Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara

16

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perjudian merupakan salah satu penyakit menular masyarakat yang dalam
proses sejarah dari generasi ke generasi tidak mudah diberantas. Kartini Kartono
menyebut masalah perjudian sebagai salah satu bentuk penyakit masyarakat (patologi
sosial). 1 Mengingat masalah perjudian sudah menjadi penyakit akut masyarakat,
maka seharusnya dilakukan upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, tidak hanya
dari Pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga dari kesadaran hukum
dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dan bahu membahu menanggulangi
dan memberantas semua bentuk perjudian.
Berbagai cara telah dilakukan penanganan perjudian namun perjudian tetap
saja menonjol dari kejahatan-kejahatan lainnya di dalam kehidupan masyarakat.
Perjudian pada hakekatnya merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma
agama, moral, kesusilaan maupun hukum. Perjudian merupakan ancaman yang
potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial. 2 Perjudian masih menunjukkan
eksistensinya, bahkan tidak saja dilakukan oleh orang-orang dewasa tetapi juga
menjalar ke berbagai elemen masyarakat, baik anak-anak maupun remaja yang tidak

lagi memandang baik pria maupun wanita.
1

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 57.
Muladi dan Barda Nawawi Arief (III), Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cet. II,
(Bandung: Alumni, 1998), hal. 148.
2

1
Universitas Sumatera Utara

17

Perjudian membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara. Perjudian dapat menghambat pembangunan nasional yang
beraspek materiel-spiritual. Karena perjudian mendidik orang untuk mencari nafkah
bertentangan dengan norma agama, sosial dan norma hukum dan membentuk watak
“pemalas”. Perjudian merupakan problema sosial yang dapat mengganggu fungsi
sosial dari masyarakat. Sedangkan pembangunan membutuhkan individu yang giat
bekerja keras dan bermental kuat.3

Perjudian berkembang meningkat seiring dengan berkembangnya peradaban
manusia. 4 Macam dan bentuk perjudian saat ini semakin berkembang dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi
tetapi tidak untuk keadaan sekarang ini yang sudah dilakukan terang-terangan
maupun. Bahkan perjudian saat ini menjadi tren terutama di bidang olah raga. Salah
olah raga yang saat ini menjadi olah raga paling populer di dunia adalah sepakbola
dan sudah sering menjadi bahan taruhan hasil pertandingan dari sepak bola.
Perjudian dipandang dari perspektif hukum dilarang di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUH Pidana), sehubungan dengan perjudian merupakan
salah satu tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Dalam Pasal 1 UU Nomor 7
Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan PP Nomor 9 Tahun 1981 Tentang

3

B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, (Bandung: Tarsito, 1980),
hal. 352-353.
4
http://eprints.uns.ac.id/10351/, diakses tanggal 1 Desember 2013. Ditulis oleh: Herlina
Kusuma Wardani, “Upaya Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Terhadap Tindak Pidana Perjudian di
Kabupaten Boyolali”, Program Pascarsarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 2010.


Universitas Sumatera Utara

18

Pelaksanaan Undang-Undang Penertiban Perjudian, ditentukan semua tindak pidana
perjudian sebagai kejahatan.
Berbagai macam dan bentuk perjudian dewasa ini sudah demikian merebak
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun
secara sembunyi-sembunyi, bahkan sebagian masyarakat cenderung tidak peduli dan
memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar yang tidak perlu dipermasalahkan.
Praktik judi yang dilakukan beraneka ragam antara lain perjudian dadu, sabung ayam,
permianan ketangkasan, tebak angka seperti toto gelap (togel), sampai penggunaan
telepon genggam seperti judi melalui telepon seluler atau melalui intrenet, bahkan
olah raga seperti sepak bola tidak ketinggalan dijadikan sebagai ajang perjudian. 5
Praktik judi di lapangan terjadi di berbagai tempat melibatkan agen-agen judi
secara sembunyi-sembunyi. Perjudian dilakukan untuk menyedot dana masyarakat
dalam jumlah yang cukup besar, di lain sisi timbul pandangan negatif bahwa ada
kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah
perjudian. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa jenis dan tempat perjudian
disinyalir dilindungi dan melibatkan oknum aparat keamanan.

Perjudian selain bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan, dan
norma hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara, juga menimbulkan kerugian kepada pihak yang melakukannya,
meskipun memang kadang-kadang memberikan keuntungan. Keuntungan yang

5

Yulia Christy Shintara Aruan, Peranan Polisi Dalam Menanggulangi Tindak Pidana
Perjudian (Studi di Polres Langkat), (Medan: Fakultas Hukum USU, 2009), hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

19

didapatkan atas suatu perjudian tidak bisa dijadikan alasan pembenar yuridis karena
judi menyangkut pelanggaran terhadap prinsip nilai-nilai dalam masyarakat, mencari
uang bukan bergantung pada adu untung-untungan tetapi melalui proses bekerja
sesuai dengan norma agama, moral, kesusilaan, dan norma hukum yang berlaku. 6
Praktik perjudian mempunyai ekses negatif dan merugikan moral dan mental
masyarakat, terutama terhadap generasi muda bilamana ditinjau dari kepentingan

nasional. Masalah yang sulit untuk dimengerti bahkan ada orang yang melakukan
perjudian meskipun tidak memiliki pendapatan yang cukup dalam memenuhi
kebutuhannya sehari-hari. Dengan kata lain walaupun “lebih besar pasak daripada
tiang” namun perjudian tetap saja dilakukannya.
Tindak pidana perjudian di wiliyah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara
(Polda Sumut) merupakan salah satu jenis kejahatan konvensional yang sulit
diberantas secara total. Faktor kejahatan ini muncul meningkat secara berkelanjutan
sangat erat kaitannya dengan faktor hukum dan faktor non hukum seperti faktor
ekonomi, sosial, dan faktor internal dari sisi si pelaku itu sendiri.
Pentingnya

pembahasan

terhadap

kebijakan

hukum

pidana


dalam

penanggulangan perjudian di wilayah Polda Sumut terkait dengan penegakan hukum
terhadap tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polda Sumut masih lebih banyak
mendasarkan KUH Pidana dalam menangani kasus-kasus judi. Sementara pengadilan
menjatuhkan putusan terhadap pelaku judi di Sumatera Utara pada umumnya

6

Rosihan, Kebijakan Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perjudian On Line
(Studi Kasus di Polsek Semarang Barat), (Semarang: Unisbank, 2011), hal. 44-45.

Universitas Sumatera Utara

20

memvonis pelaku dengan pidana penjara yang cukup rendah demikian pula untuk
pidana denda juga rendah.
Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan hukum pidana dalam upaya

penanggulangan kejahatan harus dilaksanakan secara sistematis dan terintegral,
mengupayakan adanya keseimbangan antara upaya perlindungan masyarakat (social
defense) serta upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). 7
Kebijakan kriminal (politik kriminal) pada hakikatnya juga merupakan bagian yang
terintegral dari kebijakan sosial (politik sosial) untuk mencapai tujuan penegakan
hukum, 8 dengan memadukan antara upaya penal dan non penal. 9
Memperhatikan berbagai macam modus operandi dan kuantitas kejahatan
perjudian seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih,
maka sangat perlu diadakan reformasi hukum pidana dari yang bersifat konvensional
ke arah yang lebih bersifat modern. 10 Dua upaya dalam rangka menanggulangi
kejahatan, yaitu upaya melalui kebijakan penal (penal policy) dan non penal (non
penal policy) harus ditempuh. Berbicara mengenai kedua upaya ini tidak terlepas dari
teori kebijakan kriminal (criminal policy) yang mengatakan bahwa kebijakan
kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan
7

Muhammad Natsir, KoesnoAdi, PrijaDjatmika, dan Rodliyah, “Communal Conflict
Resolution Model in Bima Regency West Nusa Tenggara Province”, International Journal of
Education and Research, Vol. 1, No. 12, Tahun 2013, hal. 4.
8

Nanda Ivan Natsir, Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Cyber Terrorism Sistem
Peradilan Pidana, (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2009), hal. 95.
9
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal
Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 20,
dan hal. 22.
10
Fransiska Novita Eleanora, “White Collar Crime Hukum dan Masyarakat”, Forum Ilmiah,
Vol. 10, No. 2, Tahun 2013, hal. 250.

Universitas Sumatera Utara

21

dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan itu sendiri (criminal policy is the rational
organization of the social reaction to crime). 11
Hukum pidana mempunyai keterbatasan. Bukti keterbatasan hukum pidana
dalam menanggulangi kejahatan 12 adalah tidak efektifnya menimbulkan efek
penjeraan kepada para pelaku, bahkan kuantitas kejahatan semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seiring

dengan perkembangan teknologi menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional
dengan modus operandi yang semakin canggih dan berteknologi tinggi. 13 Perlunya
kebijakan kriminal diperluas hingga meliputi upaya non karena kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan sarana penal (penal policy) mempunyai
keterbatasan. 14
Keterbatasan hukum pidana harus pula diimbangi dengan kebijakan lain di
luar hukum pidana. Hal itu sejalan dengan doktrin kebijakan pananggulangan
kejahatan melalui kebijakan kriminal yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels
meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Sebagaimana G. Peter Hoefnagels
mendiferensialkan ruang lingkup “criminal policy” itu meliputi: penerapan hukum
pidana (criminal law application); pencegahan tanpa pidana (prevention without
punishment); dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
11

G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of
Crime, (Holland: Kluwer Deventer, 1973), hal. 57.
12
E.Z. Leasa, “Penerapan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (Double Track System) Dalam
Kebijakan Legislasi”, Jurnal Sasi, Vol. 16, No. 4, Tahun 2010, hal. 51.
13

Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006),
hal. 3.
14
Barda Nawawi Arief (II), Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2010), hal. 174.

Universitas Sumatera Utara

22

pemidanaan lewat media massa (influencing view of society on crime and
punishment). 15
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UUITE) telah berlaku untuk penanganan kasus-kasus judi online. Jika pelaku judi
yang mengunduh dan atau meng-install aplikasi perjudian internet secara online,
maka penyidik dapat saja menyimpulkan atau mendapatkan petunjuk bahwa unsur
kesengajaan telah terpenuhi, 16 namun data menunjukkan tetap saja jumlah pelaku judi
di Sumut tidak menunjukkan penurunan jumlah kasus. Salah satu faktor utama yang
menyebabkan kuantitas perjudian meningkat di Sumut adalah tidak dioptimalkannya
kebijakan hukum baik secara penal maupun secara non penal tersebut.

Secara penal (hukum pidana) berdasarkan UUITE pelaku judi dapat dijerat
dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp.1.000.000.000,(satu milyar rupiah) 17, tetapi dalam implementasinya undang-undang ini jarang
diterapkan. Kebijakan terhadap pelaku lebih sering menggunakan KUH Pidana yang
dari dulu hingga kini dalam mengatasi kejahatan justru menimbulkan banyak
penjahat yang masuk penjara, khususnya pelaku judi. Padahal hampir pada umumnya
masyarakat telah memasuki praktik perjudian secara online dimana-mana.
Penjatuhan pidana terhadap kasus-kasus judi dengan pidana yang rendah
sangat jauh dari pidana maksimalnya misalnya dari 10 (sepuluh) tahun penjara
15

G. Peter Hoefnagels, Op. cit., hal. 56.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4903/cara-penyidik-menjerat-pelakuperjudian-internet, diakses tanggal 2 Desember 2013. Ditulis oleh Josua Sitompul, dengan judul, “Cara
Penyidik Menjerat Pelaku Perjudian Melalui Internet”.
17
Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (1) UUITE.
16

Universitas Sumatera Utara

23

menjadi 2 (dua) bulan 7 (tujuh) hari, namun perlu pula upaya kebijakan hukum
pidana di sisi lain untuk menjatuhkan pidana denda yang berat kepada pelaku agar
lebih mendidik pelaku daripada menghukum secara fisik. Di samping mendidik fsikis
pelaku dari segi penjatuhan denda yang berat, juga dilakukan upaya-upaya perbaikan,
rehabilitasi, penyuluhan, dan edukasi kepada narapidana dan masyarakat akibat
bahaya judi.
Pengaturan tentang tindak pidana perjudian selain telah diatur dalam hukum
KUH Pidana dan UUTE, juga diatur UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban
Perjudian, namun kebijakan formulasi peraturan perundangan-undangan masih lebih
banyak mempunyai kelemahan, 18 misalnya pidana yang ditentukan dalam Pasal 303
ayat 1 huruf e KUH Pidana jo Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang
Penertiban Perjudian adalah pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Di sini
hukuman (pidana) hanya ditentukan dengan pidana maksmial saja tanpa dibatasi
dengan pidana minimal.
Ketentuan pidana yang diatur di dalam Pasal 303 ayat 1 huruf e KUH Pidana
junto Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian hanya
menentukan hukuman (pidana) maksimal saja, sehingga eksesnya kepada pelaku
berpeluang dijatuhkan oleh hakim putusan dengan pidana penjara jauh lebih ringan

18

Sugeng Tiyarto, Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan
Perjudian, (Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2006), hal. 172.

Universitas Sumatera Utara

24

dari pidana maksimal, sebab tidak ada batasan pidana yang minimal untuk membatasi
kebebasan pengadilan dan diskresi hakim. 19
Masalah selanjutnya dalam kebijakan penegakan hukum sebagai dampak dari
kelemahan substantif perundang-undangan yang mengatur mengenai perjudian, pada
gilirannya akan menimbulkan kendala di dalam penegakan hukum itu sendiri. Pada
tingkat penyidikan di Kepolisian, kuantitas kasus-kasus judi menunjukkan
perkembangan yang terus mengalami peningkatan. Hal ini sekaligus sebagai bukti
ketidakseriursan aparat penegak hukum dalam menangani perjudian, baik mencegah
maupun memberantasnya.
Tindak pidana judi di wilayah hukum Polda Sumut termasuk sebagai tindak
pidana yang menonjol. Peningkatan kasus-kasus judi bahkan lebih menonjol bila
dibandingkan dengan kejahatan konvensional lainnya antara lain: pencurian dengan
kekerasan (Curas), pencurian berat (Curat), pencurian kendaraan bermotor
(Curanmor), penganiayaan berat (Anirat), pemerasan dan ancaman (Peras/Ancam).
Jumlah Tindak Pidana atau Crime Total (CT) dan Penyelesaian Tindak Pidana
atau Crime Clearing (CC) berdasarkan data Kepolisian Daerah Sumatera Utara
(Polda Sumut) Tahun 2010 s/d 2015, jumlah kasus perjudian lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah kasus Curas, Curat, Curanmor, Anirat, dan Pemerasan

19

http://eprints.undip.ac.id/15905/, diakses tanggal 1 Desember 2013. Oleh: Sugeng Tiyarto,
“Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Perjudian”.

Universitas Sumatera Utara

25

serta ancaman. 20 Peningkatan jumlah kasus judi sangat signifikan dibandingkan
dengan kejahatan konvensional lainnya.
Perbandingan jumlah kasus-kasus judi dengan kejahatan konvensional lainnya
dalam lingkup data sejajaran di seluruh Polsek, Polres serta di Polda Sumut,
menunjukkan kejahatan pencurian berat (Curat), pencurian kendaraan bermotor
(Curanmor), dan penganiayaan berat (Anirat) dalam lima tahun terakhir dari tahun
2010 s/d tahun 2015 lebih mendominasi atau lebih tinggi jumlahnya dibandingkan
dengan kasus judi. Sedangkan jumlah kasus pencurian dengan kekerasan (Curas) dan
pemerasan atau ancaman (Peras/Ancam) berada di bawah kasus judi. 21
Berdasarkan penonjolan kasus perjudian ini menggambarkan bahwa persoalan
judi di wilayah Sumut belum dapat dituntaskan secara menyeluruh artinya sebahagian
besar masyarakat pelaku kriminal di Sumut cenderung terlibat dalam praktik
perjudian. Penonjolan kasus judi ini sekaligus menimbulkan pertanyaan apakah
kebijakan kriminal terhadap tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polda Sumut
telah dilaksanakan secara maksimal atau karena kelemahan substantif perundangundangan itu sendiri yang menjadi faktor penyebabnya?
Setidaknya apa yang dikemukakan oleh L.H.C. Hulsman dalam rangka
memberikan efek jera kepada para pelaku dan masyarakat, dapat diaktualisasikan
dalam penanganan judi. Menurut Hulsman memidana menyangkut semua aturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan pidana dan pemidanaan (the

20
21

Data Direktorat Kriminal Umum Polda Sumut Tahun 2016.
Data Direktorat Kriminal Umum Polda Sumut 2015.

Universitas Sumatera Utara

26

statutory rules relating to penal sanctions and punishment). 22 Pandangan ini lebih
luas memaknai penjatuhan pidana kepada pelaku (khususnya judi) bukan saja hanya
mengimplementasikan hukum pidana tetapi juga dengan upaya perbaikan. Jadi selain
menjatuhkan pidana, seharusnya kepada para pelaku judi dilakukan upaya perbaikan,
rehabilitasi, penyuluhan, dan edukasi kepada masyarakat akibat bahaya judi.
Cesare Beccaria Bonesane (1738-1794) mengatakan pidana yang kejam dan
melampaui batas, tidak berguna. Tujuan pidana kata Beccaria untuk pencegahan
khusus dan pencegahan umum. Tujuan pidana tiada lain agar penjahat tidak lagi
melakukan kejahatan. 23 Pokok-pokok penting dari Union Internationale de Droit
Penal yang didirikan pada tahun 1888 antara lain: 24
1.
2.
3.

Tujuan pokok hukum pidana adalah penentangan terhadap perbuatan jahat
dipandang sebagai gejala masyarakat;
Pengetahuan hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus
memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis;
Pidana merupakan salah satu alat ampuh yang dikuasai negara dalam
penentangan kejahatan. Itu bukan satu-satunya alat. Tidak dapat diterapkan
tersendiri tetapi selalu dengan kombinasi dengan tindakan sosial, khususnya
kombinasi dengan tindakan perventif.
Hakikat dari pidana memang harus diakui pada suatu penderitaan atau

nestapa, pidana memang sangat penting, tetapi hukum pidana bukan saja fungsinya
22

L.H.C. Hulsman dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal.
115.
23
A.Z. Abidin & A. Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan,
Penyertaan, dan Gabungan Delik), dan Hukum Penetensier, (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2002), hal.
326.
24
Ibid. Pemikiran baru tentang dasar pemidanaan pada akhir abad XIX dan permulaan abad
XX muncul di Eropa Barat yang dipelopori oleh: A. Prins di Belgia, G.A. van Hamel di Negerland,
dan F. von Listz di Jerman. Para pemikir ini mendirikan Union Internationale de Droit Penal pada
tahun 1888. Kebetulan di Nederland pada tahun 1886 telah diciptakan W.v.S. Baru. Gerakan menuju
ke penanganan kriminal yang rasional dengan mendasarkan pemikiran pada pandangan sosiologis,
antropologis, dan psikologis.

Universitas Sumatera Utara

27

untuk memberikan nestapa kepada pelanggarnya tetapi juga bagaimana cara mengatur
masyarakat agar hidup lebih damai dan tenteram. Dasar pemikiran ini adalah hukum
pidana fungsional. Adanya asas oportunitas (pardon) dalam hukum pidana berarti
fungsi pidana tidak hanya sekedar untuk menimbulkan penderitaan bagi pelanggar,
tetapi fungsi pidana juga harus mampu memberikan upaya-upaya berupa tindakan
perbaikan dalam rangka mengatur masyarakat agar hidup lebih damai dan tenteram.
Itulah sebabnya penelitian ini mencoba memberikan solusi kebijakan kriminal
terhadap

persoalan

penanganan

judi

di

Sumatera

Utara

baik

dari

sisi

pemberantasannya maupun dari sisi pencegahannya dan sekaligus menjadi menarik
untuk diteliti aspek ketentuan substantif dalam perundang-undangan yang mengatur
tentang larangan perjudian, serta keseriusan aparat penegak hukum dalam
memberantas tindak pidana perjudian untuk menimbulkan efek penjeraan bagi
masyarakat Sumut. Hal ini dilatarbelakangi karena kasus-kasus judi terus menonjol di
Sumatera Utara sesuai data kejahatan perjudian Polda Sumut.
Menjatuhkan pidana terhadap pelaku judi bukan hanya menjatuhkan pidana
penjara tetapi lebih arif bila disikapi dengan penataan maksimal dengan
mengantisipasi munculnya perkara judi, melakukan upaya perbaikan, rehabilitasi,
penyuluhan, dan edukasi kepada masyarakat akibat bahaya judi, serta peran
Pemerintah Daerah Provinsi Sumut dan Polda Sumut untuk membuat alternatif
penanganan judi menjadi sangat penting.
Salah satu alternatif misalnya kebijakan dalam membuat regulasi judi dengan
cara selain memenjarakan pelaku, yang lebih penting adalah memberikan denda

Universitas Sumatera Utara

28

maksimal karena akan dinilai lebih bermanfaat, lebih mendidik daripada pidana
penjara. Denda itu lebih bermanfaat bagi negara dan sekaligus membawa ekses
perlindungan bagi seluruh masyarakat. Pelaku (mantan narapidana judi) juga akan
berpikir-pikir dan mungkin tidak akan mengulangi perbuatannya jika dijatuhkan
pidana denda yang lebih berat (maksimal) kepada pelaku judi.
Berangkat dari pemikiran P.A.F. Lamintang yang idenya menggambarkan
pidana itu memang merupakan suatu pembalasan atau penderitaan (nestapa) diberikan
negara kepada si pelanggar, tetapi perlu pula melihat ilmu pengetahuan hukum secara
luas dari sisi kriminologi yang mempelajari gejala-gejala kriminalitas sebagai
keseluruhan, dengan apa yang disebut practisceh atau toegepaste criminologie yang
dengan sebaik mungkin berusaha mengamati berbagai tindak pidana untuk kemudian
dengan menggunakan metode-metode tertentu berusaha menyelidiki sebab dari
gejala-gejalanya. 25 Sehingga dengan demikian kebijakan penanggulangan kejahatan
itupun dapat dengan mudah dilakukan dengan berbagai metode pendekatan, baik
pendekatan hukum pidana maupun pendekatan sosial dan ekonomis.
Selain penelitian ini diarahkan untuk meneliti kebijakan penanggulangan judi
dari sisi penegakan hukum, juga membahas kelemahan substantif dalam perundangundangan yang mengatur larangan perjudian, termasuk faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum meliputi faktor yuridis dan termasuk faktor non
hukum yang berpotensi mengakibatkan kuantitas perjudian di wilayah hukum Polda

25

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

29

Sumut terus mengalami peningkatan. Oleh karena itu maka dipilih “Kebijakan
Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah
Sumatera Utara” sebagai judul di dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut tergambar ada 3 (tiga)
permasalahan yang menarik untuk diteliti, yaitu:
1.

Bagaimanakah pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian?

2.

Bagaimanakah kebijakan penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah
hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara?

3.

Apa yang menjadi faktor-faktor kendala dan solusi dalam penanggulangan tindak
pidana perjudian di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara?

C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan ketiga permasalahan tersebut, adapun tujuan dilakukan
penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum pidana tentang larangan
terhadap perjudian.

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan penanggulangan tindak pidana
perjudian di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

30

3.

Untuk mengetahui faktor-faktor kendala dan solusi dalam penanggulangan tindak
pidana perjudian di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara sekaligus
memberikan upaya-upaya dalam mengatasi kendala-kendala tersebut.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat yang berguna baik secara teoritis
maupun praktis, antara lain:
1.

Secara teoritis, bermanfaat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam
memahami dan menganalisis permasalahan hukum terhadap ketentuan hukum
pidana yang mengatur larangan terhadap perjudian dan masalah penegakan
hukum terhadap tindak pidana perjudian di wilayah hukum Kepolisian Daerah
Sumatera Utara, dan juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi peneliti
selanjutannya dapat menambah wawasan dan memberikan kontribusi bagi ilmu
pengetahuan hukum.

2.

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum dalam
kerangka SPP antara lain bagi personil Polisi (penyidik), Jaksa Penuntut Umum,
para hakim yang menangani kasus-kasus perjudian, bermanfaat pula advokat dan
pemasyarakatan, dan juga bagi masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

31

E. Keaslian Penelitian
Guna menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian dengan rumusan
masalah yang sama, maka sebelumnya, telah dilakukan penelusuran di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU.
Berdasarkan penelusuran tidak ditemukan judul sama dengan judul da rumusan
masalah dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelusuran diperoleh judul tesis atas
nama:
1.

Indra Prasetyo (NIM: 097005078) dengan judul “Kebijakan Polri Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian (Studi di Wilayah Hukum Polres
Asahan). Fokus kajiannya adalah tentang kebijakan kepolisian dalam
penanggulangan perjudian di wilayah hukum Kepolisian Resor Asahan
menyangkut upaya-upaya yang dilakukan dalan pemberantasan judi di wilayah
tersebut.

2.

Ivan Najjar Alavi (NIM: 107005066) dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap
Tindak Pidana Korupsi Pungutan Liar di Jembatan Timbangan Sibolangit
Sumatera Utara (Studi Kasus Nomor: 03/Pid.Sus-K/2011/PN.Mdn). Fokus
kajiannya adalah menganalisis kasus pungutan liar di jembatan Timbangan
Sibolangit sebagaimana dalam Putusan Nomor: 03/Pid.Sus-K/2011/PN.Mdn.

3.

Anthonius Indra Simamora (NIM: 107005127) dengan judul “Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Terorisme Yang Dilakukan Oleh Perampok Bank CIMB
Niaga Medan (Suatu Studi Mengenai Kasus Kejahatan Terorisme di Sumatera

Universitas Sumatera Utara

32

Utara). Fokus kajian ini adalah perampokan pada Bank CIMB Niaga di Medan
dikaitkan dengan pelaku terorisme.
Judul tesis di dalam penelitian ini adalah “Kebijakan Penanggulangan Tindak
Pidana Perjudian di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara” dengan
rumusan masalah:
1.

Bagaimanakah pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian?

2.

Bagaimanakah kebijakan penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah
hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara?

3.

Apa yang menjadi faktor-faktor kendala dan solusi dalam penanggulangan tindak
pidana perjudian di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara?
Perbandingan dari segi judul maupun rumusan masalah tersebut menunjukkan

dengan jelas perbedaannya bahwa penelitian ini membahas tentang penegakan hukum
perjudian di Polda Sumut dan menganalisis kelemahan-kelemahan perundangundangan mengenai perjudian, serta menganalisis kondisi dan faktor penegakan
hukum yang mempengaruhi di Sumatera Utara. Oleh sebab itu, terhadap judul dan
rumusan masalah di dalam penelitian ini tidak sama dengan judul dan permasalahan
penelitian terdahulu, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli dan jauh
dari unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain, serta dapat dipertanggungjawabkan.

Universitas Sumatera Utara

33

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Teori-teori yang melandasi analisis ini didasarkan pada teori kebijakan
penanggulangan kejahatan (kebijakan kriminal) dan juga harus dihadapkan pada teori
sistem hukum (legal system theory) yang tentunya selain membahas tentang
regulasinya, juga harus menyinggung kinerja aparatur penegak hukum dalam Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice System) disingkat SPP, serta budaya hukum.
a. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Theory)
Kebijakan hukum pidana identik dengan teori kebijakan kriminal (criminal
policy). Sesuai ilmu kriminologi mengenai “kebijakan hukum pidana” (penal policy)
pada dasarnya merupakan bagian dari politik kriminal (criminal polity), sehingga
“kebijakan hukum pidana” tersebut dapat juga disamakan dengan “politik hukum
pidana”, bahkan dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” juga disebut
dengan penal policy, criminal law policy, dan strafrechtspolitiek. 26 Dengan demikian
kebijakan kriminal itu tidak lain adalah menyangkut perwujudan dari paradigmapragadigma berfikir politik dari pembuat hukum dan undang-undang (law makers)
yakni Pemerintah (government) dan legislatif (legislatiev).
Hubungan politik kriminal dengan politik sosial terdapat pada hubungan
dalam hakikat penanggulangan kejahatan itu sendiri yaitu berupaya untuk
memberikan perlindungan masyarakat (social defence) dan berupaya untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat (social welfare). Sehingga menggambar suatu tujuan akhir
26

Barda Nawawi Arief (I), Op. cit., hal. 25-26.

Universitas Sumatera Utara

34

dan paling utama dari politik kriminal adalah untuk memberikan perlindungan
masyarakat dan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 27
Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk
mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional
itu merupakan konsekuensi logis menyangkut pembuatan kebijakan, melibatkan
berbagai upaya-upaya dalam segala aspek kehidupan, bukan saja menawarkan solusi
hukum tetapi juga memberikan rekomendasi upaya penanggulangan secara non
hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan kriminal pada hakikatnya
juga merupakan bagian integral 28 dari kebijakan publik. 29
Beberapa ahli seperti G. Peter Hoefnagels, Barda Nawawi Arief, dan Sudarto
memberikan pengertian mengenai kebijakan kriminal sangat luas, dan dalam
pengertian itu diperluasnya hingga ke arah kebijakan sosial. Bertitik tolak dari
pengertian kebijakan kriminal yang sangat luas tersebut maka untuk menanggulangi
kejahatan bukan lagi harus disandarkan pada kebijakan hukum pidana (penal policy)
namun lebih daripada itu harus melibatkan kebijakan di luar hukum pidana (non
penal policy), baik berupa kebijakan sosialnya maupun kebijakan hukum selain
hukum pidana seperti menggunakan instrumen hukum perdata dan hukum
administrasi negara.

27

Ibid., hal. 4.
Fransiska Novita Eleanora, “White Collar Crime Hukum dan Masyarakat”, Forum Ilmiah,
Vol. 10, No. 2, Tahun 2013, hal. 250.
29
Iza Fadri, “Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia”,
Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010, hal. 445.
28

Universitas Sumatera Utara

35

Sudarto juga memperluas makna kebijakan kriminal, dengan mengungkapkan
kebijakan kriminal itu bisa dimaknai dalam arti sempit, arti luas, dan paling luas.
Dalam arti sempit menurutnya mencakup keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti luas
mencakup keseluruhan fungsi aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara
kerja dari pengadilan dan polisi. Dalam arti paling luas mencakup keseluruhan
kebijakan yang dikeluarkan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi,
tujuannya menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat. 30
Sudarto dalam kesempatan lain mengemukakan definisi singkat politik
kriminal merupakan adalah “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan”. Definisi ini diambil dari definisi politik kriminal Marc
Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by
society”. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter
Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of
the social reaction to crime”. Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter
Hoefnagels adalah: criminal policy is the science of responses, criminal policy is the
science of crime prevention, criminal policy is a policy of designating human
behavior as crime, dan criminal policy is a rational total of the responses crime. 31

30

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2006), hal. 113-114. Lihat
juga: Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, (Bandung: Alfa Beta, 2005), hal. 7.
31
http://bardanawawi.blogspot.co.id/, diakses tanggal 3 November 2015, artikel yang ditulis
oleh Barda Nawawi Arief, berjudul “Kebijakan Kriminal dan Kebijakan Hukum Pidana”,
dipublikasikan di website Barda Nawawi pada Blogspot, tanggal 20 Oktober 2007.

Universitas Sumatera Utara

36

Kebijakan kriminal (criminal policy) juga merupakan politik kriminal.
Penanggulangan kejahatan dengan melaksanakan politik kriminal menurut Sudarto
berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif
dalam usaha penanggulangan kejahatan. 32 Politik kriminal menurut Barda Nawawi
Arief merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)
dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Maka
tercermin tujuan akhirnya adalah adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. 33
Hubungan kebijakan kriminal (politik kriminal) dengan kebijakan sosial
(politik sosial) digambarkan oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut:
Skema 1:
Hubungan Kebijakan Kriminal Dengan Kebijakan Sosial 34
Social walfare policy
Tujuan

Social policy
Social defense policy
Penal
Criminal policy
Non penal

32

Sudarto, Loc. Cit.
Barda Nawawi Arief dalam Nanda Ivan Natsir, Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak
Pidana Cyber Terrorism Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro 2009), hal. 94.
34
Barda Nawawi Arief (I), Op. cit., hal. 5.
33

Universitas Sumatera Utara

37

Skema 1 tersebut menggambarkan kebijakan sosial sebagai kebijakan umum
terdiri dari kebijakan dalam rangka menyejahterakan masyarakat (social welfare
policy) dan kebijakan perlindungan masyarakat (social defense policy). Kebijakan
perlindungan masyarakat dituangkan dalam kebijakan kriminal yang dalam upayanya
untuk mencapai tujuan menggunakan sarana penal dan non penal, sehingga kebijakan
penal dan non penal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
perlindungan masyarakat dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
sekaligus merupakan kebijakan sosial yang terintegral dalam mencapai tujuan.
Upaya penanggulangan kejahatan harus dilaksanakan secara sistematis dan
terintegral, mengupayakan adanya keseimbangan antara upaya perlindungan
masyarakat (social defense) serta upaya kesejahteraan masyarakat (social welfare). 35
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan kriminal (politik kriminal) pada
hakikatnya juga merupakan bagian yang terintegral dari kebijakan sosial (politik
sosial) untuk mencapai tujuan, 36 dengan memadukan antara upaya penal dan non
penal. 37
Oleh karena penanggulangan hanya difokuskan pada penanggulangan
kejahatan (kriminal) saja, maka tujuan dan cita-cita hukum yang dikehendaki dari
kebijakan yang terintegrasi ini adalah tujuan-tujuan hukum yaitu: untuk memenuhi

35

Muhammad Natsir, KoesnoAdi, PrijaDjatmika, dan Rodliyah, “Communal Conflict
Resolution Model in Bima Regency West Nusa Tenggara Province”, International Journal of
Education and Research, Vol. 1, No. 12, Tahun 2013, hal. 4.
36
Nanda Ivan Natsir, Op. cit., hal. 95.
37
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy….Op. cit., hal. 20, dan hal. 22.

Universitas Sumatera Utara

38

keadilan, kepastian hukum, ketertiban, dan terakhir adalah kesejahteraan. 38 Untuk
dapat mencapai tujuan tersebut maka upaya penanggulangan kejahatan perlu
ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dengan memadukan antara politik sosial dan
politik kriminal serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan
dengan penal dan non penal. 39
b. Teori Sistim Hukum (Legal System Theory)
Kata “sistem” berasal dari kata “systema” yang diadopsi dari bahasa Yunani
yang diartikan “sebagai keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian”. 40
Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta
dengan adanya sistem hukum. 41 JH. Merryman, mengatakan, “Legal system is an
operating set of legal institutions, procedures, and rules”. 42 Dalam teori JH.
Merryman ini sistem hukum merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi
institusi, prosedur, dan aturan hukum. Kemudian dalam teori Lawrence Milton
Friedman, bahwa dalam sistem hukum harus meliputi substansi, struktur, dan budaya
hukum. 43
Bagian penting yang dibicarakan dalam sistem hukum sebagaimana di atas
adalah masalah prosedur (dalam JH. Merryman) dan struktur hukum (dalam
38

A. Salman Maggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, Dan Doktrin Hukum
Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, Jurnal Cita Hukum, Vol. I, No. 2, Desember 2014, hal. 186.
39
Muhammad Natsir, KoesnoAdi, PrijaDjatmika, dan Rodliyah, Loc. Cit.
40
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 4.
41
Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal.
71.
42
JH. Merryman dalam Ade Maman Suherman, Loc. cit.
43
Lawrence M. Friedman diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah
Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.

Universitas Sumatera Utara

39

Lawrence Milton Friedman) untuk menganalisis permasalahan di dalam penelitian
ini. Alasan memfokuskan analisis ini pada prosedur dan struktur hukum bahwa
prosedur dan struktur hukum menyangkut masalah penegakan hukum (law
inforcement).
Dalam teori penegakan hukum menurut Joseph Goldstein membedakan
penegakan hukum pidana menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: total enforcement, full
enforcement, dan actual enforcement. Mengenai total enforcement, menyangkut
penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana
substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak
mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum
acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Dalam tahapan-tahapan itu,
hukum pidana substantif memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan
terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten).
Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement. 44
Sedangkan full enforcement, menyangkut penegakan hukum pidana yang
bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement yang dalam penegakan
hukum ini para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal.
Kemudian dalam actual enforcement, menurut Joseph Goldstein actual enforcement
merupakan redusi (sisa) dari full enforcement. Di mana bahwa full enforcement

44

Joseph Goldstein dalam Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang:
Badan Penerbit UNDIP, 1995), hal. 40.

Universitas Sumatera Utara

40

dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam
bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya
mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut
dengan actual enforcement. 45
Konteks kajian di dalam penelitian ini, sehubungan dengan pendapat Muladi,
yang mengemukakan, “Penggunaan upaya hukum (termasuk hukum pidana) dalam
penegakan hukum merupakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah
sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum”. 46 Maka perlu
ditindaklanjuti upaya pelaksanaan penegakan hukum itu secara baik sesuai dengan
ketentuan yang telah ditentukan dalam perundang-undangan.
Ranah penegakan hukum menurut Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan perlu
diperhatikan komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum itu sendiri
yaitu: struktur, substansi dan kultur. 47 Di mana suatu kondisi penegakan hukum yang
tidak sesuai dengan tujuan-tujuan hukum itu sendiri untuk menciptakan ketertiban,
kemanfaatan, dana kesejahteraan bagi masyarakat, maka perlu kiranya kinerja
komponen dalam Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) dikoreksi guna
efektifitas kinerja aparat penegak hukum itu sendiri.

45

Ibid.
Ibid., hal. 35.
47
Harkristuti Harkrisnowo, “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai
Supremasi Hukum yang Berkeadilan”, Artikel pada Jurnal Keadilan Vol. 3, Nomor 6 Tahun
2003/2004.
46

Universitas Sumatera Utara

41

Komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum sebagaimana
menurut Lawrence Milton Friedman, maka terbagi dalam tiga kelompok yaitu: 48
1) Struktur hukum. Mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik
lembaga-lembaga pemerintahan maupun aparat penegak hukum seperti:
Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat.
2) Substansi hukum. Mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan
asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundangundangan.
3) Kultur hukum. Mencakup pola, tata cara berfikir dan bertindak, baik atas
karena kebiasaan-kebiasaan maupun karena perintah undang-undang, baik
dari perilaku aparat penegak hukum dan pelayanan dari instansi pemerintah
maupun dari perilaku warga masyarakat dalam menerjemahkan hukum
melalui perilakunya, dan lain-lain.
Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum menurut Soerjono
Soekanto, merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah
satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu
elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak
diinginkan atau terjadi kepincangan hukum. Ketiga elemen ini merupakan bagian dan
faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan
menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 49
Komponen-komponen tersebut sebagai faktor penentu apakah suatu sistem
hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak, Lawrence Milton Friedman

48

Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan
Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta:
Kencana, 2009), hal. 204.
49
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta,
Rajawali, 1983), hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

42

menekankannya pada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu
sendiri, substansi hukum, dan budaya hukum menyangkut perilaku. 50
Sistem peradilan pidana erat kaitannya dengan mekanisme kerja aparatur
penegak hukum untuk melaksanakan dan menerapkan hukum pidana dalam kerangka
SPP yang dikatakan oleh Remington dan Ohlin sebagai berikut: 51
Sistem Peradilan Pidana dapat diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan
pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,
praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu
sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara
rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan
segala keterbatasannya.
Menurut Mardjono Reksodiputro sistem hukum dalam kerangka SPP
memiliki tujuan yaitu: 52
1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas dengan
keadilan yang telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
3) Mengusahakan agar pelaku yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Kepolisian berperan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
semua kasus-kasus tindak pidana. Kejaksaan berperan melakukan fungsinya di
bidang penuntutan terhadap perkara yang dilimpahkan penyidik kepadanya.
Sementara Pengadilan memainkan peranan penting dalam memeriksa, mengadili dan
menjatuhkan pidana kepada pelaku.
50

Lawrence M. Friedman diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Loc. cit.
Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Jakarta: Binacipta, 1996), hal. 14
52
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat pada Kejahatan dan
Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi; Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Universitas
Indonesia, (Jakarta: FHUI,1993), hal. 1
51

Universitas Sumatera Utara

43

Akan tetapi sejatinya pengadilan itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat
untuk memeriksa dan mengadili, tetapi jauh lebih luas daripada itu. Lembaga tersebut
sudah merupakan suatu masyarakat tersendiri dan didalamnya berlangsung berbagai
proses interaksi di mana para aktor dalam litigasi berperan menegakkan hukum, serta
bertemunya kepentingan-kepentingan yang berbenturan. 53
c. Teori Sistim Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
Ciri khas Sistem Peradilan Pidana (SPP) adalah interface, maksudnya adalah
komponen dalam SPP selalu saling berhadapan dengan lingkungannya.
Komponen SPP tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya mengingat
begitu besar pengaruh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan
masyarakat terhadap keberhasilan pencapaian tujuan hukum. Interface dalam
kerangka SPP dengan lingkungannya meliputi interaksi, interkoneksi dan
interdependensi. 54
Dalam SPP juga dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normatif,
administratif dan sosial. 55 Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)
sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga

53

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2006), hal. 212.
54
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta UII Press, 2011) hal.
1.
55
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2010), hal. 6.

Universitas Sumatera Utara

44

keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
penegakan hukum semata-mata. 56
Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum
sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik
hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan
struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut berada dalam satu sistem
yang terintegrasi. 57
Adapun pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga
masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau
ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam
melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial. 58
SPP dilihat dari cakupannya, harus lebih luas dari hukum acara pidana
karena cakupan hukum acara pidana terbatas pada aspek substansinya saja.
Sementara itu sistem meliputi juga selain substansi dan struktur juga budaya
hukum. Artinya hukum dilihat tidak saja yang diatur secara eksplisit dalam buku
(law in the books) tetapi juga bagaimana konteks dan dalam prakteknya (law in
actions). 59 Dalam bahasa Jimly Ashshidiqy, proses peradilan tanpa hukum materiil

56

Ibid.
Ibid, hal. 7
58
Ibid.
59
Luhut M.P Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Adhoc; Suatu Studi Teoritis Mengenai
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hal. 46.
57

Universitas Sumatera Utara

45

akan lumpuh, tetapi sebaliknya tanpa hukum formal maka liar dan bertindak
semaunya dan dapat mengarah apa yang ditakutkan orang sebagai judicial tyrany. 60
SPP sebagaimana digariskan KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated
criminal justice system) sistem terpadu tersebut diletakkan dalam di atas landasan
prinsip diferensiasi fungsional diantara para penegak hukum yang sesuai dengan
tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.
Berdasarakan kerangka landasan dimaksud aktivitas pelaksanaan criminal justice
system merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari legislator, polisi,
jaksa, pengadilan dan penjara serta badan yang berkaitan dengan baik yang ada di
lingkungan pemerintahan atau di luarnya. Tujuan pokok gabungan fungsi dalam
kerangka

criminal

justice

system

itu

untuk

(menjalankan) dan memutuskan hukum pidana.

menegakkan,

melaksanakan

61

Jadi SPP didukung dan dilaksanakan oleh empat fungsi utama yaitu:
pertama,

fungsi

pembuatan

undang-undang

(law

making

function)

yang

dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah atau badan yang lain berdasar delegated
legislation. Kedua fungsi penegakan hukum (law inforcemant) yang bertujuan
menciptakan tertib sosial meliputi tindakan penyelidikan-penyidikan, penangkapanpenahanan, persidangan pengadilan dan pemidanaan. Selain itu pada aspek ini juga
mencakup tindakan preventif (preventive effect). Ketiga, fungsi pemeriksaan
persidangan pengadilan. Keempat, fungsi memperbaiki terpidana. Dengan begitu
60

Ibid.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan, cet. ke-9, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 90.
61

Universitas Sumatera Utara

46

berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang di pengadilan yang
dilakaukan JPU dan hakim menyatakan terdakwa salah serta memidananya sangat
tergantung atas hasil penyidikan Polri. 62
Secara sederhana, acapkali hukum acara pidana selalu dipahami sebagai
ketentuan hukum yang berhubungan erat dengan adanya hukum pidana. Dengan
demikian, hukum acara pidana sering diartikan hanya sebagai rangkaian peraturanperaturan yang memuat cara bagaimana aparatur penegak hukum bertindak guna
mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. Dalam suatu hukum
pidana diatur “bila”, kepada “siapa” dan “bagaimana” penegak hukum dan akhirnya
hakim dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang yang diduga bersalah melakukan
suatu tindak pidana. Oleh karena itu orientasi hukum acara pidana yang demikian
ialah punishment lebih sempit lagi pidana penjara. Padahal memasukkan orang lebih
banyak ke penjara tidak identik dengan suatu keadilan telah tercapai. Pada hal tujuan
penegegakan hukum adalah menc