakan sosial dalam pencegahan kejahatan berbasis pada
masyarakat (social) sebagai objek kajian, termasuk kebijakan selain hukum pidana.
Alternatif pada aspek prevention without punishment ini ditafsirkan oleh para
pakar sebagai kebijakan non penal yang lingkupnya sangat luas. 133 Kebijakan melalui
pendekatan non penal diperlukan dalam rangka untuk mengatasi masalah sosial atau
setidak-tidaknya dapat meredam masalah sosial agar tidak berlanjut. Perlu diketahui
bahwa kebijakan non penal tidak saja menyangkut seluruh kebijakan sosial, akan
130
Ibid.
M. Risya Mustario, Peran Babinkamtibnas Dalam Penanganan Konflik Sosial Khususnya
di Wilayah Kepolisian Resor Serdang Bedagai, (Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2014), hal. 23.
132
Ibid., hal. 2, hal. 24, hal. 63, dan hal. 147.
133
Nanda Ivan Natsir, Op. cit., hal. 20-21.
131
Universitas Sumatera Utara
90
tetapi juga menyangkut penerapan hukum selain hukum pidana, misalnya
menerapkan hukum perdata dan hukum administrasi negara dalam menanggulangi
kejahatan korupsi.
Ternyata dalam rangka meminimalisir kuantitas kejahatan bukan saja hanya
dapat dilakukan melalui penerapan hukum pidana, maupum melalui kebijakan sosial,
akan tetapi selain hukum pidana dan selain kebijakan sosial juga dapat dilakukan
melalui pendekatan lain yaitu pendekatan pada aspek hukum perdata dan hukum
administrasi negara. Argumentasi ini diperoleh dari doktrin-doktrin para ahli
sebagaimana di atas yang telah memperluas makna kebijakan kriminal tersebut
meliputi penal dan non penal.
Lebih lanjut menurut G. Peter Hoefnagels, model pendekatan kebijakan non
penal dapat berupa perencanaan kesehatan mental masyarakat (community planning
mental health), termasuk kesehatan mental masyarakat secara nasional (national
mental health), kesejahteraan anak dan pekerja sosial (social worker and child
welafare), dan penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administration and
civil law). 134
Aspek ketiga dari lingkup yang disebut G. Peter Hoefnagels di atas adalah
influencing view of society on crime and punishment, berupaya sedapat mungkin
mempengaruhi
pandangan-pandangan
masyarakat
mengenai
kejahatan
dan
pemidanaan lewat media massa. Upaya untuk mempengaruhi pandangan-pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media massa pada
134
G. Peter Hoefnagels dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy….Op. cit., hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
91
prinsipnya bukan merupakan hakikat hukum pidana namun sebagai bentuk perluasan
dan pergeseran paradigma kebijakan sosial ke arah yang lebih rasional dan responsif
dalam rangka menggulangi kejahatan secara terintegral.
Hukum pidana pada hakikatnya adalah bersifat refresif (repressive) yang
diwujudkan dalam bentuk penindakan, pemberantasan, atau penumpasan sesudah
kejahatan itu terjadi, sedangkan upaya untuk mempengaruhi pandangan-pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media massa dilakukan
sebelum terjadinya kejahatan, tujuannya adalah agar masyarakat mengetahui dan
mewaspadai serta mencegah dirinya sendiri secara dini jangan sampai terjerumus ke
dalam kejahatan sehingga timbullah kesadaran hukum bagi masyarakat itu sendiri.
Kontribusi media massa dalam rangka kebijakan kriminal dalam teori
Hoefnagels disejajarkannya dengan upaya-upaya kebijakan kriminal yang lain yaitu
criminal
law application
(practical
criminology),
dan prevention
without
punishment. 135 Hal itu juga tergambar dalam buku Barda Nawawi Arief berjudul
“Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru. 136 Perbedaan pandangan antara G. Peter Hoefnagels dan Barda Nawawi
Arief terkait ketiga kebijakan tersebut di atas adalah terletak pada level/tingkatan
135
Budiyono, “Pemanfaatan Media Massa oleh Penegak Hukum Dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Perspektif, Volume XVIII No. 1 Tahun 2013, Edisi Januari, hal. 2.
Pentingnya media massa dimanfaatkan dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi karena
media massa atau pers mempunyai fungsi yang cukup strategis dalam politik kriminal, seperti
dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa media massa atau mass media ini sebagai salah satu
unsur dari politik kriminal atau criminal policy (G. Peter Hoefnagels, 1969:56). Fungsi media massa
dalam kerangka politik kriminal menurut Hoefnagels ditujukan untuk mempengaruhi pandanganpandangan masyarakat tentang tindak pidana dan pemidanaan atau influencing view of society on crime
and punishment.
136
Barda Nawawi Arief (I), Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
92
masing-masing elemen. Menurut G. Peter Hoefnagels ketiga elemen itu harus
disejajarkan, sedangkan menurut Barda Nawawi Arief elemen kedua dan elemen
ketiga harus dimasukkan dalam kebijakan non penal. 137
Apapun perbedaan level/tingkatan masing-masing dari elemen itu tidak perlu
dipersoalkan dalam kerangka ini, namun yang menjadi fokus adalah titik sentral
kebijakan kriminal tidak hanya dapat dilakukan melalui upaya penal saja tetapi dapat
pula dilakukan upaya-upaya lain di luar dari hukum pidana. Singkatnya Barda
Nawawi Arief membagi kebijakan kriminal itu secara garis besar menjadi dua
kelompok yaitu upaya penal dan non penal. Jalur penal berarti mengupayakan hukum
pidana sedangkan jalur non penal yaitu mengupayakan selain hukum pidana atau di
luar hukum pidana. 138
B. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Tanpa Menggunakan Hukum Pidana
Menurut Mahmud Mulyadi kebijakan penanggulangan kejahatan melalui
pendekatan non penal lebih bersifat pada tindakan (matregel) yaitu pencegahan
sebelum terjadinya kejahatan. 139 Oleh karena itu sasaran utamanaya adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada
masalah-masalah
atau
kondisi-kondisi
sosial
yang
secara
langsung
dapat
menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Sedangkan menurut Barda
kebijakan penanggulangan kejahatan melalui pendekatan non penal mempunyai
137
Ibid.
Ibid.
139
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy….Op. cit., hal. 55.
138
Universitas Sumatera Utara
93
kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan
diefektifkan. 140
Kebijakan penanggulangan kejahatan perjudian baik penal maupun non penal
dari dulu hingga kini atau dari sejak berlakunya KUH Pidana, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1974 maupun UUITE tidak juga dapat meminimalisir praktik-praktik
perjudian di Indonesia khususnya di wilayah Polda Sumut. Faktor ini menjadi lebih
rumit karena kurangnya dukungan kebijakan karena Polda Sumut cenderung
menggunakan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan judi selama ini di
wilayah Sumut lebih banyak dilakukan penindakan (refresif) dan tidak didukung
dengan upaya-upaya non penal secara terintegrasi melalui upaya preemtif dan
preventif, bilapun ada tetapi tidak dijalankan secara maksimal dan tidak serius.
Kebijakan penanggulangan kejahatan perjudian dapat dicontohkan dari sisi
non penal adalah membangun kembali dua hal yang harus menjadi sorotan dan perlu
diperhatikan bersama, yaitu pertama, perlu diupayakan dan dikembangkan program
Perpolisian Masyarakat (Perpolmas) yang saat ini wujudnya ”hidup segan mati tak
mau” dan kedua, perlu keseriusan dan kejujuran dari para petinggi-petinggi aparatur
penegak hukum khususnya para petinggi Polri dalam memberantas perjudian.
Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan non penal merupakan kebijakan
selain menerapkan hukum pidana, oleh karena itu upaya-upaya apa saja yang
dilakukan di luar jalur hukum pidana adalah termasuk kebijakan non penal. Misalnya
140
Barda Nawawi Arief (II), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996), hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
94
salah satu contoh upaya untuk menghidupkan Perpolmas atau Bintara Pembina
Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) di Polsek-Polsek di seluruh wilayah Polda
Sumut merupakan salah satu upaya non penal dan upaya alternatif yang paling
diharapkan dalam penyelesaian konflik-konflik sosial termasuk dalam penyelesaian
perkara-perkara ringan dan deteksi dini terhadap kriminogen kejahatan dalam
lingkungan masyarakat. 141
Krisis kepercayaan terhadap Polri membuat masyarakat tidak takut melanggar
peraturan dan warga menganggap kewibawaan Polri hanya ada karena senjata dan
wewenang formalnya. Pandangan masyarakat yang banyak uang menganggap polisi
tidak ada wibawa karena dapat dikendalikan dengan uang, sementara di era
kebebasan pers penyelewengan oknum Polri semakin terbuka yang membuat citra
Polri semakin terpuruk.142
Sutanto mengeluarkan kebijakan pada bulan Oktober 2005 tentang Polmas
yang mencakup sebuah penilaian terhadap kekurangan-kekurangan Polri. Kebijakan
ini ini terkait dengan kecenderungan polisi melihat dirinya semata-mata sebagai
pemegang otoritas, dan institusi kepolisian dipandang semata-mata sebagai alat
141
Wawancara dengan Herman, Kepala Unit Penyidikan (Panit Sidik) Polda Sumut, Tanggal
25 Januari 2016.
142
International Crisis Group Working to Prevent Conflict Worldwide, “Indonesia: Akibat
Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah, Ringkasan Ikhtisar dan Rekomendasi, Asia Report N 218, Tanggal
16 Februari 2012, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
95
negara sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai
pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. 143
Polmas menjadi prioritas kedua langsung setelah penegakan keadilan
masyarakat yang diuraikan dalam Grand Strategi Polri 2005. Melalui kerjasama
Pemerintah Jepang dan Indonesia, Jepang telah membantu pembangunan beberapa
pos polisi yang disebut Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat (BKPM) yang
diadopsi dari Koban di Jepang, sementara di sisi lain, kepolisian Indonesia juga
membangun sendiri Balai Polmas juga diadopsi dari Chuzaisho di Jepang, itulah
Babinkamtibmas. 144
Polri terus berbenah dan berupaya menjadi polisi yang profesional dan
mandiri. Reformasi yang dilakukan adalah pada pengembangan pemolisian
masyarakat (community policing) atau lebih sering disebut dengan Polmas yang
menekankan pada kemitraan dengan masyarakat untuk penyelesaian masalah, dalam
upaya pencegahan terhadap ancaman keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Puncaknya ditandai dengan keluarnya strategi Polri untuk dua puluh tahun ke
depan yaitu ditetapkan pada bulan Juni 2005 oleh Kapolri saat itu, Jenderal Sutanto.
Kebijakan ini disebut “Grand Strategi Polri 2005” yang menekankan perlunya
memfokuskan lima tahun pertama (2005-2010) pada upaya membangun kepercayaan
143
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kebijakan dan Strategi Penerapan Model
Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaran Tugas Polri, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Oktober 2005, Pasal II ayat (1) huruf (b), hal. 4.
144
http://www.id.emb-japan.go.jp/oda/id/topics_200810_police.htm, diakses tanggal 15
Januari 2016. Artikel ditulis di Japan Official Development Assistance oleh Sri Kusmariaty dan Anzai
Toshiya, dengan judul, “Kemitraan Setengah Abad Bantuan ODA Jepang di Indonesia”.
Universitas Sumatera Utara
96
masyarakat pada Polri. Salah satu dari strategi kebijakan itu adalam optimalisasi
Polmas yang tersebut di dalam:
1.
Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol.: 737 Tahun 2005 tanggal 13 Oktober
2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
2.
Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol.: Skep/431/VII/2006 tanggal 1 Juli 2006
tentang Pedoman Pembinaan Personel Pengemban Fungsi Polmas.
3.
Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol.: Skep/432/VII/2006 tanggal 1 Juli 2006
tentang panduan Pelaksanaan Fungsi Operasional Polri dengan Pendekatan
Polmas.
4.
Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol.: Skep/433/VII/2006 tanggal 1 Juli 2006
tentang Pembentukan dan Operasionalisasi Polmas.
Muatan dalam surat keputusan Kapolri tersebut di atas menyangkut upaya
optimalisasi Polmas. Kapolri juga mengeluarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor
Pol.: 9 Tahun 2007 Tentang Rencana Strategis Kepolisian Negara Republik Indonesia
2005-2009 (perubahannya) yang kemudian diikuti dengan Kebijakan dan Strategi
Kapolri yang dikeluarkan pada tanggal 8 Desember 2007 tentang Percepatan dan
Pemantapan Implementasi Polmas.
Kebijakan Strategi Polri 2005 tersebut diperbaharui dengan Peraturan Kapolri
(Perkap) Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi
Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Sebagai suatu strategi,
Polmas merupakan model perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar,
Universitas Sumatera Utara
97
antara polisi dengan masyarakat lokal, dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap
permasalahan sosial, pelanggaran, dan kejahatan yang mengancam keamanan dan
ketertiban, guna meningkatkan kualitas hidup warga masyarakat.
Orientasinya berupaya memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat
tidak lagi semata-mata sebagai obyek dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi
kepolisian, melainkan sebagai subyek yang turut menentukan dalam mengelola
sendiri upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib yang difasilitasi oleh
petugas Polmas dari Kepolisian. Warga dan polisi berusaha menemukan,
mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan keluar atas masalah gangguan
keamanan dan ketertiban.
Polmas merupakan model perpolisian yang menekankan hubungan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sekaligus sebagai falsafah Polmas dengan
menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga. Polmas
mengandung prinsip-prinsip yang sangat sejalan dengan semangat yang selalu
kumandangkan oleh organisasi masyarakat sipil, seperti prinsip transparansi, prinsip
partisipasi, prinsip kesetaraan, prinsip penugasan permanen dan personalisai, prinsip
desentralisasi.
Polri menyadari sepenuhnya bahwa salah satu tuntutan reformasi adalah
menjadikan Polri sebagai kepolisian sipil. Polri harus dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara merubah paradigmanya
yang kaku tersebut pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan)
Universitas Sumatera Utara
98
menuju pendekatan yang proaktif agar mendapat dukungan publik dengan
mengedepankan kemitraan.
Penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian selama ini, baik dalam pemeliharaan
keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum, Polisi cenderung melihat
dirinya sebagai pemegang otoritas tunggal, sebagai alat negara sehingga pendekatan
kekuasaan
dan
tindakan
represif
seringkali
mewarnai
pelanggaran
dan
penyelewenangn dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tugas melayani dan melindungi
(to serve and to protect) harus dilakukan dengan pendekatan yang birokratis,
sentralistik, dan bersama-sama mewarnai pelaksanaan perlindungan, pengayoman,
pelayanan.
Pelaksanaan tugas kepolisian sehari-hari lebih mengedepankan penegakan
hukum yang utamanya untuk menindak terhadap pelaku kriminal. Model Polmas
justru mendorong polisi untuk lebih dekat dengan masyarakat melalui pendekatan
masyarakat setempat (lokal). Polri melakukan pendekatan yang cerdas (smart), santun
(civilian), kemanusiaan (humanistic), bermartabat (civilized), adaptif, dan beradab
(civilization). Paradigma baru harus mengedepankan kemitraan dalam memecahkan
masalah karena citra Polri sebelum direformasi cenderung sebagai alat penguasa. 145
Sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam hal memelihara
kamtibmas, penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, Polri
145
http://polmas.wordpress.com/2010/05/31/226/, diakses tanggal 16 Januari 2016. Artikel
ditulis oleh Sugianto di Pusat Kajian Kepolisian dan Keamanan (Indonesian Center for Police and
Security Studies), dengan judul, “Pemolisian Komunitas Masyarakat: Optimalisasi Tugas Kepolisian,
Perspektif Dinamika Masyarakat Demokratis”.
Universitas Sumatera Utara
99
tidak hanya berorentasi pada hukum dan perundang-undangan dalam pelaksanaan
perannya, tetapi juga tunduk kepada prinsip-prinsip universal yang berlaku secara
internasional dalam masyarakat madani polri yang menekankan HAM dalam bingkai
supremasi hukum. 146 Hal ini sesuai pula dengan muatan dalam TAP MPR Nomor
II/MPR/1993 Tentang Garis Besar Haluan Negara dimana Polri dibebani pula tugas
melakukan pembinaan Kamtibmas yang diperankan oleh Babinkamtibmas sebagai
ujung tombak terdepan.
Upaya tradisional selama ini telah dilakukan oleh Polri dalam rangka
mewadahi partisipasi masyarakat,
melalui program Bimbingan Masyarakat
(Bimmas), Sistem Keamanan Swakarsa (Siskamswakarsa), dan Sistem Keamanan
Lingkungan (Siskamling), namun upaya ini belum dirasa cukup, karena masih
menempatkan Polisi pada poisisi yang belum sejajar dengan warga masyarakat.
Warga ditempatkan sebagai pihak yang dibina dan polisi selalu menempatkan dirinya
sebagai pembina. Masyarakat hanya sebagai obyek dan polisi sebagai subjek yang
serba lebih sehingga dianggap figur yang mampu menangani dan menyelesaikan
semua permasalahan Kamtibmas yang dihadapi masyarakat. Aroma kekuasaan dan
kekuatan Polri masih berada di atas masyarakat, dirasa masih sangat kental dan
menyebabkan masih terdapatnya jarak pemisah antara warga dan polisi.
Polri menetapkan sebuah strategi perpolisian melalui penerapan Polmas tidak
hanya merupakan suatu program, melainkan suatu falsafah yang menggeser
paradigma konvensional menjadi suatu model perpolisian baru dalam masyarakat
146
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
100
madani. Model ini pada hakikatnya menempatkan masyarakat bukan semata-mata
sebagai obyek tetapi mitra kepolisian dalam pemecahan masalah-masalah sosial
(konflik sosial).
Harapan yang ingin dicapai dari penerapan strategi kebijakan Polmas adalah
terwujudnya Polri yang dipercaya dan mendapatkan dukungan penuh oleh masyarakat
melalui kemitraan sejajar antara polisi dan masyarkat dalam rangka pencegahan
ancaman keamanan dan ketertiban. Polri menyadari akan kesejahteraan masyarakat
bisa terwujud dengan salah satunya adalah menciptakan rasa aman di lingkungan
masyarakat.
Bagi Polri akan selalu menempatkan masyarakat sebagai pemangku
kepentingan (stakeholders) yang utama dan harus mendapatkan layanan yang
bermutu dari Kepolisian. Tantangan yang berat bagi Polri dalam Polmas terutama
untuk membangun pemahaman terhadap komunitas dalam penciptaan situasi aman
dan tertib sekaligus merupakan tanggung jawab bersama di mana keduanya
cenderung beda persepsi antar warga dan polisi.
Pengaturan
tugas-tugas
Babinkamtibmas
pada
prinsipnya
sebagai
implementasi dari dioptimalisasinya Polmas dalam penyelenggaraan tugas keamanan
dan ketertiban. Sebagaimana petugas Polmas di Jepang diperankan oleh para petugas
Koban dan Chusaizho, sementara Polmas di Indonesia diperankan oleh Bintara
Pembina Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) dengan pola 1 (satu) desa untuk 1
(satu) orang petugas Babinkamtibmas.
Universitas Sumatera Utara
101
Dasar aturan tugas-tugas Babinkamtibmas telah ada diatur secara tersirat di
dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia, dan tersurat di dalam Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman
Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Tugas Polri. Norma secara tersirat terkandung di dalam UU Kepolisian tersebut
memuat tugas-tugas Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan upaya-upaya
preemtif dan preventif serta refresif.
Konsep refresif ini lahir dari hukum yang otonom atau hukum yang kaku.
Upaya refresif menyangkut segala upaya Polri dalam melakukan penindakan terhadap
semua peristiwa pidana dengan menerapkan hukum pidana. Penerapan refresif
demikian tentunya akan menimbulkan penderitaan dan terkadang ketidakadilan.
Pidana kadang-kadang dirasakan sebagai suatu penderitaan yang bersifat khusus
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang bagi pelanggar semata-mata karena orang
tersebut melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. 147
Sedangkan upaya preemtif dan preventif menyangkut segala upaya Polri
dalam rangka pencegahan dan deteksi dini terhadap faktor-faktor kondusif yang
menyebabkan munculnya pelanggaran dan kejahatan. 148 Konsep preemtif dan
preventif bukan untuk melakukan penindakan dan penderitaan, tetapi lebih jauh
daripada itu berupaya untuk menyelesaikan problem masyarakat melalui pendekatan
147
148
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensir Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hal. 34.
Mahmud Mulyadi, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
102
dari berbagai aspek, misalnya pendekatan budaya, sosial, pendidikan, lingkungan,
ekonomi, dan lain-lain.
Konsep preemtif dan preventif sebagai konsep yang ditawarkan dalam
paradigma hukum yang responsif, atau hukum sebagai fasilitator dari sejumlah
respon terhadap aspirasi kebutuhan sosial hukum yang berkembang di masyarakat,
sedangkan hukum refresif sebagai abdi kekuasaan, hukum otonom sebagai institusi
yang mampu mengolah refresif dan melindungi integritasnya sendiri. 149
Ada juga beberapa keberhasilan dari hukum refresif, tetapi hanya mampu
memproses penjahat kelas kecil seperti orang-orang miskin yang tidak punya akses
pembelaan di sidang pengadilan. Bahkan umumnya orang-orang yang memenuhi
rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan merupakan produk hukum yang
dihasilkan menjadi sangat refresif. 150
Kehadiran konsep Polmas melalui peran para Babinkamtibmas bukanlah
semata-mata untuk menarapkan hukum refresif kepada masyarakat, tetapi mencari
cara-cara lain yang lebih humanis dan bersahabat untuk meminimalisir peningkatan
angka kriminalitas, sehingga upaya refresif akan mengalami penurunan. Hukum akan
dapat dikatakan semakin efektif jika angka kejahatan dapat diturunkan tetapi bila
angka tersebut tidak menurun atau naik maka perlu dievaluasi kinerja Polri tersebut.
149
Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum yang Responsif, Konsep Philippe Nonet &
Philip Selznick, Perbandingan Civil Law System & Common Law System, Spiral Kekerasan &
Penegakan Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 39.
150
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal.
49-51.
Universitas Sumatera Utara
103
UU Kepolisian mengatur didalamnya menyangkut tugas Babinkamtibmas.
Fungsi Polri dalam Pasal 2 UU Kepolisian adalah untuk menegakkan hukum,
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat. Dalam norma ini terkandung fungsi khusus dari
Babinkamtibmas yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan bagi warga masyarakat, sekaligus untuk
mencapai tujuan Polri sebagaimana dalam Pasal 4 UU Kepolisian dan menjunjung
tinggi HAM.
UU Kepolisian tidak mengatur secara tersurat mengenai tugas dan wewenang
khusus dari Babinkamtibmas, melainkan hanya ditentukan tugas-tugas Polri secara
umum saja, tetapi jika ditafsirkan normanya, misalnya norma yang terkandung di
dalam Pasal 13 UU Kepolisian tersebut, maka dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan bagi warga
masyarakat, merupakan tugas dan wewenang
yang paling dekat
dengan
Babinkamtibmas, termasuk tugas-tugas Polri yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1)
UU Kepolisian. 151
151
Lebih rinci dalam Pasal 14 ayat (1) UU Kepolisian terdapat beberapa hal yang menjadi
tugas Polri yaitu:
a. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan dan ketertiban;
b. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan;
c. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
d. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,
penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
e. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari
gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia;
Universitas Sumatera Utara
104
Tugas-tugas yang terdapat dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) UU
Kepolisian tersebut pada intinya melaksanakan kebijakan non penal atau
melaksanakan hukum tanpa menggunakan sarana hukum pidana melalui pendekatanpendekatan kemitraan. Tugas-tugas tersebut dilaksanakan sebagai upaya antisipatif
terhadap kemungkinan munculnya pelanggaran dan kejahatan.
Pendekatan kebijakan secara non penal sebagai upaya untuk menanggulangi
kejahatan dengan menggunakan sarana lain selain hukum pidana (penal). Pendekatan
lain yang dapat dilakukan adalah melalui penyuluhan kesadaran hukum masyarakat,
pendidikan, budaya, pengajian, kerohaniaan, dan lain-lain yang inti sebenarnya
adalah bertujuan untuk mencegah kriminal. Upaya penanggulangan kejahatan melalui
penal lebih menitikberatkan pada sifat pemberantasan (refresif), sedangkan non penal
lebih menitikberatkan pencegahan atau penangkalan (preemtif dan preventif).
Upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan dengan cara non penal
merupakan penanggulangan yang bersifat mendasar. Karena pencegahan atau
penanggulangan terhadap kejahatan tidak menyelesaikan akar permasalahan jika
tanpa diiringi dengan tindakan menghilangkan hal-hal yang menjadi faktor-faktor
penyebab yang menimbulkan kriminalitas tersebut.
Kemudian jika diperhatikan norma yang terkandung di dalam Pasal 15 ayat
(1) UU Kepolisian, juga mengandung tugas-tugas Babinkamtibmas. Tugas-tugas
f.
g.
Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi
dan/atau pihak yang berwenang;
Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup
tugas kepolisian.
Universitas Sumatera Utara
105
tersebut menyangkut upaya-upaya yang dapat dilakukan selain menggunakan sarana
hukum pidana. 152
Babinkamtibmas juga dapat menerima laporan dan atau pengaduan atas
tindakan kriminal untuk sementara waktu sebelum dilakukan penanganannya oleh
penyidik. Melalui Babinkamtibmas laporan atau pengaduan dapat diserahkan kepada
penyidik. Dalam hal membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang
dapat mengganggu ketertiban umum, Babinkamtibmas dapat melakukan mediasi,
bertindak sebagai mediator di antara kedua belah pihak yang berkonflik agar tidak
sampai menimbulkan gangguan sistemik terhadap ketertiban umum.
Tugas-tugas lain menyangkut upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan
oleh Babinkamtibmas yaitu mencegah tumbuhnya penyakit masyarakat seperti
mencuri, narkotika, perjudian, dan lain-lain. Babinkamtibmas memberikan arahanarahan terhadap bahaya dari penggunaan narkotika, dampak dari perbuatan judi,
pelacuran, bahaya anarkisme, dan seterusnya. Babinkamtibmas juga dapat melakukan
152
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
Tugas-tugas dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kepolisian tersebut antara lain:
Menerima laporan dan/atau pengaduan;
Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban
umum;
Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa;
Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan;
Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
Mencari keterangan dan barang bukti;
Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional;
Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan
masyarakat;
Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Universitas Sumatera Utara
106
tugasnya dalam hal mengawasi aliran-aliran kepercayaan radikal yang dapat
menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Pimpinan dapat pula mengeluarkan peraturan misalnya mengeluarkan
peraturan menyangkut kegiatan di malam hari, memberlakukan jam ronda di malam
hari. Bagi warga yang tidak memiliki urusan penting dan mendesak dilarang
berkeliaran di malam hari khususnya anak-anak. Mengeluarkan aturan bagi setiap
orang khususnya orang lain (asing) yang masuk ke daerah pemukiman warga
masyarakat atau desa-desa tertentu.
Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan pencegahaan
dengan melakukan pemeriksaaan tentang data kependudukan warga misalnya setiap
dua kali setahun untuk mengantisipasi orang lain yang bermaksud jahat atau maksud
lain di dalam atau di luar pemukiman warga. Penempatan Babinkamtibmas yang
berada di setiap kelurahan maupun di kota-kota dan di desa-desa untuk melakukan
pendataan terhadap warga masyarakat berkaitan dengan penduduk yang menetap dan
pendatang.
Babinkamtibmas
juga
bertindak
dini
terhadap
kemungkinan
bersembunyinya pelaku kejahatan di tengah-tengah pemukiman warga.
Babinkamtibmas dapat melakukan tindakan pertama di tempat kejadian,
sesuai pula dengan keberadaan tempat tinggal petugas Babinkamtibmas ditempatkan
berada di tengah-tengah masyarakat pedesaan maupun kota. Para Babinkamtibmas
tinggal berdampingan dengan masyarakat setempat. Wujud dari pelaksanaan tugas
misalnya mendirikan pos-pos polisi (pospol), siskamling, dan lain-lain untuk
memudahkan warga menyampaikan laporan atau pengaduannya. Pospol yang
Universitas Sumatera Utara
107
didirikan itu mempermudah reaksi cepat dalam hal penanganan pertama terhadap
kemungkinan peristiwa yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan warga.
Polmas sebagai salah satu rencana dalam Grand Strategi Polri 2005
ditindaklanjuti dengan Perkapolri dengan mengeluarkan Perkapolri Nomor 7 Tahun
2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat
Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Perkapolri ini menentukan strategi Polmas
adalah implementasi pemolisian proaktif yang menekankan kemitraan sejajar antara
polisi dan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penangkalan kejahatan,
pemecahan masalah sosial yang berpotensi menimbulkan gangguan Kamtibmas
dalam rangka meningkatkan kepatuhan hukum dan kualitas hidup masyarakat.153
Tugas utama Babinkamtibmas adalah melakukan pembinaan terhadap
masyarakat, mengadakan kemitraan dengan masyarakat, melakukan pemecahan
masalah (konflik) dengan masyarakat, dan melakukan upaya deteksi dini terhadap
faktor-faktor kondusif munculnya kriminalitas dalam masyarakat. Jika dirinci dari
Sasaran Strategi Polmas maka tugas Babinkamtibmas meliputi: 154
1. Berupaya menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat komunitas
terhadap potensi gangguan keamanan, ketertiban dan ketentraman di
lingkungannya.
2. Berupaya meningkatnya kemampuan masyarakat bersama dengan polisi untuk
mengidentifikasi akar permasalahan yang terjadi di lingkungannya,
melakukan analisis dan memecahkan masalahnya.
3. Berupaya mengatasi permasalahan yang ada secara bersama-sama antara
Polisi dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
153
Pasal 1 angka 8 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
154
Pasal 10 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
108
4. Berupaya meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
5. Berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan
Kamtibmas di lingkungannya masing-masing.
6. Berupaya meminimalisir peristiwa yang mengganggu keamanan, ketertiban
dan ketentraman masyarakat/komunitas.
Metode yang dilakukan oleh Babinkamtibmas didasari pada prinsip
kesetaraan guna membangun kepercayaan warga masyarakat terhadap Polri sehingga
terwujud kebersamaan dalam rangka memahami masalah kamtibmas dan masalah
sosial, menganalisis masalah, mengusulkan alternatif-alternatif solusi yang tepat
dalam rangka menciptakan rasa aman, tenteram dan ketertiban (tidak hanya
berdasarkan pada hukum pidana dan penangkapan), melakukan evaluasi serta
evaluasi ulang terhadap efektifitas solusi yang dipilih. Pola operasional Polmas
adalah: 155
1. Memecahkan masalah gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat lebih
mengutamakan proses mengidentifikasi akar permasalahan, menganalisa,
menetapkan prioritas tindakan, mengevaluasi efektivitas tindakan bersama
dengan masyarakat, sehingga bukan hanya sekedar mencakup penanganan
masalah yang bersifat sesaat.
2. Pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat menuju terwujudnya tujuh
dimensi pelayanan masyarakat yang mencakup komunikasi berbasis
kepedulian, tanggap, cepat dan tepat, kemudahan pemberian informasi,
prosedur yang efisien dan efektif, biaya yang formal dan wajar, kemudahan
penyelesaian urusan, lingkungan fisik tempat kerja yang kondusif.
3. Menegakkan hukum lebih diutamakan kepada sasaran peningkatan kesadaran
hukum daripada peningkatan hukum.
4. Penindakan hukum merupakan alternatif terakhir bila cara-cara pemulihan
masalah atau cara-cara pemecahan masalah yang bersifat persuasif tidak
berhasil.
155
Pasal 12 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
109
Babinkamtibmas dalam melaksanakan Polmas tidak hanya melakukan tugas
untuk memecahkan masalah (konflik sosial) namun sesuai Pasal 12 Perkapolri Nomor
7 Tahun 2008 tersebut diharapkan kepada Babinkamtibmas dapat melaksanakan
upaya penegakan hukum sebagai alternatif terakhir bila cara-cara pemulihan masalah
atau cara-cara pemecahan masalah secara persuasif tidak berhasil. Misalnya
menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran ringan atau tindak pidana ringan.
Bentuk-bentuk kegiatan dalam penerapan Polmas antara lain: 156
1. Kegiatan pelayanan dan perlindungan warga masyarakat, meliputi:
a. Intensifikasi kegiatan pembinaan masyarakat;
b. Intensifikasi patroli dan tatap muka petugas Polri dengan warga;
2. Komunikasi intensif petugas Polri dengan warga masyarakat, meliputi:
a. Intensifikasi kontak person antara petugas dengan warga secara
langsung/tatap muka, atau melalui sarana komunikasi;
b. Pemanfaatan sarana media pers cetak maupun elektronik;
c. Penyelenggaraan forum komunikasi Polri dan masyarakat;
3. Pemanfaatan FKPM untuk pemecahan masalah, eliminasi akar permasalahan
dan pengendalian masalah sosial, meliputi:
d. Pemanfaatan tempat, balai pertemuan untuk forum komunikasi
masyarakat;
e. Pemanfaatan forum pertemuan yang dilaksanakan warga masyarakat
secara rutin, periodik, atau insidentil;
f. Pendekatan dan komunikasi intensif dengan tokoh-tokoh formal dan
informal (adat, agama, pemuda, tokoh perempuan/ibu-ibu, pengusaha,
profesi, dan sebagainya) dalam rangka mengeliminasi akar permasalahan
dan pemecahan masalah keamanan/ketertiban.
4. Pemberdayaan pranata sosial untuk pengendalian sosial, eliminasi akar
masalah dan pemecahan masalah social.
5. Penerapan konsep pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternative
yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses
hukum atau non litigasi (alternative dispute resolution), misalnya melalui
upaya perdamaian.
6. Pendidikan/pelatihan keterampilan penanggulangan gangguan Kamtibmas.
156
Pasal 14 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
110
7. Koordinasi dan kerjasama dengan kelompok formal ataupun informal dalam
rangka pemecahan masalah Kamtibmas.
Bentuk operasional Polmas mencakup kegiatan perorangan oleh petugas
pengemban Polmas di lapangan, kegiatan oleh supervisor/pengendali petugas Polmas,
dan kegiatan oleh manajemen. 157 Kegiatan perorangan Babinkamtibmas di lapangan
dapat dilakukan berupa: 158
1. Memfasilitasi siskamling di lingkungan tempat tinggalnya.
2. Memanfaatkan kesempatan arisan ibu-ibu dan pertemuan-pertemuan rutin di
wilayahnya untuk mendiskusikan soal-soal Kamtibmas yang menjadi
kepedulian warga.
3. Memanfaatkan pos pasar untuk menjalin komunikasi dengan para pedagang
dan pembeli, dan memberi informasi mengenai masalah pencurian dan
pencopetan.
4. Menggunakan penyelenggaraan kegiatan masyarakat seperti pertandingan
sepakbola, konser musik, dan sebagainya untuk menjalin komunikasi intensif
dengan warga yang terlibat untuk mengantisipasi masalah yang dapat terjadi
dan melakukan perencanaan bersama dengan warga secara proaktif untuk
menghindari masalah Kamtibmas.
5. Melakukan tatap muka dengan berbagai kelompok warga, termasuk tokoh
masyarakat, agama formal dan informal, kelompok pemuda-pemudi,
kelompok perempuan atau kaum ibu-ibu, siswa, mahasiswa ,serta segmen
warga rentan yang sering tak terangkat suaranya untuk mengajak partisipasi
aktif untuk memelihara rasa aman, tertib dan tenteram dilingkungannya.
Bentuk kegiatan Babinkamtibmas yang dilaksanakan oleh pengendali
(supervisor) Polmas antara lain: 159
1. Menyelenggarakan tatap muka dengan komunitas tertentu menggunakan
fasilitas yang ada (misalnya Balai Desa atau Kecamatan atau ruang rapat
sekolah).
157
Pasal 20 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
158
Pasal 21 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
159
Pasal 22 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
111
2. Memberdayakan dan mengendalikan peran pranata sosial sebagai wadah
untuk penyelesaian masalah sosial, agar dapat berfungsi positif bagi
pemecahan masalah sosial dan tidak menyimpang atau bertentangan dengan
hukum yang berlaku.
3. Memfasilitasi kegiatan umum (pertandingan olahraga, pementasan seni dan
budaya, pertemuan ilmiah, pertemuan sosial) untuk sarana membangun
kemitraan Polri dengan warga masyarakat.
4. Koordinasi dengan penyelenggara pertandingan olahraga, pertunjukan seni
dan budaya untuk menata pola pengamanan guna mencegah terjadinya
gangguan ketertiban dan keamanan, misalnya: pembatasan jumlah
pengunjung agar tidak melebihi kapasitas lokasi, pembagian/penugasan
koordinator penonton/supporter di lapangan, dan sebagainya.
5. Menghadiri atau memfasilitasi forum diskusi/pertemuan yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat dan memanfaatkannya untuk membangun kemitraan
anatara Polri dengan masyarakat dalam rangka mencegah dan menanggulangi
gangguan Kamtibmas.
6. Memfasilitasi penyelenggaraan lomba-lomba keterampilan yang berkaitan
dengan masalah Kamtibmas.
Bentuk
kegiatan
Babinkamtibmas
pada
tingkat
manajemen
adalah
berkoordinasi dan komunikasi dengan pejabat formal dalam rangka pengembangan
sistem penanggulangan Kamtibmas. Konsultasi dan diskusi dalam pembuatan aturan,
perijinan, pengaturan, pembangunan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
bencana alam. Koordinasi dengan Pemda atau instansi terkait dalam rangka
menggalakkan pranata sosial yang masih dapat berfungsi sebagai pengendalian sosial
dan tidak bertentangan dengan hukum positif. Penentuan sasaran, metode, dan
prioritas penerapan program di wilayah dan dalam batas kewenangan jabatannya. 160
Bentuk-bentuk kegiatan Babinkamtibmas pada tempat atau di desa tertentu
tidak sama dengan bentuk kegiatan yang dilaksanakan di desa lain. Bentuk-bentuk
kegiatannya disesuaikan dengan kondisi dan situasi warga masyarakat serta
160
Pasal 23 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
112
kebutuhan daerah setempat. Penugasan kepada Babinkamtibmas ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang dengan memperhatikan dan mempertimbangkan faktorfaktor sebagai berikut: 161
1. Bentuk kegiatan disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan masyarakat di
wilayah penugasan.
2. Perbandingan antara kualitas/kapasitas warga masyarakat yang menjadi
sasaran kegiatan dengan kualitas pengemban tugas.
3. Perimbangan antara bobot materi untuk kegiatan dibandingkan dengan
kualitas, kapasitas dan kemampuan pelaksanaan.
Tugas-tugas Babinkamtibmas pada intinya adalah melakukan pembinaan
terhadap masyarakat, mengadakan kemitraan dengan masyarakat, melakukan
pemecahan masalah (konflik) dengan masyarakat, dan melakukan upaya deteksi dini
terhadap
faktor-faktor
kondusif
munculnya
kriminalitas
dalam
lingkungan
masyarakat. Pembinaan dimaksud untuk menumbuhkan dan mengembangkan serta
mengoptimalkan potensi masyarakat dalam hubungan kemitraan yang sejajar. 162
Pembinaan masyarakat menyangkut segala upaya yang meliputi komunikasi,
konsultasi, penyuluhan, penerangan, pembinaan, pengembangan dan berbagai
kegiatan lainnya dalam rangka untuk memberdayakan segenap potensi masyarakat
guna menunjang keberhasilan tujuan terwujudnya keamanan, ketertiban dan
ketentraman masyarakat. Kemitraan menyangkut segala upaya membangun sinergi
dengan potensi masyarakat yang meliputi komunikasi berbasis kepedulian,
161
Pasal 26 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
162
Pasal 1 angka 10 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
113
konsultasi, pemberian informasi dan berbagai kegiatan lainnya demi tercapainya
tujuan masyarakat yang aman, tertib dan tenteram.
Tugas-tugas Babinkamtibmas merupakan penolakan terhadap pengutamaan
hukum refresif. Sekali lagi dikatakan bahwa tidak bisa diandalkan dengan
menyerahkan sepenuhnya kepada hukum refresif untuk mewujudkan keberhasilan
hukum. Penolakan terhadap hukum refresif telah diagung-agungkan oleh Satjipto
Rahardjo yang menawarkan alternatif baru dari penolakan itu yakni menawarkan
model hukum progresif dan responsif. Hukum progresif menurutnya menolak
pengutamaan ilmu hukum yang bekerja secara analitis dengan mengedepankan
peraturan dan logika. 163
Cara kerja yang bertumpu pada ranah hukum positif tidak akan banyak
menolong penegakan hukum untuk membawa keberhasilan di Indonesia agar keluar
dari keterpurukannya. Hukum progresif lebih mengunggulkan aliran realisme hukum
dan pendekatan sosiologis dalam menjalankan hukum di tengah-tengah masyarakat.
Hukum progresif tidak melihat hukum sebagai produk yang final melainkan secara
terus-menerus harus dibangun. 164 Hukum progresif lebih melihat hukum pada
prosesnya tidak harus melalui hukum refresif. Jika hanya melalui hukum refresif yang
otonom maka tidak akan ada perubahan sebelum hukum diubah, sehingga harus
163
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hal. 21.
164
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
114
memilih konsep perubahan karena dipicu oleh keprihatinan terhadap keterpurukan
hukum di Indonesia. 165
Hukum hendaknya membuat bahagia, menjalankan hukum dengan kecerdasan
spritual, 166 mendambakan dan memposisikan hukum yang ideal di masa yang akan
datang. 167 Jika model ini diterapkan terkait dengan peran Babinkamtibmas maka
eksistensi Polri menjadi dambaan rakyat dan tidak ada lagi garis pemisah perseteruan
antara Polri dan masyarakat. Kepastian hukum perlu juga sekali-kali dipertanyakan
bila untuk menuju keadilan.
Satjipto tidak sependapat dengan adanya kepastian hukum, karena kepastian
hukum dianggapnya suatu yang berlebihan dan menyesatkan sebab menjadi ideologi
dalam hukum. 168 Kepastian hukum disebutnya menimbulkan tindakan refresif,
keadaan refresif, cara berhukum lebih didasarkan pada penggunaan kekerasan dan
paksaan, bisa berubah dan bukan lagi kekuatan fisik yang diandalkan, melainkan
kekuatan dari bekerjanya hukum itu sendiri yang sudah semakin menjadi otonom,
sehingga kepastian hukum itu harus bisa dibebaskan sesuai pada yang seharusnya dan
sepatutnya. 169
Sampailah
pada
kesimpulan
bahwa
tugas-tugas
Babinkamtibmas
sesungguhnya merupakan alternatif lain dari kekecewaan masyarakat terhadap upaya-
165
Ibid., hal. 11-12.
Satjipto Rahadjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007),
hal. 3, 9, 16.
167
Ibid., hal. 73.
168
Satjipt
BAB III
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI
WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN DAERAH SUMATERA UTARA
A. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
Memperhatikan berbagai macam modus operandi dan kuantitas kejahatan
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, maka sangat
perlu diadakan reformasi hukum pidana dari yang bersifat konvensional ke arah yang
lebih bersifat modern, 120 yang dalam bahasa lain disebut kebijakan hukum pidana.
Ada dua upaya dalam rangka menanggulangi kejahatan (kebijakan hukum pidana)
yaitu upaya melalui kebijakan penal (penal policy) dan non penal (non penal policy).
Berbicara mengenai kedua upaya ini tidak terlepas dari kebijakan kriminal (criminal
policy) yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels mengatakan sebagai “criminal
policy is the rational organization of the social reaction to crime”. 121 Kebijakan
kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan
dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan itu sendiri.
Kebijakan hukum pidana merupakan kebijakan yang tidak terpisahkan dengan
penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy). 122 Perbedaan pandangan antara G. Peter Hoefnagels
dan Barda Nawawi Arief terkait kebijakan tersebut di atas adalah terletak pada
120
Fransiska Novita Eleanora, Loc. cit.
G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of
Crime, (Holland: Kluwer Deventer, 1973), hal. 57.
122
Pranggi Siagian, Alvi Syahrin, Mahmud Mulyadi, dan Marlina, “Penjatuhan Sanksi Pidana
Terhadap Anak Pelaku Kejahatan”, USU Law Journal, Vol. 3, No. 2, Tahun 2015, hal. 171.
121
71
Universitas Sumatera Utara
87
level/tingkatan masing-masing elemen. Menurut G. Peter Hoefnagels ketiga elemen
itu harus disejajarkan, sedangkan menurut Barda Nawawi Arief elemen kedua
(prevention without punishment) dan elemen ketiga (influencing view of society on
crime and punishment) harus dimasukkan dalam kebijakan non penal. Sedangkan
prevention without punishment inilah yang diartikan sebagai kebijakan non penal.
Pencegahan menurut G. Peter Hofnagel sebagai bagian tolok ukur
mengemukakan
pencegahan
itu
merupakan
upaya
yang
rasional
dalam
memanggulangi kejahatan dengan mempergunakan sarana penal dan non penal. 123
Penanggulangan kejahatan secara non penal lebih mampu melakukan penangan
terhadap faktor-faktor penyebab, mencegah terjadinya kejahatan yang berpusat pada
masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak
langsung dapat menumbuhkan dan menyuburkan. 124 Upaya non penal dapat
dilakukan sebelum terjadinya kejahatan (pencegahan kejahatan atau cirme
prevention), dan juga dapat dilakukan setelah kejahatan itu terjadi misalnya
melakukan upaya perlindungan sosial (social defence), reintegrasi, rehabilitasi sosial,
dan lain-lain. 125
Hukum pidana mempunyai keterbatasan. Bukti keterbatasan hukum pidana
dalam menanggulangi kejahatan 126 adalah tidak efektif menimbulkan efek penjeraan
kepada para pelaku, bahkan kuantitas kejahatan semakin meningkat seiring dengan
123
Rina Melati Sitompul, dkk., Op. cit., hal. 197.
Muhammad Natsir, KoesnoAdi, PrijaDjatmika, dan Rodliyah, Op. cit., hal. 3.
125
Rina Melati Sitompul, dkk., Op. cit., hal. 191.
126
E.Z. Leasa, “Penerapan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (Double Track System) Dalam
Kebijakan Legislasi”, Jurnal Sasi, Vol. 16, No. 4, Tahun 2010, hal. 51.
124
Universitas Sumatera Utara
88
meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sering dengan
perkembangan teknologi menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional dengan
modus operandi yang semakin canggih dan berteknologi tinggi. 127 Perlunya kebijakan
kriminal diperluas hingga meliputi upaya non penal sebagaimana dimaksud oleh
Barda Nawawi Areif karena kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana
penal (penal policy) mempunyai keterbatasan. 128
Keterbatasan hukum pidana harus pula diimbangi dengan kebijakan lain di
luar hukum pidana. Hal itu sejalan dengan doktrin kebijakan pananggulangan
kejahatan melalui politik kriminal yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels
meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Sebagaimana G. Peter Hoefnagels
mendiferensialkan ruang lingkup “criminal policy” itu meliputi: 129
1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (influencing view of society on crime and punishment).
Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut Hoefnagels
dapat memadukan upaya criminal law aplication, upaya prevention without
punishment, dan upaya influencing views of society on crime and punishment mass
127
Krisnawati., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006),
hal. 3.
128
Barda Nawawi Arief (II), Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010), hal. 174.
129
G. Peter Hoefnagels, Op. cit., hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
89
media. 130 Salah satu pendekatan dalam menanggulangi kejahatan yang dikemukakan
dalam teori G. Peter Hoefnagels adalah prevention without punishment yaitu
pencegahan kejahatan tanpa menggunakan pidana. Kebijakan selain hukum pidana
berarti tidak hanya meliputi kebijakan sosial, akan tetapi juga mencakup kebijakan
hukum yaitu hukum perdata, dan hukum administrasi negara. Dari lingkup prevention
without punishment inilah dapat ditarik suatu istilah yaitu kebijakan non penal
(kebijakan selain hukum pidana).
Kondisi-kondisi sosial seperti masalah kejahatan, masalah perselisihan antar
suku, agama, dan ras (sara), serta konflik lainnya sulit dipecahkan jika hanya
mengandalkan pendekatan kebijakan penal semata dengan cara refresif. 131 Akan
tetapi penanggulangannya harus diperlukan pendekatan lain yakni berupa pendekatan
non penal. 132 Pendekatan secara non penal berupaya melibatkan kebijakan-kebijakan
sosial dan juga di luar kebijakan sosial dalam pencegahan kejahatan berbasis pada
masyarakat (social) sebagai objek kajian, termasuk kebijakan selain hukum pidana.
Alternatif pada aspek prevention without punishment ini ditafsirkan oleh para
pakar sebagai kebijakan non penal yang lingkupnya sangat luas. 133 Kebijakan melalui
pendekatan non penal diperlukan dalam rangka untuk mengatasi masalah sosial atau
setidak-tidaknya dapat meredam masalah sosial agar tidak berlanjut. Perlu diketahui
bahwa kebijakan non penal tidak saja menyangkut seluruh kebijakan sosial, akan
130
Ibid.
M. Risya Mustario, Peran Babinkamtibnas Dalam Penanganan Konflik Sosial Khususnya
di Wilayah Kepolisian Resor Serdang Bedagai, (Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2014), hal. 23.
132
Ibid., hal. 2, hal. 24, hal. 63, dan hal. 147.
133
Nanda Ivan Natsir, Op. cit., hal. 20-21.
131
Universitas Sumatera Utara
90
tetapi juga menyangkut penerapan hukum selain hukum pidana, misalnya
menerapkan hukum perdata dan hukum administrasi negara dalam menanggulangi
kejahatan korupsi.
Ternyata dalam rangka meminimalisir kuantitas kejahatan bukan saja hanya
dapat dilakukan melalui penerapan hukum pidana, maupum melalui kebijakan sosial,
akan tetapi selain hukum pidana dan selain kebijakan sosial juga dapat dilakukan
melalui pendekatan lain yaitu pendekatan pada aspek hukum perdata dan hukum
administrasi negara. Argumentasi ini diperoleh dari doktrin-doktrin para ahli
sebagaimana di atas yang telah memperluas makna kebijakan kriminal tersebut
meliputi penal dan non penal.
Lebih lanjut menurut G. Peter Hoefnagels, model pendekatan kebijakan non
penal dapat berupa perencanaan kesehatan mental masyarakat (community planning
mental health), termasuk kesehatan mental masyarakat secara nasional (national
mental health), kesejahteraan anak dan pekerja sosial (social worker and child
welafare), dan penggunaan hukum civil dan hukum administrasi (administration and
civil law). 134
Aspek ketiga dari lingkup yang disebut G. Peter Hoefnagels di atas adalah
influencing view of society on crime and punishment, berupaya sedapat mungkin
mempengaruhi
pandangan-pandangan
masyarakat
mengenai
kejahatan
dan
pemidanaan lewat media massa. Upaya untuk mempengaruhi pandangan-pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media massa pada
134
G. Peter Hoefnagels dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy….Op. cit., hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
91
prinsipnya bukan merupakan hakikat hukum pidana namun sebagai bentuk perluasan
dan pergeseran paradigma kebijakan sosial ke arah yang lebih rasional dan responsif
dalam rangka menggulangi kejahatan secara terintegral.
Hukum pidana pada hakikatnya adalah bersifat refresif (repressive) yang
diwujudkan dalam bentuk penindakan, pemberantasan, atau penumpasan sesudah
kejahatan itu terjadi, sedangkan upaya untuk mempengaruhi pandangan-pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan melalui media massa dilakukan
sebelum terjadinya kejahatan, tujuannya adalah agar masyarakat mengetahui dan
mewaspadai serta mencegah dirinya sendiri secara dini jangan sampai terjerumus ke
dalam kejahatan sehingga timbullah kesadaran hukum bagi masyarakat itu sendiri.
Kontribusi media massa dalam rangka kebijakan kriminal dalam teori
Hoefnagels disejajarkannya dengan upaya-upaya kebijakan kriminal yang lain yaitu
criminal
law application
(practical
criminology),
dan prevention
without
punishment. 135 Hal itu juga tergambar dalam buku Barda Nawawi Arief berjudul
“Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru. 136 Perbedaan pandangan antara G. Peter Hoefnagels dan Barda Nawawi
Arief terkait ketiga kebijakan tersebut di atas adalah terletak pada level/tingkatan
135
Budiyono, “Pemanfaatan Media Massa oleh Penegak Hukum Dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Perspektif, Volume XVIII No. 1 Tahun 2013, Edisi Januari, hal. 2.
Pentingnya media massa dimanfaatkan dalam upaya penanggulangan tindak pidana korupsi karena
media massa atau pers mempunyai fungsi yang cukup strategis dalam politik kriminal, seperti
dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels bahwa media massa atau mass media ini sebagai salah satu
unsur dari politik kriminal atau criminal policy (G. Peter Hoefnagels, 1969:56). Fungsi media massa
dalam kerangka politik kriminal menurut Hoefnagels ditujukan untuk mempengaruhi pandanganpandangan masyarakat tentang tindak pidana dan pemidanaan atau influencing view of society on crime
and punishment.
136
Barda Nawawi Arief (I), Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
92
masing-masing elemen. Menurut G. Peter Hoefnagels ketiga elemen itu harus
disejajarkan, sedangkan menurut Barda Nawawi Arief elemen kedua dan elemen
ketiga harus dimasukkan dalam kebijakan non penal. 137
Apapun perbedaan level/tingkatan masing-masing dari elemen itu tidak perlu
dipersoalkan dalam kerangka ini, namun yang menjadi fokus adalah titik sentral
kebijakan kriminal tidak hanya dapat dilakukan melalui upaya penal saja tetapi dapat
pula dilakukan upaya-upaya lain di luar dari hukum pidana. Singkatnya Barda
Nawawi Arief membagi kebijakan kriminal itu secara garis besar menjadi dua
kelompok yaitu upaya penal dan non penal. Jalur penal berarti mengupayakan hukum
pidana sedangkan jalur non penal yaitu mengupayakan selain hukum pidana atau di
luar hukum pidana. 138
B. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Tanpa Menggunakan Hukum Pidana
Menurut Mahmud Mulyadi kebijakan penanggulangan kejahatan melalui
pendekatan non penal lebih bersifat pada tindakan (matregel) yaitu pencegahan
sebelum terjadinya kejahatan. 139 Oleh karena itu sasaran utamanaya adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada
masalah-masalah
atau
kondisi-kondisi
sosial
yang
secara
langsung
dapat
menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Sedangkan menurut Barda
kebijakan penanggulangan kejahatan melalui pendekatan non penal mempunyai
137
Ibid.
Ibid.
139
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy….Op. cit., hal. 55.
138
Universitas Sumatera Utara
93
kedudukan yang strategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan
diefektifkan. 140
Kebijakan penanggulangan kejahatan perjudian baik penal maupun non penal
dari dulu hingga kini atau dari sejak berlakunya KUH Pidana, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1974 maupun UUITE tidak juga dapat meminimalisir praktik-praktik
perjudian di Indonesia khususnya di wilayah Polda Sumut. Faktor ini menjadi lebih
rumit karena kurangnya dukungan kebijakan karena Polda Sumut cenderung
menggunakan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan judi selama ini di
wilayah Sumut lebih banyak dilakukan penindakan (refresif) dan tidak didukung
dengan upaya-upaya non penal secara terintegrasi melalui upaya preemtif dan
preventif, bilapun ada tetapi tidak dijalankan secara maksimal dan tidak serius.
Kebijakan penanggulangan kejahatan perjudian dapat dicontohkan dari sisi
non penal adalah membangun kembali dua hal yang harus menjadi sorotan dan perlu
diperhatikan bersama, yaitu pertama, perlu diupayakan dan dikembangkan program
Perpolisian Masyarakat (Perpolmas) yang saat ini wujudnya ”hidup segan mati tak
mau” dan kedua, perlu keseriusan dan kejujuran dari para petinggi-petinggi aparatur
penegak hukum khususnya para petinggi Polri dalam memberantas perjudian.
Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan non penal merupakan kebijakan
selain menerapkan hukum pidana, oleh karena itu upaya-upaya apa saja yang
dilakukan di luar jalur hukum pidana adalah termasuk kebijakan non penal. Misalnya
140
Barda Nawawi Arief (II), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996), hal. 33.
Universitas Sumatera Utara
94
salah satu contoh upaya untuk menghidupkan Perpolmas atau Bintara Pembina
Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) di Polsek-Polsek di seluruh wilayah Polda
Sumut merupakan salah satu upaya non penal dan upaya alternatif yang paling
diharapkan dalam penyelesaian konflik-konflik sosial termasuk dalam penyelesaian
perkara-perkara ringan dan deteksi dini terhadap kriminogen kejahatan dalam
lingkungan masyarakat. 141
Krisis kepercayaan terhadap Polri membuat masyarakat tidak takut melanggar
peraturan dan warga menganggap kewibawaan Polri hanya ada karena senjata dan
wewenang formalnya. Pandangan masyarakat yang banyak uang menganggap polisi
tidak ada wibawa karena dapat dikendalikan dengan uang, sementara di era
kebebasan pers penyelewengan oknum Polri semakin terbuka yang membuat citra
Polri semakin terpuruk.142
Sutanto mengeluarkan kebijakan pada bulan Oktober 2005 tentang Polmas
yang mencakup sebuah penilaian terhadap kekurangan-kekurangan Polri. Kebijakan
ini ini terkait dengan kecenderungan polisi melihat dirinya semata-mata sebagai
pemegang otoritas, dan institusi kepolisian dipandang semata-mata sebagai alat
141
Wawancara dengan Herman, Kepala Unit Penyidikan (Panit Sidik) Polda Sumut, Tanggal
25 Januari 2016.
142
International Crisis Group Working to Prevent Conflict Worldwide, “Indonesia: Akibat
Fatal Dari Pemolisian Yang Lemah, Ringkasan Ikhtisar dan Rekomendasi, Asia Report N 218, Tanggal
16 Februari 2012, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
95
negara sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai
pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. 143
Polmas menjadi prioritas kedua langsung setelah penegakan keadilan
masyarakat yang diuraikan dalam Grand Strategi Polri 2005. Melalui kerjasama
Pemerintah Jepang dan Indonesia, Jepang telah membantu pembangunan beberapa
pos polisi yang disebut Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat (BKPM) yang
diadopsi dari Koban di Jepang, sementara di sisi lain, kepolisian Indonesia juga
membangun sendiri Balai Polmas juga diadopsi dari Chuzaisho di Jepang, itulah
Babinkamtibmas. 144
Polri terus berbenah dan berupaya menjadi polisi yang profesional dan
mandiri. Reformasi yang dilakukan adalah pada pengembangan pemolisian
masyarakat (community policing) atau lebih sering disebut dengan Polmas yang
menekankan pada kemitraan dengan masyarakat untuk penyelesaian masalah, dalam
upaya pencegahan terhadap ancaman keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Puncaknya ditandai dengan keluarnya strategi Polri untuk dua puluh tahun ke
depan yaitu ditetapkan pada bulan Juni 2005 oleh Kapolri saat itu, Jenderal Sutanto.
Kebijakan ini disebut “Grand Strategi Polri 2005” yang menekankan perlunya
memfokuskan lima tahun pertama (2005-2010) pada upaya membangun kepercayaan
143
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kebijakan dan Strategi Penerapan Model
Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaran Tugas Polri, Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Oktober 2005, Pasal II ayat (1) huruf (b), hal. 4.
144
http://www.id.emb-japan.go.jp/oda/id/topics_200810_police.htm, diakses tanggal 15
Januari 2016. Artikel ditulis di Japan Official Development Assistance oleh Sri Kusmariaty dan Anzai
Toshiya, dengan judul, “Kemitraan Setengah Abad Bantuan ODA Jepang di Indonesia”.
Universitas Sumatera Utara
96
masyarakat pada Polri. Salah satu dari strategi kebijakan itu adalam optimalisasi
Polmas yang tersebut di dalam:
1.
Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol.: 737 Tahun 2005 tanggal 13 Oktober
2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
2.
Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol.: Skep/431/VII/2006 tanggal 1 Juli 2006
tentang Pedoman Pembinaan Personel Pengemban Fungsi Polmas.
3.
Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol.: Skep/432/VII/2006 tanggal 1 Juli 2006
tentang panduan Pelaksanaan Fungsi Operasional Polri dengan Pendekatan
Polmas.
4.
Surat Keputusan Kapolri Nomor Pol.: Skep/433/VII/2006 tanggal 1 Juli 2006
tentang Pembentukan dan Operasionalisasi Polmas.
Muatan dalam surat keputusan Kapolri tersebut di atas menyangkut upaya
optimalisasi Polmas. Kapolri juga mengeluarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor
Pol.: 9 Tahun 2007 Tentang Rencana Strategis Kepolisian Negara Republik Indonesia
2005-2009 (perubahannya) yang kemudian diikuti dengan Kebijakan dan Strategi
Kapolri yang dikeluarkan pada tanggal 8 Desember 2007 tentang Percepatan dan
Pemantapan Implementasi Polmas.
Kebijakan Strategi Polri 2005 tersebut diperbaharui dengan Peraturan Kapolri
(Perkap) Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi
Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Sebagai suatu strategi,
Polmas merupakan model perpolisian yang menekankan kemitraan yang sejajar,
Universitas Sumatera Utara
97
antara polisi dengan masyarakat lokal, dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap
permasalahan sosial, pelanggaran, dan kejahatan yang mengancam keamanan dan
ketertiban, guna meningkatkan kualitas hidup warga masyarakat.
Orientasinya berupaya memberdayakan masyarakat sehingga masyarakat
tidak lagi semata-mata sebagai obyek dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi
kepolisian, melainkan sebagai subyek yang turut menentukan dalam mengelola
sendiri upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib yang difasilitasi oleh
petugas Polmas dari Kepolisian. Warga dan polisi berusaha menemukan,
mengidentifikasi, menganalisis dan mencari jalan keluar atas masalah gangguan
keamanan dan ketertiban.
Polmas merupakan model perpolisian yang menekankan hubungan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sekaligus sebagai falsafah Polmas dengan
menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga. Polmas
mengandung prinsip-prinsip yang sangat sejalan dengan semangat yang selalu
kumandangkan oleh organisasi masyarakat sipil, seperti prinsip transparansi, prinsip
partisipasi, prinsip kesetaraan, prinsip penugasan permanen dan personalisai, prinsip
desentralisasi.
Polri menyadari sepenuhnya bahwa salah satu tuntutan reformasi adalah
menjadikan Polri sebagai kepolisian sipil. Polri harus dapat menyesuaikan diri
dengan perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara merubah paradigmanya
yang kaku tersebut pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan)
Universitas Sumatera Utara
98
menuju pendekatan yang proaktif agar mendapat dukungan publik dengan
mengedepankan kemitraan.
Penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian selama ini, baik dalam pemeliharaan
keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum, Polisi cenderung melihat
dirinya sebagai pemegang otoritas tunggal, sebagai alat negara sehingga pendekatan
kekuasaan
dan
tindakan
represif
seringkali
mewarnai
pelanggaran
dan
penyelewenangn dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tugas melayani dan melindungi
(to serve and to protect) harus dilakukan dengan pendekatan yang birokratis,
sentralistik, dan bersama-sama mewarnai pelaksanaan perlindungan, pengayoman,
pelayanan.
Pelaksanaan tugas kepolisian sehari-hari lebih mengedepankan penegakan
hukum yang utamanya untuk menindak terhadap pelaku kriminal. Model Polmas
justru mendorong polisi untuk lebih dekat dengan masyarakat melalui pendekatan
masyarakat setempat (lokal). Polri melakukan pendekatan yang cerdas (smart), santun
(civilian), kemanusiaan (humanistic), bermartabat (civilized), adaptif, dan beradab
(civilization). Paradigma baru harus mengedepankan kemitraan dalam memecahkan
masalah karena citra Polri sebelum direformasi cenderung sebagai alat penguasa. 145
Sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, dalam hal memelihara
kamtibmas, penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, Polri
145
http://polmas.wordpress.com/2010/05/31/226/, diakses tanggal 16 Januari 2016. Artikel
ditulis oleh Sugianto di Pusat Kajian Kepolisian dan Keamanan (Indonesian Center for Police and
Security Studies), dengan judul, “Pemolisian Komunitas Masyarakat: Optimalisasi Tugas Kepolisian,
Perspektif Dinamika Masyarakat Demokratis”.
Universitas Sumatera Utara
99
tidak hanya berorentasi pada hukum dan perundang-undangan dalam pelaksanaan
perannya, tetapi juga tunduk kepada prinsip-prinsip universal yang berlaku secara
internasional dalam masyarakat madani polri yang menekankan HAM dalam bingkai
supremasi hukum. 146 Hal ini sesuai pula dengan muatan dalam TAP MPR Nomor
II/MPR/1993 Tentang Garis Besar Haluan Negara dimana Polri dibebani pula tugas
melakukan pembinaan Kamtibmas yang diperankan oleh Babinkamtibmas sebagai
ujung tombak terdepan.
Upaya tradisional selama ini telah dilakukan oleh Polri dalam rangka
mewadahi partisipasi masyarakat,
melalui program Bimbingan Masyarakat
(Bimmas), Sistem Keamanan Swakarsa (Siskamswakarsa), dan Sistem Keamanan
Lingkungan (Siskamling), namun upaya ini belum dirasa cukup, karena masih
menempatkan Polisi pada poisisi yang belum sejajar dengan warga masyarakat.
Warga ditempatkan sebagai pihak yang dibina dan polisi selalu menempatkan dirinya
sebagai pembina. Masyarakat hanya sebagai obyek dan polisi sebagai subjek yang
serba lebih sehingga dianggap figur yang mampu menangani dan menyelesaikan
semua permasalahan Kamtibmas yang dihadapi masyarakat. Aroma kekuasaan dan
kekuatan Polri masih berada di atas masyarakat, dirasa masih sangat kental dan
menyebabkan masih terdapatnya jarak pemisah antara warga dan polisi.
Polri menetapkan sebuah strategi perpolisian melalui penerapan Polmas tidak
hanya merupakan suatu program, melainkan suatu falsafah yang menggeser
paradigma konvensional menjadi suatu model perpolisian baru dalam masyarakat
146
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
100
madani. Model ini pada hakikatnya menempatkan masyarakat bukan semata-mata
sebagai obyek tetapi mitra kepolisian dalam pemecahan masalah-masalah sosial
(konflik sosial).
Harapan yang ingin dicapai dari penerapan strategi kebijakan Polmas adalah
terwujudnya Polri yang dipercaya dan mendapatkan dukungan penuh oleh masyarakat
melalui kemitraan sejajar antara polisi dan masyarkat dalam rangka pencegahan
ancaman keamanan dan ketertiban. Polri menyadari akan kesejahteraan masyarakat
bisa terwujud dengan salah satunya adalah menciptakan rasa aman di lingkungan
masyarakat.
Bagi Polri akan selalu menempatkan masyarakat sebagai pemangku
kepentingan (stakeholders) yang utama dan harus mendapatkan layanan yang
bermutu dari Kepolisian. Tantangan yang berat bagi Polri dalam Polmas terutama
untuk membangun pemahaman terhadap komunitas dalam penciptaan situasi aman
dan tertib sekaligus merupakan tanggung jawab bersama di mana keduanya
cenderung beda persepsi antar warga dan polisi.
Pengaturan
tugas-tugas
Babinkamtibmas
pada
prinsipnya
sebagai
implementasi dari dioptimalisasinya Polmas dalam penyelenggaraan tugas keamanan
dan ketertiban. Sebagaimana petugas Polmas di Jepang diperankan oleh para petugas
Koban dan Chusaizho, sementara Polmas di Indonesia diperankan oleh Bintara
Pembina Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) dengan pola 1 (satu) desa untuk 1
(satu) orang petugas Babinkamtibmas.
Universitas Sumatera Utara
101
Dasar aturan tugas-tugas Babinkamtibmas telah ada diatur secara tersirat di
dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia, dan tersurat di dalam Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman
Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan
Tugas Polri. Norma secara tersirat terkandung di dalam UU Kepolisian tersebut
memuat tugas-tugas Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan upaya-upaya
preemtif dan preventif serta refresif.
Konsep refresif ini lahir dari hukum yang otonom atau hukum yang kaku.
Upaya refresif menyangkut segala upaya Polri dalam melakukan penindakan terhadap
semua peristiwa pidana dengan menerapkan hukum pidana. Penerapan refresif
demikian tentunya akan menimbulkan penderitaan dan terkadang ketidakadilan.
Pidana kadang-kadang dirasakan sebagai suatu penderitaan yang bersifat khusus
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang bagi pelanggar semata-mata karena orang
tersebut melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. 147
Sedangkan upaya preemtif dan preventif menyangkut segala upaya Polri
dalam rangka pencegahan dan deteksi dini terhadap faktor-faktor kondusif yang
menyebabkan munculnya pelanggaran dan kejahatan. 148 Konsep preemtif dan
preventif bukan untuk melakukan penindakan dan penderitaan, tetapi lebih jauh
daripada itu berupaya untuk menyelesaikan problem masyarakat melalui pendekatan
147
148
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensir Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hal. 34.
Mahmud Mulyadi, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
102
dari berbagai aspek, misalnya pendekatan budaya, sosial, pendidikan, lingkungan,
ekonomi, dan lain-lain.
Konsep preemtif dan preventif sebagai konsep yang ditawarkan dalam
paradigma hukum yang responsif, atau hukum sebagai fasilitator dari sejumlah
respon terhadap aspirasi kebutuhan sosial hukum yang berkembang di masyarakat,
sedangkan hukum refresif sebagai abdi kekuasaan, hukum otonom sebagai institusi
yang mampu mengolah refresif dan melindungi integritasnya sendiri. 149
Ada juga beberapa keberhasilan dari hukum refresif, tetapi hanya mampu
memproses penjahat kelas kecil seperti orang-orang miskin yang tidak punya akses
pembelaan di sidang pengadilan. Bahkan umumnya orang-orang yang memenuhi
rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan merupakan produk hukum yang
dihasilkan menjadi sangat refresif. 150
Kehadiran konsep Polmas melalui peran para Babinkamtibmas bukanlah
semata-mata untuk menarapkan hukum refresif kepada masyarakat, tetapi mencari
cara-cara lain yang lebih humanis dan bersahabat untuk meminimalisir peningkatan
angka kriminalitas, sehingga upaya refresif akan mengalami penurunan. Hukum akan
dapat dikatakan semakin efektif jika angka kejahatan dapat diturunkan tetapi bila
angka tersebut tidak menurun atau naik maka perlu dievaluasi kinerja Polri tersebut.
149
Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum yang Responsif, Konsep Philippe Nonet &
Philip Selznick, Perbandingan Civil Law System & Common Law System, Spiral Kekerasan &
Penegakan Hukum, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 39.
150
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal.
49-51.
Universitas Sumatera Utara
103
UU Kepolisian mengatur didalamnya menyangkut tugas Babinkamtibmas.
Fungsi Polri dalam Pasal 2 UU Kepolisian adalah untuk menegakkan hukum,
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat. Dalam norma ini terkandung fungsi khusus dari
Babinkamtibmas yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan bagi warga masyarakat, sekaligus untuk
mencapai tujuan Polri sebagaimana dalam Pasal 4 UU Kepolisian dan menjunjung
tinggi HAM.
UU Kepolisian tidak mengatur secara tersurat mengenai tugas dan wewenang
khusus dari Babinkamtibmas, melainkan hanya ditentukan tugas-tugas Polri secara
umum saja, tetapi jika ditafsirkan normanya, misalnya norma yang terkandung di
dalam Pasal 13 UU Kepolisian tersebut, maka dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan bagi warga
masyarakat, merupakan tugas dan wewenang
yang paling dekat
dengan
Babinkamtibmas, termasuk tugas-tugas Polri yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1)
UU Kepolisian. 151
151
Lebih rinci dalam Pasal 14 ayat (1) UU Kepolisian terdapat beberapa hal yang menjadi
tugas Polri yaitu:
a. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan dan ketertiban;
b. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan;
c. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
d. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,
penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
e. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari
gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia;
Universitas Sumatera Utara
104
Tugas-tugas yang terdapat dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) UU
Kepolisian tersebut pada intinya melaksanakan kebijakan non penal atau
melaksanakan hukum tanpa menggunakan sarana hukum pidana melalui pendekatanpendekatan kemitraan. Tugas-tugas tersebut dilaksanakan sebagai upaya antisipatif
terhadap kemungkinan munculnya pelanggaran dan kejahatan.
Pendekatan kebijakan secara non penal sebagai upaya untuk menanggulangi
kejahatan dengan menggunakan sarana lain selain hukum pidana (penal). Pendekatan
lain yang dapat dilakukan adalah melalui penyuluhan kesadaran hukum masyarakat,
pendidikan, budaya, pengajian, kerohaniaan, dan lain-lain yang inti sebenarnya
adalah bertujuan untuk mencegah kriminal. Upaya penanggulangan kejahatan melalui
penal lebih menitikberatkan pada sifat pemberantasan (refresif), sedangkan non penal
lebih menitikberatkan pencegahan atau penangkalan (preemtif dan preventif).
Upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan dengan cara non penal
merupakan penanggulangan yang bersifat mendasar. Karena pencegahan atau
penanggulangan terhadap kejahatan tidak menyelesaikan akar permasalahan jika
tanpa diiringi dengan tindakan menghilangkan hal-hal yang menjadi faktor-faktor
penyebab yang menimbulkan kriminalitas tersebut.
Kemudian jika diperhatikan norma yang terkandung di dalam Pasal 15 ayat
(1) UU Kepolisian, juga mengandung tugas-tugas Babinkamtibmas. Tugas-tugas
f.
g.
Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi
dan/atau pihak yang berwenang;
Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup
tugas kepolisian.
Universitas Sumatera Utara
105
tersebut menyangkut upaya-upaya yang dapat dilakukan selain menggunakan sarana
hukum pidana. 152
Babinkamtibmas juga dapat menerima laporan dan atau pengaduan atas
tindakan kriminal untuk sementara waktu sebelum dilakukan penanganannya oleh
penyidik. Melalui Babinkamtibmas laporan atau pengaduan dapat diserahkan kepada
penyidik. Dalam hal membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang
dapat mengganggu ketertiban umum, Babinkamtibmas dapat melakukan mediasi,
bertindak sebagai mediator di antara kedua belah pihak yang berkonflik agar tidak
sampai menimbulkan gangguan sistemik terhadap ketertiban umum.
Tugas-tugas lain menyangkut upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan
oleh Babinkamtibmas yaitu mencegah tumbuhnya penyakit masyarakat seperti
mencuri, narkotika, perjudian, dan lain-lain. Babinkamtibmas memberikan arahanarahan terhadap bahaya dari penggunaan narkotika, dampak dari perbuatan judi,
pelacuran, bahaya anarkisme, dan seterusnya. Babinkamtibmas juga dapat melakukan
152
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
Tugas-tugas dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kepolisian tersebut antara lain:
Menerima laporan dan/atau pengaduan;
Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban
umum;
Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa;
Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan;
Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
Mencari keterangan dan barang bukti;
Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional;
Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan
masyarakat;
Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Universitas Sumatera Utara
106
tugasnya dalam hal mengawasi aliran-aliran kepercayaan radikal yang dapat
menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Pimpinan dapat pula mengeluarkan peraturan misalnya mengeluarkan
peraturan menyangkut kegiatan di malam hari, memberlakukan jam ronda di malam
hari. Bagi warga yang tidak memiliki urusan penting dan mendesak dilarang
berkeliaran di malam hari khususnya anak-anak. Mengeluarkan aturan bagi setiap
orang khususnya orang lain (asing) yang masuk ke daerah pemukiman warga
masyarakat atau desa-desa tertentu.
Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan pencegahaan
dengan melakukan pemeriksaaan tentang data kependudukan warga misalnya setiap
dua kali setahun untuk mengantisipasi orang lain yang bermaksud jahat atau maksud
lain di dalam atau di luar pemukiman warga. Penempatan Babinkamtibmas yang
berada di setiap kelurahan maupun di kota-kota dan di desa-desa untuk melakukan
pendataan terhadap warga masyarakat berkaitan dengan penduduk yang menetap dan
pendatang.
Babinkamtibmas
juga
bertindak
dini
terhadap
kemungkinan
bersembunyinya pelaku kejahatan di tengah-tengah pemukiman warga.
Babinkamtibmas dapat melakukan tindakan pertama di tempat kejadian,
sesuai pula dengan keberadaan tempat tinggal petugas Babinkamtibmas ditempatkan
berada di tengah-tengah masyarakat pedesaan maupun kota. Para Babinkamtibmas
tinggal berdampingan dengan masyarakat setempat. Wujud dari pelaksanaan tugas
misalnya mendirikan pos-pos polisi (pospol), siskamling, dan lain-lain untuk
memudahkan warga menyampaikan laporan atau pengaduannya. Pospol yang
Universitas Sumatera Utara
107
didirikan itu mempermudah reaksi cepat dalam hal penanganan pertama terhadap
kemungkinan peristiwa yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan warga.
Polmas sebagai salah satu rencana dalam Grand Strategi Polri 2005
ditindaklanjuti dengan Perkapolri dengan mengeluarkan Perkapolri Nomor 7 Tahun
2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat
Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Perkapolri ini menentukan strategi Polmas
adalah implementasi pemolisian proaktif yang menekankan kemitraan sejajar antara
polisi dan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penangkalan kejahatan,
pemecahan masalah sosial yang berpotensi menimbulkan gangguan Kamtibmas
dalam rangka meningkatkan kepatuhan hukum dan kualitas hidup masyarakat.153
Tugas utama Babinkamtibmas adalah melakukan pembinaan terhadap
masyarakat, mengadakan kemitraan dengan masyarakat, melakukan pemecahan
masalah (konflik) dengan masyarakat, dan melakukan upaya deteksi dini terhadap
faktor-faktor kondusif munculnya kriminalitas dalam masyarakat. Jika dirinci dari
Sasaran Strategi Polmas maka tugas Babinkamtibmas meliputi: 154
1. Berupaya menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat komunitas
terhadap potensi gangguan keamanan, ketertiban dan ketentraman di
lingkungannya.
2. Berupaya meningkatnya kemampuan masyarakat bersama dengan polisi untuk
mengidentifikasi akar permasalahan yang terjadi di lingkungannya,
melakukan analisis dan memecahkan masalahnya.
3. Berupaya mengatasi permasalahan yang ada secara bersama-sama antara
Polisi dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.
153
Pasal 1 angka 8 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
154
Pasal 10 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
108
4. Berupaya meningkatkan kesadaran hukum masyarakat.
5. Berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menciptakan
Kamtibmas di lingkungannya masing-masing.
6. Berupaya meminimalisir peristiwa yang mengganggu keamanan, ketertiban
dan ketentraman masyarakat/komunitas.
Metode yang dilakukan oleh Babinkamtibmas didasari pada prinsip
kesetaraan guna membangun kepercayaan warga masyarakat terhadap Polri sehingga
terwujud kebersamaan dalam rangka memahami masalah kamtibmas dan masalah
sosial, menganalisis masalah, mengusulkan alternatif-alternatif solusi yang tepat
dalam rangka menciptakan rasa aman, tenteram dan ketertiban (tidak hanya
berdasarkan pada hukum pidana dan penangkapan), melakukan evaluasi serta
evaluasi ulang terhadap efektifitas solusi yang dipilih. Pola operasional Polmas
adalah: 155
1. Memecahkan masalah gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat lebih
mengutamakan proses mengidentifikasi akar permasalahan, menganalisa,
menetapkan prioritas tindakan, mengevaluasi efektivitas tindakan bersama
dengan masyarakat, sehingga bukan hanya sekedar mencakup penanganan
masalah yang bersifat sesaat.
2. Pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat menuju terwujudnya tujuh
dimensi pelayanan masyarakat yang mencakup komunikasi berbasis
kepedulian, tanggap, cepat dan tepat, kemudahan pemberian informasi,
prosedur yang efisien dan efektif, biaya yang formal dan wajar, kemudahan
penyelesaian urusan, lingkungan fisik tempat kerja yang kondusif.
3. Menegakkan hukum lebih diutamakan kepada sasaran peningkatan kesadaran
hukum daripada peningkatan hukum.
4. Penindakan hukum merupakan alternatif terakhir bila cara-cara pemulihan
masalah atau cara-cara pemecahan masalah yang bersifat persuasif tidak
berhasil.
155
Pasal 12 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
109
Babinkamtibmas dalam melaksanakan Polmas tidak hanya melakukan tugas
untuk memecahkan masalah (konflik sosial) namun sesuai Pasal 12 Perkapolri Nomor
7 Tahun 2008 tersebut diharapkan kepada Babinkamtibmas dapat melaksanakan
upaya penegakan hukum sebagai alternatif terakhir bila cara-cara pemulihan masalah
atau cara-cara pemecahan masalah secara persuasif tidak berhasil. Misalnya
menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran ringan atau tindak pidana ringan.
Bentuk-bentuk kegiatan dalam penerapan Polmas antara lain: 156
1. Kegiatan pelayanan dan perlindungan warga masyarakat, meliputi:
a. Intensifikasi kegiatan pembinaan masyarakat;
b. Intensifikasi patroli dan tatap muka petugas Polri dengan warga;
2. Komunikasi intensif petugas Polri dengan warga masyarakat, meliputi:
a. Intensifikasi kontak person antara petugas dengan warga secara
langsung/tatap muka, atau melalui sarana komunikasi;
b. Pemanfaatan sarana media pers cetak maupun elektronik;
c. Penyelenggaraan forum komunikasi Polri dan masyarakat;
3. Pemanfaatan FKPM untuk pemecahan masalah, eliminasi akar permasalahan
dan pengendalian masalah sosial, meliputi:
d. Pemanfaatan tempat, balai pertemuan untuk forum komunikasi
masyarakat;
e. Pemanfaatan forum pertemuan yang dilaksanakan warga masyarakat
secara rutin, periodik, atau insidentil;
f. Pendekatan dan komunikasi intensif dengan tokoh-tokoh formal dan
informal (adat, agama, pemuda, tokoh perempuan/ibu-ibu, pengusaha,
profesi, dan sebagainya) dalam rangka mengeliminasi akar permasalahan
dan pemecahan masalah keamanan/ketertiban.
4. Pemberdayaan pranata sosial untuk pengendalian sosial, eliminasi akar
masalah dan pemecahan masalah social.
5. Penerapan konsep pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternative
yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses
hukum atau non litigasi (alternative dispute resolution), misalnya melalui
upaya perdamaian.
6. Pendidikan/pelatihan keterampilan penanggulangan gangguan Kamtibmas.
156
Pasal 14 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
110
7. Koordinasi dan kerjasama dengan kelompok formal ataupun informal dalam
rangka pemecahan masalah Kamtibmas.
Bentuk operasional Polmas mencakup kegiatan perorangan oleh petugas
pengemban Polmas di lapangan, kegiatan oleh supervisor/pengendali petugas Polmas,
dan kegiatan oleh manajemen. 157 Kegiatan perorangan Babinkamtibmas di lapangan
dapat dilakukan berupa: 158
1. Memfasilitasi siskamling di lingkungan tempat tinggalnya.
2. Memanfaatkan kesempatan arisan ibu-ibu dan pertemuan-pertemuan rutin di
wilayahnya untuk mendiskusikan soal-soal Kamtibmas yang menjadi
kepedulian warga.
3. Memanfaatkan pos pasar untuk menjalin komunikasi dengan para pedagang
dan pembeli, dan memberi informasi mengenai masalah pencurian dan
pencopetan.
4. Menggunakan penyelenggaraan kegiatan masyarakat seperti pertandingan
sepakbola, konser musik, dan sebagainya untuk menjalin komunikasi intensif
dengan warga yang terlibat untuk mengantisipasi masalah yang dapat terjadi
dan melakukan perencanaan bersama dengan warga secara proaktif untuk
menghindari masalah Kamtibmas.
5. Melakukan tatap muka dengan berbagai kelompok warga, termasuk tokoh
masyarakat, agama formal dan informal, kelompok pemuda-pemudi,
kelompok perempuan atau kaum ibu-ibu, siswa, mahasiswa ,serta segmen
warga rentan yang sering tak terangkat suaranya untuk mengajak partisipasi
aktif untuk memelihara rasa aman, tertib dan tenteram dilingkungannya.
Bentuk kegiatan Babinkamtibmas yang dilaksanakan oleh pengendali
(supervisor) Polmas antara lain: 159
1. Menyelenggarakan tatap muka dengan komunitas tertentu menggunakan
fasilitas yang ada (misalnya Balai Desa atau Kecamatan atau ruang rapat
sekolah).
157
Pasal 20 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
158
Pasal 21 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
159
Pasal 22 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
111
2. Memberdayakan dan mengendalikan peran pranata sosial sebagai wadah
untuk penyelesaian masalah sosial, agar dapat berfungsi positif bagi
pemecahan masalah sosial dan tidak menyimpang atau bertentangan dengan
hukum yang berlaku.
3. Memfasilitasi kegiatan umum (pertandingan olahraga, pementasan seni dan
budaya, pertemuan ilmiah, pertemuan sosial) untuk sarana membangun
kemitraan Polri dengan warga masyarakat.
4. Koordinasi dengan penyelenggara pertandingan olahraga, pertunjukan seni
dan budaya untuk menata pola pengamanan guna mencegah terjadinya
gangguan ketertiban dan keamanan, misalnya: pembatasan jumlah
pengunjung agar tidak melebihi kapasitas lokasi, pembagian/penugasan
koordinator penonton/supporter di lapangan, dan sebagainya.
5. Menghadiri atau memfasilitasi forum diskusi/pertemuan yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat dan memanfaatkannya untuk membangun kemitraan
anatara Polri dengan masyarakat dalam rangka mencegah dan menanggulangi
gangguan Kamtibmas.
6. Memfasilitasi penyelenggaraan lomba-lomba keterampilan yang berkaitan
dengan masalah Kamtibmas.
Bentuk
kegiatan
Babinkamtibmas
pada
tingkat
manajemen
adalah
berkoordinasi dan komunikasi dengan pejabat formal dalam rangka pengembangan
sistem penanggulangan Kamtibmas. Konsultasi dan diskusi dalam pembuatan aturan,
perijinan, pengaturan, pembangunan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
bencana alam. Koordinasi dengan Pemda atau instansi terkait dalam rangka
menggalakkan pranata sosial yang masih dapat berfungsi sebagai pengendalian sosial
dan tidak bertentangan dengan hukum positif. Penentuan sasaran, metode, dan
prioritas penerapan program di wilayah dan dalam batas kewenangan jabatannya. 160
Bentuk-bentuk kegiatan Babinkamtibmas pada tempat atau di desa tertentu
tidak sama dengan bentuk kegiatan yang dilaksanakan di desa lain. Bentuk-bentuk
kegiatannya disesuaikan dengan kondisi dan situasi warga masyarakat serta
160
Pasal 23 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
112
kebutuhan daerah setempat. Penugasan kepada Babinkamtibmas ditetapkan oleh
pejabat yang berwenang dengan memperhatikan dan mempertimbangkan faktorfaktor sebagai berikut: 161
1. Bentuk kegiatan disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan masyarakat di
wilayah penugasan.
2. Perbandingan antara kualitas/kapasitas warga masyarakat yang menjadi
sasaran kegiatan dengan kualitas pengemban tugas.
3. Perimbangan antara bobot materi untuk kegiatan dibandingkan dengan
kualitas, kapasitas dan kemampuan pelaksanaan.
Tugas-tugas Babinkamtibmas pada intinya adalah melakukan pembinaan
terhadap masyarakat, mengadakan kemitraan dengan masyarakat, melakukan
pemecahan masalah (konflik) dengan masyarakat, dan melakukan upaya deteksi dini
terhadap
faktor-faktor
kondusif
munculnya
kriminalitas
dalam
lingkungan
masyarakat. Pembinaan dimaksud untuk menumbuhkan dan mengembangkan serta
mengoptimalkan potensi masyarakat dalam hubungan kemitraan yang sejajar. 162
Pembinaan masyarakat menyangkut segala upaya yang meliputi komunikasi,
konsultasi, penyuluhan, penerangan, pembinaan, pengembangan dan berbagai
kegiatan lainnya dalam rangka untuk memberdayakan segenap potensi masyarakat
guna menunjang keberhasilan tujuan terwujudnya keamanan, ketertiban dan
ketentraman masyarakat. Kemitraan menyangkut segala upaya membangun sinergi
dengan potensi masyarakat yang meliputi komunikasi berbasis kepedulian,
161
Pasal 26 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
162
Pasal 1 angka 10 Perkapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Universitas Sumatera Utara
113
konsultasi, pemberian informasi dan berbagai kegiatan lainnya demi tercapainya
tujuan masyarakat yang aman, tertib dan tenteram.
Tugas-tugas Babinkamtibmas merupakan penolakan terhadap pengutamaan
hukum refresif. Sekali lagi dikatakan bahwa tidak bisa diandalkan dengan
menyerahkan sepenuhnya kepada hukum refresif untuk mewujudkan keberhasilan
hukum. Penolakan terhadap hukum refresif telah diagung-agungkan oleh Satjipto
Rahardjo yang menawarkan alternatif baru dari penolakan itu yakni menawarkan
model hukum progresif dan responsif. Hukum progresif menurutnya menolak
pengutamaan ilmu hukum yang bekerja secara analitis dengan mengedepankan
peraturan dan logika. 163
Cara kerja yang bertumpu pada ranah hukum positif tidak akan banyak
menolong penegakan hukum untuk membawa keberhasilan di Indonesia agar keluar
dari keterpurukannya. Hukum progresif lebih mengunggulkan aliran realisme hukum
dan pendekatan sosiologis dalam menjalankan hukum di tengah-tengah masyarakat.
Hukum progresif tidak melihat hukum sebagai produk yang final melainkan secara
terus-menerus harus dibangun. 164 Hukum progresif lebih melihat hukum pada
prosesnya tidak harus melalui hukum refresif. Jika hanya melalui hukum refresif yang
otonom maka tidak akan ada perubahan sebelum hukum diubah, sehingga harus
163
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hal. 21.
164
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
114
memilih konsep perubahan karena dipicu oleh keprihatinan terhadap keterpurukan
hukum di Indonesia. 165
Hukum hendaknya membuat bahagia, menjalankan hukum dengan kecerdasan
spritual, 166 mendambakan dan memposisikan hukum yang ideal di masa yang akan
datang. 167 Jika model ini diterapkan terkait dengan peran Babinkamtibmas maka
eksistensi Polri menjadi dambaan rakyat dan tidak ada lagi garis pemisah perseteruan
antara Polri dan masyarakat. Kepastian hukum perlu juga sekali-kali dipertanyakan
bila untuk menuju keadilan.
Satjipto tidak sependapat dengan adanya kepastian hukum, karena kepastian
hukum dianggapnya suatu yang berlebihan dan menyesatkan sebab menjadi ideologi
dalam hukum. 168 Kepastian hukum disebutnya menimbulkan tindakan refresif,
keadaan refresif, cara berhukum lebih didasarkan pada penggunaan kekerasan dan
paksaan, bisa berubah dan bukan lagi kekuatan fisik yang diandalkan, melainkan
kekuatan dari bekerjanya hukum itu sendiri yang sudah semakin menjadi otonom,
sehingga kepastian hukum itu harus bisa dibebaskan sesuai pada yang seharusnya dan
sepatutnya. 169
Sampailah
pada
kesimpulan
bahwa
tugas-tugas
Babinkamtibmas
sesungguhnya merupakan alternatif lain dari kekecewaan masyarakat terhadap upaya-
165
Ibid., hal. 11-12.
Satjipto Rahadjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007),
hal. 3, 9, 16.
167
Ibid., hal. 73.
168
Satjipt